Selasa, 16 April 2024

Lanjutan ADBM 399

 


Besok dan berjambang lebat itu hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sambil mulutnya masih sibuk mengunyah juadah, tangan kanannya menerima semangkok dawet jabung dari pelayan kedai, seorang perempuan muda yang berwajah cerah.

Baru saja pelayan itu memutar tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah jerit kecil keluar dari mulutnya yang mungil ketika sebuah remasan yang sangat kurang ajar terasa di pantatnya, sementara Besok dan berjambang lebat itu hanya tertawa terkekeh-kekeh.
Sambil bersungut-sungut pelayan itu pun setengah berlari segera kembali ke dapur. Sedangkan orang-orang yang ada di dalam kedai itu hanya dapat saling berpandangan satu sama lainnya, bahkan ada yang tersenyum-senyum sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah orang yang duduk di sebelahnya.
Sekejap Ki Rangga Agung Sedayu terperanjat, namun segera saja dikuasainya debar jantung di rongga dadanya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya saja Rara Wulan hadir di tempat itu.
Dengan tenangnya seolah olah tidak ada kejadian apa-apa, Besok dan berjambang lebat itu menyeruput dawet jabungnya, sambil mengusap kumisnya yang menjadi basah terkena dawet, dia berkata, “He, Ki Sanak, apakah engkau pernah mengikatkan dirimu pada seorang perempuan seumur hidupmu? Sungguh engkau akan sangat merugi kalau memutuskan berbuat demikian. Dunia ini sangat luas dan banyak perempuan-perempuan cantik yang bisa mengisi kekosongan hati laki-laki, kapan pun kita mau, jadi untuk apa seorang laki-laki harus terikat seumur hidupnya dengan perempuan yang sama? Padahal hidup ini menyenangkan dan perlu kita nikmati sepuas-puasnya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng lemah, “Aku tidak sejalan dengan pikiran Ki Sanak, segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Yang Maha Agung di atas dunia ini pasti ada tatanannya. Aturan-aturan itu dibuat agar tidak ada ketersinggungan atas satu sama lainnya yang sama-sama mempunyai kepentingan. Sesungguhnya pengingkaran atas tatanan yang telah dibuat itu hanya akan merusak sendi -sendi hidup bebrayan dan melanggar kebebasan orang lain untuk menentukan pilihannya.”
Besok dan berjambang lebat itu mengangkat kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Ki Rangga Agung Sedayu dengan terheran heran, kemudian katanya sambil menggeram, “Persetan dengan sesorahmu. Bagiku hidup ini adalah kebebasan mutlak. Barang siapa yang bisa menciptakan kebebasan mutlak itu, dia berhak mendapatkan imbalan yang setimpal. Hanya orang-orang cengenglah yang berlindung dibalik tatanan dan aturan-aturan yang bagiku sama sekali tidak berguna. Kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, berjuanglah dengan kekuatan kita, kalau perlu kita harus membunuh dan merampas. Seandainya ada kekuatan lain yang melebihi kekuatan kita, itulah batas akhir dari sebuah perjuangan, mukti atau sekalian mati.”
Sebelum Ki Rangga Agung Sedayu sempat menjawab, seorang yang berperawakan pendek dan kekar, dengan wajah yang lebar dan kumis jarang-jarang tampak melangkahi tlundak pintu kedai sambil tertawa, “He, disini kau rupanya, Kakang Soma, aku kira sudah berangkat ke puncak Genthong mengawal Junjungan kita.”
“Belum, Adi Brujul,” jawab Besok dan berjambang lebat yang dipanggil Soma itu sambil melirik penuh kebanggaan kearah Ki Rangga Agung Sedayu, “Tiga hari lagi aku berangkat. Kali ini aku akan mempergunakan waktuku sebaik baiknya, tidak seperti waktu terakhir aku mengawal Junjungan kita. Akan aku gunakan waktuku untuk meningkatkan ilmu sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Junjungan kita.”
Orang yang dipanggil Brujul itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil meraih sebuah dingklik di dekatnya kemudian membawanya ke dekat meja Ki Rangga Agung Sedayu.“Apa yang telah engkau dapatkan waktu di Toyomerta beberapa saat yang lalu?” bertanya Soma sambil mengambil sepotong rempeyek wader.
Sejenak Brujul membetulkan letak duduknya sebelum menjawab pertanyaan Soma. Sambil sekilas memandang Ki Rangga Agung Sedayu, dia menjawab, “Tidak banyak Kakang, jalan ke pancuran Toyomerta sangat sulit dan terjal. Sesampainya di sana aku dan Kakang Sumput kelelahan. Jadi selama tiga hari disana, kami berdua hanya duduk-duduk saja beristirahat sambil menghabiskan waktu.”
“Ah, macam kau,” umpat Soma, “Seharusnya setiap ada kesempatan mengawal Junjungan kita, harus kita manfaatkan sebaik baiknya untuk meningkatkan ilmu. Selama ini Junjungan kita tidak keberatan untuk memberikan petunjuk-petunjuk sehubungan dengan ilmu yang telah kita kuasai, namun justru kitalah yang malas untuk maju.”
Brujul hanya dapat mengangkat alisnya mendapat tegoran dari Soma. Kemudian katanya sambil memandang Ki Rangga Agung Sedayu, “Siapakah Ki Sanak ini, kakang Soma? Apakah sahabatmu atau masih ada hubungan keluarga?”
“O., tidak Ki Sanak,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menjawab, “Kebetulan saja kami duduk semeja. Aku sudah cukup lama di sini dan sebaiknya aku melanjutkan perjalananku.”
Soma dan Brujul hampir serentak bertanya, “Akan kemanakah Ki Sanak?”
“Ke Kademangan Jenangan mengunjungi sanak kadang istriku yang akan mempunyai hajad mengawinkan anaknya.”
“Satu lagi contoh kebodohan laki-laki yang mau saja menghabiskan hidupnya untuk menghamba pada seorang perempuan.” Desis Soma perlahan sambil mengambil satu tusuk rempela dan hati ayam yang dibalut dengan usus dan digoreng.
“Ah,” Brujul berdesah mendengar desis Soma, “Itu haknya Kakang, kalau aku memang dari dulu tidak tertarik dengan yang namanya perempuan, aku lebih tertarik dengan sabuk yang bertimang emas dan bertretes berlian atau sebuah keris yang indah dengan gagang yang bertabur berlian serta wrangka yang berselut emas.”
“Jangan sombong,” geram Soma, “Tepatnya bukan engkau yang tidak tertarik dengan perempuan, tapi perempuan mana yang mau dengan orang macam kau.”
Brujul hanya tersenyum masam mendengar makian Soma. Dia menyadari bahwa Soma memang termasuk laki-laki yang suka main perempuan, tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau masih gadis, perempuan baik-baik atau bahkan perempuan yang dapat diambilnya dari kedai-kedai yang memang menyediakan perempuan-perempuan murahan untuk para lelaki hidung belang.
Ki Rangga Agung Sedayu segera menyadari bahwa pembicaraan itu dapat berkisar ke mana saja dan mungkin dapat menyulitkan keadaannya, maka dengan perlahan dia berdiri sambil membetulkan letak kain panjangnya, kemudian katanya, “Aku mohon pamit Ki Sanak. Mumpung hari masih siang sehingga aku tidak kemalaman sampai di kademangan Jenangan.”
Soma dan Brujul saling berpandangan sejenak. Di mata mereka ujud Ki Rangga Agung Sedayu memang tidak begitu menarik perhatian, selain ujud orang kebanyakan yang sedang melakukan perjalanan.
“Silahkan,” Soma lah yang menjawab acuh tak acuh.
Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu bergeser dari tempat duduknya menghampiri meja tempat pemilik kedai menerima pembayaran dari para pembeli, dia masih sempat mendengar Brujul bertanya, “Kakang akan menempuh jalan mana? Lewat kademangan Siman atau kademangan Jetis?”
“Sebenarnya aku lebih senang lewat Siman, kademangan yang cukup besar dan ramai. Namun seperti biasanya, Junjungan kita ini senang tempat-tempat yang sepi, lewat kademangan Jetis yang kecil kemudian menembus hutan lebat di sisi selatan Kademangan Sambit yang tidak lebih ramai dari kademangan Jetis. Kita akan mendaki Gunung Bayangkaki dari sisi barat.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sekilas. Tiga hari lagi Ki Singa Wana Sepuh akan berangkat ke Gunung Bayangkaki melalui sisi barat dan dia harus tiba di sana lebih dahulu agar dapat melaksanakan pengamatan dengan seksama.
Malam harinya, Ki Rangga Agung Sedayu memerlukan untuk menemui Glagah Putih dan Rara Wulan di rumah yang selama ini di tempati oleh Ki Madyasta. Agar tidak menarik perhatian dan mengurangi kemungkinan adanya kecurigaan dari para telik sandi Kadipaten Panaraga yang mungkin tersebar di tempat itu, Ki Rangga Agung Sedayu justru mendekati rumah itu menjelang tengah malam. Dengan kemampuannya yang tinggi untuk menyerap segala bunyi dari sekitarnya serta gerakan yang bagaikan secepat kilat, Ki Rangga Agung Sedayu telah mendekati rumah itu dengan tidak melalui jalan yang sebenarnya, akan tetapi justru melewati beberapa pekarangan dan halaman belakang dari rumah-rumah di sekitarnya. Kemudian dengan sebuah isyarat ketukan di pintu butulan sebagaimana yang telah mereka sepakati, Ki Rangga pun kemudian telah bergabung dengan mereka di ruang tengah.
“Kakang,” berkata Glagah Putih setelah mendengarkan keterangan singkat Ki Rangga tentang kejadian di kedai siang tadi, “Apakah Kakang akan menghadapi Ki Singa Wana Sepuh sendirian? Sedangkan jumlah mereka mungkin bertiga atau bahkan berempat.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum mendengar pertanyaan Glagah Putih, jawabnya kemudian, “Aku tidak akan menantangnya untuk berperang tanding. Aku hanya ingin mendengar dari mulut Ki Singa Wana Sepuh sendiri, alasan apakah yang mendorongnya untuk membantu muridnya? Kalau memang Pangeran Ranapati itu benar-benar putera Panembahan Senopati, setidaknya Ki Singa Wana Sepuh sebagai gurunya mempunyai bukti atau saksi yang dapat meyakinkan kedudukan muridnya di hadapan ki Patih Mandaraka, itu kalau memang mereka mempunyai maksud yang baik.”
“Ya,” sahut Rara Wulan, “Mengapa mereka tidak datang saja ke Mataram dengan menunjukkan bukti atau membawa saksi yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk menuntut hak sebagai putera Panembahan Senopati?”
“Entahlah,” Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah. Berbagai macam persoalan tumpang tindih di dalam benaknya. Sekilas teringat istrinya yang sedang hamil tua di Menoreh. Di hari-hari menjelang persalinannya itu tentu Sekar Mirah berharap suaminya dapat mendampinginya melewati saat-saat yang mendebarkan dan juga membahagiakan karena sudah sekian lama mereka menantikan karunia dari Yang Maha Agung, namun tugas keprajuritan telah memanggilnya untuk melawat ke Panaraga, meninggalkan keluarganya, sanak kadang dan istri yang sangat dicintainya.
Sejenak mereka yang berada di ruangan itu terdiam. Di luar angin yang cukup keras bertiup mengguncang pepohonan sehingga daun daunnya berguguran. Lampu dlupak yang ada di ajug-ajug tampak bergoyang goyang tertiup oleh angin yang menerobos di celah-celah dinding kayu yang renggang.
Tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya sambil perlahan lahan menoleh ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan, namun agaknya keduanya masih belum menyadari menilik sikap mereka yang masih menundukkan kepalanya.
Ki Rangga termangu mangu sejenak. Sekali lagi dia mencoba memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan aji sapta pangrungu. Suara itu memang masih sangat jauh, namun secara pasti arah suara itu menuju ke rumah tempat mereka berkumpul.
Ki Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar debar. Agaknya desir langkah itu begitu lembutnya dan ada usaha untuk mengaburkan dengan suara alam sekitarnya, desah angin yang bertiup cukup keras menggoyang dedaunan, jerit binatang-binatang malam serta kepak sayap-sayap kelelawar yang beterbangan mencari mangsa di kegelapan malam.
Semakin dekat suara langkah itu mendekati rumah tempat mereka berkumpul, desirnya bagaikan menyatu dengan angin malam, timbul tenggelam dalam pantauan aji sapta pangrungu Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya mulai bimbang. Mereka berdua sedang mencoba mengerahkan kemampuan mereka untuk memisahkan bunyi yang mencurigakan itu dengan suara-suara malam.
Tiba-tiba mereka bertiga serentak mendongakkan kepala sambil saling berpandangan. Desir lembut yang mereka yakini sebagai langkah orang yang sangat mumpuni itu tiba-tiba saja lenyap dari pendengaran mereka.
Ki Madyasta yang memang terpaut jauh dalam kemampuan olah kanuragan itu terheran heran melihat sikap ketiga orang itu. Baru saja mulutnya terbuka untuk melontarkan sebuah pertanyaan, cepat-cepat Glagah Putih memberi isyarat dengan melintangkan jari telunjuknya di depan bibir.
Mereka yang ada di ruangan itu menjadi tegang. Ki Madyasta yang belum mengerti apa yang sedang terjadi menjadi sangat gelisah. Beberapa kali pandang matanya membentur mata Glagah Putih, namun dia tidak mendapat jawaban yang pasti.
Ki Rangga Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa orang yang mendekati rumah itu sekarang mungkin sedang melekat di salah satu dinding rumah itu untuk menyadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Menilik bunyi nafasnya maupun gerakan tubuhnya yang tidak mampu ditangkap oleh aji sapta pangrungu, Ki Rangga mempunyai dugaan kuat bahwa yang sedang dihadapinya adalah orang yang benar-benar pilih tanding.
Ketika terpandang oleh Ki Rangga Agung Sedayu wajah Glagah Putih dan Rara Wulan, tampak mereka menjadi sangat gelisah. Berkali-kali sepasang suami istri itu mengetrapkan aji yang mereka miliki, namun hasilnya sama saja. Bunyi desir langkah itu seolah telah hilang ditelan bumi.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menimbang-nimbang, aji sapta pangrungu tidak mampu menangkap gerak dan bunyi orang yang sedang di luar sana, namun Ki Rangga masih punya satu harapan, aji sapta panggraita.
Perlahan lahan Ki Rangga Agung Sedayu mulai memusatkan nalar budinya kembali. Suasana malam terasa semakin senyap. Di luar angin masih bertiup walaupun tidak sekencang tadi. Bunyi-bunyi binatang malam terdengar semakin jauh dan memudar di telinga Ki Rangga, sejalan dengan itu, ketajaman panggraitanya pun semakin kuat.
Sebuah getaran yang hanya bisa dirasakan oleh Ki Rangga telah menuntun panggraitanya untuk melihat dengan mata hatinya. Rasa rasanya getaran itu semakin kuat memukul mukul dinding hatinya sehingga seakan akan Ki Rangga Agung Sedayu dapat melihat dengan getaran ilmunya itu, seseorang sedang berdiri melekat di dinding rumah sebelah timur.
Ketika Ki Rangga sudah yakin dengan apa yang telah ditemukannya, dia pun kemudian perlahan lahan berdiri dan berjalan menuju ke pintu depan. Namun baru saja tangannya akan menggapai selarak pintu, ternyata Glagah Putih telah mendahului membuka selarak pintu itu dan meloncat keluar.
Sejenak Ki Rangga berdiri termangu mangu di tengah-tengah pintu menghadap keluar. Di depannya terbentang kegelapan yang pekat. Glagah putih yang telah berdiri ditengah tengah halaman dengan kaki renggang hanya tampak seperti bayangan hantu yang sedang menunggu mangsanya.
“Kakang,” tiba-tiba terdengar bisik Rara Wulan di belakangnya, “Apakah kita biarkan saja Kakang Glagah Putih menghadapi bahaya sendirian?”
Bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera meloncat ke halaman diikuti oleh Rara Wulan.
Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Ki Rangga mencoba melihat ke arah dinding rumah sebelah timur sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya dari aji sapta panggraitanya. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga Agung Sedayu, ternyata aji sapta pandulunya tidak mampu melihat keberadaan orang yang sedang dicarinya.
Segera saja Ki Rangga Agung Sedayu teringat semasa Gurunya, Kiai Gringsing masih hidup. Ketika itu dia dihadapkan pada seorang lawan yang sangat tangguh, lawan yang dapat menghilangkan ujud wadagnya dari pandangan mata lawannya, Bango Samparan.
Saat itu dirinya benar-benar harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk memecahkan ilmu lawannya, ilmu yang sudah jarang-jarang ada pada saat itu. Berbagai usaha telah dilakukan, aji sapta pandulu, sapta pangrungu dan sapta pangganda telah ditrapkan untuk menemukan keberadaan lawannya, namun justru dirinya yang menjadi bulan bulanan Bango Samparan.
Akhirnya dengan aji sapta panggraita dirinya mampu memecahkan ilmu Bango Samparan. Itu pundapat dicapainya dengan susah payah, dirinya harus rela menjadi umpan terlebih dahulu untuk meyakinkan kebenaran ilmunya, aji sapta panggraita.
Kini Ki Rangga Agung Sedayu dihadapkan pada ilmu yang hampir sama. Agaknya orang ini sengaja membuat hati para penghuni rumah itu gelisah. Dengan sengaja diperdengarkan desir langkahnya betapapun lembutnya ketika dia masih agak jauh, namun justru ketika semakin dekat, tiba-tiba saja keberadaan orang itu bagaikan hilang ditelan bumi, bahkan kini bayangannya saja tidak tampak ketika para penghuni rumah itu sebagian telah berada di halaman.
Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan telah menggeram. Mereka berdua juga telah menekuni aji sapta pandulu dan sapta pangrungu, namun yang dapat mereka lihat disekitar halaman rumah itu hanyalah kegelapan, sedangkan suara binatang malam masih saja terdengar bersahut-sahutan dengan irama yang sama.
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ketika sekali lagi aji sapta panggraitanya ditrapkan, getaran itu masih sama, keberadaan orang itu menurut getaran ilmunya masih belum bergeser, berdiri melekat di dinding rumah sebelah timur, namun secara wadag tidak seorang pun yang mampu melihatnya, bahkan dengan aji sapta pandulu sekalipun.
Sambil tetap mengerahkan aji sapta panggraitanya, setapak demi setapak, Ki Rangga bergeser mendekati dinding rumah sebelah timur. Ketika jarak Ki Rangga dengan orang yang sedang menyembunyikan ujud wadagnya itu tinggal dua tombak, tiba-tiba saja Ki Rangga telah mengurai cambuknya.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang melihat perbuatan kakak sepupunya itu menjadi berdebar debar. Mereka yakin bahwa kakak sepupunya itu tidak sedang bermain main. Ki Rangga Agung Sedayu pasti mempunyai landasan yang kuat untuk melakukan semua itu, mendekat kearah dinding rumah sebelah timur kemudian mengurai senjata ciri khas perguruannya, perguruan orang bercambuk.
Suasana benar-benar sangat mencekam. Ki Madyasta yang berada di dalam rumah telah ikut turun ke halaman walaupun dia hanya berdiri termangu mangu beberapa jengkal di sebelah pintu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan bagaikan membeku di tempatnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Perlahan tapi pasti Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi di atas kepala. Bukan maksudnya untuk menyerang seseorang yang belum diketahui jati dirinya, namun Ki Rangga hanya ingin memberikan peringatan kepada orang tersebut dengan meledakkan ujung cambuknya tepat sejengkal di depan hidungnya sebagai pertanda bahwa permainannya telah berakhir.
Ketika kemudian cambuk itu meluncur dan ujungnya menggeliat, terdengar ledakan yang hampir-hampir tidak berbunyi, namun getarannya benar-benar mengguncang malam. Udara malam seolah olah diguncang oleh prahara yang dahsyat sehingga setiap dada yang ada disekitar halaman itu bagaikan diterjang oleh gelombang laut setinggi gunung anakan.
Ki Madyasta yang berdiri di sebelah pintu sekejab bagaikan tak sadarkan diri. Dirinya masih mendengar sebuah ledakan yang tidak begitu keras dari cambuk Ki Rangga Agung Sedayu ketika tiba-tiba saja dirasakannya dadanya bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur turun dari lereng bukit yang sedang longsor.
Glagah Putih dan Rara Wulan harus mengerahkan segenap daya tahan mereka agar isi dada mereka tidak rontok. Walaupun keduanya sudah termasuk golongan orang-orang yang berilmu tinggi, namun kematangan ilmu itu sendiri masih belum mapan dan masih memerlukan waktu yang panjang sejalan dengan bertambahnya umur mereka.
“Luar biasa,” tiba-tiba terdengar suara perlahan dan dari dalam keremangan malam sesosok tubuh yang berperawakan sedang bahkan cenderung kurus seolah olah muncul begitu saja dari dalam bumi.
“Terima kasih,” desis Ki Rangga Agung Sedayu, “Selamat datang dan selamat malam, dan sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas kesediaannya mampir ke pondok kami, semoga sambutan kami ini berkenan di hati Ki Sanak.”
Terdengar orang itu tertawa hambar, kemudian katanya, “Perguruan orang bercambuk memang bukan omong kosong, aku telah merasakan kedahsyatannya walaupun mungkin yang dipertunjukkan ini baru sekuku ireng, namun harus aku akui, perguruan orang bercambuk adalah sebuah perguruan yang telah ikut mewarnai perjalanan sejarah tanah ini.”
“Ah, Ki sanak terlalu memuji, apa yang kami lakukan hanyalah usaha yang sangat kecil dan tidak berarti bagi perkembangan negeri ini.”
“Jangan sombong,” dengus orang itu, “Siapa yang tidak mengenal nama Agung Sedayu dan kakaknya, Untara yang telah membantu tegaknya Pajang waktu itu dalam membasmi sisa-sisa laskar Harya Penangsang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, walaupun Sumangkar, murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu juga hadir disaat itu, namun orang yang bergelar orang bercambuk itu mampu menjinakkannya. Demikian juga saat-saat kebangkitan Mataram dari sebuah hutan yang gung lewang lewung, bisa menjadi sebuah negeri yang ramai, juga atas campur tangan orang bercambuk dan murid muridnya. Kemudian bagaimana seorang senapati Pajang yang membawahi pasukan segelar sepapan yang berkedudukan di Jati Anom yang atas saran orang bercambuk juga, justru telah menghadapkan pasukannya melawan Pajang pada saat pecah perang antara Pajang dan Mataram? Seandainya senopati itu tetap menjunjung kesetiaannya terhadap Sultan Pajang, mungkin hasilnya akan lain, Mataram akan menemui kesulitan untuk mengalahkan Pajang.”
Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Orang ini tentu bukan dari golongan seangkatannya, mungkin seangkatan dengan gurunya menilik wawasannya yang cukup luas tentang pergolakan yang terjadi di tanah ini.
“Bagaimana Agung Sedayu?” tiba-tiba pertanyaan orang itu menyadarkannya, “Maaf menyebut namamu tanpa gelar keprajuritan yang engkau sandang. Bagiku sama saja, seorang Rangga ataupun hanya menantu seorang Demang yang kaya raya di Sangkal Putung, engkau tetap seorang Agung Sedayu.”
Dada Ki Rangga Agung Sedayu berdesir tajam. Orang ini selain berwawasan luas juga mengetahui jati dirinya secara pribadi. Jika bukan orang yang telah mengenal dirinya, tidak mungkin dia mengetahui keadaan pribadinya sedemikian jauh.
“Apakah engkau masih akan mengelak keterlibatanmu dan perguruanmu atas sejarah tanah ini, Agung Sedayu? Setiap jengkal tanah ini seolah tidak pernah luput dari peran kalian, orang-orang bercambuk.” orang itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Ataukah aku harus menyebut lagi nama Gupita, seorang gembala yang pandai meniup seruling sehingga menarik hati seorang gadis dari Menoreh? Bagaimana harapan gadis itu begitu engkau sia-siakan? Mengapa engkau tidak berusaha mengambil jarak pada saat itu kalau memang hatimu telah tertambat pada hati gadis dari Sangkal Putung itu? Engkau buat Gadis menoreh itu bermimpi indah setiap malam, namun kemudian dengan tanpa perasaan telah engkau hancurkan hatinya menjadi berkeping-keping, walaupun saudara seperguruanmu yang gendut itu telah menjadi penawar hatinya. Tidakkah engkau tahu bahwa sepanjang hidupnya dia telah menangis dan menangis. Dan kini kejadian yang pernah membuat hatinya terluka itu terulang kembali. Suaminya kini terbaring sakit karena telah berperang tanding melawan pemimpin perguruan Toya Upas. Apakah engkau tahu penyebab perkelahian itu? Seorang perempuan, Agung Sedayu, seorang perempuan telah kembali diperebutkan. Apakah engkau dapat membayangkan betapa hancurnya hati perempuan yang pernah engkau tolak cintanya itu? Sungguh engkau telah ikut andil menghancurkan masa depan seseorang.”
Setiap kata dari orang yang berdiri dihadapannya itu bagaikan palu godam yang menghantam dinding-dinding jantung Ki Rangga Agung Sedayu. Seakan dirinya dihadapkan pada sebuah belanga berisi air yang sangat tenang dan jernih sehingga setiap cacat di wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Bagaimana mungkin dia dapat mengingkari semua itu.
“Masihkah engkau akan bergelut dengan segala lumpur kehidupan ini, Sedayu? Mengapa engkau tinggalkan padepokan kecilmu yang asri dan damai di Jati Anom hanya karena ingin memuaskan hasrat seseorang? Bukan karena panggilan hidupmu sendiri? Apakah yang telah engkau capai selama ini, Sedayu? Dengan menjadi seorang Rangga, engkau telah terlibat dalam pertikaian demi pertikaian yang sebenarnya justru bersumber dari dalam kerabat istana Mataram itu sendiri. Berapa orang yang telah engkau bunuh dengan dalih menegakkan panji-panji Mataram di seluruh tanah Jawa ini? Kedamaian tanah ini tidak mungkin akan terwujud, jika sumber pertikaian itu justru bersumber dari kalangan keluarga istana sendiri, sedangkan kawula alit lah yang selalu menanggung akibatnya.”
Ki Rangga Agung Sedayu masih terpaku di tempatnya. Tubuhnya bergetar keras menahan gejolak di dalam dadanya. Berbagai perasaan berkecamuk dan tumpah tindih. Kenangan masa silam silih berganti di dalam benaknya. Ada perasaan asing yang tiba tiba menyelinap jauh di sudut hatinya, mengapa kini dia berdiri di depan orang itu sebagi seorang prajurit berpangkat Rangga? Bukankah sejak dulu tidak pernah terbersit sekalipun keinginannya untuk menjadi seorang prajurit? Bukankah semua ini dilakukan atas tuntutan orang orang disekelilingnya? Sekar Mirah, perempuan yang meyongsong masa depannya dengan penuh gairah dan kadang kadang terlalu banyak menuntut, Kakaknya, Untara yang selalu risau dengan masa depannya, Panembahan Senopati yang melihat segala kelebihannya untuk kepentingan menegakkan Mataram diawal perkembangannya, serta beberapa kerabat lain yang tidak ingin melihat masa depannya hanya berakhir pada sebuah padepokan kecil di Jati Anom.
Kembali Ki Rangga Agung Sedayu tergugu. Keringat dingin semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Kini dia baru menyadari, mengapa Gurunya Kiai Gringsing di masa tuanya justru telah meninggalkan Padepokan di Jati Anom, Padepokan yang mereka bangun dengan penuh harapan untuk mencapai ketenangan dan kesempurnaan lahir batin, namun justru telah ditinggalkannya. Mungkin Gurunya kecewa dengan pilihan hidupnya sehingga sampai saatnya meninggal, dia tidak ingin diketahui dimana letak kuburnya.
“Sedayu,” tiba tiba suara itu berdenging di telinganya dan Ki Rangga Agung Sedayu pun menyadari bahwa orang itu telah menggunakan aji pameling, “Berhentilah mengejar Matahari. Tanpa engkau kejar pun, matahari akan tetap beredar dari timur ke barat setiap hari. Juga jangan engkau tunggu berkokoknya ayam jantan menjelang fajar, tanpa kokok ayam jantanpun Matahari akan tetap terbit, itulah Sunattullah. Keharusan yang memang telah digariskan oleh Yang Maha Agung terhadap seluruh jagad raya ini. Kita sebagai hambaNya adalah bagian yang tak terpisahkan dari Sunattullah itu. Kembalilah ke jati dirimu. Jangan hiraukan orang orang yang ada di sekitarmu. Sesungguhnya mereka memberikan saran dan pendapat tentang masa depanmu hanyalah berlandaskan pada kepentingan mereka. Bukankah kakakmu Untara menginginkan engkau menjadi Prajurit karena tidak ingin namanya sebagai Senopati besar tercemar hanya karena mempunyai adik seorang cantrik Padepokan yang tidak terkenal? Demikian juga dengan Panembahan Senopati yang semasa hidupnya selalu mendesakmu untuk memasuki lingkungan keprajuritan karena memang tenagamu sangat diharapkan dan dapat diandalkan. Bagaimana dengan Sekar Mirah sendiri? Sebagai anak Demang yang kaya raya tentu dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di Padepokan yang sepi dengan segala kesederhanaannya. Demikian juga dengan adik seperguruanmu itu. Jangan engkau kira adik seperguruanmu itu juga tidak berkepentingan denganmu, dengan tetap tinggal di sangkal Putung, tenagamu sangat diperlukan untuk membangun kemajuan Kademangannya.”
Jika di dunia ini ada tempat untuk menumpahkan segala getir pahit kehidupan, niscaya ki Rangga Agung Sedayu pasti sudah menumpahkannya dengan segala tetek-bengek persoalan yang membelitnya. Namun orang yang berdiri di depannya ini terus berbicara, menguak segala permasalahan yang dialaminya, bahkan yang bersifat sangat pribadi sekalipun.
“Jangan heran, Sedayu,” seakan akan orang itu mengerti jalan pikiran Ki Rangga, “Aku adalah kawan baik Gurumu menjelang hari hari terakhirnya, bahkan pamanmu Ki Widura saja tidak aku perkenankan melihat jasadnya. Semua itu atas pesan terakhir dari Gurumu sendiri. Tahukah engkau apa artinya semua itu? Yang jelas, pada awalnya gurumu hadir dalam kancah kehidupan di negeri ini, dalam perjalanan sejarah tanah ini, sendirian tanpa kawan, kleyang kabur kanginan, tidak seorang pun yang tahu jati dirinya, asal usulnya. Dan pada saat terakhirnya, gurumu pun telah pergi dengan kesendiriannya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya dalam dalam, seolah olah dia ingin melihat sendiri apa yang ada di dalam rongga dadanya, apa saja yang sudah diberikan sebagai balas budi kepada gurunya yang telah mengajarkan segala macam ilmu kanuragan, jaya kawijayan dan tuntunan hidup bebrayan.
Orang yang berdiri dalam keremangan malam itu tiba tiba melangkah ke depan beberapa tindak, sehingga ketika Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya dan memandang ke depan, betapa dia melihat wajah yang begitu damai, putih bersih bercahaya bagaikan wajah bulan di hari ke lima belas. Tidak tampak beban kehidupan maupun garis garis keras yang biasanya menghiasi setiap wajah manusia yang penuh dengan nafsu duniawi.
“Sudah saatnya engkau kembali, Sedayu,” lirih terdengar suara orang itu di telinga Ki Rangga namun pengaruhnya bagaikan deburan ombak yang bergulung gulung menghantam dinding dinding jantungnya, “Selama ini engkau telah terlena dengan segala macam urusan dunia. Ketahuilah, sudah cukup lama aku mengikutimu kemana engkau melangkah sesuai dengan pesan terakhir gurumu. Dan aku kira saat ini adalah waktu yang tepat untuk menemuimu sebelum dendam kembali akan membelit jalan hidupmu. Bukankah engkau mendapat tugas dari Ki Patih Mandaraka untuk mengurangi kekuatan Panaraga? Itu berarti engkau akan kembali melibatkan dirimu dalam urusan dendam yang tidak berkesudahan. Ingat, setiap lawan yang berhasil engkau binasakan, anak turunnya tentu tidak akan rela sebelum membayar lunas semua hutang nyawa itu, dan dengan alasan membela diri, engkau pun akan kembali terseret dalam urusan hutang piutang nyawa yang tidak berkesudahan.”
“Bagaimana Sedayu?” pertanyaan orang berjubah putih itu menyadarkan Ki Rangga Agung Sedayu, “Apakah engkau mengenali kitab yang berada di tanganmu itu?”
Dengan penuh keragu-raguan Ki Rangga memandang wajah orang berjubah putih yang duduk bersila di depannya. Kemudian katanya, “Dari manakah Ki Sanak mendapatkan kitab ini?”
Sejenak orang berjubah putih itu menarik nafas dalam dalam. Sambil tetap tersenyum dia menjawab, “Aku mendapatkan kitab itu dari seorang anak muda yang bernama Sukra.”
“Sukra?” terkejut Ki Rangga Agung Sedayu tanpa sesadarnya mengulang nama itu.
“Ya, Sukra. Anak muda yang mengaku selama ini menjadi pembantu rumah tanggamu.”
“Sukra,” kembali Ki Rangga bergumam menyebut nama itu, “Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?”
Sejenak kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Orang berjubah putih itu agaknya membiarkan Ki Rangga Agung Sedayu untuk hanyut dengan angan angannya beberapa saat. Ketika kemudian orang berjubah putih itu bergumam perlahan, Ki Rangga Agung Sedayu pun tersadar dari lamunannya.
“Ki Sanak, dimanakah Sukra sekarang ini berada?” akhirnya Ki Rangga mengajukan pertanyaan yang sudah sekian lama tersimpan di dalam dadanya semenjak hilangnya kitab perguruan Windujati bersamaan dengan menghilangnya Sukra dari rumahnya.
“Sukra aku ajak ke Gunung Muria untuk sementara agar dapat menenangkan hatinya. Aku tahu di dalam dadanya sedang bergelora keinginan yang dahsyat untuk menuntut ilmu olah kanuragan setinggi tingginya. Dengan kitab perguruan Windujati di tangannya, aku khawatir akan dapat membutakan mata hatinya sehingga dia akan mempelajarinya tanpa tuntunan seorang Guru, terutama tuntunan batin yang harus selaras dengan kemampuan ilmu olah kanuragan yang akan dicapainya.”
“Gunung Muria?” bertanya Ki Rangga terheran heran, “Mengapa harus ke gunung Muria?”
“Karena di sanalah selama ini aku tinggal.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Tanpa disadarinya matanya menatap tajam ke arah orang berjubah putih yang duduk bersila di depannya. Kesadarannya seakan akan memberitahukan kepadanya tentang jati diri orang itu, orang berjubah putih dari gunung Muria yang kesaktiannya tiada taranya.
“Kanjeng Sunan…!” tersentak Ki Rangga Agung Sedayu begitu menyadari dengan siapa dia berhadapan. Dengan gemetar dia menubruk ke depan meraih tangan orang berjubah putih itu kemudian dengan takdzim diciumnya.
“Sudahlah Sedayu,” perlahan orang berjubah putih itu menyentuh pundak kanan Ki Rangga Agung Sedayu dengan tangan kirinya, “Duduklah kembali. Jangan biarkan nalarmu hanyut mengikuti arus perasaanmu yang tak terkendali. Ingatlah, kegagalan kita dalam mengarungi hidup bebrayan ini adalah ketidak mampuan kita dalam mengendalikan diri. Kadangkala seseorang itu begitu sulitnya membatasi keinginannya sepanjang hidupnya. Padahal Yang Maha Agung hanya memberi kita dua tangan dan dua kaki, namun apa yang ingin kita raih, yang ingin kita jangkau begitu banyaknya dan begitu luasnya seolah olah tiada pernah ada kepuasan di dalam diri kita justru mengalahkan makhluk makhluk lain ciptaan Yang Maha Agung yang diberi kaki lebih banyak dari yang kita punya, berkaki delapan misalnya, atau bahkan yang berkaki seribu sekalipun.”
Ki Rangga Agung Sedayu yang sudah duduk kembali perlahan lahan berusaha untuk menguasai goncangan perasaannya. Kata demi kata dari orang berjubah putih itu terasa bagaikan tetes tetes embun yang membasahi relung relung hatinya yang paling dalam.
“Manusia memang diciptakan untuk menguasai jagad raya ini, namun bukan berarti bahwa dia dapat menggunakan kekuasaan itu tanpa pertimbangan pertimbangan. Alam telah dianugrahkan kepada kita untuk digunakan bagi kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri. Gunung yang setinggi apapun mampu ditaklukkan, laut yang seluas apapun mampu ditundukkan, dan hutan yang sebuas dan seliar apapun mampu dijinakkan. Itulah manusia yang diberi nalar dan budi melebihi makhluk lainnya. Namun justru karunia yang berupa nalar dan budi itulah nantinya yang akan membawa manusia kembali kehadapan Yang Maha Agung dalam keadaan sehina hinanya makhluk, seandainya manusia itu tidak mampu mengendalikan nalar dan budinya.”
Angin malam yang dingin bertiup cukup keras menggoyang pucuk pucuk pepohonan. Kabut tebal yang melingkupi mereka berdua sejenak berputar putar beberapa saat, namun kemudian kembali diam menyelimuti halaman rumah yang selama ini digunakan oleh Ki Madyasta untuk bertempat tinggal.
Di luar lingkaran kabut tebal itu Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri dengan gelisah. Mereka berdua tidak mampu menembus kepekatan kabut itu walaupun mereka telah mengerahkan segala ilmu yang dimiliki. Alangkah kerdilnya manusia itu, yang kadangkala dengan kemampuan dan kelebihan yang sedikit saja telah dengan sombongnya membuat kerusakan di muka bumi. Padahal manusia diturunkan di muka bumi ini justru untuk memelihara dan melestariakan alam yang sedemikian indah dan sempurnanya dianugrahkan kepada manusia.
Ketika kokok ayam jantan terdengar bersahut sahutan dari segala penjuru, orang yang di panggil Kanjeng Sunan oleh Ki Rangga Agung Sedayu itu perlahan lahan berdiri. Sambil membetulkan letak jubahnya, dia berkata, “Sedayu, waktuku tidak banyak. Aku harus kembali ke gunung Muria sebelum fajar. Di sana sudah menunggu para kawula yang membutuhkan tenaga dan pikiranku. Aku tidak berharap engkau akan mengikuti jejakku atau pun jejak orang lain, namun pesanku, cari dan temukan jejakmu sendiri. Yakinilah apa yang selama ini telah engkau yakini sejalan dengan ajaran ajaran yang telah kita terima dari Junjungan kita manusia pilihan Yang Maha Agung yang telah menyebarkan ajaran ajaran kasampurnaning ngaurip keseluruh pelosok bumi ini melalui para Guru, para Alim dan para Ulama.”
Ki Rangga Agung Sedayu masih duduk bersimpuh. Perasaan yang bergejolak di dalam dadanya kini sudah mulai mengendap. Dengan hati yang jernih dia mulai menilai dirinya, menilai apa saja yang selama ini telah diperbuat untuk sesamanya dalam hubungan timbal balik dengan Penciptanya.
“Aku tidak ingin engkau menjadi pertapa yang mengasingkan diri di puncak gunung yang tinggi hanya karena ingin menjauhkan diri dari nafsu duniawi. Aku juga tidak ingin engkau hanya mengejar duniawi dengan mengesampingkan kehidupan langgeng yang akan kita jalani kelak setelah kita mati. Tapi usahakanlah engkau dapat menjalani apa yang disebut tapa ngeli, hidup di tengah tengah para kawula namun tidak tergiur dengan gebyaring dunia, selalu mengikuti arus namun jangan sampai terbawa arus. Dengarkanlah apa yang menjadi keinginan para kawula alit, namun jangan sampai engkau diperbudak dengan keinginan mereka itu, karena pada dasarnya semua keinginan itu harus ada batasnya, dan batasan itu adalah sesuai dengan tuntunan yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung melalui ajaran ajaran yang diturunkan kepada para UtusanNya.”
“Hamba, Kanjeng Sunan,” Ki Rangga Agung Sedayu merangkapkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, “Apakah hamba diperkenankan suatu saat berkunjung ke Gunung Muria?”
“Datanglah kesana,” jawab orang berjubah putih itu dengan cepat, “Pintu selalu terbuka untukmu, Sedayu, kapan pun engkau akan datang, namun selesaikanlah terlebih dahulu segala urusanmu agar tidak ada lagi persoalan yang membebani hatimu.”
“Hamba, Kanjeng Sunan.”
“Baiklah, Sedayu. Aku mohon diri. Semoga pertemuan kita ini membawa manfaat. Setidak tidaknya aku telah menyampaikan pesan Gurumu di hari hari terakhirnya bersamaku.”
Sebelum Ki Rangga Agung Sedayu sempat menjawab, tiba tiba angin yang keras bertiup mengguncang kabut tebal yang menyelimuti mereka bedua. Ketika Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya, orang berjubah putih itu sudah hilang dari pandangan matanya. Sementara kabut yang tebal itu perlahan lahan menipis kemudian hilang tertiup angin menjelang dini hari.
Perlahan lahan Ki Rangga Agung Sedayu bangkit dari tempat duduknya sambil mengibas-ngibaskan kain panjangnya yang terkena debu. Sejenak pandangan matanya menyapu keseluruh halaman rumah, seakan akan ingin meyakinkan bahwa orang berjubah putih itu sudah benar benar meninggalkannya, meninggalkan segores kenangan yang tak mungkin terlupakan.
“Kakang..!” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan berteriak memanggil kakak sepupu mereka. Dengan langkah tergesa gesa keduanya pun kemudian mendekat.
“Marilah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu begitu keduanya sampai di hadapannya, “Hari sudah hampir menjelang pagi, mungkin lebih baik kita beristirahat di dalam rumah saja.”
Selesai berkata demikian, Ki Rangga melangkah perlahan lahan menuju pintu diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, sedangkan Ki Madyasta yang masih berdiri temangu mangu di depan pintu segera bergeser ke samping begitu ki Rangga Agung Sedayu sampai di depannya. Kemudian dengan bergegas diikutinya mereka masuk ke dalam rumah.
Hampir sepanjang pagi, Ki Rangga Agung Sedayu duduk duduk saja di ruang tengah. Kadangkala bergeser ke belakang rumah atau pakiwan, namun selebihnya waktunya dihabiskan untuk duduk merenung di ruang tengah.
Mereka yang ada di rumah itu agaknya membiarkan saja Ki Rangga Agung Sedayu berbuat sesuka hatinya. Memang mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi semalam karena pandangan mereka terhalang oleh kabut tebal yang entah dari mana datangnya. Tapi mereka setidak tidaknya dapat meraba apa yang telah terjadi. Tentu orang berjubah putih itu telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan Ki Rangga Agung Sedayu walaupun kehadirannya hanya sekilas dalam perjalanan panjang kehidupan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sepagi itu matahari bersinar dengan cerahnya, burung burung berterbangan dengan riangnya, kadang hinggap di dahan dahan sambil memperdengarkan kicauannya yang merdu, kadang terbang menjauh dengan mengepakkan sayap sayapnya dengan lincah kemudian meluncur, menukik dan menyambar bilalang bilalang yang terbang rendah di atas rerumputan.
—oOo—

Sementara itu, di pinggir kali Praga, para tukang satang tampak hilir mudik menyeberangkan para penumpang yang akan menyeberang ke Tanah Perdikan Menoreh atau sebaliknya. Diantara para penumpang yang akan menyeberang itu tampak Kiai Sabda Dadi dan Damarpati.
Ketika rakit yang membawa mereka menyeberang itu telah sampai di tepian, dengan bergegas Kiai Sabda Dadi dan Damarpati menghela kudanya untuk turun dari rakit diikuti oleh ketiga pengawal dari tanah Perdikan Menoreh.
Baru saja mereka berlima menggerakkan kudanya untuk menyusuri jalan berdebu menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, tiba tiba mereka dikejutkan oleh derap seekor kuda dengan penunggangnya yang tergesa gesa berpacu mendahului mereka.
Sejenak Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya. Rasa rasanya ada yang tidak wajar dari penunggang kuda yang mendahului mereka itu. Namun kesan itu segera dihapus dari hatinya. Betapapun juga setiap orang mungkin mempunyai kepentingan yang berbeda beda dan tidak ada seorangpun yang tahu selain orang itu sendiri.
Dari tepian kali Praga mereka masih harus menyusuri bulak bulak panjang yang sepi dan melewati beberapa padukuhan padukuhan kecil sebelum mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Matahari telah condong ke barat dan hari telah menjelang sore. Sinar matahari yang merah redup itu membias di puncak puncak bukit yang bagaikan bersepuh tembaga. Di langit, berpuluh puluh ekor burung terbang bergerombol kembali ke sarang mereka setelah seharian mencari makan. Mereka akan kembali ke sarang untuk memberi makan anak anak mereka agar segera tumbuh besar sehingga dapat mencari makan sendiri.
Ketika kemudian perlahan lahan kegelapan mulai menyelimuti langit Tanah Perdikan Menoreh, kelima orang yang sedang melakukan perjalanan itu masih harus melintasi sebuah bulak yang panjang sebelum sampai di regol padukuhan induk tanah Perdikan Menoreh.
Tiba tiba dada Kiai Sabda Dadi berdesir tajam. Bulak itu terasa sangat panjang dan sepi. Dalam keremangan malam, bulak itu seolah olah seperti sebuah lorong yang tak berujung. Panggraitanya sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan, serta kemampuannya yang mumpuni dalam olah kanuragan kadangkala memberikan suatu isyarat kepadanya tentang bahaya yang mungkin sedang menunggu di depan hidungnya.
Sementara itu kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang di atas tanah yang berdebu. Damarpati yang berkuda di samping Kakeknya tidak banyak mengeluarkan kata kata. Pandangan matanya lebih sering menunduk memandangi suri kudanya yang berkibar kibar tertiup angin dari arah depan.
Ketika perjalanan mereka melintasi bulak panjang itu telah mencapai hampir separonya, lamat-lamat mereka dikejutkan oleh bayangan yang terlihat di depan sedang menghalang di tengah jalan. Bayangan itu dari kejauhan tampak seperti batang batang kayu yang berjajar jajar menutup jalan, namun ketika mereka sudah semakin dekat, ternyata bayangan itu adalah segerombolan orang yang sedang berdiri menghalangi jalan.
Segera saja mereka mengekang kendali kuda masing masing untuk menghentikan laju kuda mereka. Ketika kuda kuda mereka telah benar benar berhenti dua tombak dari orang orang yang bergerombol menghalangi jalan itu, Kiai Sabda Dadi yang merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan rombongan itu segera menggerakkan kudanya maju beberapa langkah.
“Selamat malam, Ki Sanak semuanya,” sapa Kiai Sabda Dadi seramah mungkin, “Ijinkanlah kami lewat untuk menjenguk saudara kami yang sedang sakit di padukuhan induk Menoreh.”
Sejenak orang orang yang bergerombol menghalangi jalan itu tidak menjawab. Baru sesaat kemudian seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang tetapi dengan dagu yang licin, maju beberapa langkah ke depan.
“Siapakah sebenarnya kalian berlima ini? Ada kepentingan apakah kalian berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh?” dengan suara berat dan dalam orang yang berperawakan tinggi besar itu bertanya.
Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam dalam. Sebelum menjawab pertanyaan orang tinggi besar itu, diedarkan pandangan matanya ke arah orang orang yang sedang bergerombol di tengah jalan itu.
“Sembilan orang,” desis Kiai Sabda Dadi di dalam hati.
“He..!” tiba tiba terdengar bentakan menggelegar. Ternyata orang tinggi besar itu yang membentak, “Apakah telingamu tuli, he? Jawab pertanyaanku dan segera turun dari kudamu atau aku akan memaksa kalian turun dari kuda dengan caraku sendiri?”
Sejenak Kiai Sabda dadi menoleh ke arah Santa dan kawan kawannya yang ada di belakangnya. Dengan sebuah isyarat, Kiai Sabda Dadi kemudian mengajak mereka semua turun dari kuda.
Sambil tetap memegangi kendali kudanya dengan tangan kiri, Kiai Sabda Dadi menjawab, “Ma’afkan kami Ki Sanak, kami semua berasal dari Prambanan dan masih ada hubungan keluarga antara satu dengan lainnya. Kami berniat untuk menjenguk salah satu keluarga kami yang ada di Menoreh yang kebetulan sedang menderita sakit.”
“Omong kosong!” bentak orang tinggi besar itu dengan cepat memotong kata kata Kiai Sabda Dadi, “Bukankah tiga orang yang berada di belakangmu itu adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Murid muridku melihat mereka beberapa hari yang lalu meninggalkan Tanah Perdikan ini, dan sekarang mereka telah kembali dengan membawa dua orang asing. Aku yakin ini semua pasti ada hubungannya dengan sakitnya Ki Gede Menoreh.”
Kiai Sabda Dadi termangu mangu sejenak. Segera saja dia teringat kepada orang berkuda yang berpacu mendahului mereka ketika mereka masih berada di tepian kali Praga.
“Kalau Ki Sanak sudah mengetahui keberadaan kami, mengapa Ki Sanak masih bertanya?” akhirnya Kiai Sabda Dadi ganti bertanya.
Tiba-tiba orang tinggi besar itu tertawa tergelak gelak, katanya kemudian disela sela tawanya, “Ketahuilah, aku hanya ingin meyakinkan bahwa aku tidak salah sasaran. Dengan pengakuanmu itu, berarti engkau telah melapangkan jalan kematianmu bersama para pengikutmu. Tidak ada seorang pun yang boleh menolong Argapati, biarlah dia mati dalam kesepian dan penyesalan.”
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya, orang yang berdiri di depannya ini menyebut nyebut ki Argapati yang sedang sakit. Tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok mereka ini adalah kelompok orang orang yang berniat jahat, yang ingin melihat Menoreh hancur justru dari dalam sendiri.
Melihat gelagat yang tidak mungkin dapat dihindari lagi, Kiai Sabda Dadi segera melangkah mundur beberapa langkah sambil menarik kudanya. Sebelum orang orang yang berdiri menghalang jalan itu menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh ringkik kuda yang bersahut sahutan. Belum sempat mereka mengambil sikap, bagaikan kerasukan iblis, kuda kuda itu meloncat kedepan menerjang ke arah mereka. Ternyata dengan cerdik Kiai Sabda Dadi telah mengajak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Damarpati untuk melecut kuda kuda mereka sekuat tenaga. Sehingga kuda kuda yang terkejut itu telah meringkik sekeras kerasnya kemudian meloncat berlari menerjang apa saja yang ada di depannya.
Namun orang orang yang sedang bergerombol di tengah jalan itu ternyata bukan orang kebanyakan. Meskipun ada diantara mereka yang terpaksa menjatuhkan diri sambil berguling ke tepi jalan, namun ternyata tidak ada seorangpun yang mendapatkan cidera yang berarti.
“Gila,” umpat orang yang tinggi besar itu, “Kalian benar benar orang orang gila yang sudah bosan hidup. Jangan harap kalian akan mendapatkan pertolongan dari para pengawal di padukuhan induk dengan cara mengirimkan kuda kuda kalian yang tanpa penunggang. Sebelum para pengawal itu sampai disini, kalian sudah terkapar menjadi mayat.”
Kiai Sabda Dadi dan para pengawal itu saling berpandangan sejenak, ternyata usaha mereka untuk mendapatkan pertolongan dari gardu terdekat telah diketahui oleh lawan mereka, namun mereka tidak berkecil hati, walaupun setitik, harapan itu tetap ada.
Yang justru menjadi acuh tak acuh adalah Damarpati. Ketika suasana menjadi semakin tegang, dia justru dengan tenangnya telah melangkah menepi kemudian duduk memeluk lutut di tanggul pinggir jalan.
Kakeknya hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Sebersit kekhawatiran menyelinap di sudut hatinya, namun kemudian Kiai Sabda Dadi hanya dapat pasrah. Segala ilmu olah kanuragan telah diajarkannya, semoga dalam keadaan yang gawat, Damarpati mampu mengungkapkannya untuk sekedar menjaga diri.
“Guru,” tiba tiba seorang yang berperawakan tinggi kurus dengan mata juling dan berhidung bengkok seperti paruh burung rajawali berkata, “Ijinkan aku mengajari anak muda itu unggah ungguh, agar dia tahu dengan siapa sebenarnya dia berhadapan.”
“Sekehendakmulah, Parta Juling,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Mari kita selesaikan urusan ini segera sebelum kuda kuda mereka yang berlari ke padukuhan induk menarik perhatian para peronda.”
Selesai berkata demikian, dengan langkah tenang orang yang disebut Guru itu melangkah ke depan Kiai Sabda Dadi diikuti oleh murid muridnya yang kemudian menyebar mengurung Kiai Sabda Dadi dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan Parta Juling dengan wajah geram melangkah tergesa gesa mendekati Damarpati yang sedang duduk termenung di atas tanggul pinggir jalan.
“Nah, sebelum kita mulai, ada baiknya kita saling memperkenalkan diri. Mungkin dengan mengenal perguruan kami, kalian akan menyerah dan tidak banyak tingkah untuk kami bunuh. Kami berjanji untuk menyelesaikan kalian secepatnya sehingga kalian tidak akan terlalu lama menderita.” Berkata orang yang disebut Guru itu sambil meloloskan sebilah keris dari wrangkanya, sebilah keris luk sembilan yang bersinar kehijauan.
Kiai Sabda dadi menarik nafas dalam dalam, keris itu menilik ujudnya sangat mendebarkan, namun kemudian jawabnya, “Terima kasih atas kebaikan Ki Sanak, kami benar benar tidak tahu apa yang harus kami perbuat. Sebenarnyalah kami adalah keluarga dari Ki Argapati yang tinggal di Prambanan dan para pengawal ini memang ditugaskan untuk menjemput kami.”
“Persetan dengan segala omong kosongmu itu,” bentak orang yang disebut Guru itu, “Aku tidak perduli apakah kalian masih saudara dengan Ki Argapati atau bahkan saudara Sultan Mataram sekalipun. Siapa saja yang datang ke Menoreh untuk memberikan bantuan kepada Argapati harus mati. Demikian juga Argapati itu juga harus mati digerogoti penyakitnya tanpa seorang pun yang mampu menolong.”
“Mengapa Ki Sanak mempunyai tanggapan demikian terhadap Ki Argapati? Apakah Ki Sanak mempunyai dendam pribadi atau persoalan yang lain? Bukankah semua itu bisa kita selesaikan dengan duduk bersama dan membicarakan permasalahan yang ada tanpa rasa dendam dan permusuhan?”
“Sudahlah, simpan saja segala nasehatmu itu,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Kami adalah orang orang yang sudah memantapkan hati untuk berbuat di jalan yang telah kami pilih. Apapun akibat dari sikap kami itu, sudah kami pertimbangkan untung ruginya.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Luar biasa, suatu sikap jantan yang patut diteladani, namun sayang justru dasar yang digunakan untuk menentukan sikap itu tidak mendasar sama sekali, tidak melihat kepentingan secara menyeluruh dalam hubungan antar sesama, bahkan sangat jauh dengan apa yang telah diajarkan oleh Yang Maha Agung melalui beberapa utusanNya.”
“Tutup mulutmu!” bentak orang yang dipanggil Guru itu, “Aku berdiri disini tidak untuk mendengarkan sesorahmu, aku akan membunuhmu, membunuh kalian semua. Dengar itu! Membunuh kalian semua dengan cara yang akan aku tentukan kemudian karena tingkah laku kalian ternyata memuakkan terutama ocehan orang tua bangka ini.”
“O..,” tiba tiba Kiai Sabda Dadi melangkah surut sambil berkata tergagap gagap, “Ma’afkan kami, sungguh ma’afkan kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kalau memang ucapanku tadi telah membuat Ki Sanak marah, sekali lagi aku atas nama rombongan ini minta ma’af dan ijinkanlah kami meneruskan perjalanan.”
Baru saja orang dipanggil Guru itu membuka mulutnya untuk kesekian kalinya membentak Kiai Sabda Dadi, tiba tiba mereka yang sedang berada di tengah bulak panjang itu dikejutkan oleh suara jeritan disusul dengan bayangan seseorang yang terlempar jatuh terlentang di tanah yang berdebu.
Sekejab mereka yang menyaksikan peristiwa itu bagaikan membeku. Mereka benar benar tidak yakin dengan penglihatan mereka, bagaimana mungkin orang yang bernama Parta Juling itu bisa terlempar jatuh terlentang tak bergerak sama sekali, sementara Damarpati masih duduk memeluk lutut di atas tanggul pinggir jalan.
Kiai Sabda Dadi yang menyaksikan peristiwa itu menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk angguk. Sebuah senyum tipis tampak menghias bibirnya. Ternyata jerih payahnya selama ini tidak sia sia, walaupun Damarpati kadang tidak menampakkan kesungguhan hatinya dalam mempelajari olah kanuragan, ternyata dalam keadaan yang terdesak, dia mampu mengungkapkan salah satu ilmu yang diajarkannya, ilmu yang berlandaskan pada penyerapan kekuatan alam sekitarnya, terutama kekuatan lawan yang sedang menyerang, semakin kuat lawan dalam mengerahkan tenaganya, semakin besar tenaga yang akan melontarkannya kembali.
“Minggir..!” tiba tiba orang yang dipanggil Guru itu berteriak sambil menyibakkan kerumunan murid muridnya yang berebut ingin mengetahui keadaan Parta Juling. Kemudian dengan hanya menggunakan ujung jari telunjuknya, orang yang dipanggil Guru itu telah menyentuh dada Parta Juling. Sekejab kemudian Parta Juling pun menggeliat sambil mengumpat.
Tetapi sebelum kesadaran menguasai benak Parta Juling sepenuhnya, tiba tiba sebuah tamparan dirasakannya mendarat dengan keras di pipi kirinya.
Dan sebuah umpatan yang sangat kotor kembali meluncur dari mulut Parta Juling. Dengan pandangan nanar dan tubuh gemetar menahan amarah yang meluap luap, dia berusaha menguasi kesadarannya sepenuhnya. Sambil bertelekan pada kedua tangannya, Parta Juling mencoba bangkit berdiri.
Namun alangkah terkejutnya ketika kesadaran telah menguasai otaknya, ternyata yang berdiri dihadapannya adalah Gurunya dengan pandangan mata yang bagaikan membara.
“Ampun Guru,” desis Parta Juling terbata bata, “Aku tidak tahu kalau yang melemparkan aku sampai pingsan adalah Guru.”
“Bodoh,” geram Gurunya, “Kau terlempar sampai pingsan karena kebodohanmu sendiri, dan karena itulah aku telah menamparmu. Bagaimana mungkin seorang murid perguruan besar dengan mudah dapat dilumpuhkan hanya oleh seorang anak ingusan.”
Selesai berkata demikian Gurunya menunjuk ke arah Damarpati yang masih dengan enaknya duduk memeluk lutut di atas tanggul pinggir jalan.
Parta Juling tertegun sejenak. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu, ketika dia dengan sekuat tenaga meloncat menendang Damarpati yang masih saja duduk acuh tak acuh sambil memeluk lutut. Dia ingin memberi pelajaran kepada Damarpati atas sikapnya yang dianggap meremehkan perguruannya.
Namun ketika tumitnya hampir menyentuh dagu anak yang masih sangat muda itu, tiba tiba saja dirasakannya ada sebuah kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membalik menerjang kearahnya dan melemparkannya hingga tak sadarkan diri.
“Guru,” tiba tiba Parta Juling telah menghunus senjatanya, sebuah pedang pendek yang berbilah lebar, melebihi lebarnya bilah sebuah pedang pendek yang sewajarnya, “Akan aku belah dada anak ingusan yang tak tahu diri itu. Dia telah berani menghina Parta Juling.”
“Engkaulah yang akan terlebih dahulu terbelah dadamu oleh pedangmu sendiri, Parta Juling,” bentak Gurunya, “Apakah kamu belum yakin dengan apa yang baru saja menimpa dirimu? Biarlah aku yang tua ini sedikit mengajarinya sopan santun.”
Namun baru saja orang yang disebut sebagai Guru itu beringsut setapak ke samping, seseorang yang sudah sangat tua tapi masih tampak sangat sehat dan kuat telah berdiri menghadang jalannya, Kiai Sabda Dadi.
“Sebentar Ki Sanak,” berkata Kiai Sabda Dadi, “Bukankah Ki Sanak sudah berjanji untuk memperkenalkan diri? Biarlah aku yang lebih tua ini menyatakan diri terlebih dahulu, orang menyebutku Kiai Sabda Dadi dan anak muda itu adalah cucuku, Damarpati.”
Tergetar dada orang yang disebut Guru itu. Nama memang bisa mempunyai seribu makna, namun dari ungkapan ilmu yang telah dipertunjukkan oleh anak yang masih sangat muda itu, dapat dijadikan ukuran sampai dimana kira kira kedahsyatan ilmu yang dimiliki oleh orang yang mengaku sebagai kakeknya ini.
“Baiklah,” geram orang yang disebut Guru itu setelah getar di dadanya mereda, “Kami berasal dari perguruan Liman Benawi di Madiun dan namaku adalah Jaladara, tetapi orang lebih senang menyebutku Ki Wasi jaladara.”
Kiai Sabda Dadi merenung sejenak. Nama Ki Wasi Jaladara tidak asing ditelinganya, nama seorang pemimpin perguruan Liman Benawi di Madiun yang terkenal tidak banyak mencampuri urusan dunia luar. Mereka akan keluar dari sarangnya apabila ada perburuan benda benda pusaka atau kitab kitab ilmu kanuragan. Namun yang kini membuatnya heran adalah mengapa perguruan Liman Benawi yang terkenal sangat tertutup kini berada di Tanah Perdikan Menoreh? Apakah yang mereka cari di Menoreh?
“Nah, sekarang semuanya sudah jelas,” berkata Ki Wasi Jaladara sebelum Kiai Sabda Dadi sempat membuat pertimbangan pertimbangan, “Kami akan segera membunuh kalian semua atau mungkin akan kami sisakan seorang pengawal untuk membuat laporan kepada Argapati yang sudah mulai pikun itu, namun sebelumnya akan kami buat pengawal itu cacat seumur hidupnya.”
Mereka yang mendengar ucapan Ki Wasi Jaladara itu meremang bulu kuduknya. Benar benar manusia yang tidak berjantung. Sejenak kemudian, murid murid perguruan Liman Benawi itu segera bergerak maju dan semakin mempersempit kepungan mereka. Agaknya mereka tidak akan memberikan banyak kesempatan kepada Kiai Sabda Dadi dan para pengawal untuk memperluas medan.
Kiai Sabda Dadi benar benar dilanda kebimbangan yang sangat. Dia hanya berempat dengan para pengawal, sedangkan lawan yang dihadapi sebanyak delapan orang. Namun demikian tumpuan harapan Kiai Sabda Dadi justru terletak pada Damarpati yang berdiri di luar kepungan. Dengan hanya berhadapan seorang lawan, diharapkan Damarpati segera dapat melumpuhkan lawannya dan membantu memecahkan kepungan dari luar.
Ketika lawan lawannya sudah menggenggam senjata ditangan, dengan sebuah isyarat, Kiai Sabda Dadi segera mencabut senjatanya diikuti oleh ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Wasi Jaladara tertegun sejenak melihat ujud dari senjata Kiai Sabda Dadi, sepotong kayu hitam yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal yang kedua ujungnya tumpul.
“Apakah engkau begitu takutnya menghadapi kematianmu sehingga berbuat yang aneh aneh menjelang ajalmu?” geram Ki Wasi Jaladara.
“Maksud Ki Wasi?” Kiai Sabda Dadi bertanaya tanpa melepaskan kewaspadaannya terhadap gerak gerik lawannya.
‘”Senjatamu itu mencerminkan kekerdilan hatimu,” jawab Ki Wasi Jaladara sambil tertawa, “Apakah engkau berharap aku akan mengampuni selembar nyawamu begitu melihat tingkah polahmu yang mendekati keputus asaan itu?”
“Tidak Ki Wasi, sama sekali tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil berusaha mengulur waktu selama mungkin dengan harapan mendapat bantuan dari para pengawal di padukuhan induk yang mungkin melihat kuda kuda mereka kembali tanpa penunggang, “Aku dan cucuku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Demikian juga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh ini sudah pasti mengalami pendadaran yang tidak ringan pada saat mereka menyatakan diri memasuki lingkungan pengawal.”
“Cukup,” bentak Ki Wasi Jaladara, “Aku tahu engkau mencoba mengulur waktu menunggu bantuan dari padukuan induk, namun sebelum mereka datang, aku jamin kalian sudah terbujur kaku menjadi mayat.”
Berdesir dada Kiai Sabda Dadi mendengar sesumbar Ki Wasi Jaladara. Dia sangat maklum, Ki Wasi Jaladara berani mengucapkan itu semua pasti ada dasarnya, kepercayaan diri yang kuat atas penguasaan ilmu kanuragan dari perguruan Liman Benawi.
Menyadari bahaya yang akan segera datang, Kiai Sabda Dadi segera menggamit Santa untuk mempersiapkan diri bersama kedua temannya. Serentak mereka berempat segera bergerak saling beradu punggung untuk menghadapi kepungan dari murid murid perguruan Liman Benawi.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari kekuatan tertinggi pasti terletak pada pemimpin perguruan Liman Benawi, telah berusaha bergerak sesuai dengan gerak langkah putaran lingkaran yang mengepung mereka berempat. Kemana saja Ki Wasi Jaladara bergerak, Kiai Sabda Dadi selalu berusaha mengikutinya.
Menyadari hal itu, Ki Wasi Jaladara tak habis habisnya menyumpah serapah. Dengan sebuah teriakan nyaring, tiba tiba dia menyerbu justru kearah Santa yang berdiri disamping Kiai Sabda Dadi.
Serangan itu bagaikan secepat kilat. Santa hanya mendengar sebuah teriakan nyaring, selebihnya hanya kilatan cahaya kehijauan dibawah sinar bulan yang remang remang meluncur mengarah ke jantungnya.
Kiai Sabda Dadi menyadari bahwa serangan pembukaan dari Ki Wasi Jaladara itu hanyalah sekedar pancingan, namun apabila dibiarkan saja, tidak menutup kemungkinan Santa dapat mengalami kesulitan justru pada serangan pertama.
Dengan tangan kiri mendorong tubuh Santa kekiri, Kiai Sabda Dadi berusaha memotong serangan Ki Wasi Jaladara dengan menangkis keris luk sembilan itu dengan tongkat pendeknya kearah bawah, sementara kaki kirinya menyusup dibawah lengan lawannya menendang ulu hati.
Tentu saja Ki Wasi Jaladara tidak akan membiarkan ulu hatinya menjadi sasaran kaki Kiai Sabda Dadi. Dengan menarik kerisnya yang hampir berbenturan dengan tongkat pendek Kiai Sabda Dadi, disilangkannya tangan kirinya didepan dada melindungi ulu hatinya dari terjangan kaki Kiai Sabda Dadi.
Sebuah benturan segera terjadi. Ternyata keduanya masih belum mengerahkan segenap kemampauannya sehinga akibat dari benturan itu hanya membuat keduanya tergetar dan melangkah selangkah surut.
Sedangkan Santa yang terdorong beberapa jengkal ke kiri karena dorongan dari Kiai Sabda Dadi memang telah selamat dari sambaran keris Ki Wasi Jaladara, namun baru saja dia mengatur keseimbangan tubuhnya, sebuah ayunan pedang salah seorang murid perguruan Liman Benawi mendatar menebas lambungnya.
Dengan cepat Santa menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang, ujung pedang lawannya hanya lewat setebal jari dari lambungnya. Sebelum lawannya sempat memperbaiki kedudukannya, Santa pun dengan cepat menjulurkan pedangnya ke arah leher lawannya.
Demikanlah pertempuran itu segera berkobar dengan sengitnya. Setiap kali Ki Wasi Jaladara bergerak mencari lawan baru, Kiai Sabda Dadi pun dengan cekatan telah membendung serangannya, sehingga pertempuran itu telah berputar putar saling desak mendesak, silih ungkih, singa lena.
Sementara itu Damarpati masih duduk sambil memeluk lutut. Parta juling yang sudah merasakan kemampuan Damarpati menjadi lebih berhati hati. Dengan perlahan diacungkannya pedang pendeknya tinggi tinggi seolah olah ingin menggapai langit, kemudian dengan teriakan yang menggelegar, dia meloncat menebas leher Damarpati.
Damarpati yang menyadari betapa berbahayanya serangan dari parta juling itu sekejab telah bersiap. Dengan tetap mempertahankan kedudukannya yang sedang duduk, tiba tiba kedua tangannya terangkat keatas dengan kedua telapak tangan terbuka menghadap keatas.
Ketika pedang pendek Parta Juling yang sedang menyambar kearahnya tinggal sejengkal, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Damarpati mencondongkan tubuhnya kebelakang sambil menggerakkan kedua tangannya mendorong kedepan dengan kedua telapak tangan terbuka menghadap ke depan.
“Lepaskan pedangmu!” bentakan itu hanya lirih saja dari mulut mungil Damarpati, namun akibatnya sangat luar biasa. Parta juling yang mendengar bentakan lirih itu seolah olah bagaikan tersihir sehingga dengan serta merta pedang pendeknya telah dilepaskan dari genggamannya.
Sebelum menyadari apa yang sedang terjadi dengan pedang pendeknya, Damarpati telah bangkit berdiri dan memungut pendang pendek itu.
Parta juling benar benar terkesiap sampai tidak mampu untuk menggerakkan ujung jarinya sekalipun. Dia hanya dapat berdiri terbengong bengong sambil memandang Damarpati yang berjalan perlahan lahan menghampiri dirinya sambil menggenggam pendang pendek yang telah terlepas dari tangannya.
“Apa katamu?” lirih suara pemuda itu bahkan terdengar sangat merdu di telinga Parta Juling, “Apakah engkau masih berniat membunuhku?”
Gemetar sekujur tubuh Parta Juling. Seumur hidupnya dia belum pernah menemui lawan yang sedemikian anehnya. Hanya dalam dua gebrakan saja dia dibuat tak berdaya oleh seorang pemuda tanggung yang masih ingusan.
“Ilmu iblis,” akhirnya Parta Juling hanya mampu menggeram, “Ternyata kalian adalah sekumpulan iblis yang sedang mencari mangsa.”
“Ya, engkau benar, Ki Sanak,” desis Damarpati sambil matanya berbinar menatap Parta Juling. Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya yang lembut merekah kemerahan sehingga membuat Parta Juling bergidik. Dia tidak bisa mengambil kesimpulan, apakah wajah itu dapat dikatakan tampan sekali atau justru cenderung cantik? Sehingga oleh angan angannya sendiri, Parta Juling menganggap yang berdiri di depannya itu pasti bukan dari sejenis manusia.
Ketika tiba tiba saja Damarpati mengacukan pedang pendek itu ke muka hidungnya, dengan tergesa gesa Parto Juling mundur selangkah surut. Hatinya benar benar telah kuncup oleh angan angannya sendiri tentang anak muda yang berdiri di depannya itu.
“Ki Sanak, apa yang kau lihat?” terdengar Damarpati berdesis perlahan sambil menggerakkan ujung pedang pendek itu di depan hidung Parto Juling.
Parto juling semakin tidak mengerti. Seakan akan bukan kehendaknya sendiri, diikuti saja gerakan ujung pedang itu yang bergerak ke kanan dan ke kiri dengan pandangan mata yang kosong, sekosong isi kepalanya.
Damarpati yang melihat tingkah Parto Juling menjadi sangat gembira. Seolah olah seperti kanak kanak yang mendapat mainan baru, dia gerakkan ujung pedang pendek itu semakin cepat ke kanan dan ke kiri, sedangkan Parto Juling pun seakan akan sudah kehilangan jati dirinya, diikuti saja kearah mana ujung pedang pendek itu bergerak dengan pandangan matanya yang kosong.
“Ki Sanak, bukankah engkau melihat seekor ular? Ular bandotan yang sangat besar di tanganku ini?” dengan nada lirih tapi sangat dalam Damarpati berkata sambil menghentikan gerakan tangannya dengan tiba tiba dan mengangsurkan ujung pedang pendek di tangannya itu ke muka Parto Juling
Parto Juling yang sudah kehilangan kepribadiannya itu terkejut bagaikan disambar halilintar di siang bolong. Matanya melotot memandang ke arah tangan Damarpati. Dalam pandangan matanya, benar benar seekor ular bandotan sebesar lengan orang dewasa sedang membelit tangan Damarpati. Tampak lidahnya yang bercabang dan berwarna kemerahan itu terjulur sambil sesekali terdengar desis yang mengerikan keluar dari mulutnya.
“Toloong, ada ular..!” teriak Parto Juling ketakutan begitu melihat kepala ular itu bergerak akan mematuk hidungnya.
Orang orang yang sedang bertempur itu sejenak terganggu dengan teriakan Parto juling. Serentak mereka berloncatan mundur mengambil jarak sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi dengan Parto juling.
Dan apa yang mereka saksikan benar benar telah membuat kawan kawan seperguruannya tidak habis mengerti. Bagaimana mungkin Parto Juling murid perguruan Liman Benawi yang telah banyak makan asam garamnya pertempuran dan selalu tampil di depan dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut nama perguruan, sekarang ini sedang lari terbirit birit di kejar kejar oleh anak muda yang masih ingusan sambil mengacung acungkan pedang pendek di tangan kanannya.
“Parto, berhenti..!” tiba tiba terdengar bentakan yang menggelegar. Ternyata bentakan itu berasal dari Ki Wasi Jaladara, pemimpin perguruan Liman Benawi. Agaknya Ki Wasi Jaladara menyadari ada yang tidak wajar dengan kelakuan Parto Juling sehingga dia dipermainkan oleh Damarpati.
Parto Juling yang di bentak oleh gurunya seketika menghentikan langkahnya. Sejenak dia termangu mangu, namun kemudian ketika kesadaran mulai merayapi otaknya karena pengaruh bentakan gurunya, dengan cepat dia berbalik dan memandang Damarpati dengan tajam.
Betapa merah padam wajahnya begitu mengetahui bahwa yang sedang dipegang oleh tangan kanan Damarpati itu adalah sebuah pedang pendek miliknya sendiri, bukan seekor ular bandotan yang besar.
Dengan sebuah geraman yang dahsyat, Parto Juling meloncat ke depan. Sebelum Damarpati menyadari apa yang akan dilakukan oleh Parto Juling terhadapnya, seleret sinar tiba tiba meluncur mengarah jantungnya.
Damarpati terpekik melihat sinar itu yang ternyata adalah sebilah pisau belati yang dilemparkan dengan sekuat tenaga oleh Parto Juling. Tidak ada kemampuan maupun kesempatan dari Damarpati untuk menghindar. Nyawa Damarpati benar benar sudah di ubun ubun.
Namun bersamaan dengan meluncurnya belati itu, seleret cahaya kehitaman meluncur melebihi kecepatan belati dan memotong arah datangnya belati.
Benturan yang cukup keras segera terjadi. Hanya berjarak sejengkal dari ujung ibu jari kaki Damarpati tergolek sebilah pisau belati yang berkilat kilat tertimpa sinar bulan yang redup. Sedangkan tidak jauh disampingnya, sebuah tongkat pendek berwarna hitam legam tergeletak.
Ternyata dalam keadaan yang sangat gawat itu, Kiai Sabda Dadi telah mengambil keputusan yang tepat. Dilemparkannya tongkat pendeknya menyilang, memotong arah datangnya belati Parto Juling, dan ternyata Damarpati pun akhirnya terselamatkan.
Kejadian itu benar benar telah menggetarkan hati dari setiap yang hadir disitu. Sekejap saja Kiai Sabda Dadi terlambat, nyawa Damarpati tidak akan tertolong.
“Licik,” geram Parto Juling sambil menoleh ke arah Kiai Sabda Dadi, “Mengapa tidak engkau biarkan saja cucumu ini berusaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri?”
“Ki sanak,” jawab Kiai Sabda Dadi sareh, “Kita tidak sedang berperang tanding. Apa yang sedang terjadi disini ini bahkan mirip dengan perang brubuh, siapa pun boleh menyerang lawan yang dikehendaki, dan siapa pun boleh menolong kawannya yang sedang dalam bahaya.”
“Kalian memang sekumpulan orang orang licik,” sekali lagi Parto Juling menggeram, “Cucumu itu telah menggunakan ilmu sesat, ilmu hitam, ilmu yang didapat dari tempat tempat yang gelap dan berlandaskan pada kegelapan itu sendiri.”
“Engkau salah Ki Sanak,“ dengan cepat Kiai Sabda Dadi memotong, “Segala ilmu yang ada di Jagad raya ini bersumber dari Yang Maha Kuasa. Namun karena sifat rakusnya, manusia telah mencemari ilmu itu dengan berusaha menambah ilmu yang dimilikinya dengan cara mencari bantuan dari kegelapan, dengan harapan ilmunya akan semakin meningkat. Padahal sumber kegelapan itu sendiri tidak mempunyai kuasa apapun terhadap kita, namun kadang kita tergoda dengan bujuk rayunya dan menyerahkan semua persoalan bahkan hidup mati kita pada sumber kegelapan itu.”
“Apakah engkau sudah selesai dengan ocehanmu, orang tua?” teriak Ki Wasi Jaladara. Agaknya dia sudah tidak dapat menahan diri lagi, kemudian perintahnya kepada murid muridnya, “Kita lanjutkan pertempuran, dan engkau Ranu, temani Parto meringkus anak ingusan itu. Jangan takut dengan ilmunya yang dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, ilmu itu masih sangat dangkal, asal kalian mempunyai kepercayaan diri yang kuat, ilmu itu tidak akan banyak berpengaruh.”
Kiai Sabda Dadi menjadi berdebar-debar mendengar ucapan pemimpin perguruan Liman Benawi itu. Memang Damarpati masih sangat baru dalam mempelajari ilmu itu, ilmu yang dapat menyesatkan penalaran seseorang. Berbeda dengan ilmu bayangan semu yang dapat membuat ujud-ujud yang aneh-aneh dengan sekehendak hatinya, namun dalam pengetrapannya tidak akan mempunyai akibat apapun secara kewadagan. Sedangkan ilmu yang dipelajari Damarpati ini adalah ilmu untuk menyesatkan pandangan lawan dengan cara mempengaruhi daya nalar lawan, sehingga dia yakin dengan ujud yang tampak. Apabila ujud yang dikehendaki itu telah muncul di benak lawan, akibat yang akan diderita oleh lawan sama dengan ujud yang sebenarnya. Seandainya ujud itu adalah seekor ular, apabila ujud itu seolah olah menggigitnya, dia akan merasakan benar benar seperti digitit ular sakitnya, padahal itu hanya timbul karena otaknya telah terpengaruh oleh tipuan lawan.
Sementara itu Ranu yang diperintah oleh Gurunya untuk membantu Parto Juling segera meloncat memisahkan diri. Dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah berdiri di samping Parto Juling.
Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam dalam. Secara hitungan, lawan yang mengepung mereka berempat telah berkurang satu, namun kini bahaya justru berpindah ke Damarpati, sanggupkah dia menghadapi lawan dua orang sekaligus?
Sementara ilmu olah kanuragan Damarpati masih sangat rendah, dia hanya tertarik pada ilmu ilmu peningkatan daya tahan tubuh atau ilmu untuk mempengaruhi lawan baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Sejenak kemudian mereka yang ada di tengah tengah bulak dowo itu segera terlibat kembali ke dalam pertempuran yang sengit. Kiai Sabda Dadi yang telah kehilangan senjatanya kini hanya dengan tangan kosong melayani Ki Wasi Jaladara.
Tandang pemimpin perguruan Liman Benawi itu benar benar luar biasa. Keris luk sembilan yang berwarna kehijau hijauan itu telah berubah menjadi beribu ribu kunang-kunang yang berwarna hijau dan mengurung Kiai Sabda Dadi kemana pun dia bergerak. Sedangkan murid-murid perguruan Liman Benawi yang lain dengan dahsyatnya bagaikan ombak di pantai yang tidak ada henti-hentinya menghempas, menghantam tebing-tebing karang.
Namun Santa dan kawan-kawannya adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tangguh. Pengalaman mereka dalam berbagai medan pertempuran telah menolong mereka dari kehancuran. Dengan kerja sama dan saling mengisi dalam setiap serangan maupun dalam bertahan dan membantu kawan yang sedang dalam kesulitan, mereka bagaikan gunung karang yang kokoh menghadapi gelombang laut yang tak henti-hentinya menerjang.
Namun lambat laun jumlah lawan yang hampir dua kali lipat telah menyulitkan mereka. Kiai Sabda Dadi yang berusaha membendung gempuran Ki Wasi Jaladara semakin lama menjadi semakin terdesak. Kesempatannya untuk membantu Santa dan kawan kawannya semakin kecil. Agaknya Ki Wasi Jaladara benar benar tidak memberi kesempatan kepada Kiai Sabda Dadi untuk mengamati apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
Sekilas Kiai Sabda Dadi melihat Damarpati berlari larian di sepanjang pematang. Kadang-kadang dia harus meloncati parit untuk kembali lagi ke jalan. Sementara ke dua lawannya berusaha mengejarnya dari arah yang berbeda. Mereka mengejar Damarpati sambil berteriak teriak seperti serombongan pemburu yang mengejar binatang buruannya.
Damarpati yang belum menguasai olah kanuragan dengan tuntas benar-benar kesulitan menghadapi kedua lawannya. Untunglah dia telah menguasai beberapa ilmu yang telah diajarkan oleh kakeknya, ilmu pemusatan tenaga untuk menyerap kekuatan alam sekitarnya dan membalikkan kekuatan lawan, serta ilmu mempengaruhi daya nalar walaupun masih dangkal.
Sesekali Damarpati membiarkan lawannya menyerang ketika dia sudah tidak mampu lagi menghindar. Lawannya yang merasa sudah dapat menguasai Damarpati itu tiba-tiba terkejut ketika seranganya membalik dan membuatnya terhuyung huyung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Damarpati lagi untuk meloncat menjauh dan berlari lari menghindari kejaran lawan lawannya.
Seandainya saja Damarpati tertarik pada olah kanuragan, tidak hanya pada aji jaya kawijayan, menghadapi kedua lawannya itu bukanlah persoalan yang sulit. Pengenalannya atas jurus jurus dan perkembangan dari jurus itu sendiri sangat lemah, dia benar benar tidak berminat untuk melatih jurus jurus yang diajarkan kakeknya, dia akan bersemangat jika kakeknya menurunkan aji jaya kawijayan yang tidak memerlukan latihan wadag, namun cukup dengan olah batin.
Beberapa kali Damarpati harus mengerahkan segala kemampuannya untuk membalikkan tenaga lawan. Betapapun juga kemampuan Damarpati sangatlah terbatas, untuk menghadapi dua orang sekaligus diperlukan tenaga cadangan yang berlebihan sehingga dapat membalikkan tenaga lawan. Hal itu tentu saja berpengaruh terhadap daya tahan tubuh Damarpati. Semakin sering dia mengerahkan tenaga cadangan, semakin lemah daya tahan tubuhnya sehingga akhirnya dengan tertatih tatih dia berusaha menghindari setiap benturan dengan lawan lawannya.
Keadaan Damarpati benar benar sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kiai Sabda Dadi yang sekilas melihat keadaan Damarpati hanya dapat berdoa, sebagai seorang kakek dia telah mencoba menyelamatkan keturunan dari Panembahan Kalijenar. Sepeninggal orang tuanya, Damarpati telah menjadi tanggungan-nya untuk membesarkan dan mendidik segala ilmu yang telah dikuasainya, namun lebih dari itu, keselamatan Damarpati lebih dari segala galanya menilik dari beberapa pihak yang masih mencari keturunan Panembahan Kalijenar karena alasan dendam yang tidak berkesudahan.
Disaat yang sangat menegangkan itulah harapan satu satunya dari Kiai Sabda Dadi dan para pengawal Tanah Perdikan menoreh adalah kuda kuda mereka yang tanpa penunggang dapat diketemukan oleh para peronda atau penjaga pintu regol kademangan induk. Namun sejauh ini tidak ada tanda tanda pertolongan itu datang.
Dada Kiai Sabda Dadi dan para pengawal itu bagaikan terkoyak ketika sekali lagi terdengar jerit Damarpati yang membelah malam. Kedua lawannya telah berdiri tegak dengan pedang yang diangkat tinggi tinggi, sementara Damarpati yang jatuh terperosok di lumpur tanah pesawahan benar benar sudah tidak berdaya.
Kiai Sabda Dadi yang melihat cucunya tergolek tak berdaya di atas tanah yang berlumpur hanya dapat menahan nafas. Jarak yang terlampau jauh tidak memungkinkan baginya untuk sekali lagi menolong Damarpati.
Pada saat yang mendebarkan itu, ketika kilatan pedang lawan sudah terayun deras kearah Damarpati yang tergolek tidak berdaya, tiba tiba saja tanah berlumpur di depan kedua lawan Damarpati itu bagaikan meledak. Tanah berlumpur yang bercampur dengan uap air yang panas menyembur kearah kedua lawan Damarpati.
Terdengar pekik kesakitan bercampur dengan umpatan kotor dari mulut kedua lawan Damarpati. Lumpur panas itu ternyata telah menyiram hampir sekujur tubuh mereka dibarengi dengan sebuah kekuatan yang dahsyat telah melemparkan mereka beberapa langkah kebelakang sebelum akhirnya mereka terbanting jatuh di tanah yang becek dan berlumpur.
Sejenak mereka yang sedang bertempur itu pun telah berloncatan kebelakang untuk mengambil jarak. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.
Damarpati yang tergolek tidak berdaya itu pun terkejut menyaksikan kejadian di depan matanya. Bagaimana mungkin tanah berlumpur di depannya bisa meledak dan menyemburkan uap panas kearah kedua lawannya. Tentu ada seseorang yang telah berbaik hati menolongnya. Menyadari hal itu, dengan tertatih taih Damarpati pun segera bangkit berdiri.
Namun baru saja Damarpati berhasil menegakkan tubuhnya di atas tanah berlumpur itu, seseorang yang bertelanjang dada, memakai caping butut dan memanggul cangkul lewat di depannya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
Ki Wasi Jaladara dan para pengikutnya menjadi berdebar debar. Penampilan orang yang baru saja datang ini memang sangat tidak meyakinkan, penampilan seorang petani yang baru saja menengok sawahnya pada malam hari untuk mendapatkan giliran air, tapi dengan bukti tergeletaknya dua orang murid perguruan Liman Banawi dengan sekali serang, benar benar lawan yang perlu diwaspadai.
Ketika langkah orang bercaping itu hanya tinggal dua langkah di depan para pengawal Tanah Perdikan menoreh, dengan perlahan di tanggalkannya caping bambunya. Tampaklah seraut wajah tua namun dengan sepasang mata yang mencorong bagaikan sepasang mata seekor kucing candra mawa yang bersinar di dalam gelap.
“Ki Jayaraga..!” seru ketiga pengawal itu hampir berbareng.
“Ya, ngger,” sapa orang bercaping itu yang ternyata adalah Ki Jayaraga yang sudah demikian dikenal dikalangan para pengawal tanah Perdikan Menoreh.
“Kalian terlalu yakin dengan melepas kuda-kuda itu,” berkata Ki Jayaraga sambil meletakkan cangkulnya, “Aku menjumpai kuda-kuda itu sedang merumput di ujung bulak ini. Kebetulan aku sedang menengok sawah untuk mendapatkan giliran air. Begitu aku melihat kuda-kuda itu, segera saja aku telusuri dari arah mana kuda kuda itu berasal.”
“Terima kasih Ki Jayaraga,” jawab Santa mewakili teman temannya, “Tapi sebenarnyalah kami berharap para peronda yang sedang nganglang yang akan menemukan kuda kuda kami.”
Ki Jayaraga menggeleng gelengkan kepalanya sambil menarik nafas dalam sekali. Kemudian dihembuskannya nafas itu sambil berkata, “Tanah Perdikan ini sudah kehilangan gairah. Dulu sebelum Agung Sedayu terlibat dalam perkembangan pembentukan pasukan khusus di Menoreh, anak anak mudanya hampir setiap malam memenuhi gardu gardu perondan. Namun kini karena kesibukan Agung Sedayu yang telah menjabat sebagai pemimpin pasukan khusus itu, anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh kembali tertidur nyenyak.”
Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu, tiba tiba bergeser maju beberapa tindak, kemudian katanya sambil membungkukkan badannya dalam dalam, “Aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Ki sanak terhadap cucuku Damarpati sehingga dia terhindar dari kemungkinan yang terburuk.”
Ki Jayaraga tertegun sambil berpaling memandangi Kiai Sabda Dadi yang berdiri hanya beberapa langkah di sebelah kirinya, kemudian katanya sambil memutar tubuhnya sehingga menghadap penuh ke arah Kiai Sabda Dadi, “Lupakan semua itu ki sanak, sekarang apakah masih ada sesuatu yang dapat aku bantu?”
Namun sebelum Kiai Sabda Dadi sempat menjawab, Ki Wasi Jaladara yang sedari tadi hanya diam saja mendengarkan percakapan itu, tiba tiba telah tertawa berkepanjangan. Sambil berpaling ke arah murid-muridnya dia pun berkata, “Marilah kita lanjutkan pertempuran ini sekali lagi dengan tambahan lawan baru. Jangan biarkan mereka lolos. Jangan hiraukan Parta juling dan Ranu yang sedang tertidur di tanah berlumpur itu. Seandainya mereka mati, sebagai gantinya tidak ada seorang pun dari mereka yang meninggalkan tempat ini hidup-hidup sebelum fajar menyingsing.”
Kata kata itu memang bagaikan aba-aba untuk para murid Liman Benawi. Segera saja mereka bergerak melingkar mengepung Ki Jayaraga dan kawan kawannya.
Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar kembali dengan sengit. Ki Jayaraga sengaja memancing beberapa murid dari perguruan Liman Benawi untuk mengeroyoknya agar beban para pengawal tanah Perdikan Menoreh berkurang. Sedangkan Ki Jaladara masih saja bertempur dengan ganasnya menyerang Kiai Sabda Dadi dengan keris luk sembilannya.
Kepungan yang dibuat oleh murid murid Liman Benawi ternyata telah pecah. Memang Ki Jayaraga sengaja bertempur dengan lompatan lompatan yang panjang. Kadang dia menyerang dengan dahsyatnya, cangkulnya terayun mendatar setinggi lambung kemudian tiba-tiba berbelok menyodok ke depan. Ketika lawannya mencoba menangkis dengan pedangnya, tanpa disadari oleh lawannya ternyata Ki Jayaraga telah melenting kesamping menyerang lawan yang lainnya.
Dengan demikian para murid perguruan Liman Benawi itu tidak mungkin lagi mempertahankan kepungan mereka. Dengan sadar akhirnya mereka memilih mengeroyok Ki Jayaraga bertiga, sedangkan tiga orang murid lainnya menghadapi Ketiga pengawal tanah Perdikan Menoreh.
Tandang Ki Jayaraga yang sedikit di luar kebiasaan bahkan cenderung aneh dengan bersenjatakan cangkul melayani tiga orang murid perguruan Liman Benawi sekaligus itu ternyata mampu memberikan nafas kepada Santa dan kawan kawannya. Kini mereka bertiga hanya mempunyai lawan masing masing satu orang.
Sementara itu Damarpati yang hampir kehabisan nafas kini duduk berselonjoran kaki diatas tanggul. Dilepaskannya segala kepenatan dan kelelahan yang terasa meremukkan seluruh persendian tubuhnya. Sambil sesekali meraup air dari parit yang bening, dia berusaha membersihkan wajah dan pakaiannya yang berlepotan lumpur.
Ketika kemudian wajahnya sudah bersih dari lumpur serta pakaiannya tidak terlalu kotor lagi, dilemparkan pandangan matanya kearah pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya. Sesekali Damarpati mengernyitkan keningnya mengikuti jalannya pertempuran yang baginya sangat membingungkan. Dia melihat bagaimana orang yang menolongnya dari bencana itu hanya dengan bersenjatakan sebuah cangkul mampu meladeni tiga orang sekaligus yang bersenjatakan pedang yang nggegirisi.
Memang Ki Jayaraga tidak mau mengambil keputusan yang tanggung tanggung. Didesaknya lawan lawannya dengan putaran cangkulnya yang kadang mengeluarkan suara dengung seperti ribuan lebah ketika cangkul itu diputar diatas kepala Ki Jayaraga, namun kemudian cangkul itu seakan akan berubah menjadi berpuluh puluh dan dapat menangkis setiap serangan dari ketiga lawannya walaupun serangan itu datangnya dari arah yang berbeda.
Sebenarnyalah ketiga lawan Ki Jayaraga benar benar sudah mengalami kesulitan untuk membendung gempuran Ki Jayaraga. Mereka bertiga dengan pontang panting kadang kadang harus berloncatan menjauh ketika mata cangkul itu hampir saja menyambar leher mereka. Kadang kadang dengan sekuat tenaga mereka mencoba menangkis ayunan cangkul itu, tapi ternyata justru pedang merekalah yang hampir terlontar jatuh, sehingga dengan tergesa gesa mereka meloncat mundur untuk memperbaiki keadaan.
Ki Wasi Jaladara yang melihat kesulitan ketiga muridnya menghadapi Ki Jayaraga berkali kali hanya dapat mengumpat dalam hati. Lambat laun tapi pasti murid mutridnya itu terdesak dan hanya dapat bertempur sambil mundur dan mundur terus. Hal ini apabila dibiarkan terus akan sangat merugikan kedudukan mereka.
Mempertimbangkan keadaan ketiga muridnya itu, Ki Wasi Jaladara segera mengambil keputusan sebelum keadaan semakin parah. Tiba tiba saja dari mulutnya terdengar suitan nyaring dua kali berturut turut.
Baik Kiai Sabda Dadi maupun Ki Jayaraga dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh segera menyadari bahwa lawan lawan mereka sedang merencanakan sesuatu yang mungkin dapat menyulitkan kedudukan mereka.
Demikianlah ketika gema suara suitan itu telah lenyap dalam kegelapan malam, Ki Wasi Jaladara dan murid muridnya telah melakukan gerakan berputar yang aneh. Serentak mereka berlari larian sambil menyerang lawan siapa saja yang ada di dekat mereka. Dengan sengaja mereka mencoba mempengaruhi keseimbangan pertempuran.
Ki Jayaraga terkejut ketika tiba tiba saja dia telah kehilangan ketiga lawannya, sebagai gantinya sebuah serangan yang dahsyat telah menerjangnya. Ternyata Ki Wasi Jaladara telah bertukar lawan dengan meninggalkan Kiai Sabda Dadi dan menyerang Ki Jayaraga. Sementara murid murid lainnya pun berbuat serupa dengan gurunya, bergantian menyerang Kiai Sabda Dadi dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Untuk sejenak pertempuran menjadi kacau. Mereka tidak dapat memilih lawan. Siapa saja yang berada di dekatnya adalah lawan yang harus dihadapi tanpa pandang bulu.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin kisruh, tiba tiba sekali lagi terdengar sebuah suitan nyaring yang melengking dan panjang. Agaknya Ki Wasi Jaladara akan membuat kejutan lagi, terbukti bersamaan dengan hilangnya suara suitan itu, Ki Wasi Jaladara dan murid muridnya berloncatan mudur sejauh jauhnya, dan sebelum lawan lawannya menyadari apa yang akan terjadi, berlarik larik sinar putih menyambar kearah mereka.
Alangkah terkejutnya Kiai Sabda Dadi dan kawan kawannya ketika menyadari bahwa beberapa pisau belati seakan terbang mengarah ke dada mereka.
Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga dengan cepat segera dapat menyesuaikan diri dengan serangan jarak jauh itu. Dengan menggeser tubuh mereka miring kesamping, belati belati itu lewat hanya setebal jari dari dada mereka.
Namun tidak demikian dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kemampuan dan kecepatan mereka dalam menghindari serangan jarak jauh itu ternyata terlambat beberapa kejab saja. Walaupun mereka mampu bergerak menghindar, namun kalah cepat dengan datangnya pisau belati lawan yang meluncur deras bagaikan anak panah yang dilepas dari busurnya.
Segera saja terdengar beberapa keluhan tertahan ketika belati belati itu mampu menggapai bagaian tubuh mereka dan meninggalkan segores luka yang menganga.
Santa tampak meringgis sambil mendekap pangkal lengannya yang mengalirkan darah segar. Untunglah walaupun agak terlambat dia menghindar, namun tak urung pisau belati yang mengarah ke jantung itu sempat melukai pangkal lengannya.
Sementara dua orang pengawal lainnya keadaannya ternyata lebih parah. Masing masing di pundak mereka telah terdapat luka yang menganga. Sambil terhuyung huyung kebelakang mereka berdua mencoba mempertahankan kedudukan mereka dari kemungkinan serangan berikutnya.
Ki Jayaraga yang tanggap dengan keadaan itu segera meloncat kedepan para pengawal yang sedang terluka itu untuk melindungi dan menahan kemungkinan serangan berikutnya, namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapatkan lawana lawannya ternyata telah melarikan diri pada saat dia dan Kiai Sabda Dadi sedang memperhatikan para pengawal yang sedang terluka. Masih terlihat sekilas Ki Wasi Jaladara dan murid muridnya berlari larian sepanjang pematang kemudian hilang dikelokan jalan.
Hampir saja Kiai Sabda Dadi meloncat dan berlari mengejar mereka, namun niat itu segera diurungkannya bersamaan dengan terdengarnya keluhan dari para pengawal yang terluka.
Sebagai orang yang mengerti tentang ilmu pengobatan, tentu saja Kiai Sabda Dadi tidak akan membiarkan Santa dan kawan kawannya menderita lebih lama. Segera diperiksanya luka luka itu. Ketika mendapati bahwa luka itu ternyata tidak beracun, Kiai Sabda Dadi pun segera menaburkan serbuk obat diatas luka luka itu. Kemudian untuk memperkuat daya tahan tubuh mereka yang telah mengeluarkan cukup banyak darah, Kiai Sabda Dadi memberikan beberapa butiran obat untuk ditelan.
Demikianlah pertempuran itupun akhirnya berakhir. Damarpati yang sedang duduk diatas tanggul segera meluncur turun dan berlari mendapatkan kakeknya.
“Kek,” bertanya Damarpati diantara deru nafasnya yang memburu, “Mengapa mereka dibiarkan lolos?”
“O..?” jawab kakeknya sambil membetulkan letak ikat kepalanya, “Jadi engkau berniat untuk mengejar mereka? silahkan Damarpati kalau memang engkau merasa punya kemampuan untuk melakukan itu.”
“Ah, Kakek ini,” rajuk Damarpati, “Bukan aku yang harus mengejar mereka, tapi Kakek dan orang itu.”
Berkata demikian Damarpati menunujk ke arah Ki Jayaraga yang sedang membantu para pengawal bangkit berdiri.
“He..!” seru Kakeknya pura pura terkejut, “Mengapa engkau membebankan tugas itu kepada kami berdua? Bagaimana dengan engkau sendiri?”
“Aku kan belum menguasai olah kanuragan.” Jawab Damarpati dengan cepat
“Jadi..” sahut kakeknya tak kalah cepat, “Mulai saat ini engkau akan bersungguh sungguh mempelajari dan menguasai ilmu olah kanuragan?”
“Ah…” rona merah segera mewarnai wajah Damarpati, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berjalan menepi dan duduk diatas sebuah batu.
Kiai Sabda Dadi hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Dia hanya dapat berdoa dan berharap, semoga apa yang baru saja terjadi ini dapat memberikan pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi cucunya itu.
Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut sahutan dari arah ujung bulak dowo itu, mereka yang baru saja mengalami pertempuran yang dahsyat itu segera berkemas.
“Kek,” tiba tiba Damarpati bangkit dari duduknya, “Bagaimana dengan dua orang yang tergeletak di tengah sawah itu?”
“Mereka telah pergi sedari tadi, ngger,” Ki Jayaragalah yang menyahut, “Ternyata mereka hanya pingsan saja. Begitu mereka siuman dan mendengar isyarat dari gurunya, mereka telah melarikan diri sebelum kawan kawan mereka.”
Damarpati sejenak tertegun merenungi wajah tua Ki Jayaraga, katanya kemudian, “ Siapakah Kakek ini?”
Ki Jayaraga tersenyum. Dengan sekali pandang saja timbul rasa sukanya terhadap pemuda tanggung yang tampan ini, “Orang memanggilku Ki Jayaraga. Aku adalah orang yang kleyang kabur kanginan, tidak punya tempat menetap di muka bumi ini sampai Ki Gede Menoreh berbaik hati memberikan tempat berteduh serumah dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Ki Rangga Agung Sedayu kakak seperguruan Ki Swandaru yang di Sangkal Putung?” lanjut Damarpati.
“Ya, ngger. Agaknya engkau sudah mengenal putra Ki Demang Sangkal Putung yang kaya raya itu.” Jawab Ki Jayaraga sambil mengenakan caping bambunya kembali dan meletakkan cangkul dipundak kanannya.
“Ya Kek, kami baru saja dari Sangkal Putung dan Kakekku telah mengobati Ki Swandaru yang sedang terluka setelah berperang tanding dengan..”
“Damarpati..!” cepat cepat Kiai Sabda Dadi memotong ucapan cucunya, kemudian sambil berpaling dan mengangguk hormat ke arah Ki Jayaraga dia berkata, “Maafkan cucuku ini yang terlampau banyak bicara, sesungguhnyalah kami akan menghadap Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan berita penting dari Sangkal Putung.”
Segores kepedihan terasa menusuk jantung Ki Jayaraga. Sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman, panggraitanya yang tajam telah menangkap sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di Sangkal Putung.
“Marilah,” akhirnya Ki Jayarag mempersilahkan yang ada di tengah tengah bulak dowo itu untuk segera meninggalkan tempat, “Mumpung matahari belum terbit sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini menuju ke kediaman Ki Argapati.”
Demikianlah akhirnya, rombongan itu segera bergeser meninggalkan bekas pertempuran yang nggegirisi. Damarpati dengan kepala tunduk dan langkah yang tersaruk saruk berjalan di depan. Di belakangnya dua orang pengawal yang terluka cukup parah telah dipapah oleh Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi, sedangkan Santa yang terluka tidak begitu parah telah berjalan di paling belakang sambil mengamati keadaan.
Ketika rombongan itu telah hampir mencapai ujung bulak, dalam keremangan sisa sisa malam, tampak lima ekor kuda sedang merumput dengan tenangnya di pinggir jalan. Damarpatilah yang pertama tama berteriak gembira setelah mengenali salah satu dari kuda kuda itu adalah kudanya, kuda pemberian Pandan Wangi, menantu Ki Demang Sangkal Putung.
Kiai Sabda Dadi hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil mengucapkan syukur yang tak tehingga. Seandainya saja Yang Maha Agung tidak berkenan menolong mereka melalui kehadiran Ki Jayaraga, harapan satu satunya tentang kuda kuda mereka yang akan ditemukan oleh para peronda atau penjaga regol, tentu tidak akan pernah datang.
Dengan perlahan dua orang pengawal yang terluka itu dinaikkan keatas punggung kuda. Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga harus berkuda berdua dengan pengawal yang terluka itu agar dapat menjaga mereka selama di atas punggung kuda. Sementara Santa dan Damarpati masing masing telah diatas punggung kuda, sedangkan seekor kuda yang tersisa telah ditambatkan di belakang pelana kuda Santa.
Iring iringan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan perlahan lahan. Kuda kuda mereka sama sekali tidak berlari di atas jalan berbatu batu menuju padukuhan induk Perdikan Menoreh. Kuda kuda itu seolah olah mengerti bahwa mereka sedang membawa beban yang terluka parah sehingga setiap goncangannya akan dapat memperburuk keadaan mereka.
Rombongan itu ternyata telah menarik perhatian ketika melewati gardu induk. Beberapa pengawal yang duduk di gardu sambil berselimut kain panjangnya telah terkejut ketika melihat rombongan itu berjalan dengan perlahan mendekati regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan cepat tiga orang segera berloncatan menghadang jalan, sementara tiga pengawal lainnya turun dari gardu dan bergeser ke tepi jalan.
Sebelum para pengawal yang bertugas itu sempat mengajukan pertanyaan, ternyata Ki Jayaraga telah menggerakkan kudanya ke depan sambil membuka capingnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya tetap memegang kedali kuda sambil menjaga keseimbangan tubuh pengawal yang terluka di depannya.
“Apakah kalian mengenalku?” bertanya Ki Jayaraga sambil menghentikan langkah kudanya.
Para pengawal yang sedang bertugas itu sejenak ragu ragu, namun keremangan pagi yang mulai menerangi Tanah Perdikan Menoreh telah memperjelas siapakah yang duduk diatas kuda sambil menjaga seseorang yang kelihatannya sedang terluka.
“Ki Jayaraga,” hampir berbareng para pengawal itu berdesis.
“Terima kasih, kalian telah mengenalku. Sekarang ijinkanlah kami menuju kediaman Ki Gede untuk memberikan laporan tentang apa yang telah terjadi.” Jawab Ki Jayaraga sambil menggerakkan kendali kudanya.
Ketiga pengawal yang berdiri di tengah jalan itu sebenarnya masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan lagi, namun seolah olah kata kata mereka tertelan kembali dan akhirnya mereka segera menepi dan membiarkan saja rombongan itu meneruskan perjalanannya.
Ketika salah seorang dari pengawal yang sedang bertugas itu sempat memandang Damarpati yang berkuda di samping Kakeknya. Tampak kening pengawal itu berkerut merut.
“He, engkau lihat anak muda yang tampan itu?” bisik pengawal itu kepada kawan di sebelahnya.
“Ya,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Apakah ada yang aneh?”
”Menurutku anak muda itu terlalu tampan, bahkan cenderung cantik,”
“Ah, macam kau,” gerutu kawannya, “Apakah engkau sudah kesulitan membedakan antara tampan dan cantik? Aku khawatir jangan jangan engkau pun kesulitan membedakan perempuan dan laki laki.”
“Gila,” geram pengawal yang memperhatikan Damarpati, “Aku tidak sebodoh itu. Justru engkaulah yang mungkin kesulitan, karena kalau aku melihat sepintas, istrimu itu mirip laki laki, tinggi tegap dan berotot.”
“Jangan gila,” kini pengawal yang di sebelahnya itulah yang menggeram, “Istriku perempuan tulen, walaupun ujudnya memang demikian, tapi kami sudah dikaruniai empat orang anak. Sedangkan istrimu yang lemah gemulai itu tak satupun memberimu anak sampai sekarang. He.. apakah engkau yang mungkin perlu bantuanku?”
“Tutup mulutmu yang kotor itu,” bentak pengawal yang memperhatikan Damarpati itu, “Jangan coba coba mengganggu rumah tanggaku, sak dumuk bathuk sak nyari bumi, tak belani taker pati.”
Selesai berkata demikian pengawal itu telah melangkah surut sambil menghunus pedangnya.
Kawan kawannya yang telah melangkah kembali menuju ke gardu terkejut mendengar ribut ribut itu. Sambil melangkah kembali mendekati dua orang yang sedang berhadap hadapan itu, pengawal yang tertua segera berdiri di tengah tengah sambil berkata, “Sarungkan pedangmu! Segala kesalah pahaman harus dibicarakan dengan kepala dingin walaupun gejolak hati kalian bagaikan meruntuhkan bukit.”
Pengawal yang menghunus pedang itu sejenak termanggu mangu, katanya kemudian sambil menggeram, “Dia mencoba menghinaku. Bagiku kehormatan adalah segala galanya, kalau perlu taruhannya adalah nyawa.”
“Apakah yang sudah aku lakukan, he..!” tiba tiba pengawal yang sudah beranak empat itu berteriak, “Bukankah aku hanya menawarkan sebuah bantuan?”
“Aku tidak butuh bantuanmu..!” bentak pengawal yang menghunus pedang itu, “Kata katamu itu telah menghinaku. Menghina sebagai seorang laki laki sekaligus sebagai seorang suami.”
“Sudahlah, sudahlah,” pengawal yang tertua itu mencoba melerai, kemudian katanya kepada pengawal yang telah beranak empat itu, “Apakah yang telah engkau katakan kepadanya?”
Pengawal yang beranak empat itu sejenak termangu mangu. Dengan ragu ragu dipandanginya wajah pengawal yang tersinggung harga dirinya itu, namun akhirnya dia pun memberanikan diri berkata, “Bukan maksudku untuk menghinanya, aku hanya menawarkan bantuan seandainya dia masih kesulitan untuk mendapatkan keturunan.”
“Nah,” sahut pengawal yang tersinggung itu dengan cepat, “Apakah kata kata itu tidak menyinggung harga diriku sebagai laki laki sekaligus sebagai suami?”
Pengawal tertua itu mengerutkan keningnya dalam dalam, dengan ragu ragu dia bertanya sambil memandang tajam ke arah pengawal yang beranak empat itu, “Bantuan apakah yang engkau maksudkan?”
Pengawal yang beranak empat itu menjadi berdebar debar, namun akhirnya dia pun membulatkan tekadnya untuk mengatakan yang sesungguhnya, “Aku mengenal seorang Tabib di sekitar Kademangan Prambanan. Dia bisa menolong orang orang yang kesulitan untuk mendapatkan keturunan. Dengan semacam ramuan yang diminum setiap hari dalam batas waktu yang tertentu, ternyata banyak pasangan suami istri yang berhasil.”
“O..” wajah wajah yang tegang pun segera mencair, sementara pengawal yang tersinggung itu masih menampakkan wajah yang tegang walaupun sepercik keragu raguan mulai menghiasi wajahnya dan pedang yang digenggamnya sudah menunduk ke tanah.
“Sudahlah, kita akhiri kesalah pahaman ini, “ akhirnya pengawal tertua itu mencoba mencairkan suasana, “Dan kau Jinten, sarungkan pedangmu. Pergilah ke banjar mengambil ransum kita pagi ini, sebelum para pengawal yang bertugas jaga pagi menggantikan kita.”
Demikianlah akhirnya dengan bersungut sungut, pengawal yang tersinggung itu yang ternyata bernama Jinten dengan terpaksa menyarungkan pedangnya. Sambil melangkah meninggalkan gardu, dia masih mencoba berpaling ke arah pengawal yang telah beranak empat itu, namun dia tidak mendapatkan kesan apapun karena pengawal yang di pandanginya itu justru telah menundukkan kepalanya.
—oOo—

Sementara itu warna warna cerah mulai menghiasi langit sebelah timur. Sinar matahari yang merah bercampur kuning keemasan menimpa mega mega yang berarak membujur dari utara ke selatan. Mega mega itu begitu indah tertimpa sinar matahari menjelang pagi.
Seekor burung kepodang tampak sedang terbang membumbung tinggi. Dikepakkan sayapnya berkali kali untuk menambah kecepatan terbangnya. Ketika dirasakannya ketinggian itu sudah cukup, dibentangkan kedua sayapnya lebar lebar sambil menentang angin yang bertiup. Burung kepodang itupun seolah olah melayang layang tanpa bobot di langit yang biru.
Pagi yang benar benar indah, matahari bersinar dengan cerahnya, menembus batas sampai ke tempat tempat yang paling gelap sekalipun, jurang jurang yang dalam, relung relung goa yang pengap, dan lembah lembah yang masih tertutup kabut serta hutan hutan yang lebat dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan tumbuh pepat berjajar jajar.
Sinar matahari yang benderang itu juga berusaha menembus dan menggapai lekuk lekuk dan ceruk ceruk yang gelap itu untuk berbagi penerangan, berbagi keindahan. Namun apa daya, terkadang sinar matahari yang kuat sekalipun tak mampu menembusnya.
Kegelapan terasa masih melingkupi hutan lebat di sisi selatan Kademangan Sambit. Hutan yang nyaris tak tersentuh oleh tangan tangan manusia. Kademangan yang berada di sisi selatan Kadipaten Panaraga itu memang masih sepi. Penduduk yang bermukim masih mengandalkan penghasilan mereka dari bercocok tanam di lahan lahan yang sempit. Belum terpikirkan oleh mereka untuk memperluas lahan garapan dengan menebang hutan di sisi selatan yang masih sangat luas. Pengetahuan mereka yang masih sangat sempit tentang olah tetanen dan ketidak beranian untuk melanggar wewaler dalam berjuang memperbaiki nasib masih merupakan sifat turun temurun yang mereka warisi dari nenek moyang.
Setelah hutan yang lebat di sisi selatan Kademangan Sambit, masih ada lagi hutan yang tak kalah lebatnya. Hutan yang menyambung dari sisi selatan Kademangan Sambit menuju dataran yang tinggi dan berakhir pada sebuah gunung yang menjulang tinggi, Gunung Bayangkaki.
Gunung Bayangkaki terlihat berdiri megah dengan puncaknya yang terkenal angker, Puncak Genthong. Dinamakan demikian karena bentuk puncak itu yang menyerupai sebuah genthong. Hutan yang masih perawan menutup hampir seluruh dataran yang menuju ke puncak Gunung Bayangkaki. Selain masih dihuni bermacam macam binatang buas dan berjenis jenis binatang beracun, hutan di sekitar Gunung Bayangkaki juga terkenal angker karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Prabu Bathoro Katong pendiri Kadipaten Panaraga yang telah mrayang dan mendirikan kerajaan siluman di puncak itu.
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak termangu mangu memandangi puncak gunung Bayangkaki yang menjulang tinggi. Setelah menembus hutan lebat di sisi selatan Kademangan Sambit, kini dia berhadapan dengan hutan belantara yang tak kalah ganasnya, hutan yang menutup hampir seluruh dataran gunung Bayangkaki.
Perlahan Ki Rangga Agung Sedayu merantas tanaman tanaman merambat dan sulur sulur yang menghalang jalannya. Dengan sesekali meloncati pokok pokok pepohonan yang roboh karena dimakan usia atau mungkin angin puting beliung pernah singgah di wilayah itu, Ki Rangga maju beberapa tombak lagi sebelum akhirnya duduk melepaskan lelah di atas sebuah akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah.
Matahari masih belum terlalu tinggi. Sinarnya kadang kadang mampu menembus di sela sela rimbunnya dedaunan sehingga menciptakan lingkaran lingkaran cahaya yang menari nari di atas tanah yang lembab. Seekor lipan sebesar ibu jari kaki orang dewasa tampak menyusup diantara daun daun kering dan ranting ranting busuk yang menutupi hampir seluruh permukaan tanah di hutan itu.
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum. Hutan ini begitu tenang dan damai namun sesungguhnya menyimpan bahaya yang tak disangka sangka. Beberapa jenis binatang beracun dari mulai seekor ular bandotan sampai kalajengking, lipan dan sebagainya masih banyak tersebar di seluruh hutan itu. Sedangkan binatang buas yang lebih besar lagi seperti harimau, ular sanca dan kadang kadang segerombolan anjing hutan juga masih banyak di jumpai.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi serta dendang merdu kicau burung burung liar ditingkah dengan teriakan monyet-monyet di kejauhan, membuat Ki Rangga Agung Sedayu terlena. Dia sudah semalaman berjalan dari kota Panaraga menuju ke Kademangan Sambit lewat Kademangan Jetis yang sepi, kemudian menembus hutan di sisi selatan sampai di kaki Gunung Bayangkaki di pagi hari itu, telah membuat tubuhnya terasa lelah. Walaupun Ki Rangga adalah seorang yang tangguh tanggon dan mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, namun suasana yang tenang dan damai serta angin yang begitu lembut bertiup telah membuat Ki Rangga duduk terkantuk-kantuk.
Ketika kantuk itu sudah hampir tak tertahankan lagi, tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu tersentak kaget ketika lamat-lamat telinganya yang sangat terlatih itu mendengar suara tembang. Suara tembang di tengah hutan belantara yang ngelangut namun sangat jelas terdengar di telinganya.
Perlahan lahan Ki Rangga berdiri sambil meluruskan tubuhnya. Sejenak suara tembang itu bagaikan lenyap tertiup angin pagi di tengah hutan yang sunyi itu.
amun beberapa saat kemudian tembang itu kembali terdengar, tembang dandang gula yang penuh berisi tentang tuntunan kehidupan dari seorang Wali yang waskita.
Kidung rumeksa ing wengi,” desis Ki Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum dalam hati. Kidung ini memang biasanya dilantunkan di malam hari, tapi orang yang di tengah hutan belantara ini melantunkannya di pagi hari, sehingga kedengarannya agak aneh.
Suara tembang itu timbul tenggelam diantara suara gererisik dedaunan yang tertiup angin. Sesekali suara itu berhenti yang entah karena apa, mungkin orang yang sedang mendendangkan tembang itu sedang sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin hanya tidur tiduran saja dibawah sebatang pohon yang rindang.
Ki Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk melihat dari dekat, siapakah yang melantunkan tembang di tengah rimba raya ini? Kalaupun itu manusia, pasti bukan orang kebanyakan yang berani menembus lebatnya hutan yang masih liar dan angker.
Sambil sesekali menyibakkan gerumbul gerumbul yang menghalang jalannya, selangkah demi selangkah Ki Rangga Agung Sedayu mendekati sumber suara tembang itu. Ketika suara tembang itu semakin jelas terdengar, di antara rimbunnya pepohonan Ki Rangga melihat seseorang sedang duduk di atas puthuk sambil bertelanjang dada. Bajunya yang berwarna hitam kusam itu disampirkan saja di atas pundaknya, sedangkan ikat kepalanya yang juga berwarna hitam diikatkan agak rendah di kepalanya sehingga hampir menutupi kedua alis matanya yang berwarna seputih kapas.
Untuk sejenak, Ki Rangga Agung Sedayu berdiri termangu mangu. Panggraitanya yang tajam mengisyaratkan bahwa dia berhadapan dengan bukan orang kebanyakan. Menilik bentuk tubuhnya yang masih tegap walaupun kulitnya sudah keriput dan rambutnya sudah putih semua seperti kapas. Suaranya masih lantang terdengar dengan jelas walaupun jarak orang itu dengan Ki Rangga Agung Sedayu ketika pertama kali mendengar tembang itu dilantunkan cukup jauh. Semua itu dapat disimpulkan bahwa Ki Rangga sedang berhadapan dengan seseorang yang pilih tanding.
Dengan sengaja Ki Rangga Agung Sedayu berjalan mendekat sebagaimana orang kebanyakan, langkahnya berat dan nafasnya memburu sehingga orang yang sedang duduk di atas puthuk itu segera menyadari kehadirannya dan berpaling kearahnya.
“O,” orang tua itu segera meluncur turun dari puthuk yang didudukinya, kemudian dengan tergesa gesa dikenakan pakaiannya yang berwarna hitam kusam.
“Silahkan , silahkan,” berkata orang tua itu kemudian sambil mempersilahkan Ki Rangga Agung Sedayu, “Suatu kehormatan bagiku dapat bertemu dengan Senopati Agul-Agul Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tersirap darah Ki Rangga Agung Sedayu mendengar namanya disebut. Sudah dua kali ini dia bertemu orang yang mengetahui jati dirinya. Apakah orang ini juga mengetahui segala yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya?
“Terima kasih Ki sanak, “ jawab Ki Rangga Agung Sedayu berusaha menguasai debar jantungnya, “Ki Sanak telah mengetahi namaku, jika tidak keberatan, apakah aku diperbolehkan mengetahui nama Ki Sanak?”
Orang tua itu tersenyum sareh, kemudian jawabnya, “Nama bagiku tidaklah terlalu penting. Aku dapat saja menyebut diriku dengan nama nama yang aneh bahkan terdengar mengerikan sekalipun. Tapi apakah itu akan berpengaruh terhadap Ki Rangga Agung Sedayu, Senopati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam untuk mengurangi getar di dadanya, katanya kemudian, “Nama bagiku akan sangat berarti. Dengan nama itulah kita dikenal walaupun mungkin hanya nama samaran yang Ki Sanak berikan, namun setidaknya aku dapat menyebut sebuah nama untuk memanggil Ki Sanak.”
Orang tua itu kembali tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian sambil melangkah menuju tempat yang agak lapang dia berkata, “Marilah Ki Rangga, sebaiknya kita berbicara sambil duduk duduk di bawah rindangnya pepohonan, agar hati menjadi tenang dan pikiran menjadi tentram.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak bisa menolak. Diikuti saja langkah orang tua itu menuju ke bawah pohon yang cukup rindang. Setelah sejenak mengamat amati tempat yang akan diduduki, Ki Rangga pun akhirnya duduk berhadap hadapan dengan orang tua itu yang hanya berjarak sekitar dua depa.
“Aneh,” desis orang tua itu, “Mengapa Ki Rangga masih memilih milih tempat untuk duduk? Apakah Ki Rangga takut dengan binatang beracun, ular, lipan, kalajengking dan sebagainya? Bukankah Ki Rangga mempunyai ilmu kebal dari segala jenis senjata tajam dan juga kebal dari segala jenis racun?”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang tua ini mengetahui benar akan kemampuan ilmunya. Namun demikian dia menjawab juga, “Bagiku selalu bersikap hati hati dalam keadaan apapun adalah awal dari sebuah kewaspadaan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganku dan apakah aku akan mampu mengatasi setiap kesulitan yang mungkin akan menimpa diriku dengan landasan ilmuku. Untuk itulah aku selalu berhati hati dalam mengambil sikap sebagai bentuk dari usaha yang nyata, sedangkan hasil akhir tetap aku pasrahkan sebagai perwujudan dari harapan dan doa kepada Yang Maha Agung yang menguasai dan memiliki hidup kita ini.”
“Luar biasa,” kembali orang tua itu berdesis perlahan sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Seseorang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin, namun tetap rendah hati dan pasrah kepada Kuasa Tertinggi di Jagad Raya ini.”
“Ki Sanak terlalu memuji,” potong Ki Rangga Agung Sedayu cepat, “Apa yang aku katakan tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang pernah diajarkan oleh Guruku. Sebagai murid, aku hanya berusaha mewujudkan apa yang telah diarahkan oleh Guruku. Aku sama sekali tidak membuat suatu hal yang baru, aku hanya mencoba meniru, itupun sebatas kemampuanku.”
Orang tua itu sejenak termenung. Seperti ada yang sedang dipikirkannya. Pandangannya jauh menerawang menembus pepohonan yang tumbuh berjajar jajar saling merapat bahkan kadang saling membelit. Mata tua itu tampak lelah mencoba melihat titik titik di kejauhan yang seakan tak mungkin terjangkau.
“Aku juga mempunyai seorang murid,” orang tua itu bergumam seolah olah kepada dirinya sendiri, “Namun harapan tinggallah harapan. Muridku itu lebih mengedepankan gebyaring kamukten dunia dari pada sisi lain dari hidup ini yang justru akan dapat membawa kita kepada kebahagiaan yang abadi.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Agaknya orang tua ini merasa kecewa dengan muridnya yang entah oleh sebab apa tidak dapat mewujudkan segala tuntunan dan cita cita Gurunya.
“Sedari tadi aku belum mengetahui nama Ki Sanak, bolehkah aku mengetahuinya sekarang?” akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memberanikan diri bertanya untuk mencoba mengalihkan pembicaraan yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang tua itu.
Orang tua itu memandang Ki Rangga Agung Sedayu dengan ragu ragu. Setelah melemparkan pandangan matanya ke pucuk pucuk dedaunan yang beriak riak tertiup angin, perlahan dia menjawab, “Aku tidak akan memberitahu jati diriku sebelum kita mengikatkan diri dengan sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?” ulang Ki Rangga Agung Sedayu, “Perjanjian apakah itu?”
Untuk kesekian kainya orang tua itu masih ragu ragu, namun kemudian katanya, “Marilah kita berjanji untuk tidak saling melibatkan diri dalam pertikaian yang sedang terjadi dalam keluarga Istana Mataram. Biarlah mereka menyelesaikan masalah keluarga itu dengan cara mereka sendiri. Walaupun sebagai prajurit, Ki Rangga pantang menolak perintah, namun permasalahan mendasar yang terjadi antara Mataram dan Panaraga adalah kepentingan pribadi dalam lingkup keluarga Istana Mataram itu sendiri.”
Untuk sejenak Ki Rangga Agung Sedayu terdiam membeku. Dengan kemampuan panggraitanya yang tajam, segera saja Ki Rangga Agung Sedayu dapat menyimpulkan dengan siapa dia berhadapan.
“Ki Singa Wana Sepuh,” tanpa sesadarnya nama itu terucap dari mulut Ki Rangga.
“Engkau benar, Ki Rangga,” perlahan orang tua yang ternyata Ki Singga Wana Sepuh itu mengangguk, “Aku sudah menunggumu seharian disini. Jangan dikira Kadipaten Panaraga tidak memiliki prajurit sandi yang mumpuni. Memang semua itu disengaja agar kita bisa bertemu disini dan saling berkenalan. Sudah lama aku mendengar nama besar Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata jauh dari cerita cerita yang selama ini berkembang di seluruh bumi Mataram. Yang aku temui adalah seorang yang benar benar sudah matang lahir batin.”
“Engkau terlalu memuji, Ki Singa Wana Sepuh,” sahut Ki Rangga, “Justru akulah yang terkejut melihat kenyataan yang aku hadapi. Ternyata guru orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu adalah orang yang pinunjul ing apapak. Berbeda dengan muridnya yang..”
“Yang tamak dan sombong,” Ki Singa Wana Sepuh lah yang meneruskan kata kata Ki Rangga Agung Sedayu, kemudian lanjutnya, “Sebenarnyalah Ranapati itu memang terlahir dari trah darah biru. Dia lahir jauh sebelum Raden Sutawijaya menjadi Raja di Mataram. Perkenalan Raden Ngabehi Loring Pasar dengan ibu Ranapati itu terjadi pada masa masa pembajaan ketika dia berkelana untuk ngangsu kawruh dari berbagai Guru, Pertapa, orang sakti yang di dampingi oleh Ki Juru Martani yang sekarang menjadi Patih di Mataram. Tanyakanlah kepadanya, seharusnya dia jujur walaupun Ranapati tidak berhak atas tahta, karena kelahirannya memang tidak dikehendaki dan sudah menjadi perjanjian bahwa keturunan dari hasil perkawinan Loring Pasar dengan ibu Ranapati tidak akan diakui sebagai keluarga Mataram.”
Tanpa disadarinya, Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menarik nafas dalam dalam. Satu lagi kisah pilu yang ditorehkan oleh segelintir orang orang yang merasa dirinya mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan. Orang orang yang merasa dirinya sebagai trahing kusumo rembesing madu, berdarah biru, yang dapat berbuat sekehendaknya tanpa ada paugeran yang membatasi, karena sebenarnyalah menurut anggapan mereka, segala paugeran yang berlaku itu hanyalah diperuntukkan bagi kawula alit.
Matahari bersinar semakin terik di siang hari itu, namun suasana di dalam hutan di kaki gunung Bayangkaki itu terasa sejuk dan damai. Angin yang bertiup menerobos di sela-sela dedaunan dan gerumbul-gerumbul liar menimbulkan bunyi seperti air bah yang meluncur dari tebing-tebing yang tinggi menuju lembah. Sedangkan suara kicau burung-burung liar sesekali masih terdengar bersahut-sahutan.
“Dimanakah Ibunda Pangeran Ranapati sekarang ini?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebuah kerutan yang dalam menghiasi kening Ki Singa Wana Sepuh, namun kemudian jawabnya, “Ibunda Ranapati masih hidup dan tinggal di sebuah kademangan yang sepi di lereng gunung Merapi sebelah timur, kademangan Cepaga. Apakah Ki Rangga bermaksud untuk membuktikannya?”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum penuh arti, kemudian jawabnya, “Tidak perlu, Ki. Aku tidak perlu membuktikan keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati, karena tugas itu telah diemban oleh orang lain.”
Tiba-tiba wajah Ki Singa Wana Sepuh menegang, katanya kemudian dengan suara bergetar, “Apakah maksudmu dengan semua itu? Apakah Ibunda Ranapati akan dilibatkan dengan perbuatan anaknya yang telah mencoreng nama baik keluarga Istana Mataram? Kalau memang itu yang dikehendaki, aku adalah orang pertama yang akan menjadi talang patinya, langkahi dulu mayatku sebelum menyeret Ibunda Ranapati dalam permasalahan ini, aku tidak peduli dengan siapa aku akan berhadapan!”
“Bukan itu maksudku, Ki,” dengan cepat Ki Rangga menjawab dengan nada rendah, “Ki Mandaraka telah mengutus dua orang telik sandi untuk menyelidiki keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati untuk membuktikan kebenaran cerita Pangeran Ranapati itu sendiri, sedangkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh Ki Patih setelah menemukan keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati, aku sendiri tidak tahu.”
Wajah Ki Singa Wana Sepuh tampak gelisah. Berkali kali dia menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, namun akhirnya dia tidak kuasa menahan beban itu sendiri, katanya kemudian, “Ketahuilah Ki Rangga, Ibunda Ranapati sejak kecilnya sudah hidup menderita. Ketika lahir ayahnya sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Masa kecilnya dihabiskan dengan hidup serba kekurangan. Ibunya hanyalah seorang buruh tani dan menggantungkan diri dari belas kasihan para tetangganya yang kadang-kadang memberinya pekerjaan sekedarnya dimasa masa tanaman padi belum dipanen dengan upah yang sangat kecil, kadang upah itu berupa bahan makanan, jagung, ubi dan sebagainya yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraanku itulah, aku telah singgah di padukuhan Cepaga yang waktu itu belum menjadi sebuah Kademangan.”
Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan terpesona mendengar kisah kehidupan Ibunda Pangeran Ranapati. Alangkah menderitanya kehidupannya dimasa itu! Agaknya penderitaan itu tak kunjung berakhir setelah kepergian Panembahan Senopati dari kehidupan cintanya. Dan kini, anak laki-laki satu satunya yang menjadi tambatan hidupnya pun telah pergi.
“Kesan pertama ketika aku menginjakkan kaki di padukuhan Cepaga adalah kemiskinan yang dialami oleh hampir seluruh penduduk padukuhan itu. Pengetahuan tentang olah tetanen dan menggarap sawah yang baik belum mereka miliki. Sebenarnya tanah garapan mereka dapat diperluas dengan menebang hutan yang masih sangat luas, namun mereka tidak mempunyai keberanian untuk berbuat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri pengembaraanku dan tinggal di padukuhan Cepaga.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Seolah olah terbayang dalam benaknya, sebuah padukuhan yang miskin dengan para penghuninya yang masih bodoh dan terbelakang sehingga kehadiran Ki Singa Wana Sepuh pada saat itu dapat memberikan perubahan yang sangat berarti.
“Apakah Ki Singa Wana Sepuh kemudian hidup dan berumah tangga di padukuhan Cepaga sebagaimana layaknya para penghuni padukuhan itu?” bertanya Ki Rangga.
Ki Singa Wana Sepuh tersenyum masam sambil menggelengkan kepalanya, “Seumur hidupku aku tidak pernah tertarik dengan seorang perempuan. Aku tidak ingin menjerumuskan diriku dengan permasalahan yang rumit dan pelik sepanjang hidupku.”
“Ah,” Ki Rangga berdesah. Tanpa disadarinya dia teringat kepada Gurunya, Kiai Gringsing yang tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya, keluarganya maupun kehidupan rumah tangganya.
“Guru sepanjang hidupnya tidak pernah mengenal perempuan,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati, “Atau mungkin Guru pernah disakiti hatinya dan memutuskan untuk hidup menyendiri? Ah, entahlah..”
“Pada waktu itu aku telah minta ijin kepada para Tetua Padukuhan untuk membuka hutan di sebelah utara padukuhan Cepaga yang berbatasan dengan padukuhan Sela, padukuhan yang telah berkembang lebih dahulu dari padukuhan Cepaga.” Ki Singa Wana Sepuh melanjutkan ceritanya.
“Apakah Ki Singa Wana Sepuh mendapat tentangan dari para penghuni padukuhan pada waktu itu? Menilik cara hidup mereka yang masih sangat sederhana dan percaya dengan kekuatan-kekuatan yang bersumber dari selain Yang Maha Kuasa yang dipercaya dapat menimbulkan kesulitan pada kehidupan mereka?”
“Memang demikian pada awalnya,” jawab Ki Singa Wana Sepuh sambil pandangan matanya menerawang menembus lebatnya hutan, “Setelah mereka aku beri pengertian dan petunjuk-petunjuk dalam meningkatkan taraf hidup mereka, akhirnya mereka mulai menyadari bahwa nasib mereka itu tergantung dari usaha mereka sendiri, bukan dari makhluk-makhluk halus yang selama ini dipercaya menunggu hutan-hutan yang lebat.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum. Dia tidak menyalahkan pandangan hidup para penghuni padukuhan itu yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan yang bersumber dari selain Yang Maha Agung. Bukankah dirinya dulu semasa mudanya juga sangat takut dengan Genderuwo bermata satu yang menghuni pohon randu alas yang tumbuh di tikungan Kali Asat? Atau macan putih yang dipercaya sebagai macan siluman yang menghuni padang rumput di Lemah Cengkar?
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengamati wajah Ki Singa Wana Sepuh yang tertunduk di depannya. Wajah itu penuh dengan guratan-guratan garis kehidupan yang menggambarkan bahwa dalam perjalanan hidupnya, Ki Singa Wana Sepuh telah banyak mengalami pahit getirnya kehidupan.
“Bagaimanakah kisah Ibunda Pangeran Ranapati setelah kehadiran Ki Singa Wana Sepuh di padukuhan Cepaga?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu setelah untuk beberapa saat mereka terdiam.
Ki Singa Wana Sepuh mendongakkan wajahnya yang penuh dengan keriput. Setelah menarik nafas sejenak, kemudian jawabnya, “Ibunya dalam keadaan sakit keras waktu aku sedang menebang hutan untuk membuat sebuah padepokan yang sederhana. Tidak ada seorang pun yang berusaha menghubungiku untuk meminta pertolongan, karena memang mereka belum mengenal aku secara dekat. Para tetangganya telah berusaha untuk menolong dan mengobati sebisanya namun Yang Maha Agung ternyata berkehendak lain. Di usianya yang masih kanak-kanak, Ibunda Ranapati kembali telah kehilangan orang yang sangat dicintainya.”
Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Kisah selanjutnya agaknya dia sudah dapat menebak, dan memang demikianlah yang terjadi, Ibunda Pangeran Ranapati telah diasuh oleh Ki Singa Wana Sepuh di Padepokannya.
“Karena Ibunda Ranapati tidak mempunyai seorang kerabat pun di padukuhan itu, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke padepokanku, padepokan yang sangat sederhana. Beberapa penghuni padukuhan itu ada yang mengungkapkan keinginan mereka untuk menjadi Cantrik, dan dengan senang hati aku telah menerima mereka, namun aku tidak mengajarkan olah kanuragan di padepokanku, aku hanya mengajarkan tuntunan kehidupan dan olah tetanen untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan mereka.”
Ki Rangga Agung Sedayu dapat membayangkan, betapa seorang gadis kecil tumbuh dalam lingkungan Padepokan yang sepi, tanpa kawan bermain selain para Cantrik yang tentu tidak akan telaten untuk diajak bermain jamuran, cublak-cublak suweng ataupun dakon. Mungkin hanya Ki Singa Wana Sepuh lah yang dapat memberikan perhatian lebih kepada Ibunda Ranapati yang telah dianggap sebagai cucunya sendiri.
Ki Singa Wana Sepuh berdesah perlahan. Ketika kemudian pandang matanya dilempar ke pucuk pucuk pepohonan yang berdaun lebat sehingga bayang-bayangnya melindungi tempat itu dari sengatan teriknya sinar Matahari, tanpa diminta oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Singa Wana Sepuh telah bercerita tentang hubungan yang terjadi antara Ibunda Pangeran Ranapati dengan Panembahan Senopati yang pada waktu itu masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Dengan bantuan para penghuni padukuhan Cepaga, aku telah berhasil membuat sebuah padepokan walaupun sangat sederhana. Bahan bahan yang aku perlukan untuk membuat sebuah padepokan semua tersedia di dalam hutan. Setelah semua kebutuhan untuk keberadaan sebuah padepokan tercukupi, akhirnya aku dan beberapa anak-anak muda bahkan ada yang sudah cukup berumur telah menempati sebuah lingkungan baru, sebuah padepokan dipinggir hutan yang berbatasan dengan padukuhan Sela. Padepokan itu kami beri nama padepokan Sela Gilang.” Demikianlah Ki Singa Wana Sepuh telah memulai ceritanya tentang masa lalu Ibunda Pangeran Ranapati.
Padepokan Sela Gilang terletak di lereng Gunung Merapi sebelah timur berbatasan dengan padukuhan yang sudah cukup ramai, padukuhan Sela. Sedangkan padukuhan tempat padepokan Sela Gilang itu sendiri terletak di padukuhan Cepaga yang sepi, di pinggir hutan yang masih cukup lebat. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan antara padukuhan Cepaga dengan padukuhan Sela yang menyusur di tengah hutan yang masih cukup lebat. Di mulut lorong jalan setapak yang menghubungkan kedua padukuhan itu terdapat sebuah batu sebesar gajah yang berwarna hitam mengkilat. Orang-orang di sekitar tempat itu menyebutnya Sela Gilang, sehingga padepokan yang keberadaannya tidak jauh dari batu itu disebut padepokan Sela Gilang.
Pemimpin padepokan Sela Gilang dulunya adalah seorang pengembara yang sampai di tempat itu dan kemudian memutuskan untuk menetap di padukuhan Cepaga. Hubungan antara para penghuni padepokan dengan para penghuni padukuhan Cepaga terjalin dengan baik, bahkan ada beberapa anak anak muda dan juga orang orang yang sudah cukup berumur telah menjadi cantrik padepokan atas kesadaran mereka sendiri. Pada umumnya mereka berguru untuk mempelajari olah tetanen dan ilmu kasampurnaning dumadi. Padepokan itu memang tidak pernah mengajarkan olah kanuragan jaya kawijayan guna kasantikan, namun yang sangat di tekankan oleh pengasuh padepokan sela gilang adalah bagaiman mencapai kebahagiaan lahir batin yang merupakan hubungan timbal balik antara sesama dan dengan Sang Pencipta.
Endang Mintarsih adalah salah satu bagian dari padepokan Sela Gilang. Dia adalah satu satunya Endang yang ada di padepokan itu. Dia telah menghuni padepokan itu selama hampir seumur dengan berdirinya padepokan itu sendiri. Sejak kanak kanak dia telah dibawa ke padepokan yang pada waktu itu baru saja berdiri dan ditempati oleh seorang perantau yang memutuskan untuk menetap di daerah itu. Karena padepokannya diberi nama padepokan Sela Gilang, maka para penghuni padukuhan Cepaga yang berdekatan dengan padepokan itu pun kemudian menyebut pemimpin padepokan itu dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang.
Pada awalnya padepokan Sela Gilang merupakan padepokan yang tenang dan tentram. Para penghuninya mengutamakan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Seandainya ada permasalahan yang mungkin timbul, mereka selalu mengedepankan hati nurani dan kesadaran akan pentingnya kebersamaan untuk memecahkan setiap perasoalan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, persoalan mulai timbul justru diantara para penghuni padepokan itu sendiri. Rasa iri dan dengki serta persaingan telah merasuk ke dalam sebagian hati dari para penghuni padepokan, terutama para cantrik cantrik yang masih muda. Penyebabnya adalah adanya setangkai bunga yang sedang tumbuh di padepokan itu. Semakin hari bunga itu tumbuh semakin indah dan telah menarik para kumbang untuk memetiknya. Beberapa kumbang telah mencoba mendekati bunga yang mulai mekar dan mewangi, namun agaknya bunga yang masih sangat muda itu masih menutup diri dari segala bentuk bujuk rayu janji palsu dari kumbang kumbang di sekitarnya.
Demikianlah bunga yang sedang tumbuh itu telah memberikan warna lain dari padepokan Sela Gilang. Dia telah menjadi kesayangan seluruh penghuni padepokan namun juga sekaligus telah menjadi akar permasalahan yang membelit di hati anak anak muda cantrik padepokan.
“Apakah persoalan yang terjadi diantara anak anak muda itu pernah diungkapkan oleh Endang Mintarsih kepada Ki Singa Wana Sepuh?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu sesaat setelah mereka terdiam.
“Secara langsung memang dia tidak pernah mengeluhkan hal itu kepadaku,” Ki Singa Wana Sepuh berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Namun hal itu dapat terbaca dari sikap kesehariannya. Dia menjadi gadis pemurung, senang menyendiri dan kadang-kadang di malam malam yang sepi, aku sering mendengar sebuah isak tangis yang tertahan tahan dari dalam biliknya.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Sekilas ingatannya melayang pada diri seorang gadis dari Tanah Perdikan Menoreh berpuluh tahun yang lalu. Seorang gadis cantik yang selalu berwajah murung. Berbeda dengan Ibunda Pangeran Ranapati, gadis dari Menoreh itu telah kehilangan ibunya sejak masih kanak-kanak, sehingga dalam perkembangan jiwanya, dia lebih mengenal bermain pedang dari pada menari srimpi atau bedaya. Ayahnya telah membentuknya menjadi sebuah pribadi yang kuat, namun hatinya tetap lembut dan mudah tersentuh terhadap perkembangan keadaan yang ada di sekelilingnya.
Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah olah ingin mengusir kenangan masa lalunya. Betapa wajah yang murung dan sinar mata yang redup dari gadis Menoreh itu seakan sirna setiap kali mereka bertemu. Wajah itu menjadi cerah, secerah rembulan di hari kelima belas, dan sinar mata yang selalu redup dan kosong itu menjadi berbinar-binar bagaikan bintang timur yang sedang terbit.
Pertemuan demi pertemuan telah menimbulkan kesan tersendiri di hati gadis itu. Kerendahan dan keluruhan hati dari anak muda yang bernama Gupita itu ternyata telah mengguratkan sebait kidung Asmarandana di hatinya.
Ki Singa Wana Sepuh yang duduk di depan Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. Sebagai orang tua yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, dia dapat merasakan sentuhan sentuhan kenangan masa lalu yang sedang dialami oleh Ki Rangga, sehingga dibiarkannya saja Ki Rangga Agung Sedayu sejenak tenggelam dalam kenangan masa lalunya.
Ketika kemudian Ki Singa Wana Sepuh terbatuk batuk kecil karena sedannya, Ki Rangga Agung Sedayu pun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi indah.
“Silahkan, Ki Rangga,” berkata Ki Singa Wana Sepuh sambil tersenyum lebar, “Kadang kadang kita memerlukan waktu untuk mengenang masa lalu, entah itu kenangan indah atau pun yang menyedihkan sekalipun. Bertolak dari kenangan kenangan itulah kita dapat lebih berhati hati dalam setiap langkah kita di masa masa mendatang.”
Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat mengangguk anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Tidak mungkin baginya untuk menceritakan kenangan masa lalunya itu kepada Ki Singa Wana Sepuh, karena setiap kali terkenang gadis Menoreh itu, perasaan bersalah selalu menyelinap di sudut hatinya yang paling dalam.
“Ma’afkan aku Ki,” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan memecah kesunyian, “Bagaimanakah awal mula perkenalan Endang Mintarsih dengan Panembahan Senopati yang pada waktu itu masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Ki Singa Wana Sepuh sejenak menarik nafas dalam sekali, kemudian dihembuskannya dengan keras seolah olah ingin dikosongkannya rongga dadanya dari segala permasalahan yang pernah membelit hatinya. Katanya kemudian, “Pada awalnya aku masih menganggap wajar persaingan antara Wiraguna dengan Wiguna, kakak beradik putra Ki Dukuh Cepaga dalam merebut perhatian Endang Mintarsih, namun ketika padepokan kami kedatangan dua orang pengembara yang mengaku bernama Ki Martani dan keponakannya Jaka Suta, suasana padepokan yang pada awalnya tenang dan tentram, berubah menjadi panas. Kelihatannya Jaka Suta tertarik kepada Endang Mintarsih sedangkan Endang Mintarsih pun gelagatnya menerima isyarat cinta dari Jaka Suta.”
“Apakah kakak beradik putra Ki Dukuh Cepaga menerima kenyataan itu?”
“Tentu saja tidak, dan perselisihan yang memang dikehendaki oleh dua orang kakak beradik itu dengan Jaka Suta pun akhirnya terjadi.”
Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak. Pertikaian yang berawal dari seorang perempuan memang sering terjadi dan berulang kali di atas bumi ini. Bahkan sebuah kerajaan yang besar bisa hancur lebur hanya karena memperebutkan seorang perempuan. Sebagai contoh dalam babad Ramayana dikisahkan bagaimana Kerajaan Alengka Diraja yang besar itu hancur tak berbekas hanya karena sang Rahwana Raja telah menculik dewi Sinta istri dari Raden Rama Wijaya.
Demikianlah yang terjadi pada waktu itu di padepokan Sela Gilang. Kedatangan dua orang pengembara ternyata telah menarik perhatian seluruh penghuni padepokan itu. Pengembara yang masih muda bernama Jaka Suta ternyata sangat tampan dan ramah. Sebentar saja seluruh penghuni padepokan telah dikenalnya, tak ketinggalan Endang Mintarsih kelihatannya sangat senang dapat bergaul dekat dengan Jaka Suta.
Sementara pengembara satunya yang sudah cukup berumur dan mengaku bernama Ki Mertani adalah paman dari Jaka Suta, dia lebih banyak berdiam diri dan kadang-kadang meninggalkan padepokan untuk suatu urusan tertentu dan meninggalkan Jaka Suta tinggal di padepokan untuk beberapa lama.
Pergaulan yang semakin dekat antara Jaka Suta dengan Endang Mintarsih ternyata telah menimbulkan persoalan baru di padepokan Sela Gilang. Wiraguna dan Wiguna yang sedang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari Endang Mintarsih merasa mendapatkan saingan yang baru. Untuk itulah mereka berencana menyingkirkan Jaka Suta dari padepokan Sela Gilang selamanya, kalau perlu dengan kekerasan.
Di suatu malam yang pekat. Mendung gelap tampak bergelayut di langit. Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi muka bumi. Sementara itu Jaka Suta sedang di dalam biliknya sendirian karena pamannya sudah dua hari ini pergi keluar padepokan untuk sebuah urusan.
Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di pintu bilik Jaka Suta. Jaka Suta yang memang belum berangkat tidur mengerutkan keningnya, dia sedang membaca sebuah rontal ketika ketukan di pintu biliknya itu terdengar. Ketika sekali lagi pintu biliknya itu diketuk agak keras, dengan cepat dirapikannya rontal-rontal yang sedang dibacanya kemudian disimpan di bawah tikar yang digunakan sebagai alas tempatnya tidur.
Dengan malas Jaka Suta kemudian berdiri dan berjalan ke pintu bilik.
“Siapa?” sapanya perlahan sebelum membuka pintu bilik.
Sejenak tidak ada jawaban, baru ketika Jaka Suta mengulang pertanyaannya untuk kali kedua, terdengar suara berat dan dalam dari balik pintu.
“Aku, Wiraguna.”
Berdesir dada Jaka Suta mendengar nama itu disebut. Bukannya dia tidak tahu siapa itu Wiraguna, namun akhir-akhir ini pandang mata kakak beradik itu apabila sedang bertemu dengannya bagaikan bara api, terutama yang muda, Wiguna. Dari sinar mata kedua kakak beradik itu dapat ditebak bahwa kehadirannya di Padepokan Sela Gilang ini tidak dikehendaki.
“Sebentar, Ki,” tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu menyela, “Bukankah di padepokan Sela Gilang itu tidak diajarkan olah kanuragan? Bagaimana mungkin kakak beradik itu akan mengusir Jaka Suta?”
“Kakak beradik putra Ki Dukuh Cepaga itu memang tidak mengenal olah kanuragan sama sekali. Justru karena pengetahuan mereka yang sempit tentang dunia olah kanuragan itulah, sehingga mereka menganggap Jaka Suta juga tidak lebih baik dari mereka.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sejenak dia teringat pada adik seperguruannya, Swandaru. Betapa Swandaru merasa memiliki kelebihan dari kakak seperguruannya hanya karena lompatan-lompatan kecil yang dicapainya setelah menekuni kitab perguruan Windujati. Namun pada akhirnya dia harus mengakui kekerdilan dirinya setelah mengetahui kemampuan yang sebenarnya dari kakak seperguruannya.
“Jadi, sikap apakah yang diambil oleh Jaka Suta menghadapi masalah ini?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian.
“Jaka Suta menyadari bahwa kedua kakak beradik itu bukan tandingannya, maka dia lebih memilih mengungkapkan jati dirinya sebelum semuanya berlarut larut.”
“Apakah kedua kakak beradik itu percaya begitu saja?”
“Tentu saja tidak, bagaimana mungkin seorang putra angkat Sultan Pajang tiba-tiba begitu saja berada di sebuah padepokan yang terpencil?”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Bukankah Jaka Suta dapat menunjukkan sebuah pertanda apapun bentuknya, sebagai bukti bahwa dia adalah Putra angkat Sultan Pajang?”
Ki Singa Wana Sepuh menggeleng lemah, “Pertanda apapun tidak akan meyakinkan kedua kakak beradik itu, karena mereka belum pernah sekalipun melihat para bangsawan dari Istana Pajang, apalagi pertanda kebangsawanan mereka.”
Ki Rangga Agung Sedayu merenung sejenak, katanya kemudian dalam hati, “Mungkin kegelapan penalaran mereka berdua lah yang menyebabkan mereka tidak mau tahu tentang diri Jaka Suta. Hubungan khusus yang terjadi antara Jaka Suta dengan Endang Mintarsih telah menimbulkan kecemburuan dan membutakan mata hati kedua kakak beradik itu.”
Ki Rangga Agung Sedayu kemudian teringat ketika dia pernah mengalami hal yang serupa. Pada saat itu dia sedang memerankan seorang gembala yang bernama Gupita dan ditugaskan oleh Gurunya untuk membuat hubungan dengan Ki Argapati yang sedang sakit dengan membawakan obat. Ternyata kedatangannya telah disambut dengan api cemburu yang menyala nyala dari hati seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada waktu itu, Wrahasta.
Untunglah Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh pada saat itu telah berbuat bijaksana dengan mengatas namakan Ayahnya, memanggil dia dan Wrahasta beserta beberapa Bebahu untuk menghadap Ki Gede Menoreh. Persoalan yang timbul karena kesalah pahaman itu kemudian langsung ditangani oleh Ki Argapati, sehingga dia terhindar dari permasalahan yang tidak berujung pangkal dengan Wrahasta.
Matahari telah sampai ke puncaknya, namun pengaruh panasnya hampir tak terasa di dalam hutan yang lebat itu. Sesekali masih terdengar teriakan-teriakan monyet dari kejauhan. Sementara seekor ular hitam tampak meluncur di sisi kanan Ki Rangga Agung Sedayu kemudian menyelinap hilang dalam rimbunnya semak belukar.
“Apakah Ki Singa Wana Sepuh membiarkan saja kesalah pahaman itu berlarut larut?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian memecahkan kesunyian.
“Tentu saja tidak,” jawab Ki Singa Wana sepuh cepat, “Aku sudah mencurigai jati diri kedua Pengembara itu pada saat pertama kali mereka datang ke padepokan. Walaupun mereka berdua berpakaian seperti orang-orang kebanyakan, namun gerak gerik mereka serta ujud kewadagan mereka, telah mengisyaratkan kepadaku bahwa mereka bukan Pengembara biasa. Terutama sebentuk cincin bermata tiga yang dikenakan oleh Jaka Suta.”
“Cincin bermata tiga?” ulang Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ya, cincin bermata tiga, simbol wahyu kedaton yang akan temurun kepada orang yang berhasil memilikinya.”
“Dan ternyata panembahan Senopati yang akhirnya mewarisi kebesaran tanah ini, yang justru hanya putra angkat, bukan Pangeran Benawa yang putra kandung dari Sultan Pajang.”
“Demikianlah cerita yang pernah aku dengar. Sebenarnya cincin bermata tiga itu memang dihadiahkan oleh Sultan Pajang kepada Pangeran Benawa, namun kemudian dengan sadar cincin itu telah diserahkan kepada Kakanda angkatnya, Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Kembali Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Benawa memang seorang Pangeran yang menyadari atas kemampuan dirinya. Walaupun Pangeran pewaris tahta Pajang yang sebenarnya ini juga memiliki kemampuan olah kanuragan yang tidak kalah dahsyatnya dengan Raden Sutawijaya, karena mereka berdua sejak masih sangat muda telah sama-sama digembleng olah kanuragan, aji-aji jaya kawijayan dan guna kasantikan langsung dari Sultan Hadiwijaya sendiri, namun Pangeran yang lembut hati ini sama sekali tidak tertarik dengan tahta, kedudukan dan gebyar kemewahan dunia. Dia lebih senang lolos dari istana untuk menyusuri hutan-hutan yang lebat, mendaki pegunungan yang terjal serta menuruni jurang dan lembah yang curam untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya.
Sejenak keduanya terdiam. Masing-masing tenggelam dalam kenangan masa lalu, suatu masa yang begitu indah untuk dikenang, namun tidak akan mungkin untuk diulang.
“Ki Singa Wana Sepuh,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Apakah kedua kakak beradik itu kemudian mempercayai keterangan dari Ki Singa Wana Sepuh tentang jati diri Jaka Suta?”
“Mereka berdua memang menaruh kepercayaan yang tinggi kepadaku. Bukan karena mereka memandang aku sebagai orang yang pilih tanding atau orang yang dapat membuat pengeram-eram, namun mereka memandangku sebagai seorang panutan dan guru di padepokan Sela Gilang yang mengajarkan tuntunan kehidupan serta pengetahuan yang tidak seberapa untuk memberikan pertolongan sekedarnya sejauh dapat kami jangkau dalam mengobati penduduk sekitar padukuhan Cepaga yang sedang mengalami musibah karena sakit atau sejenisnya.”
“Jadi, Ki Singa Wana Sepuh juga mengajarkan ilmu pengobatan?” bertanya Ki Rangga kemudian.
“Tidak seberapa, Ki Rangga,” jawab Ki Singa Wana Sepuh sambil tersenyum, “Pengetahuanku tentang obat obatan masih sangat dangkal, namun sudah cukup memadai untuk memberikan pertolongan kepada para penduduk di sekitar padepokan yang membutuhkannya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gurunya adalah seorang tabib yang mumpuni. Pengetahuannya tentang ilmu pengobatan sangat luas dan didukung dengan pengalamannya dalam menangani berbagai macam penyakit telah menjadikannya seorang dukun yang disegani.
Serba sedikit Ki Rangga Agung Sedayu sebenarnya sudah mulai menekuni ilmu pengobatan yang juga terdapat dalam kitab warisan perguruan Windujati, namun agaknya waktu yang diperlukan untuk menekuni ilmu itu justru lebih panjang dari mempelajari olah kanuragan itu sendiri. Pengenalan tentang berjenis jenis tanaman yang mengandung obat serta bermacam macam racun yang berasal dari binatang maupun tumbuhan, memerlukan ketekunan dan ketelatenan yang luar biasa. Tidak cukup seseorang yang belajar tentang ilmu pengobatan itu hanya dengan membaca ciri-ciri yang disebutkan dalam kitab kemudian sudah berani mengambil suatu kesimpulan, masih dibutuhkan pengalaman yang panjang dan luas untuk meyakinkan dan mempraktekkan ilmu itu sendiri.
“Agaknya Ki Rangga juga tertarik dengan ilmu pengobatan?” tiba-tiba Ki Singa Wana Sepuh berdesis perlahan, “Atau mungkin aku yang sudah tua ini salah dalam menilai. Setidaknya seorang murid itu akan mewarisi kemampuan gurunya, walaupun tidak seutuhnya.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menatap tajam kearah Ki Singa Wana Sepuh, namun kemudian pandangan matanya dilemparkan ke titik-titik di kejauhan, seolah olah ingin menembus lebatnya pepohonan. Katanya kemudian, “Aku agak terlambat menyadari betapa pentingnya sebuah ilmu pengobatan itu. Ketika Guru masih hidup, aku dan adi Swandaru hanya disibukkan untuk menuntut ilmu kanuragan setinggi tingginya. Memang Guru meninggalkan beberapa catatan tentang seluk beluk ilmu pengobatan itu, namun yang sangat berharga adalah pengalaman Guru sendiri yang kadang tidak disebutkan dalam sebuah kitab apapun. Semua pengalaman itu sudah berlalu tidak akan bisa kita serap, karena guru sudah meninggal, sedangkan aku baru saja mulai menekuni ilmu pengobatan itu.”
Ki Singa Wana Sepuh menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian dalam hati, “Agaknya murid tertua dari perguruan orang bercambuk ini benar-benar mewarisi ilmu Gurunya dengan seutuhnya. Sebentar lagi dia akan benar-benar tumbuh menjadi pengganti orang bercambuk, baik dalam ilmu olah kanuragan maupun ilmu pengobatan.”
Namun kemudian Ki Singa Wana sepuh pun akhirnya berkata, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti bagi seorang murid orang bercambuk. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang akan semakin bertambah, Ki Rangga akan segera dapat mengisi kekosongan dari hilangnya kesempatan untuk menyadap pengalaman-pengalaman dari Guru Ki Rangga.”
“Semoga saja demikian, Ki,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu sambil mengangguk perlahan.
“Nah, sekarang,” berkata Ki Singa Wana Sepuh kemudian, “Apakah Ki Rangga masih tertarik dengan kisah Endang Mintarsih dengan Panembahan Senapati?”
“Ah,” Ki Rangga Agung Sedayu berdesah, “Agaknya kisah itu tidak seindah kisah Arjuna Wiwaha, namun tidak ada jeleknya aku mengetahui akhir dari kisah asmara di Padepokan Sela Gilang itu.”
Ki Singa Wana Sepuh tertawa pendek, betapapun sumbangnya suara tertawa itu, “Demikianlah akhirnya, paman dari Jaka Suta yang sebenarnya adalah Ki Juru Martani itu telah melamar Endang Mintarsih untuk keponakannya, Jaka Suta. Aku masih ingat betul, betapa sinar kebahagiaan terpancar dari sepasang mata Endang Mintarsih. Apalagi setelah mengetahui bahwa Jaka Suta itu sebenarnya adalah Raden Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang, angan-angannya betul-betul melambung setinggi awan.”
“Apakah Endang Mintarsih berpengharapan akan diboyong ke Istana Pajang atau bahkan ke Mataram yang baru tumbuh pada waktu itu?”
“Setidaknya demikian,” Ki Singa Wana Sepuh berhenti sejenak, lalu, “Itu adalah wajar karena setiap manusia pasti berkeinginan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Sebenarnya aku sudah menyadari sejak semula bahwa tidak mungkin Endang Mintarsih akan ikut menikmati kamukten. Karena dia bukan dari trah bangsawan, dia hanya berasal dari orang kebanyakan, pidak pedarakan. Paling-paling dia akan dijadikan Putri triman dan kemudian dilupakan.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri bertanya, “Apakah memang demikian nasib Endang Mintarsih? Menjadi Putri triman dan selanjutnya dengan mudah dilupakan?”
Ki Singa Wana Sepuh menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Setelah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya sambil menggeleng gelengkan kepalanya, dia menjawab, “Benar-benar suatu pukulan batin yang tiada taranya telah dialami oleh Endang Mintarsih. Sebelum mereka berdua aku nikahkan, Raden Sutawijaya telah memberi gelar kebangsawanan kepada Endang Mintarsih terlebih dahulu. Nama Endang Mintarsih telah diganti menjadi Rara Ambarasari.”
“Rara Ambarasari,” perlahan lahan Ki Rangga Agung Sedayu mengulang nama itu.
“Ya, sebuah nama yang cukup indah, dan sejak saat itu seluruh penghuni padepokan diwajibkan memanggil Endang Mintarsih dengan sebutan Rara Ambarasari.” Ki Singa Wana Sepuh menambahkan.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termenung. Betapa manusia dengan mudah terbius oleh kesenangan duniawi yang semu. Dengan mudah Ki Rangga dapat menebak akhir dari kisah asmara di padepokan Sela Gilang itu, dan yang akan menjadi korban dan menderita sepanjang hidupnya pastilah perempuan yang bernama asli Endang Mintarsih itu.
Demikianlah memang yang terjadi kemudian. Ketika usia kandungan Endang Mintarsih atau Rara Ambarasari itu telah mendekati enam bulan, bencana itu pun datang. Seorang Wali yang waskita telah datang mengunjungi padepokan Sela Gilang untuk menjemput Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Apakah kepentingan Wali yang waskita itu menjemput Mas Ngabehi Loring Pasar?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu sambil menggeser duduknya beberapa jengkal, tanpa sengaja ternyata dia telah menduduki sebuah sarang semut.
Sejenak Ki Singa Wana Sepuh tersenyum sambil memandangi Ki Rangga Agung Sedayu yang sibuk mengibas-ngibaskan kain panjangnya yang dikerumuni oleh semut-semut kecil yang berwarna merah. Namun kemudian jawabnya, “Beliau menjemput Raden Sutawijaya untuk dijadikan muridnya. Pandangan beliau yang waskita telah melihat masa depan tanah ini akan berpindah dari Pajang ke Alas Mentaok. Untuk itulah beliau menyiapkan Raden Sutawijaya lahir dan batin yang nantinya akan menjadi Raja dan memerintah tanah ini di kemudian hari.”
“Jadi,“ sahut Ki Rangga cepat, “Rara Ambarasari ditinggalkan begitu saja di padepokan Sela Gilang tanpa masa depan yang pasti?”
“Tentu saja tidak,” jawab Ki Singa Wana Sepuh, “Sebagai putra angkat Sultan Pajang pada waktu itu, Raden Sutawijaya berhak memberikan tanah palungguh kepada Rara Ambarasari. Dukuh Cepaga telah diresmikan menjadi sebuah Kademangan dan Wiraguna, putra tertua Ki Dukuh Cepaga telah diangkat menjadi Demang yang pertama mewakili anak dalam kandungan Rara Ambarasari yang belum lahir.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam, wajahnya menampakkan keheranan.
“Mengapa Wiraguna yang ditunjuk menjadi Demang yang pertama?” tanya Ki Rangga akhirnya, “Apakah Wiraguna mempunyai sangkut paut dalam masalah ini?”
“Tentu saja,” jawab Ki Singa Wana Sepuh cepat, “Ma’af aku lupa menyebutkan. Karena Raden Sutawijaya akan mengikuti Wali yang waskita tersebut untuk batas waktu yang tidak ditentukan, sedangkan anak dalam kandungan Rara Ambarasari memerlukan sosok seorang ayah kelak apabila jabang bayi itu lahir, maka Rara Ambarasari telah dihadiahkan sebagai Putri triman kepada Wiraguna.”


*********


Bersambung ke jilid 400

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com