Rabu, 17 April 2024

Lanjutan ADBM 400

buku 400

Keragu-Raguan masih membayang di wajah Ki Rangga Agung Sedayu, maka kemudian katanya, “Wiraguna adalah salah satu dari sekian anak-anak muda yang berusaha mengambil hati Endang Mintarsih. Apakah Panembahan Senapati mempunyai pertimbangan khusus untuk memilih Wiraguna?”

Ki Singa Wana Sepuh tersenyum sekilas. Agaknya dia memaklumi mengapa Ki Rangga Agung Sedayu tidak habis pikir bahwa Raden Sutawijaya justru telah memilih salah satu dari kakak beradik yang nyata-nyata mengambil sikap berseberangan dengannya sebelum mereka menyadari dengan siapa mereka berhadapan.

“Raden Sutawijaya memilih Wiraguna dengan pertimbangan Wiraguna adalah putra tertua dari Ki Dukuh Cepaga. Secara langsung Wiraguna akan menggantikan kedudukan Ayahnya kelak apabila masanya telah tiba. Dan ternyata Raden Sutawijaya telah mempercepat datangnya masa itu, masa pergantian pemimpin di padukuhan Cepaga dengan memberikan serat kekancingan atas nama Putra Sultan Hadiwijaya penguasa tertinggi di Pajang untuk menaikkan kedudukan dari sebuah Padukuhan menjadi sebuah Kademangan.”

Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dia memuji keluhuran budi Mas Ngabehi Loring Pasar yang tidak menaruh dendam sedikit pun kepada kedua kakak beradik itu yang jelas-jelas telah memusuhinya dan berusaha menyingkirkannya dari lingkungan Padepokan.

“Apakah Rara Ambarasari menerima kehadiran Wiraguna dalam kehidupannya?” tanpa disadarinya pertanyaan itu meluncur begitu saja dari Ki Rangga Agung Sedayu.

Ki Singa Wana Sepuh tertawa pendek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah Rara Ambarasari mempunyai hak untuk menolak? Begitulah memang perempuan diperlakukan oleh kebanyakan laki-laki, mereka tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan yang menyangkut nasib mereka sendiri.”

Ki Rangga Agung Sedayu termenung sejenak. Sekilas angannya kembali ke masa berpuluh tahun yang silam. Samar-samar dalam ingatannya terbayang seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung sedang berjuang membebaskan tanah kelahirannya dari kehancuran akibat pertikaian keluarga. Hari-hari dilaluinya dengan penuh ketegangan, hampir tidak ada waktu sama sekali baginya untuk berhias ataupun mengurus dirinya sebagaimana gadis-gadis seusianya. Namun justru keadaanlah yang telah membentuk kecantikannya bagaikan sekuntum mawar hutan, kecantikan alami diantara tajamnya duri-duri di sekelilingnya, setajam ujung-ujung pedang yang saling berebut menumpahkan darah, justru di atas tanah kelahiran sendiri.

“Ah,” Ki Rangga Agung Sedayu berdesah dalam hati, “Dia dengan ikhlas telah menjalani hidup bersama Adi Swandaru. Apapun yang terjadi sebelumnya, namun kenyataannya Adi Swandaru telah menerima gadis itu dalam keadaan utuh.”

Namun di sudut hatinya yang lain terdengar suara lirih namun terdengar sangat jelas memukul-mukul dinding hatinya, “Bukankah hati gadis itu telah cacat? Hati gadis itu telah patah dan hancur berkeping keping justru ketika sentuhan pertama dari seorang gembala yang bernama Gupita ternyata telah menghempaskan angan angannya ke jurang yang paling dalam. Gadis itu tidak utuh lagi. Gadis itu telah cacat hatinya, dengan demikian saudara seperguruanmu telah menerima gadis itu tidak seutuhnya. Bukankah itu sama artinya dengan menerima seorang putri triman?”

“Tidak, tidak..!” sudut hatinya yang lain mencoba membantah, namun gaungnya terasa sangat sumbang, “Tidak ada seorang pun yang mampu mengetahui isi hati seseorang. Aku pun tidak. Gadis itu kini telah hidup bahagia di sisi Adi Swandaru dan telah dikaruniai seorang momongan.”

“Apakah ukuran sebuah kebahagiaan itu?” kembali sudut hatinya yang lain menyahut, “Apakah seseorang dapat dikatakan bahagia apabila dalam perjalanan hidupnya penuh dengan linangan air mata? Lihatlah Sedayu, lihatlah..! Berapa kali gadis itu dalam perjalanan hidupnya harus memeras air mata? Apakah Kau dapat merasakan pedihnya hati seorang perempuan yang diduakan oleh suaminya? Dan kini peristiwa itu terulang kembali. Dia masih berusaha dengan ikhlas merawat suaminya yang terluka walaupun hatinya terasa tersayat sayat sembilu karena menyadari permasalahan yang sebenarnya terjadi juga tidak berkisar jauh dari seorang perempuan. Sudah saatnya Kau mengambil sebuah keputusan untuk menyelamatkan sisa hidupnya.”

“Gila, gila..!” tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu berdesah sambil memukul-mukul kepalanya.

Ki Singa Wana Sepuh yang duduk di depannya tersentak mendengar desah Ki Rangga Agung Sedayu. Sejenak wajah tua itu menegang, namun kemudian dengan perlahan wajah itu mencair kembali, dan sebuah senyum kecil pun tersungging di bibirnya.

“Apakah Ki Rangga sudah selesai?” tiba-tiba sebuah pertanyaan dari Ki Singa Wana Sepuh telah mengejutkan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Maksud Ki Singa Wana Sepuh?” justru Ki Rangga yang balik bertanya.

“Aku lihat sedari tadi Ki Rangga terbuai dengan kenangan masa lalu. Barangkali kisah cinta Rara Ambarasari ini telah mengungkit kenangan pribadi Ki Rangga.”

“Ah,” desah Ki Rangga perlahan sambil melemparkan pandangan matanya ke titik-titik di kejauhan, “Peristiwa itu sudah lama sekali terjadi, Ki. Ketika kami masih sama-sama muda, masa yang penuh gairah untuk meraih masa depan dan cita-cita.”

Ki Singa Wana Sepuh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam lirih, seakan akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Masa muda bagiku seolah tak berarti sama sekali. Hari demi hari kulewati bagaikan sebuah aliran sungai yang memang seharusnya begitu, berkelok, menurun, menyusur tebing-tebing dan menggeser bebatuan di tepian. Alangkah membosankannya! Tanpa sentuhan warna dan tanpa belaian cinta.”

Ki Rangga Agung mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil menatap lekat-lekat seraut wajah tua itu, dia berdesis perlahan seolah-olah tidak ingin menggoncangkan hatinya, “Agaknya masa muda Ki Singa Wana Sepuh dilalui jauh dari sentuhan seorang perempuan. Ataukah ada kesengajaan dari Ki Singa Wana Sepuh sendiri untuk menghindari sentuhan -sentuhan itu betapapun lembutnya.”

“Memang demikianlah yang terjadi waktu itu,” Ki Singa Wana Sepuh yang sudah terlanjur mengungkap sepenggal dari kisah hidupnya itupun akhirnya membuka diri, “Sejak masa kanak-kanak aku sudah mendapati diriku diasuh oleh seorang Pertapa yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Sejak kecil hidupku sudah terbiasa dengan semak belukar dan hutan belantara sehingga Sang Pertapa itu memberiku julukan Singa Wana.”

“Yang berarti seekor singa yang tinggal di hutan,” Ki Rangga berhenti sejenak lalu, “He, bukankah sudah sewajarnya kalau seekor singa itu tinggal di hutan?”

Ki Singa Wana Sepuh tertawa tertahan tahan, jawabnya kemudian, “Banyak orang yang beranggapan kalau seekor singa itu tinggal di hutan. Sebenarnyalah seekor singa itu lebih senang hidup di sebuah padang perburuan sehingga dia akan lebih leluasa untuk berburu dan mengejar mangsanya.”

“Jadi, apakah maksud Pertapa itu memberi nama Singa Wana?”

“Entahlah, mungkin seekor Singa akan banyak menemui kesulitan jika harus berburu di hutan yang lebat dan pepat. Dia tidak akan leluasa bergerak mengejar mangsanya. Demikian juga mungkin harapan Pertapa itu kepadaku, agar aku menjadi sekuat seekor singa namun dalam perjalanan hidupku, aku tidak perlu berburu ataupun berusaha untuk menciptakan sebuah padang perburuan.”

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum lebar mendengar keterangan Ki Singa Wana Sepuh yang terdengar agak janggal. Namun apapun arti sebuah nama, semua itu kembali kepada pribadi yang menyandang nama tersebut dalam menjalankan peran dirinya dalam kehidupan bebrayan.

“Ki Singa Wana Sepuh atau Ki Ageng Sela Gilang, panggilan yang manakah yang sebaiknya aku gunakan, Ki? “ tiba-tiba tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu bergumam.

Ki Singa Wana Sepuh tertawa tertahan mendengar gumam Ki Rangga, katanya kemudian, “Terserah sajalah Ki Rangga, Kau dapat memanggilku dengan sebutan apa saja, aku tidak akan keberatan.”

“Jika tidak keberatan, sejak saat ini aku akan memanggil Ki Singa Wana Sepuh dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang.” Berkata Ki Rangga selanjutnya.

Ki Singa Wana Sepuh atau yang biasa dipanggil Ki Ageng Sela Gilang di Kademangan Cepaga itu tersenyum sekilas kemudian katanya, “Itu kelihatannya akan lebih baik, Ki Rangga. Nama Singa Wana Sepuh selalu dikaitkan dengan keberadaan Pangeran Ranapati. Sejak dia aku latih untuk menekuni olah kanuragan dari bekal pengetahuanku yang sangat terbatas, ternyata dia senang mengikuti jejakku untuk bertapa dan mengunjungi tempat-tempat yang sepi sebagai landasan batinnya untuk menerima dan menyelaraskan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Terbayang dalam angan-angannya bagaimana Pangeran yang keras hati itu di masa mudanya sangat tekun menuntut ilmu serta memperdalam olah batin dengan bertapa dan menyepi di goa-goa atau hutan-hutan lebat yang belum terjamah oleh manusia.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Sejak saat ini tidak ada lagi nama Singa Wana Sepuh, nama yang telah menggetarkan istana Mataram sehingga Ki Patih Mandaraka memerlukan untuk mengirim seorang Rangga pemimpin pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh untuk menjadi perimbangan kekuatan seandainya benar akan pecah perang antara Mataram dan Panaraga. Namun sebenarnyalah aku tidak yakin dan merasa belum cukup bekal untuk menandingi Guru Pangeran Ranapati itu.”

“Ah,” Ki Singa Wana Sepuh yang kini lebih senang dipanggil dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang itu berdesah, “Justru akulah yang sudah hampir pingsan ketika mendapat laporan dari para petugas sandi Kadipaten Panaraga bahwa Senapati Agul-Agul Mataram yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu telah memasuki tlatah Kadipaten Panaraga.”

Ki Rangga Agung Sedayu tertawa pendek mendengar seloroh Ki Ageng Sela Gilang, kemudian katanya sambil bersungguh-sungguh “Ternyata berita yang aku dengar tentang kesaktian Guru Pangeran Ranapati yang ngedab-ngedabi itu ternyata benar adanya. Dalam keadaan yang hampir pingsan saja dia masih dapat menjelajahi hutan-hutan lebat sehingga sampai di kaki Gunung Bayangkaki ini, benar-benar luar biasa.”

“Ah,” Ki Ageng Sela Gilang lah yang kini justru tertawa berkepanjangan mendengar gurauan Ki Rangga, kemudian jawabnya disela-sela derai tawanya, “Jangankan hanya dalam keadaan hampir pingsan, dalam keadaan yang sebenar benarnya pingsan pun aku mampu menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, karena Soma dan kawannya itulah yang akan mendukungku kemana pun aku pergi.”

Kini keduanya tertawa tergelak gelak. Tidak ada rasa permusuhan sama sekali diantara keduanya. Seolah olah mereka adalah sahabat lama yang bertemu kembali setelah tidak pernah saling berjumpa.

“Ki Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian setelah keduanya berhenti tertawa, “Apakah rencana Ki Ageng selanjutnya jika Ki Ageng telah memutuskan untuk tidak ikut campur dengan urusan pertikaian keluarga Istana Mataram?”

Sejenak Ki Ageng Sela Gilang termenung, kemudian katanya sambil menghela nafas panjang, “Kalau memang benar Ki Patih Mandaraka telah mengirim petugas sandi ke Kademangan Cepaga untuk menyelidiki kebenaran tentang keberadaan ibu Pangeran Ranapati, aku harus segera kembali ke Padepokan. Aku tidak rela jika Rara Ambarasari yang telah menderita sepanjang umurnya itu masih harus sekali lagi menderita di tangan para petugas sandi Mataram.”

“Tentu tidak akan terjadi, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu cepat sambil menggelengkan kepalanya, “Petugas sandi Mataram yang dikirim ke lereng Merapi itu masih saudara sepupuku sendiri, aku jamin dia tidak akan berbuat diluar tugasnya.”

Guru Pangeran Ranapati itu mengangguk anggukkan kepalanya, “Terima kasih Ki Rangga. Sebaiknya sekarang aku segera minta diri. Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama meninggalkan Padepokan Sela Gilang.”

“Bukankah Ki Ageng di masa mudanya adalah seorang petualang sejati?”

“Itu terjadi ketika aku masih muda. Sekarang setelah tua ini, rasa rasanya aku hanya ingin sebuah ketenangan dan kedamaian untuk menyongsong hari-hari terakhirku menjelang.”

“Ah,” potong Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berpikiran seperti itu? Kita tidak tahu dan memang tidak akan diberitahu kapan saat-saat kita diperkenankan Nya untuk menghadap dengan membawa segala pertanggung jawaban kita selama menjalani kehidupan ini. Semua itu adalah rahasia yang Maha Kuasa. Selama kita masih diberi kesempatan, kita masih diperkenankan untuk berusaha.”

“Kau benar Ki Rangga,” jawab Ki Ageng, “Namun rasa-rasanya perjalananku ini sudah hampir sampai ke batas. Namun aku tidak akan ingkar akan kuwajibanku sebagai hamba. Selama hayat masih dikandung badan, sejauh-jauhnya aku akan tetap melaksanakan darma baktiku kepada sesama.”

Matahari telah jauh tergelincir ke barat. Angin sore yang kadang bertiup kencang menerobos sela-sela dedaunan dan menggoyang ranting-ranting di pucuk-pucuk pepohonan. Beberapa daun yang sudah kering berjatuhan tertiup angin. Helai demi helai meluncur dan meliuk-liuk di udara sebelum akhirnya jatuh tergeletak di atas tanah yang lembab.

“Marilah Ki Rangga,” akhirmya Ki Ageng Sela Gilang itupun bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan segera kembali ke Padepokanku. Aku tidak akan kembali ke Kadipaten Panaraga, biarlah Ranapati kebingungan mencariku. Tapi apabila dia mendapat laporan dari prajurit sandi bahwa yang ditakutkan selama ini, yaitu Senapati Agul-Agul Mataram Ki Rangga Agung Sedayu sudah tidak berada di Panaraga lagi, tentu dia juga tidak akan membutuhkan bantuanku lagi.”

“Bukan begitu Ki Ageng,” sela Ki Rangga Agung Sedayu, “Jika Ki Ageng mempunyai rencana untuk meninggalkan Panaraga dan kembali ke lereng Merapi, aku justru mempunyai rencana sebaliknya.”

Sejenak wajah Ki Ageng Sela Gilang menegang, dengan bersungguh sungguh dia bertanya, “Rencana apakah itu, Ki Rangga?”

“Aku akan langsung pergi ke Istana Kadipaten Panaraga.”

“He..!” seru Ki Ageng Sela Gilang terheran heran, “Untuk apakah Kau ke sana?”

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas sejenak, lalu katanya perlahan lahan sehingga setiap kata terdengar jelas di telinga Ki Ageng Sela Gilang, “Aku akan menghadap Adipati Jayaraga atau setidaknya dapat bertemu dengan Pangeran Ranapati sendiri.”

Ki Ageng Sela Gilang menggeram keras, “Apakah maksudmu sebenarnya Ki Rangga? Mempermainkan Guru Ranapati sama dengan membunuh diri.”

“O.., tidak, tidak,” sahut Ki Rangga cepat, “Bukan maksudku untuk mempermainkan Ki Ageng, aku hanya ingin menyampaikan pesan kepada pangeran Ranapati bahwa Gurunya telah meninggalkan Panaraga dan kembali ke barat, kembali ke Padepokan Sela Gilang. Mungkin Pangeran Ranapati akan berubah pikiran dan mengikuti Gurunya untuk kembali ke tanah kelahirannya.”

“Ah,” Ki Ageng Sela Gilang tertawa hambar, “Ki Rangga masih juga bergurau. Sebaiknya kita segera meninggalkan hutan ini. Rasa rasanya ada yang memanggilku untuk segera kembali ke Padepokan Sela Gilang.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Diikutinya saja langkah Ki Ageng yang menyusur lebatnya pepohonan dan menyusup gerumbul-gerumbul liar menjauhi kaki Gunung Bayangkaki.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah mendapat pesan dari Ki Patih Mandaraka melalui para petugas sandi untuk menelusuri kebenaran tentang keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati telah berjalan semakin jauh dari tlatah Panaraga.

Mereka sengaja menghindari jalan-jalan yang ramai dan Padukuhan-Padukuhan yang besar agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan. Mereka berdua pada dasarnya adalah sepasang suami istri yang sudah terbiasa dengan alam sekitarnya. Menjelajahi gunung, hutan dan lembah bagi mereka adalah sebuah tamasya yang mengasyikkan. Tidak ada yang membandingi kuasa Yang Maha Agung dalam menciptakan maha karya yang agung dan indah tiada taranya, alam semesta yang begitu sempurna.

Perjalanan mereka kadang terhenti sejenak untuk beristirahat. Mereka sengaja memilih beristirahat di hutan atau di gubuk tengah sawah yang sepi dari jangkauan manusia. Dengan demikian perjalanan mereka hampir tidak ada halangan satu pun juga.

Di hari ketiga, ketika Matahari hampir mencapai puncak langit, mereka berdua sedang menyusuri hutan lebat di sisi selatan Gunung Merapi. Hutan itu masih belum terjamah tangan manusia. Beberapa bagiannya bahkan nyaris tidak dapat ditembus. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan adalah bukan orang kebanyakan. Dengan kemampuan ilmu mereka, akhirnya sepasang suami istri itu berhasil mendekati Kademangan Cepaga dari arah sisi selatan.

Ketika kemudian hutan yang mereka rambah mulai menipis, sebuah padang perdu yang cukup luas terbentang di hadapan mereka. Di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu yang menebar di seluruh padang itu, lamat-lamat sebuah jalur jalan setapak tampak menjelujur menuju sebuah Padukuhan yang masih tampak samar-samar dari tempat mereka berdiri.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Seolah olah ingin dihisapnya seluruh udara yang ada di padang perdu itu. Sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut padang perdu itu, dia berdesis perlahan lahan, “Kelihatannya ada beberapa penghuni Padukuhan yang melewati padang ini entah untuk suatu keperluan apa. Mungkin berhubungan dengan hutan ini. Aku tadi sempat menjumpai bekas-bekas pokok batang pohon yang roboh karena ditebang menilik dari bekas bekasnya.”

“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan yang berdiri di sebelahnya, “Para penghuni Padukuhan itu mungkin memanfaatkan hutan ini untuk suatu keperluan. Pohon-pohon yang besar dan cukup tua dapat dimanfaatkan untuk bahan membangun tempat tinggal atau bahkan mungkin untuk membuat perabotan yang mereka perlukan sehari hari.”

Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil meraih tangan Rara Wulan dan menggandengnya, mereka berdua pun kemudian berjalan perlahan lahan menyusuri jalur jalan setapak yang ada di padang perdu itu.

Tiba-tiba pandangan mata Glagah Putih yang tajam menangkap titik-titik yang bergerak gerak di kejauhan menyeberangi padang perdu itu dari arah timur. Jaraknya memang masih cukup jauh, namun Glagah Putih yakin bahwa yang sedang bergerak menyeberangi padang perdu itu adalah sekelompok orang, mungkin tiga orang atau bahkan lebih.

Segera saja Glagah Putih menarik tangan Rara Wulan untuk berjongkok di belakang sebuah gerumbul yang cukup rimbun. Dari arah itu Glagah Putih masih bisa mengawasi sekelompok orang yang kelihatannya justru bergerak menuju kearah mereka berdua bersembunyi.

Rara Wulan yang belum menyadari apa yang sedang terjadi sempat menggerutu. Katanya kemudian sambil merenggutkan tangannya dari genggaman Glagah Putih, “Ah, Kakang ini. Bukan waktunya main petak umpet. Kita harus segera menyampaikan laporan dari hasil pengamatan kita ini sebelum benar-benar terjadi perang antara Mataram dan Panaraga.”

Glagah Putih tersenyum sambil berpaling ke arah Rara Wulan dan mengedipkan sebelah matanya, jawabnya kemudian, “Kadang memang ada kerinduan untuk kembali ke masa kanak-kanak. Alangkah indahnya, bermain petak umpet di bawah sinar bulan purnama tanpa ada rasa takut akan kegelapan. Bahkan kita dapat bermain sampai jauh malam sebelum orang tua kita memaksa kita untuk berangkat tidur.”

“Sudahlah Kakang, simpan saja kenangan masa lalu itu. Marilah segera kita tuntaskan tugas ini. Kademangan Cepaga telah berada di depan mata.” Berkata demikian Rara Wulan segera bangkit berdiri, namun tiba-tiba Glagah Putih dengan cepat meraih tangannya dan menariknya kembali untuk berjongkok di tempat semula.

Baru saja Rara Wulan akan membuka mulutnya, Glagah Putih telah meletakkan jari telunjuknya di bibir Rara Wulan sambil menunjuk ke arah Timur.

Sejenak Rara Wulan mengerutkan keningnya. Orang-orang yang menyeberangi padang itu memang masih cukup jauh, namun sekarang mereka berdua sudah dapat menghitung berapa orang yang sedang berjalan sambil bergurau itu. Tampak senjata-senjata yang terselip di lambung mereka, bahkan ada yang menjinjing sebuah tombak pendek.

“Lima orang,” desis Rara Wulan.

“Ya, lima orang,” Glagah Putih yang berjongkok di sebelahnya menimpali, “Pemandangan yang agak aneh. Di Padukuhan yang terpencil ini kita menjumpai orang-orang yang bersenjata. Bukan sebuah senjata untuk menebang pohon atau menyabit rumput, tapi sebenar benarnya senjata, senjata untuk berkelahi.”

“Mungkinkah mereka itu gerombolan penyamun?” tiba-tiba Rara Wulan mengemukakan pendapatnya.

“Mungkin juga,” jawab Glagah Putih, “Akan tetapi mengapa mereka berkeliaran di siang hari?”

“Tentu saja mereka tidak akan mendapatkan mangsa kalau berkeliaran di sini pada saat malam hari, kecuali mereka mendatangi Padukuhan itu dan merampok dari pintu ke pintu.”

“Bukankah dengan demikian mereka akan berurusan dengan para peronda?”

Rara Wulan tertegun sejenak, namun jawabnya tak mau kalah, “Itu menandakan bahwa mereka merasa kuat dan mampu mengatasi para peronda, baik dalam jumlah maupun kemampuan olah kanuragan mereka.”

“Tapi yang terjadi sekarang ini mereka justru berkeliaran di siang hari.” Kembali Glagah Putih menyangkal pendapat Rara Wulan.

Rara Wulan benar-benar menjadi jengkel. Akhirnya dengan bersungut-sungut dia berkata, “Mengapa tidak kita tanyakan saja kepada mereka? Dari pada berandai-andai tanpa ujung pangkal.”

Glagah Putih tersenyum. Tanpa sesadarnya disentuhnya pundak kanan Rara Wulan dengan lembut sambil berbisik, “Ma’afkan aku Wulan. Bukan maksudku untuk mengajakmu berdebat. Marilah kita pusatkan perhatian kita pada mereka. Agaknya mereka akan berjalan beberapa langkah di depan kita. Semoga serba sedikit kita dapat menangkap pembicaraan mereka sehingga dapat memberikan gambaran dengan siapa kita berhadapan.”

Keduanya pun kemudian terdiam karena orang-orang yang berjalan melintasi padang perdu itu semakin dekat. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat mengamat-amati wajah-wajah yang keras, sekeras batu-batu padas di gerojokan serta cara berpakaian mereka yang sedikit aneh dan tidak wajar bagi orang-orang kebanyakan.

“Gila,” tiba-tiba orang yang berjalan paling depan mengumpat keras, “Mengapa Wiguna begitu pengecut? Janda tua itu seharusnya sudah mati dicekiknya.”

Beberapa orang yang mendengar umpatannya tertawa. Seorang yang berbadan raksasa dengan sebuah bindi berukuran sangat besar yang dipanggul di pundak kanannya menyahut, “Mungkin Wiguna merasa kasihan, Ki Lurah. Bukankah janda tua itu masih terhitung kakak iparnya?”

Orang yang berjalan di paling depan yang dipanggil Ki Lurah itu sekali lagi mengumpat, katanya kemudian, “Bukankah suami perempuan tua itu sudah mati? Semua orang tahu bahwa Wiguna adalah adik Wiraguna, Demang Cepaga yang sudah mati tiga tahun yang lalu. Jadi apa permasalahan yang sebenarnya? Wiguna seharusnya dapat menggantikan kedudukan kakaknya itu tanpa banyak permasalahan.”

“Tapi janda tua itu mempunyai seorang anak laki-laki,” sahut seorang yang berbadan pendek kekar dengan janggut yang jarang-jarang yang berjalan di samping kanan orang yang berbadan raksasa itu.

“Persetan dengan Teja Wulung,” kembali terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu menggeram, “Dia tidak akan pernah kembali ke Kademangan ini.”

Sementara itu langkah segerombolan orang-orang aneh itu telah semakin jauh menyeberangi padang perdu menuju ke arah Barat. Lamat-lamat mereka masih terdengar melanjutkan percakapannya, namun jaraknya sudah semakin jauh dari tempat persembunyian Glagah Putih dan Rara Wulan.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang mencoba mendengarkan percakapan mereka dengan mengerahkan aji sapta pangrungu. Namun begitu aji itu sudah mereka trapkan, justru rombongan orang-orang aneh itu telah menghentikan percakapan mereka.

Akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit berdiri. Sementara rombongan orang-orang aneh itu telah semakin jauh dan hanya terlihat seperti bintik-bintik hitam di sela-sela gerumbul dan pepohonan yang bertebaran di padang itu.

Ketika kemudian ronbongan orang-orang aneh itu sudah tidak tampak lagi, Glagah Putih pun kemudian melangkahkan kaki sambil berkata, “Marilah Wulan, kita langsung menuju Kademangan Cepaga. Serba sedikit kita telah mendapatkan bahan dari para petugas sandi. Setidaknya kita dapat mulai dari Janda tua yang disebut sebut orang-orang tadi. Mungkin yang dimaksud adalah Rara Ambarasari istri dari Wiraguna, Demang Cepaga yang telah meninggal tiga tahun yang lalu.”

Rara Wulan hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil berlari kecil mengikuti langkah Glagah Putih yang mendahuluinya beberapa langkah di depan. Ketika kemudian dia telah sampai di samping Glagah Putih, dengan segera dirangkulnya lengan kiri Glagah Putih dengan manja.

Ada sebuah desir tipis yang menelusup ke dalam dada Glagah Putih. Betapapun juga dia tidak bisa mengingkari kodrat Rara Wulan sebagai seorang perempuan yang selalu ingin diperhatikan dan dimanja. Sebagai seorang suami, Glagah Putih merasa belum pernah memberikan kebahagiaan dan hidup yang berkecukupan sebagaimana kehidupan rumah tangga kebanyakan orang kepada istrinya itu.

Ketika kemudian sepasang suami istri itu telah mencapai ujung padang perdu itu, sebuah regol yang cukup besar tampak berdiri dengan kokohnya. Di samping regol itu terdapat sebuah gardu yang cukup besar. Gardu itu memang di siang hari hampir selalu kosong, kadang-kadang hanya satu atau dua orang pengawal saja yang tampak berjaga jaga. Namun menjelang sore setelah Matahari terbenam, bukan hanya para pengawal yang bertugas saja yang menempati gardu tersebut, beberapa anak muda yang telah selesai mengerjakan pekerjaan mereka sehari hari pun ikut bergerombol menjaga regol Kademangan Cepaga.

Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu di depan regol yang cukup besar itu. Ada kesan yang mendebarkan ketika sepasang suami istri itu memandang ke arah pintu regol yang besar dan kuat yang dibiarkan terbuka lebar begitu saja. Ternyata pada bagian tengah-tengah pintu itu, telah hancur dan meninggalkan bekas yang mengerikan. Agaknya pintu itu pernah dibuka paksa dengan kekuatan yang nggegirisi menilik dari bekas bekasnya.

Sejenak mereka berdua masih merenungi pintu regol itu beberapa saat. Sebenarnyalah mereka tidak gentar oleh kekuatan yang mampu menjebol pintu itu, karena mereka pun yakin dapat melakukan hal yang sama, namun yang menjadi pertimbangan mereka adalah, di tempat yang terpencil ini ternyata terdapat kekuatan yang perlu diperhitungkan.

Setelah puas mengamat amati pintu regol yang telah cacat itu, mereka berdua segera melangkah memasuki Kademangan Cepaga. Regol itu ternyata menghubungkan sebuah bulak yang cukup panjang dengan padukuhan terdekat. Di kiri-kanan bulak itu terbentang sawah sawah yang luas dan menghijau. Batang-batang padi kelihatan subur dan sebentar lagi akan berbuah.

Panas Matahari yang bagaikan membakar kulit di siang hari itu ternyata telah menumbuhkan kemalasan bagi para penghuni Kademangan itu. Jalan jalan menjadi sangat lengang. Mereka lebih senang tinggal bermalas-malasan di rumah atau sekalian tidur di gubug tengah sawah setelah mereka sepagian bekerja membersihkan sawah mereka.

Ketika sepasang suami istri itu telah berjalan berpuluh-puluh langkah menyusuri jalan yang panas dan berdebu, barulah mereka menjumpai beberapa rumah yang sepi. Pintu regolnya tertutup rapat dan tampaknya diselarak dari dalam. Rumah rumah itu begitu sepinya sehingga tidak terdengar suara anak-anak yang biasanya terdengar ramai bermain bersama teman-temannya ataupun tangisan bayi yang sedang kehausan.

Memang ada satu dua rumah yang pintu regolnya terbuka sedikit, namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berhasil melihat para penghuninya melakukan kegiatan ataupun sedang duduk-duduk di pendapa rumahnya.

“Kakang,” tiba tiba saja Rara Wulan berdesis sambil menggamit Glagah Putih, “Akhirnya kita berjumpa pula dengan salah satu penghuni padukuhan ini.”

Selesai berkata demikian, Rara Wulan menunjuk ke depan. Tampak seorang orang tua yang bertelanjang dada tengah berjalan terbungkuk-bungkuk di teriknya sinar Matahari. Sebuah caping yang lebar melindungi kepala orang tua itu dari panasnya sengatan Matahari.

Sambil sesekali membetulkan letak caping bambunya, orang tua itu berjalan tertatih-tatih ke arah dimana Glagah Putih dan Rara Wulan sedang berdiri menunggu. Agaknya orang tua itu menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan dirinya, maka ketika keberadaan orang tua itu sudah tinggal beberapa langkah saja di depan Glagah Putih dan Rara Wulan, tiba-tiba orang tua itu berhenti dan membuka capingnya yang lebar.

Hampir saja Rara Wulan terpekik ketika melihat seraut wajah yang benar-benar sudah tua bangka sekali. Rambutnya yang sudah memutih semua bagaikan segumpal kapas itu diikat dengan sebuah ikat kepala yang berwana hijau gadung namun sudah memudar warnanya. Matanya yang hampir tenggelam dalam cekungan rongga matanya itu tampak berkilat kilat bagaikan butiran intan. Kedua tulang pipinya menonjol diantara hidungnya yang hanya tampak kedua lubangnya saja, sedangkan wajahnya yang berkeriput seperti kulit pohon mahoni yang meranggas itu sama sekali tidak tampak sehelai kumis maupun jenggotnya.

“Kek,” Glagah Putih lah yang memberanikan diri menyapa terlebih dahulu, “Bolehkan kami bertanya? Dimanakah rumah Nyi Rara Ambarasari istri Ki Wiraguna Demang Cepaga yang telah meninggal dunia kira-kira tiga tahun yang lalu?”

Orang tua itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan ganti berganti. Mata tua yang hitam itu tampak penuh selidik dan ada kesan mencurigai kepada sepasang suami istri itu.

“Siapakah Ki sanak berdua ini?” justru orang tua itu balik bertanya dengan suara yang parau mirip seperti suara burung gagak.

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, namun kemudian jawab Glagah Putih, “Kami berdua adalah suami istri pengembara yang secara kebetulan sampai di Kademangan ini.”

“Ada urusan apakah kalian dengan Nyi Rara?” kembali orang tua itu bertanya.

Glagah Puith tersenyum sambil menganggukkan kepalanya untuk memberi kesan yang baik kepada orang tua itu sebelum menjawab, “Kami pengembara yang mengharapkan belas kasihan dari para penghuni Kademangan ini untuk memberikan sekedar tempat berteduh sebelum kami melanjutkan perjalanan.”

“O..,” orang tua itu mengangguk anggukkan kepalanya, “Kalau kalian berdua hanya memerlukan tempat berteduh, atau bermalam sekalipun, kalian sebaiknya pergi ke banjar saja. Di sana memang disediakan tempat khusus bagi para perantau yang mungkin kemalaman dalam perjalanannya. Di sana kalian dapat menghubungi Ki Rambat, penjaga Banjar Kademangan.”

Untuk sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Sesungguhnya tujuan mereka ke Kademanagn Cepaga itu adalah untuk menemui Nyi Rara Ambarasari, ibu kandung orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati yang telah menggemparkan Istana Mataram atas pengakuannya sebagai putra Panembahan Senapati, bukan hanya sekedar mencari tempat berteduh sebagaimana layaknya para Perantau yang kemalaman.

“Ma’afkan kami, Kek,” akhirnya Glagah Putih menemukan alasan yang tepat untuk menemui Nyi Rara Ambarasari, “Bukan maksud kami menolak untuk pergi ke Banjar, namun setelah melihat lihat Kademangan Cepaga yang asri dan damai ini, kami telah memutuskan untuk mengakhiri perantauan kami dan menetap di Kademangan ini. Untuk itulah kami memerlukan menghadap Nyi Rara Ambarasari sebagai pemangku Kademangan ini sepeninggal Ki Wiraguna.”

“Kau salah Ki sanak,” tiba-tiba orang tua itu menyela kata kata Glagah Putih, “Sepeninggal Ki Wiraguna, yang menggantikannya menjadi Demang Cepaga adalah Teja Wulung, anak laki-laki satu-satunya.”

“Teja Wulung,” tanpa disadari Glagah Putih dan Rara Wulan mengulang nama itu. Nama sebenarnya dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati yang telah mereka ketahui lewat para petugas sandi.

“Ya, Teja Wulung,” kembali orang tua itu menegaskan, “Namun kini dia telah pergi meninggalkan Kademangan ini.”

“Pergi? Mengapa?” Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam saja tiba-tiba bertanya keheranan.

Orang tua itu mendengus kesal, jawabnya kemudian, “Itu urusannya. Tidak ada seorang pun yang berhak mencampurinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam dalam sambil berpandangan. Agaknya orang tua itu tidak begitu senang dengan pertanyaan Rara Wulan. Mungkin orang tua itu sebagai penghuni kademangan Cepaga kecewa dengan kepergian Teja Wulung, namun mungkin justru sebaliknya, dia merasa bangga dengan kepergian Teja Wulung untuk menuntut haknya sebagai Putra Panembahan Senapati sehingga dia tidak senang jika ada orang-orang yang mempermasalahkan kepergian Teja Wulung.

Dan ternyata dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan benar ketika orang tua itu melanjutkan kata katanya, “Sebenarnyalah Teja Wulung itu bukan anak kandung Ki Wiraguna. Semua orang-orang tua di sini mengetahui hal itu. Ketika Nyi Rara masih menjadi seorang Endang di Padepokan Sela Gilang, dia telah dipersunting oleh Panembahan Senapati yang pada waktu itu masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Walaupun Wiraguna kemudian menjadi suami Nyi Rara, tapi semua orang di padukuhan Cepaga pada waktu itu mengetahui bahwa anak yang dikandung Nyi Rara adalah benih dari Loring Pasar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menyangka bahwa cerita kehidupan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah bukan rahasia lagi di Kademangan ini. Hal ini tentu saja akan mempermudah keduanya untuk menelusuri jejak Pangeran Mataram yang merasa terbuang itu.

“Baiklah, Kek,” akhirnya Glagah Putih kembali bertanya, “Kepada siapakah kami harus menghadap untuk mendapatkan ijin tinggal di kademangan ini?”

Sejenak orang tua itu ragu-ragu, namun kemudian katanya, “Sebaiknya kalian menghadap Nyi Rara, karena sepeninggal Teja Wulung belum ditunjuk siapa yang akan memangku jabatan di Kademangan ini.”

Hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya mereka merasa mendapatkan jalan untuk bertemu dengan Ibunda Pangeran Ranapati, Nyi Rara Ambarasari.

“Dimanakah letak rumah Nyi Rara itu, Kek?” sekarang Rara Wulanlah yang bertanya.

Sambil mengamati wajah Rara Wulan, tiba tiba orang tua itu justru berkata kepada Glagah Putih, “Berbahagialah Kau anak muda, ternyata istrimu ini sangat cantik walaupun berpakaian sangat sederhana.”

“Ah, Kakek ini..!” segera saja rona merah menghiasai wajah Rara Wulan sedangkan orang tua itu hanya tertawa terkekeh-kekeh.

Sementara itu Glagah Putih yang berdiri di sebelah Rara Wulan mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kata-kata orang tua ini seolah olah memberikan isyarat kepadanya bahwa kecantikan istrinya ini akan dapat menimbulkan permasalahan yang seharusnya dapat dihindari dalam penyamaran mereka sebagai petugas sandi. Jika orang yang sudah tua bangka ini saja masih mengagumi kecantikan Rara Wulan, bagaimana dengan mereka yang masih muda dan merasa memiliki kelebihan untuk memaksakan kehendak mereka?

“Sudahlah,” orang tua itu akhirnya menghentikan tawanya, “Kalian dapat menyusuri jalan ini. Sebelum persimpangan, di sebelah kanan jalan kalian akan menjumpai sebuah rumah yang besar, rumah yang paling besar di Kademangan Cepaga ini. Itulah kediaman Demang Cepaga.”

“Terima kasih, Kek. Sekarang ijinkanlah kami meneruskan perjalanan.” Berkata Glagah Putih sambil menggamit Rara Wulan yang menundukkan wajahnya saja tanpa berani memandang kakek tua yang masih saja tersenyum-senyum mengagumi kecantikannya.

“Silahkan, silahkan. Aku pun akan menengok sawah sebentar untuk melihat apakah menantuku sudah bekerja dengan benar.”

Demikianlah mereka pun akhirnya berpisah. Dengan tertatih tatih orang tua itu melanjutkan langkahnya kearah yang berlawanan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah semakin jauh meninggalkan tempat itu.

Ketika keduanya telah sampai di depan rumah yang dimaksud, sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu memandangi rumah yang tergolong mewah untuk ukuran sebuah Kademangan yang terpencil di lereng Gunung Merapi ini. Regol halaman depan terbuka lebar dan tampak dijaga oleh dua orang pengawal yang berdiri di sebelah menyebelah pintu regol. Sedangkan pagar batu yang mengelilingi rumah itu cukup tinggi, hanya orang-orang yang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan sajalah yang mampu meloncati dinding setinggi itu tanpa kesulitan.

Agaknya kedua pengawal yang menjaga regol itu telah memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan sedari tadi. Terbukti ketika sepasang suami istri itu sedang berdiri termangu-mangu di seberang jalan, salah seorang pengawal yang berjaga di regol itu telah melambaikan tangannya ke arah mereka.

“He, kalian yang berdiri disitu, kemarilah!” teriak pengawal itu sambil melambaikan tangannya.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam membeku. Mereka tidak menyangka bahwa justru salah seorang dari pengawal itulah yang memanggil mereka sebelum mereka mengajukan diri untuk menghadap Nyi Rara Ambarasari.

“Bagaimana Kakang?” bisik Rara Wulan

“Marilah,” ajak Glagah Putih, “Lebih baik kita menyatakan keinginan kita yang sebenarnya dari pada membuat persoalan yang dapat membahayakan tugas kita.”

Dengan tersaruk-saruk mereka berdua segera berjalan mendekati regol halaman rumah yang terbesar di seluruh Kademangan Cepaga itu. Sementara para pengawal yang berdiri di sebelah menyebelah regol itu pandangan mata mereka seolah olah lekat di wajah Rara Wulan.

“Hem,” desah pengawal yang memanggil mereka berdua itu setelah Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri beberapa langkah di depannya, “Menilik pakaian kalian, kalian adalah perantau yang sudah terlalu lama meninggalkan kampung halaman yang entah oleh alasan apa aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku ingin tahu, kalian berdua ini sepasang suami istri ataukah kakak beradik?”

Jantung Glagah Putih berdegub kencang mendengar pertanyaan pengawal itu. Apalagi saat Glagah Putih mencoba mengamati dengan seksama pengawal yang masih terhitung muda yang berdiri di hadapannya. Pandangan mata pengawal itu seolah olah merayapi sekujur tubuh Rara Wulan yang hanya bisa menundukkan kepalanya dalam dalam.

Setelah mengatur gejolak di dalam dadanya, Glagah Putih pun menjawab, “Kami berdua adalah sepasang suami istri yang berpetualang mengikuti ke arah mana kaki kami akan melangkah. Daerah tempat tinggal kami telah tertimpa musibah bencana kekeringan. Jika diijinkan kami ingin menetap dan hidup menjadi penghuni di Kademangan ini.”

“O,” sahut pengawal itu sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih. Sejenak kemudian pandangan matanya kembali ke arah Rara Wulan, “Sangat menyenangkan mempunyai tetangga seperti kalian jika benar kalian telah memutuskan untuk tinggal di Kademangan ini. Kalian dapat tinggal di rumahku sementara sambil menunggu rumah kalian sendiri siap.”

Terasa bulu bulu halus di sekujur tubuh Rara Wulan meremang. Walaupun dia tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali, namun nalurinya sebagai perempuan telah dapat merasakan betapa laki-laki di hadapannya itu telah memandanginya dengan tanpa berkedip seolah olah dirinya ingin ditelannya bulat bulat.

Sementara itu beberapa pengawal yang sedang duduk duduk di gardu penjagaan sebelah regol kediaman Demang Cepaga ternyata telah tertarik dengan kedatangan sepasang suami istri itu. Dengan bergegas para pengawal itu pun kemudian berjalan ke regol untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Seorang pengawal yang berbadan kurus dan berkumis tipis telah sampai di hadapan Glagah Putih mendahului kawan kawannya. Sambil menyilangkan tangannya di depan dada, sejenak pengawal itu memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan ganti berganti kemudian katanya, “Jarang sekali ada perantau yang lewat di Kademangan ini dalam usia yang masih semuda kalian berdua. Biasanya mereka sudah berumur dan tak jarang dalam keadaan sakit sakitan. Kalian berdua ini kelihatannya sangat sehat dan tak kurang suatu apapun kecuali pakaian kalian yang kumal dan kotor. Namun apapun keadaan kalian, aku meragukan jati diri kalian sebagai perantau.”

Berdesir dada sepasang suami istri itu mendengar ucapan pengawal yang bertubuh kurus itu. Sejauh mungkin mereka telah mencoba menyempurnakan penyamaran mereka sebagai perantau selama ini dengan tubuh kotor dan baju yang kumal. Namun satu hal yang mereka lupakan, keduanya tampak sehat dan terawat bahkan cenderung agak gemuk.

Sebenarnyalah keadaan kedua orang itu tetap berbeda dengan kebanyakan perantau. Mereka berdua adalah prajurit petugas sandi dari Mataram yang sedang mengemban tugas. Ki Patih Mandaraka telah membekali mereka dengan bekal yang cukup bahkan berlebih kalau hanya sekedar untuk kebutuhan makan dan minum selama dalam menjalankan tugas mereka. Kalau pun mereka kadang kadang harus menerobos hutan yang liar untuk mencari jalan pintas, mereka berdua adalah orang orang yang mumpuni dalam olah kanuragan sehingga sangat mudah mendapatkan makanan dengan berburu binatang binatang yang ada di hutan hutan itu.

Berbeda dengan perantau yang sebenarnya. Mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari para penghuni padukuhan yang mereka singgahi sehingga keadaan mereka biasanya kurus dan tidak terawat. Bahkan tak jarang mereka mendapatkan perlakuan yang buruk karena dicurigai akan berbuat kejahatan di tempat yang mereka lewati.

“Nah,” berkata pengawal yang bertubuh kurus itu kepada Glagah Putih, “Apa katamu tentang diri kalian yang mengaku sebagai perantau? Ataukah memang kalian berdua ini sebenarnya adalah orang kaya yang sedang dalam pelarian karena suatu sebab?”

Beberapa pengawal yang sudah berkerumun di muka regol itu saling bergeremang. Masing masing mempunyai penilaian yang berbeda tentang diri Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun kebanyakan mereka melihat sepasang suami istri itu sebagai perantau yang aneh.

Merasa keadaan bisa berkembang semakin tidak menentu, Glagah Putih segera maju selangkah. Setelah terlebih dahulu menganggukkan kepalanya dalam dalam, dia pun berkata, “Sebelumnya kami mohon ma’af. Bukan maksud kami untuk mengaburkan jati diri kami, tapi sebenarnyalah kami adalah suami istri yang mengembara untuk mencari daerah baru setelah tempat tinggal kami yang lama tertimpa musibah kekeringan. Memang kami membawa bekal sekedarnya dari hasil penjualan barang barang kami yang tidak seberapa. Jikalau diijinkan oleh Pemangku Kademangan Cepaga ini, kami ingin mencoba membuka lembaran baru di Kademangan ini.”

Beberapa pengawal yang berkerumun itu tampak mengangguk anggukkan kepala, namun pengawal yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu justru mengerutkan keningnya sambil berkata, “Dari manakah kalian berasal?”

Sejenak Glagah Putih menelan ludah, namun betapapun dia harus menjawab pertanyaan itu, “Kami berasal dari padukuhan Jatingarang, bersebelahan dengan padepokan Watukelir.”

Pengawal berperawakan kurus itu sekilas tersenyum masam, katanya kemudian, “Aku tidak tahu tempat yang kalian sebutkan itu, karena sepanjang umurku aku tidak pernah meninggalkan Kademangan ini, namun yang jelas aku mencurigai kalian sebagai pengikut orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang, padepokan yang dulu menjadi tempat junjungan kami Ki Tejo Wulung berguru.”

“Kakang Sempu,” tiba tiba pengawal yang pertama kali memanggil sepasang suami istri itu menyela, “Aku kurang sependapat dengan Kakang. Orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang adalah orang orang yang kasar bahkan sedikit liar, berbeda jauh ujudnya dengan mereka ini.”

“Kau tahu apa, Adi Rakit,” dengus pengawal yang dipanggil Sempu itu, “Mereka mempunyai beribu macam cara untuk mengelabuhi lawan. Ingat, keselamatan Nyi Rara dan seisi kademangan ini di tangan kita para pengawal yang masih bersetia kepada Ki Teja Wulung, Demang Cepaga yang sebenarnya.”

“Bagaimana dengan Ki Wiguna?” tiba tiba salah seorang pengawal yang ikut berkerumun itu bertanya.

“Persetan dengan Ki Wiguna. Walaupun dia adalah adik kandung Ki Wiraguna, namun selama Ki Teja Wulung masih hidup, dia tidak berhak untuk mengambil alih jabatan Demang Cepaga. Apalagi dia telah berhubungan dengan orang orang di Padepokan Sela Gilang itu.”

Sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing dihanyutkan oleh angan angan tentang masa depan Kademangan Cepaga. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan hanya mendengarkan saja apa yang dibicarakan di antara para pengawal itu. Namun sejauh ini, mereka berdua telah dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya orang orang yang telah mereka jumpai di padang sebelah hutan itu adalah orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang.

“Jadi bagaimana dengan kedua perantau ini, Kakang Sempu?” bertanya pengawal yang bernama Rakit itu.

“Baiklah,” berkata Sempu sambil memandang ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian akan kami bawa ke gardu untuk diperiksa secara terpisah. Kalian harus menjawab beberapa pertanyaan dari kami. Sebaiknya kalian berterus terang saja agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.”

Tentu saja Rara Wulan sangat keberatan jika mereka harus diperiksa secara terpisah. Dia tidak dapat membayangkan seorang diri dikerumuni laki laki yang memandangnya dengan sorot mata yang mengerikan. Walaupun Rara Wulan bukan perempuan kebanyakan, namun menghadapi sorot mata penuh gairah dari laki laki di sekitarnya, dia tidak dapat melawannya dengan aji Namaskara, kecuali jika mereka telah mencoba berbuat lebih jauh dan tidak sekedar memandanginya saja.

Ketika Glagah Putih yang masih berdiri termangu mangu itu belum dapat menentukan sikap atas tuntutan para pengawal, terasa Rara Wulan telah menggamit pinggangnya.

“Kakang,” bisik Rara Wulan, “Bagaimana?”

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Diedarkan pandangan matanya menyapu para pengawal yang mengerumuni mereka.

“Delapan orang,” desis Glagah Putih dalam hati. Sebenarnya delapan orang bukanlah jumlah yang menakutkan bagi mereka berdua, namun sejauh ini mereka berdua mencoba memberikan kesan yang baik dan ramah kepada para penghuni Kademangan Cepaga.

“Ki Sanak,” akhirnya Glagah Putih memberanikan diri untuk mengajukan pendapat, “Ijinkanlah kami bertemu dengan Nyi Rara, ibunda dari Ki Teja Wulung. Biarlah Nyi Rara sendiri yang menilai kami, seberapa pantas kami berdua ini diterima menjadi penghuni baru Kademangan Cepaga.”

“Tidak,” setengah berteriak Sempu menjawab, “Aku sebagai pemimpin pengawal Kademangan Cepaga tidak akan mengijinkan kalian berdua menghadap Nyi Rara sebelum kalian menjawab beberapa pertanyaan dari kami.”

“Itu tidak perlu Sempu,” tiba tiba suara lembut tapi penuh wibawa telah mengejutkan mereka yang sedang berkerumun. Serentak mereka berpaling ke belakang dan tampaklah sesosok perempuan paro baya yang masih terlihat bekas garis garis kecantikannya. Wajahnya yang putih bersih itu begitu lembut dengan sepasang alis bak semut beriring melengkung indah menaungi sepasang mata yang berbinar binar bagaikan bintang Timur. Sedangkan hidungnya yang kecil dan mancung itu begitu indah dan serasi dengan bibir yang merekah bak buah delima. Walaupun keriput telah menghiasai sebagian wajahnya, namun kecantikannya masih tak tertandingi dengan gadis gadis yang masih berusia belia.

“Nyi Rara..” serentak para pengawal itu membungkukkan badan mereka menghormat ke arah perempuan paro baya yang ternyata adalah Nyi Rara Ambarasari, Ibunda Pangeran Ranapati.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang menyadari dengan siapa mereka berhadapan, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja mereka bergeser ke samping kanan beberapa langkah agar terlihat jelas oleh Nyi Rara Ambarasari.

“Mohon dima’afkan kami berdua Nyi Rara,” Rara Wulan lah yang kini mencoba mengambil kesempatan untuk menarik perhatian Nyi Rara, “Kami tidak punya maksud apa apa selain ingin diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari penghuni Kademangan ini.”

Nyi Rara tersenyum sekilas, kemudian jawabnya, “Marilah, kalian adalah tamuku. Sebaiknya aku menemui kalian di pringgitan tidak di tengah regol.”

“Terima kasih Nyi Rara,” hampir berbareng keduanya menyahut kemudian dengan tergesa gesa mengikuti langkah gemulai dari Nyi Rara menuju ke rumah induk.

Sejenak para pengawal yang berkerumun di depan regol itu saling berpandangan. Beberapa diantaranya mencoba melayangkan pandang mata mereka ke arah Sempu, namun pemimpin pengawal itu hanya dapat menggeleng lemah ketika beberapa pasang mata itu tertuju ke arahnya.

Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang berjalan mengikuti langkah Nyi Rara Ambarasari sejenak terpesona ketika mereka baru saja melangkahkan kaki memasuki halaman. Halaman itu ternyata cukup luas dengan penataan taman yang begitu asri dan indah, menimbulkan perasaan sejuk dan damai bagi yang memandangnya.

Di sebelah kanan pendapa agak menjorok ke depan, tumbuh sebatang pohon bunga kenanga yang menjulang cukup tinggi dengan daun-daunnya yang rimbun. Bunganya yang dapat menyebarkan keharuman yang khas dan berwarna hijau kekuningan itu tampak menggelung seperti bentuk bintang laut, bergerombol dan bertangkai tangkai menjulur di antara kerimbunan daunnya.

Agak jauh beberapa langkah di dekat dinding sebelah kanan regol, sebatang pohon dadap merah tampak berdiri kokoh dengan bunga-bunganya yang bersusun-susun seperti tandan pisang yang berwarna merah gelap bercampur jingga. Tampak seekor burung kecil sedang berayun-ayun di tangkai sebuah bunga yang menyembul diantara daun-daun dadap yang mulai gugur. Sesekali paruhnya yang mungil menyelusup di sela-sela kelopak bunga yang bersusun susun itu untuk mencari serbuk sari.

Sementara bunga bunga kenikir yang bergerombol di sisi kiri pendapa menampakkan warna kuning cerah berpadu dengan daun-daunnya yang hijau gelap bagaikan taburan seribu butiran kecubung kuning di atas hamparan permadani hijau.

Masih ada lagi sejenis anggrek tanah yang bunganya berwarna putih bersih yang tumbuh hampir sepanjang tangkainya yang menjulur begitu saja dari dalam tanah. Sedangkan daunnya yang panjang panjang seolah bagaikan jari-jemari yang menadah ke langit biru.

Glagah Putih dan Rara Wulan tak habis habisnya memandangi kebun bunga itu seolah tidak akan beranjak dari tempat itu seumur hidupnya. Pandangan mata mereka tak bosan bosannya hinggap pada bunga-bunga melati dan mawar yang berjajar-jajar dan tersusun pada bukit-bukit kecil yang sengaja dibuat untuk menambah suasana sejuk dan damai.

Nyi Rara Ambarasari sejenak menghentikan langkahnya ketika kakinya telah melangkahi tlundak pendapa yang terakhir. Ketika kemudian dia menengok ke belakang, sebuah senyum segera menghiasi bibirnya menyaksikan sepasang suami istri itu seolah olah terbuai menikmati keindahan taman bunganya. Entah perasaan apa yang bergejolak di dalam hatinya. Seakan akan bayangan dirinya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar berpuluh tahun yang lalu kembali tergambar dalam ingatannya.

Glagah Putih dan Rara Wulan baru tersadar ketika sudut pandang mata mereka menangkap sesosok bayangan sedang memperhatikan mereka.

“O.., ma’afkan kami Nyi Rara,” dengan cepat Rara Wulan berkata, “Kami begitu terpesona dengan taman bunga ini sehingga kami tidak menyadari kalau Nyi Rara sudah menunggu kami sedari tadi.”

“Silahkan,” berkata Nyi Rara sambil tetap menyungging senyum, “Aku akan menunggu kalian di Pringgitan.”

Selesai berkata demikian Nyi Rara segera memutar tubuhnya dan melangkah menyeberangi pendapa menuju ke pringgitan. Namun, sebelum langkah Nyi Rara mencapai pintu yang membatasi pendapa dengan ruang dalam itu, terdengar suara gaduh dari arah regol.

Sebelum Nyi Rara sempat menyadari apa yang sedang terjadi, tiba tiba serombongan orang berjumlah sekitar tujuh orang menyibakkan para pengawal yang masih bergerombol di depan regol, kemudian dengan langkah lebar mereka memasuki halaman rumah Demang Cepaga.

Berdesir dada Nyi Rara Ambarasari demi melihat orang yang berjalan paling depan.

“Adi Wiguna,” desis Nyi Rara Dalam hati.

Orang yang berjalan di depan rombongan itu memang Ki Wiguna, adik Demang Cepaga yang telah meninggal dunia sekitar dua tahun yang lalu.

Sejenak Nyi Rara Ambarasari termangu mangu ketika rombongan itu mulai berjalan melintasi halaman rumahnya yang luas, namun kemudian dengan mencoba mengendapkan segala perasaannya dia berkata, “O.., kiranya Adi Wiguna yang datang berkunjung. Silahkan Adi, silahkan. Aku tidak menyangka kalau di siang yang terik ini, Adi telah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah ini.”

Sebuah desir lembut terasa menyentuh jantung Ki Wiguna. Di rumah itulah dia bersama kakaknya Wiraguna putra dari Ki Dukuh Cepaga dibesarkan. Walaupun rumah itu kemudian mengalami perubahan sejalan dengan dikukuhkannya Wiraguna menjadi Demang Cepaga, namun kenangan atas rumah dan penghuninya itu seakan baru terjadi kemarin sore baginya.

Sungguh masa kanak kanak yang sangat menyenangkan, bermain di bawah terang bulan sampai jauh malam, atau membantu orang tua mereka menunggui sawah di siang hari sambil membawa goprak untuk mengusir burung burung yang mencoba mencuri bulir bulir padi yang mulai merunduk, atau hanya duduk duduk di bawah pohon nyamplung yang tumbuh menjulang tinggi di pinggir sungai tak jauh di belakang rumah mereka sambil menikmati semilirnya angin. Benar benar sebuah kenangan indah yang tak mungkin tercerabut dari ingatannya.

Namun dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, ternyata kehadiran seorang perempuan telah menumbuhkan benih benih pertentangan di hati kedua kakak beradik itu, walaupun kemudian ternyata seorang petualang yang bernama Jaka Suta itulah yang telah berhasil memikat hati gadis yang bernama Endang Mintarsih itu.

Langkah Ki Wiguna sempat tertegun tegun begitu pandang matanya menatap wajah kakak iparnya. Betapa wajah itu tidak banyak berubah walaupun umur mereka berdua telah merayap semakin senja. Gurat gurat kecantikan itu seakan akan tidak pernah berubah, hanya sorot mata perempuan yang dimasa mudanya menjadi satu satunya endang yang ada di Padepokan Sela Gilang itu kini agak berbeda. Sorot mata itu kini bagaikan sebuah pelita di dalam sebuah goa yang gelap dan dalam. Sinar kehidupan itu memang masih terlihat terpancar dari kedua bola matanya, namun selebihnya adalah kegelapan yang sulit untuk dijajagi.

Ketika kemudian Ki Wiguna melintas beberapa langkah di depan Glagah Putih dan Rara Wulan, sejenak pandang matanya sempat menyambar wajah sepasang suami istri yang sedang berdiri termangu mangu itu, namun langkah itupun kemudian tidak berhenti.

“Marilah,” sekali lagi Nyi Rara mempersilahkan para tamunya untuk naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah ten pendapa.

Kemudian kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih berdiri termangu-mangu, Nyi Rara berkata sambil melambaikan tangannya, “Kalian berdua kemarilah. Kalian juga tamu tamuku. Bergabunglah bersama kami di pendapa ini.”

Dengan langkah ragu ragu Glagah Putih dan Rara Wulan menaiki tlundak pendapa. Ketika kemudian Nyi Rara Ambarasari menarik lengan Rara Wulan untuk menemani duduk di sampingnya, Glagah Putih pun kemudian menempatkan dirinya beberapa jengkal di belakang Rara Wulan.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, mulailah Ki Wiguna mengutarakan maksudnya berkunjung ke kediaman Demang Cepaga siang itu.

“Mbok Ayu,” demikian Ki Wiguna memulai pembicaraan, “Aku memerlukan menghadap mbok Ayu siang ini mengatas namakan seluruh penghuni Kademangan Cepaga yang menginginkan sebuah kepastian akan masa depan Kademangan ini.”

Nyi Rara Ambarasari menarik nafas panjang sambil menggeser duduknya merapat ke Rara Wulan, tanpa sadar jari jemari kedua perempuan itu telah menyatu.

“Ki Wiguna,” Nyi Rara berhenti sejenak untuk mengatur detak jantungnya yang mulai berdegup kencang, “Ada apakah dengan masa depan Kademangan ini? Aku tidak merasakan adanya suatu perubahan yang mendasar sehingga kita memerlukan waktu untuk membicarakan masa depan Kademangan ini.”

“Ma’afkan aku sebelumnya mbok Ayu, kademangan ini memerlukan seorang pemimpin. Jangan biarkan para bebahu Kademangan ini kehilangan arah dan petunjuk dalam menjalankan tugas mereka.” berkata Ki Wiguna selanjutnya.

“Apakah memang demikian yang terjadi selama ini? Mereka tidak mendapat petunjuk dan arahan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari?” jawab Nyi Rara Ambarasari sambil menatap tajam ke arah Ki Wiguna.

Sejenak Ki Wiraguna terdiam sambil menundukkan wajahnya. Entah mengapa, untuk menentang pandang Nyi Rara Ambarasari itu dia tidak mempunyai nyali walaupun semenir, namun kemudian katanya dengan suara bergetar sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Memang dalam keseharian mereka kadang-kadang minta petunjuk dan arahan kepadaku. Namun selebihnya aku tidak tahu.”

“Jadi,” potong Nyi Rara dengan cepat, “Apakah permasalahan yang sebenarnya? Bukankah selain Adi Wiguna, aku juga dapat memberikan petunjuk dan arahan kepada mereka dalam menjalankan tugas sehari hari?”

Rona merah mulai menjalari wajah Ki Wiguna. Sambil menarik nafas dalam dalam untuk meredakan getar di dalam dadanya, dia mencoba mengutarakan maksud yang sebenarnya, “Nyi Rara, dalam tugas keseharian mereka, memang hampir tidak ada masalah yang berarti, namun yang mereka perlukan saat ini adalah sosok seorang pemimpin di Kademangan Cepaga ini yang dapat mereka jadikan sebagai panutan.”

Nyi Rara mengerutkan keningnya. Sebuah desir lembut bagaikan berpuluh ujung jarum terasa menusuk nusuk jantungnya. Apa yang selama ini dikawatirkan agaknya mulai merayapi hati para bebahu Kademangan. Agaknya mereka telah dengan sengaja didorong oleh Ki Wiguna untuk segera mencari pengganti anaknya Teja Wulung yang telah cukup lama meninggalkan Kademangan ini.

Perbincangan di pendapa itu sejenak terganggu dengan hadirnya seorang pelayan menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan. Dengan cekatan Rara Wulan segera membantu perempuan tua pelayan di rumah Nyi Rara itu untuk meletakkan mangkuk-mangkuk minuman dan beberapa penganan di hadapan para tamu.

Ketika pelayan itu telah selesai dan mengundurkan diri kembali ke ruang dalam, sejenak Nyi Rara Ambarasari melayangkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang duduk berjajar-jajar di belakang Ki Wiguna.

“Ki Jagabaya,” tiba-tiba Nyi Rara berkata sambil memandang seseorang yang berperawakan tinggi besar dan berkumis melintang yang duduk beberapa jengkal di belakang sebelah kanan Ki Wiguna, “Dan juga Ki Jagatirta, Ki Jagawana dan yang lainnya. Apakah memang demikian kehendak kalian? Kalian mengendaki adanya pergantian pimpinan di Kademangan Cepaga ini padahal anakku Teja Wulung selaku pewaris Kademangan Cepaga yang syah masih hidup?”

Tidak ada seorang pun yang membuka suara untuk menjawab pertanyaan Nyi Rara Ambarasari. Orang orang yang duduk di belakang Ki Wiguna itu hanya dapat menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Diam-diam keringat dingin telah membasahi punggung mereka. Memang pada kenyataannya mereka tidak dapat membantah bahwa Teja Wulung masih syah sebagai Demang Cepaga walaupun dia telah pergi beberapa bulan yang lalu meninggalkan Kademangan itu. Namun mereka juga tidak dapat menyalahkan pendapat dari Ki Wiguna, paman Teja Wulung sendiri untuk segera memilih pemimpin Kademangan Cepaga yang baru sepeninggal Teja Wulung.

“Ma’afkan sekali lagi mbok Ayu,” dengan suara bergetar Ki Wiguna mencoba memecah kebuntuan, “Kita semua tidak tahu sampai kapan Teja Wulung meninggalkan Kademangan ini. Kami semua justru berharap Teja Wulung dapat nggayuh kamukten..”

“Tidak perlu kau sebut-sebut itu, Adi Wiguna!” sergah Nyi Rara Ambarasari dengan suara sedikit keras, “Selama anakku pergi, akulah yang diserahi tanggung jawab sebagi pemangku sementara jabatan Demang Cepaga. Penyerahan secara resmi memang tidak ada, tapi sebagai ibunya dan sekaligus istri Demang Cepaga yang terdahulu, aku mempunyai tanggung jawab untuk membina masa depan Kademangan ini sambil menunggu kabar dari Teja Wulung.”

Sejenak semua yang hadir di pendapa itu termangu-mangu. Berbagai macam tanggapan muncul di dalam benak masing-masing. Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Angin pegunungan yang bertiup perlahan melintas di halaman itu terasa sejuk menggapai tubuh tubuh yang diam membeku, namun dalam dada masing-masing sedang terjadi sebuah pergolakan yang dahsyat.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam saja mengikuti pembicaraan yang terjadi dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya kepergian Teja Wulung atau yang mereka kenal dengan nama Pangeran Ranapati itu telah menumbuhkan permasalahan baru di Kademangan Cepaga. Paman Pangeran Ranapati ini kelihatannya ingin menggantikan kedudukan keponakannya sebagai Demang Cepaga, sementara ibunda Pangeran Ranapati sendiri masih bersikukuh bahwa anaknya tetap sebagai Demang Cepaga walaupun telah cukup lama meninggalkan Kademangan itu.

Matahari mulai tergelincir dari puncaknya. Walaupun sinarnya masih terasa menghanguskan kulit, namun semilir angin pegunungan yang sejuk telah membuat udara yang panas menjadi sedikit segar. Beberapa ekor kupu-kupu masih tampak hilir mudik mengerumuni kembang-kembang kenikir yang bermekaran kuning keemasan. Dari arah depan tampak seekor lebah terbang mendekat kemudian berdengung mengitari sebuah kembang untuk mencoba berebut tempat dengan kupu-kupu yang masih saja asyik bertengger di antara kelopak kelopak bunga. Ketika kaki-kaki lebah yang penuh bulu-bulu halus itu mencoba menjejak di antara sari sari bunga, serentak kerumunan kupu-kupu itu pun mengepak ngepakkan sayap-sayapnya yang indah sehingga membuat lebah itu terkejut dan terbang menjauh.

“Mbok Ayu,” suara parau Ki Wiguna memecah kesunyian, “Para bebahu Kademangan yang hadir di pendapa ini sebelum berangkat menghadap mbok Ayu, telah sepakat untuk meminta kepastian batasan waktu sampai kapan Kademangan ini dibiarkan kosong tanpa seorang Pemimpin. Permasalahan yang pokok bukan pada terhambat atau tidaknya tugas keseharian mereka, namun Kademangan yang cukup besar ini memerlukan seorang pemimpin yang benar-benar dapat diandalkan, baik dalam mengatur roda kehidupan di Kademangan ini maupun dalam menghadapi gangguan dari luar yang mungkin timbul.”

Tertegun-tegun Nyi Rara Ambarasari mendengarkan uraian Ki Wiguna. Di dalam hati memang dia tidak dapat memungkiri pendapat adik iparnya ini. Beberapa waktu lalu memang telah timbul-tanda tanda gangguan dari luar Kademangan ini. Segerombolan orang-orang tak dikenal telah memasuki kademangan Cepaga dan kini mereka bersarang di Padepokan Sela Gilang, padepokan tempat dia dibesarkan dan tumbuh menjadi sekuntum bunga yang indah dan akhirnya dipetik oleh seorang petualang yang bernama Jaka Suta.

Hampir tidak ada perlawanan dari para penghuni Padepokan itu. Sepeninggal Ki Ageng Sela Gilang menyusul muridnya melawat ke Timur, para penghuni Padepokan yang memang tidak pernah dibekali latihan olah kanuragan itu tidak dapat menolak kehendak orang orang-asing yang ingin menetap di Padepokan itu. Sedangkan para pengawal Kademangan yang rata-rata telah dibekali kemampuan olah kanuragan dari pemimpin mereka pada waktu itu, Ki Demang Teja Wulung, tidak berani bertindak gegabah. Mereka menunggu seorang pemimpin yang dapat menggerakkan mereka untuk mengusir orang-orang tak dikenal itu dari Padepokan Sela Gilang.

Para pengawal yang memang pernah mencoba menolak kehadiran orang-orang asing itu untuk memasuki Kademangan Cepaga pada saat pertama kali mereka memasuki Kademangan Cepaga dari arah selatan, dibuat terheran heran dengan kemampuan pemimpin mereka yang disebut Ki Lurah. Dengan tangan kosong orang yang di panggil Ki Lurah itu telah membuat pengeram eram dengan menjebol pintu regol yang terbuat dari kayu setebal hampir sejengkal dan meninggalkan bekas yang mengerikan.

Sementara itu Nyi Rara Ambarasari masih termenung. Ingatannya kembali ke masa-masa ketika Teja Wulung masih ada. Kademangan itu begitu tenang dan damai. Teja Wulung sendiri yang telah mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada para pengawal untuk menjaga keamanan Kademangan mereka sendiri. Kadang-kadang apabila gurunya Ki Ageng Sela Gilang berkunjung ke rumahnya, disempatkannya memberikan beberapa petunjuk kepada para pengawal itu sehingga pengalaman mereka semakin bertambah.

“Bagaimana, mbok Ayu?” kembali terdengar pertanyaan Ki Wiguna yang membangunkan Nyi Rara dari lamunannya, “Sampai kapan kami harus menunggu angger Teja Wulung? Sementara keberadaan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang itu telah meresahkan para penghuni padukuhan di sekitarnya. Memang selama ini yang mereka ambil dari para penghuni padukuhan itu masih sebatas binatang ternak, kambing atau ayam. Namun tidak menutup kemungkinan di kemudian hari mereka akan berbuat semakin jauh.”

Nyi Rara Ambarasari benar-benar dihadapkan pada persoalan yang rumit. Di satu pihak dia tidak akan membiarkan persoalan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang itu semakin berlarut-larut, namun apabila dia menyerahkan pimpinan Kademangan Cepaga itu kepada adik iparnya, Ki Wiguna, hati kecilnya tidak rela. Panggraitanya sebagai istri Demang Cepaga yang terdahulu dan telah sekian lama mendampinginya dalam membina Kademangan ini, seolah bisa meraba bahwa niat yang dikandung Ki Wiguna tidak tulus.

Ketika kemudian tanpa disadarinya Nyi Rara Ambarasari menoleh ke arah Glagah Putih yang duduk beberapa jengkal di belakang Rara Wulan, jantung perempuan paro baya itu bagaikan terlonjak.

Sejenak Nyi Rara Ambarasari termangu mangu. Hatinya masih terguncang hebat ketika pandang matanya tertumbuk pada sebuah benda yang ditunjukkan oleh Glagah Putih dari balik bajunya tepat pada saat dia menoleh kearahnya.

Sebuah benda bulat pipih dan ada lukisan yang terpahat di permukaannya. Benda yang serupa itu pernah dilihatnya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar masih mengisi hari hari indahnya di Padepokan Sela Gilang. Hanya bedanya yang dimiliki oleh Loring Pasar itu agak besar dan terbuat dari emas, sedangkan yang disembunyikan di balik baju Glagah Putih itu agak kecil dan bukan terbuat dari emas, menilik ujudnya yang putih bersinar kemungkinannya terbuat dari perak.

Ketika kemudian sekali lagi Nyi Rara Ambarasari mencoba memandang ke arah Glagah Putih untuk meyakinkan penglihatannya, anak muda itu pun telah menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arahnya.

Kini yakinlah Nyi Rara Ambarasari bahwa mereka berdua itu bukanlah pengembara dalam arti sebenarnya, mereka pasti dengan sengaja telah mencarinya di Kademangan yang terpencil ini dan ada sangkut pautnya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar atau paling tidak sebuah jalur yang dapat menghubungkan ke arah itu.

Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar-getar di dalam dadanya, Nyi Rara pun berkata sambil menoleh ke arah Ki Wiguna, “Adi Wiguna, aku tidak dapat memutuskan permasalahan ini sekarang. Berilah aku waktu barang sehari dua hari agar aku mendapatkan waktu yang cukup untuk membuat keputusan yang menyangkut masa depan Kademangan ini.”

“Tidak ada bedanya,” potong Ki Wiguna, “Persoalannya sudah jelas dan para bebahu sudah menunggu nunggu. Jadi mengapa mbok Ayu masih mengulur ulur waktu untuk menyerahkan jabatan Demang Cepaga itu kepada yang lebih berhak?”

“Siapakah yang Kau maksud dengan yang lebih berhak?” suara perempuan paro baya itu melengking tinggi. Semburat merah tampak menghiasi wajahnya yang putih bersih, “Sepeninggal kakang Wiraguna, Teja Wulung lah yang paling berhak memimpin Kademangan ini. Kalau pun karena suatu sebab dia berhalangan untuk memangku jabatan itu, masih ada aku. Walaupun aku hanya seorang putri triman, namun Raden Sutawijaya putra angkat Sultan Pajang pada saat itu telah menyerahkan serat kekancingan tanah palungguh Kademangan ini untuk anak yang masih dalam kandunganku, bukan untuk kakang Wiraguna.”

Sampai disini, hati perempuan yang pada masa mudanya bernama Endang Mintarsih itu tidak mampu lagi menahan gejolak perasaannya. Dengan kedua tangannya dia berusaha membendung air mata yang mulai pecah bagaikan air bah yang melanda tebing-tebing di pegunungan. Isak tangisnya yang tertahan-tahan telah membuat tubuhnya terguncang-guncang.

Dengan sigap Rara Wulan segera merangkul perempuan paro baya yang telah banyak mengalami pahit getirnya kehidupan itu. Dengan berbisik perlahan, Rara Wulan mencoba menenangkan hati Nyi Rara Ambarasari, “Sudahlah Nyi Rara. Percayalah, kami berdua akan mencoba membantu mengatasi permasalahan ini sejauh kami dapat lakukan.”

Kemudian sambil berpaling dan menganggukkan kepalanya ke arah Ki Wiguna, Rara Wulan berkata, “Ma’afkan kami berdua Ki Wiguna. Bukan maksud kami untuk mencampuri urusan Kademangan ini, namun sebaiknya biarlah Nyi Rara beristirahat sejenak agar kesehatannya tidak terganggu.”

Ki Wiguna yang tidak menyangka persoalan itu akan mengungkit kenangan masa lalu Nyi Rara Ambarasari, diam-diam mengeluh dalam hati. Dia tidak menyangka bahwa mbok Ayunya itu akan bersikukuh tetap memegang pimpinan Kademangan Cepaga sambil menunggu kabar dari Teja Wulung. Sedangkan orang-orang asing yang bersarang di Padepokan Sela Gilang itu sudah hampir hilang kesabarannya menunggu-nunggu kesanggupannya.

Dengan perlahan-lahan Rara Wulan membimbing Nyi Rara Ambarasari untuk berdiri, kemudian dengan tetap menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya serta menahan isak tangisnya, Nyi Rara Ambarasari dibantu oleh Rara Wulan melangkah meninggalkan pendapa menuju ke pringgitan.

Sejenak Glagah Putih masih duduk menunggu di pendapa. Ki Wiguna yang merasa sudah tidak ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu segera bangkit berdiri diikuti oleh para bebahu Kademangan. Ketika kemudian Glagah Putih itu pun ikut berdiri, pandang mata Ki Wiguna yang tajam telah melekat di wajah Glagah Putih.

“Siapakah kalian sebenarnya, Ki Sanak?” bertanya Ki Wiguna dengan nada yang dalam, “Kademangan ini telah cukup disibukkan dengan kedatangan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang. Aku harap kalian tidak menambah keruhnya suasana Kademangan ini.”

Dengan sedikit membungkukkan badannya, Glagah Putih menjawab, “Aku mohon ma’af apabila kehadiran kami berdua di Kademangan ini membuat para penghuninya resah. Kami hanyalah pengembara yang kebetulan sedang melewati daerah ini. Kami berjanji tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Mungkin besok atau lusa kami segera meneruskan perjalanan.”

“Lebih cepat lebih baik,” terdengar desis yang cukup keras dari belakang Ki Wiguna. Ternyata orang yang tinggi besar dengan kumis melintang yang di panggil Ki Jagabaya oleh Nyi Rara itulah yang berkata.

Ki Wiguna mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya dia berpaling ke belakang, namun hanya sekilas. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Matahari sudah jauh tergelincir. Memang sebaiknya kalian bermalam di Kademangan ini, namun aku sarankan lebih baik kalian bermalam di banjar saja agar tidak mengganggu istirahat mbok Ayu.”

“Baiklah Ki Wiguna,” jawab Glagah Putih berusaha untuk tidak membuat persoalan yang berarti dengan paman Pangeran Ranapati itu, “Namun sebaiknya kami mohon pamit terlebih dahulu kepada Nyi Rara sebelum meninggalkan tempat ini.”

Ki Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil memutar tubuhnya dan melangkah pergi, “Terserah kalian. Tapi ingat! Jangan membuat persoalan di Kademangan ini yang dapat mempersulit keadaan kalian.”

Glagah Putih tidak menjawab. Dia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengikuti langkah Ki Wiguna dan para bebahu kademangan itu menuruni tangga pendapa dengan pandangan matanya.

Ketika rombongan itu telah hilang di balik regol, Glagah Putih pun dengan langkah ragu ragu mendekati pintu pringgitan. Sejenak dicobanya untuk mendengarkan suara di balik pintu itu, namun pringgitan itu ternyata sepi. Mungkin Rara Wulan telah membantu membimbing Nyi Rara menuju ke ruang tengah.

Perlahan Glagah Putih mendorong pintu yang membatasi pendapa dengan pringgitan. Suara derit pintu yang cukup keras ternyata telah menarik perhatian Rara Wulan yang memang sedang duduk menemani Nyi Rara di ruang tengah.

“Kakang, masuklah. Kami di ruang tengah,” terdengar suara Rara Wulan memanggil dari ruang dalam.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatasi gejolak di dalam dadanya. Sebenarnya Glagah Putih tidak ingin tergesa gesa mengungkapkan jati diri mereka berdua di hadapan Nyi Rara, namun keadaanlah yang memaksa dirinya untuk menunjukkan lencana khusus yang dimiliki oleh prajurit sandi Mataram kepada Nyi Rara agar ibunda Pangeran Ranapati itu merasa mempunyai pegangan untuk menentukan sikap.

Dengan langkah yang tidak tergesa gesa Glagah Putih pun kemudian berjalan melintasi pringgitan menuju ke ruang dalam. Ketika dia telah sampai di ruang tengah yang hanya dibatasi dengan sebuah rana yang berukir lembut, tampak olehnya kedua perempuan itu sedang duduk berdampingan di atas tikar pandan yang berwarna cerah.

“Marilah ngger,” Nyi Rara Ambarasari yang sudah mampu menguasai dirinya kembali itu mempersilahkan Glagah Putih, “Anggaplah ini rumah kalian sendiri. Kalian dapat bermalam di gandok kanan. Biarlah para pelayan nanti yang mempersiapkan bilik untuk kalian.”

“Ah, “ Glagah Putih berdesah sambil mengambil tempat duduk bersila di depan kedua perempuan itu, “Kami adalah pengembara yang sudah terbiasa bertempat di manapun. Janganlah keberadaan kami ini akan merepotkan Nyi Rara.”

“Ah, sudahlah. Lupakan segala ewuh pakewuh itu. Sebaiknya kalian memanggilku Bibi saja,” berkata Ibunda Pangeran Ranapati itu, kemudian lanjutnya, “Tidak ada salahnya kalian sejenak melupakan petualangan kalian. Sekarang kalian berdua adalah tamu tamuku, aku wajib memberikan yang terbaik sebagai tanda penghormatan atas kesediaan kalian untuk mampir di rumah ini.”

“Terima kasih, Bibi,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menyahut.

Perempuan paro baya yang sempat tersangkut di hati Panembahan Senapati di masa mudanya itu tersenyum. Entah perasaan apa yang sedang bergolak di dalam hatinya, namun seakan hati kecilnya sudah bulat bahwa kedua anak muda itu dapat dipercaya untuk membantu memecahkan masalahnya.

“Angger Glagah Putih,” kata Nyi Rara Ambarasari kemudian, “Rara Wulan telah bercerita banyak tentang diri kalian berdua. Jika pada saatnya nanti kalian kembali ke Mataram, sampaikan ucapan terima kasihku yang tak terhingga serta salam hormat kepada Ki Patih Mandaraka yang masih berkenan mengingat seorang Endang dari Padepokan terpencil ini. Semoga sikap deksura dari anakku Teja Wulung mendapat ampunan dari keluarga Istana di Mataram.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka tidak sampai hati untuk menceritakan keadaan Teja Wulung yang sebenarnya. Mereka tidak ingin membuat hati perempuan paro baya itu semakin menderita jika mengetahui anak semata wayangnya telah menjadi Senapati Agul Agul Kadipaten Panaraga dan siap untuk melakukan pemberontakan melawan Mataram.

“Angger berdua,” berkata Nyi Rara Ambarasari sambil membetulkan letak duduknya, “Sebenarnyalah setelah aku melihat lencana Angger Glagah Putih, aku segera teringat dengan sebuah lencana yang mirip dengan itu. Sebuah lencana dari Mas Ngabehi Loring Pasar yang dihadiahkan kepadaku sebagi kenang-kenangan, bukan sebagai pertanda yang dapat dijadikan bukti keturunanku untuk menuntut hak ke Mataram. Lencana itu sengaja aku simpan dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, Teja Wulung pun tidak. Apalagi Kakang Wiraguna.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Masing masing mempunyai tanggapan yang berbeda. Rara Wulan sebagai seorang perempuan menyikapi hal itu dengan penuh rasa haru. Hatinya trenyuh atas perhatian Panembahan Senapati kepada Nyi Rara Ambarasari. Sedangkan Glagah Putih menganggap pemberian lencana itu bukan hanya sekedar sebagai kenang-kenangan, namun lebih dari itu, lencana itu adalah lencana khusus, lencana yang hanya dimiliki oleh seorang bangsawan, apalagi kedudukan Raden Sutawijaya pada waktu itu adalah sebagai putra angkat Sultan Pajang.

“Ma’afkan kami sebelumnya Bibi,” akhirnya Glagah Putih memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah kami diperkenankan untuk melihat lencana itu?”

Sebersit keragu-raguan tampak di wajah Nyi Rara Ambarasari, namun kemudian dengan seulas senyum, dia berkata sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya, “Baiklah ngger, mungkin kalian kurang yakin dengan ceritaku. Aku tidak keberatan untuk menunjukkan lencana itu kepada kalian, asalkan kalian berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan menarik nafas panjang, kemudian sambil mengangguk mereka menjawab, “Jangan kuatir Bibi. Kami berdua akan memegang rahasia ini dengan taruhan nyawa kami.”

“Ah,” desis Nyi Rara Ambarasari sambil melangkah ke senthong tengah, “Tidak sejauh itu pengorbanan yang harus kalian lakukan.”

Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Glagah Putih dan Rara Wulan hanya duduk terpekur menunggu Nyi Rara Ambarasari kembali dari senthong tengah. Masing masing hanyut dengan peristiwa peristiwa yang telah berlalu yang datang silih berganti dalam perjalanan hidup mereka berdua. Kadang-kadang tampak Glagah Putih menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun kadang tampak Rara Wulan lah yang mengerutkan keningnya dalam dalam sambil memandang ke arah pintu senthong tengah. Seolah olah ingin ditembusnya pintu bilik itu dengan ketajaman pandangan matanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan Nyi Rara Amabasari di dalam bilik itu.

“Kakang,” tiba tiba Rara Wulan berbisik, “Tugas kita adalah membuktikan kebenaran cerita tentang Ibunda Pangeran Ranapati yang masih hidup dan kisah cintanya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun bukti apakah yang dapat kita bawa ke hadapan Ki Patih Mandaraka?”

Glagah Putih memandang sekilas ke arah Rara Wulan sebelum menjawab. Kemudian katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah pintu senthong tengah, “Lencana itu.”

“Maksud Kakang?”

“Lencana itulah sebagai bukti bahwa memang Panembahan Senapati di masa mudanya pernah mempunyai hubungan khusus dengan Nyi Rara Ambarasari.”

Rara Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada pintu bilik senthong tengah yang terbuka dan tampak dengan langkah yang gemulai Nyi Rara Ambarasari melangkah keluar.

Setelah menempati tempat duduknya semula, Nyi Rara Ambarasari kemudian menyodorkan sebuah bungkusan kain yang sudah pudar warnanya, “Inilah ngger, kenang-kenangan yang selalu kusimpan dan menjadi tautan kasih sayangku dengan Mas Ngabehi Loring Pasar,” dia berhenti sejenak, lalu katanya kepada Rara Wulan, “Setiap perempuan yang dinikahi oleh seorang laki-laki pasti menerima mas kawin sebagai syarat syahnya sebuah pernikahan. Lencana itulah yang digunakan oleh Mas Ngabehi Loring Pasar sebagai mas kawin.”

Sejenak sepasang suami istri itu saling berpandangan. Mereka merasa terkejut dengan pengakuan Ibunda Pangeran Ranapati itu bahwa lencana pemberian putra angkat Sultan Pajang pada waktu itu adalah sebagai mas kawin. Dengan demikian tidak ada seorang pun yang berhak meminta lencana itu karena bagi Nyi Rara Ambarasari, nilai lencana itu seperti nyawanya sendiri.

Sambil membuka bungkusan kain yang warnanya sudah memudar itu, Glagah Putih mencoba menilai dirinya sendiri. Pada saat mereka berdua telah berikrar sebagai sepasang suami istri, hanya sebentuk cincin emas yang tidak terlalu besar yang dapat dipersembahkan kepada Rara`Wulan sebagai mas kawin, itupun atas bantuan kakak sepupunya Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika tanpa disadarinya pandangan matanya melirik kearah jari manis Rara Wulan yang duduk di sebelah Nyi Rara Ambarasari, hati Glagah Putih menjadi terenyuh, cincin itu tetap melingkar dengan setia di jari manis istri tercintanya itu.

Ketika bungkusan kain itu telah terbuka dengan sempurna, sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Lencana itu benar-benar terbuat dari emas murni. Pada sisi yang menghadap ke arah Glagah Putih tampak sebuah lukisan yang mirip dengan simbul Surya Majapahit, kemudian di tengah-tengahnya ada gambar sebilah keris yang masih tersimpan dalam wrangkanya serta di bawahnya ada gambar tiga buah bunga melati.

“Lambang ini hanya dimiliki oleh kerabat dekat Sultan Pajang,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Tidak aneh kalau lencana ini ada pada Mas Ngabehi Loring Pasar, karena dia adalah putera angkat Sultan Pajang pada saat itu.”

Ketika kemudian Glagah Putih membalikkan lencana itu, sejenak kerut merut di wajah Glagah Putih terlihat semakin dalam. Ada guratan guratan yang tampak kurang jelas dan aneh. Guratan guratan itu tidak menunjukan sebuah lambang apapun, bahkan tampak seperti gambar sebuah peta, terlihat adanya simbol-simbol yang seperti menggambarkan sebuah gunung dan sungai serta sebuah bulatan di sebelah kanan atas yang sepertinya menggambarkan sebuah matahari. Masih ada lagi beberapa simbol yang Glagah Putih belum dapat menebak apa maksud semua itu.

Setelah puas mengamat amati lencana itu, Glagah Putih pun kemudian membungkus kembali lencana itu dan kemudian menyerahkannya kepada Nyi Rara Ambarasari.

“Terima kasih, Nyi Rara telah berkenan memperlihatkan lencana ini kepada kami,” berkata Glagah Putih setelah lencana itu diterima oleh Nyi Rara.

Nyi Rara Ambarasari tersenyum sekilas. Katanya kemudian sambil menimang-nimang bungkusan kain di tangannya, “Sebenarnya dengan menunjukkan lencana ini kepada kalian berdua, tidak ada niat sebiji sawi pun dari kami untuk mengungkit masa lalu dengan pamrih pribadi, perhatian dan cinta kasih Mas Ngabehi Loring Pasar kepadaku pada waktu itu sudah cukup aku bawa sebagai kenangan terindah seumur hidupku. Sedangkan kepada Teja Wulung, selalu kutanamkan pengertian bahwa tanah palungguh yang dihadiahkan oleh Mas Ngabehi Loring Pasar kepada Ayah Mertuaku, Ki Dukuh Cepaga mewakili anak yang masih dalam kandunganku pada waktu itu adalah sebagai tanda bahwa yang dapat diwarisinya hanyalah Kademangan Cepaga ini, tidak lebih dan tidak kurang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam kemudian katanya, ”Maafkan kami Bibi, bukan maksud kami untuk mengungkit kenangan lama yang barangkali menyakitkan hati bibi, namun kami ingin mengetahui bagaimana kemudian Kakang Teja Wulung memakai gelar Pangeran Ranapati?”

Perempuan paro baya itu kembali berdesah panjang, seolah olah ingin dikeluarkan semua beban yang menghimpit dada melalui desah nafasnya. Dengan mata yang menerawang ke titik-titik di kejauhan dia menjawab pertanyaan Glagah Putih, ”Adi Wiguna , paman dari Teja Wulung dan sekaligus adik dari Kakang Wiraguna telah membakar hatinya dan mendorongnya untuk menuntut hak ke istana Mataram, namun sebenarnya aku tahu niat terselubung dari Wiguna, dia ingin warisan tanah palungguh Kademangan Cepaga ini berpindah ke tangannya, jika Teja Wulung tidak ada.”

“Maksud bibi, sebenarnya Paman Wiguna ingin menyingkirkan Kakang Teja Wulung?” kata Glagah Putih

“Ya ngger,” Perempuan paro baya itu menjawab sambil mengusap titik-titik air mata yang mulai mengembang di sudut matanya, “Tidak ada satu pun bukti yang dapat memperkuat kedudukan Teja Wulung sebagai Pangeran Mataram. Serat kekancingan tanah palungguh Kademangan Cepaga itu pun tidak menyebut hubungan khususku dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Sehingga tidak ada seorang pun yang akan percaya dengan kisah hubunganku ini dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. ”

“Tetapi mengapa bibi menunjukkan lencana itu kepada kami dan menceritakan hubungan yang pernah terjalin antara bibi dengan Mas Ngabehi Loring Pasar kepada kami?” Rara Wulan yang dari tadi diam saja kelihatannya mulai terusik.

“Angger berdua, kepada kalian aku ingin berbagi cerita, bukan untuk membenarkan tindakan Teja Wulung, namun sebagai ungkapan kepercayaanku kepada kalian bahwa sebenarnyalah kisah cinta itu memang pernah ada.”

Terasa sesuatu bergetar jauh di lubuk hati Glagah Putih dan Rara Wulan. Sebenarnyalah perempuan paro baya ini telah menanggung beban yang sangat berat. Kecintaannya kepada Mas Ngabehi Loring Pasar telah diujudkannya dalam bentuk kesetian yang tiada taranya, penantian yang tak berujung serta kesediaan meratapi nasibnya dengan ikhlas.

Dalam pada itu, di rumah Ki Wiguna, telah berkumpul beberapa bebahu Kademangan yang akan membahas pengukuhan Ki Wiguna sebagai Demang Cepaga sepeninggal Teja Wulung yang sedang menggapai cita-citanya merintis jalan ke istana Mataram.

Seseorang yang berperawakan pendek dengan otot otot yang menonjol di kedua belah tangannya beringsut maju.

“Ki Wiguna,” Suaranya nyaring menarik perhatian orang orang yang hadir di pendapa rumah Ki Wiguna, “Pengukuhan ini harus segera dilaksanakan, jangan biarkan para bebahu terombang-ambing dengan keadaan yang tidak menentu ini. Ingat, sudah lebih sepuluh bulan anakmas Teja Wulung meninggalkan Kademangan ini. Apakah ada diantara kita yang diberi wewenang untuk menggantikan tugasnya selama dia pergi?”

Semua mata memandang kearah Ki Wiguna. Tampak seleret senyum tipis menghiasi bibir Ki Wiguna Widagda. Dengan sedikit menengadahkan wajah sambil memperlihatkan kerut di dahi, dia menjawab, ”Ki Parta Tenaya, seandainya tidak ada seorang pun yang diserahi untuk mengurus Kademangan ini, siapakah yang lebih pantas menggantikannya selama dia pergi?”

“Tentu saja Ki Wiguna yang paling pantas. Bukankah tidak ada lagi saudara yang paling dekat selain Kau sebagi pamannya. Adapun ibunya, Nyi Rara Ambarasari tentu saja tidak akan mampu melaksanakan tugas ini.” dengan cepat Ki Parta Tenaya menyahut.

Beberapa orang yang hadir dipendapa itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya, namun beberapa diantaranya masih bergeremang. Tampaknya masih ada beberapa bebahu yang kurang sependapat dengan Ki Parta Tenaya, namun mereka agaknya masih merasa segan untuk menyuarakan pendapat mereka.

“Ma’afkan aku sebelumnya, Ki Wiguna,” tiba tiba seseorang yang rambutnya sudah ubanan beringsut maju, “Bukannya aku tidak sependapat dengan Ki Parta Tenaya, namun lebih baik pengukuhan ini ditunda terlebih dahulu sambil menunggu keputusan yang akan diambil oleh Nyi Rara Ambarasari.”

“Aku rasa itu tidak perlu,” seseBesok tipis dan bermata agak juling menyahut, “Nasib Kademangan ini tidak tergantung pada seorang perempuan. Kita para laki-laki di Kademangan ini harus berani mengambil keputusan sejalan dengan kekosongan kepemimpinan di Kademangan kita.”

Beberapa orang yang hadir di pendapa itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun orang yang rambutnya sudah ubanan itu mengerutkan keningnya dalam dalam, katanya kemudian, “Bukan maksudku untuk mengesampingkan keberadaan para bebahu Kademangan Cepaga, namun kita harus menyadari bahwa pewaris syah dari Kademangan Cepaga ini masih hidup. Jadi kita tidak bisa dengan serta merta menggantinya.”

“Maksudmu?” desak Ki Wiguna.

Orang yang rambutnya sudah ubanan itu menarik nafas sejenak, sambil mengedarkan tatapan matanya keseluruh yang hadir di pendapa itu dia menjawab, “Aku kurang setuju dengan pengukuhan Ki Wiguna menjadi Demang Cepaga, namun tidak ada salahnya jika kita memberikan kepercayaan kepada Ki Wiguna selaku paman Teja Wulung untuk menjadi pemangku jabatan sementara Demang Cepaga sambil menunggu berita dari Teja Wulung.”

“Itu tidak ada bedanya,” sela Besok tipis dan bermata agak juling itu, “Yang penting pada saat ini kita harus segera mempunyai seorang pemimpin yang dapat mengarahkan kepada para bebahu Kademangan serta segera mengambil sikap terhadap perkembangan keadaan saat ini, terutama yang menyangkut orang orang asing di Padepokan Sela Gilang.”

Sejenak orang-orang yang hadir di pendapa rumah Ki Wiguna itu menjadi ribut. Mereka saling berebut mengemukakan pendapat yang berbeda beda, bahkan ada diantaranya yang berteriak cukup keras sambil mengepalkan tinjunya keatas, “Setuju! Aku setuju dengan pendapat Ki Ramban!”

“Ya..ya, aku juga setuju!” sahut yang lain.

“Tidak setuju, aku tidak setuju.!” teriak yang lain tak kalah kerasnya.

“Setuju..!” kembali yang lain mencoba memaksakan pendapatnya.

“Sebentar, sebentar..!” tiba tiba Ki Wiguna berteriak untuk meredam kegaduhan itu, Setelah suara suara itu mereda, barulah Ki Wiguna melanjutkan kata katanya, “Apapun pendapat kalian, aku dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa Kademangan Cepaga harus segera memiliki seorang pemimpin, apapun sebutannya.”

“Betuul..!” bagaikan suara guruh mereka yang hadir itu bersorak.

“Baiklah kalau memang demikian,” suara Ki Wiguna segera meredam kegaduhan di pendapa itu, “Kita akan segera melaksanakan pengukuhan ini paling lambat dua hari lagi. Aku masih harus minta restu dari mbokayu Ambarasari, bagaimanapun juga dia adalah istri Demang terdahulu, Kakang Wiraguna saudara kandungku satu satunya. Namun Nyi Rara setuju atau tidak, tidak akan menjadi halangan bagi kita untuk melaksanakan pengukuhan itu.”

Orang orang yang hadir di pendapa itu mengangguk anggukkan kepala mereka. Agaknya sudah tidak ada lagi suara-suara bergeremang atau nada nada yang akan menentang rencana pengukuhan itu.

Demikianlah, pertemuan para bebahu Kademangan Cepaga itu segera bubar. Beberapa orang masih berbincang di pendapa, namun pada dasarnya pertemuan itu sudah selesai dengan kesepakatan untuk melaksanakan pengukuhan Ki Wiguna dua hari lagi.

Namun sebelum orang orang itu meninggalkan halaman rumah Ki Wiguna, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh datangnya dua orang yang masih terhitung muda memasuki regol halaman rumah Ki Wiguna. Dengan tenang keduanya menyeberangi halaman sambil sesekali tersenyum dan mengangguk ke arah orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu di halaman rumah Ki Wiguna.

Ki Wiguna mengerutkan keningnya sejenak, rasa-rasanya dia pernah melihat dua orang muda itu siang tadi ketika dia mengunjungi rumah Nyi Ambarasari. Kalau tidak salah mereka adalah pasangan suami istri pengembara yang menjadi tamu di rumah mbokayunya.

“Selamat sore Ki Wiguna,” sapa Glagah Putih sambil menaiki tlundak pendapa, “Selamat bertemu kembali. Agaknya Ki Wiguna agak lupa kepada kami pengembara yang menjadi tamu di rumah Nyi Ambarasari.”

“Tentu tidak Ki Sanak,” jawab Ki Wiguna sambil berdiri menyambut tamunya, “Aku sudah tahu siapa kalian berdua, orang-orang malas yang menghambur-hamburkan waktunya dengan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, apapun tujuannya. Tapi bagiku semua itu adalah pekerjaan sia-sia, tanpa masa depan”

Glagah putih yang serba sedikit telah mengetahui watak Ki Wiguna dari penuturan Nyi Ambarasari itu tersenyum, dicobanya untuk menghapus kesan tersinggung di wajahnya, kemudian jawabnya, “Kami memang sepasang pengembara yang berjalan kemana saja langkah ini membawa kami, namun demikian bukan berarti kami tidak mempunyai suatu keyakinan tentang apa yang kami jalani.”

“Itu terserah kalian, bukan urusanku,” sahut Ki Wiguna dengan nada yang sedikit keras, ”Nah, sekarang katakan apa keperluan kalian datang kemari.”

Segera saja warna merah menjalar di wajah Rara Wulan. Kalau saja Glagah Putih tidak menggamitnya, tentu sudah meluncur kata-kata pedas dari mulutnya untuk mengimbangi ucapan tuan rumah yang tidak mengenal unggah ungguh-dalam menerima mereka sebagai tamunya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gelora yang bergejolak di dadanya, Glagah Putih mencoba menjawab dengan sareh, “Maafkan kami berdua Ki Wiguna, sesungguhnya kami kemari atas permintaan Nyi Rara Ambarasari untuk menemui Ki Wiguna.”

Dada Ki Wiguna berdesir tajam. Setiap kali ada orang menyebut nama Rara Ambarasari, selalu saja ada perasaan gelisah di hatinya. Rasa rasanya ada yang kurang mapan dengan nama itu. Seandainya mungkin, dia ingin nama itu tidak pernah lagi disebut sebut oleh orang orang Kademangan Cepaga.

“Ki Wiguna,” tiba tiba seseorang yang rambutnya sudah hampir putih semua namun masih tampak kokoh berdesis perlahan lahan di belakang Ki Wiguna, “Apakah tidak sebaiknya mereka dipersilahkan duduk dulu?”

Sambil berpaling perlahan lahan Ki Wiguna menyahut, “Apakah itu memang perlu, Ki Lajuwit?”

“Kita tidak boleh meninggalkan suba sita dalam menerima seorang tamu, Ki Wiguna, betapapun ujud lahiriahnya.” berkata Ki Lajuwir

Ki Wiguna mengerutkan keningnya, sejenak diedarkan tatapan matanya keseluruh sudut halaman rumahnya. Beberapa orang tampaknya telah mengurungkan niatnya untuk meninggalkan halaman rumah Ki Wiguna. Agaknya mereka pun ingin mengetahui kepentingan apakah yang akan disampaikan Nyi Rara Ambarasari melalui sepasang suami istri pengembara itu.

“Ki sanak berdua,” Akhirnya suara Ki Wiguna memecahkan kebekuan itu, “Marilah, silahkan duduk dulu. Kelihatannya aku harus meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkan pesan mbokayu Rara Ambarasari yang dititipkan kepada kalian berdua”

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, namun mereka pun kemudian melangkah ke tengah-tengah pendapa yang telah dibentangi tikar pandan yang putih bersih. Ki Wiguna dan beberapa bebahu yang masih ada di pendapa itu pun segera duduk menebar mengitari Glagah Putih dan Rara Wulan.

Setelah membetulkan letak kain panjangnya serta ikat kepalanya, Glagah Putih pun bergeser setapak menghadap penuh ke arah Ki Wiguna, kemudian katanya, ”Ki Wiguna, kedatangan kami berdua kemari sesungguhnya mengemban tugas dari Nyi Rara Ambarasari untuk menyampaikan pesan kepada Ki Wiguna sehubungan dengan permasalahan yang telah Ki Wiguna sampaikan kepada Nyi Rara Ambarasari di rumahnya menjelang Matahari tergelincir siang tadi.”

“Katakan,” sergah Ki Wiguna tidak sabar, “Masih banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Aku tidak mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan dongengan kalian.”

“Kami tidak sedang mendongeng!” tiba tiba Rara Wulan yang sudah menahan diri sedari tadi menyela dengan suara keras, “Kami berdua adalah duta pamungkas dari Nyi Rara Ambarasari. Kami diberi kewenangan mutlak untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di Kademangan Cepaga ini.”

“Tutup mulutmu,” bentak Ki Wiguna tak kalah keras, “Yang terjadi ini adalah urusan penduduk Kademangan Cepaga, orang luar tidak boleh mencampuri urusan ini.”

“Aku tidak peduli!” suara Rara Wulan tinggi melengking, “Disini telah terjadi ketidak adilan dan pengambilan hak orang lain dengan cara curang. Kami tetap pada pendirian kami, memperjuangkan hak Nyi Rara Ambarasari yang akan kau telan.”

“Diam kau perempuan Iblis,” geram Ki Wiguna sambil menghentakkan kepalan tangannya ke lantai, “Sekali lagi aku peringatkan. Jangan ikut campur dengan masalah Kademangan Cepaga. Kami sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah ini. Lebih baik kalian segera pergi dari sini dan menyelesaikan urusan kalian sendiri.”

Diam-diam Glagah Putih merasa gelisah dengan perkembangan keadaan yang tidak terkendali ini. Dia sangat menyayangkan Rara Wulan yang mudah terpancing oleh sikap dan perilaku Ki Wiguna. Padahal kedatangan mereka ke rumah Ki Wiguna ini untuk mengemban pesan perdamaian dari Nyi Rara Ambarasari, ibunda Pangeran Ranapati.

“Ma’afkan istriku ini Ki Wiguna,” dengan cepat Glagah Putih berusaha mengembalikan suasana yang mulai memanas itu, “Pesan Nyi Rara Ambarasari yang dititipkan kepada kami adalah untuk kepentingan masa depan Kademangan ini sendiri. Kami berdua hanya membantu menyampaikan pesan itu, tidak lebih dan tidak kurang.”

Ki Wiguna yang sudah terlanjur merah padam wajahnya itu untuk sejenak bagaikan membeku. Pengaruh nama Rara Ambarasari itu masih saja seperti bayang-bayang hantu yang memburunya kemana dia bersembunyi. Jauh di lubuk hatinya dia tidak dapat mengingkari, Rara Ambarasari adalah Putri triman dari Panembahan Senapati yang dimasa mudanya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar kepada kakak kandungnya, Ki Wiraguna. Ada setitik rasa penyesalan, mengapa justru kakaknya yang dipilih oleh Mas Ngabehi Loring Pasar pada waktu itu untuk menerima Putri triman? Bukan dirinya yang juga telah lama menaruh hati kepada Endang Mintarsih, satu-satunya Endang yang tinggal di Padepokan Sela Gilang, jauh sebelum kedatangan Jaka Suta dan pamannya di Padepokan itu.

Sementara itu Matahari sudah semakin condong ke barat. Cahayanya yang kuning suram jatuh di pucuk-pucuk dedaunan memantulkan warna-warna yang buram. Seorang pelayan di rumah Ki Wiguna tampak sedang membawa sebuah bumbung berisi minyak klentik dari arah kanan pendapa. Agaknya pelayan itu akan mengisi lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa, namun begitu disadarinya masih banyak tamu yang duduk-duduk di pendapa, segera saja langkahnya surut kembali ke belakang.

“Baiklah,” akhirnya suara Ki Wiguna menurun, “Sampaikan saja pesan dari mbokayu Rara Ambarasari. Tidak kurang dan tidak lebih.”

Hampir saja Rara Wulan akan menjawab kalau saja Glagah Putih tidak menyentuh lambung istrinya itu dengan sikunya, kemudian cepat-cepat Glagah Putih berkata, “Terima kasih Ki Wiguna, Nyi Rara Ambarasari tidak berkeberatan seandainya Ki Wiguna mengambil alih sementara pimpinan di Kademangan Cepaga ini selama Ki Teja Wulung belum kembali. Namun dalam setiap permasalahan yang timbul di Kademangan ini, Nyi Rara menghendaki dirinya dilibatkan.”

Sejenak kerut merut di muka Ki Wiguna tampak semakin dalam. Sambil menghela nafas panjang dia menjawab, “Itu sama saja tidak mempercayai aku untuk memimpin Kademangan ini. Mengapa aku masih harus meminta pertimbangan kepada seorang perempuan? Walaupun dia adalah ibu Teja Wulung, Demang yang terdahulu.”

“Bukan begitu maksud Nyi Rara, Ki Wiguna,” sela Glagah Putih, “Bagaimanapun juga Nyi Rara adalah ibunda dari Ki Teja Wulung. Semua orang-orang tua di Kademangan ini tahu pasti bahwa Nyi Rara adalah putri triman yang mendapatkan tanah palungguh Kademangan ini.”

“Aku lebih tahu dari semua orang-orang tua yang ada di Kademangan ini,” sahut Ki Wiguna cepat, “Aku adalah saksi hidup pada saat kakang Wiraguna menerima putri triman dari Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun satu hal yang harus dipertimbangkan, sepeninggal Teja Wulung yang sedang merintis jalan ke istana Mataram, siapakah yang paling pantas menggantikannya sebagai Demang Cepaga?”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat saling berpandangan. Memang tidak ada orang lain yang pantas menggantikan Teja Wulung selain pamannya sendiri, sedangkan Nyi Rara Ambarasari jelas tidak mungkin mengambil alih pimpinan Kademangan Cepaga menilik sikap kebanyakan dari para bebahu Kademangan yang tidak ingin diperintah oleh seorang perempuan.

“Nah, semuanya sudah jelas,” kembali Ki Wiguna berkata dengan nada yang dalam, “Dalam waktu dua hari lagi, para bebahu Kademangan akan mewisuda aku menjadi pemimpin Kademangan yang baru, terserah sebutan apa yang akan mereka gunakan, pemangku sementara, atau bahkan Demang sekalipun aku tidak peduli. Yang jelas Kademangan ini harus segera mempunyai seorang pemimpin.”

“Namun sebaiknya pendapat Nyi Rara Ambarasari dipertimbangkan agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara kita di kemudian hari.” Glagah Putih masih mencoba mengajukan pendapatnya.

“Aku tidak peduli,” geram Ki Wiguna, “Terserah apa pendapat Mbokayu menghadapi masalah ini. Kalian sebagai utusan Nyi Rara, sampaikan keputusanku ini apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang.”

Glagah Putih harus menekan ibu jari Rara Wulan yang duduk di sebelahnya agar tidak menjawab kata-kata Ki Wiguna. Lebih baik mereka segera kembali ke kediaman Nyi Rara Ambarasari dan menyampaikan hasil pertemuan mereka dengan Ki Wiguna tanpa harus mengalami keributan yang tidak perlu.

“Baiklah Ki Wiguna,” akhirnya Glagah Putih pun meminta diri, “Kami akan kembali dan menyampaikan keputusan Ki Wiguna ini kepada Nyi Rara, tidak lebih dan tidak kurang.”

Selesai berkata demikian, Glagah Putih segera bangkit dari tempat duduknya diikuti oleh Rara Wulan. Ketika kemudian Ki Wiguna dan para bebahu yang hadir di situ ikut berdiri, sekali lagi Glagah Putih mohon diri sambil menganggukkan kepalanya, “Kami mohon diri, Ki Wiguna.”

“Silahkan,” jawab Ki Wiguna acuh tak acuh.

Sejenak kemudian sepasang suami istri itu pun telah menuruni tlundak pendapa kemudian berjalan melintasi halaman rumah Ki Wiguna yang cukup luas di bawah pandangan mata Ki Wiguna dan para bebahu Kademangan. Sedangkan di langit, Matahari sudah semakin condong ke barat, namun demikian senja belum juga menjelang.

—oOo—

 

Dalam pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Singa Wana Sepuh yang lebih senang dipanggil Ki Ageng Sela Gilang sedang dalam perjalanan menyusuri sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi setelah keluar dari wilayah Kadipaten Panaraga. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk tidak memasuki kota Panaraga agar perjalanan mereka tidak terganggu oleh para telik sandi baik dari Mataram maupun Panaraga.

Mereka berdua segera mempercepat langkah mereka ketika di langit Matahari sudah bergeser jauh ke barat. Beberapa hutan yang lebat dan liar telah mereka lalui tanpa ada suatu halangan yang berarti. Bagi kedua orang yang sudah mempelajari ilmu lahir maupun batin hampir sampai tuntas itu, rintangan alam seberat apapun tidak banyak memberikan kendala. Tubuh-tubuh mereka sudah terlatih untuk menghadapi keadaan yang berat sekalipun, sementara hati mereka bagaikan selembar baja yang tangguh dan tanggon.

Ketika kemudian mereka berdua menuruni sebuah lembah yang tidak begitu curam yang terdapat sebuah sungai yang mengalir jernih diantara kelokan-kelokan lembah itu, mereka pun memutuskan untuk mengikuti saja aliran sungai itu.

Demikianlah ketika kedua orang itu menyusuri aliran sungai yang semakin lama semakin deras arusnya serta tebing-tebing di sisi-sisinya semakin terjal, mereka pun akhirnya memilih untuk naik ke tepian dan berjalan di atas tebing sambil mencoba mencari jalan pintas yang lebih dekat untuk menuju padukuhan yang terdekat sebelum malam tiba.

Ketika warna-warna senja mulai menghiasi langit sebelah barat, kedua orang itu telah mendekati sebuah padukuhan yang sepi di seberang padang rumput yang tidak begitu luas di pinggir hutan yang membujur dari arah utara ke selatan.

Padukuhan itu sama sekali tidak mempunyai pintu gerbang, apalagi pagar batu yang tinggi sebagai pembatas dan pengamanan terhadap serangan binatang buas yang mungkin keluar dari hutan yang masih cukup liar. Hanya sebuah tugu dari batu yang setinggi orang dewasa menandai bahwa mereka telah memasuki padukuhan Panjer Bumi, nama padukuhan yang terpahat di tugu batu itu.

Untuk sejenak Ki Rangga dan Ki Ageng masih mengamat-amati tugu itu di bawah bayang-bayang senja yang muram. Menilik bentuk dan warnanya, tugu pembatas itu sudah lama dibuat dan ditempatkan di situ entah sejak kapan, namun ada hal yang aneh, tulisan padukuhan Panjer Bumi yang terpahat di tugu batu itu kelihatannya baru dibuat karena masih jelas terlihat bekas-bekas pahatannya dan sepertinya dibuat dengan sangat tergesa-gesa.

Setelah puas mengamat-amati tugu pembatas itu, mereka berdua pun kemudian segera melangkahkan kaki memasuki padukuhan yang terasa sangat aneh dan asing itu.

Sepanjang perjalanan, di bawah bayangan senja yang mulai menghiasi langit sebelah barat, serta cahaya redup kemerah-merahan yang jatuh di jalan-jalan berbatu yang mereka lewati, tampak di sebelah menyebelah jalan, sawah-sawah dan parit-parit yang tak terurus. Sawah-sawah itu dulunya pasti subur dengan tanaman padi yang menghijau. Namun sekarang dibiarkan saja dalam keadaan bera dan yang tampak hanyalah rumput dan semak belukar yang tumbuh liar di mana-mana, sedangkan parit-parit itu memang masih mengalirkan air namun di beberapa bagian tampak tertahan oleh onggokan tanah-tanah yang longsor dari pematang-pematang yang jebol. Sebuah gubuk yang sudah roboh dan teronggok diantara petak-petak sawah yang kering menambah pemandangan semakin memilukan.

“Agaknya padukuhan ini sudah lama ditinggal penghuninya,” desis Ki Ageng sambil melanjutkan langkahnya.

Ki Rangga yang berjalan di sebelahnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali melemparkan pandangan matanya ke arah deretan sawah-sawah yang terbengkalai.

“Aneh..,” tiba-tiba saja tanpa disadarinya Ki Rangga berguman.

Ki Ageng sejenak menghentikan langkahnya mendengar gumam Ki Rangga. Katanya kemudian, “Apakah yang aneh, Ki Rangga?”

Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian ikut menghentikan langkahnya. Sambil berpaling ke arah tugu batu berpuluh langkah di belakang mereka, dia berkata, “Tugu itu yang aneh. Seandainya benar padukuhan ini telah lama ditinggalkan oleh penghuninya, mengapa tulisan yang terpahat pada tugu itu masih kelihatan baru?”

Ki Ageng Sela Gilang tertegun. Apa yang dikatakan Ki Rangga memang ada benarnya. Namun siapakah yang telah melakukan semua itu? Sepertinya seseorang dengan sengaja telah menghapus pahatan yang lama dan menggantinya dengan yang baru, yang entah untuk tujuan apa.

“Marilah,” akhirnya Ki Ageng berkata sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Kita segera mengetahui semua teka-teki ini setelah memasuki padukuhan itu.”

Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dirinya bukanlah seorang pengecut yang tidak berani menghadapi setiap mara bahaya, namun panggraitanya yang tajam telah memperingatkan akan adanya suatu hal yang dapat membahayakan jiwa mereka.

“Aku telah terpengaruh oleh ilmu Ki Waskita,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati sambil menyusul langkah Ki Ageng, “Sebenarnya secara sengaja aku belum pernah menyentuh ilmu itu sama sekali untuk tujuan mendalaminya, walaupun ilmu itu masih terpahat dalam dinding ingatanku. Namun kadang-kadang untuk menjaga kesegaran ingatanku tentang isi kitab Ki Waskita, dalam waktu-waktu luang aku menghafal kembali urutan ilmu-ilmu itu, dan agaknya tanpa sengaja aku selalu tertarik untuk mengulang ulang bagian dari ilmu yang dapat mempertajam panggraita seseorang itu.”

Tak terasa langkah kedua orang yang telah banyak mengenyam asam garamnya ilmu agal maupun alus itu telah mencapai gardu penjagaan yang terdepan dari padukuhan Panjer Bumi.

Gardu itu keadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Atapnya sudah hilang entah kemana. Dindingnya yang terbuat dari batu sudah mulai retak di sana sini, sementara lantainya yang dibuat agak tinggi dan dilapisi oleh papan-papan kayu tampak sudah keropos habis dimakan rayap.

Sementara itu langit sudah mulai menghitam. Suasana benar-benar mencekam. Tidak ada setitik pun sinar pelita yang meluncur keluar dari sela-sela dinding kayu dari rumah-rumah yang berada di ujung jalan dekat gardu itu. Benar-benar sebuah malam yang kelam di sebuah padukuhan yang menyeramkan.

“Ki Rangga,” tiba-tiba Ki Ageng berbisik, “Apakah kita akan memasuki Padukuhan ini di malam hari?”

Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sambil mengedarkan pandangan matanya kearah rumah-rumah di ujung jalan itu dia menjawab, “Apakah keberatannya memasuki padukuhan ini di malam hari? Justru lebih mudah mencari rumah yang berpenghuni di malam hari dari pada di siang hari di padukuhan yang sepi ini.”

“Maksud Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng.

“Rumah yang berpenghuni pasti memerlukan lampu. Sinarnya akan dapat menembus di sela-sela dinding-dinding kayu dan dapat memberikan petunjuk kepada kita kemana kita harus mencari tempat bermalam.”

Ki Ageng Sela Gilang tersenyum tipis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya kemudian, “Namun di sisi lain, memasuki padukuhan yang belum kita kenal sama sekali apalagi di malam hari adalah sebuah tindakan yang cukup gegabah, kecuali itu memang sudah menjadi bagian dari rencana kita untuk memancing dan mengetahui keadaan yang sebenarnya.”

“Ya,” sahut Ki Rangga, “Dan memang harus ada yang dikorbankan dalam situasi seperti itu agar kita mendapat gambaran yang mendekati kenyataan yang sebenarnya sehingga kita dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya.”

Keduanya sejenak terdiam sambil merenungi deretan rumah-rumah di ujung jalan itu yang tampak seperti gundukan-gundukan hitam tanpa ada secercah cahaya pun.

“Marilah, Ki Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian sambil mengayunkan langkahnya, “Setidaknya masih ada bulan sepotong yang dapat menerangi perjalanan kita malam ini.”

“Ah..,” Ki Ageng tertawan tertahan, “Seorang Rangga Senapati Agul-agulnya Mataram masih membutuhkan bantuan sepotong cahaya rembulan untuk menyusuri gelapnya malam? Bagaimana dengan orang tua yang sudah rabun seperti aku ini? Berpuluh-puluh obor pun rasanya masih kurang terang untuk menerangi jalanku ini.”

Ki Rangga tertawa pendek, katanya kemudian, “Itu tidak perlu, karena obor-obor itu sudah terdapat pada kedua mata Ki Ageng, sehingga di gelapnya malam, kedua mata Ki Ageng akan bercahaya bagaikan mata seekor kucing candra mawa.”

“Ah, celakalah aku,” gerutu Ki Ageng, “Sudah setua ini aku malah disamakan dengan seekor kucing, padahal dulunya aku seekor singa.”

Segera saja derai tawa kedua orang itu memenuhi udara malam yang sepi. Namun tawa kedua orang itu bagaikan terputus ditengah jalan ketika tiba-tiba saja pendengaran mereka yang melebihi ketajaman pendengaran orang-orang kebanyakan itu lamat-lamat mendengar jerit seorang perempuan.

Sejenak keduanya bagaikan membeku. Mereka berusaha meyakinkan apa yang baru saja mereka dengar. Sebuah jerit perempuan di sebuah Padukuhan yang kosong tak berpenghuni.

Mereka berdua mencoba untuk mengingat arah dari mana jerit itu berasal, namun agaknya mereka mengalami kesulitan karena memang suara itu sangat jauh dan mereka tidak sedang memusatkan nalar dan budi pada saat jeritan itu terjadi.

Untuk beberapa saat mereka masih berdiam diri sambil memusatkan segenap ilmu yang mereka miliki, aji sapta pangrungu, agar apabila jerit itu terdengar lagi, mereka sudah dapat menduga dari arah mana datangnya suara itu.

Agaknya mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, ketika jeritan itu sekali lagi terdengar lamat-lamat di kejauhan, bagaikan sudah berjanji, keduanya segera mengerahkan kemampuan mereka untuk berlari cepat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur menembus malam yang pekat melintasi jalan-jalan berbatu mengarah ke sebelah selatan Padukuhan Panjer Bumi.

Sepanjang perjalanan, Ki Rangga Agung Sedayu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghilangkan bobot tubuhnya sehingga dia berlari seolah olah tidak menyentuh tanah sebagaimana yang telah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita dan telah ditekuninya pada saat dia berada di goa atas petunjuk Pangeran Benawa untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya menghadapi racun sekeras apapun dengan cara meminum air yang mengalir di dalam goa tersebut. Namun waktu luang yang didapatkannya di dalam goa itu telah dimanfaatkan untuk menekuni salah satu ilmu dari isi kitab Ki Waskita.

Sementara Ki Ageng Sela Gilang, walaupun secara kewadagan dia jauh lebih tua dari Ki Rangga Agung Sedayu, namun orang tua itu seakan-akan selalu berada di samping Ki Rangga, betapapun Ki Rangga telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.

“Aji Sepi Angin,” desis Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati.

Demikianlah kedua orang itu seolah-olah sedang berlomba satu sama lainnya. Ki Ageng Sela Gilang yang sudah tua itu sebenarnya harus memeras segenap tenaganya. Dia tidak tahu sampai kapan dia akan dapat bertahan jika Ki Rangga Agung Sedayu masih saja mengerahkan kemampuan puncaknya. Ketika pandangan mata kedua orang itu kemudian dapat menangkap titik-titik cahaya yang berkedip-kedip dari sebuah rumah besar yang berada di ujung jalan yang sedang mereka lalui, Ki Rangga Agung Sedayu pun mulai mengendorkan langkahnya sehingga Ki Ageng Sela Gilang pun dapat bernafas lega.

Sejenak kemudian dengan langkah yang penuh kewaspadaan keduanya pun mendekati satu-satunya rumah yang memancarkan sinar kehidupan diantara deretan rumah-rumah yang gelap gulita bagaikan sarang hantu. Rumah itu cukup besar dengan dikelilingi oleh pagar yang tinggi. Sinar lampu itu ternyata berasal dari sebuah dlupak yang digantung di sebelah kanan regol.

Dua orang penjaga tampak hilir mudik di depan regol sambil menjinjing tombak panjang. Sementara di dalam gardu penjagaan yang terletak di sebelah kanan regol, beberapa pengawal sedang duduk-duduk beristirahat sambil bermain macanan atau mungkin mul-mulan.

Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang segera merapatkan diri mereka pada sebuah pohon mahoni yang tumbuh besar di kanan jalan. Dari arah itu mereka dapat mengamati regol yang kelihatannya dijaga cukup ketat.

“Bagaimana, Ki Ageng?” desis Ki Rangga perlahan-lahan.

“Sebaiknya kita masuk melalui pohon jambu itu,” jawab Ki Ageng sambil menunjuk ke arah dinding sebelah kiri. Sebuah pohon jambu air yang lebat daun dan buahnya tampak tumbuh di dekat dinding sebelah kiri rumah itu. Cabang cabangnya yang berdaun rimbun sebagian menjulur keluar dinding sehingga memungkinkan bagi kedua orang itu untuk meloncati dinding tanpa ketahuan oleh para penjaga.

Ketika kedua penjaga regol itu hampir bersamaan berjalan membelakangi mereka, tanpa aba-aba keduanya pun melenting bagaikan dua ekor belalang dan mendarat di sebelah kiri dinding yang memagari rumah itu tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun.

Untuk sejenak mereka berdua masih berdiam diri sambil melekat di dinding. Ketika mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka, dengan sebuah isyarat, Ki Rangga Agung Sedayu pun segera melenting hinggap di atas dinding dalam keadaan tengkurap di bawah bayang-bayang rimbunnya daun jambu air.

Ki Ageng yang masih tinggal di bawah dinding sejenak masih mengamati keadaan, ketika sekali lagi Ki Rangga memberikan isyarat dengan menjentikkan ujung ibu jarinya dengan ujung jari tengah, Ki Ageng pun segera melenting ke atas dinding dan hinggap di atas dinding dalam keadaan berjongkok di sebelah Ki Rangga.

“He..!” bisik Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berjongkok? Nanti bisa terlihat oleh penjaga.”

“Bukankah kita berada di bawah bayang-bayang rimbunnya pohon jambu air ini?” selesai berkata demikian tanpa sadar Ki Ageng meraih sedompol jambu air yang ada di depannya yang sudah berwarna merah matang. Dengan lahapnya satu persatu buah jambu air itupun dimakannya. Alangkah segarnya.

Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Walaupun Ki Rangga adalah seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan serta mempunyai kemampuan untuk menyerap segala bentuk bunyi yang ada di sekitarnya, namun sebagai seorang prajurit, dia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Berbeda dengan Ki Ageng Sela Gilang, dia adalah petualang sejati di masa mudanya, sehingga tingkahnya kadang-kadang ada sedikit rasa sombong dan terlalu percaya dengan kekuatan sendiri.

Untuk sejenak mereka berdua masih dalam keadaannya masing masing. Ki Rangga Agung Sedayu yang masih menelungkup di atas dinding pagar itu akhirnya perlahan lahan bangkit dan ikut berjongkok di sisi Ki Ageng Sela Gilang.

Mereka berdua masih mencoba mendengarkan setiap bunyi yang timbul dari sekitar rumah itu, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ada suatu pertemuan atau seseorang sedang dalam keadaan gawat, bahkan jeritan itu pun seakan telah hilang ditelan bumi.

“Marilah,” geram Ki Ageng, “Aku sudah muak dengan segala permainan ini. Lebih baik kita datang dengan beradu dada dan menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi sehubungan dengan sura jeritan perempuan yang kita dengar tadi.”

Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja Ki Ageng telah meloncat turun dengan mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk mengguncang bumi.

Begitu kaki Ki Ageng menyentuh tanah, segera saja bumi bergonjang bagaikan ada seribu gempa bumi menjadi satu. Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berjongkok di atas dinding pagar itu pun dapat merasakan guncangannya yang dahsyat.

“Luar biasa,” desis Ki Rangga dalam hati, “Guru Pangeran Ranapati ini memang luar biasa dan selebihnya adalah sikap dan tindakannya yang kadang kadang sulit untuk diduga.”

Sebenarnya ada keinginan dari Ki Rangga Agung Sedayu untuk menunjukkan kelebihannya sebagaimana yang telah diperbuat oleh Ki Ageng Sela Gilang, namun niat itu segera diurungkannya ketika lamat-lamat Ki Rangga mendengar suara gaduh yang berasal dari arah gardu penjagaan di depan rumah itu.

Hanya beberapa saat saja halaman samping kiri rumah itu sudah penuh dengan orang orang yang bersenjata. Mereka berusaha mengepung kedudukan Ki Ageng Sela Gilang yang dengan tenangnya melangkah satu satu mendekat ke arah rumah itu.

“Berhenti..!” bentak seorang pengawal yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis yang lebat, sedangkan jenggotnya dibiarkan saja tumbuh liar menjuntai sampai dada.

Ki Ageng Sela Gilang sama sekali tidak menahan langkahnya. Dengan tenangnya dia berjalan selangkah demi selangkah mendekati rumah itu dari arah samping kiri.

Pengawal yang berjambang lebat dan berjenggot liar itu tampak tersinggung dengan sikap Ki Ageng. Ketika langkah Ki Ageng sudah hampir mencapai dua langkah saja di depannya, sambil mengacukan sebilah pedang yang cukup besar ke arah dada Ki Ageng, dia pun sekali lagi membentak dengan kasar, “Berhenti..! Atau kulubangi dadamu dengan pedangku ini he..tua bangka.”

Namun alangkah terkejutnya mereka yang ada di halaman itu ketika dengan sekali renggut saja, pedang yang cukup besar dan panjang milik pengawal yang berjambang dan berjenggot liar itu sudah berpindah tangan. Kemudian tanpa mengucap sepatah kata pun, Ki Ageng Sela Gilang dengan gerakan cepat yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata biasa, pedang itu telah terbenam menembus dada pengawal itu.

Sebuah teriakan keras dan umpatan kasar segera meluncur dari mulut pengawal yang berjambang dan berjenggot liar itu. Sejenak tubuhnya terhuyung huyung ke belakang sambil kedua tangannya mendekap erat dadanya yang tertembus pedangnya sendiri. Namun kemudian nyawanya benar-benar sudah tidak tertolong lagi. Tubuhnya yang tinggi besar itu pun jatuh terlentang bersimbah darah.

Peristiwa itu berlangsung dengan cepat di hadapan sekian banyak orang yang sedang mengepung Ki Ageng Sela Gilang, namun mereka tidak dapat berbuat banyak untuk menolong temannya yang malang itu. Mereka benar benar terpesona dengan kecepatan dan kekuatan gerak dari Ki Ageng Sela Gilang.

Ki Rangga Agung Sedayu yang menyaksikan langsung peristiwa itu dari atas dinding pagar, hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Itulah sifat sebenarnya dari Ki Ageng Sela Gilang yang di masa mudanya bergelar Ki Singa Wana yang merajai hutan hutan di lereng Merapi dan Merbabu.

“Nah,” berkata Ki Ageng Sela Gilang sambil bertolak pinggang, “Siapa lagi yang mau mencari mati? Aku dengan senang hati akan membantu keinginan kalian itu.”

Orang orang yang mengepungnya hanya diam membeku, namun mereka tidak mengendorkan kepungannya sama sekali, bahkan mereka telah membuat barisan yang berlapis-lapis dengan pedang, tombak dan berjenis senjata yang lain teracu kearah Ki Ageng siap untuk meranjamnya.

Suasana benar benar sangat mencekam. Ketika Ki Ageng Sela Gilang melangkah kedepan satu langkah, kepungan itu pun bergeser selangkah mundur, namun mereka benar benar tidak mau mengendorkan kepungan mereka.

“Selamat datang Ki Singa Wana Sepuh, Guru Pangeran Ranapati,” tiba tiba terdengar suara berat dan dalam dari arah depan.

Segera saja para pengawal yang mengepung Ki Ageng Sela Gilang menyibak. Tampak dua orang yang mempunyai wajah bak pinang dibelah dua berjalan dengan tegap diiringi oleh seorang perempuan yang masih cukup muda, berwajah cantik dan manis namun ada kesan kejam yang tersirat dari setiap senyuman dan lirikan matanya.

Dua orang yang berjalan di depan itu memang saudara kembar. Umurnya sudah lewat setengah abad tapi masih kelihatan gagah dan kuat. Otot-ototnya tampak menonjol disepanjang kedua belah lengannya. Sedangkan bahunya yang lebar dengan leher yang kokoh dan agak panjang menurut ukuran wajar itu menopang sebuah kepala dengan seraut wajah yang mirip dengan wajah seekor serigala.

“Kiranya Ki Brahmuka dan Ki Gohmuka dari perguruan Tal pitu,” berkata Ki Ageng Sela Gilang, “Semenjak perguruan itu hancur karena pokal pemimpinnya sendiri, Ki Ajar Tal Pitu, kalian berdua yang menjadi murid luar perguruan Tal Pitu telah mencoba membangun kembali kejayaan perguruan Tal Pitu.”

“Kau benar, Ki Singa Wana Sepuh,” berkata salah satu dari kedua orang kembar itu, “Berbekal dendam setinggi langit dan sedalam lautan, kami berdua telah membangun kembali kejayaan perguruan Tal Pitu, bukan hanya membangun tempat tinggal untuk para cantrik dan penghuni padepokan, namun lebih dari itu kami telah berhasil mengungkap kembali ilmu warisan perguruan Tal Pitu dan sekaligus menyempurnakannya.”

Ki Ageng Sela Gilang mengangguk anggukkan kepalanya, sementara Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berjongkok di atas pagar, tertegun sejenak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau di Padukuhan Panjer Bumi yang sepi ini akan bertemu dengan murid Ki Ajar Tal Pitu yang telah dibunuhnya dalam perang tanding di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu.

Beberapa saat Ki Rangga Agung Sedayu masih belum dapat mengambil sikap. Dia sadar sepenuhnya bahwa dendam yang dimaksud oleh murid murid perguruan Tal Pitu itu adalah dirinya. Dia tidak akan menghindar walaupun akibat yang akan diterimanya mungkin akan sangat pahit. Namun sejauh yang dapat dilakukannya, Ki Rangga selalu berusaha untuk menyuarakan kedamaian dalam setiap langkahnya.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk hadir dan menampakkan dirinya. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga Agung Sedayu ketika baru saja dia beringsut untuk meloncat turun dari atas pagar, salah satu dari saudara kembar itu telah menunjuk ke arah tempatnya bersembunyi dan berkata lantang, “Dan kau yang bersembunyi di balik bayang-bayang pohon jambu, umurmu tinggal malam ini. Lebih baik Kau segera turun dan minta ampun kepada kami, agar kami dapat mempertimbangkan cara yang palih mudah dan ringan untuk membunuhmu.”

Bergetar dada Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kata kata dari salah seorang yang berwajah mirip serigala itu. Pada dasarnya dia adalah orang yang luruh dan rendah hati, namun dalam perjalanan hidupnya yang penuh gejolak dan terutama keterikatan dirinya dalam bidang keprajuritan selama ini sehingga memperoleh pangkat seorang Rangga, sedikit banyak telah mempengaruhi kepribadiannya dalam mengambil sikap dan keputusan.

Sejenak suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan kata-kata, bahkan untuk menggerakkan ibu jari kaki saja para pengawal yang mengepung halaman samping rumah itu tidak berani.

Tiba-tiba orang orang yang ada di halaman samping rumah itu dikejutkan oleh angin yang bertiup dan berputar cepat disertai dengan kabut yang tipis namun cukup pekat dan padat. Sejenak kabut tipis itu masih berputaran di atas halaman samping rumah itu sebelum akhirnya meluncur turun. Ternyata kabut yang berputar cepat itu telah meluncur turun dan jatuh berputaran di sebelah Ki Ageng Sela Gilang.

Belum hilang rasa terkejut orang orang yang hadir disitu, tiba-tiba saja kabut yang berputar itu perlahan lahan memudar dan hilang tertiup angin malam. Sebagai gantinya, telah berdiri dengan kokoh disamping Ki Ageng Sela Gilang, seorang yang tangguh tanggon, pinunjul ing apapakagul agulnya para parajurit Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.

“Permainan kanak-kanak,” geram Brahmuka yag ternyata berperawakan lebih kurus dari Gohmuka, “Jangan berharap ilmu kabutmu itu akan menggetarkan hati kami. Kesalahan dari Ajar Tal Pitu tidak akan terulang pada kami, kami tidak menggantungkan kekuatan pada sinar bulan atau apapun yang ada di sekitar kami, namun kami meletakkan dasar kekuatan ilmu kami atas latihan dan laku yang berat dan terlebih lagi adalah keyakinan kami atas apa yang telah kami jalani selama ini.”

“Bagus,” tiba tiba saja Ki Ageng Sela Gilang tertawa pendek sambil bertepuk tangan, “Sudah lama aku tidak menyaksikan sebuah benturan ilmu olah kanuragan dari orang-orang berilmu tinggi. Tapi apakah kalian akan mengeroyok Ki Rangga Agung Sedayu? Itu rasanya tidak adil. Seharusnya kalian memberi kesempatan kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk memilih salah satu diantara kalian sebagai lawannya.”

Diam-diam Ki Rangga mengeluh dalam hati. Ki Ageng Sela Gilang ini benar-benar orang yang tidak dapat di jajagi isi hatinya. Apakah dia berpihak pada dirinya ataukah berpihak kepada kedua manusia berwajah serigala itu?

Selagi Ki Rangga Agung Sedayu menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dendam yang tak berkesudahan itu, tiba-tiba perempuan muda yang sedari tadi berdiri diam di belakang kedua orang kembar itu berkata nyaring, “Guru, ijinkanlah aku bermain-main dengan orang itu. Sudah lama aku tidak menemukan sebuah permainan yang menarik. Agaknya orang yang bernama Agung Sedayu ini cukup menarik untuk dijadikan permainanku.”

“Diam, kau Anjani..!” bentak Ki Gohmuka dengan wajah merah padam. Dia maklum apa yang dimaksud muridnya dengan permainan yang menarik. Memang Anjani adalah perempuan yang cantik, tetapi mengerikan bagi laki-laki yang berwajah cukup tampan, apalagi Ki Rangga Agung Sedayu adalah laki-laki yang cukup menarik sehingga di masa mudanya pernah mematahkan hati seorang gadis dari Menoreh.

Mendapat bentakan dari salah seorang Gurunya, Anjani tampak sedikit kesal, namun kemudian katanya, “Guru, setidaknya berilah kesempatan padaku untuk menunjukkan ilmu yang telah Guru berdua ajarkan kepadaku. Untuk apa ilmu-ilmu itu aku pelajari dengan susah payah kalau bertemu musuh bebuyutan perguran kita, aku hanya berpangku tangan.”

“Bukan begitu, Anjani,” Ki Brahmuka lah yang menjawab, “Lawan kita kali ini tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ilmunya hanya selapis di bawah Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa semasa keduanya masih hidup. Namun itu tidak akan membuat kita silau. Perguruan Tal Pitu telah bangkit dan aku yakin, seandainya Panembahan Senapati atau Pangeran Benawa masih hidup, keduanya tidak akan banyak menimbulkan kesulitan bagi kita berdua.”

Orang-orang yang hadir disitu sejenak tertegun dengan jantung berdebaran, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Betapapun juga, kedua murid dari Tal Pitu itu telah dengan yakin membuat perbandingan perbandingan. Jika tidak ada sesuatu yang dapat membuat mereka yakin akan kemampuan mereka, tentu mereka tidak akan berani menyombongkan diri di hadapan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.

Anjani yang mendapat jawaban dari salah satu Gurunya itu pun akhirnya dapat menerima, namun ketika pandang matanya tanpa sengaja bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, perempuan cantik itu justru telah tersenyum genit sambil mengedipkan sebelah matanya.

Tanpa terasa bulu-bulu di sekujur tubuh Ki Rangga Agung Sedayu meremang. Senyum itu begitu menantang dan menjanjikan kenikmatan yang luar biasa bagi setiap laki-laki yang membiarkan dirinya terperosok dalam perangkap perempuan Iblis itu.

Sementara itu Ki Ageng Sela Gilang yang berdiri di sebelah Ki Ranga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan semua percakapan antara Guru dan muridnya itu. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya dia berkata sambil melangkah menepi, “Aku tidak mau berurusan dengan segala dendam yang terjadi diantara kalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormatku atas kerja sama yang telah terjalin antara muridku, Pangeran Ranapati dengan kalian berdua, menurutku dalam hal ini lebih baik aku menjadi penonton saja.”

Ki Rangga Agung Sedayu lah yang kini benar-benar merasa terjepit. Memang dia tidak dapat mengharapkan bantuan Ki Ageng Sela Gilang untuk menghadapi kedua manusia serigala itu karena menyangkut dendam perguruan. Namun setidaknya, sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, Ki Ageng Sela Gilang dapat diharapkannya untuk ikut mengurai atau bahkan memutus lingkaran dendam yang tidak berkesudahan itu.

Selesai berkata demikian, dengan langkah yang mantap, Ki Ageng Sela Gilang pun akhirnya melangkah menepi dan duduk di atas sebuah batu di bawah pohon jambu yang rindang.

Malam telah merambah semakin dalam dan hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun cahayanya cukup menerangi halaman samping rumah yang di tempati oleh Ki Brahmuka dan Ki Gohmuka. Sementara itu, atas perintah pemimpin pengawal yang bertugas malam itu, beberapa pengawal telah menempatkan beberapa obor di sudut-sudut yang gelap agar halaman samping itu menjadi semakin terang.

Dengan wajah yang tegang, Ki Brahmuka melangkah satu langkah ke depan, kemudian katanya sambil menunjuk wajah Ki Rangga Agung Sedayu, “Kau boleh memilih satu diantara kami sebagai lawanmu, namun jika Kau memang pengecut, kami masih memberi kesempatan kepadamu untuk minta ampun kepada kami, kepada perguruan kami. Kami berjanji akan memperlakukanmu sebaik baiknya. Kami akan memilih cara yang terbaik untuk membunuhmu tanpa harus menyakitimu terlebih dahulu.”

Mendidih darah Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kesombongan murid Tal Pitu ini. Dengan tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun, Ki Rangga Agung Sedayu menjawab sambil tersenyum, “Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Tapi sebelum kalian membunuh aku, apakah aku diperbolehkan untuk mengajukan sebuah syarat?”

Kedua orang murid Tal Pitu itu sejenak saling berpandangan, hampir bersamaan mereka bertanya, “Syarat apakah itu?”

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum, pancingannya ternyata telah berhasil. Dengan cepat diapun menjawab, “Perang tanding ini selain mempertaruhkan nyawa kita masing masing, sebaiknya ada taruhan yang lain agar pemenangnya tidak pulang dengan tangan hampa.”

Kedua manusia serigala itu benar benar tidak mengerti yang dimaksud oleh Ki Rangga. Merasa dipermainkan, Ki Gohmuka akhirnya dengan suara lantang membentak, “Jangan gila.! Perang tanding ini taruhannya hanya nyawa. Itu adalah taruhan tertinggi yang dapat kita lakukan.”

Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Itu tidak adil. Kalianlah yang berkepentingan dengan nyawaku, sedangkan aku tidak. Aku tidak butuh nyawa kalian berdua seandainya aku menang dalam perang tanding ini, tapi aku membutuhkan sesuatu yang lain.”

“Katakan.!” Bentak Ki Brahmuka menggelegar.

Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menahan nafas, dia sudah memulai permainan ini dan harus berani menanggung akibat yang mungkin timbul. Maka katanya kemudian dengan las-lasan sehingga kata demi kata terdengar jelas di telinga semua yang hadir di halaman samping itu, “Aku ingin muridmu yang bernama Anjani itu sebagai taruhan. Aku ingin membawanya ke Menoreh.”

“Gila..!” hampir bersamaan kedua murid Tal Pitu itu mengumpat diiringi oleh jerit kecil Dewi Anjani.

“Guru,” dengan tergesa gesa Dewi Anjani segera beringsut maju, “Aku mau dijadikan taruhan. Tidak dijadikan taruhan pun aku mau mengikuti Ki Rangga Agung Sedayu ke Menoreh.”

“Tutup mulutmu Anjani..!” kini Ki Gohmuka lah yang membentak, “Tidak sadarkah Kau bahwa Ki Rangga dengan licik berusaha memecah belah kekuatan kita? Jangan hanya menuruti hawa nafsumu saja.”

Sejenak Anjani tertunduk diam, namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, yang selama ini bagaikan sepetak tanah gersang yang tidak pernah puas mendapat guyuran hujan selebat apapun, kini setelah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, sepetak tanah gersang itu pun mulai subur menghijau dan tumbuh kuncup-kuncup bunga yang siap bermekaran.

Ketika tanpa disadarinya dia mengangkat wajahnya, terpandang olehnya Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tersenyum kearahnya. Tiba-tiba saja jantungnya berdentangan dan nafasnya berkejaran seolah olah dia baru saja menyelesaikan sebuah latihan olah kanuragan yang berat. Sekujur tubuhnya menjadi lemas dan gemetar. Dengan cepat ditundukkan kembali wajahnya sambil mencoba menguasai debar jantungnya yang tak beraturan. Entah perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya. Biasanya setiap laki-laki yang menarik hatinya hanya dijadikannya sebagai pemuas dahaga untuk sementara waktu. Kemudian setelah puas mempermainkannya, tanpa mengenal belas kasihan, laki-laki itupun akhirnya dibunuhnya.

Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu yang memang sengaja ingin menimbulkan pertentangan antara Guru dan murid itu semakin meningkatkan kewaspadaannya ketika Ki Brahmuka perlahan-lahan telah mengambil sikap dan kini sudah berdiri hanya tiga langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram keras, berkata Ki Brahmuka kemudian, “Persetan dengan segala tuntutanmu. Marilah kita selesaikan dendam kesumat ini. Tidak usah mengikut sertakan pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Nah, apakah Kau sudah siap Ki Rangga Agung Sedayu? Kau tidak usah memilih lawan, akulah lawanmu kali ini.”

Selesai berkata demikian, Ki Brahmuka telah mengambil ancang ancang untuk menyerang Ki Rangga Agung Sedayu. Kedua kakinya segera direnggangkan selebar bahu. Dengan lutut setengah ditekuk dan tangan kanan lurus ke depan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi serta tangan kiri sebagai keseimbangan menyilang di depan dada, dia siap melontarkan serangan yang pertama.

Ki Rangga Agung Sedayu sekilas terkejut ketika memperhatikan jari -ari yang mengembang itu. Tampak ujung-ujungnya yang panjang dan runcing serta berwarna hitam kelam. Ternyata Ki Brahmuka telah mempersenjatai dirinya dengan kuku-kuku dari baja yang sangat beracun.

Menyadari bahwa lawannya ternyata mempergunakan senjata yang berupa kuku-kuku baja yang beracun, Ki Rangga Agung Sedayu segera mengurai cambuknya. Lawannya yang sudah siap untuk melontarkan serangan pertamanya itu sejenak tertegun. Senjata cambuk itu memang sudah sangat terkenal di seluruh tlatah Mataram sampai menyeberang ke bang wetan dan daerah di sepanjang pesisir lor. Senjata cambuk itu telah banyak berperan seiring dengan silih bergantinya pemerintahan di Negeri ini.

Begitu melihat lawannya telah mengurai senjata andalannya, dengan sebuah bentakan menggelegar, Ki Brahmuka meloncat menyerang sambil mengayunkan cakarnya ke arah wajah Ki Rangga. Terdengar suara angin yang suitan seiring dengan meluncurnya serangan Ki Brahmuka.

Mendapat serangan yang demikian cepat, Ki Rangga segera bergeser ke samping sambil mengayunkan cambuknya. Ujung cambuk itu menggeliat dan mencoba membelit leher Ki Brahmuka yang sedang meluncur di udara.

Tentu saja Ki Brahmuka tidak akan membiarkan lehernya menjadi korban keganasan ujung cambuk lawannya. Dengan menundukkan kepalanya dalam dalam, sambaran ujung cambuk itu hanya lewat setebal ibu jari di atas kepalanya. Ketika menyadari lawannya telah bergeser kesamping, maka Ki Bahmuka pun telah merubah serangannya dengan tendangan kaki kiri yang lurus mengarah ke ulu hati.

Demikianlah perang tanding itupun segera berlangsung dengan sengitnya. Agaknya Ki Brahmuka tidak ingin banyak membuang waktu justru karena dia sudah dapat gambaran sampai di mana tingkat ilmu kanuragan Ki Rangga Agung Sedayu. Kalau seorang Ajar Tal Pitu saja bisa dikalahkan oleh lawannya ini, berarti dia harus memulai tingkatan itu dari tataran yang dimiliki oleh Ajar Tal Pitu pada waktu itu.

Ki Rangga Agung Sedayu benar benar harus memeras segenap ilmunya untuk menghadapi lawannya kali ini. Berbeda dengan Ajar Tal Pitu yang bisa berubah menjadi serigala jadi-jadian dan mempengaruhi sekelompok serigala yang liar di bawah pengaruh ilmu hitamnya, Ki Brahmuka ini lebih menitik beratkan pada gerak dan suara yang mirip serigala. Geraman dan lolongannya di sela-sela serangannya yang membadai kadang dapat menggetarkan hati lawan yang tidak tatag dan tabah. Selain itu lehernya yang panjang kadang-kadang terlihat melebihi panjang leher sewajarnya sehingga gigi-gigi tajam Ki Brahmuka pun sering hampir mengenai bagian tubuh Ki Rangga Agung Sedayu.

Diam diam Ki Rangga bergidig. Murid Tal Pitu ini benar-benar seperti manusia serigala. Dia menyerang tidak hanya dengan cakar-cakar bajanya, namun juga dengan gigi-gigi tajam yang ada di mulutnya. Benar-benar mirip dengan tandang seekor serigala.

Sementara itu, Anjani yang berdiri di pinggir arena perkelahian itu bagaikan berdiri di atas bara api. Wajahnya kelihatan gelisah sambil sesekali meremas remas tangannya sendiri. Sesekali dia berpaling ke arah Gurunya yang lain, Ki Gohmuka, namun tampaknya Gurunya yang satu ini tidak sedang memperhatikan dirinya, perhatiannya tercurah pada jalannya perang tanding yang sedang berlangsung.

Sesungguhnya di dalam hati Anjani sedang terjadi pergolakan yang dahsyat, bahkan lebih dahsyat dari pada perkelahian yang sedang berlangsung. Di satu sisi Anjani tentu saja ingin Gurunya keluar sebagai pemenang dari perang tanding itu, namun jauh di dasar hatinya yang kering akan cinta kasih, telah tumbuh suatu harapan untuk meniti hari-hari esok yang lebih baik dan ceria dari hari-hari sebelumnya yang kelam dan berlumur dosa.

Dia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah sekotor-kotor perempuan yang ada di muka bumi ini. Tidak layak dirinya berangan angan untuk mendapatkan lelaki yang baik seperti Ki Rangga Agung Sedayu. Namun permintaan Ki Rangga Agung Sedayu yang didengarnya sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai taruhan dalam perang tanding itu, telah menggetarkan jantungnya dan menyentuh perasaannya yang paling lembut. Terasa ada suatu ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata masih memperhatikannya dan mengakui keberadaannya sebagai seorang perempuan dengan segala macam cacat yang dimilikinya.

Namun lamunan Anjani segera buyar ketika suara ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu berubah sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar namun getarannya bagaikan memukul mukul dinding-dinding jantung orang orang yang sedang menyaksikan perang tanding itu. Ki Gohmuka yang berdiri tidak jauh dari arena perkelahian itu pun telah mengerutkan keningnya dalam dalam, terasa ada sesuatu yang menghentak hentak jantungnya setiap kali cambuk Ki Rangga Agung Sedayu menggelepar.

Perkelahian itu semakin lama telah menimbulkan pusaran angin prahara yang mengguncang dan merontokkan daun-daun dari pohon-pohon yang tumbuh di sekitar halaman samping itu. Bahkan pohon jambu klutuk sebesar lengan orang dewasa telah hancur dan tumbang ketika diterjang cakar cakar baja Ki Brahmuka.

Ki Rangga Agung Sedayu yang sejak semula telah mengetrapkan ilmu kebalnya sampai ke puncak sehingga telah memancarkan hawa panas di sekelilingnya itu beberapa saat menjadi terheran heran. Ternyata Ki Brahmuka sama sekali tidak terpengaruh dengan panas yang memancar dari ilmu kebalnya, bahkan kini tandang salah satu dari murid Tal Pitu itu bagaikan wuru. Dia tidak memperdulikan lagi ujung cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai menyentuh kulitnya.

Ketika sebuah hentakan yang kuat dari cambuk Ki Rangga Agung Sedayu telah berhasil menghempaskannya ke tanah, sekejab Ki Brahmuka menggeliat namun dengan cepat dia bangkit berdiri dan kembali meloncat menerkam Ki Rangga Agung Sedayu. Namun yang membuat Ki Rangga Agung Sedayu terkejut bukan alang kepalang bukan cepatnya serangan balik itu, tapi ternyata yang bangkit berdiri setelah jatuh ke tanah tidak hanya seorang Brahmuka, tapi dua orang.

“Mirip dengan ilmu Ajar Tal Pitu,” desis Ki Rangga dalam hati, “Mungkin ini hanya perkembangannya saja.”

Namun pada saat Ki Rangga kembali mempunyai kesempatan untuk membanting dengan keras salah satu ujud Brahmuka itu ke bumi, yang bangkit dan menyerangnya bukan hanya seorang Brahmuka, tapi kembali dua orang Brahmuka. Demikian seterusnya.

Untuk sejenak Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar merasa kewalahan menghadapi salah satu murid Tal Pitu ini yang terus bertambah jumlahnya setiap dia jatuh menyentuh bumi. Ujud-ujud itu memang tidak ubahnya ujud-ujud semu yang hanya mempengaruhi ketahanan batin lawan, namun dengan jumlah yang semakin bertambah tambah, akan sangat menyulitkan Ki Rangga untuk menemukan ujud asli dari Ki Brahmuka. Walaupun dia hanya memerlukan waktu yang sekejab untuk mengenali ujud asli lawannya, namun waktu yang sekejab itu dapat dimanfaatkan oleh lawannya untuk menghancurkannya.

Ki Rangga Agung Sedayu semakin lama semakin terdesak. Dia tidak berusaha untuk menjatuhkan musuh-musuhnya lagi, karena disadarinya bahwa itu hanya akan menambah jumlah lawannya. Tapi yang dilakukan oleh Ki Rangga adalah sejauh-jauhnya dapat menghindari serangan lawannya dengan hanya mengandalkan ilmu kebalnya sambil mencoba mengenali ujud asli dari lawan yang sebenarnya.

Demikianlah, akhirnya yang terjadi adalah sebuah perkelahian yang tidak seimbang antara Ki Rangga Agung Sedayu dan ujud-ujud semu Ki Brahmuka yang sudah tak terhitung jumlahnya mengerubuti lawannya yang hanya seorang diri. Semua yang menyaksikan perang tanding yang berubah menjadi pengeroyokan itu menjadi miris hatinya kecuali Ki Gohmuka yang tampak tersenyum puas melihat Ki Rangga Agung Sedayu harus jatuh bangun menghindari terkaman dari lawan lawannya.

Sementara itu di bawah rindangnya pohon jambu air, Ki Ageng Sela Gilang yang sedang mengikuti jalannya perang tanding tampak sesekali mengangguk anggukkan kepalanya. Bahkan tak jarang orang tua ini menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam hati, “Ki Rangga Agung Sedayu ternyata benar-benar seorang Senapati yang linuwih. Jarang ada yang bisa bertahan menghadapi ilmu iblis dari Tal Pitu itu sampai sejauh ini. Agaknya Ki Rangga benar-benar kebal dari segala macam senjata tajam, namun apakah dia juga kebal dari segala macam racun dan bisa? Itu yang masih harus dibuktikan.”

Sedangkan Anjani yang semakin gelisah melihat kedudukan Ki Rangga yang semakin terdesak benar-benar hampir tidak tahan lagi. Ingin rasanya dia meloncat ke lingkaran perkelahian dan membantu Ki Rangga Agung Sedayu melawan ujud-ujud Gurunya yang sudah tak terbilang banyaknya itu, namun jika disadarinya bahwa ilmunya masih jauh dari sempurna dan yang akan dilawannya itu adalah Gurunya sendiri, tekadnya yang sudah membara itupun tiba-tiba redup kembali.

Ada semacam dendam yang terpendam kepada kedua Gurunya itu yang telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Memang dia diajari ilmu-ilmu kanuragan yang aneh-aneh dan dahsyat, namun sebagai gantinya dia harus siap melayani nafsu binatang kedua gurunya itu kapan pun mereka menghendaki. Bahkan ketika mereka berdua menghendaki dirinya pada waktu yang bersamaan, dia harus melayani mereka berdua tanpa membantah. Benar-benar sebuah ujud dari kelakuan binatang yang paling rendah.

Semenjak dia beranjak remaja, di mana masa-masa remaja adalah masa yang paling indah untuk memulai mengenal perkembangan tubuh dan jiwanya. Dia mulai mengenal apa yang namanya cinta walaupun masih dalam ujud yang kasar dan dangkal. Namun bunga yang masih kuncup dan baru akan mekar mewangi itu telah direnggut dengan paksa dan kasar. Sehingga bekas-bekas kekasarannya itu masih terbawa sampai sekarang.

Sejak saat itulah Anjani memendam dendam, tidak hanya kepada kedua Gurunya itu, namun kepada setiap laki-laki yang dijumpainya. Selera membunuhnya benar-benar liar, kapan saja dia ingin membunuh korbannya, saat itu juga akan dilakukannya. Semua itu sebenarnya adalah ungkapan kemarahan dan dendam yang tak tersalurkan kepada kedua Gurunya yang telah menjerumuskannya ke lembah hitam.

Kini kesempatan itu sedang terbuka lebar. Ada seseorang yang dapat dijadikan lantaran untuk menuntaskan dendam itu, yaitu Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika Ki Rangga mengajukan syarat bahwa dia dijadikan sebagai taruhan atas perang tanding itu, dirinya benar-benar hampir lupa daratan dan dengan serta merta telah menyatakan diri bersedia sebagai taruhan.

Dalam pada itu, malam yang semakin dalam terasa semakin dingin menggigit kulit. Namun di seputar arena perkelahian itu hawa panas terasa berputar-putar dan membuat orang-orang yang berdiri terlalu dekat dengan arena segera beringsut mundur sehingga arena perang tanding itu pun semakin luas.

Ketika perhatian orang-orang yang ada di seputar arena itu sedang tercurah ke perang tanding yang sedang berlangsung, entah dari mana datangnya, perlahan lahan tapi pasti sehelai demi sehelai telah turun kabut di halaman samping itu. Pada awalnya mereka yang hadir tidak begitu banyak menaruh perhatian, namun ketika kabut itu semakin tebal dan menghalangi pandangan mata, barulah mereka sadar bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak wajar.

Sejenak Ki Gohmuka yang berdiri di pinggir arena itu menengadahkan wajahnya. Kerut merut di dahinya semakin dalam ketika menyadari bahwa lantaran kabut yang tebal itu dirinya tidak dapat lagi menyaksikan apa yang sedang terjadi di tengah arena perang tanding itu.

“Gila,” umpatnya sambil menggeretakkan giginya, “Permainan licik apalagi yang Kau tunjukkan, he..Ki Rangga.?”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendengar umpatan itu hanya tersenyum. Dugaannya benar bahwa kedua murid Tal Pitu itu belum mampu menembus ilmu warisan dari perguruan Windujati. Mungkin mereka dapat mempertajam pandang mata mereka untuk mengenali lawan, namun ujud-ujud yang di lihat tidak lebih dari bayang-bayang yang bergerak berseliweran.

Inilah kelemahan ilmu dari perguruan Tal Pitu yang telah menciptakan ujud-ujud semu sebagai pancaran dari ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang telah dikembangkan oleh Ki Brahmuka dan Gohmuka. Dalam kabut yang semakin tebal, Ki Brahmuka yang asli akan sulit membedakan yang manakah Ki Rangga di antara ujud-ujud semu ciptaannya, karena yang tampak dalam pandangannya hanya bayangan-bayangan yang bergerak kian kemari tak tentu arah.

Kesempatan ini telah digunakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu untuk bersembunyi di antara tebalnya kabut sehingga terhindar dari serangan ujud-ujud Ki Brahmuka yang tak terbilang jumlahnya.

Waktu yang sekejab itu ternyata sangat berarti bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengenali ujud lawan yang sebenarnya.

Dengan memusatkan nalar dan budi serta memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung, Ki Rangga Agung Sedayu pun segera mengungkapkan ilmunya yang tiada duanya, ilmu yang dapat diungkapkan melalui sorot matanya dan dapat berakibat maut bagi lawannya.

Sementara itu, Ki Brahmuka yang sedang memusatkan pandangan matanya untuk mencari bayangan Ki Rangga Agung Sedayu di antara bayangan-bayangan semu yang telah diciptakannya dalam kepekatan kabut, tiba-tiba terkejut ketika merasakan sebuah cengkraman yang dahsyat telah melanda dadanya.

Sejenak nafasnya bagaikan tersumbat, sambil mengerahkan daya tahannya, dicobanya untuk mencari arah dari mana datangnya serangan itu, namun semuanya sudah terlambat. Ketika dia sudah mengenali sebuah bayangan yang berdiri hanya beberapa langkah saja di samping kirinya, dadanya benar-benar bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan. Beberapa saat dia masih mencoba bertahan, dengan tertatih-tatih dia berjalan mendekati bayangan yang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada itu.

Dengan menghentakkan seluruh daya tahan tubuhnya, sekali lagi Ki Brahmuka mencoba mendekat ke arah bayangan itu. Daya tahan tubuh Ki Brahmuka memang luar biasa, selain lambaran tenaga cadangannya yang memang hampir mencapai sempurna, juga wadagnya telah mengalami tempaan dan pembajaan yang dahsyat selama bertahun-tahun dalam menekuni olah kanuragan.

Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar tidak mau melepaskan lawannya sekejap pun. Dihentakkannya seluruh kekuatan yang tersalur lewat sorot matanya. Lawannya kini benar-benar sudah lumpuh, jatuh terduduk hanya dua langkah saja di depan Ki Rangga sambil memegangi dadanya dengan kedua belah tangannya, sedangkan ujud-ujud semu yang diciptakan oleh Ki Brahmuka berlandaskan pada Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari, perlahan-lahan lenyap tertelan kepekatan kabut sejalan dengan melemahnya pertahanan Ki Brahmuka.

Agaknya akhir dari perang tanding itu sudah dapat dipastikan kalau saja Ki Rangga Agung Sedayu tidak terganggu perhatiannya oleh sebuah teriakan yang mirip dengan lolongan serigala. Dan sekejap kemudian sebuah bayangan meluncur menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.

Sejenak perhatian Ki Rangga terpecah. Bayangan yang sedang terbang ke arahnya itu telah menjulurkan kedua belah tangannya dengan kuku-kuku baja yang beracun siap untuk melumatkan dadanya.

Tidak ada pilihan lain bagi Ki Rangga Agung Sedayu. Dia tetap mengerahkan kekuatan ilmunya melalui sorot matanya untuk menghancurkan Ki Brahmuka, sedangkan untuk menghadapi serangan lawannya yang lain, dengan mengetrapkan ilmu kebal setinggi-tingginya sambil tidak lupa selalu memohon kepada Yang Maha Agung agar selalu dalam perlindunganNya, diangkatnya kedua tangannya bersilang di depan dada siap untuk menghadapi gempuran lawan.

Bayangan yang melesat cepat menerjang Ki Rangga Agung Sedayu itu ternyata adalah Ki Gohmuka yang nekat menerjang memasuki gumpalan kabut untuk menolong saudara kembarnya. Ketika saudara kembarannya, Ki Brahmuka sedang dalam perjuangan antara hidup dan mati menghadapi ilmu sorot mata Ki Rangga, Ki Gohmuka yang berdiri di luar arena perang tanding itu terkejut ketika panggraitanya yang tajam sebagai saudara kembar serta lamat-lamat dalam pandangan matanya menembus gumpalan kabut itu melihat bayangan seseorang yang jatuh terduduk di hadapan seseorang yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dada.

Segera saja Ki Gohmuka menyadari bahwa saudara kembarnya sedang dalam kesulitan. Dengan sebuah teriakan keras yang mirip lolongan seekor serigala, dia pun segera meloncat menerjang ke dalam gumpalan kabut.

Anjani yang berdiri tidak jauh dari Ki Gohmuka terkejut. Tak disangkanya, gurunya yang satunya ini akan berbuat curang mengeroyok Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan membulatkan hatinya tanpa mempertimbangkan keselamatan dirinya, segera saja dia mengambil ancang-ancang untuk meloncat masuk ke gumpalan kabut menyusul gurunya.

Namun baru saja dia mengerahkan tenaganya untuk meloncat, sebuah tangan yang kokoh telah mencengkeram pergelangan tangannya. Dengan tergesa-gesa Anjani pun segera menoleh untuk melihat siapakah yang menahannya untuk menyusul gurunya itu. Ternyata Ki Ageng Sela Gilang telah berdiri di sampingnya dengan tersenyum tanpa melepaskan cengkeramannya.

“Kakek,” sergah Anjani, “Mengapa Kakek mencegahku? Aku harus membantu Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Aneh,” berkata Ki Ageng sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mengapa Kau tidak membantu Gurumu? Malah sebaliknya ingin membantu musuh Gurumu?”

“Karena aku sudah muak menjadi muridnya!” teriak Anjani sambil mengibaskan tangannya yang masih saja dicengkeram oleh Ki Ageng.

Sejenak Ki Ageng terhenyak dengan pengakuan Anjani itu sehingga cengkeramannya pun lepas. Dengan terheran-heran, orang tua itu balik bertanya, “Kau sudah muak? Bagaimana mungkin? Bukankah mereka berdua itu Gurumu?”

Baru saja Anjani membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Ki Ageng, mereka berdua telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar menggetarkan udara malam yang semakin dingin.

Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah mengurai senjata andalannya lagi, setelah untuk beberapa saat dia melilitkannya di pinggang pada saat menghancurkan Ki Brahmuka dengan ilmu sorot matanya.

Sejenak kemudian perkelahian di dalam kabut itupun telah berkobar kembali antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Gohmuka. Sedangkan Ki Brahmuka telah tertelungkup tak bernyawa.

Pada saat benturan yang pertama tadi, keduanya ternyata memiliki kekuatan yang hampir seimbang. Ki Rangga yang kekuatannya terpecah, ternyata masih mampu menahan gempuran Ki Gohmuka walaupun dia harus terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling. Ketika dengan cepat dia bangkit berdiri, Ki Rangga Agung Sedayu merasakan sesuatu yang tidak wajar terjadi pada siku tangan kirinya.

Ketika kemudian Ki Rangga mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dengan siku tangan kirinya dengan merabanya, terasa pada bagian siku itu agak bengkak dan ngilu. Ternyata kuku-kuku baja Ki Gohmuka telah mampu menembus perisai ilmu kebalnya dan melukai siku tangan kirinya.

Sementara Ki Gohmuka yang telah mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk menggempur Ki Rangga telah terpental balik oleh kekuatannya sendiri. Dia bagaikan menabrak dinding baja setebal satu jengkal sehingga tubuhnya terlempar beberapa langkah kemudian jatuh terjerembab ke tanah.

Namun kekuatan wadag Ki Gohmuka memang ngedab-edabi. Seolah-olah tanpa merasakan akibat dari benturan itu, dengan sebuah raungan keras, dia segera meloncat menerjang Ki Rangga yang baru saja bangkit berdiri. Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah siap dengan cambuknya. Segera saja serangan Ki Gohmuka disambut oleh sebuah ledakan yang menggelegar memekakkan telinga.

Kini Anjani yang berdiri di samping Ki Ageng Sela Gilang terlihat sudah agak tenang. Ledakan-ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang beruntun telah mengisyaratkan kepadanya bahwa Ki Rangga mampu mengimbangi Ki Gohmuka walaupun sebelumnya telah berperang tanding melawan saudara kembarnya.

Dalam pada itu, malam telah merambah menjelang dini hari. Titik-titik embun mulai jatuh satu-satu membasahi pucuk-pucuk dedaunan dan kelopak-kelopak bunga yang sedang bermekaran. Beberapa ekor kelelawar yang terbang bersliweran mulai gelisah ketika melihat di langit sebelah timur telah membayang warna semburat merah. Burung-burung yang semula tertidur pulas diantara ranting-ranting pepohonan mulai menggeliat sambil mengepak-kepakkan sayap-sayapnya. Seekor ulat yang tidur menggelung tidak jauh dari seekor burung gelatik yang sedang bertengger di dahan yang rendah, dengan tergesa-gesa menyeret tubuhnya yang tambun untuk bersembunyi di balik daun dari pada menjadi sarapan pagi bagi burung gelatik itu.

Ketika sinar Matahari yang pertama telah menyentuh halaman samping rumah itu. Tidak terdengar lagi suara ledakan cambuk maupun teriakan yang mirip dengan lolongan serigala. Suasana menjadi tenang tapi mencekam. Perlahan-lahan kabut yang melingkupi di sekitar halaman samping itu mulai menipis kemudian hilang tertiup angin pagi.

“Ki Rangga..!” tiba-tiba Anjani menjerit sambil menghambur ke arah Ki Rangga yang tampak sedang duduk bersila sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Ki Ageng Sela Gilang yang menyadari betapa gawatnya keadaan Ki Rangga yang sedang memulihkan tenaganya itu karena para pengikut kedua murid dari Tal Pitu itu masih mengepung tempat itu segera berlari menyusul Anjani.

Sesampainya Anjani di depan Ki Rangga, tanpa mengenal unggah-ungguh dan rasa malu segera ditubruknya orang yang telah memikat hatinya itu. Namun baru saja Anjani mencondongkan tubuhnya ke depan, kembali sebuah tangan yang kekar telah menahannya.

“Sudahlah Anjani,” berkata Ki Ageng menyadarkan Anjani yang sedang dikuasai oleh gejolak perasaannya, “Berilah kesempatan Ki Rangga untuk beristirahat. Itu sangat dibutuhkannya untuk segera memulihkan kesehatannya.”

Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah selesai memulihkan tenaganya, walaupun tetap terasa ada yang tidak wajar dengan siku lengan kirinya. Namun baru saja Ki Rangga membuka kedua matanya, sebuah tepukan di pundaknya telah mengejutkannya.

Namun begitu kesadarannya telah pulih kembali, tampak di depannya Ki Ageng Sela Gilang sedang berjongkok sambil berdesis perlahan, “Kelihatannya Ki Rangga mendapat luka walaupun tidak seberapa, namun pengaruh racun itu yang mungkin dapat membahayakan.”

Ki Rangga tersenyum sambil mencoba bangkit berdiri. Rasa rasanya tangan kirinya agak terganggu. Ketika dia mencoba mengamat-amati siku tangan kirinya, tampak seleret luka yang tidak mengucurkan darah dan di sekitar luka itu kulitnya menghitam.

Ki Rangga untuk sejenak terkejut. Bukankah selama ini dia kebal racun? Dan itu sudah dibuktikan oleh Gurunya sendiri dengan menggunakan racun yang paling keras sekalipun, dan ternyata pada waktu itu racun sekeras apapun tidak mempengaruhinya.

Tapi kenyataannya kali ini ada noda hitam legam dan seleret luka yang menggores siku tangan kirinya. Agaknya Ki Rangga telah terkena kuku-kuku baja dari Ki Gohmuka ketika terjadi benturan yang pertama. Kekuatan dan ketajaman kuku-kuku baja dari Ki Gohmuka ternyata mampu menembus perisai ilmu kebalnya sehingga telah meninggalkan segores luka.

Ki Ageng yang ikut berdiri itu pun terkejut ketika ikut mengamati luka Ki Rangga. Katanya kemudian, “Agaknya selain ilmu kebal, Ki Rangga juga mempunyai kemampuan untuk menahan racun. Tapi menilik sifat racun ini, kelihatannya racun ini akan bergerak walaupun sangat lambat menuju ke jantung. Kekuatan dalam diri Ki Rangga yang mampu membuat Ki Rangga kebal racun mungkin hanya mampu memperlambat kerja racun itu, tapi tidak memunahkan sekaligus.”

“Karena racun yang digunakan oleh Guruku itu sangat kuat,” tiba-tiba Anjani yang sedari tadi hanya diam itu mengutarakan pendapatnya, “Racun itu disebut racun Gundala Wereng, dan tidak ada obatnya selain juga sesama racun yang benama racun Gundala Seta.”

“He,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Ageng terkejut.

“Bukankah kedua jenis racun itu hanya ada dalam dongeng?” bertanya Ki Ageng.

“Ya, memang,” jawab Anjani, “Namun kenyataannya Guruku berhasil menemukan racun Gundala Wereng dan menggunakannya untuk merendam kuku-kuku bajanya.”

“Gila,” geram Ki Ageng, “Kedua murid Tal Pitu itu memang terkutuk. Untunglah keduanya bertemu dengan Ki Rangga sehingga petualangan mereka yang dapat membawa bencana bagi sesama telah berakhir.

Selesai berkata demikian Ki Ageng mengarahkan pandangan matanya ke dua sosok mayat yang tergeletak tak berjauhan, Ki Brahmuka yang tertelungkup dengan tubuh yang masih terlihat utuh namun isi dadanya hancur dan Ki Gohmuka yang tergeletak beberapa langkah dengan luka bekas cambuk yang arang kranjang.

“Aku terpaksa melakukannya,” desis Ki Rangga sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Entah sampai kapan lingkaran dendam yang membelitku ini akan berakhir.”

“Ah,” Ki Ageng tertawa pendek, “Bukankah Ki Rangga tidak menghendaki semua ini terjadi? Merekalah yang mencari mati sendiri.”

“Ki Rangga, “ tiba-tiba Anjani menyela, “Racun Gundala Wereng itu sangat keras dan bekerja dengan sangat cepat.” Dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Jarang ada orang yang mampu menahannya. Biasanya dengan sekali gores, orang itu akan mati hanya dalam hitungan kurang dari sepuluh. Kalau benar Ki Rangga kebal racun, aku tidak menjamin Ki Rangga akan selamat dalam waktu empat puluh hari”

“Empat puluh hari?” hampir berbareng Ki Rangga dan Ki Ageng berseru.

“Ya, empat puluh hari,” jawab Anjani mantap, “Aku pernah menyaksikan Guruku bertempur melawan seorang Pertapa yang sakti. Pertapa itu ternyata kebal racun. Akan tetapi ketika dia tergores racun Gundala wereng, saat itu dia memang tidak terpengaruh, namun ternyata dalam waktu empat puluh hari, Pertapa yang sakti itu menemui ajalnya.”

Diam-diam Ki Rangga tergetar hatinya. Walaupun dia tidak pernah takut mati karena mati adalah bukan urusan manusia, akan tetapi urusan Yang Maha Agung yang menguasai seluruh alam semesta ini, namun dia masih mempunyai banyak kuwajiban di dunia ini. Seandainya boleh memilih, dia ingin menuntaskan segala urusan tetek bengek terlebih dahulu sebelum dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.

“Bagaimana Ki Rangga?” pertanyaan Ki Ageng telah membuyarkan lamunannya.

Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dilemparkan pandangan matanya ke arah para pengikut murid Tal Pitu itu yang masih berdiri termangu mangu agak jauh dari bekas arena pertempuran. Mereka tidak lagi mengepung tempat itu, tapi berdiri bergerombol di beberapa tempat sambil berbisik-bisik. Mereka tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat setelah kedua murid Tal Pitu itu mati.

“Ki Ageng,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya para pengikut kedua murid Tal Pitu itu disuruh menyelenggarakan jenasah ke dua pemimpin mereka? Agar tempat ini segera lapang dan sebaiknya kita berbicara di pendapa saja.”

“Baiklah Ki Rangga, “ jawab Ki Ageng, “Mereka mengenal aku sebagai Guru Pangeran Ranapati sebagaimana Pemimpin mereka mengenalku,” Ki Ageng berhenti sejenak, kemudian katanya sambil melambaikan tangannya ke arah salah satu kerumunan pengikut dari Tal Pitu, “Salah satu dari kalian, kemarilah!”

Tampak orang-orang yang bergerombol itu sejenak saling berpandangan, namun kemudian dengan tergesa-gesa salah seorang yang berperawakan agak kurus dengan kumis tipis melangkah mendekat.

“Kumpulkan kawan kawanmu. Ajak mereka menyelenggarakan jenasah ke dua murid Tal Pitu itu,” berkata Ki Ageng setelah Besok tipis itu tiba di hadapannya, “Setelah selesai, aku harap kalian semua kembali ke Panaraga. Bukankah sebagian dari kalian adalah prajurit Kadipaten Panaraga?”

“Benar Ki Singa Wana,” jawab orang berkumis tipis itu, “Namun bagaimana dengan sebagian dari kami yang berasal dari Tal Pitu?”

Sejenak Ki Ageng tertegun. Tanpa disadarinya dia menoleh ke arah Ki Rangga Agung Sedayu.

Ki Rangga yang merasa dimintai pertimbangan tersenyum sekilas, katanya kemudian, “Mereka dapat menentukan pilihan mereka sendiri, Ki Ageng. Namun yang perlu diwaspadai, jangan sampai dalam perjalanan mereka ke Tal Pitu atau ke Panaraga, mereka melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum dan merugikan kawula alit.”

“Kau benar, Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, kemudian katanya kepada Besok tipis itu, “Itu terserah kepada kalian. Tapi ingat, aku dan Ki Rangga akan mengawasi polah tingkah kalian selama kalian dalam perjalanan.”

Diam-diam Besok tipis itu mengumpat dalam hati. Dia tidak habis mengerti, mengapa Ki Ageng yang menurut pengenalannya bernama Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati itu kelihatannya berpihak kepada Ki Rangga Agung Sedayu, yang jelas-jelas orang Mataram.

Namun Besok tipis itu tidak dapat berbuat apa-apa. Yang dihadapinya adalah orang-orang linuwih. Maka yang dilakukannya kemudian adalah menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kami akan selalu mengingatnya. Sekarang ijinkan kami menyelenggarakan jenasah-jenasah itu”

“Silahkan,” berkata Ki Ageng. Kemudian katanya kepada Ki Rangga dan Anjani sambil mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, “Marilah kita ke pendapa. Di sana kita dapat berbincang-bincang sambil melepaskan lelah, terutama Ki Rangga.”

“Ah,” Ki Rangga tertawa pendek, “Rasa rasanya aku ingin bermanja-manja, bermalas-malasan seharian penuh sambil makan dan minum yang enak-enak”

“O,” sahut Ki Ageng, “Kalau memang Ki Rangga ingin makanan yang enak-enak, bagaimana kalau kita kembali ke Kadipaten Panaraga saja? Aku jamin kita akan makan dan minum sepuasnya.”

“Ya,” berkata Ki Rangga, “Aku setuju, namun setelah itu aku harus meninggalkan kepalaku untuk digantung di alun-alun kota Panaraga.”

“Ah,” Ki Ageng pun tertawa berkepanjangan. Sedangkan Anjani yang berjalan mengikuti di belakang Ki Rangga hanya tersenyum masam.

Setelah duduk di atas tikar yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa, ketiga orang itu pun duduk melingkar saling berhadapan.

“Nah, Anjani,” berkata Ki Ageng kemudian membuka pembicaraan, “Kau dapat menceritakan kepada kami, terutama kepada Ki Rangga, bagaimana kita mendapatkan penawar racun Gundala Wereng itu.”

Sejenak wajah cantik itu termangu mangu. Sorot matanya yang kosong jatuh ke lantai pendapa. Dadanya yang mungil tapi padat berisi itu tampak naik turun menahan gejolak perasaannya.

“Kakek,” akhirnya dari bibir yang kecil dan memerah delima itu meluncur kata katanya, “Yang aku ingat pada saat itu, aku diajak ke Gunung Kendalisada, gunung yang konon katanya tempat bertapanya Pertapa sakti berujud kera putih, Resi Mayangkara.”

“Resi Mayangkara,” tanpa sadar Ki Ageng dan Ki Rangga mengulang nama itu.

“Bukankah Resi Mayangkara itu hanya ada dalam cerita Pewayangan?” bertanya Ki Rangga kemudian.

Sebelum menjawab, Anjani memandang tajam ke arah Ki Rangga seolah olah ingin menjenguk isi hatinya sambil membisikkan ungkapan hatinya, “Ki Rangga, apakah Kau mengerti jeritan hatiku selama ini? Ataukah Kau memang tidak peduli dengan penderitaanku dan hanya bermain-main saja pada saat Kau mengajukan syarat diriku sebagai taruhan perang tanding saat itu?”

Ki Rangga yang merasa dipandang dengan tajam oleh Anjani menjadi salah tingkah. Dia sudah dapat menebak isi hati Anjani. Bukankah dia telah keluar sebagai pemenang dalam perang tanding itu? Dan dia harus mau menerima Anjani dan membawanya ke Menoreh sesuai janjinya?

“Anjani,” akhirnya Ki Rangga tidak dapat menahan hatinya lagi, “Percayalah, aku tidak akan ingkar dengan janjiku.”

Seleret warna merah menghiasi wajah Anjani. Segera saja ditundukkannya wajahnya sambil berdesis perlahan, “Ki Rangga, aku tidak mempunyai hak untuk memaksakan kehendak. Semua terserah Ki Rangga apa yang sebaiknya dilakukan.”

Ki Ageng yang mendengarkan percakapan kedua orang itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu bahwa Ki Rangga menyebut Anjani sebagai taruhan hanya untuk memancing kemarahan kedua murid Tal Pitu itu, namun akibatnya sekarang adalah Anjani yang merasa disepelekan. Seolah olah dirinya menjadi tidak berharga sama sekali.

“Sudahlah,” akhirnya Ki Ageng menengahi, “Sekarang bagaimana Ki Rangga mendapatkan obat bagi lukanya?”

Anjani sejenak menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Kemudian sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menahan isak tangis, katanya lirih seolah olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku bersedia mengantar Ki Rangga mencari obat ke Gunung Kendalisada, jika memang Ki Rangga masih membutuhkanku.”

Sebuah desir setajam sembilu menggores hati Ki Rangga. Berbagai penyesalan telah melanda hatinya. Entah kesan apa yang akan didapatkannya dari orang-orang di Menoreh terutama istrinya Sekar Mirah yang tengah hamil tua, jika sekembalinya dari Panaraga dia telah membawa Anjani.

 

T A M A T

 

(perjalanan Ki Rangga Agung Sedayu di Panaraga berakhir disini. Nantikan kelanjutan kisahnya.)

Lanjut ke buku 401


0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com