RARA SUHITA sengaja tidak mendekat, sampai mereka
menyelesaikan seluruh rangkaian tata geraknya terlebih dahulu.
“Alas mereka sama”, berkata Rara
Suhita dalam hati.
“Yang membedakan adalah beberapa jalur perguruan yang menyatu dalam tata gerak itu. Jalur Kedungjati sedikit banyak ikut memberi warna dalam tata gerak Sukra. Ternyata Kakang mbok Sekar Mirah sering memberi petunjuk kepadanya.”
“Yang membedakan adalah beberapa jalur perguruan yang menyatu dalam tata gerak itu. Jalur Kedungjati sedikit banyak ikut memberi warna dalam tata gerak Sukra. Ternyata Kakang mbok Sekar Mirah sering memberi petunjuk kepadanya.”
Seleret senyum di bibir Rara Suhita
disaat dua orang yang tengah berlatih itu telah selesai dan berdiri termangu
mangu memandanginya.
Sukra mendahului berkata, begitu Rara
Suhita telah mendekat.
“Apa sudah lama Kakangmbok Suhita berdiri di
situ?”
“Tidak terlalu lama, Sukra. Memang
sengaja aku tetap berdiri disana menunggu sampai kalian menyelesaikan latihan
bersama itu.”
“Aku memang terlambat, Kakangmbok.
Andai dahulu tidak terlalu bergantung kepada pliridan, tentu aku hanya selapis
tipis saja di bawah Wira Permana.”
“Ah, kau terlalu suka merendahkan
dirimu sendiri”, desis Wira Permana.
“Yang membuat penilaian bukan dirimu,
Sukra”, berkata Rara Suhita kemudian. “Itulah pentingnya akan kehadiran seorang
guru. Dia yang akan menahan jika kita terlalu cepat dan begitu sebaliknya
seorang guru seakan seperti cambuk yang akan terus berbunyi sampai kita mau
berjalan kembali. Dan apa yang aku lihat tadi adalah alas tata gerak yang sama
namun menjadi berlainan karena telah luluh dengan beragam jalur yang berlainan
itu.”
Wira Permana nampak
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu berkata perlahan, “Terima kasih Mbokayu.”
Lalu berkata perlahan, “Terima kasih Mbokayu.”
Sukra sendiri yang masih berdiri
termangu-mangu di tempatnya hanya mampu menganggukkan kepalanya dengan kedua
tangannya mengatup di atas dada.
Rara Suhita menjadi berdebar-debar
dibuatnya. “Apakah mereka tersinggung”, batin Rara Suhita.
“Ah, semoga tidak. Mereka berdua pasti
memahami maksudku. Justru karena aku telah mereka anggap seperti kakak
kandungnya sendiri.”
Sebenarnyalah setelah beberapa pekan
di rumah Agung Sedayu, hubungan mereka bertiga semakin erat, sama seperti yang
dirasakan oleh Rara Suhita dengan penghuni rumah lainnya.
Mungkin hanya berbeda tipis
keakrabannya, itu juga karena pembawaan dari Wira Permana sendiri yang agak
pendiam.
Dalam pada itu, Sukra pun berkata
sesaat kemudian. “Apakah Kakangmbok Suhita akan ke tepi kolam seperti biasanya
dahulu, sebelum masuk ke sanggar?”
Walau perasaan itu terkadang masing
datang, namun semakin dengan berlalunya waktu, Sukra telah mampu meletakkan dan
membuat semua menjadi wajar dalam pergaulan kesehariannya.
“Bukankah aku hanya meniru apa yang
kau serta Wira Permana kerjakan disaat malam seperti ini.” Rara Suhita
tersenyum sambil bergantian memandangi wajah dua pemuda yang sedang berdiri
dihadapannya itu.
“Ah, itu jawaban yang selalu kau
ulang-ulang”, Kakangmbok!”
“Bukankah memang benar seperti itu”,
menyahut Wira Permana perlahan.
“He, sejak kapan kau juga
memperhatikan kesibukan Kakang mbok Rara Suhita?.”
Sukra sendiri begitu selesai berkata,
telah melompat agak menjauh sambil tertawa berkepanjangan.
Sebenarnyalah walau malam itu cukup
gelap, seolah olah tetap tidak mampu menutupi rona merah di wajah Wira Permana.
Begitu tiba-tiba Sukra dalam mengatakannya, sehingga Rara Suhita sendiri juga
hanya mampu terdiam dalam beberapa saat.
Sukra sendiri yang sebelumnya
menunggu Wira Permana segera membalas gurauannya, akhirnya juga ikut terdiam. Ketiga
orang itu pun akhirnya sibuk bergelut dengan alam pikirannya masing-masing.
Sementara itu, dalam waktu yang
bersamaan di pendapa rumahnya, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Sekar Mirah bersama
dengan Pangeran Pringgalaya tengah membicarakan sesuatu yang penting.
“Menurut laporan prajurit sandi dari
pasukan khusus, memang semakin melengkapi dugaan telik sandi itu, Pangeran.
Walaupun tentunya aku juga masih menunggu hasil laporan lainnya, justru dari
prajurit sandi yang mencoba membayangi perkemahan itu dari sisi utara” Agung
Sedayu kemudian terdiam sambil memandang pangeran muda itu.
“Walau sebenarnya aku masih
berkeinginan mereka menyerah atau paling tidak memutuskan untuk menarik seluruh
pasukannya, Paman. Namun ternyata itu semua hanya mimpiku saja.” berkata
Pangeran Pringgalaya,
Agung Sedayu, bahkan Ki Jayaraga
nampak tersenyum mendengar perkataan Pangeran Pringgalaya tersebut.
Ki Jayaraga lalu mendahului berucap,
“Sudah berulang kali Angger Pangeran, bahkan sejak Ayahanda Pangeran sendiri
masih ada. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka selalu memberi kesempatan
kepada siapapun mereka untuk menyelesaikan perbedaan itu tanpa harus ada korban
nyawa”.
Akan tetapi ucapan Ki Jayaraga
menjadi terputus, di saat mereka melihat kuda Rara Wulan telah berhenti di luar
pagar.
“Kelihatannya ada yang penting,
Paman”, desis Pangeran Pringgalaya disaat melihat Rara Wulan tengah terburu
buru menambatkan kudanya.
Dan sebenarnyalah begitu naik ke
pendapa dan memberi salam hormat kepada Pangeran Pringgalaya, Rara Wulan segera
bertanya kepada Ki Jayaraga.
“Apakah Kakang Glagah Putih masih
belum keluar dari sanggar, Kyai.”
Ki Jayaraga sendiri yang sudah mulai
mengira ngira maksud sebenarnya dari ucapan Rara Wulan itu, lantas segera
menjawab.
“Kapan pun dia bisa keluar dari
sanggar, bukankah dua hari yang lalu, kau sendiri yang menyiapkan landa
merangnya.”
“Apa ada kabar lainnya, Nyi?”
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam
seakan baru menyadari ketergesa-gesaannya itu. “Maafkan aku, Pangeran. Ini
semua karena keyakinan dari para prajurit sandi itu.”
“Apakah semua sudah datang, Rara?” tiba-tiba
menyela Agung Sedayu.
“Dua prajurit dengan Ki Lurah Hadi
Suprana tengah menuju kemari, Kakang. Mereka akan melaporkan hasil dari
tugasnya langsung kepada Kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu sejenak menoleh ke arah Sekar Mirah yang duduk di sebelahnya.
Mengerti akan maksud suaminya itu,
Sekar Mirah pun lantas berkata. “Aku akan segera mengumpulkan para perempuan
untuk segera bersiap di dapur umum, Pangeran. Mungkin mulai malam ini para
pengawal serta prajurit lainnya sudah tidak mempunyai kesempatan untuk pulang
ke rumah atau kembali ke baraknya.”
Dan seperti yang telah dikatakan Rara
Wulan, derap tiga ekor kuda telah berhenti di depan pintu pagar rumah Agung
Sedayu. Setelah menambatkan kuda-kuda mereka di patok-patok dekat pohon jambu
sukun, Ki Lurah Hadi Suprana bersama dua prajurit sandinya segera menemui Agung
Sedayu.
“Silahkan segera laporkan kepada
Paman Agung Sedayu hasil dari tugas kalian itu”, desis Pangeran Pringgalaya.
Sebenarnyalah, mereka yang berada di
pendapa itu lantas berdiam mendengarkan dengan sungguh-sungguh laporan dari dua
orang prajurit sandi itu.
Ki Jayaraga berkali-kali harus
menarik nafas dalam-dalam dengan kepalanya yang semakin tertunduk.
Setelah para prajuritnya itu selesai
bicara, Agung Sedayu pun berkata. “Ternyata mereka sudah benar-benar jemu dan
terpancing untuk mendahului melakukan serangan.”
“Masih ada kesempatan satu hari bagi
pasukan kita untuk lebih mematangkan serta melengkapi kekurangan-kekurangan
yang lain.”
“Silahkan Pangeran”, lanjut Agung
Sedayu.
“Baiklah. Aku akan mengumpulkan semua
senapati di rumah Ki Gede saat tabuh pertama. Karena saat itu adalah waktu yang
paling aman dari kemungkinan masuknya para telik sandi Panaraga. Justru disaat
mulai tabuh pertama itulah seakan akan gelar baris pendem para pengawal telah
melingkupi seluruh celah di Tanah Perdikan ini.Dan semoga mulai besok Ki Glagah
Putih telah kembali menemani Ki Prastawa dalam memimpin para pengawal dalam
keseluruhan”
“Bagaimana menurut pendapatmu, Paman
Sedayu?”
“Benar seperti yang Pangeran katakan.
Paling tidak kita harus lebih mengurai secara keseluruhan, baik mengenai medan
maupun gelar dalam pasukan kita sendiri. Untuk itu aku akan perintahkan
beberapa prajurit untuk ikut memperketat gelar baris pendem dalam penjagaan
rumah Ki Gede Menoreh. Dan untuk Glagah Putih, seperti yang tadi Ki Jayaraga
bilang, dia tinggal dalam pemulihan wadagnya saja.”
“Bahkan tadi Glagah Putih telah menemui
Angger Prastawa di banjar padukuhan, Pangeran.” Ki Jayaraga mengangguk begitu
selesai berkata.
“Baiknya kita segera menyiapkan diri,
Paman. Aku akan segera menemui Ki Gede Menoreh dahulu, dan kita akan berkumpul
sesuai waktu yang telah kita sepakati”. kata Pangeran Pringgalaya.
Sebenarnyalah, Pangeran Pringgalaya
bersama dengan Ki Lurah Hadi Suprana dan dua prajurit sandinya telah bergegas
menuju rumah Ki Gede Menoreh.
Sementara itu, di kediaman Agung
Sedayu, seketika itu juga hampir semua penghuninya telah mempersiapkan diri. Sekar
Mirah ternyata yang keluar rumah terlebih dahulu. Justru tanpa ada ganjalan
sedikit pun, begitu Rara Suhita yang mengatakan terlebih dahulu untuk ikut
membantu pekerjaan di dapur umum.
“Apakah Kakangmbok tidak akan terjun
ke medan, bertanya Rara Suhita disaat keduanya telah berjalan bersama.”
Sekar Mirah tersenyum sesaat.
Katanya, “Sama seperti yang kau lakukan Nimas. Bukankah kau juga mengenakan
pakaian khususmu di balik kain jarik itu.”
Senyum tersungging di bibir Rara
Suhita.
“Apa yang kita kerjakan ini juga
bagian dari tanggung jawab agar Tanah Perdikan mampu melewati ujian ini, Nimas.
Dan aku mengerti landasan hatimu sehingga kau sendiri yang tadi memintaku untuk
mengajakmu ke dapur umum.”
Rara Suhita hanya mengangguk-angguk
kecil, sambil tertunduk seolah sedang ikut menghitung tapak kakinya itu. Namun
sesaat kemudian tiba-tiba justru Rara Suhita yang seakan menahan langkah Sekar
Mirah. Nampak kerut tipis di dahi Rara Suhita memandang perempuan yang
diakuinya sebagai gurunya tersebut.
“Apakah Kakang mbok lupa dengan
tongkat perguruan?”
Sekar Mirah yang semula terkejut,
akhirnya menjadi tersenyum. “Tanah Perdikan mungkin hanya tinggal menunggu
waktu saja Nimas, disaat pasukan segelar sepapan itu akan memaksakan
kehendaknya atas tanah ini. Dan sangat tidak pantas, andai aku menganggap tidak
perlu membawa tongkat warisan dari guru.”
Masih dengan tersenyum, Sekar Mirah
lalu menyingkap kain panjangnya. Dan di sisi pakaian khususnya terlihat tongkat
baja putih tergantung pada seutas tali yang seolah saling melilit pada seluruh
badannya.
Wajah Rara Suhita tiba-tiba menjadi
berseri-seri. Kedua mata Rara Suhita seolah-olah tiada berhentinya bergantian
memandang wajah Sekar Mirah dan tongkat baja putih tersebut.
“Apakah kau tahu, Nimas, tali yang
membelit yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai wadah dari tongkat ini?” Sekar
Mirah bahkan menjadi tertawa perlahan, dan tanpa menunggu perempuan muda
didepannya itu menjawab, kembali ia berkata. “Kalau kau pernah mendengar
senjata cambuk yang selalu melilit di pinggang kakang Agung Sedayu,
sebenarnyalah tali yang melilit di senjataku ini adalah janget kinatelon, yang
menjadi bahan utama dari cambuk kakang Agung Sedayu itu sendiri.”
“Dan Kakangmbok akan merasa selalu
ada di dekat Ki Rangga.”
Wajah Rara Suhita menjadi semakin
berseri seri. Tidak tahu mengapa di dalam hatinya perasaan gembira yang tulus
seakan akan tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sekar Mirah pun kemudian telah
menarik tongkat baja putih itu dari tempatnya. Ditimangnya sebentar, lalu
berkata.
“Apakah kau ingin memegangnya, Nimas?”
“Apakah kau ingin memegangnya, Nimas?”
Tanpa menunggu jawaban, Sekar Mirah
telah menarik tangan Rara Suhita dan meletakkan tongkat tersebut. Dan seolah
olah Rara Suhita sendiri tanpa sadar telah menggenggam tongkat itu dengan kedua
tangannya.Namun sejenak kemudian, seakan baru tersadar akan sesuatu, Rara
Suhita cepat-cepat berkata. “Suatu kehormatan, Kakangmbok telah mengijinkan aku
untuk memegang panji kebesaran perguruan Kedungjati ini. Justru tongkat ini
yang pertama kali lahir, sebelum tongkat yang kedua itu akhirnya dibuat.”
Hanya sejenak, Rara Suhita telah
mengembalikan tongkat baja putih itu ke tangan Sekar Mirah kembali.
Setelah Sekar Mirah telah menyelipkan
senjatanya tersebut, berkatalah Rara Suhita, “Pasti berbeda rasanya Kakangmbok,
di saat memegang tongkat kebesaran itu atas ijin dari pewaris sahnya
dibandingkan dengan cara yang pernah dilakukan oleh Ki Saba Lintang dan para
pengikutnya itu.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil
mengajak Rara Suhita untuk berjalan kembali. “Andai dulu eyang guru sudah
mengetahui kebenaran jalur tongkat kebesaran yang dipegang Kakangmbok itu,
pasti aku telah disuruh untuk menemui Kakangmbok. Justru disaat Ki Saba Lintang
tengah gencar-gencarnya menebar racun kepada murid-murid murni Kedungjati.”
Sekar Mirah memandang sejenak
perempuan yang berjalan bersamanya itu. Tanpa berkata, Sekar Mirah kemudian
telah memandang ke depan kembali.
“Seperti itulah mengapa eyang guru,
seperti yang telah aku katakan kepada Kakangmbok Sekar Mirah, selalu
mewanti-wantiku agar jangan sampai lupa untuk menyampaikan permohonan maafnya.
Eyang guru merasa bersalah yang sangat besar karena telah membiarkan perguruan
Kedungjati diguncang prahara, yang akan menjadikannya runtuh itu. Dan yang
membuat Eyang guru berniat ingin menutup padepokan kecilnya itu adalah perasaan
malu dan merasa tidak pantas memimpin padepokan, justru karena padepokan itu
adalah temurun dari induk Kedungjati. Eyang guru telah membiarkan pimpinan
tertingginya, pemimpin utama perguruan Kedungjati harus berdiri sendiri mengadu
jiwa demi mengembalikan nama baik perguruan.”
“Ah, sudahlah Nimas”, desis Sekar
Mirah.
Dipandanginya wajah saudara
seperguruannya itu.
Walau hanya setitik, namun samar-samar, nampak air mata mengembun di sudut mata Rara Suhita.
Walau hanya setitik, namun samar-samar, nampak air mata mengembun di sudut mata Rara Suhita.
“Itu sudah berlalu, Nimas. Bukankah
telah aku katakan, kabar yang diterima eyang guru saat itu adalah dari
orang-orang yang mengaku-aku saja dari jalur Kedungjati.”
“Dan atas doamu Nimas”, menjadi
perlahan suara Sekar Mirah. “Tanah Perdikan akan tenang kembali. Aku akan
mengajak kakang Agung Sedayu ke padepokanmu.”
“Aku sangat berterima kasih,
Kakangmbok. Eyang Guru pasti akan sangat gembira, justru disaat keberaniannya
untuk menemui Kakangmbok telah pupus sama sekali.”
“Bukan itu penyebabnya. Bukankah
telah kau ceritakan kepadaku, bahwa saat ini juga ada orang-orang yang
mempunyai niat yang sama seperti yang pernah Ki Saba Lintang lakukan. Bahkan
menurut perkiraanmu mempunyai keinginan yang jauh melebihi tujuan dari Ki Saba
Lintang itu sendiri. Eyang gurumu pasti sedang berusaha menyelesaikan tugas
penting itu, Nimas. Justru disaat nama Perguruan Kedungjati kembali di sangkut
pautkan didalamnya.”
Rara Suhita mengangguk anggukkan
kepalanya. Dan ia akhirnya berbelok begitu tangan Sekar Mirah menyentuhnya,
ketika berdua telah sampai di jalan simpang. Dan sebenarnyalah mulai malam itu
semua kesiagaan di Tanah Perdikan telah meningkat. Di kelompok pengawal sendiri
yang semula masih terbagi-bagi untuk bergilir, sejak malam itu Prastawa telah
menjatuhkan perintah untuk selalu siaga penuh di tempat yang telah ditentukan. Prastawa
yang sempat bertemu dengan Glagah Putih di pendapa rumah Ki Gede, akhirnya
telah memutuskan untuk menarik jajaran ketiga untuk menjadi pasukan cadangan. Justru
karena Pasukan pengawal, atas wewenang Ki Gede Menoreh akan berada di induk
gelar.
“Apakah aku tidak salah dengar?
bertanya salah seorang dari pemimpin pengawal.”
“Tidak. Sebenarnyalah para pengawal
akan mengisi medan di induk gelar”, jawab Prastawa.
“Untuk itulah aku telah menarik semua
pengawal cadangan dan menggantinya dengan jajaran ketiga.”
“Apa gelar yang akan dipakai, Ki
Prastawa? bertanya pengawal lainnya.
“Garuda Nglayang”, jawab Prastawa.
Sebenarnyalah akan di buat tidak
utuh. Namun begitu Pangeran Pringgalaya mengetahui bahwa pengawal tanah
perdikan mempunyai empat jajaran, maka kita diijinkan untuk membuat menjadi
utuh.
“Aku kurang mengerti Angger
Prastawa”, berkata anggota pengawal yang rambutnya sudah mulai memutih.
“Nanti akan ada perintah selanjutnya,
Ki Nawa. Justru tentang lentur kerasnya induk gelar Garuda Nglayang tersebut.”
Dan seperti yang sudah diperkirakan
oleh para senapati dan Ki Gede Menoreh sendiri, sebenarnyalah para telik sandi
pasukan Panaraga telah diperintahkan untuk lebih meningkatkan dalam gelar
sandinya. Bahkan perintah itu tegas tidak saja untuk mengamati seberapa besar
kekuatan para pengawal yang telah disusun dalam gelar, namun lebih meluas untuk
membayangi semua padukuhan-padukuhan sekitar.
Prastawa yang saat itu sedang
berbincang-bincang di banjar padukuhan induk pun, tidak luput dari pengamatan
para telik sandi.
“Itukah para pemimpin dari pengawal
itu?”
“Yang pasti mereka bukan pengawal
kebanyakan,” jawab telik sandi yang kedua.
“Ternyata hanya dua lapis seperti
yang nampak dalam gelar di tengah bulak itu. Apa mereka kira kita akan tertipu
dengan perkemahan kosong yang sengaja dibuat berjejeran itu?”
Orang kedua hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mari kita lebih masuk ke dalam, lanjut telik
sandi pertama. Biarkan orang-orang itu menikmati umurnya yang tinggal menunggu
sesaat.”
“Mungkin saja mereka sudah hilang
akal, hingga masih saja bisa terkantuk-kantuk di banjar”, sahut orang kedua
sambil menahan tertawanya yang hampir tidak tertahan.
Akhirnya kedua orang itu telah pergi
menghilang di tengah-tengah lebatnya tanaman jagung.
Dan dalam pada itu, justru di saat
malam telah melewati puncaknya, seakan akan hampir di setiap sudut di
padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan tidak ada yang luput dari pengawasan para
prajurit sandi pasukan Panaraga ataupun Perguruan Semu.
Dan begitu ada sesuatu yang menarik
perhatian, mungkin meningkatnya kesiagaan atau pergerakan para pengawal,
seketika itu juga secara berantai para telik sandi itu segera memberikan
laporan ke induk pasukan.
Sebenarnyalah tidak hanya sebatas
padukuhan-padukuhan dan tempat-tempat yang mungkin bisa untuk menyiagakan
pasukan, para telik sandi itu juga menyebar sampai di bukit-bukit atau hulu
sungai.
Justru di saat tempat-tempat atau
hulu sungai itu ada di sisi selatan Tanah Perdikan.
“Mari kita dekati dua orang yang
sedang menunggu jaring ikannya itu.”
“Kelihatannya dua anak muda dungu”,
jawab orang yang diajak bicara.
“Mungkin saja itu para pengawal yang
sengaja menyamar untuk mengelabuhi kita.”
Kawannya itu hanya mengangguk-angguk,
tanpa menjawab lagi. Justru ketika telah mendekati tempat dua orang yang tengah
menunggu jaring ikannya tersebut. Salah seorang hanya berpaling sejenak di saat
ada dua orang yang berjalan mendekat ke tempatnya.
Dua orang yang baru datang seketika
menjadi heran begitu melihat sikap dua orang pencari ikan itu. Bahkan terhadap
yang satunya, seakan tidak menganggap sama sekali kehadiran mereka berdua.
“Mungkin airnya terlalu deras
Kisanak”, berkata salah seorang yang baru datang yang sebenarnya adalah para
telik sandi Panaraga itu.
Tidak ada jawaban, hanya tatapan
sesaat dari salah seorang.
“Mungkin di bukit hujan kemarin malam
sangat lebat Kisanak”, lanjut seorang anggota telik sandi tersebut.
Mengerti belum ada jawaban, telik
sandi yang satunya mengumpat-umpat dalam hati. Dengan menahan marah berucap,
“Apakah kau lapar hingga telingamu menjadi tuli? Barangkali kalian lupa membawa
bungkusan nasi yang telah disiapkan biyungmu.”
Tiba-tiba seorang yang semula hanya
diam tanpa mau memalingkan wajahnya itu telah berteriak dengan setengah
menjerit.
“Apa mau kalian, orang-orang
sombong?! Apakah kerjaan para pengawal itu hanya mengganggu orang-orang pencari
ikan seperti kami ini.”
“Sudahlah, Kasru! Berkata yang
seorang lagi sambil menahan lengan kawannya yang memukul-mukul tanah pasir di
tepian sungai sambil berteriak teriak itu.
Sementara itu dua orang telik sandi
tersebut menjadi diam terpaku di tempatnya. Mereka hanya saling pandang satu
sama lain. Walau sebenarnya kata-kata yang dilontarkan sambil menjerit jerit
itu juga mampu mereka tangkap dengan jelas.
“Apa kalian akan memukuli kami lagi?”
Tiba-tiba bertanya orang yang baru saja menenangkan kawannya tersebut. “Kalau
kalian mau bersikap adil dan tidak sewenang-wenang, tentunya kalian tidak akan
sampai di sungai ini. Apakah memang kalian di perintahkan untuk nganglang
sampai padukuhan Wuni?”
“Atau barangkali Ki Demang Kronggahan
telah menyerah-kan padukuhan Wuni menjadi wewenang Tanah Perdikan.”
Pencari ikan itu lalu tersenyum
tipis. Kepalanya menggeleng-geleng sambil berucap perlahan yang hampir tidak
ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Aku memang bagian dari pemuda bodoh
itu. Dan sudah sepantasnya kalau Padukuhan Wuni menjadi pelayan dari Tanah
Perdikan yang makmur. Tanah Perdikan yang dijaga ratusan, bahkan ribuan
pengawal yang kuat dan sudah terkenal sampai ke seluruh pelosok bumi Mataram.”
Dalam pada itu, dua telik sandi
Panaraga tersebut seolah olah tanpa sengaja telah mengangguk anggukkan
kepalanya.
Semakin lama keduanya telah mengetahui dengan siapa saat itu mereka tengah berhadapan. Lalu, kedua telik sandi tersebut kembali saling pandang satu sama lain.
Semakin lama keduanya telah mengetahui dengan siapa saat itu mereka tengah berhadapan. Lalu, kedua telik sandi tersebut kembali saling pandang satu sama lain.
Begitu isyarat telah saling
dimengerti, lalu berkata lah salah seorang telik sandi tersebut. “Kisanak
berdua, sebelumnya tolong dimaafkan perkataan kawanku ini. Mungkin dia tidak tahu
kalau Kisanak berdua sedang sungguh-sungguh mencari ikan, tidak sedang
melakukan pekerjaan yang lain.”
“Apa kalian buta, tidak melihat
jaring, ember serta cangkul ini?!”
Selesai berkata, pencari ikan yang
dipanggil Kasru itu menatap tajam wajah kedua anggota telik sandi Panaraga
tersebut.
“Kami yang terburu buru, Kisanak.
Namun setelah mendengar apa yang Kisanak katakan, kami menjadi tahu bahwa
Kisanak sedang mencari ikan, justru di sungai padukuhan Kisanak sendiri.”
“Jadi Padukuhan Wuni masih menjadi bagian
dari Kademangan Kronggahan, belum menjadi pelayan dari Tanah Perdikanmu itu?”
Bertanya pencari ikan satunya
“Aku tidak tahu akan hal tersebut,
Kisanak. Justru karena kami bukan anggota pengawal.”
“He, kau akan menipu kami. Dan
setelah puas dengan permainanmu itu, baru kau dan temanmu akan bersama sama
memukuli kami!”
Telik sandi yang berbicara itu
sejenak memandang kawannya. Setelah kawannya memberi tanda anggukan kecil,
salah seorang petugas telik sandi tersebut kembali berkata. “Kisanak, kalau kau
mengerti tanda pengenal keprajuritan, kalian akan percaya kalau kami memang
bukan pengawal.”
Telik sandi itu segera menyingkap
pakaian hitamnya.
“Ini adalah sebagai bukti, kami sungguh-sungguh bukanlah anggota dari pengawal Menoreh Kisanak”, lanjut telik sandi itu sambil mengurai ikat pinggangnya.
“Ini adalah sebagai bukti, kami sungguh-sungguh bukanlah anggota dari pengawal Menoreh Kisanak”, lanjut telik sandi itu sambil mengurai ikat pinggangnya.
“Perhatikan timang perak ini,
Kisanak!”
Orang yang bernama Kasru hanya
menggeleng-geleng begitu ikat pinggang itu diletakkan di tangannya. Seketika
itu juga telah diberikan kepada kawannya.
“Aku sebenarnya bagian dari prajurit,
namun bukan dari Mataram. Coba Kisanak baca tulisan yang menyerupai bulan sabit
itu. Juga gambar yang seakan sedang dipangkunya tersebut.”
Dahi pencari ikan yang satunya itu
nampak berkerut-kerut memperhatikan semua badan dan bagian-bagian dari timang
perak itu.
Sejenak kemudian, telah diserahkan
kembali timang yang melekat pada ikat pinggang tersebut. “Aku tidak bisa
membacanya, terlalu kecil tulisan itu, juga seolah sengaja dibuat buat oleh
pandai besinya dulu. Akan tetapi aku belum pernah melihat gambar seperti yang
ada di ikat pinggangmu itu.”
“Apakah kau pernah melihat lukisan
gambar pada timang keprajuritan sebelumnya, Kisanak?” Bertanya telik sandi.
Pencari ikan diam sesaat, lalu
menjawab. “Tetapi tidak sama seperti milikmu itu.”
“Dan ketahuilah Kisanak, paling tidak
dalam satu kadipaten yang dalam wewenang seorang adipati, khusus untuk
keprajuritan akan mempunyai tanda pengenal yang sama. Yang membedakan hanya
bahan dari pembuatan timang itu sendiri. Tentu bagi seorang patih, tumenggung
atau panglima senapati lainnya, akan terbuat dari emas bukan dari perunggu atau
perak seperti milikku ini.”
“Jadi kalian bukan prajurit Mataram?
He, atau barangkali kau akan berkunjung ke rumah Ki Bekel Wuni. Namun
terlambat, kakak Ki Bekel Wuni yang dulu prajurit Pajang itu telah dikuburkan
lewat senja tadi.”
Sejenak terlonjak dan menjadi
berbinar binar, seakan berubah menjadi bersahabat tatapan mata pencari ikan
tersebut.
Telik sandi itu sendiri menjadi
tersenyum. Dipandanginya kawannya sesaat, seakan akan memberi isyarat bahwa
keinginan mereka berdua kemungkinan akan berhasil.
“Rumah Ki Bekel sudah tidak terlalu
jauh lagi”, lanjut pencari ikan. “Mungkin benar yang kau katakan tadi, air
sungai terlalu deras. Kalau sabar menunggu, kalian bisa bersama kami setelah
jaring terakhir ini aku angkat.”
Kedua telik sandi itu sama-sama
mengangguk anggukkan kepala, namun lantas berucap salah seorang, “Kisanak
ternyata kalian orang baik. Sungguh beruntung kami berdua bisa bertemu dengan
kalian di tempat ini. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa terima kasih, kami
mohon maaf Kisanak karena sebenarnya kami bukanlah prajurit Pajang yang akan
melayat ke Padukuhan Wuni. Justru kami adalah prajurit Panaraga.”
Seperti mendengar suara petir yang
menyambar tebing-tebing padas di tepian sungai, seakan akan dua orang pencari
ikan tersebut telah terlonjak dari tempatnya. Tanpa menyadari sebelumnya,
seorang pencari ikan, justru yang jarang bercakap itu telah terpeleset dan
terpelanting masuk ke dalam kedung sungai.
Sebenarnyalah kedua orang telik sandi
itu segera menyadari keadaan. Salah seorang diantaranya telah bergerak cepat
mematahkan ranting pohon dan segera melompat ke atas tebing, lalu menjulurkan
ranting pohon sebesar pergelangan tangan itu masuk kedalam sungai tersebut.
Namun sebenarnyalah orang yang
dipanggil Kasru itu cukup pandai berenang. Hanya sesaat nampak wajah telik
sandi berubah cerah, begitu dirasakannya ranting kayu tersebut ada yang
menarik-nariknya dari bawah.
Seperti tidak ingin menjadi terlambat
semuanya, telik sandi itu telah menarik keras-keras ranting pohon yang
tenggelam hampir setengahnya tersebut. Begitu keras tarikannya, hingga telik
sandi itu tidak dapat menguasai kuda-kuda sepenuhnya dan akhirnya tubuhnya ikut
terjengkang menabrak pohon Asem di sebelahnya.
Sementara itu, kawan telik sandi
satunya yang berjaga di tengah aliran sungai, menjadi tidak kuat menahan
tertawanya.
Di saat menyaksikan kawannya harus terjengkang dan akhirnya berguling menelungkup di balik akar pohon, justru pencari ikan yang tenggelam telah mampu menepi dengan selamat berkat hentakan kuat itu.
Di saat menyaksikan kawannya harus terjengkang dan akhirnya berguling menelungkup di balik akar pohon, justru pencari ikan yang tenggelam telah mampu menepi dengan selamat berkat hentakan kuat itu.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah
beberapa pasang mata ternyata sedang mengawasi kejadian di tepian sungai itu. Tidak
hanya dari balik lebatnya semak di sisi timur sungai, namun beberapa orang juga
dengan sengaja membayangi, justru dari atas pohon dengan bersembunyi di balik
ranting dan dahan.
Dua orang yang kelihatannya adalah
pimpinan kelompok pengintai itu, nampak begitu sungguh-sungguh, seakan tidak
ingin ada yang terlewat dari semua percakapan orang-orang di tepian sungai
tersebut. Namun begitu, sebenarnyalah semakin lama mereka berdua sedikit demi
sedikit telah bergeser agak menjauh dari tepian sungai.
Justru disaat keduanya telah merasa
tujuannya menunjukkan hasil. “Bagaimana semisal telik sandi itu benar-benar
bersedia ikut ke Padukuhan Wuni?”
Orang yang di ajak bicara hanya
menggeleng sambil menutup mulutnya kuat-kuat. “He, kau ini masih bisa tertawa
juga. Apakah kau juga akan melakukan itu, andai Ki Prastawa yang bertanya?”
Setelah sejenak menahan mual akibat
desakan ketawanya, orang itu akhirnya berkata perlahan. “Aku tadi membayangkan
andai yang kau ucapkan itu benar terjadi. Apakah kau lupa Ki Bekel Wuni itu
adalah anak pertama. Coba bayangkan tiba-tiba Ki Bekel Wuni kedatangan prajurit
Pajang yang ingin melayat kakaknya yang telah meninggal.”
“Kakaknya yang dulu prajurit atau
barangkali lurah prajurit Pajang, begitu kan yang kau maksud?”
Akhirnya tidak hanya seorang saja,
namun keduanya menjadi sama-sama tidak kuat menahan ketawanya. Bahkan mereka
berdua yang sebenarnya adalah para pengawal dalam gelar baris pendem itu harus
membungkam kuat-kuat mulut mereka dengan kedua tangan masing-masing.
“Tetapi mereka berdua cukup cerdik,
beruntung Kasru pandai berenang sehingga dia mampu berlama lama di dalam kedung
itu.”
Setelah mampu menguasai dirinya,
salah seorang pengawal tersebut menjawabnya. “Akhirnya kedua telik sandi itu
akan memberi laporan bahwa induk pasukan memang benar-benar hanya dua lapis,
justru di saat perkemahan-perkemahan itu hanya untuk mengelabuhi.”
Pengawal kawannya mengangguk
anggukkan kepalanya.
Sementara itu tidak terlalu jauh dari
tepian sungai, sebenarnyalah berlindung di bawah rapatnya pepohonan, terlihat
beberapa gubuk sederhana yang seakan dengan sengaja telah didirikan agak
berjauhan. Tidak terlihat sama sekali, seolah olah hanyalah batang-batang dari
pepohonan yang tumbuh silang menyilang. Justru atap yang hanya dari tumpukan
ranting dan alang-alang, semakin menyamarkan gubuk-gubuk tersebut. Alang-alang
yang tumbuh meranggas di sekitar pepohonan itulah yang akhirnya terlihat dari
kejauhan, andai ada orang yang tidak sengaja melalui tepian hutan di pinggir
sungai itu.
Prastawa atas persetujuan Ki Gede
Menoreh telah menyiapkan jauh-jauh hari persiapan persiapan tersebut. Bahkan
yang baru saja dilakukannya, justru juga atas petunjuk Pangeran Pringgalaya
selaku Senapati medan, Prastawa telah menarik sebagian para pengawal untuk
membuat gelar tersembunyi di balik bukit tersebut. Bahkan, hampir separo lebih
Prastawa telah menarik pasukannya, walau tidak semua ditempatkan di sekitar
sungai tersebut.
Dua orang pengawal pengintai telah
kembali ke kelompoknya, justru di saat kedua orang telik sandi Panaraga itu
telah pergi dari tepian sungai itu.
“Apakah sudah pada kedudukannya
masing masing, anggota yang mendapat giliran jaga?” Bertanya salah seorang
pengawal setengah tua yang sebenarnya adalah pemimpin dari kelompok pengawal
itu sendiri.
“Sudah semua Ki Marta”, jawab seorang
pengawal. “Semua sudah digantikan tepat saat tabuh terakhir.”
Walau masih terlihat samar samar,
namun dari kejauhan oncor kecil di gubuk itu seakan-akan hanyalah biasan dari
kilat yang kadang masing sering muncul di langit.
“Sebenarnya aku tidak menyangka para
telik sandi itu juga jauh sampai ke bagian dalam Tanah Perdikan ini”, lanjut
pemimpin pengawal yang dipanggil Ki Marta tersebut.
“Namun Kasru telah mampu meyakinkan
dua telik sandi itu”, sahut salah seorang pengawal. “Hingga telik sandi itu
meyakini bahwa kekuatan para pengawal hanyalah dua lapis tersebut.”
“Bukankah Kasru adalah pengawal dari
jajaran kedua?”
“Benar, Ki Marta” Kali ini yang
menjawab adalah pengawal paling muda di antara pemimipin kelompok di dalam
gubuk utama itu.
“Namun Ki Prastawa telah memberi
perintah untuk menjadikan satu dari dua jajaran tersebut. Tentunya tetap dalam
kendali pemimpin kelompok atau regunya masing masing.”
“Semoga apa yang telah direncanakan
memang seperti itulah kenyataannya nanti.” Terdengar Ki Marta bergumam
perlahan, seakan hanya kepada dirinya. Kemudian, dia pun melanjutkan
pembicarannya, “Andai memang benar benar terjadi, semoga tidak sampai matahari
terbenam, perang itu telah usai. Aku yakin Ki Gede Menoreh, juga para pemimpin
lainnya tidak deksura seolah tidak menganggap sama sekali kekuatan pasukan segelar
sepapan itu. Namun sebenarnyalah, para pemimpin Mataram masih berupaya untuk
menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Kanjeng Adipati Panaraga.
Justru tentang keberadaan Perguruan Semu dengan segala maksud maksud
tersembunyinya tersebut.”
Para pemimpin pengawal di gubuk utama
itu nampak sama sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun dalam hati,
mereka tidak akan pernah surut meski Menoreh terbakar ilalang, justru di saat
raga mereka masih bernyawa, namun mereka adalah bagian dari pengawal Tanah
Perdikan maupun Mataram pada umumnya. Mereka akan selalu mendengar dan
menjalankan perintah dari pemimpinnya. Justru di saat perang yang sudah
dihadapan mata itu, adalah untuk memaksa para senapati Panaraga menarik semua
pasukannya disaat telah melihat keadaan medan yang sesungguhnya.
“Sesuai perintah Ki Prastawa, kita
harus selalu dalam kesiagaan tertinggi”, kembali berkata Ki Marta. “Dan besok
pagi panah panah cadangan itu harus sudah terkumpul dalam kelompok masing
masing!”
Sebenarnyalah upaya yang telah
dilakukan oleh Ki Gede Menoreh serta para Senapati lainnya telah menunjukkan
hasilnya. Walau ada satu, dua anggota pengawal yang masih terjebak oleh para
telik sandi itu, namun sesungguhnya semua laporan para prajurit sandi tersebut
telah membuat para senapati Panaraga dan Perguruan Semu menjadi semakin yakin
akan keberhasilan pasukannya.
“Baiklah, namun tetap perintahkan
para telik sandi untuk melakukan tugas sandinya, justru besok adalah waktu yang
menentukan akan keberhasilan pasukan kita.”
Ki Kebo Langitan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Walau sebenarnya perintah yang turun kepadanya telah memberitahu
bahwa Menoreh tidak lagi menjadi tujuan utama, justru disaat Panaraga
memutuskan untuk menunggu kedatangan pasukan Mataram, namun ia tetap ingin memberi
kehancuran nyata, yang nantinya akan selalu dirasakan olah para penduduk Tanah
Perdikan di kemudian hari.
“Andai Ki Pideksa kembali berada di
pasukan”, gumam Panembahan Gede memecah keheningan sejenak di perkemahan utama
itu.
“Sudahlah Panembahan, potong Ki Kebo
Langitan. Apakah Panembahan kurang yakin dengan kekuatan kita saat perang senapati
nanti?”
“Ki Kebo Langitan”, menyela
Tumenggung Jaya Wiguna. “Ternyata Panaraga tetap menambah dua kelompok
setingkat dibawah katumenggungan dan Adi Rangga Wirabaya, juga Ki Lurah Naga
Wuragil ada bersamanya.”
Ki Kebo Langitan menjadi
berdebar-debar sesaat, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiaannya, justru di
saat Tumenggung Jaya Wiguna menyebut nama senapati dari pasukan cadangan
Panaraga tersebut.
“Siapa Naga Wuragil itu, Adi
Tumenggung?”
Empu Waringin pun tampak beringsut
setapak bergeser mendekat ke sisi Senapati Panaraga itu.
“Dia dulu murid dari Perguruan
Nagaraga, Ki Kebo Langitan.”
“He, maksudmu Perguruan Nagaraga di
sekitar Madiun itu?!”
Ki Ageng Panjerbumi kembali teringat
dalam benak tentang cerita pertempuran yang seakan benar-benar di luar nalarnya
itu.
“Benar Ki Ageng”, jawab Tumenggung
Jaya Wiguna. “Kabar saat Mataram mampu menghancurkan tapis Padepokan Nagaraga,
ternyata tidak keseluruhannya benar. Justru Ki Lurah Naga Wuragil ini telah
mampu untuk tidak bergantung kepada kekuatan ular naga lagi.”
“Iya, karena naga itu telah mati di
tangan Raden Rangga”, desis Panembahan Gede sambil tertawa lirih
“Apakah Panembahan Gede tidak percaya
kepada kemampuan kanuragan Ki Lurah Naga Wuragil?”
Nampak Tumenggung Jaya Wiguna menatap
wajah Panembahan Gede lekat-lekat.
“Ah, Bukan begitu yang aku maksud Ki
Tumenggung.” Ada perasaan menyesal dalam hati Panembahan Gede disaat yang telah
ia utarakan itu ternyata membuat tersinggung senapati Panaraga tersebut.
Dengan bibir yang tetap tersenyum,
Panembahan Gede melanjutkan perkataannya. “Baiklah Ki Tumenggung, Ki Kebo
Langitan serta senapati lainnya. Aku akan meluruskan ucapanku tadi biar semua
menjadi jelas adanya. Justru disaat Adi Tumenggung Jaya Wiguna menyebut tentang
nama Naga Wuragil. Bukan aku menganggap rendah tingkat ilmu serta kanuragan
atas Ki Lurah Naga Wuragil, namun sebaliknya aku menjadi senang ketika Adi
Tumenggung telah mengatakan bahwa Naga Wuragil sudah bisa terlepas dari
ketergantungan akan kekuatan dari ular naga tersebut.”
Dalam pada itu, Ki Kebo Langitan pun
menyela, “Apakah Panembahan Gede kenal dengan Ki Lurah itu?”
“Tidak Ki Langitan. Bahkan baru
pertama kali ini aku dengar tentang nama Lurah tersebut. Akan tetapi Ki
Nagaraga sendiri lah yang dahulu pernah berkawan dekat denganku.”
“He, benarkan Panembahan.” Ki Kebo
Langitan menjadi sedikit terkejut, yang akhirnya seolah tanpa disadari duduknya
pun menjadi bergeser mendekat.
Sebenarnyalah cerita yang didengar
tentang apa yang pernah dilakukan Ki Nagaraga dengan padepokannya kala itu
seakan selalu membekas dalam ingatan Ki Kebo Langitan. Justru disaat Raden
Rangga yang berilmu diluar nalar itu harus terluka parah disaat bertempur
melawan ular naga.
“Benar, Ki Langitan. Bahkan boleh
dibilang aku dengan Ki Nagaraga adalah seperguruan, walau pada akhirnya kami
menjadi berbeda dalam pengetrapan watak ilmunya.”
Seakan hampir semua orang di
perkemahan utama para senapati tersebut saling mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki
Tumenggung Jaya Wiguna sendiri yang semula merasa di anggap tidak berati akan
kekuatan Pasukannya, akhirnya bernafas lega. Justru disaat perkataan Panembahan
Gede telah membuat dirinya menjadi mengerti maksud sebenarnya.
“Walau berbeda tetapi inti ilmunya
tetap sama.” Sambil tertawa Ki Ageng Panjer Bumi menatap wajah Panembahan Gede.
“Walau laku seperti yang aku pilih
dan mungkin yang sekarang juga dilakukan oleh Ki Lurah Naga Wuragil, memerlukan
waktu dua atau bahkan tiga kali lebih lama dari pada ketika menyerap langsung
dari sumber ular raksasa tersebut. Namun justru ilmu dengan alas kekuatan api
itu tidak akan berkurang sedikit pun disaat sedang jauh dengan ular naga atau
bahkan ular raksasa itu telah mati sekalipun.” Kata Panembahan Gede.
Ki Kebo Langitan sendiri setelah
sejenak berdiam sambil mendengarkan kawan-kawan senapatinya itu bercakap.
Akhirnya ia pun mencoba membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih mapan
dalam gelar pasukannya. Justru disaat mengingat atas jatuhnya perintah yang
hanya menghancurkan Menoreh tanpa menjadikannya sebagai landasan.
Panembahan Gede menjadi terkejut
begitu mendengar rencana Ki Kebo Langitan berikutnya. “Apakah Ki Langitan tidak
lebih baik tetap di paruh gelar seperti saat rencana awal?”
“Aku rasa gelar cadangan ini akan
lebih berhasil”, jawab Ki Kebo Langitan. “Apalagi Panaraga sudah tidak
memerlukan lagi Tanah Perdikan ini.” Ki Kebo Langitan berhenti sejenak,
selanjutnya, “Panembahan Gede akan menjadi senapati di induk gelar mengganti aku.
Dengan begitu dua lapis pengawal Tanah Perdikan itu akan cepat tumpas.”
Sesungguhnya Panembahan Gede sudah
dapat membaca apa keinginan dari pemimpin Perguruan Semu tersebut. Dengan alas
ilmu yang dimilikinya itu, Ki Kebo Langitan menginginkan sebelum matahari
sampai ke puncak para pengawal Tanah Perdikan sudah hangus menjadi abu.
“Baiklah Ki Kebo Langitan. Walaupun
tentunya tidaklah mudah, justru karena aku yakin di induk gelar pasukan mereka
pasti juga diisi oleh para senapati berilmu tinggi”, jawab Panembahan Gede.
Sebenarnyalah mulai akhir malam itu
dan hari berikutnya kedua pasukan baik Panaraga maupun Tanah Perdikan Menoreh
telah semakin dalam kesiagaan penuh. Pasar-pasar di padukuhan-padukuhan serta
padukuhan induk, yang sehari sebelumnya masih ada satu, dua orang yang tetap
berjualan maka mulai hari itu pasar-pasar itu menjadi kosong.
Para penduduk pun tidak ada yang
keluar rumah, walau hanya sekedar untuk menengok aliran air di parit sawah atau
tanaman di petegalan mereka. Keadaan padukuhan-padukuhan yang hari itu
sungguh-sungguh menjadi lengang, ternyata telah di anggap menjadi sesuatu yang
sangat wajar oleh para senapati pasukan gabungan. Justru di saat keyakinan
bahwa para pengawal telah di kerahkan seluruhnya di semua sisi.
“Apakah prajurit pemanah telah
bersiap sepenuhnya?” Kata Ki Kebo Langitan sambil tetap memandang induk pasukan
pengawal yang telah menggelar lengkap dengan umbul-umbul, rontek, klebet, atau
tunggul kebanggaan mereka.
“Dalam sepekan mereka selalu
berjaga”, jawab seorang prajurit Panaraga.
“Dan kau serta penghubung lainnya,
harus cepat-cepat menghindar dan melapor kepadaku, andai Mataram mengirimkan
bala bantuan prajuritnya. Justru di saat pasukan khusus Panaraga itu tidak
mampu menahan arus pasukan yang akan menyeberang tersebut.”
“Baik Senapati”, jawab prajurit
penghubung itu sebelum pergi.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh pun
telah menjatuhkan perintah untuk membuat gelar pasukannya menjadi utuh. Tidak
hanya di induk pasukan, namun di sayap-sayap gelar semua tanda baik itu tunggul
kebesaran maupun rontek, umbul atau klebet seakan dengan tengadah telah
memberitahu keberadaan mereka sebagai prajurit-prajurit Mataram. Bahkan di saat
tepat tengah hari, tiba-tiba Ki Gede Menoreh telah memberi perintah untuk
mengembalikan paruh gelar menjadi seutuhnya.
“Apakah tidak terlalu mencolok Ki
Gede”, gumam Pangeran Pringgalaya.
“Aku rasa tidak, Angger Pangeran”,
jawab Ki Gede Menoreh. “Setelah membuat murid-murid Perguruan Semu itu menjadi
sangat yakin bahwa perkemahan-perkemahan kita yang berderet itu kosong, maka
induk yang sedikit menyebar itu sudah tidak di perlukan lagi. Mereka akan
kembali berada di belakang paruh gelar.”
Pangeran Pringgalaya mendengarkan
dengan kepala terangguk angguk.
Dan akhirnya yang terlihat dari
kejauhan adalah bentangan yang berkelok yang kedua tepinya seakan terpisah,
karena begitu dalam tali penyambungnya.
Bentangan yang nampak begitu jelas
dan berlapis di paruh gelar pasukan para pengawal Tanah Perdikan. Seakan
deretan perkemahan di belakang paruh gelar itu bagai perisai kokoh yang
menyangga keutuhan paruh gelar.
Sebenarnyalah, perubahan gelar di
pasukan pengawal itu tidak luput dari pengamatan para senapati pasukan gabungan
dan dua orang prajurit Panaraga di sayap kiri gelar. Arya Alit dan Jaka
Panengah sungguh-sungguh mengamati keseluruhan gelar yang tiba-tiba telah
kembali menjadi Garuda Nglayang utuh tersebut.
“Panaraga dan Perguruan Semu
benar-benar terjebak”, gumam Jaka Panengah.
“Senapati Tanah Perdikan memang
memiliki pengalaman yang lebih, Kakang.”
Arya Alit tersenyum sambil menarik
nafas dalam-dalam. Dipandanginya saudara seperguruannya itu sejenak. Lalu ia
pun berkata, “Bukankah itu menjadi keuntungan bagi kita, Adi Panengah.”
“Benar Kakang. Dalam sehari anak-anak
Perguruan Semu itu akan tumpas, dan kita akan punya waktu lebih banyak lagi.”
“Harusnya kita memang menyelesaikan
orang-orang Jati Alit terlebih dahulu”, sahut Arya Alit. “Sehingga pada medan
ini aku akan bisa sedikit berkenalan dengan Agung Sedayu.”
Dua orang prajurit Panaraga itu masih
terus bercakap cakap di ujung hutan yang berbatasan dengan pategalan pategalan
bertingkat itu. Terkadang keduanya menjadi terdiam dan cepat-cepat menyamarkan
tubuhnya, disaat melihat kehadiran kawan-kawan mereka yang sedang tugas ronda.
Akhirnya Arya Alit menggamit lengan
saudara seperguruannya itu. “Senja akan segera turun, Panengah. Marilah kita
lihat arus datangnya gelar baris pendem para pengawal yang akan mulai mengisi
perkemahan perkemahan kosong itu.”
Jaka Panengah pun mengikuti apa yang
dilakukan Arya Alit. Dan begitu simpul Aji Panglimunan terbuka, Jaka Panengah
segera bergegas menyusul kakak seperguruannya tersebut.
Sementara itu, hampir dalam waktu
yang bersamaan, seperti yang telah diperkirakan oleh Arya Alit, sebenarnyalah
Prastawa telah memberi perintah kepada para pimpinan kelompok untuk mulai
mengawali membawa pasukannya bergerak secara bertahap.
Sesungguhnya, bukanlah jarak yang
terlalu jauh bagi para pengawal itu untuk segera bergabung dalam induk pasukan.
Akan tetapi, jalan yang harus di lalui yang justru diperintahkan untuk melewati pekarangan-pekarangan rumah penduduk, telah membuat kelompok-kelompok kecil itu membutuhkan waktu yang agak lama. Terkadang mereka harus berlindung terlebih dulu di balik dinding rumah atau di bawah pohon besar untuk menunggu isyarat dari petugas sandi.
Akan tetapi, jalan yang harus di lalui yang justru diperintahkan untuk melewati pekarangan-pekarangan rumah penduduk, telah membuat kelompok-kelompok kecil itu membutuhkan waktu yang agak lama. Terkadang mereka harus berlindung terlebih dulu di balik dinding rumah atau di bawah pohon besar untuk menunggu isyarat dari petugas sandi.
Begitu isyarat turun, para pengawal
yang kebanyakan menyandang busur dan anak panah itu segera berlari melompati
parit-parit dan berhenti sejenak di pematang pesawahan. Sambil berlindung di
bawah tanaman jagung atau di sebelah menyebelah tanaman padi yang mulai tumbuh
itu mereka lalu berjalan lagi dengan semakin hati-hati dan kesiagaan tinggi.
Dalam pada itu, pergerakan para
pengawal tersebut akhirnya luput dari pengamatan telik sandi pasukan lawan. Sebenarnyalah
Glagah Putih ada di antara petugas sandi yang ikut membayangi jalur yang akan
dilalui arus para pengawal. Seorang petugas sandi Mataram lainnya berjalan
mendekat ke tempat Glagah Putih.
“Akhirnya saat tabuh pertama, mereka
sudah dapat bergabung semua.”
Glagah Putih mengangguk angguk, lalu
berkata, “Segera kau laporkan kepada Ki Gede Menoreh. Saat ini Pangeran
Pringgalaya juga ada bersamanya.”
“Baik, Ki Glagah Putih.”
Petugas sandi Mataram itu segera
bergegas pergi.
Sementara itu, Glagah Putih sendiri lalu melangkahkan kakinya menuju ke sebuah gubuk yang membatasi pategalan dengan hutan kecil.
Sementara itu, Glagah Putih sendiri lalu melangkahkan kakinya menuju ke sebuah gubuk yang membatasi pategalan dengan hutan kecil.
“Ada sesuatu yang tidak wajar”,
berkata Glagah Putih dalam hati.
Kemudian terlihat Glagah Putih
melepas ikat kepalanya lalu turun ke parit di depan gubuk itu untuk mencuci mukanya.
Namun begitu Glagah Putih akan naik kembali, tiba-tiba ada dua bayangan yang seakan akan muncul begitu saja di antara pohon-pohon di hutan kecil itu.
Namun begitu Glagah Putih akan naik kembali, tiba-tiba ada dua bayangan yang seakan akan muncul begitu saja di antara pohon-pohon di hutan kecil itu.
Walau terlihat samar, Ketajaman
penglihatan Glagah Putih ternyata masih mampu menangkap dengan jelas wajah
kedua orang tersebut.
“Orang ini sengaja memamerkan
ungkapan aji panglimunan”, batin Glagah Putih.
Dua orang yang sesungguhnya adalah
Arya Alit dan Jaka Panengah itu masih tetap berdiri di tempatnya di saat Glagah
Putih berjalan mendekat. Jaka Panengah berkata perlahan, “Orang itu yang
bernama Glagah Putih, Kakang. Walau sekilas, aku masih mengingat ketika ia
menjadi ketua kelompok Gajah Liwung.”
Arya Alit mengangguk kecil, lalu
berkata, “Apakah saat kau membayangi kotaraja, Glagah Putih pernah melihat
dirimu?”
“Tidak” jawab Jaka Panengah.
Kedua orang seperguruan itu kemudian
juga perlahan berjalan mendekat. Sesaat Glagah Putih memandang wajah Arya Alit
dan Jaka Panengah, begitu keduanya telah berdiri tidak jauh dari tempatnya.
Dalam hati sebenarnya Glagah Putih pun telah meyakini kedua orang tersebut
bukan orang kebanyakan. Apalagi di saat medan perang tinggal menunggu waktu,
maka Glagah Putih menduga dua orang tersebut adalah prajurit Panaraga.
Sesaat kemudian Glagah Putih
bertanya, “Siapa Kisanak berdua ini?”
Arya Alit yang berdiri agak didepan
Jaka Panengah, menganggukkan kepalanya sejenak. “Kami berdua adalah prajurit
Panaraga. Dan kalau tidak salah, bukankah sekarang aku sedang berhadapan dengan
Ki Glagah Putih?”
Berdebar debar dada Glagah Putih,
justru disaat Arya Alit telah mengenal dirinya.
“Apakah kita pernah bertemu
sebelumnya, Kisanak?”
“Belum Ki Glagah Putih. Hanya
saudaraku ini yang pernah melihatmu saat kau mendapat tugas di kotaraja
Mataram. Akan tetapi sebenarnyalah aku sudah mengetahui dari dulu bahwa kau
adalah salah satu senapati tanggon Mataram.”
Hanya sejenak, akhirnya Glagah Putih
telah dapat menguasai dirinya. Sebagai salah seorang prajurit sandi Mataram, sebenarnyalah
Glagah Putih telah mendapat banyak petunjuk tentang tugas sandi secara
keseluruhan.
“Aku memang bagian dari prajurit
Mataram Kisanak.
Namun untuk saat ini aku berdiri sebagai salah seorang pemimpin kelompok Pengawal Tanah Perdikan.”
Namun untuk saat ini aku berdiri sebagai salah seorang pemimpin kelompok Pengawal Tanah Perdikan.”
Arya Alit mengangguk-anggukkan
kepalanya, lalu tersenyum menatap wajah Glagah Putih yang berdiri tidak jauh
dari tempatnya itu.
Sebelum mereka berdua berkata, Glagah
Putih melanjutkan perkatannnya, “Dan aku yakin kalian bukan prajurit sandi.”
Jaka Panengah yang lebih banyak
menunduk mendengarkan percakapan itu, tiba-tiba telah mengangkat kepalanya dan
menatap tajam wajah Glagah Putih. Pertanyaan justru timbul dalam hati Jaka
Panengah. Apakah saat ini salah seorang darinya harus berperang tanding
berhadapan dengan Glagah Putih, justru di saat ia dan Arya Alit meyakini belum
waktunya untuk beradu dada melawan saudara seperguruan Agung Sedayu tersebut.
Akan tetapi, Arya Alit sendiri masih seperti semula, tetap tersenyum mendengarkan perkataan Glagah Putih.
Akan tetapi, Arya Alit sendiri masih seperti semula, tetap tersenyum mendengarkan perkataan Glagah Putih.
“Aku mengerti Kisanak berdua adalah
prajurit yang berilmu tinggi. Tidak banyak prajurit yang mampu mengungkap Aji
Panglimunan.”
Dan sebenarnyalah perkataan Glagah
Putih selanjutnya yang membuat dada Arya Alit berdetak semakin cepat. “Namun,
bagaimanapun juga aku tetaplah salah seorang dari Pengawal Tanah Perdikan,
Kisanak. Hanya sampai batas ini Kisanak berdua aku perbolehkan menyentuh garis
pertahanan Tanah Perdikan.”
Sejenak ketiga orang di pinggiran
hutan kecil pembatas dua padukuhan itu terdiam. Malam pun seolah agak berat
untuk menggulirkan waktu, meskipun secara perlahan tetap berjalan meninggalkan
puncaknya. Mungkin sang malam ingin menikmati kedamaian dalam sesaat, ingin
bercakap serta berdendang bersama parit-parit yang selalu berair, bersama
tanaman di pategalan dan pesawahan yang tumbuh subur, dan mungkin juga ingin
menghibur diri sejenak bersama pohon-pohon di hutan Menoreh. Sang malam memberi
keyakinan kepadanya, bahwa penduduk Tanah Perdikan tetap akan merawat mereka
seterusnya.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah
ketiga orang tersebut segera mengetahui kehadiran seseorang yang tengah
membayangi mereka. Namun, Jaka Panengah lah yang pertama kali berkata,
“Ternyata kawan Ki Glagah Putih telah hadir. Walau masih bersembunyi, namun
kami dan tentunya Ki Glagah Putih sudah mengetahui orang yang sedang mengawasi
itu.”
Arya Alit hanya berdesah lirih, lalu
menoleh memandang ke arah Jaka Panengah sesaat. Ada sesuatu yang ingin
diucapkan namun tetap dipendamnya kepada saudara seperguruannya tersebut.
Ada sedikit kekecewaan Arya Alit
terhadap sikap saudara seperguruannya itu. Justru di saat keinginan mereka
berdua hanya ingin mengukur seberapa tinggi ketahanan jiwani para pemimpin
Menoreh, termasuk kepada semua keluarga Agung Sedayu.
“Aku rasa orang yang mengawasi kita
itu sengaja berbuat demikian, Kisanak. Dia akan menguji apa kita mempunyai
pangrasa yang cukup tinggi.” Glagah Putih berkata.
Arya Alit pun segera menyahut
perkataan Glagah Putih itu.
“Aku pun menganggap seperti itu, Ki Glagah Putih. Dari dulu aku sudah mengetahui orang-orang Menoreh banyak yang berilmu sangat tinggi.”
“Aku pun menganggap seperti itu, Ki Glagah Putih. Dari dulu aku sudah mengetahui orang-orang Menoreh banyak yang berilmu sangat tinggi.”
“Karena Tanah Perdikan ingin hidup
dalam sewajarnya.
Dan untuk urip bebrayan agung itu tetap dibutuhkan orang-orang yang mempunyai ilmu melebihi tingginya mega-mega di langit.”
Dan untuk urip bebrayan agung itu tetap dibutuhkan orang-orang yang mempunyai ilmu melebihi tingginya mega-mega di langit.”
Sesungguhnya Glagah Putih sengaja
berkata yang seakan deksura tersebut. Kebenaran untuk bersikap seperti itu
dalam adab perang, yang sedang dilakukan Glagah Putih untuk sedikit
menggoyahkan ketahanan jiwani lawan.
Arya Alit tertawa perlahan, lalu
berucap, “Apakah Ki Agung Sedayu yang hadir mengawasi kita itu?”
“Ah, Kakang Agung Sedayu masih ada
urusan yang lebih penting dalam kesatuan pasukan khususnya. Namun aku yakin dia
adalah salah seorang dari pengawal.” Jawab Glagah Putih.
Sejenak Glagah Putih nampak
mendongakkan kepalanya.
Dilihatnya lintang gubuk penceng telah mulai bergeser.
“Baiklah kalau Kisanak berdua tidak mau menyebut nama, justru di saat Kisanak berdua telah mengetahui namaku.”
Dilihatnya lintang gubuk penceng telah mulai bergeser.
“Baiklah kalau Kisanak berdua tidak mau menyebut nama, justru di saat Kisanak berdua telah mengetahui namaku.”
“Maaf Ki Glagah Putih”, berkata Arya
Alit perlahan.
“Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Dan waktu itulah Ki Glagah Putih akan tahu namaku dan saudaraku ini.”
“Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Dan waktu itulah Ki Glagah Putih akan tahu namaku dan saudaraku ini.”
“Andai Kisanak berdua ada di paruh
gelar, tentunya besok akan bertemu denganku lagi” jawab Glagah Putih.
“Tapi ternyata kami di sayap kiri
gelar pasukan Panaraga, Ki Glagah Putih. Sayap gelar yang akan bertemu dengan
senapati yang berilmu tiada tara Ki Rangga Agung Sedayu.”
Glagah Putih mengangguk angguk sambil
tersenyum memandang kedua orang prajurit Panaraga itu. Sebenarnyalah dalam hati
Glagah Putih telah menghubungkan kemungkinan dari cerita Rara Wulan.
Cerita tentang kejadian yang di alami
sendiri oleh Rara Wulan bersama kelompok Gajah Liwung. Bagaimana gerakan
pancingan dalam gelar sandi yang ternyata harus membentur kepada kekuatan dua
orang aneh yang mengaku sebagai bagian dari prajurit Panaraga.
“Baiklah Ki Glagah Putih.” Berkata
Arya Alit
Glagah Putih menarik nafas dan
memandang Arya Alit.
“Aku serta saudaraku ini akan segera
kembali ke pasukan.” Berkata Arya Alit
Glagah Putih masih terdiam, hanya
sedikit anggukan kecil dengan tetap memandang wajah Arya Alit. Ada kesan yang
hampir sama seperti yang diceritakan Rara Wulan di saat bertemu juga dengan dua
orang prajurit Panaraga.
Akhirnya sambil menganggukkan
kepalanya, Arya Alit kembali berkata, “Aku rasa perang esok hari tidak akan
membutuhkan waktu yang terlalu lama, Ki Glagah Putih. Karena sebenarnya ini
bukanlah medanku juga bukan landasan perang dari saudaraku ini.”
Pada akhirnya Arya Alit dan Jaka
Panengah segera meninggalkan tepian hutan kecil tersebut. Glagah Putih sejenak
masih berdiri di tempatnya. Masih terus di-pandanginya tubuh dua orang prajurit
Panaraga yang hanya berjalan dengan perlahan itu sampai menghilang di balik
bukit kecil.
“Kedua orang itu benar-benar yakin
dengan kemampuan yang mereka miliki” berkata Glagah Putih dalam hati. Kemudian,
“Ah, bukankah itu bisa menjadi keuntungan bagi Tanah Perdikan sendiri andai dua
orang tersebut mempunyai maksud tidak baik terhadap tanah ini di kemudian hari.
Justru disaat keduanya dengan sengaja telah mengenalkan jati diri mereka
sendiri.”
Glagah Putih tanpa sengaja telah
mengangguk anggukkan kepalanya. Baru sejenak kemudian sambil kembali mengenakan
ikat kepala yang semula masih terurai di atas bahunya itu, Glagah Putih pun
telah meninggalkan tempat itu. Namun, sebenarnyalah hanya beberapa langkah
saja, Glagah Putih telah berhenti di sebelah parit yang membatasi lebatnya
tanaman jagung.
“Guru!?” Berucap Glagah Putih
perlahan, memanggil orang yang berada di balik lebatnya daun-daun tanaman
jagung itu.
Namun sebenarnyalah Glagah Putih menjadi terkejut begitu melihat orang yang berjalan mendekat.
Namun sebenarnyalah Glagah Putih menjadi terkejut begitu melihat orang yang berjalan mendekat.
Orang itu pun akhirnya berdiri di
depan Glagah Putih.
“Kyai Waskita” desis Glagah Putih.
Orang yang keluar dari rimbunnya
tanaman jagung yang sesungguhnya adalah Ki Waskita itu, terdengar tertawa
perlahan. Kemudian katanya, “Aku kira kau sudah tidak mengenalku, Angger Glagah
Putih.”
“Apakah Kyai bersama Guru?”
“Gurumu masih di banjar padukuhan
induk berkumpul dengan beberapa pengawal.”
“Maaf Kyai, aku kira tadi yang
membayangi aku dengan dua orang prajurit Panaraga itu adalah Kyai Jayaraga.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desir angin yang perlahan telah sedikit menyibak rambut di kepala Ki
Waskita yang telah memutih semua itu.
“Apakah Kyai diminta kehadirannya
oleh Ki Gede Menoreh atau barangkali oleh Kakang Agung Sedayu sendiri?”
Sejenak Ki Waskita tertawa perlahan,
lalu berkata, “Salah seorang prajurit dari pasukan khusus telah datang ke
rumahku menyampaikan pesan dari Angger Agung Sedayu.”
Glagah Putih menjadi tersenyum sambil
mengangguk anggukkan kepalanya.
“Namun aku datang ke Tanah Perdikan
ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang mendirikan
perkemahan di tengah hutan itu, Angger Glagah Putih.”
“Apakah ada hubungannya dengan adi
Serat Manitis? Bukankah Kakang Agung Sedayu serta Empu Wisanata telah dapat
meramu obat yang tepat.”
Ki Waskita nampak tersenyum sejenak.
“Mari Angger, kita bercakap sambil berjalan.”
Kedua orang itu pun akhirnya
menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Walau mereka mempunyai tujuan untuk
ke banjar padukuhan induk, namun terkadang Ki Waskita serta Glagah Putih
sengaja berbelok arah untuk melihat keadaan di padukuhan-padukuhan lainnya. Ki
Waskita dibuat kagum atas kesiagaan anak-anak muda para pengawal Tanah
Perdikan. Tetap dengan gelar baris pendem, jajaran ketiga kelompok pengawal
sebagai pasukan cadangan itu, seakan seperti anak panah yang akan melesat
cepat, begitu isyarat perintah tiba-tiba telah turun.
“Tanah Perdikan telah ditempa dengan
pengalaman yang teramat luas, Angger.”
Mereka berdua berhenti sejenak di
depan banjar salah satu padukuhan.
“Aku merasa seperti baru kemarin
melihat Angger Agung Sedayu ikut membentuk para pengawal itu agar menjadi lebih
kuat. Mengasah kemampuan dalam memanah, dalam ketrampilan olah senjata pedang,
tombak atau canggah. Dan tentunya juga melatih kemampuan tata gerak olah
kanuragan para pengawal.”
Glagah Putih pun semakin mendengarkan
perkataan Ki Waskita dengan sungguh-sungguh, justru disaat orang tua itu
memutuskan untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan tanpa kembali lagi ke
banjar padukuhan induk.
“Menoreh telah menjadi benteng kuat
Mataram, Angger Glagah Putih. Sudah sejajar dengan Kademangan Sangkal Putung,
Pegunungan Kidul, atau Jati Anom.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan
kepala sambil berucap perlahan disaat Ki Waskita mengajak untuk berjalan lagi.
“Apakah Kyai sendiri telah bertemu dengan Ki Gede?”
“Walau sejenak aku telah menemuinya.
Dan aku pun telah mengatakan tujuanku datang ke Menoreh ini.”
Glagah Putih memandang sejenak wajah
orang tua yang berjalan di sampingnya itu. Tiba-tiba ada sesuatu yang berdesir
dalam dada Glagah Putih. Justru di saat Glagah Putih menyadari dirinya yang
sudah tidak muda lagi itu.
Ki Waskita tersenyum lebar, seperti
mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Glagah Putih. Lalu katanya, “Angger
Glagah Putih, ini semua adalah hal yang sangat wajar. Aku yakin, dahulu Kyai
Gringsing yang telah menganggapmu sebagai muridnya itu pasti telah mengatakan
semua kepadamu. Dan ingatlah selalu wejangan orang yang telah mampu meletakkan
semua hatinya itu, Angger.”
“Apakah Kyai telah mendapat
isyarat-isyarat itu, desis Glagah Putih. Justru disaat tadi Kyai telah
mengatakan ingin mengulang pengembaraan untuk yang terakhir kali.”
Terdengar tawa Ki Waskita sejenak. Ia
pun berhenti sesaat.
Glagah Putih pun hanya tertunduk disaat kedua tangan Ki Waskita memegang pundaknya, lalu katanya. “Tidak ada isyarat apapun, Glagah Putih! Dan aku pun juga masih ingin berbincang denganmu, dengan Ki Jayaraga dan yang lainnya di pendapa rumah Ki Rangga Agung Sedayu.”
Glagah Putih pun hanya tertunduk disaat kedua tangan Ki Waskita memegang pundaknya, lalu katanya. “Tidak ada isyarat apapun, Glagah Putih! Dan aku pun juga masih ingin berbincang denganmu, dengan Ki Jayaraga dan yang lainnya di pendapa rumah Ki Rangga Agung Sedayu.”
Glagah Putih tersenyum tipis dengan
kepala tetap tertunduk.
“Isyarat yang aku terima adalah wadag
tua ini”, lanjut Ki Waskita memegang lengan Glagah Putih untuk berjalan
kembali.
Malam pun semakin jauh meninggalkan
puncaknya. Kedua orang itu terus berjalan dengan sambil bercakap dan baru
berhenti di pinggiran padukuhan berbatasan dengan bukit kecil.
“Apakah kau merasa seakan-akan telah
mengantar sampai di ujung padukuhan Tanah Perdikan ini?”
Glagah Putih menjadi tertawa
perlahan.
“Kita berpisah disini, Angger Glagah
Putih.”
“Hati-hati Kyai” jawab Glagah Putih.
“Aku berharap Kakang Agung Sedayu akan memberi perintah kepadaku untuk menyusul
Kyai. Dan tentunya aku hanya berharap Tanah Perdikan mampu kembali melewati
goncangan ini.”
Nampak semakin berkerut dahi Ki
Waskita, kemudian katanya. “Aku rasa masih banyak tugas lain yang menunggumu.
Justru di saat kau serta Rara Wulan adalah prajurit sandi Mataram.” Ki Waskita
berhenti sejenak, kemudian iampun melanjutkan ucapannya, “Aku hanya sekedar
berjalan-jalan saja sambil menunggu Angger Agung Sedayu menyelesaikan
tugas-tugas keprajuritannya.
Sudah terlalu lama aku tidak menengok sanak kadang di tlatah Pengging dan juga Banyubiru. Dan aku juga ingin melihat lihat keadaan Demak dan sekitar pesisir utara, Sebelum akhirnya aku akan mengunjungi saudaraku di Gresik.”
Sudah terlalu lama aku tidak menengok sanak kadang di tlatah Pengging dan juga Banyubiru. Dan aku juga ingin melihat lihat keadaan Demak dan sekitar pesisir utara, Sebelum akhirnya aku akan mengunjungi saudaraku di Gresik.”
Glagah Putih mengangguk-angguk
sebelum akhirnya menyahut dengan senyum kecil dibibirnya. “Kyai akan melewati
jalan-jalan setapak yang mungkin pernah dilalui saat pengembaraan Kyai semasa
muda dulu.”
Ki Waskita menepuk nepuk pundak
Glagah Putih, lalu katanya. “Aku hanya mencoba membantu tugas Ki Rangga Agung
Sedayu, justru disaat ia masih dalam jalur Perguruan Pengging.”
“Andai Ki Ajar Rana Reksa masih hidup
tentu tidak akan sesulit langkah yang akan Kyai ambil saat ini. Justru disaat
Kyai Waskita belum mengenal murid dari Ki Ajar Rana Reksa itu.”
“Baiklah, Angger Glagah Putih. Aku
percaya kau akan menjadi bagian dari pengawal yang mampu melindungi Tanah
Perdikan ini dari goncangan dalam bentuk apapun itu.”
Ki Waskita pun akhirnya telah
berlalu.
Sejenak Glagah Putih memandang
langkah perlahan Ki Waskita.
Glagah Putih menarik nafas
dalam-dalam begitu bayangan Ki Waskita telah menghilang dari pandangan. “Salah
seorang guru Kakang Agung Sedayu ini walau sudah sangat tua namun tetap ingin
berbuat sesuatu dalam urip bebrayan agung” berkata Glagah Putih dalam hati.
Glagah Putih kemudian segera bergegas
untuk kembali bergabung ke induk pasukan. Justru disaat Glagah Putih merasa
hanya punya sedikit waktu untuk sekedar beristirahat sejenak sebelum terbit
fajar.
Sebenarnyalah, baik dari pasukan para
pengawal Tanah Perdikan maupun pasukan gabungan Panaraga serta Perguruan Semu
telah meyakini medan perang itu tinggal menunggu waktu beberapa saat lagi. Dan
semakin mendekati akhir malam, kesiagaan sungguh-sungguh telah mencapai
puncaknya.
Di paruh gelar pasukan Tanah
Perdikan, kesiagaan para pengawal juga dalam kesiapan tertinggi. Para pengawal
sangat menyadari bahwa keberhasilan mereka akan berpengaruh besar pada
kemenangan pasukan Tanah Perdikan keseluruhan.
Glagah Putih pun menyempatkan untuk
beristirahat sesaat.
Penjagaan yang benar-benar kuat di paruh gelar, menjadikan Glagah Putih merasa aman walau untuk sejenak mengendurkan otot-otot wadagnya. Bukan hanya kesiagaan yang semakin tinggi, sebelum fajar tiba, para pengawal yang mendapat tugas di dapur umum pun telah mulai mengirimkan bungkusan makanan dan ratusan kendi-kendi ke semua pasukan.
Penjagaan yang benar-benar kuat di paruh gelar, menjadikan Glagah Putih merasa aman walau untuk sejenak mengendurkan otot-otot wadagnya. Bukan hanya kesiagaan yang semakin tinggi, sebelum fajar tiba, para pengawal yang mendapat tugas di dapur umum pun telah mulai mengirimkan bungkusan makanan dan ratusan kendi-kendi ke semua pasukan.
Untuk mengirim rangsum makanan ke
induk gelar ternyata juga mendapat pengawasan ketat dari para telik sandi.
Mereka adalah para pengawal yang sudah terlebih dahulu tidur di awal. Para
telik sandi itu membayangi jalur yang akan di lalui para pengawal yang akan
mengirim makanan tersebut. Justru di saat jumlah kiriman makanan ke paruh gelar
itu dua, tiga kali lebih banyak dari jumlah pengawal yang nampak dan diyakini
besarnya oleh pasukan lawan. Secara bergantian pengawal yang mendapat giliran
jaga pun lekas-lekas menyantap jatah rangsum mereka masing-masing. Mereka tidak
akan pernah tahu apakah saat perang telah terjadi, mereka masih sempat untuk
menyantap makanan lagi.
Walau hanya sesaat namun cukup untuk
membuat wadag Glagah Putih menjadi semakin segar. Dan begitu selesai
menjalankan kewajiban, Agung Sedayu menyempatkan menemui Glagah Putih.
Lintang panjer rino sebagai pertanda
habisnya malam di Tanah Perdikan saat itu. Suara bende, walau belum terdengar
namun para pengawal telah mulai mempersiapkan semuanya, walau tetap dalam gelar
sandi Garuda Nglayang.
“Apa ada perintah untukku atau khusus
kepada kakang Prastawa, Kakang?”
“Ini mungkin hanya untuk melengkapi
saja, Glagah Putih”, jawab Agung Sedayu perlahan. “Namun akan dapat membantu
dalam keunggulan di medan nanti, Glagah Putih” lanjut Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk kecil dan
semakin sungguh-sungguh mendengarkan perkataan Agung Sedayu selanjutnya. “Pada
saat ini ternyata terbitnya matahari sedikit bergeser di sisi utara. Dan
sungguh kebetulan pasukan Tanah Perdikan membuat garis gelar di sisi selatan,
Glagah Putih.”
Glagah Putih sedikit tersentak sambil
memandang lekat-lekat wajah kakak sepupunya itu. Kemudian ia pun bertanya,
“Jadi maksud Kakang, pasukan Tanah Perdikan akan terganggu dengan sorot
matahari itu?”
“Benar, andai kita tidak menyadari
sebelumnya”, jawab Agung Sedayu dengan tersenyum. “Itulah maksudku sebetulnya,
Glagah Putih. Kau dan Prastawa dapat menggunakan perisai-perisai logam pada
saat awal penyerangan nanti.”
“Maksud, Kakang?” desak Glagah Putih.
“Dengan membuat lentur sayap kiri
gelar serta mendahului menyerang pada kesempatan pertama di sayap kanan,
tentunya akan membuat sedikit bergeser kedua gelar yang sedang berhadapan ini.”
Glagah Putih pun mengangguk-anggukkan
kepalanya dan berkata perlahan seakan bicara kepada dirinya sendiri.“Dalam
keadaan tertentu perisai-perisai logam para pengawal pada akhirnya akan dapat
memantulkan atau membelokkan teriknya matahari itu.”
Dalam pada itu, hampir bersamaan
tiba-tiba isyarat telah terdengar. Suara bende dan tanda isyarat yang pertama
lain dari pasukan Panaraga dan Perguruan Semu telah berkumandang bertalu-talu
membangunkan seisi Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa pun mengangguk begitu Glagah
Putih menyampaikan kembangan pakem gelar dari Agung Sedayu tersebut.
“Kita belum terlambat, Adi.”
“Benar Kakang”, jawab Glagah Putih.
“Pengalaman dari Ki Gede Menoreh, juga Kakang Agung Sedayu pada masa
pertempuran Mataram Pati telah membantu gelar pasukan pengawal ini. Justru di
saat dalam kasat mata, garis pertahanan pasukan pengawal nampak tidak
diuntungkan oleh keadaan alam.”
Isyarat bende kedua terdengar, dengan
waktu yang sama Prastawa juga telah memerintahkan para pemimpin kelompok untuk
meneruskan sedikit perubahan di paruh gelar pasukannya. Para senapati, baik di
paruh gelar, maupun pasukan Mataram di sayap kiri serta pasukan khusus di sayap
kanan Garuda Nglayang telah memeriksa kesiagaan seluruh prajuritnya. Para
prajurit itu sendiri sudah jauh-jauh sebelum isyarat pertama dijatuhkan, telah
menyiapkan semuanya dalam kesiagaan paling tinggi. Senjata-senjata yang
dipercaya dari masing-masing prajurit sudah erat melekat dalam genggaman tangan
mereka. Pisau-pisau tajam di dua sisi sebagai ciri tersendiri dari pasukan
khusus, nampak dua, tiga buah terselip di pinggang prajurit-prajurit yang
mempunyai keunggulan bertempur di segala medan ini. Pasukan Mataram dari
prajurit kepatihan, dengan ciri pedang rangkap, bahkan telah membentuk gelar
nyata, meski isyarat terakhir masih beberapa saat lagi.
Sebenarnyalah para senapati pasukan
gabungan Panaraga serta Perguruan Semu tidak lepas pengamatan dari kesiagaan
tinggi pasukan pengawal tersebut. Naga Wuragil yang berdiri di sebelah
Panembahan Gede tampak tersenyum. Tumenggung Jaya Wiguna yang saat itu tengah
menghampiri mereka pun, sempat bertanya tentang kesiagaan pasukan Tanah
Perdikan.
“Kakang Tumenggung harap bersabar
sejenak, begitu aku dan Kyai Panembahan membuat hujan api di paruh gelar lawan,
kami akan segera bergeser ke pasukan Kakang.”
Menjadi merah padam wajah Tumenggung
Jaya Wiguna. Walau ia sudah cukup lama berteman dengan Naga Wuragil, akan
tetapi dalam medan perang itu adalah pengalaman yang pertama bagi mereka
berdua.
“Naga Wuragil” desis Tumenggung Jaya
Wiguna dengan menghembuskan nafas panjang menahan luapan di dada. “Dalam perang
gelar sungguh berbeda dengan perang tanding atau perang kelompok lainnya.
Seharusnya kau bertanya kepada lurah prajuritmu atau senapati Panaraga lainnya
tentang siapa itu prajurit Mataram, yang para pengawal jelas berada di
dalamnya.”
Panembahan Gede sendiri memilih diam,
sambil terus melakukan pengamatan untuk perubahan yang mungkin bisa dilihat dan
tampak di gelar perang pasukan Tanah Perdikan.
“Memang berbeda Kakang Tumenggung,
akan tetapi perang gelar itu akan sama dengan perang jenis lainnya, andai kita
tidak selalu terikat kuat kepada aturan dalam perang gelar itu sendiri.”
“Apa maksud kau sebenarnya, Naga
Wuragil?” desis Tumenggung Jaya Wiguna.
Sejenak Naga Wuragil memandang
Panembahan Gede yang seakan-akan terlihat tidak memperhatikan sama sekali
percakapan mereka itu. Naga Wuragil tersenyum, kemudian berkata, “Tentang
guruku Kyai Nagaraga, yang ilmu-ilmu warisannya telah aku sempurnakan beberapa
lapis lebih tinggi. Dia kalah dan akhirnya mati karena mengikuti aturan-aturan
perang, walaupun saat itu ada juga aturan yang telah dia buang. Justru perang
itu hanyalah perang kelompok, bukan perang gelar. Tentunya aku tidak akan
mewarisi kebodohan guru tersebut.”
Tumenggung Jaya Wiguna yang semakin
panas dadanya, meskipun demikian ia hanya memilih untuk menahan sambil menarik
nafas dalam-dalam. Tumenggung Jaya Wiguna hanya berkata perlahan, “Hati hatilah
dengan ucapanmu itu, Naga Wuragil. Percayalah, andai kau benar-benar menjadikan
para pengawal itu sebagai tumbal dari kedahsyatan ilmu pamungkasmu, Mengertilah
di paruh gelar pasukan Menoreh ada seorang seusiamu yang juga masih bisa
mempunyai gejolak tinggi seperti dirimu.”
Kembali Naga Wuragil nampak akan
menyahut ucapan tersebut, tetapi Tumenggung Jaya Wiguna segera memotong
perkataannya, “Isyarat terakhir tinggal sesaat. Ini hanyalah memangkas ranting
dalam batas kemampuan, dan sebelum terlambat bertanyalah kepada Panembahan Gede
tentang siapa itu Glagah Putih.”
Panembahan Gede hanya mengangguk dan
tersenyum lebar melihat Tumenggung Jaya Wiguna yang telah bergegas menuju
pasukannya kembali. Tidak berkata apapun, hanya sekilas menoleh ke arah Naga
Wuragil, dan Panembahan Gede pun juga segera bergabung ke dalam pasukannya di
sebelah bawah perbukitan kecil itu.
Sementara itu, agak jauh di selatan
dari padukuhan induk Tanah Perdikan, di perbukitan yang lebih tinggi dengan
terlindungi lebatnya pohon-pohon, terlihat dua orang yang tengah menyaksikan
dengan sungguh-sungguh saat akan terjadinya benturan senjata-senjata kedua
pasukan Mataram dengan gabungan prajurit Panaraga dan Perguruan Semu. Dua orang
yang ternyata Harya Pamungkas serta Rasta itu seakan-akan ikut menahan nafas
tanpa pernah mengedipkan mata, selalu menatap bulak panjang yang agak jauh di
bawah tempat mereka berdiri.
“Tinggal menunggu isyarat atau gaung
bende yang terakhir lagi Kakang!”
“Benar Rasta” jawab Harya Pamungkas.
“Dan lihatlah di sayap kanan gelar!”
“Bukankah itu prajurit-prajurit
Mataram dari pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan” desis Rasta perlahan
seakan ia berkata pada dirinya sendiri.
“Pasukan terbaik Rasta, dengan
senapati berilmu tiada tara.” jawab Harya Pamungkas,
Rasta sendiri memandang wajah kawan
seperjalanannya itu yang tiba-tiba terdengar bergetar. Akan tetapi kedua orang
itu beberapa saat kemudian memilih untuk diam sambil kedua mata mereka selalu
melihat ke arah dua pasukan yang akan memulai pertempuran tersebut.
Matahari pagi sudah benar-benar
keluar di timur Menoreh. Di sekitar tempat Harya Pamungkas dan Rasta,
binatang-binatang pagi tetap bersuara bersahutan seolah olah tanpa pernah tahu
apa yang akan terjadi di bumi tempat mereka hidup.
Namun, keadaan itu yang akhirnya
memaksa Harya Pamungkas tidak kuasa untuk menahan gejolak dadanya. “Rasta,
mungkin leluhur dahulu juga mempunyai jiwa satria seperti senapati pasukan
khusus itu. Tidak bisa disamakan, namun aku tidak mengerti mengapa begitu
menghormati senapati ini layaknya aku menjunjung setinggi tingginya leluhurku
tersebut.
Rasta hanya mengangguk dengan
menunduk tanpa berani memandang wajah Harya Pamungkas. Ia memilih diam sambil
menunggu Harya Pamungkas meneruskan ucapannya. Sinar matahari pagi membuat
terang tempat mereka berdiri seakan-akan menemani kesunyian sesaat tersebut.
Dalam pada itu, terlihat Harya
Pamungkas tiba-tiba telah melompat ke depan pohon jati besar di hadapannya.
Rasta pun mengikuti kawannya itu begitu menyadari suara bende telah terdengar,
begitu juga isyarat dari pasukan gabungan yang datang hampir bersamaan. Rasta
berdiri di sebelah Harya Pamungkas. Yang dilakukannya pun sama seperti Harya
Pamungkas, melihat dengan sungguh-sungguh apa yang telah terjadi di bulak
panjang jauh di depan mereka berdua itu. Sebenarnyalah, mereka telah melihat
kedua pasukan yang tengah berhadapan itu sudah bergerak dalam gelarnya
masing-masing.
Tidak beberapa lama kemudian, nampak
Harya Pamungkas agak terkejut menyaksikan apa yang terjadi begitu benturan
kedua pasukan telah terjadi.
“Luar biasa! Lihatlah, Rasta.
tajamkan matamu di sayap kanan dan di sisi lainnya.”
“Pasukan khusus membentur seperti
banteng ketaton Pangeran” desis Rasta dengan suara bergetar Rasta sampai lupa
menyebut Harya Pamungkas dengan panggilan Pangeran. Selanjutnya, “Pasukan
khusus ternyata lebih kuat beberapa lapis dari prajurit Mataram di sayap
lainnya.”
Harya Pamungkas sejenak hanya
menggelengkan kepala. Sebenarnyalah, Harya Pamungkas sedang sungguh-sungguh
menyaksikan pisau-pisau prajurit pasukan khusus yang seakan tidak pernah
berhenti membuka jalan untuk serangan dari kawan mereka selanjutnya. Dada Harya
Pamungkas semakin bergetar begitu mengetahui apa yang juga telah terjadi di
paruh gelar pasukan para pengawal.
“Kakang!” Rasta sedikit berteriak
memanggil Harya Pamungkas. “Ternyata aku telah salah menilai keadaan, bahkan
terhadap para pengawal di paruh gelar itu sekalipun.”
Akhirnya, seiring dengan matahari
yang sedikit demi sedikit berjalan naik telah terjadi perubahan di benturan
yang pertama.
Dalam pada itu, Harya Pamungkas dan
Rasta kemudian melanjutkan pengamatannya untuk mengikuti apa yang terjadi di
medan perang.
Justru disaat keduanya ingin
mengetahui dengan nyata kekuatan pasukan para pengawal dan kemampuan prajurit
Mataram terutama dari pasukan khusus. Sebenarnyalah, yang terjadi selanjutnya
di medan telah membuat panas sejak awal dada para senapati pasukan gabungan.
Walaupun dalam perang gelar, perubahan-perubahan kecil selanjutnya juga bisa
mengubah keseimbangan dari lawan, namun karena itu adalah akibat dari benturan
pertama, yang membuat darah para senapati itu meluap.
Ki Lurah Uwanguwung di sayap kanan
tidak pernah berhenti memberi perintah-perintah kepada prajurit-prajuritnya
dari pasukan khusus. Itu adalah pengalaman pertama Ki Lurah Uwanguwung menjadi
senapati di pasukan khusus. Walau dalam latihan-latihan ia telah melihat
bagaimana padunya kemampuan para prajuritnya, namun begitu menyaksikan di medan
perang yang sesungguhnya, telah membuat Ki Lurah Uwanguwung hanya bisa
menggeleng gelengkan kepalanya berulang-ulang. Bahkan dalam hatinya, ia
mengakui kemampuannya tidak jauh melebihi prajuritnya dalam perang gelar.
Terlihat seakan akan gerakan dari
ratusan prajurit ini berasal dari pikiran yang sama. Puluhan prajurit yang
berada di belakang dengan sigap segera memanggul atau menarik cepat begitu
kawan kawannya ada yang terluka dalam benturan-benturan selanjutnya. Bahkan
kawan yang harus meregang nyawa pun, saat itu juga segera mereka bawa mayat itu
ke belakang. Mereka tidak akan menanti sampai usai pertempuran atau menunggu
terbenamnya matahari. Begitu panas mulai menyengat dan keringat semakin
membasahi tubuh, benturan dari pasukan khusus semakin keras dan seperti
bergelombang yang datang mendera sayap kiri gelar Garuda Nglayang pasukan
gabungan.
Dalam waktu yang bersamaan di paruh
gelar, ternyata salah seorang pemimpin pengawal telah mendapat perintah dari
Glagah Putih untuk menyiapkan perisai-perisai logam.
Tidak berapa lama terlihat sepasukan kecil pengawal sudah menyusup di belakang garis pertama.
Tidak berapa lama terlihat sepasukan kecil pengawal sudah menyusup di belakang garis pertama.
Gerakan kecil dalam kembangan Gelar
Garuda Nglayang di paruh gelar pasukan para pengawal tersebut ternyata tidak
luput dari pengamatan Harya Pamungkas dan Rasta. Seakan akan kedua orang ini
begitu menikmati benturan-benturan di setiap sisi medan gelar.
“Kakang, perisai logam itu ternyata
begitu berpengaruh pada keseimbangan di paruh gelar.” Rasta hampir berteriak
begitu menyadari berpuluh-puluh perisai logam telah memantulkan sinar matahari
dan menghalangi penglihatan hampir sebagian besar para prajurit di paruh gelar
pasukan gabungan Panaraga.
Harya Pamungkas sendiri sejenak masih
terdiam begitu melihat keseimbangan di medan perang yang tiba-tiba telah
berubah secara cepat itu. Sebenarnyalah Harya Pamungkas tidak mengira sama
sekali, justru di saat Pasukan Panaraga memilih untuk Memberatkan kekuatan
prajuritnya di paruh gelar.
“Rasta”, desis Harya Pamungkas sesaat
kemudian. “Aku baru mengerti sekarang, ternyata kemah yang berjajar hampir di
semua sisi garis pertahanan paruh gelar pasukan pengawal itu sungguh-sungguh
nyata berisi ratusan prajurit cadangan. Bahkan seandainya saja Glagah Putih
atau Prastawa memilih untuk segera menggerakkan pengawal cadangan itu, aku
yakin paruh gelar pasukan Panaraga akan menjadi semakin terhimpit.”
“Apakah Kakang Pamungkas menilai hal
itu tidak akan dilakukan oleh para senapati di paruh gelar pasukan pengawal?”
Harya Pamungkas yang tidak melepaskan
sedikitpun pandangannya dari keadaan di medan perang, hanya menyahut perlahan
perkataan kawannya itu. “Kalau terjadi, aku mengira hanya sebagian kecil dari
pengawal cadangan yang benar-benar terjun di paruh gelar.”
Nampak Harya Pamungkas
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan berkata selanjutnya, “Bukan cerita yang
dibesar-besarkan, ternyata Ki Gede Menoreh memang pantas menjadi senapati
pilihan di Mataram.”
“Tunggulah Rasta”, lanjut Harya
Pamungkas. “Tidak akan sampai matahari berada di puncaknya, perang senapati pun
akan segera terjadi. Saat itu gelar Garuda Nglayang pasukan Mataram pasti telah
berubah menjadi Supit Urang.”
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang
terjadi di medan perang telah membuat alam seakan ikut bergetar. Garis
pertahanan pasukan Tanah Perdikan di tengah bulak panjang, menjadi saksi betapa
dahsyatnya perang dalam gelar kembar itu. Beradunya pedang, tombak maupun
senjata-senjata lainnya begitu nyaring terdengar saling susul-menyusul, seakan di
bumi Menoreh waktu itu tidak ada yang berkata selain suara beradunya senjata
dengan gemuruh sorak para prajurit.
Keringat yang telah membasahi seluruh
tubuh terasa menjadi pedih di saat tubuh-tubuh mereka harus menerima goresan
atau tusukan senjata lawan. Namun, sebenarnyalah perisai-perisai logam di
tangan pasukan sandi pengawal telah mampu merubah keseimbangan di paruh gelar.
Perisai-perisai yang sebagian besar bertumpu di lambung kiri paruh gelar telah
menjadikan prajurit-prajurit Panaraga semakin bergeser ke samping kiri gelar
mereka sendiri. Sesungguhnya itu juga kembangan gelar yang memang telah
dipahami oleh Glagah Putih dan Prastawa.
Begitu prajurit-prajurit Panaraga
bertumpuk di lambung kiri paruh gelar mereka, hanya dengan sedikit isyarat
tangan Glagah Putih telah memberi perintah kepada pasukan panahnya. Yang
terjadi kemudian adalah hampir dalam waktu yang bersamaan, panah-panah telah
melesat tajam menuju lambung kiri pasukan gabungan. Justru di saat itu pasukan
pengawal tiba-tiba mundur di belakang pasukan pemanah. Sorak gemuruh pasukan
pengawal semakin keras terdengar, Begitu panah-panah tersebut menghunjam di
tengah-tengah lambung kiri gelar lawan.
“Licik kalian orang-orang Menoreh!”
Salah seorang lurah prajurit Panaraga menjadi merah padam dengan gemuruh dendam
di dadanya, setelah dipaksa harus mundur menjauhi ratusan anak panah yang masih
saja menghujani tempatnya bertempur.
Yang tampak kemudian adalah lambung
gelar pasukan Panaraga terbelah menjadi dua bagian. Yang tidak memungkinkan
untuk mundur, prajurit-prajurit Panaraga memilih untuk bergerak maju, justru di
saat mereka menyadari sebagian besar pasukan pengawal mundur jauh di belakang
pasukan pemanah.