Keragu-Raguan masih
membayang di wajah Ki Rangga Agung Sedayu, maka kemudian katanya, “Wiraguna
adalah salah satu dari sekian anak-anak muda yang berusaha mengambil hati
Endang Mintarsih. Apakah Panembahan Senapati mempunyai pertimbangan khusus
untuk memilih Wiraguna?”
Ki Singa Wana Sepuh tersenyum sekilas. Agaknya dia memaklumi
mengapa Ki Rangga Agung Sedayu tidak habis pikir bahwa Raden Sutawijaya justru
telah memilih salah satu dari kakak beradik yang nyata-nyata mengambil sikap
berseberangan dengannya sebelum mereka menyadari dengan siapa mereka
berhadapan.
“Raden Sutawijaya memilih Wiraguna dengan pertimbangan
Wiraguna adalah putra tertua dari Ki Dukuh Cepaga. Secara langsung Wiraguna
akan menggantikan kedudukan Ayahnya kelak apabila masanya telah tiba. Dan
ternyata Raden Sutawijaya telah mempercepat datangnya masa itu, masa pergantian
pemimpin di padukuhan Cepaga dengan memberikan serat kekancingan atas nama
Putra Sultan Hadiwijaya penguasa tertinggi di Pajang untuk menaikkan kedudukan
dari sebuah Padukuhan menjadi sebuah Kademangan.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Diam-diam dia memuji keluhuran budi Mas Ngabehi Loring Pasar yang tidak menaruh
dendam sedikit pun kepada kedua kakak beradik itu yang jelas-jelas telah
memusuhinya dan berusaha menyingkirkannya dari lingkungan Padepokan.
“Apakah Rara Ambarasari menerima kehadiran Wiraguna dalam
kehidupannya?” tanpa disadarinya pertanyaan itu meluncur begitu saja dari Ki
Rangga Agung Sedayu.
Ki Singa Wana Sepuh tertawa pendek sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah Rara Ambarasari mempunyai hak untuk
menolak? Begitulah memang perempuan diperlakukan oleh kebanyakan laki-laki,
mereka tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan yang
menyangkut nasib mereka sendiri.”
Ki Rangga Agung Sedayu termenung sejenak. Sekilas angannya
kembali ke masa berpuluh tahun yang silam. Samar-samar dalam ingatannya
terbayang seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung sedang berjuang
membebaskan tanah kelahirannya dari kehancuran akibat pertikaian keluarga.
Hari-hari dilaluinya dengan penuh ketegangan, hampir tidak ada waktu sama
sekali baginya untuk berhias ataupun mengurus dirinya sebagaimana gadis-gadis
seusianya. Namun justru keadaanlah yang telah membentuk kecantikannya bagaikan
sekuntum mawar hutan, kecantikan alami diantara tajamnya duri-duri di
sekelilingnya, setajam ujung-ujung pedang yang saling berebut menumpahkan
darah, justru di atas tanah kelahiran sendiri.
“Ah,” Ki Rangga Agung Sedayu berdesah dalam hati, “Dia
dengan ikhlas telah menjalani hidup bersama Adi Swandaru. Apapun yang terjadi
sebelumnya, namun kenyataannya Adi Swandaru telah menerima gadis itu dalam
keadaan utuh.”
Namun di sudut hatinya yang lain terdengar suara lirih namun
terdengar sangat jelas memukul-mukul dinding hatinya, “Bukankah hati gadis itu
telah cacat? Hati gadis itu telah patah dan hancur berkeping keping justru
ketika sentuhan pertama dari seorang gembala yang bernama Gupita ternyata telah
menghempaskan angan angannya ke jurang yang paling dalam. Gadis itu tidak utuh
lagi. Gadis itu telah cacat hatinya, dengan demikian saudara seperguruanmu
telah menerima gadis itu tidak seutuhnya. Bukankah itu sama artinya dengan
menerima seorang putri triman?”
“Tidak, tidak..!” sudut hatinya yang lain mencoba membantah,
namun gaungnya terasa sangat sumbang, “Tidak ada seorang pun yang mampu
mengetahui isi hati seseorang. Aku pun tidak. Gadis itu kini telah hidup
bahagia di sisi Adi Swandaru dan telah dikaruniai seorang momongan.”
“Apakah ukuran sebuah kebahagiaan itu?” kembali sudut
hatinya yang lain menyahut, “Apakah seseorang dapat dikatakan bahagia apabila
dalam perjalanan hidupnya penuh dengan linangan air mata? Lihatlah Sedayu,
lihatlah..! Berapa kali gadis itu dalam perjalanan hidupnya harus memeras air
mata? Apakah Kau dapat merasakan pedihnya hati seorang perempuan yang diduakan
oleh suaminya? Dan kini peristiwa itu terulang kembali. Dia masih berusaha
dengan ikhlas merawat suaminya yang terluka walaupun hatinya terasa tersayat
sayat sembilu karena menyadari permasalahan yang sebenarnya terjadi juga tidak
berkisar jauh dari seorang perempuan. Sudah saatnya Kau mengambil sebuah
keputusan untuk menyelamatkan sisa hidupnya.”
“Gila, gila..!” tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu
berdesah sambil memukul-mukul kepalanya.
Ki Singa Wana Sepuh yang duduk di depannya tersentak
mendengar desah Ki Rangga Agung Sedayu. Sejenak wajah tua itu menegang, namun
kemudian dengan perlahan wajah itu mencair kembali, dan sebuah senyum kecil pun
tersungging di bibirnya.
“Apakah Ki Rangga sudah selesai?” tiba-tiba sebuah
pertanyaan dari Ki Singa Wana Sepuh telah mengejutkan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Maksud Ki Singa Wana Sepuh?” justru Ki Rangga yang balik
bertanya.
“Aku lihat sedari tadi Ki Rangga terbuai dengan kenangan
masa lalu. Barangkali kisah cinta Rara Ambarasari ini telah mengungkit kenangan
pribadi Ki Rangga.”
“Ah,” desah Ki Rangga perlahan sambil melemparkan pandangan
matanya ke titik-titik di kejauhan, “Peristiwa itu sudah lama sekali terjadi,
Ki. Ketika kami masih sama-sama muda, masa yang penuh gairah untuk meraih masa
depan dan cita-cita.”
Ki Singa Wana Sepuh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam lirih, seakan akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Masa muda bagiku
seolah tak berarti sama sekali. Hari demi hari kulewati bagaikan sebuah aliran
sungai yang memang seharusnya begitu, berkelok, menurun, menyusur tebing-tebing
dan menggeser bebatuan di tepian. Alangkah membosankannya! Tanpa sentuhan warna
dan tanpa belaian cinta.”
Ki Rangga Agung mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil
menatap lekat-lekat seraut wajah tua itu, dia berdesis perlahan seolah-olah
tidak ingin menggoncangkan hatinya, “Agaknya masa muda Ki Singa Wana Sepuh
dilalui jauh dari sentuhan seorang perempuan. Ataukah ada kesengajaan dari Ki
Singa Wana Sepuh sendiri untuk menghindari sentuhan -sentuhan itu betapapun
lembutnya.”
“Memang demikianlah yang terjadi waktu itu,” Ki Singa Wana
Sepuh yang sudah terlanjur mengungkap sepenggal dari kisah hidupnya itupun
akhirnya membuka diri, “Sejak masa kanak-kanak aku sudah mendapati diriku
diasuh oleh seorang Pertapa yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Sejak kecil
hidupku sudah terbiasa dengan semak belukar dan hutan belantara sehingga Sang
Pertapa itu memberiku julukan Singa Wana.”
“Yang berarti seekor singa yang tinggal di hutan,” Ki Rangga
berhenti sejenak lalu, “He, bukankah sudah sewajarnya kalau seekor singa itu
tinggal di hutan?”
Ki Singa Wana Sepuh tertawa tertahan tahan, jawabnya
kemudian, “Banyak orang yang beranggapan kalau seekor singa itu tinggal di
hutan. Sebenarnyalah seekor singa itu lebih senang hidup di sebuah padang
perburuan sehingga dia akan lebih leluasa untuk berburu dan mengejar
mangsanya.”
“Jadi, apakah maksud Pertapa itu memberi nama Singa Wana?”
“Entahlah, mungkin seekor Singa akan banyak menemui
kesulitan jika harus berburu di hutan yang lebat dan pepat. Dia tidak akan
leluasa bergerak mengejar mangsanya. Demikian juga mungkin harapan Pertapa itu
kepadaku, agar aku menjadi sekuat seekor singa namun dalam perjalanan hidupku,
aku tidak perlu berburu ataupun berusaha untuk menciptakan sebuah padang
perburuan.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum lebar mendengar keterangan
Ki Singa Wana Sepuh yang terdengar agak janggal. Namun apapun arti sebuah nama,
semua itu kembali kepada pribadi yang menyandang nama tersebut dalam
menjalankan peran dirinya dalam kehidupan bebrayan.
“Ki Singa Wana Sepuh atau Ki Ageng Sela Gilang, panggilan
yang manakah yang sebaiknya aku gunakan, Ki? “ tiba-tiba tanpa disadarinya Ki
Rangga Agung Sedayu bergumam.
Ki Singa Wana Sepuh tertawa tertahan mendengar gumam Ki
Rangga, katanya kemudian, “Terserah sajalah Ki Rangga, Kau dapat memanggilku
dengan sebutan apa saja, aku tidak akan keberatan.”
“Jika tidak keberatan, sejak saat ini aku akan memanggil Ki
Singa Wana Sepuh dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang.” Berkata Ki Rangga
selanjutnya.
Ki Singa Wana Sepuh atau yang biasa dipanggil Ki Ageng Sela
Gilang di Kademangan Cepaga itu tersenyum sekilas kemudian katanya, “Itu
kelihatannya akan lebih baik, Ki Rangga. Nama Singa Wana Sepuh selalu dikaitkan
dengan keberadaan Pangeran Ranapati. Sejak dia aku latih untuk menekuni olah
kanuragan dari bekal pengetahuanku yang sangat terbatas, ternyata dia senang
mengikuti jejakku untuk bertapa dan mengunjungi tempat-tempat yang sepi sebagai
landasan batinnya untuk menerima dan menyelaraskan ilmu-ilmu yang telah
dipelajarinya selama ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya.
Terbayang dalam angan-angannya bagaimana Pangeran yang keras hati itu di masa
mudanya sangat tekun menuntut ilmu serta memperdalam olah batin dengan bertapa
dan menyepi di goa-goa atau hutan-hutan lebat yang belum terjamah oleh manusia.
“Baiklah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Sejak
saat ini tidak ada lagi nama Singa Wana Sepuh, nama yang telah menggetarkan
istana Mataram sehingga Ki Patih Mandaraka memerlukan untuk mengirim seorang
Rangga pemimpin pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh untuk menjadi
perimbangan kekuatan seandainya benar akan pecah perang antara Mataram dan
Panaraga. Namun sebenarnyalah aku tidak yakin dan merasa belum cukup bekal
untuk menandingi Guru Pangeran Ranapati itu.”
“Ah,” Ki Singa Wana Sepuh yang kini lebih senang dipanggil
dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang itu berdesah, “Justru akulah yang sudah
hampir pingsan ketika mendapat laporan dari para petugas sandi Kadipaten
Panaraga bahwa Senapati Agul-Agul Mataram yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu
telah memasuki tlatah Kadipaten Panaraga.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertawa pendek mendengar seloroh Ki
Ageng Sela Gilang, kemudian katanya sambil bersungguh-sungguh “Ternyata berita
yang aku dengar tentang kesaktian Guru Pangeran Ranapati yang ngedab-ngedabi
itu ternyata benar adanya. Dalam keadaan yang hampir pingsan saja dia masih
dapat menjelajahi hutan-hutan lebat sehingga sampai di kaki Gunung Bayangkaki
ini, benar-benar luar biasa.”
“Ah,” Ki Ageng Sela Gilang lah yang kini justru tertawa
berkepanjangan mendengar gurauan Ki Rangga, kemudian jawabnya disela-sela derai
tawanya, “Jangankan hanya dalam keadaan hampir pingsan, dalam keadaan yang
sebenar benarnya pingsan pun aku mampu menjelajahi tanah ini dari ujung ke
ujung, karena Soma dan kawannya itulah yang akan mendukungku kemana pun aku
pergi.”
Kini keduanya tertawa tergelak gelak. Tidak ada rasa
permusuhan sama sekali diantara keduanya. Seolah olah mereka adalah sahabat
lama yang bertemu kembali setelah tidak pernah saling berjumpa.
“Ki Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian setelah
keduanya berhenti tertawa, “Apakah rencana Ki Ageng selanjutnya jika Ki Ageng
telah memutuskan untuk tidak ikut campur dengan urusan pertikaian keluarga
Istana Mataram?”
Sejenak Ki Ageng Sela Gilang termenung, kemudian katanya
sambil menghela nafas panjang, “Kalau memang benar Ki Patih Mandaraka telah
mengirim petugas sandi ke Kademangan Cepaga untuk menyelidiki kebenaran tentang
keberadaan ibu Pangeran Ranapati, aku harus segera kembali ke Padepokan. Aku
tidak rela jika Rara Ambarasari yang telah menderita sepanjang umurnya itu
masih harus sekali lagi menderita di tangan para petugas sandi Mataram.”
“Tentu tidak akan terjadi, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga Agung
Sedayu cepat sambil menggelengkan kepalanya, “Petugas sandi Mataram yang
dikirim ke lereng Merapi itu masih saudara sepupuku sendiri, aku jamin dia
tidak akan berbuat diluar tugasnya.”
Guru Pangeran Ranapati itu mengangguk anggukkan kepalanya,
“Terima kasih Ki Rangga. Sebaiknya sekarang aku segera minta diri. Rasa-rasanya
aku sudah terlalu lama meninggalkan Padepokan Sela Gilang.”
“Bukankah Ki Ageng di masa mudanya adalah seorang petualang
sejati?”
“Itu terjadi ketika aku masih muda. Sekarang setelah tua
ini, rasa rasanya aku hanya ingin sebuah ketenangan dan kedamaian untuk
menyongsong hari-hari terakhirku menjelang.”
“Ah,” potong Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berpikiran seperti
itu? Kita tidak tahu dan memang tidak akan diberitahu kapan saat-saat kita
diperkenankan Nya untuk menghadap dengan membawa segala pertanggung jawaban
kita selama menjalani kehidupan ini. Semua itu adalah rahasia yang Maha Kuasa.
Selama kita masih diberi kesempatan, kita masih diperkenankan untuk berusaha.”
“Kau benar Ki Rangga,” jawab Ki Ageng, “Namun rasa-rasanya
perjalananku ini sudah hampir sampai ke batas. Namun aku tidak akan ingkar akan
kuwajibanku sebagai hamba. Selama hayat masih dikandung badan, sejauh-jauhnya
aku akan tetap melaksanakan darma baktiku kepada sesama.”
Matahari telah jauh tergelincir ke barat. Angin sore yang
kadang bertiup kencang menerobos sela-sela dedaunan dan menggoyang
ranting-ranting di pucuk-pucuk pepohonan. Beberapa daun yang sudah kering
berjatuhan tertiup angin. Helai demi helai meluncur dan meliuk-liuk di udara
sebelum akhirnya jatuh tergeletak di atas tanah yang lembab.
“Marilah Ki Rangga,” akhirmya Ki Ageng Sela Gilang itupun
bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan segera kembali ke Padepokanku. Aku
tidak akan kembali ke Kadipaten Panaraga, biarlah Ranapati kebingungan
mencariku. Tapi apabila dia mendapat laporan dari prajurit sandi bahwa yang
ditakutkan selama ini, yaitu Senapati Agul-Agul Mataram Ki Rangga Agung Sedayu
sudah tidak berada di Panaraga lagi, tentu dia juga tidak akan membutuhkan
bantuanku lagi.”
“Bukan begitu Ki Ageng,” sela Ki Rangga Agung Sedayu, “Jika
Ki Ageng mempunyai rencana untuk meninggalkan Panaraga dan kembali ke lereng
Merapi, aku justru mempunyai rencana sebaliknya.”
Sejenak wajah Ki Ageng Sela Gilang menegang, dengan
bersungguh sungguh dia bertanya, “Rencana apakah itu, Ki Rangga?”
“Aku akan langsung pergi ke Istana Kadipaten Panaraga.”
“He..!” seru Ki Ageng Sela Gilang terheran heran, “Untuk
apakah Kau ke sana?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas sejenak, lalu katanya
perlahan lahan sehingga setiap kata terdengar jelas di telinga Ki Ageng Sela
Gilang, “Aku akan menghadap Adipati Jayaraga atau setidaknya dapat bertemu
dengan Pangeran Ranapati sendiri.”
Ki Ageng Sela Gilang menggeram keras, “Apakah maksudmu
sebenarnya Ki Rangga? Mempermainkan Guru Ranapati sama dengan membunuh diri.”
“O.., tidak, tidak,” sahut Ki Rangga cepat, “Bukan maksudku
untuk mempermainkan Ki Ageng, aku hanya ingin menyampaikan pesan kepada
pangeran Ranapati bahwa Gurunya telah meninggalkan Panaraga dan kembali ke
barat, kembali ke Padepokan Sela Gilang. Mungkin Pangeran Ranapati akan berubah
pikiran dan mengikuti Gurunya untuk kembali ke tanah kelahirannya.”
“Ah,” Ki Ageng Sela Gilang tertawa hambar, “Ki Rangga masih
juga bergurau. Sebaiknya kita segera meninggalkan hutan ini. Rasa rasanya ada
yang memanggilku untuk segera kembali ke Padepokan Sela Gilang.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Diikutinya saja
langkah Ki Ageng yang menyusur lebatnya pepohonan dan menyusup
gerumbul-gerumbul liar menjauhi kaki Gunung Bayangkaki.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah
mendapat pesan dari Ki Patih Mandaraka melalui para petugas sandi untuk
menelusuri kebenaran tentang keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati telah berjalan
semakin jauh dari tlatah Panaraga.
Mereka sengaja menghindari jalan-jalan yang ramai dan
Padukuhan-Padukuhan yang besar agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan. Mereka
berdua pada dasarnya adalah sepasang suami istri yang sudah terbiasa dengan
alam sekitarnya. Menjelajahi gunung, hutan dan lembah bagi mereka adalah sebuah
tamasya yang mengasyikkan. Tidak ada yang membandingi kuasa Yang Maha Agung
dalam menciptakan maha karya yang agung dan indah tiada taranya, alam semesta
yang begitu sempurna.
Perjalanan mereka kadang terhenti sejenak untuk
beristirahat. Mereka sengaja memilih beristirahat di hutan atau di gubuk tengah
sawah yang sepi dari jangkauan manusia. Dengan demikian perjalanan mereka
hampir tidak ada halangan satu pun juga.
Di hari ketiga, ketika Matahari hampir mencapai puncak
langit, mereka berdua sedang menyusuri hutan lebat di sisi selatan Gunung
Merapi. Hutan itu masih belum terjamah tangan manusia. Beberapa bagiannya
bahkan nyaris tidak dapat ditembus. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan adalah
bukan orang kebanyakan. Dengan kemampuan ilmu mereka, akhirnya sepasang suami
istri itu berhasil mendekati Kademangan Cepaga dari arah sisi selatan.
Ketika kemudian hutan yang mereka rambah mulai menipis,
sebuah padang perdu yang cukup luas terbentang di hadapan mereka. Di sela-sela
gerumbul-gerumbul perdu yang menebar di seluruh padang itu, lamat-lamat sebuah
jalur jalan setapak tampak menjelujur menuju sebuah Padukuhan yang masih tampak
samar-samar dari tempat mereka berdiri.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Seolah olah ingin
dihisapnya seluruh udara yang ada di padang perdu itu. Sambil mengedarkan
pandangan matanya ke seluruh sudut padang perdu itu, dia berdesis perlahan
lahan, “Kelihatannya ada beberapa penghuni Padukuhan yang melewati padang ini
entah untuk suatu keperluan apa. Mungkin berhubungan dengan hutan ini. Aku tadi
sempat menjumpai bekas-bekas pokok batang pohon yang roboh karena ditebang
menilik dari bekas bekasnya.”
“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan yang berdiri di sebelahnya,
“Para penghuni Padukuhan itu mungkin memanfaatkan hutan ini untuk suatu
keperluan. Pohon-pohon yang besar dan cukup tua dapat dimanfaatkan untuk bahan
membangun tempat tinggal atau bahkan mungkin untuk membuat perabotan yang
mereka perlukan sehari hari.”
Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil
meraih tangan Rara Wulan dan menggandengnya, mereka berdua pun kemudian
berjalan perlahan lahan menyusuri jalur jalan setapak yang ada di padang perdu
itu.
Tiba-tiba pandangan mata Glagah Putih yang tajam menangkap
titik-titik yang bergerak gerak di kejauhan menyeberangi padang perdu itu dari
arah timur. Jaraknya memang masih cukup jauh, namun Glagah Putih yakin bahwa
yang sedang bergerak menyeberangi padang perdu itu adalah sekelompok orang,
mungkin tiga orang atau bahkan lebih.
Segera saja Glagah Putih menarik tangan Rara Wulan untuk
berjongkok di belakang sebuah gerumbul yang cukup rimbun. Dari arah itu Glagah
Putih masih bisa mengawasi sekelompok orang yang kelihatannya justru bergerak
menuju kearah mereka berdua bersembunyi.
Rara Wulan yang belum menyadari apa yang sedang terjadi
sempat menggerutu. Katanya kemudian sambil merenggutkan tangannya dari
genggaman Glagah Putih, “Ah, Kakang ini. Bukan waktunya main petak umpet. Kita
harus segera menyampaikan laporan dari hasil pengamatan kita ini sebelum
benar-benar terjadi perang antara Mataram dan Panaraga.”
Glagah Putih tersenyum sambil berpaling ke arah Rara Wulan
dan mengedipkan sebelah matanya, jawabnya kemudian, “Kadang memang ada
kerinduan untuk kembali ke masa kanak-kanak. Alangkah indahnya, bermain petak
umpet di bawah sinar bulan purnama tanpa ada rasa takut akan kegelapan. Bahkan
kita dapat bermain sampai jauh malam sebelum orang tua kita memaksa kita untuk
berangkat tidur.”
“Sudahlah Kakang, simpan saja kenangan masa lalu itu.
Marilah segera kita tuntaskan tugas ini. Kademangan Cepaga telah berada di
depan mata.” Berkata demikian Rara Wulan segera bangkit berdiri, namun
tiba-tiba Glagah Putih dengan cepat meraih tangannya dan menariknya kembali
untuk berjongkok di tempat semula.
Baru saja Rara Wulan akan membuka mulutnya, Glagah Putih
telah meletakkan jari telunjuknya di bibir Rara Wulan sambil menunjuk ke arah
Timur.
Sejenak Rara Wulan mengerutkan keningnya. Orang-orang yang
menyeberangi padang itu memang masih cukup jauh, namun sekarang mereka berdua
sudah dapat menghitung berapa orang yang sedang berjalan sambil bergurau itu.
Tampak senjata-senjata yang terselip di lambung mereka, bahkan ada yang
menjinjing sebuah tombak pendek.
“Lima orang,” desis Rara Wulan.
“Ya, lima orang,” Glagah Putih yang berjongkok di sebelahnya
menimpali, “Pemandangan yang agak aneh. Di Padukuhan yang terpencil ini kita
menjumpai orang-orang yang bersenjata. Bukan sebuah senjata untuk menebang
pohon atau menyabit rumput, tapi sebenar benarnya senjata, senjata untuk
berkelahi.”
“Mungkinkah mereka itu gerombolan penyamun?” tiba-tiba Rara
Wulan mengemukakan pendapatnya.
“Mungkin juga,” jawab Glagah Putih, “Akan tetapi mengapa
mereka berkeliaran di siang hari?”
“Tentu saja mereka tidak akan mendapatkan mangsa kalau
berkeliaran di sini pada saat malam hari, kecuali mereka mendatangi Padukuhan
itu dan merampok dari pintu ke pintu.”
“Bukankah dengan demikian mereka akan berurusan dengan para
peronda?”
Rara Wulan tertegun sejenak, namun jawabnya tak mau kalah,
“Itu menandakan bahwa mereka merasa kuat dan mampu mengatasi para peronda, baik
dalam jumlah maupun kemampuan olah kanuragan mereka.”
“Tapi yang terjadi sekarang ini mereka justru berkeliaran di
siang hari.” Kembali Glagah Putih menyangkal pendapat Rara Wulan.
Rara Wulan benar-benar menjadi jengkel. Akhirnya dengan
bersungut-sungut dia berkata, “Mengapa tidak kita tanyakan saja kepada mereka?
Dari pada berandai-andai tanpa ujung pangkal.”
Glagah Putih tersenyum. Tanpa sesadarnya disentuhnya pundak
kanan Rara Wulan dengan lembut sambil berbisik, “Ma’afkan aku Wulan. Bukan
maksudku untuk mengajakmu berdebat. Marilah kita pusatkan perhatian kita pada
mereka. Agaknya mereka akan berjalan beberapa langkah di depan kita. Semoga
serba sedikit kita dapat menangkap pembicaraan mereka sehingga dapat memberikan
gambaran dengan siapa kita berhadapan.”
Keduanya pun kemudian terdiam karena orang-orang yang
berjalan melintasi padang perdu itu semakin dekat. Dari tempat mereka
bersembunyi, mereka dapat mengamat-amati wajah-wajah yang keras, sekeras
batu-batu padas di gerojokan serta cara berpakaian mereka yang sedikit aneh dan
tidak wajar bagi orang-orang kebanyakan.
“Gila,” tiba-tiba orang yang berjalan paling depan mengumpat
keras, “Mengapa Wiguna begitu pengecut? Janda tua itu seharusnya sudah mati
dicekiknya.”
Beberapa orang yang mendengar umpatannya tertawa. Seorang
yang berbadan raksasa dengan sebuah bindi berukuran sangat besar yang dipanggul
di pundak kanannya menyahut, “Mungkin Wiguna merasa kasihan, Ki Lurah. Bukankah
janda tua itu masih terhitung kakak iparnya?”
Orang yang berjalan di paling depan yang dipanggil Ki Lurah
itu sekali lagi mengumpat, katanya kemudian, “Bukankah suami perempuan tua itu
sudah mati? Semua orang tahu bahwa Wiguna adalah adik Wiraguna, Demang Cepaga
yang sudah mati tiga tahun yang lalu. Jadi apa permasalahan yang sebenarnya?
Wiguna seharusnya dapat menggantikan kedudukan kakaknya itu tanpa banyak
permasalahan.”
“Tapi janda tua itu mempunyai seorang anak laki-laki,” sahut
seorang yang berbadan pendek kekar dengan janggut yang jarang-jarang yang
berjalan di samping kanan orang yang berbadan raksasa itu.
“Persetan dengan Teja Wulung,” kembali terdengar orang yang
disebut Ki Lurah itu menggeram, “Dia tidak akan pernah kembali ke Kademangan
ini.”
Sementara itu langkah segerombolan orang-orang aneh itu
telah semakin jauh menyeberangi padang perdu menuju ke arah Barat. Lamat-lamat
mereka masih terdengar melanjutkan percakapannya, namun jaraknya sudah semakin
jauh dari tempat persembunyian Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang mencoba mendengarkan
percakapan mereka dengan mengerahkan aji sapta pangrungu. Namun begitu aji itu
sudah mereka trapkan, justru rombongan orang-orang aneh itu telah menghentikan
percakapan mereka.
Akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam sambil bangkit berdiri. Sementara rombongan orang-orang aneh
itu telah semakin jauh dan hanya terlihat seperti bintik-bintik hitam di
sela-sela gerumbul dan pepohonan yang bertebaran di padang itu.
Ketika kemudian ronbongan orang-orang aneh itu sudah tidak
tampak lagi, Glagah Putih pun kemudian melangkahkan kaki sambil berkata,
“Marilah Wulan, kita langsung menuju Kademangan Cepaga. Serba sedikit kita
telah mendapatkan bahan dari para petugas sandi. Setidaknya kita dapat mulai
dari Janda tua yang disebut sebut orang-orang tadi. Mungkin yang dimaksud
adalah Rara Ambarasari istri dari Wiraguna, Demang Cepaga yang telah meninggal
tiga tahun yang lalu.”
Rara Wulan hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil
berlari kecil mengikuti langkah Glagah Putih yang mendahuluinya beberapa
langkah di depan. Ketika kemudian dia telah sampai di samping Glagah Putih,
dengan segera dirangkulnya lengan kiri Glagah Putih dengan manja.
Ada sebuah desir tipis yang menelusup ke dalam dada Glagah
Putih. Betapapun juga dia tidak bisa mengingkari kodrat Rara Wulan sebagai
seorang perempuan yang selalu ingin diperhatikan dan dimanja. Sebagai seorang
suami, Glagah Putih merasa belum pernah memberikan kebahagiaan dan hidup yang
berkecukupan sebagaimana kehidupan rumah tangga kebanyakan orang kepada
istrinya itu.
Ketika kemudian sepasang suami istri itu telah mencapai
ujung padang perdu itu, sebuah regol yang cukup besar tampak berdiri dengan
kokohnya. Di samping regol itu terdapat sebuah gardu yang cukup besar. Gardu
itu memang di siang hari hampir selalu kosong, kadang-kadang hanya satu atau
dua orang pengawal saja yang tampak berjaga jaga. Namun menjelang sore setelah
Matahari terbenam, bukan hanya para pengawal yang bertugas saja yang menempati
gardu tersebut, beberapa anak muda yang telah selesai mengerjakan pekerjaan
mereka sehari hari pun ikut bergerombol menjaga regol Kademangan Cepaga.
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri
termangu-mangu di depan regol yang cukup besar itu. Ada kesan yang mendebarkan
ketika sepasang suami istri itu memandang ke arah pintu regol yang besar dan
kuat yang dibiarkan terbuka lebar begitu saja. Ternyata pada bagian
tengah-tengah pintu itu, telah hancur dan meninggalkan bekas yang mengerikan.
Agaknya pintu itu pernah dibuka paksa dengan kekuatan yang nggegirisi menilik
dari bekas bekasnya.
Sejenak mereka berdua masih merenungi pintu regol itu
beberapa saat. Sebenarnyalah mereka tidak gentar oleh kekuatan yang mampu
menjebol pintu itu, karena mereka pun yakin dapat melakukan hal yang sama,
namun yang menjadi pertimbangan mereka adalah, di tempat yang terpencil ini
ternyata terdapat kekuatan yang perlu diperhitungkan.
Setelah puas mengamat amati pintu regol yang telah cacat
itu, mereka berdua segera melangkah memasuki Kademangan Cepaga. Regol itu
ternyata menghubungkan sebuah bulak yang cukup panjang dengan padukuhan
terdekat. Di kiri-kanan bulak itu terbentang sawah sawah yang luas dan
menghijau. Batang-batang padi kelihatan subur dan sebentar lagi akan berbuah.
Panas Matahari yang bagaikan membakar kulit di siang hari
itu ternyata telah menumbuhkan kemalasan bagi para penghuni Kademangan itu.
Jalan jalan menjadi sangat lengang. Mereka lebih senang tinggal
bermalas-malasan di rumah atau sekalian tidur di gubug tengah sawah setelah
mereka sepagian bekerja membersihkan sawah mereka.
Ketika sepasang suami istri itu telah berjalan
berpuluh-puluh langkah menyusuri jalan yang panas dan berdebu, barulah mereka
menjumpai beberapa rumah yang sepi. Pintu regolnya tertutup rapat dan tampaknya
diselarak dari dalam. Rumah rumah itu begitu sepinya sehingga tidak terdengar
suara anak-anak yang biasanya terdengar ramai bermain bersama teman-temannya
ataupun tangisan bayi yang sedang kehausan.
Memang ada satu dua rumah yang pintu regolnya terbuka
sedikit, namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berhasil melihat para
penghuninya melakukan kegiatan ataupun sedang duduk-duduk di pendapa rumahnya.
“Kakang,” tiba tiba saja Rara Wulan berdesis sambil
menggamit Glagah Putih, “Akhirnya kita berjumpa pula dengan salah satu penghuni
padukuhan ini.”
Selesai berkata demikian, Rara Wulan menunjuk ke depan.
Tampak seorang orang tua yang bertelanjang dada tengah berjalan
terbungkuk-bungkuk di teriknya sinar Matahari. Sebuah caping yang lebar
melindungi kepala orang tua itu dari panasnya sengatan Matahari.
Sambil sesekali membetulkan letak caping bambunya, orang tua
itu berjalan tertatih-tatih ke arah dimana Glagah Putih dan Rara Wulan sedang
berdiri menunggu. Agaknya orang tua itu menyadari bahwa ada seseorang yang
sedang memperhatikan dirinya, maka ketika keberadaan orang tua itu sudah
tinggal beberapa langkah saja di depan Glagah Putih dan Rara Wulan, tiba-tiba
orang tua itu berhenti dan membuka capingnya yang lebar.
Hampir saja Rara Wulan terpekik ketika melihat seraut wajah
yang benar-benar sudah tua bangka sekali. Rambutnya yang sudah memutih semua
bagaikan segumpal kapas itu diikat dengan sebuah ikat kepala yang berwana hijau
gadung namun sudah memudar warnanya. Matanya yang hampir tenggelam dalam
cekungan rongga matanya itu tampak berkilat kilat bagaikan butiran intan. Kedua
tulang pipinya menonjol diantara hidungnya yang hanya tampak kedua lubangnya
saja, sedangkan wajahnya yang berkeriput seperti kulit pohon mahoni yang
meranggas itu sama sekali tidak tampak sehelai kumis maupun jenggotnya.
“Kek,” Glagah Putih lah yang memberanikan diri menyapa
terlebih dahulu, “Bolehkan kami bertanya? Dimanakah rumah Nyi Rara Ambarasari
istri Ki Wiraguna Demang Cepaga yang telah meninggal dunia kira-kira tiga tahun
yang lalu?”
Orang tua itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Glagah
Putih dan Rara Wulan ganti berganti. Mata tua yang hitam itu tampak penuh
selidik dan ada kesan mencurigai kepada sepasang suami istri itu.
“Siapakah Ki sanak berdua ini?” justru orang tua itu balik
bertanya dengan suara yang parau mirip seperti suara burung gagak.
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, namun
kemudian jawab Glagah Putih, “Kami berdua adalah suami istri pengembara yang
secara kebetulan sampai di Kademangan ini.”
“Ada urusan apakah kalian dengan Nyi Rara?” kembali orang
tua itu bertanya.
Glagah Puith tersenyum sambil menganggukkan kepalanya untuk
memberi kesan yang baik kepada orang tua itu sebelum menjawab, “Kami pengembara
yang mengharapkan belas kasihan dari para penghuni Kademangan ini untuk
memberikan sekedar tempat berteduh sebelum kami melanjutkan perjalanan.”
“O..,” orang tua itu mengangguk anggukkan kepalanya, “Kalau
kalian berdua hanya memerlukan tempat berteduh, atau bermalam sekalipun, kalian
sebaiknya pergi ke banjar saja. Di sana memang disediakan tempat khusus bagi
para perantau yang mungkin kemalaman dalam perjalanannya. Di sana kalian dapat
menghubungi Ki Rambat, penjaga Banjar Kademangan.”
Untuk sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.
Sesungguhnya tujuan mereka ke Kademanagn Cepaga itu adalah untuk menemui Nyi
Rara Ambarasari, ibu kandung orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati yang
telah menggemparkan Istana Mataram atas pengakuannya sebagai putra Panembahan
Senapati, bukan hanya sekedar mencari tempat berteduh sebagaimana layaknya para
Perantau yang kemalaman.
“Ma’afkan kami, Kek,” akhirnya Glagah Putih menemukan alasan
yang tepat untuk menemui Nyi Rara Ambarasari, “Bukan maksud kami menolak untuk
pergi ke Banjar, namun setelah melihat lihat Kademangan Cepaga yang asri dan
damai ini, kami telah memutuskan untuk mengakhiri perantauan kami dan menetap
di Kademangan ini. Untuk itulah kami memerlukan menghadap Nyi Rara Ambarasari
sebagai pemangku Kademangan ini sepeninggal Ki Wiraguna.”
“Kau salah Ki sanak,” tiba-tiba orang tua itu menyela kata
kata Glagah Putih, “Sepeninggal Ki Wiraguna, yang menggantikannya menjadi
Demang Cepaga adalah Teja Wulung, anak laki-laki satu-satunya.”
“Teja Wulung,” tanpa disadari Glagah Putih dan Rara Wulan
mengulang nama itu. Nama sebenarnya dari orang yang menyebut dirinya Pangeran
Ranapati yang telah mereka ketahui lewat para petugas sandi.
“Ya, Teja Wulung,” kembali orang tua itu menegaskan, “Namun
kini dia telah pergi meninggalkan Kademangan ini.”
“Pergi? Mengapa?” Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam
saja tiba-tiba bertanya keheranan.
Orang tua itu mendengus kesal, jawabnya kemudian, “Itu
urusannya. Tidak ada seorang pun yang berhak mencampurinya.”
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam dalam sambil
berpandangan. Agaknya orang tua itu tidak begitu senang dengan pertanyaan Rara
Wulan. Mungkin orang tua itu sebagai penghuni kademangan Cepaga kecewa dengan
kepergian Teja Wulung, namun mungkin justru sebaliknya, dia merasa bangga
dengan kepergian Teja Wulung untuk menuntut haknya sebagai Putra Panembahan
Senapati sehingga dia tidak senang jika ada orang-orang yang mempermasalahkan
kepergian Teja Wulung.
Dan ternyata dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan benar ketika
orang tua itu melanjutkan kata katanya, “Sebenarnyalah Teja Wulung itu bukan
anak kandung Ki Wiraguna. Semua orang-orang tua di sini mengetahui hal itu.
Ketika Nyi Rara masih menjadi seorang Endang di Padepokan Sela Gilang, dia
telah dipersunting oleh Panembahan Senapati yang pada waktu itu masih bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar. Walaupun Wiraguna kemudian menjadi suami Nyi Rara,
tapi semua orang di padukuhan Cepaga pada waktu itu mengetahui bahwa anak yang
dikandung Nyi Rara adalah benih dari Loring Pasar.”
Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menyangka
bahwa cerita kehidupan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah
bukan rahasia lagi di Kademangan ini. Hal ini tentu saja akan mempermudah
keduanya untuk menelusuri jejak Pangeran Mataram yang merasa terbuang itu.
“Baiklah, Kek,” akhirnya Glagah Putih kembali bertanya,
“Kepada siapakah kami harus menghadap untuk mendapatkan ijin tinggal di
kademangan ini?”
Sejenak orang tua itu ragu-ragu, namun kemudian katanya,
“Sebaiknya kalian menghadap Nyi Rara, karena sepeninggal Teja Wulung belum
ditunjuk siapa yang akan memangku jabatan di Kademangan ini.”
Hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas
dalam dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya mereka merasa
mendapatkan jalan untuk bertemu dengan Ibunda Pangeran Ranapati, Nyi Rara
Ambarasari.
“Dimanakah letak rumah Nyi Rara itu, Kek?” sekarang Rara
Wulanlah yang bertanya.
Sambil mengamati wajah Rara Wulan, tiba tiba orang tua itu
justru berkata kepada Glagah Putih, “Berbahagialah Kau anak muda, ternyata
istrimu ini sangat cantik walaupun berpakaian sangat sederhana.”
“Ah, Kakek ini..!” segera saja rona merah menghiasai wajah
Rara Wulan sedangkan orang tua itu hanya tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara itu Glagah Putih yang berdiri di sebelah Rara Wulan
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kata-kata orang tua ini seolah olah
memberikan isyarat kepadanya bahwa kecantikan istrinya ini akan dapat
menimbulkan permasalahan yang seharusnya dapat dihindari dalam penyamaran
mereka sebagai petugas sandi. Jika orang yang sudah tua bangka ini saja masih
mengagumi kecantikan Rara Wulan, bagaimana dengan mereka yang masih muda dan
merasa memiliki kelebihan untuk memaksakan kehendak mereka?
“Sudahlah,” orang tua itu akhirnya menghentikan tawanya,
“Kalian dapat menyusuri jalan ini. Sebelum persimpangan, di sebelah kanan jalan
kalian akan menjumpai sebuah rumah yang besar, rumah yang paling besar di
Kademangan Cepaga ini. Itulah kediaman Demang Cepaga.”
“Terima kasih, Kek. Sekarang ijinkanlah kami meneruskan
perjalanan.” Berkata Glagah Putih sambil menggamit Rara Wulan yang menundukkan
wajahnya saja tanpa berani memandang kakek tua yang masih saja tersenyum-senyum
mengagumi kecantikannya.
“Silahkan, silahkan. Aku pun akan menengok sawah sebentar
untuk melihat apakah menantuku sudah bekerja dengan benar.”
Demikianlah mereka pun akhirnya berpisah. Dengan tertatih
tatih orang tua itu melanjutkan langkahnya kearah yang berlawanan dengan Glagah
Putih dan Rara Wulan. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah semakin jauh
meninggalkan tempat itu.
Ketika keduanya telah sampai di depan rumah yang dimaksud,
sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu memandangi rumah yang
tergolong mewah untuk ukuran sebuah Kademangan yang terpencil di lereng Gunung
Merapi ini. Regol halaman depan terbuka lebar dan tampak dijaga oleh dua orang
pengawal yang berdiri di sebelah menyebelah pintu regol. Sedangkan pagar batu
yang mengelilingi rumah itu cukup tinggi, hanya orang-orang yang mempunyai
kelebihan dalam olah kanuragan sajalah yang mampu meloncati dinding setinggi
itu tanpa kesulitan.
Agaknya kedua pengawal yang menjaga regol itu telah
memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan sedari tadi. Terbukti ketika sepasang
suami istri itu sedang berdiri termangu-mangu di seberang jalan, salah seorang
pengawal yang berjaga di regol itu telah melambaikan tangannya ke arah mereka.
“He, kalian yang berdiri disitu, kemarilah!” teriak pengawal
itu sambil melambaikan tangannya.
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam membeku. Mereka
tidak menyangka bahwa justru salah seorang dari pengawal itulah yang memanggil
mereka sebelum mereka mengajukan diri untuk menghadap Nyi Rara Ambarasari.
“Bagaimana Kakang?” bisik Rara Wulan
“Marilah,” ajak Glagah Putih, “Lebih baik kita menyatakan
keinginan kita yang sebenarnya dari pada membuat persoalan yang dapat
membahayakan tugas kita.”
Dengan tersaruk-saruk mereka berdua segera berjalan
mendekati regol halaman rumah yang terbesar di seluruh Kademangan Cepaga itu.
Sementara para pengawal yang berdiri di sebelah menyebelah regol itu pandangan
mata mereka seolah olah lekat di wajah Rara Wulan.
“Hem,” desah pengawal yang memanggil mereka berdua itu
setelah Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri beberapa langkah di depannya,
“Menilik pakaian kalian, kalian adalah perantau yang sudah terlalu lama
meninggalkan kampung halaman yang entah oleh alasan apa aku tidak tahu. Tapi
yang jelas, aku ingin tahu, kalian berdua ini sepasang suami istri ataukah
kakak beradik?”
Jantung Glagah Putih berdegub kencang mendengar pertanyaan
pengawal itu. Apalagi saat Glagah Putih mencoba mengamati dengan seksama
pengawal yang masih terhitung muda yang berdiri di hadapannya. Pandangan mata
pengawal itu seolah olah merayapi sekujur tubuh Rara Wulan yang hanya bisa
menundukkan kepalanya dalam dalam.
Setelah mengatur gejolak di dalam dadanya, Glagah Putih pun
menjawab, “Kami berdua adalah sepasang suami istri yang berpetualang mengikuti
ke arah mana kaki kami akan melangkah. Daerah tempat tinggal kami telah
tertimpa musibah bencana kekeringan. Jika diijinkan kami ingin menetap dan
hidup menjadi penghuni di Kademangan ini.”
“O,” sahut pengawal itu sambil berpaling sekilas ke arah
Glagah Putih. Sejenak kemudian pandangan matanya kembali ke arah Rara Wulan,
“Sangat menyenangkan mempunyai tetangga seperti kalian jika benar kalian telah
memutuskan untuk tinggal di Kademangan ini. Kalian dapat tinggal di rumahku
sementara sambil menunggu rumah kalian sendiri siap.”
Terasa bulu bulu halus di sekujur tubuh Rara Wulan meremang.
Walaupun dia tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali, namun nalurinya
sebagai perempuan telah dapat merasakan betapa laki-laki di hadapannya itu
telah memandanginya dengan tanpa berkedip seolah olah dirinya ingin ditelannya
bulat bulat.
Sementara itu beberapa pengawal yang sedang duduk duduk di
gardu penjagaan sebelah regol kediaman Demang Cepaga ternyata telah tertarik
dengan kedatangan sepasang suami istri itu. Dengan bergegas para pengawal itu
pun kemudian berjalan ke regol untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Seorang pengawal yang berbadan kurus dan berkumis tipis
telah sampai di hadapan Glagah Putih mendahului kawan kawannya. Sambil
menyilangkan tangannya di depan dada, sejenak pengawal itu memandangi Glagah
Putih dan Rara Wulan ganti berganti kemudian katanya, “Jarang sekali ada
perantau yang lewat di Kademangan ini dalam usia yang masih semuda kalian
berdua. Biasanya mereka sudah berumur dan tak jarang dalam keadaan sakit
sakitan. Kalian berdua ini kelihatannya sangat sehat dan tak kurang suatu
apapun kecuali pakaian kalian yang kumal dan kotor. Namun apapun keadaan
kalian, aku meragukan jati diri kalian sebagai perantau.”
Berdesir dada sepasang suami istri itu mendengar ucapan
pengawal yang bertubuh kurus itu. Sejauh mungkin mereka telah mencoba
menyempurnakan penyamaran mereka sebagai perantau selama ini dengan tubuh kotor
dan baju yang kumal. Namun satu hal yang mereka lupakan, keduanya tampak sehat
dan terawat bahkan cenderung agak gemuk.
Sebenarnyalah keadaan kedua orang itu tetap berbeda dengan
kebanyakan perantau. Mereka berdua adalah prajurit petugas sandi dari Mataram
yang sedang mengemban tugas. Ki Patih Mandaraka telah membekali mereka dengan
bekal yang cukup bahkan berlebih kalau hanya sekedar untuk kebutuhan makan dan
minum selama dalam menjalankan tugas mereka. Kalau pun mereka kadang kadang
harus menerobos hutan yang liar untuk mencari jalan pintas, mereka berdua
adalah orang orang yang mumpuni dalam olah kanuragan sehingga sangat mudah
mendapatkan makanan dengan berburu binatang binatang yang ada di hutan hutan
itu.
Berbeda dengan perantau yang sebenarnya. Mereka hanya
mengandalkan belas kasihan dari para penghuni padukuhan yang mereka singgahi
sehingga keadaan mereka biasanya kurus dan tidak terawat. Bahkan tak jarang
mereka mendapatkan perlakuan yang buruk karena dicurigai akan berbuat kejahatan
di tempat yang mereka lewati.
“Nah,” berkata pengawal yang bertubuh kurus itu kepada
Glagah Putih, “Apa katamu tentang diri kalian yang mengaku sebagai perantau?
Ataukah memang kalian berdua ini sebenarnya adalah orang kaya yang sedang dalam
pelarian karena suatu sebab?”
Beberapa pengawal yang sudah berkerumun di muka regol itu
saling bergeremang. Masing masing mempunyai penilaian yang berbeda tentang diri
Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun kebanyakan mereka melihat sepasang suami
istri itu sebagai perantau yang aneh.
Merasa keadaan bisa berkembang semakin tidak menentu, Glagah
Putih segera maju selangkah. Setelah terlebih dahulu menganggukkan kepalanya
dalam dalam, dia pun berkata, “Sebelumnya kami mohon ma’af. Bukan maksud kami
untuk mengaburkan jati diri kami, tapi sebenarnyalah kami adalah suami istri
yang mengembara untuk mencari daerah baru setelah tempat tinggal kami yang lama
tertimpa musibah kekeringan. Memang kami membawa bekal sekedarnya dari hasil
penjualan barang barang kami yang tidak seberapa. Jikalau diijinkan oleh
Pemangku Kademangan Cepaga ini, kami ingin mencoba membuka lembaran baru di
Kademangan ini.”
Beberapa pengawal yang berkerumun itu tampak mengangguk
anggukkan kepala, namun pengawal yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu
justru mengerutkan keningnya sambil berkata, “Dari manakah kalian berasal?”
Sejenak Glagah Putih menelan ludah, namun betapapun dia
harus menjawab pertanyaan itu, “Kami berasal dari padukuhan Jatingarang,
bersebelahan dengan padepokan Watukelir.”
Pengawal berperawakan kurus itu sekilas tersenyum masam,
katanya kemudian, “Aku tidak tahu tempat yang kalian sebutkan itu, karena
sepanjang umurku aku tidak pernah meninggalkan Kademangan ini, namun yang jelas
aku mencurigai kalian sebagai pengikut orang orang yang sekarang sedang
menguasai Padepokan Sela Gilang, padepokan yang dulu menjadi tempat junjungan
kami Ki Tejo Wulung berguru.”
“Kakang Sempu,” tiba tiba pengawal yang pertama kali
memanggil sepasang suami istri itu menyela, “Aku kurang sependapat dengan
Kakang. Orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang adalah
orang orang yang kasar bahkan sedikit liar, berbeda jauh ujudnya dengan mereka
ini.”
“Kau tahu apa, Adi Rakit,” dengus pengawal yang dipanggil
Sempu itu, “Mereka mempunyai beribu macam cara untuk mengelabuhi lawan. Ingat,
keselamatan Nyi Rara dan seisi kademangan ini di tangan kita para pengawal yang
masih bersetia kepada Ki Teja Wulung, Demang Cepaga yang sebenarnya.”
“Bagaimana dengan Ki Wiguna?” tiba tiba salah seorang
pengawal yang ikut berkerumun itu bertanya.
“Persetan dengan Ki Wiguna. Walaupun dia adalah adik kandung
Ki Wiraguna, namun selama Ki Teja Wulung masih hidup, dia tidak berhak untuk
mengambil alih jabatan Demang Cepaga. Apalagi dia telah berhubungan dengan
orang orang di Padepokan Sela Gilang itu.”
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing dihanyutkan oleh
angan angan tentang masa depan Kademangan Cepaga. Sementara Glagah Putih dan
Rara Wulan hanya mendengarkan saja apa yang dibicarakan di antara para pengawal
itu. Namun sejauh ini, mereka berdua telah dapat menarik sebuah kesimpulan.
Agaknya orang orang yang telah mereka jumpai di padang sebelah hutan itu adalah
orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang.
“Jadi bagaimana dengan kedua perantau ini, Kakang Sempu?”
bertanya pengawal yang bernama Rakit itu.
“Baiklah,” berkata Sempu sambil memandang ke arah Glagah
Putih dan Rara Wulan, “Kalian akan kami bawa ke gardu untuk diperiksa secara
terpisah. Kalian harus menjawab beberapa pertanyaan dari kami. Sebaiknya kalian
berterus terang saja agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.”
Tentu saja Rara Wulan sangat keberatan jika mereka harus
diperiksa secara terpisah. Dia tidak dapat membayangkan seorang diri dikerumuni
laki laki yang memandangnya dengan sorot mata yang mengerikan. Walaupun Rara
Wulan bukan perempuan kebanyakan, namun menghadapi sorot mata penuh gairah dari
laki laki di sekitarnya, dia tidak dapat melawannya dengan aji Namaskara,
kecuali jika mereka telah mencoba berbuat lebih jauh dan tidak sekedar
memandanginya saja.
Ketika Glagah Putih yang masih berdiri termangu mangu itu
belum dapat menentukan sikap atas tuntutan para pengawal, terasa Rara Wulan
telah menggamit pinggangnya.
“Kakang,” bisik Rara Wulan, “Bagaimana?”
Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Diedarkan pandangan
matanya menyapu para pengawal yang mengerumuni mereka.
“Delapan orang,” desis Glagah Putih dalam hati. Sebenarnya
delapan orang bukanlah jumlah yang menakutkan bagi mereka berdua, namun sejauh
ini mereka berdua mencoba memberikan kesan yang baik dan ramah kepada para
penghuni Kademangan Cepaga.
“Ki Sanak,” akhirnya Glagah Putih memberanikan diri untuk
mengajukan pendapat, “Ijinkanlah kami bertemu dengan Nyi Rara, ibunda dari Ki
Teja Wulung. Biarlah Nyi Rara sendiri yang menilai kami, seberapa pantas kami
berdua ini diterima menjadi penghuni baru Kademangan Cepaga.”
“Tidak,” setengah berteriak Sempu menjawab, “Aku sebagai
pemimpin pengawal Kademangan Cepaga tidak akan mengijinkan kalian berdua
menghadap Nyi Rara sebelum kalian menjawab beberapa pertanyaan dari kami.”
“Itu tidak perlu Sempu,” tiba tiba suara lembut tapi penuh
wibawa telah mengejutkan mereka yang sedang berkerumun. Serentak mereka
berpaling ke belakang dan tampaklah sesosok perempuan paro baya yang masih
terlihat bekas garis garis kecantikannya. Wajahnya yang putih bersih itu begitu
lembut dengan sepasang alis bak semut beriring melengkung indah menaungi
sepasang mata yang berbinar binar bagaikan bintang Timur. Sedangkan hidungnya
yang kecil dan mancung itu begitu indah dan serasi dengan bibir yang merekah
bak buah delima. Walaupun keriput telah menghiasai sebagian wajahnya, namun
kecantikannya masih tak tertandingi dengan gadis gadis yang masih berusia
belia.
“Nyi Rara..” serentak para pengawal itu membungkukkan badan
mereka menghormat ke arah perempuan paro baya yang ternyata adalah Nyi Rara
Ambarasari, Ibunda Pangeran Ranapati.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang menyadari dengan siapa
mereka berhadapan, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja mereka
bergeser ke samping kanan beberapa langkah agar terlihat jelas oleh Nyi Rara
Ambarasari.
“Mohon dima’afkan kami berdua Nyi Rara,” Rara Wulan lah yang
kini mencoba mengambil kesempatan untuk menarik perhatian Nyi Rara, “Kami tidak
punya maksud apa apa selain ingin diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari
penghuni Kademangan ini.”
Nyi Rara tersenyum sekilas, kemudian jawabnya, “Marilah,
kalian adalah tamuku. Sebaiknya aku menemui kalian di pringgitan tidak di
tengah regol.”
“Terima kasih Nyi Rara,” hampir berbareng keduanya menyahut
kemudian dengan tergesa gesa mengikuti langkah gemulai dari Nyi Rara menuju ke
rumah induk.
Sejenak para pengawal yang berkerumun di depan regol itu
saling berpandangan. Beberapa diantaranya mencoba melayangkan pandang mata
mereka ke arah Sempu, namun pemimpin pengawal itu hanya dapat menggeleng lemah
ketika beberapa pasang mata itu tertuju ke arahnya.
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang
berjalan mengikuti langkah Nyi Rara Ambarasari sejenak terpesona ketika mereka
baru saja melangkahkan kaki memasuki halaman. Halaman itu ternyata cukup luas
dengan penataan taman yang begitu asri dan indah, menimbulkan perasaan sejuk
dan damai bagi yang memandangnya.
Di sebelah kanan pendapa agak menjorok ke depan, tumbuh
sebatang pohon bunga kenanga yang menjulang cukup tinggi dengan daun-daunnya
yang rimbun. Bunganya yang dapat menyebarkan keharuman yang khas dan berwarna
hijau kekuningan itu tampak menggelung seperti bentuk bintang laut, bergerombol
dan bertangkai tangkai menjulur di antara kerimbunan daunnya.
Agak jauh beberapa langkah di dekat dinding sebelah kanan
regol, sebatang pohon dadap merah tampak berdiri kokoh dengan bunga-bunganya
yang bersusun-susun seperti tandan pisang yang berwarna merah gelap bercampur
jingga. Tampak seekor burung kecil sedang berayun-ayun di tangkai sebuah bunga
yang menyembul diantara daun-daun dadap yang mulai gugur. Sesekali paruhnya
yang mungil menyelusup di sela-sela kelopak bunga yang bersusun susun itu untuk
mencari serbuk sari.
Sementara bunga bunga kenikir yang bergerombol di sisi kiri
pendapa menampakkan warna kuning cerah berpadu dengan daun-daunnya yang hijau
gelap bagaikan taburan seribu butiran kecubung kuning di atas hamparan
permadani hijau.
Masih ada lagi sejenis anggrek tanah yang bunganya berwarna
putih bersih yang tumbuh hampir sepanjang tangkainya yang menjulur begitu saja
dari dalam tanah. Sedangkan daunnya yang panjang panjang seolah bagaikan
jari-jemari yang menadah ke langit biru.
Glagah Putih dan Rara Wulan tak habis habisnya memandangi
kebun bunga itu seolah tidak akan beranjak dari tempat itu seumur hidupnya.
Pandangan mata mereka tak bosan bosannya hinggap pada bunga-bunga melati dan
mawar yang berjajar-jajar dan tersusun pada bukit-bukit kecil yang sengaja
dibuat untuk menambah suasana sejuk dan damai.
Nyi Rara Ambarasari sejenak menghentikan langkahnya ketika
kakinya telah melangkahi tlundak pendapa yang terakhir. Ketika kemudian dia
menengok ke belakang, sebuah senyum segera menghiasi bibirnya menyaksikan
sepasang suami istri itu seolah olah terbuai menikmati keindahan taman
bunganya. Entah perasaan apa yang bergejolak di dalam hatinya. Seakan akan
bayangan dirinya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar berpuluh tahun yang lalu
kembali tergambar dalam ingatannya.
Glagah Putih dan Rara Wulan baru tersadar ketika sudut
pandang mata mereka menangkap sesosok bayangan sedang memperhatikan mereka.
“O.., ma’afkan kami Nyi Rara,” dengan cepat Rara Wulan
berkata, “Kami begitu terpesona dengan taman bunga ini sehingga kami tidak
menyadari kalau Nyi Rara sudah menunggu kami sedari tadi.”
“Silahkan,” berkata Nyi Rara sambil tetap menyungging
senyum, “Aku akan menunggu kalian di Pringgitan.”
Selesai berkata demikian Nyi Rara segera memutar tubuhnya
dan melangkah menyeberangi pendapa menuju ke pringgitan. Namun, sebelum langkah
Nyi Rara mencapai pintu yang membatasi pendapa dengan ruang dalam itu,
terdengar suara gaduh dari arah regol.
Sebelum Nyi Rara sempat menyadari apa yang sedang terjadi,
tiba tiba serombongan orang berjumlah sekitar tujuh orang menyibakkan para
pengawal yang masih bergerombol di depan regol, kemudian dengan langkah lebar
mereka memasuki halaman rumah Demang Cepaga.
Berdesir dada Nyi Rara Ambarasari demi melihat orang yang
berjalan paling depan.
“Adi Wiguna,” desis Nyi Rara Dalam hati.
Orang yang berjalan di depan rombongan itu memang Ki Wiguna,
adik Demang Cepaga yang telah meninggal dunia sekitar dua tahun yang lalu.
Sejenak Nyi Rara Ambarasari termangu mangu ketika rombongan
itu mulai berjalan melintasi halaman rumahnya yang luas, namun kemudian dengan
mencoba mengendapkan segala perasaannya dia berkata, “O.., kiranya Adi Wiguna
yang datang berkunjung. Silahkan Adi, silahkan. Aku tidak menyangka kalau di
siang yang terik ini, Adi telah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah
ini.”
Sebuah desir lembut terasa menyentuh jantung Ki Wiguna. Di
rumah itulah dia bersama kakaknya Wiraguna putra dari Ki Dukuh Cepaga
dibesarkan. Walaupun rumah itu kemudian mengalami perubahan sejalan dengan
dikukuhkannya Wiraguna menjadi Demang Cepaga, namun kenangan atas rumah dan
penghuninya itu seakan baru terjadi kemarin sore baginya.
Sungguh masa kanak kanak yang sangat menyenangkan, bermain
di bawah terang bulan sampai jauh malam, atau membantu orang tua mereka
menunggui sawah di siang hari sambil membawa goprak untuk mengusir burung
burung yang mencoba mencuri bulir bulir padi yang mulai merunduk, atau hanya
duduk duduk di bawah pohon nyamplung yang tumbuh menjulang tinggi di pinggir
sungai tak jauh di belakang rumah mereka sambil menikmati semilirnya angin.
Benar benar sebuah kenangan indah yang tak mungkin tercerabut dari ingatannya.
Namun dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, ternyata
kehadiran seorang perempuan telah menumbuhkan benih benih pertentangan di hati
kedua kakak beradik itu, walaupun kemudian ternyata seorang petualang yang
bernama Jaka Suta itulah yang telah berhasil memikat hati gadis yang bernama
Endang Mintarsih itu.
Langkah Ki Wiguna sempat tertegun tegun begitu pandang
matanya menatap wajah kakak iparnya. Betapa wajah itu tidak banyak berubah
walaupun umur mereka berdua telah merayap semakin senja. Gurat gurat kecantikan
itu seakan akan tidak pernah berubah, hanya sorot mata perempuan yang dimasa
mudanya menjadi satu satunya endang yang ada di Padepokan Sela Gilang itu kini
agak berbeda. Sorot mata itu kini bagaikan sebuah pelita di dalam sebuah goa
yang gelap dan dalam. Sinar kehidupan itu memang masih terlihat terpancar dari
kedua bola matanya, namun selebihnya adalah kegelapan yang sulit untuk
dijajagi.
Ketika kemudian Ki Wiguna melintas beberapa langkah di depan
Glagah Putih dan Rara Wulan, sejenak pandang matanya sempat menyambar wajah
sepasang suami istri yang sedang berdiri termangu mangu itu, namun langkah
itupun kemudian tidak berhenti.
“Marilah,” sekali lagi Nyi Rara mempersilahkan para tamunya
untuk naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang dibentangkan di
tengah ten pendapa.
Kemudian kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih
berdiri termangu-mangu, Nyi Rara berkata sambil melambaikan tangannya, “Kalian
berdua kemarilah. Kalian juga tamu tamuku. Bergabunglah bersama kami di pendapa
ini.”
Dengan langkah ragu ragu Glagah Putih dan Rara Wulan menaiki
tlundak pendapa. Ketika kemudian Nyi Rara Ambarasari menarik lengan Rara Wulan
untuk menemani duduk di sampingnya, Glagah Putih pun kemudian menempatkan
dirinya beberapa jengkal di belakang Rara Wulan.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, mulailah Ki
Wiguna mengutarakan maksudnya berkunjung ke kediaman Demang Cepaga siang itu.
“Mbok Ayu,” demikian Ki Wiguna memulai pembicaraan, “Aku
memerlukan menghadap mbok Ayu siang ini mengatas namakan seluruh penghuni
Kademangan Cepaga yang menginginkan sebuah kepastian akan masa depan Kademangan
ini.”
Nyi Rara Ambarasari menarik nafas panjang sambil menggeser
duduknya merapat ke Rara Wulan, tanpa sadar jari jemari kedua perempuan itu
telah menyatu.
“Ki Wiguna,” Nyi Rara berhenti sejenak untuk mengatur detak
jantungnya yang mulai berdegup kencang, “Ada apakah dengan masa depan
Kademangan ini? Aku tidak merasakan adanya suatu perubahan yang mendasar
sehingga kita memerlukan waktu untuk membicarakan masa depan Kademangan ini.”
“Ma’afkan aku sebelumnya mbok Ayu, kademangan ini memerlukan
seorang pemimpin. Jangan biarkan para bebahu Kademangan ini kehilangan arah dan
petunjuk dalam menjalankan tugas mereka.” berkata Ki Wiguna selanjutnya.
“Apakah memang demikian yang terjadi selama ini? Mereka
tidak mendapat petunjuk dan arahan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari?”
jawab Nyi Rara Ambarasari sambil menatap tajam ke arah Ki Wiguna.
Sejenak Ki Wiraguna terdiam sambil menundukkan wajahnya.
Entah mengapa, untuk menentang pandang Nyi Rara Ambarasari itu dia tidak
mempunyai nyali walaupun semenir, namun kemudian katanya dengan suara bergetar
sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Memang dalam keseharian mereka
kadang-kadang minta petunjuk dan arahan kepadaku. Namun selebihnya aku tidak
tahu.”
“Jadi,” potong Nyi Rara dengan cepat, “Apakah permasalahan
yang sebenarnya? Bukankah selain Adi Wiguna, aku juga dapat memberikan petunjuk
dan arahan kepada mereka dalam menjalankan tugas sehari hari?”
Rona merah mulai menjalari wajah Ki Wiguna. Sambil menarik
nafas dalam dalam untuk meredakan getar di dalam dadanya, dia mencoba
mengutarakan maksud yang sebenarnya, “Nyi Rara, dalam tugas keseharian mereka,
memang hampir tidak ada masalah yang berarti, namun yang mereka perlukan saat
ini adalah sosok seorang pemimpin di Kademangan Cepaga ini yang dapat mereka
jadikan sebagai panutan.”
Nyi Rara mengerutkan keningnya. Sebuah desir lembut bagaikan
berpuluh ujung jarum terasa menusuk nusuk jantungnya. Apa yang selama ini
dikawatirkan agaknya mulai merayapi hati para bebahu Kademangan. Agaknya mereka
telah dengan sengaja didorong oleh Ki Wiguna untuk segera mencari pengganti
anaknya Teja Wulung yang telah cukup lama meninggalkan Kademangan ini.
Perbincangan di pendapa itu sejenak terganggu dengan
hadirnya seorang pelayan menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan.
Dengan cekatan Rara Wulan segera membantu perempuan tua pelayan di rumah Nyi
Rara itu untuk meletakkan mangkuk-mangkuk minuman dan beberapa penganan di
hadapan para tamu.
Ketika pelayan itu telah selesai dan mengundurkan diri
kembali ke ruang dalam, sejenak Nyi Rara Ambarasari melayangkan pandangan
matanya ke arah orang-orang yang duduk berjajar-jajar di belakang Ki Wiguna.
“Ki Jagabaya,” tiba-tiba Nyi Rara berkata sambil memandang
seseorang yang berperawakan tinggi besar dan berkumis melintang yang duduk
beberapa jengkal di belakang sebelah kanan Ki Wiguna, “Dan juga Ki Jagatirta,
Ki Jagawana dan yang lainnya. Apakah memang demikian kehendak kalian? Kalian
mengendaki adanya pergantian pimpinan di Kademangan Cepaga ini padahal anakku
Teja Wulung selaku pewaris Kademangan Cepaga yang syah masih hidup?”
Tidak ada seorang pun yang membuka suara untuk menjawab
pertanyaan Nyi Rara Ambarasari. Orang orang yang duduk di belakang Ki Wiguna
itu hanya dapat menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Diam-diam keringat
dingin telah membasahi punggung mereka. Memang pada kenyataannya mereka tidak
dapat membantah bahwa Teja Wulung masih syah sebagai Demang Cepaga walaupun dia
telah pergi beberapa bulan yang lalu meninggalkan Kademangan itu. Namun mereka
juga tidak dapat menyalahkan pendapat dari Ki Wiguna, paman Teja Wulung sendiri
untuk segera memilih pemimpin Kademangan Cepaga yang baru sepeninggal Teja
Wulung.
“Ma’afkan sekali lagi mbok Ayu,” dengan suara bergetar Ki
Wiguna mencoba memecah kebuntuan, “Kita semua tidak tahu sampai kapan Teja
Wulung meninggalkan Kademangan ini. Kami semua justru berharap Teja Wulung
dapat nggayuh kamukten..”
“Tidak perlu kau sebut-sebut itu, Adi Wiguna!” sergah Nyi
Rara Ambarasari dengan suara sedikit keras, “Selama anakku pergi, akulah yang
diserahi tanggung jawab sebagi pemangku sementara jabatan Demang Cepaga.
Penyerahan secara resmi memang tidak ada, tapi sebagai ibunya dan sekaligus
istri Demang Cepaga yang terdahulu, aku mempunyai tanggung jawab untuk membina
masa depan Kademangan ini sambil menunggu kabar dari Teja Wulung.”
Sejenak semua yang hadir di pendapa itu termangu-mangu.
Berbagai macam tanggapan muncul di dalam benak masing-masing. Untuk beberapa
saat suasana menjadi sunyi. Angin pegunungan yang bertiup perlahan melintas di
halaman itu terasa sejuk menggapai tubuh tubuh yang diam membeku, namun dalam
dada masing-masing sedang terjadi sebuah pergolakan yang dahsyat.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam saja
mengikuti pembicaraan yang terjadi dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya
kepergian Teja Wulung atau yang mereka kenal dengan nama Pangeran Ranapati itu
telah menumbuhkan permasalahan baru di Kademangan Cepaga. Paman Pangeran
Ranapati ini kelihatannya ingin menggantikan kedudukan keponakannya sebagai
Demang Cepaga, sementara ibunda Pangeran Ranapati sendiri masih bersikukuh
bahwa anaknya tetap sebagai Demang Cepaga walaupun telah cukup lama meninggalkan
Kademangan itu.
Matahari mulai tergelincir dari puncaknya. Walaupun sinarnya
masih terasa menghanguskan kulit, namun semilir angin pegunungan yang sejuk
telah membuat udara yang panas menjadi sedikit segar. Beberapa ekor kupu-kupu
masih tampak hilir mudik mengerumuni kembang-kembang kenikir yang bermekaran
kuning keemasan. Dari arah depan tampak seekor lebah terbang mendekat kemudian
berdengung mengitari sebuah kembang untuk mencoba berebut tempat dengan
kupu-kupu yang masih saja asyik bertengger di antara kelopak kelopak bunga.
Ketika kaki-kaki lebah yang penuh bulu-bulu halus itu mencoba menjejak di
antara sari sari bunga, serentak kerumunan kupu-kupu itu pun mengepak ngepakkan
sayap-sayapnya yang indah sehingga membuat lebah itu terkejut dan terbang
menjauh.
“Mbok Ayu,” suara parau Ki Wiguna memecah kesunyian, “Para
bebahu Kademangan yang hadir di pendapa ini sebelum berangkat menghadap mbok
Ayu, telah sepakat untuk meminta kepastian batasan waktu sampai kapan
Kademangan ini dibiarkan kosong tanpa seorang Pemimpin. Permasalahan yang pokok
bukan pada terhambat atau tidaknya tugas keseharian mereka, namun Kademangan
yang cukup besar ini memerlukan seorang pemimpin yang benar-benar dapat
diandalkan, baik dalam mengatur roda kehidupan di Kademangan ini maupun dalam
menghadapi gangguan dari luar yang mungkin timbul.”
Tertegun-tegun Nyi Rara Ambarasari mendengarkan uraian Ki
Wiguna. Di dalam hati memang dia tidak dapat memungkiri pendapat adik iparnya
ini. Beberapa waktu lalu memang telah timbul-tanda tanda gangguan dari luar
Kademangan ini. Segerombolan orang-orang tak dikenal telah memasuki kademangan
Cepaga dan kini mereka bersarang di Padepokan Sela Gilang, padepokan tempat dia
dibesarkan dan tumbuh menjadi sekuntum bunga yang indah dan akhirnya dipetik
oleh seorang petualang yang bernama Jaka Suta.
Hampir tidak ada perlawanan dari para penghuni Padepokan
itu. Sepeninggal Ki Ageng Sela Gilang menyusul muridnya melawat ke Timur, para
penghuni Padepokan yang memang tidak pernah dibekali latihan olah kanuragan itu
tidak dapat menolak kehendak orang orang-asing yang ingin menetap di Padepokan
itu. Sedangkan para pengawal Kademangan yang rata-rata telah dibekali kemampuan
olah kanuragan dari pemimpin mereka pada waktu itu, Ki Demang Teja Wulung,
tidak berani bertindak gegabah. Mereka menunggu seorang pemimpin yang dapat
menggerakkan mereka untuk mengusir orang-orang tak dikenal itu dari Padepokan
Sela Gilang.
Para pengawal yang memang pernah mencoba menolak kehadiran
orang-orang asing itu untuk memasuki Kademangan Cepaga pada saat pertama kali
mereka memasuki Kademangan Cepaga dari arah selatan, dibuat terheran heran
dengan kemampuan pemimpin mereka yang disebut Ki Lurah. Dengan tangan kosong
orang yang di panggil Ki Lurah itu telah membuat pengeram eram dengan menjebol
pintu regol yang terbuat dari kayu setebal hampir sejengkal dan meninggalkan
bekas yang mengerikan.
Sementara itu Nyi Rara Ambarasari masih termenung.
Ingatannya kembali ke masa-masa ketika Teja Wulung masih ada. Kademangan itu
begitu tenang dan damai. Teja Wulung sendiri yang telah mengajarkan ilmu olah
kanuragan kepada para pengawal untuk menjaga keamanan Kademangan mereka
sendiri. Kadang-kadang apabila gurunya Ki Ageng Sela Gilang berkunjung ke
rumahnya, disempatkannya memberikan beberapa petunjuk kepada para pengawal itu
sehingga pengalaman mereka semakin bertambah.
“Bagaimana, mbok Ayu?” kembali terdengar pertanyaan Ki
Wiguna yang membangunkan Nyi Rara dari lamunannya, “Sampai kapan kami harus
menunggu angger Teja Wulung? Sementara keberadaan orang-orang asing di
Padepokan Sela Gilang itu telah meresahkan para penghuni padukuhan di
sekitarnya. Memang selama ini yang mereka ambil dari para penghuni padukuhan
itu masih sebatas binatang ternak, kambing atau ayam. Namun tidak menutup
kemungkinan di kemudian hari mereka akan berbuat semakin jauh.”
Nyi Rara Ambarasari benar-benar dihadapkan pada persoalan
yang rumit. Di satu pihak dia tidak akan membiarkan persoalan orang-orang asing
di Padepokan Sela Gilang itu semakin berlarut-larut, namun apabila dia
menyerahkan pimpinan Kademangan Cepaga itu kepada adik iparnya, Ki Wiguna, hati
kecilnya tidak rela. Panggraitanya sebagai istri Demang Cepaga yang terdahulu
dan telah sekian lama mendampinginya dalam membina Kademangan ini, seolah bisa
meraba bahwa niat yang dikandung Ki Wiguna tidak tulus.
Ketika kemudian tanpa disadarinya Nyi Rara Ambarasari
menoleh ke arah Glagah Putih yang duduk beberapa jengkal di belakang Rara
Wulan, jantung perempuan paro baya itu bagaikan terlonjak.
Sejenak Nyi Rara Ambarasari termangu mangu. Hatinya masih
terguncang hebat ketika pandang matanya tertumbuk pada sebuah benda yang
ditunjukkan oleh Glagah Putih dari balik bajunya tepat pada saat dia menoleh
kearahnya.
Sebuah benda bulat pipih dan ada lukisan yang terpahat di
permukaannya. Benda yang serupa itu pernah dilihatnya ketika Mas Ngabehi Loring
Pasar masih mengisi hari hari indahnya di Padepokan Sela Gilang. Hanya bedanya
yang dimiliki oleh Loring Pasar itu agak besar dan terbuat dari emas, sedangkan
yang disembunyikan di balik baju Glagah Putih itu agak kecil dan bukan terbuat
dari emas, menilik ujudnya yang putih bersinar kemungkinannya terbuat dari
perak.
Ketika kemudian sekali lagi Nyi Rara Ambarasari mencoba
memandang ke arah Glagah Putih untuk meyakinkan penglihatannya, anak muda itu
pun telah menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arahnya.
Kini yakinlah Nyi Rara Ambarasari bahwa mereka berdua itu
bukanlah pengembara dalam arti sebenarnya, mereka pasti dengan sengaja telah
mencarinya di Kademangan yang terpencil ini dan ada sangkut pautnya dengan Mas
Ngabehi Loring Pasar atau paling tidak sebuah jalur yang dapat menghubungkan ke
arah itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi
getar-getar di dalam dadanya, Nyi Rara pun berkata sambil menoleh ke arah Ki
Wiguna, “Adi Wiguna, aku tidak dapat memutuskan permasalahan ini sekarang.
Berilah aku waktu barang sehari dua hari agar aku mendapatkan waktu yang cukup
untuk membuat keputusan yang menyangkut masa depan Kademangan ini.”
“Tidak ada bedanya,” potong Ki Wiguna, “Persoalannya sudah
jelas dan para bebahu sudah menunggu nunggu. Jadi mengapa mbok Ayu masih
mengulur ulur waktu untuk menyerahkan jabatan Demang Cepaga itu kepada yang
lebih berhak?”
“Siapakah yang Kau maksud dengan yang lebih berhak?” suara
perempuan paro baya itu melengking tinggi. Semburat merah tampak menghiasi
wajahnya yang putih bersih, “Sepeninggal kakang Wiraguna, Teja Wulung lah yang
paling berhak memimpin Kademangan ini. Kalau pun karena suatu sebab dia
berhalangan untuk memangku jabatan itu, masih ada aku. Walaupun aku hanya
seorang putri triman, namun Raden Sutawijaya putra angkat Sultan Pajang pada
saat itu telah menyerahkan serat kekancingan tanah palungguh Kademangan ini untuk
anak yang masih dalam kandunganku, bukan untuk kakang Wiraguna.”
Sampai disini, hati perempuan yang pada masa mudanya bernama
Endang Mintarsih itu tidak mampu lagi menahan gejolak perasaannya. Dengan kedua
tangannya dia berusaha membendung air mata yang mulai pecah bagaikan air bah
yang melanda tebing-tebing di pegunungan. Isak tangisnya yang tertahan-tahan
telah membuat tubuhnya terguncang-guncang.
Dengan sigap Rara Wulan segera merangkul perempuan paro baya
yang telah banyak mengalami pahit getirnya kehidupan itu. Dengan berbisik
perlahan, Rara Wulan mencoba menenangkan hati Nyi Rara Ambarasari, “Sudahlah
Nyi Rara. Percayalah, kami berdua akan mencoba membantu mengatasi permasalahan
ini sejauh kami dapat lakukan.”
Kemudian sambil berpaling dan menganggukkan kepalanya ke
arah Ki Wiguna, Rara Wulan berkata, “Ma’afkan kami berdua Ki Wiguna. Bukan
maksud kami untuk mencampuri urusan Kademangan ini, namun sebaiknya biarlah Nyi
Rara beristirahat sejenak agar kesehatannya tidak terganggu.”
Ki Wiguna yang tidak menyangka persoalan itu akan mengungkit
kenangan masa lalu Nyi Rara Ambarasari, diam-diam mengeluh dalam hati. Dia
tidak menyangka bahwa mbok Ayunya itu akan bersikukuh tetap memegang pimpinan
Kademangan Cepaga sambil menunggu kabar dari Teja Wulung. Sedangkan orang-orang
asing yang bersarang di Padepokan Sela Gilang itu sudah hampir hilang
kesabarannya menunggu-nunggu kesanggupannya.
Dengan perlahan-lahan Rara Wulan membimbing Nyi Rara
Ambarasari untuk berdiri, kemudian dengan tetap menyembunyikan wajahnya di
balik kedua telapak tangannya serta menahan isak tangisnya, Nyi Rara Ambarasari
dibantu oleh Rara Wulan melangkah meninggalkan pendapa menuju ke pringgitan.
Sejenak Glagah Putih masih duduk menunggu di pendapa. Ki
Wiguna yang merasa sudah tidak ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu
segera bangkit berdiri diikuti oleh para bebahu Kademangan. Ketika kemudian
Glagah Putih itu pun ikut berdiri, pandang mata Ki Wiguna yang tajam telah
melekat di wajah Glagah Putih.
“Siapakah kalian sebenarnya, Ki Sanak?” bertanya Ki Wiguna
dengan nada yang dalam, “Kademangan ini telah cukup disibukkan dengan
kedatangan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang. Aku harap kalian tidak
menambah keruhnya suasana Kademangan ini.”
Dengan sedikit membungkukkan badannya, Glagah Putih
menjawab, “Aku mohon ma’af apabila kehadiran kami berdua di Kademangan ini
membuat para penghuninya resah. Kami hanyalah pengembara yang kebetulan sedang
melewati daerah ini. Kami berjanji tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Mungkin
besok atau lusa kami segera meneruskan perjalanan.”
“Lebih cepat lebih baik,” terdengar desis yang cukup keras
dari belakang Ki Wiguna. Ternyata orang yang tinggi besar dengan kumis
melintang yang di panggil Ki Jagabaya oleh Nyi Rara itulah yang berkata.
Ki Wiguna mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya dia
berpaling ke belakang, namun hanya sekilas. Kemudian katanya kepada Glagah
Putih, “Matahari sudah jauh tergelincir. Memang sebaiknya kalian bermalam di
Kademangan ini, namun aku sarankan lebih baik kalian bermalam di banjar saja
agar tidak mengganggu istirahat mbok Ayu.”
“Baiklah Ki Wiguna,” jawab Glagah Putih berusaha untuk tidak
membuat persoalan yang berarti dengan paman Pangeran Ranapati itu, “Namun
sebaiknya kami mohon pamit terlebih dahulu kepada Nyi Rara sebelum meninggalkan
tempat ini.”
Ki Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya
sambil memutar tubuhnya dan melangkah pergi, “Terserah kalian. Tapi ingat!
Jangan membuat persoalan di Kademangan ini yang dapat mempersulit keadaan
kalian.”
Glagah Putih tidak menjawab. Dia hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam sambil mengikuti langkah Ki Wiguna dan para bebahu kademangan itu
menuruni tangga pendapa dengan pandangan matanya.
Ketika rombongan itu telah hilang di balik regol, Glagah
Putih pun dengan langkah ragu ragu mendekati pintu pringgitan. Sejenak
dicobanya untuk mendengarkan suara di balik pintu itu, namun pringgitan itu
ternyata sepi. Mungkin Rara Wulan telah membantu membimbing Nyi Rara menuju ke
ruang tengah.
Perlahan Glagah Putih mendorong pintu yang membatasi pendapa
dengan pringgitan. Suara derit pintu yang cukup keras ternyata telah menarik
perhatian Rara Wulan yang memang sedang duduk menemani Nyi Rara di ruang
tengah.
“Kakang, masuklah. Kami di ruang tengah,” terdengar suara
Rara Wulan memanggil dari ruang dalam.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
mengatasi gejolak di dalam dadanya. Sebenarnya Glagah Putih tidak ingin tergesa
gesa mengungkapkan jati diri mereka berdua di hadapan Nyi Rara, namun
keadaanlah yang memaksa dirinya untuk menunjukkan lencana khusus yang dimiliki
oleh prajurit sandi Mataram kepada Nyi Rara agar ibunda Pangeran Ranapati itu
merasa mempunyai pegangan untuk menentukan sikap.
Dengan langkah yang tidak tergesa gesa Glagah Putih pun
kemudian berjalan melintasi pringgitan menuju ke ruang dalam. Ketika dia telah
sampai di ruang tengah yang hanya dibatasi dengan sebuah rana yang berukir
lembut, tampak olehnya kedua perempuan itu sedang duduk berdampingan di atas
tikar pandan yang berwarna cerah.
“Marilah ngger,” Nyi Rara Ambarasari yang sudah mampu
menguasai dirinya kembali itu mempersilahkan Glagah Putih, “Anggaplah ini rumah
kalian sendiri. Kalian dapat bermalam di gandok kanan. Biarlah para pelayan
nanti yang mempersiapkan bilik untuk kalian.”
“Ah, “ Glagah Putih berdesah sambil mengambil tempat duduk
bersila di depan kedua perempuan itu, “Kami adalah pengembara yang sudah
terbiasa bertempat di manapun. Janganlah keberadaan kami ini akan merepotkan
Nyi Rara.”
“Ah, sudahlah. Lupakan segala ewuh pakewuh itu. Sebaiknya
kalian memanggilku Bibi saja,” berkata Ibunda Pangeran Ranapati itu, kemudian
lanjutnya, “Tidak ada salahnya kalian sejenak melupakan petualangan kalian.
Sekarang kalian berdua adalah tamu tamuku, aku wajib memberikan yang terbaik
sebagai tanda penghormatan atas kesediaan kalian untuk mampir di rumah ini.”
“Terima kasih, Bibi,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara
Wulan menyahut.
Perempuan paro baya yang sempat tersangkut di hati
Panembahan Senapati di masa mudanya itu tersenyum. Entah perasaan apa yang
sedang bergolak di dalam hatinya, namun seakan hati kecilnya sudah bulat bahwa
kedua anak muda itu dapat dipercaya untuk membantu memecahkan masalahnya.
“Angger Glagah Putih,” kata Nyi Rara Ambarasari kemudian,
“Rara Wulan telah bercerita banyak tentang diri kalian berdua. Jika pada
saatnya nanti kalian kembali ke Mataram, sampaikan ucapan terima kasihku yang
tak terhingga serta salam hormat kepada Ki Patih Mandaraka yang masih berkenan
mengingat seorang Endang dari Padepokan terpencil ini. Semoga sikap deksura
dari anakku Teja Wulung mendapat ampunan dari keluarga Istana di Mataram.”
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka tidak sampai hati untuk menceritakan keadaan Teja Wulung
yang sebenarnya. Mereka tidak ingin membuat hati perempuan paro baya itu
semakin menderita jika mengetahui anak semata wayangnya telah menjadi Senapati
Agul Agul Kadipaten Panaraga dan siap untuk melakukan pemberontakan melawan
Mataram.
“Angger berdua,” berkata Nyi Rara Ambarasari sambil
membetulkan letak duduknya, “Sebenarnyalah setelah aku melihat lencana Angger
Glagah Putih, aku segera teringat dengan sebuah lencana yang mirip dengan itu.
Sebuah lencana dari Mas Ngabehi Loring Pasar yang dihadiahkan kepadaku sebagi
kenang-kenangan, bukan sebagai pertanda yang dapat dijadikan bukti keturunanku
untuk menuntut hak ke Mataram. Lencana itu sengaja aku simpan dan tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya, Teja Wulung pun tidak. Apalagi Kakang Wiraguna.”
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Masing
masing mempunyai tanggapan yang berbeda. Rara Wulan sebagai seorang perempuan
menyikapi hal itu dengan penuh rasa haru. Hatinya trenyuh atas perhatian
Panembahan Senapati kepada Nyi Rara Ambarasari. Sedangkan Glagah Putih
menganggap pemberian lencana itu bukan hanya sekedar sebagai kenang-kenangan,
namun lebih dari itu, lencana itu adalah lencana khusus, lencana yang hanya
dimiliki oleh seorang bangsawan, apalagi kedudukan Raden Sutawijaya pada waktu
itu adalah sebagai putra angkat Sultan Pajang.
“Ma’afkan kami sebelumnya Bibi,” akhirnya Glagah Putih
memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah kami diperkenankan untuk melihat
lencana itu?”
Sebersit keragu-raguan tampak di wajah Nyi Rara Ambarasari,
namun kemudian dengan seulas senyum, dia berkata sambil bangkit berdiri dari
tempat duduknya, “Baiklah ngger, mungkin kalian kurang yakin dengan ceritaku.
Aku tidak keberatan untuk menunjukkan lencana itu kepada kalian, asalkan kalian
berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun.”
Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan menarik nafas
panjang, kemudian sambil mengangguk mereka menjawab, “Jangan kuatir Bibi. Kami
berdua akan memegang rahasia ini dengan taruhan nyawa kami.”
“Ah,” desis Nyi Rara Ambarasari sambil melangkah ke senthong
tengah, “Tidak sejauh itu pengorbanan yang harus kalian lakukan.”
Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Glagah Putih dan Rara
Wulan hanya duduk terpekur menunggu Nyi Rara Ambarasari kembali dari senthong
tengah. Masing masing hanyut dengan peristiwa peristiwa yang telah berlalu yang
datang silih berganti dalam perjalanan hidup mereka berdua. Kadang-kadang
tampak Glagah Putih menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Namun kadang tampak Rara Wulan lah yang mengerutkan keningnya dalam
dalam sambil memandang ke arah pintu senthong tengah. Seolah olah ingin
ditembusnya pintu bilik itu dengan ketajaman pandangan matanya untuk melihat
apa yang sedang dikerjakan Nyi Rara Amabasari di dalam bilik itu.
“Kakang,” tiba tiba Rara Wulan berbisik, “Tugas kita adalah
membuktikan kebenaran cerita tentang Ibunda Pangeran Ranapati yang masih hidup
dan kisah cintanya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun bukti apakah yang
dapat kita bawa ke hadapan Ki Patih Mandaraka?”
Glagah Putih memandang sekilas ke arah Rara Wulan sebelum
menjawab. Kemudian katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah pintu senthong
tengah, “Lencana itu.”
“Maksud Kakang?”
“Lencana itulah sebagai bukti bahwa memang Panembahan
Senapati di masa mudanya pernah mempunyai hubungan khusus dengan Nyi Rara
Ambarasari.”
Rara Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba matanya
tertumbuk pada pintu bilik senthong tengah yang terbuka dan tampak dengan
langkah yang gemulai Nyi Rara Ambarasari melangkah keluar.
Setelah menempati tempat duduknya semula, Nyi Rara
Ambarasari kemudian menyodorkan sebuah bungkusan kain yang sudah pudar
warnanya, “Inilah ngger, kenang-kenangan yang selalu kusimpan dan menjadi
tautan kasih sayangku dengan Mas Ngabehi Loring Pasar,” dia berhenti sejenak,
lalu katanya kepada Rara Wulan, “Setiap perempuan yang dinikahi oleh seorang
laki-laki pasti menerima mas kawin sebagai syarat syahnya sebuah pernikahan.
Lencana itulah yang digunakan oleh Mas Ngabehi Loring Pasar sebagai mas kawin.”
Sejenak sepasang suami istri itu saling berpandangan. Mereka
merasa terkejut dengan pengakuan Ibunda Pangeran Ranapati itu bahwa lencana
pemberian putra angkat Sultan Pajang pada waktu itu adalah sebagai mas kawin.
Dengan demikian tidak ada seorang pun yang berhak meminta lencana itu karena
bagi Nyi Rara Ambarasari, nilai lencana itu seperti nyawanya sendiri.
Sambil membuka bungkusan kain yang warnanya sudah memudar
itu, Glagah Putih mencoba menilai dirinya sendiri. Pada saat mereka berdua
telah berikrar sebagai sepasang suami istri, hanya sebentuk cincin emas yang
tidak terlalu besar yang dapat dipersembahkan kepada Rara`Wulan sebagai mas
kawin, itupun atas bantuan kakak sepupunya Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika tanpa
disadarinya pandangan matanya melirik kearah jari manis Rara Wulan yang duduk
di sebelah Nyi Rara Ambarasari, hati Glagah Putih menjadi terenyuh, cincin itu
tetap melingkar dengan setia di jari manis istri tercintanya itu.
Ketika bungkusan kain itu telah terbuka dengan sempurna,
sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Lencana itu benar-benar terbuat dari emas
murni. Pada sisi yang menghadap ke arah Glagah Putih tampak sebuah lukisan yang
mirip dengan simbul Surya Majapahit, kemudian di tengah-tengahnya ada gambar
sebilah keris yang masih tersimpan dalam wrangkanya serta di bawahnya ada
gambar tiga buah bunga melati.
“Lambang ini hanya dimiliki oleh kerabat dekat Sultan
Pajang,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Tidak aneh kalau lencana ini ada
pada Mas Ngabehi Loring Pasar, karena dia adalah putera angkat Sultan Pajang
pada saat itu.”
Ketika kemudian Glagah Putih membalikkan lencana itu,
sejenak kerut merut di wajah Glagah Putih terlihat semakin dalam. Ada guratan
guratan yang tampak kurang jelas dan aneh. Guratan guratan itu tidak menunjukan
sebuah lambang apapun, bahkan tampak seperti gambar sebuah peta, terlihat
adanya simbol-simbol yang seperti menggambarkan sebuah gunung dan sungai serta
sebuah bulatan di sebelah kanan atas yang sepertinya menggambarkan sebuah
matahari. Masih ada lagi beberapa simbol yang Glagah Putih belum dapat menebak
apa maksud semua itu.
Setelah puas mengamat amati lencana itu, Glagah Putih pun
kemudian membungkus kembali lencana itu dan kemudian menyerahkannya kepada Nyi
Rara Ambarasari.
“Terima kasih, Nyi Rara telah berkenan memperlihatkan
lencana ini kepada kami,” berkata Glagah Putih setelah lencana itu diterima
oleh Nyi Rara.
Nyi Rara Ambarasari tersenyum sekilas. Katanya kemudian
sambil menimang-nimang bungkusan kain di tangannya, “Sebenarnya dengan
menunjukkan lencana ini kepada kalian berdua, tidak ada niat sebiji sawi pun
dari kami untuk mengungkit masa lalu dengan pamrih pribadi, perhatian dan cinta
kasih Mas Ngabehi Loring Pasar kepadaku pada waktu itu sudah cukup aku bawa
sebagai kenangan terindah seumur hidupku. Sedangkan kepada Teja Wulung, selalu
kutanamkan pengertian bahwa tanah palungguh yang dihadiahkan oleh Mas Ngabehi
Loring Pasar kepada Ayah Mertuaku, Ki Dukuh Cepaga mewakili anak yang masih
dalam kandunganku pada waktu itu adalah sebagai tanda bahwa yang dapat
diwarisinya hanyalah Kademangan Cepaga ini, tidak lebih dan tidak kurang.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam kemudian katanya,
”Maafkan kami Bibi, bukan maksud kami untuk mengungkit kenangan lama yang
barangkali menyakitkan hati bibi, namun kami ingin mengetahui bagaimana
kemudian Kakang Teja Wulung memakai gelar Pangeran Ranapati?”
Perempuan paro baya itu kembali berdesah panjang, seolah
olah ingin dikeluarkan semua beban yang menghimpit dada melalui desah nafasnya.
Dengan mata yang menerawang ke titik-titik di kejauhan dia menjawab pertanyaan
Glagah Putih, ”Adi Wiguna , paman dari Teja Wulung dan sekaligus adik dari
Kakang Wiraguna telah membakar hatinya dan mendorongnya untuk menuntut hak ke
istana Mataram, namun sebenarnya aku tahu niat terselubung dari Wiguna, dia
ingin warisan tanah palungguh Kademangan Cepaga ini berpindah ke tangannya,
jika Teja Wulung tidak ada.”
“Maksud bibi, sebenarnya Paman Wiguna ingin menyingkirkan
Kakang Teja Wulung?” kata Glagah Putih
“Ya ngger,” Perempuan paro baya itu menjawab sambil mengusap
titik-titik air mata yang mulai mengembang di sudut matanya, “Tidak ada satu
pun bukti yang dapat memperkuat kedudukan Teja Wulung sebagai Pangeran Mataram.
Serat kekancingan tanah palungguh Kademangan Cepaga itu pun tidak menyebut
hubungan khususku dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Sehingga tidak ada seorang
pun yang akan percaya dengan kisah hubunganku ini dengan Mas Ngabehi Loring
Pasar. ”
“Tetapi mengapa bibi menunjukkan lencana itu kepada kami dan
menceritakan hubungan yang pernah terjalin antara bibi dengan Mas Ngabehi
Loring Pasar kepada kami?” Rara Wulan yang dari tadi diam saja kelihatannya
mulai terusik.
“Angger berdua, kepada kalian aku ingin berbagi cerita,
bukan untuk membenarkan tindakan Teja Wulung, namun sebagai ungkapan
kepercayaanku kepada kalian bahwa sebenarnyalah kisah cinta itu memang pernah
ada.”
Terasa sesuatu bergetar jauh di lubuk hati Glagah Putih dan
Rara Wulan. Sebenarnyalah perempuan paro baya ini telah menanggung beban yang
sangat berat. Kecintaannya kepada Mas Ngabehi Loring Pasar telah diujudkannya
dalam bentuk kesetian yang tiada taranya, penantian yang tak berujung serta
kesediaan meratapi nasibnya dengan ikhlas.
Dalam pada itu, di rumah Ki Wiguna, telah berkumpul beberapa
bebahu Kademangan yang akan membahas pengukuhan Ki Wiguna sebagai Demang Cepaga
sepeninggal Teja Wulung yang sedang menggapai cita-citanya merintis jalan ke
istana Mataram.
Seseorang yang berperawakan pendek dengan otot otot yang
menonjol di kedua belah tangannya beringsut maju.
“Ki Wiguna,” Suaranya nyaring menarik perhatian orang orang
yang hadir di pendapa rumah Ki Wiguna, “Pengukuhan ini harus segera
dilaksanakan, jangan biarkan para bebahu terombang-ambing dengan keadaan yang
tidak menentu ini. Ingat, sudah lebih sepuluh bulan anakmas Teja Wulung
meninggalkan Kademangan ini. Apakah ada diantara kita yang diberi wewenang
untuk menggantikan tugasnya selama dia pergi?”
Semua mata memandang kearah Ki Wiguna. Tampak seleret senyum
tipis menghiasi bibir Ki Wiguna Widagda. Dengan sedikit menengadahkan wajah
sambil memperlihatkan kerut di dahi, dia menjawab, ”Ki Parta Tenaya, seandainya
tidak ada seorang pun yang diserahi untuk mengurus Kademangan ini, siapakah
yang lebih pantas menggantikannya selama dia pergi?”
“Tentu saja Ki Wiguna yang paling pantas. Bukankah tidak ada
lagi saudara yang paling dekat selain Kau sebagi pamannya. Adapun ibunya, Nyi
Rara Ambarasari tentu saja tidak akan mampu melaksanakan tugas ini.” dengan
cepat Ki Parta Tenaya menyahut.
Beberapa orang yang hadir dipendapa itu tampak
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun beberapa diantaranya masih bergeremang.
Tampaknya masih ada beberapa bebahu yang kurang sependapat dengan Ki Parta
Tenaya, namun mereka agaknya masih merasa segan untuk menyuarakan pendapat
mereka.
“Ma’afkan aku sebelumnya, Ki Wiguna,” tiba tiba seseorang
yang rambutnya sudah ubanan beringsut maju, “Bukannya aku tidak sependapat
dengan Ki Parta Tenaya, namun lebih baik pengukuhan ini ditunda terlebih dahulu
sambil menunggu keputusan yang akan diambil oleh Nyi Rara Ambarasari.”
“Aku rasa itu tidak perlu,” seseBesok tipis dan bermata agak
juling menyahut, “Nasib Kademangan ini tidak tergantung pada seorang perempuan.
Kita para laki-laki di Kademangan ini harus berani mengambil keputusan sejalan
dengan kekosongan kepemimpinan di Kademangan kita.”
Beberapa orang yang hadir di pendapa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun orang yang rambutnya sudah ubanan itu
mengerutkan keningnya dalam dalam, katanya kemudian, “Bukan maksudku untuk
mengesampingkan keberadaan para bebahu Kademangan Cepaga, namun kita harus
menyadari bahwa pewaris syah dari Kademangan Cepaga ini masih hidup. Jadi kita
tidak bisa dengan serta merta menggantinya.”
“Maksudmu?” desak Ki Wiguna.
Orang yang rambutnya sudah ubanan itu menarik nafas sejenak,
sambil mengedarkan tatapan matanya keseluruh yang hadir di pendapa itu dia
menjawab, “Aku kurang setuju dengan pengukuhan Ki Wiguna menjadi Demang Cepaga,
namun tidak ada salahnya jika kita memberikan kepercayaan kepada Ki Wiguna
selaku paman Teja Wulung untuk menjadi pemangku jabatan sementara Demang Cepaga
sambil menunggu berita dari Teja Wulung.”
“Itu tidak ada bedanya,” sela Besok tipis dan bermata agak
juling itu, “Yang penting pada saat ini kita harus segera mempunyai seorang
pemimpin yang dapat mengarahkan kepada para bebahu Kademangan serta segera
mengambil sikap terhadap perkembangan keadaan saat ini, terutama yang menyangkut
orang orang asing di Padepokan Sela Gilang.”
Sejenak orang-orang yang hadir di pendapa rumah Ki Wiguna
itu menjadi ribut. Mereka saling berebut mengemukakan pendapat yang berbeda
beda, bahkan ada diantaranya yang berteriak cukup keras sambil mengepalkan
tinjunya keatas, “Setuju! Aku setuju dengan pendapat Ki Ramban!”
“Ya..ya, aku juga setuju!” sahut yang lain.
“Tidak setuju, aku tidak setuju.!” teriak yang lain tak
kalah kerasnya.
“Setuju..!” kembali yang lain mencoba memaksakan
pendapatnya.
“Sebentar, sebentar..!” tiba tiba Ki Wiguna berteriak untuk
meredam kegaduhan itu, Setelah suara suara itu mereda, barulah Ki Wiguna
melanjutkan kata katanya, “Apapun pendapat kalian, aku dapat menarik sebuah
kesimpulan, bahwa Kademangan Cepaga harus segera memiliki seorang pemimpin,
apapun sebutannya.”
“Betuul..!” bagaikan suara guruh mereka yang hadir itu
bersorak.
“Baiklah kalau memang demikian,” suara Ki Wiguna segera
meredam kegaduhan di pendapa itu, “Kita akan segera melaksanakan pengukuhan ini
paling lambat dua hari lagi. Aku masih harus minta restu dari mbokayu
Ambarasari, bagaimanapun juga dia adalah istri Demang terdahulu, Kakang
Wiraguna saudara kandungku satu satunya. Namun Nyi Rara setuju atau tidak,
tidak akan menjadi halangan bagi kita untuk melaksanakan pengukuhan itu.”
Orang orang yang hadir di pendapa itu mengangguk anggukkan
kepala mereka. Agaknya sudah tidak ada lagi suara-suara bergeremang atau nada
nada yang akan menentang rencana pengukuhan itu.
Demikianlah, pertemuan para bebahu Kademangan Cepaga itu
segera bubar. Beberapa orang masih berbincang di pendapa, namun pada dasarnya
pertemuan itu sudah selesai dengan kesepakatan untuk melaksanakan pengukuhan Ki
Wiguna dua hari lagi.
Namun sebelum orang orang itu meninggalkan halaman rumah Ki
Wiguna, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh datangnya dua orang yang
masih terhitung muda memasuki regol halaman rumah Ki Wiguna. Dengan tenang
keduanya menyeberangi halaman sambil sesekali tersenyum dan mengangguk ke arah
orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu di halaman rumah Ki Wiguna.
Ki Wiguna mengerutkan keningnya sejenak, rasa-rasanya dia
pernah melihat dua orang muda itu siang tadi ketika dia mengunjungi rumah Nyi
Ambarasari. Kalau tidak salah mereka adalah pasangan suami istri pengembara
yang menjadi tamu di rumah mbokayunya.
“Selamat sore Ki Wiguna,” sapa Glagah Putih sambil menaiki
tlundak pendapa, “Selamat bertemu kembali. Agaknya Ki Wiguna agak lupa kepada
kami pengembara yang menjadi tamu di rumah Nyi Ambarasari.”
“Tentu tidak Ki Sanak,” jawab Ki Wiguna sambil berdiri
menyambut tamunya, “Aku sudah tahu siapa kalian berdua, orang-orang malas yang
menghambur-hamburkan waktunya dengan berjalan dari satu tempat ke tempat
lainnya, apapun tujuannya. Tapi bagiku semua itu adalah pekerjaan sia-sia,
tanpa masa depan”
Glagah putih yang serba sedikit telah mengetahui watak Ki
Wiguna dari penuturan Nyi Ambarasari itu tersenyum, dicobanya untuk menghapus
kesan tersinggung di wajahnya, kemudian jawabnya, “Kami memang sepasang
pengembara yang berjalan kemana saja langkah ini membawa kami, namun demikian
bukan berarti kami tidak mempunyai suatu keyakinan tentang apa yang kami
jalani.”
“Itu terserah kalian, bukan urusanku,” sahut Ki Wiguna
dengan nada yang sedikit keras, ”Nah, sekarang katakan apa keperluan kalian
datang kemari.”
Segera saja warna merah menjalar di wajah Rara Wulan. Kalau
saja Glagah Putih tidak menggamitnya, tentu sudah meluncur kata-kata pedas dari
mulutnya untuk mengimbangi ucapan tuan rumah yang tidak mengenal unggah
ungguh-dalam menerima mereka sebagai tamunya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gelora yang
bergejolak di dadanya, Glagah Putih mencoba menjawab dengan sareh, “Maafkan
kami berdua Ki Wiguna, sesungguhnya kami kemari atas permintaan Nyi Rara
Ambarasari untuk menemui Ki Wiguna.”
Dada Ki Wiguna berdesir tajam. Setiap kali ada orang
menyebut nama Rara Ambarasari, selalu saja ada perasaan gelisah di hatinya.
Rasa rasanya ada yang kurang mapan dengan nama itu. Seandainya mungkin, dia
ingin nama itu tidak pernah lagi disebut sebut oleh orang orang Kademangan
Cepaga.
“Ki Wiguna,” tiba tiba seseorang yang rambutnya sudah hampir
putih semua namun masih tampak kokoh berdesis perlahan lahan di belakang Ki
Wiguna, “Apakah tidak sebaiknya mereka dipersilahkan duduk dulu?”
Sambil berpaling perlahan lahan Ki Wiguna menyahut, “Apakah
itu memang perlu, Ki Lajuwit?”
“Kita tidak boleh meninggalkan suba sita dalam menerima
seorang tamu, Ki Wiguna, betapapun ujud lahiriahnya.” berkata Ki Lajuwir
Ki Wiguna mengerutkan keningnya, sejenak diedarkan tatapan
matanya keseluruh sudut halaman rumahnya. Beberapa orang tampaknya telah
mengurungkan niatnya untuk meninggalkan halaman rumah Ki Wiguna. Agaknya mereka
pun ingin mengetahui kepentingan apakah yang akan disampaikan Nyi Rara
Ambarasari melalui sepasang suami istri pengembara itu.
“Ki sanak berdua,” Akhirnya suara Ki Wiguna memecahkan
kebekuan itu, “Marilah, silahkan duduk dulu. Kelihatannya aku harus meluangkan
waktu sejenak untuk mendengarkan pesan mbokayu Rara Ambarasari yang dititipkan
kepada kalian berdua”
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan,
namun mereka pun kemudian melangkah ke tengah-tengah pendapa yang telah
dibentangi tikar pandan yang putih bersih. Ki Wiguna dan beberapa bebahu yang
masih ada di pendapa itu pun segera duduk menebar mengitari Glagah Putih dan
Rara Wulan.
Setelah membetulkan letak kain panjangnya serta ikat
kepalanya, Glagah Putih pun bergeser setapak menghadap penuh ke arah Ki Wiguna,
kemudian katanya, ”Ki Wiguna, kedatangan kami berdua kemari sesungguhnya
mengemban tugas dari Nyi Rara Ambarasari untuk menyampaikan pesan kepada Ki
Wiguna sehubungan dengan permasalahan yang telah Ki Wiguna sampaikan kepada Nyi
Rara Ambarasari di rumahnya menjelang Matahari tergelincir siang tadi.”
“Katakan,” sergah Ki Wiguna tidak sabar, “Masih banyak
pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Aku tidak mempunyai cukup waktu
untuk mendengarkan dongengan kalian.”
“Kami tidak sedang mendongeng!” tiba tiba Rara Wulan yang
sudah menahan diri sedari tadi menyela dengan suara keras, “Kami berdua adalah
duta pamungkas dari Nyi Rara Ambarasari. Kami diberi kewenangan mutlak untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul di Kademangan Cepaga ini.”
“Tutup mulutmu,” bentak Ki Wiguna tak kalah keras, “Yang
terjadi ini adalah urusan penduduk Kademangan Cepaga, orang luar tidak boleh
mencampuri urusan ini.”
“Aku tidak peduli!” suara Rara Wulan tinggi melengking,
“Disini telah terjadi ketidak adilan dan pengambilan hak orang lain dengan cara
curang. Kami tetap pada pendirian kami, memperjuangkan hak Nyi Rara Ambarasari
yang akan kau telan.”
“Diam kau perempuan Iblis,” geram Ki Wiguna sambil
menghentakkan kepalan tangannya ke lantai, “Sekali lagi aku peringatkan. Jangan
ikut campur dengan masalah Kademangan Cepaga. Kami sudah cukup dewasa untuk
menyelesaikan masalah ini. Lebih baik kalian segera pergi dari sini dan
menyelesaikan urusan kalian sendiri.”
Diam-diam Glagah Putih merasa gelisah dengan perkembangan
keadaan yang tidak terkendali ini. Dia sangat menyayangkan Rara Wulan yang
mudah terpancing oleh sikap dan perilaku Ki Wiguna. Padahal kedatangan mereka
ke rumah Ki Wiguna ini untuk mengemban pesan perdamaian dari Nyi Rara
Ambarasari, ibunda Pangeran Ranapati.
“Ma’afkan istriku ini Ki Wiguna,” dengan cepat Glagah Putih
berusaha mengembalikan suasana yang mulai memanas itu, “Pesan Nyi Rara
Ambarasari yang dititipkan kepada kami adalah untuk kepentingan masa depan
Kademangan ini sendiri. Kami berdua hanya membantu menyampaikan pesan itu,
tidak lebih dan tidak kurang.”
Ki Wiguna yang sudah terlanjur merah padam wajahnya itu
untuk sejenak bagaikan membeku. Pengaruh nama Rara Ambarasari itu masih saja
seperti bayang-bayang hantu yang memburunya kemana dia bersembunyi. Jauh di
lubuk hatinya dia tidak dapat mengingkari, Rara Ambarasari adalah Putri triman
dari Panembahan Senapati yang dimasa mudanya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar
kepada kakak kandungnya, Ki Wiraguna. Ada setitik rasa penyesalan, mengapa
justru kakaknya yang dipilih oleh Mas Ngabehi Loring Pasar pada waktu itu untuk
menerima Putri triman? Bukan dirinya yang juga telah lama menaruh hati kepada
Endang Mintarsih, satu-satunya Endang yang tinggal di Padepokan Sela Gilang,
jauh sebelum kedatangan Jaka Suta dan pamannya di Padepokan itu.
Sementara itu Matahari sudah semakin condong ke barat.
Cahayanya yang kuning suram jatuh di pucuk-pucuk dedaunan memantulkan
warna-warna yang buram. Seorang pelayan di rumah Ki Wiguna tampak sedang
membawa sebuah bumbung berisi minyak klentik dari arah kanan pendapa. Agaknya
pelayan itu akan mengisi lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa,
namun begitu disadarinya masih banyak tamu yang duduk-duduk di pendapa, segera
saja langkahnya surut kembali ke belakang.
“Baiklah,” akhirnya suara Ki Wiguna menurun, “Sampaikan saja
pesan dari mbokayu Rara Ambarasari. Tidak kurang dan tidak lebih.”
Hampir saja Rara Wulan akan menjawab kalau saja Glagah Putih
tidak menyentuh lambung istrinya itu dengan sikunya, kemudian cepat-cepat
Glagah Putih berkata, “Terima kasih Ki Wiguna, Nyi Rara Ambarasari tidak
berkeberatan seandainya Ki Wiguna mengambil alih sementara pimpinan di
Kademangan Cepaga ini selama Ki Teja Wulung belum kembali. Namun dalam setiap
permasalahan yang timbul di Kademangan ini, Nyi Rara menghendaki dirinya
dilibatkan.”
Sejenak kerut merut di muka Ki Wiguna tampak semakin dalam.
Sambil menghela nafas panjang dia menjawab, “Itu sama saja tidak mempercayai
aku untuk memimpin Kademangan ini. Mengapa aku masih harus meminta pertimbangan
kepada seorang perempuan? Walaupun dia adalah ibu Teja Wulung, Demang yang
terdahulu.”
“Bukan begitu maksud Nyi Rara, Ki Wiguna,” sela Glagah
Putih, “Bagaimanapun juga Nyi Rara adalah ibunda dari Ki Teja Wulung. Semua
orang-orang tua di Kademangan ini tahu pasti bahwa Nyi Rara adalah putri triman
yang mendapatkan tanah palungguh Kademangan ini.”
“Aku lebih tahu dari semua orang-orang tua yang ada di
Kademangan ini,” sahut Ki Wiguna cepat, “Aku adalah saksi hidup pada saat
kakang Wiraguna menerima putri triman dari Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun satu
hal yang harus dipertimbangkan, sepeninggal Teja Wulung yang sedang merintis
jalan ke istana Mataram, siapakah yang paling pantas menggantikannya sebagai
Demang Cepaga?”
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat saling berpandangan.
Memang tidak ada orang lain yang pantas menggantikan Teja Wulung selain
pamannya sendiri, sedangkan Nyi Rara Ambarasari jelas tidak mungkin mengambil
alih pimpinan Kademangan Cepaga menilik sikap kebanyakan dari para bebahu
Kademangan yang tidak ingin diperintah oleh seorang perempuan.
“Nah, semuanya sudah jelas,” kembali Ki Wiguna berkata
dengan nada yang dalam, “Dalam waktu dua hari lagi, para bebahu Kademangan akan
mewisuda aku menjadi pemimpin Kademangan yang baru, terserah sebutan apa yang
akan mereka gunakan, pemangku sementara, atau bahkan Demang sekalipun aku tidak
peduli. Yang jelas Kademangan ini harus segera mempunyai seorang pemimpin.”
“Namun sebaiknya pendapat Nyi Rara Ambarasari
dipertimbangkan agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara kita di kemudian
hari.” Glagah Putih masih mencoba mengajukan pendapatnya.
“Aku tidak peduli,” geram Ki Wiguna, “Terserah apa pendapat
Mbokayu menghadapi masalah ini. Kalian sebagai utusan Nyi Rara, sampaikan
keputusanku ini apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang.”
Glagah Putih harus menekan ibu jari Rara Wulan yang duduk di
sebelahnya agar tidak menjawab kata-kata Ki Wiguna. Lebih baik mereka segera
kembali ke kediaman Nyi Rara Ambarasari dan menyampaikan hasil pertemuan mereka
dengan Ki Wiguna tanpa harus mengalami keributan yang tidak perlu.
“Baiklah Ki Wiguna,” akhirnya Glagah Putih pun meminta diri,
“Kami akan kembali dan menyampaikan keputusan Ki Wiguna ini kepada Nyi Rara,
tidak lebih dan tidak kurang.”
Selesai berkata demikian, Glagah Putih segera bangkit dari
tempat duduknya diikuti oleh Rara Wulan. Ketika kemudian Ki Wiguna dan para
bebahu yang hadir di situ ikut berdiri, sekali lagi Glagah Putih mohon diri
sambil menganggukkan kepalanya, “Kami mohon diri, Ki Wiguna.”
“Silahkan,” jawab Ki Wiguna acuh tak acuh.
Sejenak kemudian sepasang suami istri itu pun telah menuruni
tlundak pendapa kemudian berjalan melintasi halaman rumah Ki Wiguna yang cukup
luas di bawah pandangan mata Ki Wiguna dan para bebahu Kademangan. Sedangkan di
langit, Matahari sudah semakin condong ke barat, namun demikian senja belum
juga menjelang.
—oOo—
Dalam pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Singa Wana
Sepuh yang lebih senang dipanggil Ki Ageng Sela Gilang sedang dalam perjalanan
menyusuri sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi setelah keluar dari wilayah
Kadipaten Panaraga. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk tidak memasuki
kota Panaraga agar perjalanan mereka tidak terganggu oleh para telik sandi baik
dari Mataram maupun Panaraga.
Mereka berdua segera mempercepat langkah mereka ketika di
langit Matahari sudah bergeser jauh ke barat. Beberapa hutan yang lebat dan
liar telah mereka lalui tanpa ada suatu halangan yang berarti. Bagi kedua orang
yang sudah mempelajari ilmu lahir maupun batin hampir sampai tuntas itu,
rintangan alam seberat apapun tidak banyak memberikan kendala. Tubuh-tubuh
mereka sudah terlatih untuk menghadapi keadaan yang berat sekalipun, sementara
hati mereka bagaikan selembar baja yang tangguh dan tanggon.
Ketika kemudian mereka berdua menuruni sebuah lembah yang
tidak begitu curam yang terdapat sebuah sungai yang mengalir jernih diantara
kelokan-kelokan lembah itu, mereka pun memutuskan untuk mengikuti saja aliran
sungai itu.
Demikianlah ketika kedua orang itu menyusuri aliran sungai
yang semakin lama semakin deras arusnya serta tebing-tebing di sisi-sisinya
semakin terjal, mereka pun akhirnya memilih untuk naik ke tepian dan berjalan
di atas tebing sambil mencoba mencari jalan pintas yang lebih dekat untuk
menuju padukuhan yang terdekat sebelum malam tiba.
Ketika warna-warna senja mulai menghiasi langit sebelah
barat, kedua orang itu telah mendekati sebuah padukuhan yang sepi di seberang
padang rumput yang tidak begitu luas di pinggir hutan yang membujur dari arah
utara ke selatan.
Padukuhan itu sama sekali tidak mempunyai pintu gerbang,
apalagi pagar batu yang tinggi sebagai pembatas dan pengamanan terhadap
serangan binatang buas yang mungkin keluar dari hutan yang masih cukup liar.
Hanya sebuah tugu dari batu yang setinggi orang dewasa menandai bahwa mereka
telah memasuki padukuhan Panjer Bumi, nama padukuhan yang terpahat di tugu batu
itu.
Untuk sejenak Ki Rangga dan Ki Ageng masih mengamat-amati
tugu itu di bawah bayang-bayang senja yang muram. Menilik bentuk dan warnanya,
tugu pembatas itu sudah lama dibuat dan ditempatkan di situ entah sejak kapan,
namun ada hal yang aneh, tulisan padukuhan Panjer Bumi yang terpahat di tugu
batu itu kelihatannya baru dibuat karena masih jelas terlihat bekas-bekas
pahatannya dan sepertinya dibuat dengan sangat tergesa-gesa.
Setelah puas mengamat-amati tugu pembatas itu, mereka berdua
pun kemudian segera melangkahkan kaki memasuki padukuhan yang terasa sangat
aneh dan asing itu.
Sepanjang perjalanan, di bawah bayangan senja yang mulai
menghiasi langit sebelah barat, serta cahaya redup kemerah-merahan yang jatuh
di jalan-jalan berbatu yang mereka lewati, tampak di sebelah menyebelah jalan,
sawah-sawah dan parit-parit yang tak terurus. Sawah-sawah itu dulunya pasti
subur dengan tanaman padi yang menghijau. Namun sekarang dibiarkan saja dalam
keadaan bera dan yang tampak hanyalah rumput dan semak belukar yang tumbuh liar
di mana-mana, sedangkan parit-parit itu memang masih mengalirkan air namun di
beberapa bagian tampak tertahan oleh onggokan tanah-tanah yang longsor dari
pematang-pematang yang jebol. Sebuah gubuk yang sudah roboh dan teronggok
diantara petak-petak sawah yang kering menambah pemandangan semakin memilukan.
“Agaknya padukuhan ini sudah lama ditinggal penghuninya,”
desis Ki Ageng sambil melanjutkan langkahnya.
Ki Rangga yang berjalan di sebelahnya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali melemparkan pandangan matanya ke
arah deretan sawah-sawah yang terbengkalai.
“Aneh..,” tiba-tiba saja tanpa disadarinya Ki Rangga
berguman.
Ki Ageng sejenak menghentikan langkahnya mendengar gumam Ki
Rangga. Katanya kemudian, “Apakah yang aneh, Ki Rangga?”
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian ikut menghentikan
langkahnya. Sambil berpaling ke arah tugu batu berpuluh langkah di belakang
mereka, dia berkata, “Tugu itu yang aneh. Seandainya benar padukuhan ini telah
lama ditinggalkan oleh penghuninya, mengapa tulisan yang terpahat pada tugu itu
masih kelihatan baru?”
Ki Ageng Sela Gilang tertegun. Apa yang dikatakan Ki Rangga
memang ada benarnya. Namun siapakah yang telah melakukan semua itu? Sepertinya
seseorang dengan sengaja telah menghapus pahatan yang lama dan menggantinya
dengan yang baru, yang entah untuk tujuan apa.
“Marilah,” akhirnya Ki Ageng berkata sambil mengayunkan
langkahnya kembali, “Kita segera mengetahui semua teka-teki ini setelah
memasuki padukuhan itu.”
Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu itu
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dirinya bukanlah seorang pengecut yang
tidak berani menghadapi setiap mara bahaya, namun panggraitanya yang tajam
telah memperingatkan akan adanya suatu hal yang dapat membahayakan jiwa mereka.
“Aku telah terpengaruh oleh ilmu Ki Waskita,” berkata Ki
Rangga Agung Sedayu dalam hati sambil menyusul langkah Ki Ageng, “Sebenarnya
secara sengaja aku belum pernah menyentuh ilmu itu sama sekali untuk tujuan
mendalaminya, walaupun ilmu itu masih terpahat dalam dinding ingatanku. Namun
kadang-kadang untuk menjaga kesegaran ingatanku tentang isi kitab Ki Waskita,
dalam waktu-waktu luang aku menghafal kembali urutan ilmu-ilmu itu, dan agaknya
tanpa sengaja aku selalu tertarik untuk mengulang ulang bagian dari ilmu yang
dapat mempertajam panggraita seseorang itu.”
Tak terasa langkah kedua orang yang telah banyak mengenyam
asam garamnya ilmu agal maupun alus itu telah mencapai gardu penjagaan yang
terdepan dari padukuhan Panjer Bumi.
Gardu itu keadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Atapnya
sudah hilang entah kemana. Dindingnya yang terbuat dari batu sudah mulai retak
di sana sini, sementara lantainya yang dibuat agak tinggi dan dilapisi oleh
papan-papan kayu tampak sudah keropos habis dimakan rayap.
Sementara itu langit sudah mulai menghitam. Suasana
benar-benar mencekam. Tidak ada setitik pun sinar pelita yang meluncur keluar
dari sela-sela dinding kayu dari rumah-rumah yang berada di ujung jalan dekat
gardu itu. Benar-benar sebuah malam yang kelam di sebuah padukuhan yang
menyeramkan.
“Ki Rangga,” tiba-tiba Ki Ageng berbisik, “Apakah kita akan
memasuki Padukuhan ini di malam hari?”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sambil
mengedarkan pandangan matanya kearah rumah-rumah di ujung jalan itu dia
menjawab, “Apakah keberatannya memasuki padukuhan ini di malam hari? Justru
lebih mudah mencari rumah yang berpenghuni di malam hari dari pada di siang
hari di padukuhan yang sepi ini.”
“Maksud Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng.
“Rumah yang berpenghuni pasti memerlukan lampu. Sinarnya
akan dapat menembus di sela-sela dinding-dinding kayu dan dapat memberikan
petunjuk kepada kita kemana kita harus mencari tempat bermalam.”
Ki Ageng Sela Gilang tersenyum tipis sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya kemudian, “Namun di sisi lain, memasuki
padukuhan yang belum kita kenal sama sekali apalagi di malam hari adalah sebuah
tindakan yang cukup gegabah, kecuali itu memang sudah menjadi bagian dari
rencana kita untuk memancing dan mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
“Ya,” sahut Ki Rangga, “Dan memang harus ada yang
dikorbankan dalam situasi seperti itu agar kita mendapat gambaran yang
mendekati kenyataan yang sebenarnya sehingga kita dapat menentukan
langkah-langkah selanjutnya.”
Keduanya sejenak terdiam sambil merenungi deretan
rumah-rumah di ujung jalan itu yang tampak seperti gundukan-gundukan hitam
tanpa ada secercah cahaya pun.
“Marilah, Ki Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian
sambil mengayunkan langkahnya, “Setidaknya masih ada bulan sepotong yang dapat
menerangi perjalanan kita malam ini.”
“Ah..,” Ki Ageng tertawan tertahan, “Seorang Rangga Senapati
Agul-agulnya Mataram masih membutuhkan bantuan sepotong cahaya rembulan untuk
menyusuri gelapnya malam? Bagaimana dengan orang tua yang sudah rabun seperti
aku ini? Berpuluh-puluh obor pun rasanya masih kurang terang untuk menerangi
jalanku ini.”
Ki Rangga tertawa pendek, katanya kemudian, “Itu tidak
perlu, karena obor-obor itu sudah terdapat pada kedua mata Ki Ageng, sehingga
di gelapnya malam, kedua mata Ki Ageng akan bercahaya bagaikan mata seekor
kucing candra mawa.”
“Ah, celakalah aku,” gerutu Ki Ageng, “Sudah setua ini aku
malah disamakan dengan seekor kucing, padahal dulunya aku seekor singa.”
Segera saja derai tawa kedua orang itu memenuhi udara malam
yang sepi. Namun tawa kedua orang itu bagaikan terputus ditengah jalan ketika
tiba-tiba saja pendengaran mereka yang melebihi ketajaman pendengaran
orang-orang kebanyakan itu lamat-lamat mendengar jerit seorang perempuan.
Sejenak keduanya bagaikan membeku. Mereka berusaha
meyakinkan apa yang baru saja mereka dengar. Sebuah jerit perempuan di sebuah
Padukuhan yang kosong tak berpenghuni.
Mereka berdua mencoba untuk mengingat arah dari mana jerit
itu berasal, namun agaknya mereka mengalami kesulitan karena memang suara itu
sangat jauh dan mereka tidak sedang memusatkan nalar dan budi pada saat jeritan
itu terjadi.
Untuk beberapa saat mereka masih berdiam diri sambil
memusatkan segenap ilmu yang mereka miliki, aji sapta pangrungu, agar apabila
jerit itu terdengar lagi, mereka sudah dapat menduga dari arah mana datangnya
suara itu.
Agaknya mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, ketika
jeritan itu sekali lagi terdengar lamat-lamat di kejauhan, bagaikan sudah
berjanji, keduanya segera mengerahkan kemampuan mereka untuk berlari cepat
bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur menembus malam yang
pekat melintasi jalan-jalan berbatu mengarah ke sebelah selatan Padukuhan
Panjer Bumi.
Sepanjang perjalanan, Ki Rangga Agung Sedayu telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghilangkan bobot tubuhnya sehingga
dia berlari seolah olah tidak menyentuh tanah sebagaimana yang telah
dipelajarinya dari kitab Ki Waskita dan telah ditekuninya pada saat dia berada
di goa atas petunjuk Pangeran Benawa untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya
menghadapi racun sekeras apapun dengan cara meminum air yang mengalir di dalam
goa tersebut. Namun waktu luang yang didapatkannya di dalam goa itu telah
dimanfaatkan untuk menekuni salah satu ilmu dari isi kitab Ki Waskita.
Sementara Ki Ageng Sela Gilang, walaupun secara kewadagan
dia jauh lebih tua dari Ki Rangga Agung Sedayu, namun orang tua itu seakan-akan
selalu berada di samping Ki Rangga, betapapun Ki Rangga telah mengerahkan
kemampuannya sampai ke puncak.
“Aji Sepi Angin,” desis Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati.
Demikianlah kedua orang itu seolah-olah sedang berlomba satu
sama lainnya. Ki Ageng Sela Gilang yang sudah tua itu sebenarnya harus memeras
segenap tenaganya. Dia tidak tahu sampai kapan dia akan dapat bertahan jika Ki
Rangga Agung Sedayu masih saja mengerahkan kemampuan puncaknya. Ketika
pandangan mata kedua orang itu kemudian dapat menangkap titik-titik cahaya yang
berkedip-kedip dari sebuah rumah besar yang berada di ujung jalan yang sedang
mereka lalui, Ki Rangga Agung Sedayu pun mulai mengendorkan langkahnya sehingga
Ki Ageng Sela Gilang pun dapat bernafas lega.
Sejenak kemudian dengan langkah yang penuh kewaspadaan
keduanya pun mendekati satu-satunya rumah yang memancarkan sinar kehidupan
diantara deretan rumah-rumah yang gelap gulita bagaikan sarang hantu. Rumah itu
cukup besar dengan dikelilingi oleh pagar yang tinggi. Sinar lampu itu ternyata
berasal dari sebuah dlupak yang digantung di sebelah kanan regol.
Dua orang penjaga tampak hilir mudik di depan regol sambil
menjinjing tombak panjang. Sementara di dalam gardu penjagaan yang terletak di
sebelah kanan regol, beberapa pengawal sedang duduk-duduk beristirahat sambil
bermain macanan atau mungkin mul-mulan.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang segera
merapatkan diri mereka pada sebuah pohon mahoni yang tumbuh besar di kanan
jalan. Dari arah itu mereka dapat mengamati regol yang kelihatannya dijaga
cukup ketat.
“Bagaimana, Ki Ageng?” desis Ki Rangga perlahan-lahan.
“Sebaiknya kita masuk melalui pohon jambu itu,” jawab Ki
Ageng sambil menunjuk ke arah dinding sebelah kiri. Sebuah pohon jambu air yang
lebat daun dan buahnya tampak tumbuh di dekat dinding sebelah kiri rumah itu.
Cabang cabangnya yang berdaun rimbun sebagian menjulur keluar dinding sehingga
memungkinkan bagi kedua orang itu untuk meloncati dinding tanpa ketahuan oleh
para penjaga.
Ketika kedua penjaga regol itu hampir bersamaan berjalan
membelakangi mereka, tanpa aba-aba keduanya pun melenting bagaikan dua ekor
belalang dan mendarat di sebelah kiri dinding yang memagari rumah itu tanpa
menimbulkan bunyi sedikitpun.
Untuk sejenak mereka berdua masih berdiam diri sambil
melekat di dinding. Ketika mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sedang
memperhatikan gerak gerik mereka, dengan sebuah isyarat, Ki Rangga Agung Sedayu
pun segera melenting hinggap di atas dinding dalam keadaan tengkurap di bawah
bayang-bayang rimbunnya daun jambu air.
Ki Ageng yang masih tinggal di bawah dinding sejenak masih
mengamati keadaan, ketika sekali lagi Ki Rangga memberikan isyarat dengan
menjentikkan ujung ibu jarinya dengan ujung jari tengah, Ki Ageng pun segera
melenting ke atas dinding dan hinggap di atas dinding dalam keadaan berjongkok
di sebelah Ki Rangga.
“He..!” bisik Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berjongkok? Nanti
bisa terlihat oleh penjaga.”
“Bukankah kita berada di bawah bayang-bayang rimbunnya pohon
jambu air ini?” selesai berkata demikian tanpa sadar Ki Ageng meraih sedompol
jambu air yang ada di depannya yang sudah berwarna merah matang. Dengan
lahapnya satu persatu buah jambu air itupun dimakannya. Alangkah segarnya.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Walaupun Ki Rangga adalah seorang yang mumpuni dalam olah
kanuragan serta mempunyai kemampuan untuk menyerap segala bentuk bunyi yang ada
di sekitarnya, namun sebagai seorang prajurit, dia tidak pernah meninggalkan
kewaspadaan. Berbeda dengan Ki Ageng Sela Gilang, dia adalah petualang sejati
di masa mudanya, sehingga tingkahnya kadang-kadang ada sedikit rasa sombong dan
terlalu percaya dengan kekuatan sendiri.
Untuk sejenak mereka berdua masih dalam keadaannya masing
masing. Ki Rangga Agung Sedayu yang masih menelungkup di atas dinding pagar itu
akhirnya perlahan lahan bangkit dan ikut berjongkok di sisi Ki Ageng Sela
Gilang.
Mereka berdua masih mencoba mendengarkan setiap bunyi yang
timbul dari sekitar rumah itu, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ada suatu
pertemuan atau seseorang sedang dalam keadaan gawat, bahkan jeritan itu pun
seakan telah hilang ditelan bumi.
“Marilah,” geram Ki Ageng, “Aku sudah muak dengan segala
permainan ini. Lebih baik kita datang dengan beradu dada dan menanyakan apa
yang sebenarnya telah terjadi sehubungan dengan sura jeritan perempuan yang
kita dengar tadi.”
Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja Ki Ageng telah
meloncat turun dengan mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk mengguncang
bumi.
Begitu kaki Ki Ageng menyentuh tanah, segera saja bumi
bergonjang bagaikan ada seribu gempa bumi menjadi satu. Ki Rangga Agung Sedayu
yang masih berjongkok di atas dinding pagar itu pun dapat merasakan
guncangannya yang dahsyat.
“Luar biasa,” desis Ki Rangga dalam hati, “Guru Pangeran
Ranapati ini memang luar biasa dan selebihnya adalah sikap dan tindakannya yang
kadang kadang sulit untuk diduga.”
Sebenarnya ada keinginan dari Ki Rangga Agung Sedayu untuk
menunjukkan kelebihannya sebagaimana yang telah diperbuat oleh Ki Ageng Sela
Gilang, namun niat itu segera diurungkannya ketika lamat-lamat Ki Rangga
mendengar suara gaduh yang berasal dari arah gardu penjagaan di depan rumah
itu.
Hanya beberapa saat saja halaman samping kiri rumah itu
sudah penuh dengan orang orang yang bersenjata. Mereka berusaha mengepung
kedudukan Ki Ageng Sela Gilang yang dengan tenangnya melangkah satu satu
mendekat ke arah rumah itu.
“Berhenti..!” bentak seorang pengawal yang berperawakan
tinggi besar dengan jambang dan kumis yang lebat, sedangkan jenggotnya
dibiarkan saja tumbuh liar menjuntai sampai dada.
Ki Ageng Sela Gilang sama sekali tidak menahan langkahnya.
Dengan tenangnya dia berjalan selangkah demi selangkah mendekati rumah itu dari
arah samping kiri.
Pengawal yang berjambang lebat dan berjenggot liar itu
tampak tersinggung dengan sikap Ki Ageng. Ketika langkah Ki Ageng sudah hampir
mencapai dua langkah saja di depannya, sambil mengacukan sebilah pedang yang
cukup besar ke arah dada Ki Ageng, dia pun sekali lagi membentak dengan kasar,
“Berhenti..! Atau kulubangi dadamu dengan pedangku ini he..tua bangka.”
Namun alangkah terkejutnya mereka yang ada di halaman itu
ketika dengan sekali renggut saja, pedang yang cukup besar dan panjang milik
pengawal yang berjambang dan berjenggot liar itu sudah berpindah tangan.
Kemudian tanpa mengucap sepatah kata pun, Ki Ageng Sela Gilang dengan gerakan
cepat yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata biasa, pedang itu telah
terbenam menembus dada pengawal itu.
Sebuah teriakan keras dan umpatan kasar segera meluncur dari
mulut pengawal yang berjambang dan berjenggot liar itu. Sejenak tubuhnya
terhuyung huyung ke belakang sambil kedua tangannya mendekap erat dadanya yang
tertembus pedangnya sendiri. Namun kemudian nyawanya benar-benar sudah tidak
tertolong lagi. Tubuhnya yang tinggi besar itu pun jatuh terlentang bersimbah
darah.
Peristiwa itu berlangsung dengan cepat di hadapan sekian
banyak orang yang sedang mengepung Ki Ageng Sela Gilang, namun mereka tidak
dapat berbuat banyak untuk menolong temannya yang malang itu. Mereka benar
benar terpesona dengan kecepatan dan kekuatan gerak dari Ki Ageng Sela Gilang.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyaksikan langsung peristiwa
itu dari atas dinding pagar, hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Itulah
sifat sebenarnya dari Ki Ageng Sela Gilang yang di masa mudanya bergelar Ki
Singa Wana yang merajai hutan hutan di lereng Merapi dan Merbabu.
“Nah,” berkata Ki Ageng Sela Gilang sambil bertolak
pinggang, “Siapa lagi yang mau mencari mati? Aku dengan senang hati akan
membantu keinginan kalian itu.”
Orang orang yang mengepungnya hanya diam membeku, namun
mereka tidak mengendorkan kepungannya sama sekali, bahkan mereka telah membuat
barisan yang berlapis-lapis dengan pedang, tombak dan berjenis senjata yang
lain teracu kearah Ki Ageng siap untuk meranjamnya.
Suasana benar benar sangat mencekam. Ketika Ki Ageng Sela
Gilang melangkah kedepan satu langkah, kepungan itu pun bergeser selangkah
mundur, namun mereka benar benar tidak mau mengendorkan kepungan mereka.
“Selamat datang Ki Singa Wana Sepuh, Guru Pangeran
Ranapati,” tiba tiba terdengar suara berat dan dalam dari arah depan.
Segera saja para pengawal yang mengepung Ki Ageng Sela
Gilang menyibak. Tampak dua orang yang mempunyai wajah bak pinang dibelah dua
berjalan dengan tegap diiringi oleh seorang perempuan yang masih cukup muda,
berwajah cantik dan manis namun ada kesan kejam yang tersirat dari setiap
senyuman dan lirikan matanya.
Dua orang yang berjalan di depan itu memang saudara kembar.
Umurnya sudah lewat setengah abad tapi masih kelihatan gagah dan kuat. Otot-ototnya
tampak menonjol disepanjang kedua belah lengannya. Sedangkan bahunya yang lebar
dengan leher yang kokoh dan agak panjang menurut ukuran wajar itu menopang
sebuah kepala dengan seraut wajah yang mirip dengan wajah seekor serigala.
“Kiranya Ki Brahmuka dan Ki Gohmuka dari perguruan Tal
pitu,” berkata Ki Ageng Sela Gilang, “Semenjak perguruan itu hancur karena
pokal pemimpinnya sendiri, Ki Ajar Tal Pitu, kalian berdua yang menjadi murid
luar perguruan Tal Pitu telah mencoba membangun kembali kejayaan perguruan Tal
Pitu.”
“Kau benar, Ki Singa Wana Sepuh,” berkata salah satu dari
kedua orang kembar itu, “Berbekal dendam setinggi langit dan sedalam lautan,
kami berdua telah membangun kembali kejayaan perguruan Tal Pitu, bukan hanya
membangun tempat tinggal untuk para cantrik dan penghuni padepokan, namun lebih
dari itu kami telah berhasil mengungkap kembali ilmu warisan perguruan Tal Pitu
dan sekaligus menyempurnakannya.”
Ki Ageng Sela Gilang mengangguk anggukkan kepalanya,
sementara Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berjongkok di atas pagar, tertegun
sejenak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau di Padukuhan Panjer Bumi yang
sepi ini akan bertemu dengan murid Ki Ajar Tal Pitu yang telah dibunuhnya dalam
perang tanding di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu.
Beberapa saat Ki Rangga Agung Sedayu masih belum dapat
mengambil sikap. Dia sadar sepenuhnya bahwa dendam yang dimaksud oleh murid
murid perguruan Tal Pitu itu adalah dirinya. Dia tidak akan menghindar walaupun
akibat yang akan diterimanya mungkin akan sangat pahit. Namun sejauh yang dapat
dilakukannya, Ki Rangga selalu berusaha untuk menyuarakan kedamaian dalam
setiap langkahnya.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Ki Rangga Agung
Sedayu memutuskan untuk hadir dan menampakkan dirinya. Namun alangkah
terkejutnya Ki Rangga Agung Sedayu ketika baru saja dia beringsut untuk
meloncat turun dari atas pagar, salah satu dari saudara kembar itu telah
menunjuk ke arah tempatnya bersembunyi dan berkata lantang, “Dan kau yang
bersembunyi di balik bayang-bayang pohon jambu, umurmu tinggal malam ini. Lebih
baik Kau segera turun dan minta ampun kepada kami, agar kami dapat
mempertimbangkan cara yang palih mudah dan ringan untuk membunuhmu.”
Bergetar dada Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kata kata
dari salah seorang yang berwajah mirip serigala itu. Pada dasarnya dia adalah
orang yang luruh dan rendah hati, namun dalam perjalanan hidupnya yang penuh
gejolak dan terutama keterikatan dirinya dalam bidang keprajuritan selama ini
sehingga memperoleh pangkat seorang Rangga, sedikit banyak telah mempengaruhi
kepribadiannya dalam mengambil sikap dan keputusan.
Sejenak suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang
mengeluarkan kata-kata, bahkan untuk menggerakkan ibu jari kaki saja para
pengawal yang mengepung halaman samping rumah itu tidak berani.
Tiba-tiba orang orang yang ada di halaman samping rumah itu
dikejutkan oleh angin yang bertiup dan berputar cepat disertai dengan kabut
yang tipis namun cukup pekat dan padat. Sejenak kabut tipis itu masih
berputaran di atas halaman samping rumah itu sebelum akhirnya meluncur turun.
Ternyata kabut yang berputar cepat itu telah meluncur turun dan jatuh
berputaran di sebelah Ki Ageng Sela Gilang.
Belum hilang rasa terkejut orang orang yang hadir disitu,
tiba-tiba saja kabut yang berputar itu perlahan lahan memudar dan hilang
tertiup angin malam. Sebagai gantinya, telah berdiri dengan kokoh disamping Ki
Ageng Sela Gilang, seorang yang tangguh tanggon, pinunjul ing apapak, agul
agulnya para parajurit Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.
“Permainan kanak-kanak,” geram Brahmuka yag ternyata
berperawakan lebih kurus dari Gohmuka, “Jangan berharap ilmu kabutmu itu akan
menggetarkan hati kami. Kesalahan dari Ajar Tal Pitu tidak akan terulang pada
kami, kami tidak menggantungkan kekuatan pada sinar bulan atau apapun yang ada
di sekitar kami, namun kami meletakkan dasar kekuatan ilmu kami atas latihan
dan laku yang berat dan terlebih lagi adalah keyakinan kami atas apa yang telah
kami jalani selama ini.”
“Bagus,” tiba tiba saja Ki Ageng Sela Gilang tertawa pendek
sambil bertepuk tangan, “Sudah lama aku tidak menyaksikan sebuah benturan ilmu
olah kanuragan dari orang-orang berilmu tinggi. Tapi apakah kalian akan
mengeroyok Ki Rangga Agung Sedayu? Itu rasanya tidak adil. Seharusnya kalian
memberi kesempatan kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk memilih salah satu
diantara kalian sebagai lawannya.”
Diam-diam Ki Rangga mengeluh dalam hati. Ki Ageng Sela
Gilang ini benar-benar orang yang tidak dapat di jajagi isi hatinya. Apakah dia
berpihak pada dirinya ataukah berpihak kepada kedua manusia berwajah serigala
itu?
Selagi Ki Rangga Agung Sedayu menimbang-nimbang apa yang
sebaiknya dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dendam yang tak
berkesudahan itu, tiba-tiba perempuan muda yang sedari tadi berdiri diam di
belakang kedua orang kembar itu berkata nyaring, “Guru, ijinkanlah aku
bermain-main dengan orang itu. Sudah lama aku tidak menemukan sebuah permainan
yang menarik. Agaknya orang yang bernama Agung Sedayu ini cukup menarik untuk
dijadikan permainanku.”
“Diam, kau Anjani..!” bentak Ki Gohmuka dengan wajah merah
padam. Dia maklum apa yang dimaksud muridnya dengan permainan yang menarik.
Memang Anjani adalah perempuan yang cantik, tetapi mengerikan bagi laki-laki
yang berwajah cukup tampan, apalagi Ki Rangga Agung Sedayu adalah laki-laki
yang cukup menarik sehingga di masa mudanya pernah mematahkan hati seorang
gadis dari Menoreh.
Mendapat bentakan dari salah seorang Gurunya, Anjani tampak
sedikit kesal, namun kemudian katanya, “Guru, setidaknya berilah kesempatan
padaku untuk menunjukkan ilmu yang telah Guru berdua ajarkan kepadaku. Untuk
apa ilmu-ilmu itu aku pelajari dengan susah payah kalau bertemu musuh bebuyutan
perguran kita, aku hanya berpangku tangan.”
“Bukan begitu, Anjani,” Ki Brahmuka lah yang menjawab,
“Lawan kita kali ini tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ilmunya hanya
selapis di bawah Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa semasa keduanya masih
hidup. Namun itu tidak akan membuat kita silau. Perguruan Tal Pitu telah
bangkit dan aku yakin, seandainya Panembahan Senapati atau Pangeran Benawa
masih hidup, keduanya tidak akan banyak menimbulkan kesulitan bagi kita
berdua.”
Orang-orang yang hadir disitu sejenak tertegun dengan
jantung berdebaran, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Betapapun juga, kedua
murid dari Tal Pitu itu telah dengan yakin membuat perbandingan perbandingan.
Jika tidak ada sesuatu yang dapat membuat mereka yakin akan kemampuan mereka,
tentu mereka tidak akan berani menyombongkan diri di hadapan Senapati
Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.
Anjani yang mendapat jawaban dari salah satu Gurunya itu pun
akhirnya dapat menerima, namun ketika pandang matanya tanpa sengaja bertemu
dengan Ki Rangga Agung Sedayu, perempuan cantik itu justru telah tersenyum
genit sambil mengedipkan sebelah matanya.
Tanpa terasa bulu-bulu di sekujur tubuh Ki Rangga Agung
Sedayu meremang. Senyum itu begitu menantang dan menjanjikan kenikmatan yang
luar biasa bagi setiap laki-laki yang membiarkan dirinya terperosok dalam
perangkap perempuan Iblis itu.
Sementara itu Ki Ageng Sela Gilang yang berdiri di sebelah
Ki Ranga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan semua percakapan antara Guru dan
muridnya itu. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya dia berkata sambil
melangkah menepi, “Aku tidak mau berurusan dengan segala dendam yang terjadi
diantara kalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormatku atas kerja sama yang
telah terjalin antara muridku, Pangeran Ranapati dengan kalian berdua, menurutku
dalam hal ini lebih baik aku menjadi penonton saja.”
Ki Rangga Agung Sedayu lah yang kini benar-benar merasa
terjepit. Memang dia tidak dapat mengharapkan bantuan Ki Ageng Sela Gilang
untuk menghadapi kedua manusia serigala itu karena menyangkut dendam perguruan.
Namun setidaknya, sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya
kehidupan, Ki Ageng Sela Gilang dapat diharapkannya untuk ikut mengurai atau
bahkan memutus lingkaran dendam yang tidak berkesudahan itu.
Selesai berkata demikian, dengan langkah yang mantap, Ki
Ageng Sela Gilang pun akhirnya melangkah menepi dan duduk di atas sebuah batu
di bawah pohon jambu yang rindang.
Malam telah merambah semakin dalam dan hanya diterangi oleh
bulan sepotong, namun cahayanya cukup menerangi halaman samping rumah yang di
tempati oleh Ki Brahmuka dan Ki Gohmuka. Sementara itu, atas perintah pemimpin
pengawal yang bertugas malam itu, beberapa pengawal telah menempatkan beberapa
obor di sudut-sudut yang gelap agar halaman samping itu menjadi semakin terang.
Dengan wajah yang tegang, Ki Brahmuka melangkah satu langkah
ke depan, kemudian katanya sambil menunjuk wajah Ki Rangga Agung Sedayu, “Kau
boleh memilih satu diantara kami sebagai lawanmu, namun jika Kau memang
pengecut, kami masih memberi kesempatan kepadamu untuk minta ampun kepada kami,
kepada perguruan kami. Kami berjanji akan memperlakukanmu sebaik baiknya. Kami
akan memilih cara yang terbaik untuk membunuhmu tanpa harus menyakitimu
terlebih dahulu.”
Mendidih darah Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kesombongan
murid Tal Pitu ini. Dengan tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun, Ki Rangga
Agung Sedayu menjawab sambil tersenyum, “Terima kasih atas kebaikan hati
kalian. Tapi sebelum kalian membunuh aku, apakah aku diperbolehkan untuk
mengajukan sebuah syarat?”
Kedua orang murid Tal Pitu itu sejenak saling berpandangan,
hampir bersamaan mereka bertanya, “Syarat apakah itu?”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum, pancingannya ternyata
telah berhasil. Dengan cepat diapun menjawab, “Perang tanding ini selain mempertaruhkan
nyawa kita masing masing, sebaiknya ada taruhan yang lain agar pemenangnya
tidak pulang dengan tangan hampa.”
Kedua manusia serigala itu benar benar tidak mengerti yang
dimaksud oleh Ki Rangga. Merasa dipermainkan, Ki Gohmuka akhirnya dengan suara
lantang membentak, “Jangan gila.! Perang tanding ini taruhannya hanya nyawa.
Itu adalah taruhan tertinggi yang dapat kita lakukan.”
Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Itu tidak adil.
Kalianlah yang berkepentingan dengan nyawaku, sedangkan aku tidak. Aku tidak
butuh nyawa kalian berdua seandainya aku menang dalam perang tanding ini, tapi
aku membutuhkan sesuatu yang lain.”
“Katakan.!” Bentak Ki Brahmuka menggelegar.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menahan nafas, dia sudah
memulai permainan ini dan harus berani menanggung akibat yang mungkin timbul.
Maka katanya kemudian dengan las-lasan sehingga kata demi kata terdengar jelas
di telinga semua yang hadir di halaman samping itu, “Aku ingin muridmu yang
bernama Anjani itu sebagai taruhan. Aku ingin membawanya ke Menoreh.”
“Gila..!” hampir bersamaan kedua murid Tal Pitu itu
mengumpat diiringi oleh jerit kecil Dewi Anjani.
“Guru,” dengan tergesa gesa Dewi Anjani segera beringsut
maju, “Aku mau dijadikan taruhan. Tidak dijadikan taruhan pun aku mau mengikuti
Ki Rangga Agung Sedayu ke Menoreh.”
“Tutup mulutmu Anjani..!” kini Ki Gohmuka lah yang
membentak, “Tidak sadarkah Kau bahwa Ki Rangga dengan licik berusaha memecah
belah kekuatan kita? Jangan hanya menuruti hawa nafsumu saja.”
Sejenak Anjani tertunduk diam, namun jauh di lubuk hatinya
yang paling dalam, yang selama ini bagaikan sepetak tanah gersang yang tidak
pernah puas mendapat guyuran hujan selebat apapun, kini setelah bertemu dengan
Ki Rangga Agung Sedayu, sepetak tanah gersang itu pun mulai subur menghijau dan
tumbuh kuncup-kuncup bunga yang siap bermekaran.
Ketika tanpa disadarinya dia mengangkat wajahnya, terpandang
olehnya Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tersenyum kearahnya. Tiba-tiba saja
jantungnya berdentangan dan nafasnya berkejaran seolah olah dia baru saja
menyelesaikan sebuah latihan olah kanuragan yang berat. Sekujur tubuhnya
menjadi lemas dan gemetar. Dengan cepat ditundukkan kembali wajahnya sambil
mencoba menguasai debar jantungnya yang tak beraturan. Entah perasaan apa yang
sedang berkembang di hatinya. Biasanya setiap laki-laki yang menarik hatinya
hanya dijadikannya sebagai pemuas dahaga untuk sementara waktu. Kemudian
setelah puas mempermainkannya, tanpa mengenal belas kasihan, laki-laki itupun
akhirnya dibunuhnya.
Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu yang memang sengaja
ingin menimbulkan pertentangan antara Guru dan murid itu semakin meningkatkan
kewaspadaannya ketika Ki Brahmuka perlahan-lahan telah mengambil sikap dan kini
sudah berdiri hanya tiga langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram keras,
berkata Ki Brahmuka kemudian, “Persetan dengan segala tuntutanmu. Marilah kita
selesaikan dendam kesumat ini. Tidak usah mengikut sertakan pihak-pihak yang
tidak berkepentingan. Nah, apakah Kau sudah siap Ki Rangga Agung Sedayu? Kau
tidak usah memilih lawan, akulah lawanmu kali ini.”
Selesai berkata demikian, Ki Brahmuka telah mengambil ancang
ancang untuk menyerang Ki Rangga Agung Sedayu. Kedua kakinya segera
direnggangkan selebar bahu. Dengan lutut setengah ditekuk dan tangan kanan
lurus ke depan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi serta tangan kiri sebagai
keseimbangan menyilang di depan dada, dia siap melontarkan serangan yang
pertama.
Ki Rangga Agung Sedayu sekilas terkejut ketika memperhatikan
jari -ari yang mengembang itu. Tampak ujung-ujungnya yang panjang dan runcing
serta berwarna hitam kelam. Ternyata Ki Brahmuka telah mempersenjatai dirinya
dengan kuku-kuku dari baja yang sangat beracun.
Menyadari bahwa lawannya ternyata mempergunakan senjata yang
berupa kuku-kuku baja yang beracun, Ki Rangga Agung Sedayu segera mengurai
cambuknya. Lawannya yang sudah siap untuk melontarkan serangan pertamanya itu
sejenak tertegun. Senjata cambuk itu memang sudah sangat terkenal di seluruh
tlatah Mataram sampai menyeberang ke bang wetan dan daerah di sepanjang pesisir
lor. Senjata cambuk itu telah banyak berperan seiring dengan silih bergantinya
pemerintahan di Negeri ini.
Begitu melihat lawannya telah mengurai senjata andalannya,
dengan sebuah bentakan menggelegar, Ki Brahmuka meloncat menyerang sambil
mengayunkan cakarnya ke arah wajah Ki Rangga. Terdengar suara angin yang suitan
seiring dengan meluncurnya serangan Ki Brahmuka.
Mendapat serangan yang demikian cepat, Ki Rangga segera
bergeser ke samping sambil mengayunkan cambuknya. Ujung cambuk itu menggeliat
dan mencoba membelit leher Ki Brahmuka yang sedang meluncur di udara.
Tentu saja Ki Brahmuka tidak akan membiarkan lehernya
menjadi korban keganasan ujung cambuk lawannya. Dengan menundukkan kepalanya
dalam dalam, sambaran ujung cambuk itu hanya lewat setebal ibu jari di atas
kepalanya. Ketika menyadari lawannya telah bergeser kesamping, maka Ki Bahmuka
pun telah merubah serangannya dengan tendangan kaki kiri yang lurus mengarah ke
ulu hati.
Demikianlah perang tanding itupun segera berlangsung dengan
sengitnya. Agaknya Ki Brahmuka tidak ingin banyak membuang waktu justru karena
dia sudah dapat gambaran sampai di mana tingkat ilmu kanuragan Ki Rangga Agung
Sedayu. Kalau seorang Ajar Tal Pitu saja bisa dikalahkan oleh lawannya ini,
berarti dia harus memulai tingkatan itu dari tataran yang dimiliki oleh Ajar
Tal Pitu pada waktu itu.
Ki Rangga Agung Sedayu benar benar harus memeras segenap
ilmunya untuk menghadapi lawannya kali ini. Berbeda dengan Ajar Tal Pitu yang
bisa berubah menjadi serigala jadi-jadian dan mempengaruhi sekelompok serigala
yang liar di bawah pengaruh ilmu hitamnya, Ki Brahmuka ini lebih menitik
beratkan pada gerak dan suara yang mirip serigala. Geraman dan lolongannya di
sela-sela serangannya yang membadai kadang dapat menggetarkan hati lawan yang
tidak tatag dan tabah. Selain itu lehernya yang panjang kadang-kadang terlihat
melebihi panjang leher sewajarnya sehingga gigi-gigi tajam Ki Brahmuka pun
sering hampir mengenai bagian tubuh Ki Rangga Agung Sedayu.
Diam diam Ki Rangga bergidig. Murid Tal Pitu ini benar-benar
seperti manusia serigala. Dia menyerang tidak hanya dengan cakar-cakar bajanya,
namun juga dengan gigi-gigi tajam yang ada di mulutnya. Benar-benar mirip
dengan tandang seekor serigala.
Sementara itu, Anjani yang berdiri di pinggir arena
perkelahian itu bagaikan berdiri di atas bara api. Wajahnya kelihatan gelisah
sambil sesekali meremas remas tangannya sendiri. Sesekali dia berpaling ke arah
Gurunya yang lain, Ki Gohmuka, namun tampaknya Gurunya yang satu ini tidak
sedang memperhatikan dirinya, perhatiannya tercurah pada jalannya perang
tanding yang sedang berlangsung.
Sesungguhnya di dalam hati Anjani sedang terjadi pergolakan
yang dahsyat, bahkan lebih dahsyat dari pada perkelahian yang sedang
berlangsung. Di satu sisi Anjani tentu saja ingin Gurunya keluar sebagai
pemenang dari perang tanding itu, namun jauh di dasar hatinya yang kering akan
cinta kasih, telah tumbuh suatu harapan untuk meniti hari-hari esok yang lebih
baik dan ceria dari hari-hari sebelumnya yang kelam dan berlumur dosa.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah sekotor-kotor
perempuan yang ada di muka bumi ini. Tidak layak dirinya berangan angan untuk
mendapatkan lelaki yang baik seperti Ki Rangga Agung Sedayu. Namun permintaan
Ki Rangga Agung Sedayu yang didengarnya sendiri untuk menjadikan dirinya
sebagai taruhan dalam perang tanding itu, telah menggetarkan jantungnya dan
menyentuh perasaannya yang paling lembut. Terasa ada suatu ungkapan terima
kasih yang tak terhingga kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata masih
memperhatikannya dan mengakui keberadaannya sebagai seorang perempuan dengan
segala macam cacat yang dimilikinya.
Namun lamunan Anjani segera buyar ketika suara ledakan
cambuk Ki Rangga Agung Sedayu berubah sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar
namun getarannya bagaikan memukul mukul dinding-dinding jantung orang orang
yang sedang menyaksikan perang tanding itu. Ki Gohmuka yang berdiri tidak jauh
dari arena perkelahian itu pun telah mengerutkan keningnya dalam dalam, terasa
ada sesuatu yang menghentak hentak jantungnya setiap kali cambuk Ki Rangga
Agung Sedayu menggelepar.
Perkelahian itu semakin lama telah menimbulkan pusaran angin
prahara yang mengguncang dan merontokkan daun-daun dari pohon-pohon yang tumbuh
di sekitar halaman samping itu. Bahkan pohon jambu klutuk sebesar lengan orang
dewasa telah hancur dan tumbang ketika diterjang cakar cakar baja Ki Brahmuka.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sejak semula telah mengetrapkan
ilmu kebalnya sampai ke puncak sehingga telah memancarkan hawa panas di
sekelilingnya itu beberapa saat menjadi terheran heran. Ternyata Ki Brahmuka
sama sekali tidak terpengaruh dengan panas yang memancar dari ilmu kebalnya,
bahkan kini tandang salah satu dari murid Tal Pitu itu bagaikan wuru. Dia tidak
memperdulikan lagi ujung cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai menyentuh
kulitnya.
Ketika sebuah hentakan yang kuat dari cambuk Ki Rangga Agung
Sedayu telah berhasil menghempaskannya ke tanah, sekejab Ki Brahmuka menggeliat
namun dengan cepat dia bangkit berdiri dan kembali meloncat menerkam Ki Rangga
Agung Sedayu. Namun yang membuat Ki Rangga Agung Sedayu terkejut bukan alang
kepalang bukan cepatnya serangan balik itu, tapi ternyata yang bangkit berdiri
setelah jatuh ke tanah tidak hanya seorang Brahmuka, tapi dua orang.
“Mirip dengan ilmu Ajar Tal Pitu,” desis Ki Rangga dalam
hati, “Mungkin ini hanya perkembangannya saja.”
Namun pada saat Ki Rangga kembali mempunyai kesempatan untuk
membanting dengan keras salah satu ujud Brahmuka itu ke bumi, yang bangkit dan
menyerangnya bukan hanya seorang Brahmuka, tapi kembali dua orang Brahmuka.
Demikian seterusnya.
Untuk sejenak Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar merasa
kewalahan menghadapi salah satu murid Tal Pitu ini yang terus bertambah
jumlahnya setiap dia jatuh menyentuh bumi. Ujud-ujud itu memang tidak ubahnya
ujud-ujud semu yang hanya mempengaruhi ketahanan batin lawan, namun dengan
jumlah yang semakin bertambah tambah, akan sangat menyulitkan Ki Rangga untuk
menemukan ujud asli dari Ki Brahmuka. Walaupun dia hanya memerlukan waktu yang
sekejab untuk mengenali ujud asli lawannya, namun waktu yang sekejab itu dapat
dimanfaatkan oleh lawannya untuk menghancurkannya.
Ki Rangga Agung Sedayu semakin lama semakin terdesak. Dia
tidak berusaha untuk menjatuhkan musuh-musuhnya lagi, karena disadarinya bahwa
itu hanya akan menambah jumlah lawannya. Tapi yang dilakukan oleh Ki Rangga
adalah sejauh-jauhnya dapat menghindari serangan lawannya dengan hanya
mengandalkan ilmu kebalnya sambil mencoba mengenali ujud asli dari lawan yang
sebenarnya.
Demikianlah, akhirnya yang terjadi adalah sebuah perkelahian
yang tidak seimbang antara Ki Rangga Agung Sedayu dan ujud-ujud semu Ki
Brahmuka yang sudah tak terhitung jumlahnya mengerubuti lawannya yang hanya
seorang diri. Semua yang menyaksikan perang tanding yang berubah menjadi
pengeroyokan itu menjadi miris hatinya kecuali Ki Gohmuka yang tampak tersenyum
puas melihat Ki Rangga Agung Sedayu harus jatuh bangun menghindari terkaman
dari lawan lawannya.
Sementara itu di bawah rindangnya pohon jambu air, Ki Ageng
Sela Gilang yang sedang mengikuti jalannya perang tanding tampak sesekali
mengangguk anggukkan kepalanya. Bahkan tak jarang orang tua ini menarik nafas
dalam-dalam. Katanya dalam hati, “Ki Rangga Agung Sedayu ternyata benar-benar
seorang Senapati yang linuwih. Jarang ada yang bisa bertahan menghadapi ilmu
iblis dari Tal Pitu itu sampai sejauh ini. Agaknya Ki Rangga benar-benar kebal
dari segala macam senjata tajam, namun apakah dia juga kebal dari segala macam
racun dan bisa? Itu yang masih harus dibuktikan.”
Sedangkan Anjani yang semakin gelisah melihat kedudukan Ki
Rangga yang semakin terdesak benar-benar hampir tidak tahan lagi. Ingin rasanya
dia meloncat ke lingkaran perkelahian dan membantu Ki Rangga Agung Sedayu
melawan ujud-ujud Gurunya yang sudah tak terbilang banyaknya itu, namun jika
disadarinya bahwa ilmunya masih jauh dari sempurna dan yang akan dilawannya itu
adalah Gurunya sendiri, tekadnya yang sudah membara itupun tiba-tiba redup
kembali.
Ada semacam dendam yang terpendam kepada kedua Gurunya itu
yang telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Memang dia diajari ilmu-ilmu
kanuragan yang aneh-aneh dan dahsyat, namun sebagai gantinya dia harus siap
melayani nafsu binatang kedua gurunya itu kapan pun mereka menghendaki. Bahkan
ketika mereka berdua menghendaki dirinya pada waktu yang bersamaan, dia harus
melayani mereka berdua tanpa membantah. Benar-benar sebuah ujud dari kelakuan
binatang yang paling rendah.
Semenjak dia beranjak remaja, di mana masa-masa remaja
adalah masa yang paling indah untuk memulai mengenal perkembangan tubuh dan
jiwanya. Dia mulai mengenal apa yang namanya cinta walaupun masih dalam ujud
yang kasar dan dangkal. Namun bunga yang masih kuncup dan baru akan mekar
mewangi itu telah direnggut dengan paksa dan kasar. Sehingga bekas-bekas
kekasarannya itu masih terbawa sampai sekarang.
Sejak saat itulah Anjani memendam dendam, tidak hanya kepada
kedua Gurunya itu, namun kepada setiap laki-laki yang dijumpainya. Selera
membunuhnya benar-benar liar, kapan saja dia ingin membunuh korbannya, saat itu
juga akan dilakukannya. Semua itu sebenarnya adalah ungkapan kemarahan dan
dendam yang tak tersalurkan kepada kedua Gurunya yang telah menjerumuskannya ke
lembah hitam.
Kini kesempatan itu sedang terbuka lebar. Ada seseorang yang
dapat dijadikan lantaran untuk menuntaskan dendam itu, yaitu Ki Rangga Agung
Sedayu. Ketika Ki Rangga mengajukan syarat bahwa dia dijadikan sebagai taruhan
atas perang tanding itu, dirinya benar-benar hampir lupa daratan dan dengan
serta merta telah menyatakan diri bersedia sebagai taruhan.
Dalam pada itu, malam yang semakin dalam terasa semakin
dingin menggigit kulit. Namun di seputar arena perkelahian itu hawa panas
terasa berputar-putar dan membuat orang-orang yang berdiri terlalu dekat dengan
arena segera beringsut mundur sehingga arena perang tanding itu pun semakin
luas.
Ketika perhatian orang-orang yang ada di seputar arena itu
sedang tercurah ke perang tanding yang sedang berlangsung, entah dari mana
datangnya, perlahan lahan tapi pasti sehelai demi sehelai telah turun kabut di
halaman samping itu. Pada awalnya mereka yang hadir tidak begitu banyak menaruh
perhatian, namun ketika kabut itu semakin tebal dan menghalangi pandangan mata,
barulah mereka sadar bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Sejenak Ki Gohmuka yang berdiri di pinggir arena itu
menengadahkan wajahnya. Kerut merut di dahinya semakin dalam ketika menyadari
bahwa lantaran kabut yang tebal itu dirinya tidak dapat lagi menyaksikan apa
yang sedang terjadi di tengah arena perang tanding itu.
“Gila,” umpatnya sambil menggeretakkan giginya, “Permainan
licik apalagi yang Kau tunjukkan, he..Ki Rangga.?”
Ki Rangga Agung Sedayu yang mendengar umpatan itu hanya
tersenyum. Dugaannya benar bahwa kedua murid Tal Pitu itu belum mampu menembus
ilmu warisan dari perguruan Windujati. Mungkin mereka dapat mempertajam pandang
mata mereka untuk mengenali lawan, namun ujud-ujud yang di lihat tidak lebih
dari bayang-bayang yang bergerak berseliweran.
Inilah kelemahan ilmu dari perguruan Tal Pitu yang telah
menciptakan ujud-ujud semu sebagai pancaran dari ilmu Kakang Pembarep dan Adi
Wuragil yang telah dikembangkan oleh Ki Brahmuka dan Gohmuka. Dalam kabut yang
semakin tebal, Ki Brahmuka yang asli akan sulit membedakan yang manakah Ki
Rangga di antara ujud-ujud semu ciptaannya, karena yang tampak dalam
pandangannya hanya bayangan-bayangan yang bergerak kian kemari tak tentu arah.
Kesempatan ini telah digunakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu
untuk bersembunyi di antara tebalnya kabut sehingga terhindar dari serangan
ujud-ujud Ki Brahmuka yang tak terbilang jumlahnya.
Waktu yang sekejab itu ternyata sangat berarti bagi Ki
Rangga Agung Sedayu untuk mengenali ujud lawan yang sebenarnya.
Dengan memusatkan nalar dan budi serta memohon pertolongan
kepada Yang Maha Agung, Ki Rangga Agung Sedayu pun segera mengungkapkan ilmunya
yang tiada duanya, ilmu yang dapat diungkapkan melalui sorot matanya dan dapat
berakibat maut bagi lawannya.
Sementara itu, Ki Brahmuka yang sedang memusatkan pandangan
matanya untuk mencari bayangan Ki Rangga Agung Sedayu di antara
bayangan-bayangan semu yang telah diciptakannya dalam kepekatan kabut,
tiba-tiba terkejut ketika merasakan sebuah cengkraman yang dahsyat telah
melanda dadanya.
Sejenak nafasnya bagaikan tersumbat, sambil mengerahkan daya
tahannya, dicobanya untuk mencari arah dari mana datangnya serangan itu, namun
semuanya sudah terlambat. Ketika dia sudah mengenali sebuah bayangan yang
berdiri hanya beberapa langkah saja di samping kirinya, dadanya benar-benar
bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan. Beberapa saat dia masih mencoba
bertahan, dengan tertatih-tatih dia berjalan mendekati bayangan yang berdiri
tegak dengan tangan bersilang di dada itu.
Dengan menghentakkan seluruh daya tahan tubuhnya, sekali
lagi Ki Brahmuka mencoba mendekat ke arah bayangan itu. Daya tahan tubuh Ki
Brahmuka memang luar biasa, selain lambaran tenaga cadangannya yang memang
hampir mencapai sempurna, juga wadagnya telah mengalami tempaan dan pembajaan
yang dahsyat selama bertahun-tahun dalam menekuni olah kanuragan.
Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar tidak mau melepaskan
lawannya sekejap pun. Dihentakkannya seluruh kekuatan yang tersalur lewat sorot
matanya. Lawannya kini benar-benar sudah lumpuh, jatuh terduduk hanya dua
langkah saja di depan Ki Rangga sambil memegangi dadanya dengan kedua belah
tangannya, sedangkan ujud-ujud semu yang diciptakan oleh Ki Brahmuka
berlandaskan pada Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari, perlahan-lahan lenyap tertelan
kepekatan kabut sejalan dengan melemahnya pertahanan Ki Brahmuka.
Agaknya akhir dari perang tanding itu sudah dapat dipastikan
kalau saja Ki Rangga Agung Sedayu tidak terganggu perhatiannya oleh sebuah
teriakan yang mirip dengan lolongan serigala. Dan sekejap kemudian sebuah
bayangan meluncur menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.
Sejenak perhatian Ki Rangga terpecah. Bayangan yang sedang
terbang ke arahnya itu telah menjulurkan kedua belah tangannya dengan kuku-kuku
baja yang beracun siap untuk melumatkan dadanya.
Tidak ada pilihan lain bagi Ki Rangga Agung Sedayu. Dia
tetap mengerahkan kekuatan ilmunya melalui sorot matanya untuk menghancurkan Ki
Brahmuka, sedangkan untuk menghadapi serangan lawannya yang lain, dengan
mengetrapkan ilmu kebal setinggi-tingginya sambil tidak lupa selalu memohon
kepada Yang Maha Agung agar selalu dalam perlindunganNya, diangkatnya kedua
tangannya bersilang di depan dada siap untuk menghadapi gempuran lawan.
Bayangan yang melesat cepat menerjang Ki Rangga Agung Sedayu
itu ternyata adalah Ki Gohmuka yang nekat menerjang memasuki gumpalan kabut
untuk menolong saudara kembarnya. Ketika saudara kembarannya, Ki Brahmuka
sedang dalam perjuangan antara hidup dan mati menghadapi ilmu sorot mata Ki
Rangga, Ki Gohmuka yang berdiri di luar arena perang tanding itu terkejut
ketika panggraitanya yang tajam sebagai saudara kembar serta lamat-lamat dalam
pandangan matanya menembus gumpalan kabut itu melihat bayangan seseorang yang
jatuh terduduk di hadapan seseorang yang berdiri tegak sambil menyilangkan
tangannya di dada.
Segera saja Ki Gohmuka menyadari bahwa saudara kembarnya
sedang dalam kesulitan. Dengan sebuah teriakan keras yang mirip lolongan seekor
serigala, dia pun segera meloncat menerjang ke dalam gumpalan kabut.
Anjani yang berdiri tidak jauh dari Ki Gohmuka terkejut. Tak
disangkanya, gurunya yang satunya ini akan berbuat curang mengeroyok Ki Rangga
Agung Sedayu. Dengan membulatkan hatinya tanpa mempertimbangkan keselamatan
dirinya, segera saja dia mengambil ancang-ancang untuk meloncat masuk ke
gumpalan kabut menyusul gurunya.
Namun baru saja dia mengerahkan tenaganya untuk meloncat,
sebuah tangan yang kokoh telah mencengkeram pergelangan tangannya. Dengan
tergesa-gesa Anjani pun segera menoleh untuk melihat siapakah yang menahannya
untuk menyusul gurunya itu. Ternyata Ki Ageng Sela Gilang telah berdiri di
sampingnya dengan tersenyum tanpa melepaskan cengkeramannya.
“Kakek,” sergah Anjani, “Mengapa Kakek mencegahku? Aku harus
membantu Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Aneh,” berkata Ki Ageng sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, “Mengapa Kau tidak membantu Gurumu? Malah sebaliknya ingin membantu
musuh Gurumu?”
“Karena aku sudah muak menjadi muridnya!” teriak Anjani
sambil mengibaskan tangannya yang masih saja dicengkeram oleh Ki Ageng.
Sejenak Ki Ageng terhenyak dengan pengakuan Anjani itu
sehingga cengkeramannya pun lepas. Dengan terheran-heran, orang tua itu balik
bertanya, “Kau sudah muak? Bagaimana mungkin? Bukankah mereka berdua itu
Gurumu?”
Baru saja Anjani membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Ki
Ageng, mereka berdua telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang
menggelegar menggetarkan udara malam yang semakin dingin.
Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah mengurai senjata
andalannya lagi, setelah untuk beberapa saat dia melilitkannya di pinggang pada
saat menghancurkan Ki Brahmuka dengan ilmu sorot matanya.
Sejenak kemudian perkelahian di dalam kabut itupun telah
berkobar kembali antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Gohmuka. Sedangkan Ki
Brahmuka telah tertelungkup tak bernyawa.
Pada saat benturan yang pertama tadi, keduanya ternyata
memiliki kekuatan yang hampir seimbang. Ki Rangga yang kekuatannya terpecah,
ternyata masih mampu menahan gempuran Ki Gohmuka walaupun dia harus terpental
ke belakang dan jatuh berguling-guling. Ketika dengan cepat dia bangkit
berdiri, Ki Rangga Agung Sedayu merasakan sesuatu yang tidak wajar terjadi pada
siku tangan kirinya.
Ketika kemudian Ki Rangga mencoba mengetahui apa yang
sebenarnya telah terjadi dengan siku tangan kirinya dengan merabanya, terasa
pada bagian siku itu agak bengkak dan ngilu. Ternyata kuku-kuku baja Ki Gohmuka
telah mampu menembus perisai ilmu kebalnya dan melukai siku tangan kirinya.
Sementara Ki Gohmuka yang telah mengerahkan segenap tenaga
cadangannya untuk menggempur Ki Rangga telah terpental balik oleh kekuatannya
sendiri. Dia bagaikan menabrak dinding baja setebal satu jengkal sehingga
tubuhnya terlempar beberapa langkah kemudian jatuh terjerembab ke tanah.
Namun kekuatan wadag Ki Gohmuka memang ngedab-edabi.
Seolah-olah tanpa merasakan akibat dari benturan itu, dengan sebuah raungan
keras, dia segera meloncat menerjang Ki Rangga yang baru saja bangkit berdiri.
Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah siap dengan cambuknya. Segera saja
serangan Ki Gohmuka disambut oleh sebuah ledakan yang menggelegar memekakkan
telinga.
Kini Anjani yang berdiri di samping Ki Ageng Sela Gilang
terlihat sudah agak tenang. Ledakan-ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang
beruntun telah mengisyaratkan kepadanya bahwa Ki Rangga mampu mengimbangi Ki
Gohmuka walaupun sebelumnya telah berperang tanding melawan saudara kembarnya.
Dalam pada itu, malam telah merambah menjelang dini hari.
Titik-titik embun mulai jatuh satu-satu membasahi pucuk-pucuk dedaunan dan
kelopak-kelopak bunga yang sedang bermekaran. Beberapa ekor kelelawar yang
terbang bersliweran mulai gelisah ketika melihat di langit sebelah timur telah
membayang warna semburat merah. Burung-burung yang semula tertidur pulas
diantara ranting-ranting pepohonan mulai menggeliat sambil mengepak-kepakkan
sayap-sayapnya. Seekor ulat yang tidur menggelung tidak jauh dari seekor burung
gelatik yang sedang bertengger di dahan yang rendah, dengan tergesa-gesa
menyeret tubuhnya yang tambun untuk bersembunyi di balik daun dari pada menjadi
sarapan pagi bagi burung gelatik itu.
Ketika sinar Matahari yang pertama telah menyentuh halaman
samping rumah itu. Tidak terdengar lagi suara ledakan cambuk maupun teriakan
yang mirip dengan lolongan serigala. Suasana menjadi tenang tapi mencekam.
Perlahan-lahan kabut yang melingkupi di sekitar halaman samping itu mulai
menipis kemudian hilang tertiup angin pagi.
“Ki Rangga..!” tiba-tiba Anjani menjerit sambil menghambur
ke arah Ki Rangga yang tampak sedang duduk bersila sambil menyilangkan kedua
tangannya di dada dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ki Ageng Sela Gilang yang menyadari betapa gawatnya keadaan
Ki Rangga yang sedang memulihkan tenaganya itu karena para pengikut kedua murid
dari Tal Pitu itu masih mengepung tempat itu segera berlari menyusul Anjani.
Sesampainya Anjani di depan Ki Rangga, tanpa mengenal
unggah-ungguh dan rasa malu segera ditubruknya orang yang telah memikat hatinya
itu. Namun baru saja Anjani mencondongkan tubuhnya ke depan, kembali sebuah
tangan yang kekar telah menahannya.
“Sudahlah Anjani,” berkata Ki Ageng menyadarkan Anjani yang
sedang dikuasai oleh gejolak perasaannya, “Berilah kesempatan Ki Rangga untuk
beristirahat. Itu sangat dibutuhkannya untuk segera memulihkan kesehatannya.”
Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah selesai memulihkan
tenaganya, walaupun tetap terasa ada yang tidak wajar dengan siku lengan
kirinya. Namun baru saja Ki Rangga membuka kedua matanya, sebuah tepukan di
pundaknya telah mengejutkannya.
Namun begitu kesadarannya telah pulih kembali, tampak di
depannya Ki Ageng Sela Gilang sedang berjongkok sambil berdesis perlahan,
“Kelihatannya Ki Rangga mendapat luka walaupun tidak seberapa, namun pengaruh
racun itu yang mungkin dapat membahayakan.”
Ki Rangga tersenyum sambil mencoba bangkit berdiri. Rasa
rasanya tangan kirinya agak terganggu. Ketika dia mencoba mengamat-amati siku
tangan kirinya, tampak seleret luka yang tidak mengucurkan darah dan di sekitar
luka itu kulitnya menghitam.
Ki Rangga untuk sejenak terkejut. Bukankah selama ini dia
kebal racun? Dan itu sudah dibuktikan oleh Gurunya sendiri dengan menggunakan
racun yang paling keras sekalipun, dan ternyata pada waktu itu racun sekeras
apapun tidak mempengaruhinya.
Tapi kenyataannya kali ini ada noda hitam legam dan seleret
luka yang menggores siku tangan kirinya. Agaknya Ki Rangga telah terkena
kuku-kuku baja dari Ki Gohmuka ketika terjadi benturan yang pertama. Kekuatan
dan ketajaman kuku-kuku baja dari Ki Gohmuka ternyata mampu menembus perisai
ilmu kebalnya sehingga telah meninggalkan segores luka.
Ki Ageng yang ikut berdiri itu pun terkejut ketika ikut
mengamati luka Ki Rangga. Katanya kemudian, “Agaknya selain ilmu kebal, Ki
Rangga juga mempunyai kemampuan untuk menahan racun. Tapi menilik sifat racun
ini, kelihatannya racun ini akan bergerak walaupun sangat lambat menuju ke
jantung. Kekuatan dalam diri Ki Rangga yang mampu membuat Ki Rangga kebal racun
mungkin hanya mampu memperlambat kerja racun itu, tapi tidak memunahkan
sekaligus.”
“Karena racun yang digunakan oleh Guruku itu sangat kuat,”
tiba-tiba Anjani yang sedari tadi hanya diam itu mengutarakan pendapatnya,
“Racun itu disebut racun Gundala Wereng, dan tidak ada obatnya selain juga
sesama racun yang benama racun Gundala Seta.”
“He,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Ageng terkejut.
“Bukankah kedua jenis racun itu hanya ada dalam dongeng?”
bertanya Ki Ageng.
“Ya, memang,” jawab Anjani, “Namun kenyataannya Guruku
berhasil menemukan racun Gundala Wereng dan menggunakannya untuk merendam
kuku-kuku bajanya.”
“Gila,” geram Ki Ageng, “Kedua murid Tal Pitu itu memang
terkutuk. Untunglah keduanya bertemu dengan Ki Rangga sehingga petualangan
mereka yang dapat membawa bencana bagi sesama telah berakhir.
Selesai berkata demikian Ki Ageng mengarahkan pandangan
matanya ke dua sosok mayat yang tergeletak tak berjauhan, Ki Brahmuka yang
tertelungkup dengan tubuh yang masih terlihat utuh namun isi dadanya hancur dan
Ki Gohmuka yang tergeletak beberapa langkah dengan luka bekas cambuk yang arang
kranjang.
“Aku terpaksa melakukannya,” desis Ki Rangga sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Entah sampai kapan lingkaran dendam yang
membelitku ini akan berakhir.”
“Ah,” Ki Ageng tertawa pendek, “Bukankah Ki Rangga tidak
menghendaki semua ini terjadi? Merekalah yang mencari mati sendiri.”
“Ki Rangga, “ tiba-tiba Anjani menyela, “Racun Gundala
Wereng itu sangat keras dan bekerja dengan sangat cepat.” Dia berhenti sejenak,
kemudian lanjutnya, “Jarang ada orang yang mampu menahannya. Biasanya dengan
sekali gores, orang itu akan mati hanya dalam hitungan kurang dari sepuluh.
Kalau benar Ki Rangga kebal racun, aku tidak menjamin Ki Rangga akan selamat
dalam waktu empat puluh hari”
“Empat puluh hari?” hampir berbareng Ki Rangga dan Ki Ageng
berseru.
“Ya, empat puluh hari,” jawab Anjani mantap, “Aku pernah
menyaksikan Guruku bertempur melawan seorang Pertapa yang sakti. Pertapa itu
ternyata kebal racun. Akan tetapi ketika dia tergores racun Gundala wereng,
saat itu dia memang tidak terpengaruh, namun ternyata dalam waktu empat puluh
hari, Pertapa yang sakti itu menemui ajalnya.”
Diam-diam Ki Rangga tergetar hatinya. Walaupun dia tidak
pernah takut mati karena mati adalah bukan urusan manusia, akan tetapi urusan
Yang Maha Agung yang menguasai seluruh alam semesta ini, namun dia masih
mempunyai banyak kuwajiban di dunia ini. Seandainya boleh memilih, dia ingin
menuntaskan segala urusan tetek bengek terlebih dahulu sebelum dipanggil
menghadap Yang Maha Kuasa.
“Bagaimana Ki Rangga?” pertanyaan Ki Ageng telah membuyarkan
lamunannya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Dilemparkan pandangan matanya ke arah para pengikut murid Tal Pitu itu yang
masih berdiri termangu mangu agak jauh dari bekas arena pertempuran. Mereka
tidak lagi mengepung tempat itu, tapi berdiri bergerombol di beberapa tempat
sambil berbisik-bisik. Mereka tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat setelah
kedua murid Tal Pitu itu mati.
“Ki Ageng,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak
sebaiknya para pengikut kedua murid Tal Pitu itu disuruh menyelenggarakan
jenasah ke dua pemimpin mereka? Agar tempat ini segera lapang dan sebaiknya
kita berbicara di pendapa saja.”
“Baiklah Ki Rangga, “ jawab Ki Ageng, “Mereka mengenal aku
sebagai Guru Pangeran Ranapati sebagaimana Pemimpin mereka mengenalku,” Ki
Ageng berhenti sejenak, kemudian katanya sambil melambaikan tangannya ke arah
salah satu kerumunan pengikut dari Tal Pitu, “Salah satu dari kalian,
kemarilah!”
Tampak orang-orang yang bergerombol itu sejenak saling
berpandangan, namun kemudian dengan tergesa-gesa salah seorang yang
berperawakan agak kurus dengan kumis tipis melangkah mendekat.
“Kumpulkan kawan kawanmu. Ajak mereka menyelenggarakan
jenasah ke dua murid Tal Pitu itu,” berkata Ki Ageng setelah Besok tipis itu
tiba di hadapannya, “Setelah selesai, aku harap kalian semua kembali ke
Panaraga. Bukankah sebagian dari kalian adalah prajurit Kadipaten Panaraga?”
“Benar Ki Singa Wana,” jawab orang berkumis tipis itu,
“Namun bagaimana dengan sebagian dari kami yang berasal dari Tal Pitu?”
Sejenak Ki Ageng tertegun. Tanpa disadarinya dia menoleh ke
arah Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Rangga yang merasa dimintai pertimbangan tersenyum
sekilas, katanya kemudian, “Mereka dapat menentukan pilihan mereka sendiri, Ki
Ageng. Namun yang perlu diwaspadai, jangan sampai dalam perjalanan mereka ke
Tal Pitu atau ke Panaraga, mereka melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
hukum dan merugikan kawula alit.”
“Kau benar, Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, kemudian katanya
kepada Besok tipis itu, “Itu terserah kepada kalian. Tapi ingat, aku dan Ki
Rangga akan mengawasi polah tingkah kalian selama kalian dalam perjalanan.”
Diam-diam Besok tipis itu mengumpat dalam hati. Dia tidak
habis mengerti, mengapa Ki Ageng yang menurut pengenalannya bernama Ki Singa
Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati itu kelihatannya berpihak kepada Ki Rangga
Agung Sedayu, yang jelas-jelas orang Mataram.
Namun Besok tipis itu tidak dapat berbuat apa-apa. Yang
dihadapinya adalah orang-orang linuwih. Maka yang dilakukannya kemudian adalah
menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kami akan selalu mengingatnya.
Sekarang ijinkan kami menyelenggarakan jenasah-jenasah itu”
“Silahkan,” berkata Ki Ageng. Kemudian katanya kepada Ki
Rangga dan Anjani sambil mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, “Marilah
kita ke pendapa. Di sana kita dapat berbincang-bincang sambil melepaskan lelah,
terutama Ki Rangga.”
“Ah,” Ki Rangga tertawa pendek, “Rasa rasanya aku ingin
bermanja-manja, bermalas-malasan seharian penuh sambil makan dan minum yang
enak-enak”
“O,” sahut Ki Ageng, “Kalau memang Ki Rangga ingin makanan
yang enak-enak, bagaimana kalau kita kembali ke Kadipaten Panaraga saja? Aku
jamin kita akan makan dan minum sepuasnya.”
“Ya,” berkata Ki Rangga, “Aku setuju, namun setelah itu aku
harus meninggalkan kepalaku untuk digantung di alun-alun kota Panaraga.”
“Ah,” Ki Ageng pun tertawa berkepanjangan. Sedangkan Anjani
yang berjalan mengikuti di belakang Ki Rangga hanya tersenyum masam.
Setelah duduk di atas tikar yang dibentangkan di
tengah-tengah pendapa, ketiga orang itu pun duduk melingkar saling berhadapan.
“Nah, Anjani,” berkata Ki Ageng kemudian membuka
pembicaraan, “Kau dapat menceritakan kepada kami, terutama kepada Ki Rangga,
bagaimana kita mendapatkan penawar racun Gundala Wereng itu.”
Sejenak wajah cantik itu termangu mangu. Sorot matanya yang
kosong jatuh ke lantai pendapa. Dadanya yang mungil tapi padat berisi itu
tampak naik turun menahan gejolak perasaannya.
“Kakek,” akhirnya dari bibir yang kecil dan memerah delima
itu meluncur kata katanya, “Yang aku ingat pada saat itu, aku diajak ke Gunung
Kendalisada, gunung yang konon katanya tempat bertapanya Pertapa sakti berujud
kera putih, Resi Mayangkara.”
“Resi Mayangkara,” tanpa sadar Ki Ageng dan Ki Rangga
mengulang nama itu.
“Bukankah Resi Mayangkara itu hanya ada dalam cerita
Pewayangan?” bertanya Ki Rangga kemudian.
Sebelum menjawab, Anjani memandang tajam ke arah Ki Rangga
seolah olah ingin menjenguk isi hatinya sambil membisikkan ungkapan hatinya,
“Ki Rangga, apakah Kau mengerti jeritan hatiku selama ini? Ataukah Kau memang
tidak peduli dengan penderitaanku dan hanya bermain-main saja pada saat Kau
mengajukan syarat diriku sebagai taruhan perang tanding saat itu?”
Ki Rangga yang merasa dipandang dengan tajam oleh Anjani
menjadi salah tingkah. Dia sudah dapat menebak isi hati Anjani. Bukankah dia
telah keluar sebagai pemenang dalam perang tanding itu? Dan dia harus mau
menerima Anjani dan membawanya ke Menoreh sesuai janjinya?
“Anjani,” akhirnya Ki Rangga tidak dapat menahan hatinya
lagi, “Percayalah, aku tidak akan ingkar dengan janjiku.”
Seleret warna merah menghiasi wajah Anjani. Segera saja
ditundukkannya wajahnya sambil berdesis perlahan, “Ki Rangga, aku tidak
mempunyai hak untuk memaksakan kehendak. Semua terserah Ki Rangga apa yang
sebaiknya dilakukan.”
Ki Ageng yang mendengarkan percakapan kedua orang itu hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu
bahwa Ki Rangga menyebut Anjani sebagai taruhan hanya untuk memancing kemarahan
kedua murid Tal Pitu itu, namun akibatnya sekarang adalah Anjani yang merasa
disepelekan. Seolah olah dirinya menjadi tidak berharga sama sekali.
“Sudahlah,” akhirnya Ki Ageng menengahi, “Sekarang bagaimana
Ki Rangga mendapatkan obat bagi lukanya?”
Anjani sejenak menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan
gejolak di dalam dadanya. Kemudian sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dan
menahan isak tangis, katanya lirih seolah olah hanya ditujukan kepada dirinya
sendiri, “Aku bersedia mengantar Ki Rangga mencari obat ke Gunung Kendalisada,
jika memang Ki Rangga masih membutuhkanku.”
Sebuah desir setajam sembilu menggores hati Ki Rangga.
Berbagai penyesalan telah melanda hatinya. Entah kesan apa yang akan
didapatkannya dari orang-orang di Menoreh terutama istrinya Sekar Mirah yang
tengah hamil tua, jika sekembalinya dari Panaraga dia telah membawa Anjani.
T A M A T
(perjalanan
Ki Rangga Agung Sedayu di Panaraga berakhir disini. Nantikan kelanjutan
kisahnya.)
Lanjut
ke buku 401
0 komentar:
Posting Komentar