Oleh: A. Malindo
Tali rasa TDBM
BUMBUNG 5
Telah diceritakan keinginannya untuk mengetahui
tingkat penguasaan ilmu daripada Swandaru dan Pandan Wangi kepada istrinya,” Mirah,
aku harus berkata sebenarnya kepadamu bahwa Mataram saat ini tengah menghadapi
situasi yang agak genting tetapi masih diluar kota raja dan tepatnya keberadaan
akan bahaya itu masih di sekitar Madiun dan Ponorogo, tetapi satu atau dua
perguruan telah memanfaatkan situasi ini demi keuntungan mereka semata tanpa
memperhatikan ketenangan dan keselamatan orang lain, bahkan aku bersama Ki
Waskita telah merasakan pahitnya situasi ini, karena itu tengah malam nanti aku
berkeinginan untuk mengetahui tingkat kemapuan adi Swandaru, hal ini juga
dikarenakan Kitab Windujati akan berada diSangkal Putung untuk waktu yang tidak
terbatas, bagaimana menurut pendapatmu Sekar Mirah ?” kata Agung Sedayu kepada
istrinya saat keduanya duduk dalam biliknya.
“Apakah kakang Swandaru bisa menerima dan mengerti
niat baik kakang Sedayu ?” desis Sekar Mirah.
“Aku akan menyampaikan apa adanya sesuai pembicaraan
selama di Kepatihan dan peristiwa yang menimpaku, tetapi tentu aku tidak akan
bercerita tetang persoalanku dengan Mataram,”
“Apakah kakang yakin tidak membuat Kakang Swandaru
tersinggung ?”
“Aku juga akan mengajak Pandan Wangi, Glagah Putih
serta Ki Jayaraga”
“Kakang sebaiknya kau ajak berbicara dahulu saat makan
malam, saat kita semua berkumpul, tetapi kakang aku mohon kakang jangan
melanjutkan rencana ini jika kakang Swandaru kurang berkenan apalagi merasa
tersinggung, aku mengkhawatirkan keselamatannya”
“Baiklah Sekar Mirah, saranmu akan aku perhatikan,
pandanganku terhadap adi Swandaru sebenarnyalah telah berubah, seakan aku telah
melihat suatu keseimbangan dalam diri kakangmu itu meskipun kadang - kadang
masih bergolak seperti dulu”
“Syukurlah kakang, tetapi sampaikanlah dengan hati -
hati, aku tahu tabiat kakakku” desis Sekar Mirah perlahan.
Selesai berbicara dengan istrinya maka Agung Sedayupun
telah menemui Ki Jayaraga dan telah meminta tanggapannya dan nampaknya Ki
jayaraga tidak berkeberatan serta sependapat dengan Nyi Sekar Mirah.
Langitpun telah menjadi gelap, matahari telah selesai
menjalankan tugasnya dan rembulan telah muncul membelah cakrawala yang tiada
berujung dan sepercik sinar rembulan itu telah datang dan memberikan seberkas
sinarnya pada Tanah Perikan Menoreh.
Agung Sedayu dengan sangat hati - hati telah
menyampaikan maksud dan rencananya kepada Swandaru dan Pandan Wangi pada saat
mereka semua tengah makan malam.
“Kakang Sedayu, bagaimana persiapan Tanah Perdikan
Menoreh sendiri ?” Pandan Wangilah orang pertama yang menanggapi uraian panjang
lebar itu.
“Ki Gede telah
memulai persiapan itu Wangi, tetapi semuanya dilakukan secara diam - diam dan
tentu nantinya Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan membantu sepenuhnya” jelas Agung
Sedayu.
“Kakang untuk Sangkal Putung tidak menjadi masalah
yang terlalu besar, kami setiap saat akan mampu bergerak, kemanapun yang
dibutuhkan oleh Mataram” sahut Swandaru kemudian.
Bagi Sekar Mirah jawaban kakaknya terasa sangat
mendebarkan hatinya, tetapi dia tetap saja terdiam menunggu uraian suaminya
selanjutnya.
“Adi Swandaru, Ki Patih mandaraka sendiri telah
mengungkapkan rasa khawatirnya mengenai gerakan ini, seandainya kita menghadapi
sepasukan segelar sepapan dari sebuah kadipaten atau gabungan sekalipun, bagi
Mataram bukanlah suatu permasalahan karena semuanya sudah jelas dan tergambar
terang, prajurit sandi akan dapat melaksanakan tugas sebaik - baiknya, tetapi
yang kita hadapi sekarang adalah beberapa perguruan yang tersebar diseluruh
bang wetan yang sangat luas, tentunya perguruan - perguruan itu mempunyai
tataran ilmu yang jauh lebih tinggi dari prajurit kebanyakan,”
“Bukankah di Mataram ada Panembahan Hanykrawati dan Ki
Patih Mandaraka ? Apakah ada orang yang mempunyai ilmu melebihi keduanya,
kakang ?” sahut Swandaru.
Semuanya terdiam, tangan mereka segera menyisihkan
semua peralatan makan dan ketika sudah selesai, dengan seksama mereka
memperhatikan keterangan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Janganlah kita lupa bahwa Sultan Demak terakhir telah
mangkat di bang wetan”
Keterangan itu bak seribu lebah telah menyengat
tengkuk mereka yang mendengarkannya,” Apakah tidak sebaiknya kita mempersiapkan
diri lebih baik lagi untuk menghadapi keadaan yang tidak menentu ini ?”
Tidak ada yang menyahut, mereka semua masih terhanyut
oleh keterangan mengenai Sultan Demak terakhir itu, mereka tengah membayangkan
kekuatan perguruan - perguruan yang ada di bang wetan, sementara itu Agung
Sedayu telah memberikan waktu dan tidak melanjukan perkataannya.
Di sebelah Glagah Putih nampak Ki Jayaraga menarik
nafas dalam - dalam, baginya bang wetan adalah tempatnya orang - orang yang
berilmu sangat tinggi, pengalamannya selama bertualang telah menunjukkan
padanya tentang kemampuan orang - orang dari bang wetan, tetapi nampaknya orang
tua itu tetap berdiam diri.
“Adi Swandaru, berkenaan dengan pertanyaan serta
permintaanmu untuk membawa Kitab guru pada sore hari tadi, tentunya aku sama
sekali tidak berkeberatan dan memang sudah saatnya Kitab guru berada
ditanganmu, tetapi yang menjadi persoalan adalah perjalananmu menuju Sangkal
Putung itu menjadi sangat mendebarkan hati ini,” kata Agung Sedayu selanjutnya.
Pandan Wangi telah menatap suaminya, kebimbangan telah
merayapi dinding hatinya.
“Aku mengerti apa yang kau maksud kakang, bahwa aku
harus menjaga Kitab itu dengan taruhan nyawaku” berkata Swandaru pelan.
“Bukan itu adi, nyawa kita tentu lebih penting
daripada Kitab itu sendiri” sahut Agung Sedayu.
“Aku berjanji padamu kakang juga kepada guru bahwa aku
akan menjaganya sebaik - baiknya” Swandaru berusaha meyakinkan kakak
seperguruannya, sekilas terlintas dibenak murid termuda Kyai Gringsing itu
meragukan ketulusan kakak seperguruannya untuk menyerahkan Kitab Windujati itu.
“Adi Swandaru, satu pertanyaan lagi yang harus adi
jawab sebelum aku menyerahkan Kitab Windujati itu, apakah adi sanggup
mendengarkan pertanyaanku ? terdengar suara Agung Sedayu dengan nada yang amat
sareh.
Kening Swandaru nampak berkerut dalam, dada Pandan
Wangi terasa berdebar - debar, bahkan Sekar Mirahpun telah menahan nafasnya,
Rara Wulan yang sedari tadi berdiam diri telah bergeser setapak mulutnya yang
mungil itu terlihat menggigit kuku tangan kanannya, ketegangan benar - benar
telah mencengkam jantungnya, hanya Ki Jayaraga dan Glagah Putih saja yang mampu
menguasai perasaannya.
“Adi, apakah kau sudah siap ?” suara Agung
Sedayu serasa menyadarkan semuanya.
“Baiklah kakang, aku akan menjawab pertanyaamu itu,
semoga aku sanggup” jawab Swandaru dengan sorot mata penuh kebimbangan.
Agung sedayu telah beringsut sejari dan ditatanya
perasaannya, lalu katanya perlahan tetapi penuh dengan tekanan,” Adi Swandaru,
Jika kau membawa Kitab itu pergi ke Sangkal Putung, dimanakah letak Kitab
itu setelah adi tidak bernafas lagi ?”
Dada Swandaru bagaikan dihantam batu sebesar kepala
gajah mendengar pertanyaan kakak seperguruannya itu, wajahnya semburat merah
tangannya telah mengepal, tetapi dia tidak mengetahuinya kekuatan apa yang
telah mengunci mulutnya.
Pertanyaan yang menurutnya sangat tidak wajar dan
sangat meremehkan dirinya dan merendahkan martabat seorang Swandaru Geni, dia
tetap duduk di tempatnya, tubuhnya kaku seperti patung, sementara Glagah
Putihpun telah membeku, ia sama sekali tidak menduga pertanyaan kakak sepupunya
itu, pertanyaan yang tidak pernah terlontar dari mulut seorang Agung Sedayu
sebelumnya, terasa kakinya seperti kesemutan.
Leher Pandan Wangi dan Sukar Mirah dan Rara
Wulan terasa tak kuat lagi menahan berat kepalanya, dada mereka seperti telah
berisi air yang tertumpah dari bendungan.
Kejadian perang tanding antara kedua saudara
seperguruan itu kembali membayang di pelupuk mata Sekar Mirah dan Pandan Wangi,
peristiwa yang sangat tidak mereka inginkan.
Isi kepala Swandaru Geni terasa telah diguncang oleh
sesuatu yang tak di mengertinya. Swandaru sangat kebingungan, bagaimana dia
harus menjawab pertanyaan itu, perasaannya bergolak hebat, kemampuannya untuk
menundukkan kakak seperguruannya belumlah dia miliki baginya adik Untara itu
memiliki sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan, kesadaran akan semua
keterbatasannya tiba - tiba telah meluap melebihi segala nafsunya, ketakutan
tiba - tiba telah mencengam tengkuk dan hatinya, wajah Agung Sedayupun
menurutnya tiba - tiba telah berubah menjadi wajah malaikat pencabut
nyawa , kepalanya tertunduk lesu, wajahnya terlihat pucat pasi.
Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan perasaan dan
pikiran adik seperguruannya bergejolak hebat dan saling berbenturan, sungguh
sangat mengherankan tidak sepatah katapun keluar dari mulut seorang Swandaru
Geni.
“Adi Swandaru, aku mohon maaf yang sebesar - besarnya
telah mengejutkanmu dengan pertanyaan itu, ketahuilah bahwa itulah pertanyaan
yang dilontarkan oleh guru Kyai Gringsing kepadaku saat itu dan sama sepertimu,
aku tak bisa menjawabnya ? Nah, Adi sebaiknya kita segera mempersiapkan
diri lebih dari apa yang telah kita anggap cukup dan seterusnya marilah kita
berserah diri sepenuhnya kepada Illahi Robbi”
“Iya kakang, aku telah mengerti sekarang, terima kasih
kakang telah menunjukkan kepadaku tentang siapa diriku sebenarnya, aku
menyadari kekuranganku, jika guru ada saat ini maka akupun akan segera mohon
ampun atas kebodohanku ini” kata Swandaru sembari berdesah perlahan kepala
masih tertunduk.
Rumah Ki Rangga serasa disiram hujan sewindu mendengar
kata- kata Swandaru itu, tidak biasanya putera Ki Demang bersikap seperti itu,
sekarang nampaknya Swandaru telah benar - benar mengalami kemajuan yang sangat
luar biasa untuk mengendapkan persaaan dan berpikir secara jernih, tentu ini akan
membuat Kyai Gringsing sangat bangga terhadapnya.
“Kita beristirahat sekarang, nanti tengah malam aku
berharap semua yang ada disini kecuali Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk ikut
bersamaku ke Padas Gempal, satu tempat yang bagus untuk menempa diri” ujar Ki
Rangga seolah memberi perintah kepada semua yang hadir di ruangan itu.
Mereka telah menggerakkan kakinya tetapi nampaknya kaki itu seolah tak
mau bergerak, bayangan tentang peristiwa yang bakal terjadi di Mataram benar -
benar sangat menggetarkan hati.
Agung Sedayu telah berdiri meninggalkan mereka dan
pergi ke pakiwan membersihkan dirinya dan segera menghadap pada Sang
Penciptanya.
Mereka telah meninggalkan rumah ki Rangga, derap kuda
yang tidak terlalu cepat telah menghamburkan debu di sepanjang jalan tu.
“Inilah adi tempat yang aku maksudkan, orang menoreh
memberi nama Padas Gempal” kata Agung Sedayu kepada Swandaru saat mereka
memasuki tanah lapang di pinggiran sungai yang tidak terlalu besar itu.,
sedangkan Pandan Wangi nampak menganggukkan kepalanya, ingatannya yang tajam
telah menuntunnya untuk segera mengenali tempat itu” Ayah Argapati dulunya
sering mengajakku bermain - main disini”
“Kakang apa yang akan kita lakukan disini ?” tanya
Swandaru dengan nada gelisah, hatinya masih merasakan sesuatu yang kurang mapan
terhadap kakak seperguruannya itu.
Agung Sedayu terdiam sesaat, tanpa menjawab pertanyaan
adik seperguruannya, lalu katanya,” Mohon dimaafkan Ki Jayaraga, bukan maksud
untuk memamerkan sesuatu tetapi saat ini aku ingin memberikan sesuatu kepada
saudaraku, semoga dijauhkan dari sikap deksura”
Dengan wajah yang tulus dan bibir tersenyum
dipandanginya kakak sepupu Glagah Putih itu, kemudian katanya,” Silahkan
angger, aku akan jadi penonton saja, tetapi jika angger memerlukan akupun sudah
menyiapkan diri sejak dari rumah tadi”
“Baiklah Ki, mohon Ki Jayaraga menilai jika ada
sesuatu yang kurang pada kami” Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berdiri
menghadap Swandaru Geni, Pandan Wangi dan Glagah Putih,” Marilah kita segera
memulai latihan ini, tetapi sebelumnya marilah kita panjatkan permohonan
keselamatan dan kelancaran kepada Illahi Robbi”
Setelah diam sejenak maka Agung Sedayu telah bergeser
ketengah tanah lapang itu.
“Marilah adi Swandaru, seperti dulu saat kita baru
pertama kali berguru, kita sering berlatih bersama, maafkan adi, aku akan
menyerangmu dengan sungguh - sungguh dan cobalah mengimbangiku dan jangan kau
mengekang diri karena aku juga tidak menahan seranganku.” kata Agung sedayu dan pandangannya
segera beralih kepada adik sepupunya dia pun berkata,
“Glagah putih bermainlah dengan bokayumu dan jangan
pula kau tahan seranganmu”
“Baik kakang” jawab Glagah Putih mantab dan segera
anak itu bergeser menghadap Pandan Wangi.
“Segeralah kalian memulai” terdengar perintah kakak
sepupunya.
Pandan Wangipun telah menatap Glagah Putih dengan
tersenyum, diapun berkata.” aku akan melawanmu adi, tetapi tolong kau jangan
terlalu menyakiti tubuhku”
Glagah Putih juga tersenyum mendengar perkataan itu,
perasaannya juga kurang mapan tetapi dia akan menjalankan tugas itu dengan
sebaik - baiknya.
Swandaru yang telah berdiri didepan Agung Sedayupun
merasakan keanehan dari sikap saudara seperguruannya itu, terpikir olehnya
bahwa adik Untara ini telah meremehkannya maka diapun segera mempersiapkan
dirinya, dan berjanji dalam hatinya akan membuat kejutan, tidak seperti dulu
saat ia menantang perang tanding,” Aku sudah berlatih sangat keras dan aku akan
memberi pelajaran kakang Sedayu” gumamnya dalam hati.
Tidak menunggu lama, Agung Sedayu telah meluncur
menyerang Swandara, tangannya telah mengembang dan telah bergerak cepat
menggapai dada. Melihat serangan itu Swandaru segera menangkisnya sembari
bergeser kesamping kanan, benturan kecil telah terjadi dan dengan cepat
serangan susulan segera melanda anak Sangkal Putung itu.
Semakin lama pertempuran itu semakin cepat, benturan
semakin sering terjadi dan segera di rasakan oleh Swandaru bahwa tubuhnya mulai
kesakitan, tangan Agung sedayu terasa bergerak terlalu cepat dan sudah beberapa
kali dia terdesak mundur tetapi kakak seperguruannya itu sama sekali tak
menghiraukan bahkan semakin meningkatkan serangannya, seperti benar - benar
akan menggilas dan menggulung Swandaru.
Murid kedua Kyai Gringsing itu tidak mau selalu
terdesak lawannya, segera ia membangkitkan tenaga cadangan yang tertumpuk dalam
dirinya, gerakannya segera berubah, kakinya nampak semakin kokoh dan terasa
angin berdesir tajam saat tangannya terayun menyambar lawannya. Agung Sedayu
menyadari hal itu maka segeralah diungkap ilmu kebalnya meskipun tidak sampai
tataran puncak.
Sementara di lingkaran lainnya, terlihat dua bayangan
hitam telah berputar dan saling mendorong, nampak keduanya bergerak sangat
lincah, bahkan menurut Ki Jayaraga kecepatan bergerak keduanya telah melebihi
kecepatan gerak Swandaru.
Glagah Putih yang mengimbangi gerakan itu merasa
sangat keheranan dan bahkan segera keringatnya membasahi pakaiannya.” Luar
biasa” desis Glagah Putih dalam hati, saat itu ia telah meloncat mudur menampil
jarak, terasa bahu kirinya tersentuh tangan Pandan Wangi, sengatan itu benar -
benar telah mengagetkannya.
Pandan Wangi telah memandanginya dengan tatapan mata
seorang kakak yang penuh kasih sayang,” Maafkan aku adi, bersungguh -
sungguhlah supaya aku dapat belajar lebih banyak lagi”
“Baiklah
mbokayu, aku akan bersungguh - sungguh, berhati - hatilah” gumam Glagah Putih.
Selesai berbicara Glagah Putihpun segera melayang
menerjang dan menyerang Pandan Wangi. Keduanya segera terlibat dalam
pertempuran yang sangat cepat, Tubuh Pandan Wangi terlihat lentur seperti
karet, bergerak disela - sela tangan murid Ki Jayaraga itu dan saat tertentu
tangannya akan menghentak kuat seperti lesung yang menimpa dada, tetapi
lawannya adalah Glagah Putih, seorang yang telah kenyang pengalaman di
segala medan pertempuran, bekalnya dari Ki Jayaraga dan kakak sepupunya serta
pergaulannya dengan Raden Rangga telah membuat tubuhnya kalis dari
segala sentuhan lawannya.
Terdengar pekik kecil takkala tangan Glagah Putih yang
seberat timah itu menyentuh bahu kiri Pandan Wangi, Murid Ki Gede Menoreh
itu terdorong kesamping dan terhuyung - huyung, namun sekejab kemudian telah
bisa menguasai keadaannya kembali.
Sementara Ki Jayaraga telah memperhatikan lingkaran
lainnya, kedua murid Kyai Gringsing itu benar - benar telah bergerak dilandasi
oleh tenaga cadangan yang sangat besar, saat keduanya merambah pada inti ilmu
perguruan Windujati maka semua gerakan telah terlihat semakin cepat dan rumit,
meskipun tubuh Swandaru telihat gemuk tetapi gerakannya tak kalah lincah di
banding gerakan Agung Sedayu.
Laksana burung rajawali Agung Sedayu telah mengurung
tubuh Swandaru Geni, gerakan tubuh tanpa bobot itu benar - benar telah membuat
sesak nafas, meski merasa kesulitan Swandaru Geni nampak terus berjuang dan
bergerak seperti seekor banteng ketaton, sentuhan tanduknya tentu akan segera
melemparkan dan membuang tubuh lawannya. Kaki Swandaru telah bergerak dan
bergeser dengan cepatnya, tidak disadarinya bahwa akibat gerakannya itu, tanah
di Padas Gempal seolah telah mengelupas, rumput liar telah beterbangan tercabut
beserta akar - akarnya.
Ki Jayaraga benar - benar menikmati latih tanding itu,
kekaguman terhadap kakak sepupu Glagah Putih tak pernah habis - habisnya, bukan
hanya gerak tandangnya tetapi kecepatan nalar dan sikapnya menghadapi suatu
persoalan,” orang dengan sifat dan kepribadian yang sangat langka” gumamnya
dalam hati.
Sementara baginya gerakan Swandaru Geni, benar - benar
suatu gerakan yang didiukung oleh tenaga cadangan seekor gajah, kuat dan
trengginas,” Sungguh mengagumkam” desisnya.
Satu serangan beruntun bak deburan ombak di pantai
selatan, Agung Sedayu telah melibat Swandaru tanpa ampun, tiba - tiba tangan
kanannya telah menyusup dan menghantam dada Swandaru, tubuh gemuk itu telah
terdorong dan terseret beberapa langkah kebelakang, sementara itu Agung Sedayu
tidak segera memburunya.
“Luar biasa, sungguh mengagumkan kecepatan gerakmu,
tetapi apakah tenagamu hanya sebesar itu kakang” Swandaru telah maju beberapa
langkah kedepan dan wajahnya tetap ceria seolah tak merasakan apapun.
Agung Sedayupun tersenyum menyambut perkataan adik
seperguruannya itu, timbulah rasa bangga di hatinya melihat kemajuan ilmu adik
seperguruannya itu.
‘ Sangat bagus adi, rupaya kau telah menguasai ilmu
Tamengwaja sesuai yang tersurat di Kitab guru, , apakah kau sudah mencapai pada
penguasaan puncaknya adi ?”
Wajah ceria itu berubah memerah, kakak seperguruannya
ternyata telah mengerti ungkapan ilmunya.
“Kakang, akupun tahu kau memiliki ilmu kebal tetapi
kenapa bukan Tamengwaja seperti yang ada di kitab guru ? Jika kau menguasainya,
maka kau akan menjadi orang terkuat di Mataram kakang.” kata - kata swandaru
telah meluncur cepat.
Mendengar itu, kening Agung Sedayu berkerut,
jantungnya berdesir, diakuinya bahwa ilmu kebalnya didapat dan dipelajarinya
bukan dari Kitab Windujati, tetapi gurunya tidak pernah menyalahkannya, bahkan
selalu mendorong bagi perkembangan ilmunya, ada kesulitan baginya untuk
menjelaskan, meskipun kepada Swandaru dirinya tentu tidak dapat bercerita
darimana ilmu kebal itu diperolehnya.
Tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya, Agung
Sedayupun berkata,” Adi Swandaru, aku ingin tahu seberapa tebal Tamengwaja itu
melindungimu”
Secepat tatit, dengan sebuah lompatan panjang
dengan tangan mengepal Agung Sedayu telah melabrak dada Swandaru lagi.
Tidak sempat menghindar maka Swandaru telah berbuat cepat, segera tangannya
bersilang di muka dadanya menunggu serangan lawannya. Sebuah benturan telah
terjadi, sungguh mencengangkan, terlihat Agung Sedayu tetap berdiri tegak
ditempatnya, sementara itu tubuh Swandaru bagaikan telah terbang kebelakang,
terpental dan segera jatuh berguling - guling di tanah berdebu itu.
Anak muda gemuk itu tidak mengeluh namun juga tidak
segera bangun, tubuh itu tidak terluka sedikitpun, tetapi tetap saja dia
terduduk ditanah. Perasaan heran dan kagum telah bercampur aduk di benaknya,
Tamengwaja yang di banggakan itu telah dengan mudahnya di tembus oleh kekuatan
kakak seperguruannya.
“Baiklah adi, sudah cukup kiranya latihan pembuka ini
dan kita akan melangkah pada tahap berikutnya,” berkata Agung Sedayu.
“Belum kakang, aku belum selesai, akau masih mempunyai
beberapa ilmu lainnya dan aku akan menunjukam padamu” sahut Swandaru sembari
berdiri dan melangkah mendekati Agung Sedayu
“Bagaimana adi
?”
“Kakang aku minta maaf padamu, pukulan mu itu hanya
mendorong tubuhku saja tanpa menyakitiku dan aku akan bangkit melawanmu lagi,
nah, bagaimana kalau Tamengwajaku akan aku terapkan pada tataran puncaknya ?
Apakah kakang bisa menembusnya dan tidak sekedar mendorong saja”
Agung Sedayu segera mengerutkan keningnya, adik
perguruannya ini ternyata belum juga mengerti akan isyarat yang telah
diberikannya, dia memang hanya mendorongnya saja dan bukan berusaha menyakiti
tubuh Swandaru, tetapi tindakan tiu telah disalah artikan oleh adik
seperguruannya itu
Di sisi yang lain, Glagah Putih juga telah
menghentikan serangannya dan Pandan Wangipun telah melangkah surut, mereka
berduapun memandang kearah kedua murid Kyai Grinsing itu, Ki Jayaraga telah
mendekatinya pula.
“Adi seberapa
kuat aji Tamengwaja dalam tataran puncaknya itu ? Apakah kau benar - benar
telah menguasainya ?” bertanya Agung Sedayu.
“Kakang kau
belum mengetahuinya, jika kau mengetahuinya maka tentu kau akan berkata lain”
“Adi, kalaupun aku telah mendorongmu sebenarnya aku
hanya menggunakan sebagian tenaga cadanganku saja dan aku belum merambah ke
ilmuku yang lainnya, tetapi tidak mengapa, tentu akan sangat baik kiranya aku
dapat melihat puncak aji Tamengwaja yang adi miliki sehingga akupun dapat
mempelajarinya.”
“Kakang, apakah
kau dapat membuktikan apa yang kau ucapkan ?” tanya Swandaru dengan suara
sedikit meninggi.
Mendengar itu, segera tersungging sebuah senyuman di
bibir Ki Jayaraga, sejenak ia telah menoleh ke arah Glagah Putih dan kakinyapun
terayun melangkah mendekatinya, iapun tahu apa yang dirasakan muridnya itu.
“Jika
diijinkan, aku akan memecahkan ilmunya itu” geramnya dalam hati, wajahnya
nampak tegang dan bibirnyapun mengatup rapat.
Pandan Wangipun telah merapat ke arah Ki Jayaraga,
kecemasan nampak diwajahnya, diketahuinya bahwa ajian Tamengwaja suaminya
sangatlah ngegirisi, dia telah mencoba menembusnya tetapi tidak berhasil,
tetapi anak Ki Gede itupun menyadari siapa sebenarnya Agung Sedayu itu, sejak
pertemuannya dengan seorang Gupita, sejak itu pulalah dia telah mengagumi
kemampuannya, ia pernah mendengar bahwa seorang Pangeran Benawa putra Raja
Pajang saat itu saja sudah mengakui kemampuan anak Jati Anom itu bahkan
Panembahan Senopati pernah mengatakan sendiri kepada semua orang saat di pendopo
kademangan Sangkal Putung bahwa seorang Agung Sedayu telah mendekati
kemampuannya. Pandan Wangi merasa sangat yakin bahwa dengan sepenuh kekuatannya
tentu Agung Sedayu mampu dan pasti menembus seberapapun tebal aji Tamengwaja
itu, kesadaran itulah yang membuat dirinya cemas akan keselamatan suaminya.
Wajah Agung Sedayu tetap tersenyum, ia mengerti tabiat
adik seperguruannya sehingga perkataan itu tidak mengejutkannya, justru
jantungnya telah berdentang di cengkam keraguan, bagaimana cara membuktikannya
? Tidak pernah terlintas niatnya untuk menyakiti tubuh Swandaru tetapi dengan
menembus puncak ilmu Tamengwaja tentunya akan berakibat luka di dalam tubuh.
Kebimbangan yang tak segera menemukan sebuah jawaban.
“Segeralah bersiap adi, aku akan membuktikan ucapanku,
bukankah itu yang adi kehendaki ?” kata Agung Sedayu.
Terdengar geram Swandaru mendengar perkataan itu.
selangkah ia telah maju mendekati kakak seperguruannya.
Melihat Swandaru melangkah maju mendekati Agung
Sedayu, kerut di kening Ki Jaya raga semakin dalam, rasa khawatir juga
menyelimuti hatinya, katanya” Angger Swandaru, dalam sebuah pertempuran
tentunya setiap orang diperbolehkan menggunakan ilmu apa saja yang telah
dimilikinya, tidak terpaku pada satu ilmu, pengertiannya adalah puncak setiap
ilmu tidaklah selalu sama meskipun jenis ilmu yang diterapkannya adalah sama
salah satunya tergantung pada seberapa besar tenaga cadangan yng bisa diungkap
seseorang dan tentu masih banyak hal lain yang juga mempengaruhinya, dan aku
sudah melihat sampai dimana takaran ilmu angger berdua dan sebaiknya kita
sudahi latihan ini dan akan kita ikuti apa yang dikatakan angger Sedayu
selanjutnya, bijaksanalah dalam hal ini angger Swandaru.“
“Ki Jayaraga, menurutku tidak perlu setiap orang
menimbun seribu macam ilmu dalam dirinya kalau ternyata kemampuannya hanya
setengah - setengah saja lebih baik mempunyai satu atau dua ilmu tetapi dalam
tataran tertinggi sehingga dia akan dengan mudah mengalahkan lawan - lawannya” sahut
Swandaru.
“Kau benar ngger. tetapi yang kau hadapi sekarang ini
adalah seorang kakak seperguruanmu dan aku adalah orang tua yang telah kenyang
melihat beberapa banyak ilmu yang bertebaran di bumi ini ngger, sejujurnya saat
ini aku merasa tidak akan mampu lagi untuk mengimbangi ilmu angger Agung Sedayu
meskipun dengan aji Sigar Bumi sekalipun” kata Ki Jayaraga masih mencoba untuk
menyadarkan Swandaru dan mencegah latih tanding itu selanjutnya.
“Ah, Ki jayaraga terlalu merendahkan diri dan kyai
kurang mengenali diri kyai sendiri” sahut Swandaru.
Glagah Putih telah berdiri dengan kaki renggang
terlihat telapak tanggannya telah mulai digerak - gerakkannya untuk mengusir
rasa gatal yang telah menggelitik jantungnya, sementara mulut Pandan Wangi
terasa kelu, nasehat dari Ki Jayaraga sudah tidak dihiraukan oleh suaminya
apalagi dirinya.
Rembulan tengah bersinar menerangi Padas Gempal dan
sekitarnya, angin malampun telah membelai tanpa mengerti ketegangan yang
menggurat pada setiap wajah. Nampaknya Ki Rangga Agung Sedayu telah mengambil
keputusan, dengan sikap yang tenang diapun berkata,” Baiklah adi Swandaru aku
akan berbuat sesuai yang kau inginkan, aku akan membuktikan semua ucapanku
sekaligus aku ingin menyadarkan bahwa adi Swandaru belum pantas untuk berdiri
berhadapan dengan para pemimpin perguruan dari bang wetan, bersiaplah adi”
Swandarupun telah mendengus mendengar kata kata itu,
tanpa membuang waktu dia telah mempersiapkan dirinya dan mengungkit sampai
tuntas tenaga cadangannya dan beberapa ilmu simpanannya, tangannya telah
bergetar. sementara Agung Sedayu juga telah mempersiapkan diri sebaik - baiknya
dan telah bertekat menunjukan beberapa ilmunya.
Sekejab, Swandaru telah berteriak nyaring
tubuhnya telah meloncat menggapai dada yang terbuka itu, secepat itu pula
lawanya bergerak menghindar kesamping, tangan kiri yang kokoh itu telah
mengejar dan menusuk arah kepala, Agung Sedayu segera memiringkan tubuhnya,
terasa olehnya sebuah desir angin yang tajam menerpa kulitnya, tak mau sekedar
menghindar diapun segera membalas menyerang lambung Swandaru yang terbuka.
sebuah sentuhan yang tidak berarti apa - apa bagi seorang Swandaru Geni.
Agung sedayu merasakan sebuah lapisan tebal melindungi
tubuh adik seperguruannya, bahkan lapisan itu lebih tebal dari
sebelumnya. Swandarupun merasakan sentuhan itu dan ia semakin yakin akan
kekuatan ilmu tamengwajanya, dengan beberapa gerakan yang rumit ia telah
melibat lawannya tanpa ampun seolah tanpa menghiraukan serangan dan sentuhan
tangan lawannya.
Perhitungan Agung Sedayu telah mendekati kebenarannya,
ia ingin menundukkan adik seperguruan menurut caranya. Saat Swandaru terlihat
berhenti menyerang dan seolah menarik nafas maka kini justru Agung Sedayu yang
melibatnya dengan serangan yang cepat, ilmu kebalnya dang dirangkapi oleh ilmu
Bayu Lampah telah menyentuh dan meraba kulit dan daging Swandaru meskipun
dilapisi oleh ilmu tamengwaja pada tataran puncaknya, dan murid kedua Kyai
Gringsing itu segera terdesak hebat, mata telanjangnya telah tak mampu lagi
menangkap semua gerakan tubuh lawannya, tangan Agung Sedayu telah berubah
menjadi berpuluh - puluh pasang.
Anak Sangkal Putung itu benar - benar telah kehilangan
kiblat perlawanannya, gerakannya bak orang kesurupan menangkis semua serangan
Agung Sedayu, padahal sepupu Glagah Putih itu hanya diam saja beberapa langkah
di belakangnya.
Dengan mata nanar di carinya kakak seperguruannya itu,
dan badan gemuk itupun telah bergerak memutar, segera meledak amarahnya setelah
diketahui bahwa Agung Sedayu tengah berdiam diri saja tepat di belakang
tubuhnya, sebuah senyuman menghiasi wajah nan sabar itu.
Bagai kerbau jantan, dengan nafsu menggelora Swandaru
kembali menyerang lawannya yang terlihat berdiri tegak seperti patung itu,
dengan sedikit gerakan tangan Agung sedayu bergerak menangkis serangan itu dan
tiba - tiba sesuatu telah menimpa Swandaru Geni, sebuah sentuhan yang tidak
terlalu keras mengguncang dada suami Pandan Wangi itu dan terlihat tubuh yang
gemuk itu telah berguncang serta terdorong surut satu langkah.
Agung Sedayupun telah mundur beberapa langkah dan
melihat akibat dari semua sentuhan dan benturan yang telah ia lakukan.
Mata Swandaru yang menyala itu tiba - tiba berubah,
tubuh gemuk itu telah membeku berdiri disebelah pohon randu besar, segera
dirasakannya satu keanehan yang telah menjalari tubuhnya yang semula tak dirasakannya,
seolah telah datang beribu ribu semut angkrang mengerubuti tubuhnya dan merusak
semua persendiannya, pergelangan tangannya dan jari - jarinya seakan tak bisa
digerakkan dan perasaan nyeri telah membekap seluruh tubuhnya, itulah akibat
yang harus ditanggungnya bila terkena ajian Bayu Lampah meskipun oleh Agung
Sedayu tidak diterapkan pada tataran tertingginya.
Sebuah ajian yang diciptakan dengan dilandasi oleh
rasa welas asih, sebuah ajian yang dipergunakan untuk bertahan dan melindungi
wadag saja, dua kilan dari tubuh, beberapa lembar angin akan selalu bergerak
dan berputar melindungi tubuh seseorang yang mengungkapkannya dan dalam
beberapa tataran berikutnya ajian ini akan memberikan peringatan bagi yang
menyentuhnya, seluruh getaran akan di pantulkan kearah getaran asalnya, sekuat
dan sebesar getaran itu sendiri.
“Adi, apakah kau sudah paham, apa arti petanyaanku ?
Yang sebenarnya adalah pertanyaan guru itu” tanya Agung Sedayu, diam sejenak
dan memberikan kesempatan kepada Swandaru untuk merenung, lalu tak lama
kemudian, lanjutnya,” Dalam keadaan seperti ini sangat mudah bagi orang lain
untuk menghilangkan nafasmu, dan orang itu akan pergi bersama Kitab itu
meninggalkan tubuhmu yang tergolek membeku, apakah kau belum juga percaya ?
Tanpa menunggu jawaban Swandaru, bagaikan seekor
burung garuda, tiba - tiba dengan gagahnya tubuh Agung Sedayu telah meloncat
dan melayang tinggi - tinggi dan telah hinggap di sebatang ranting kecil pohon
randu itu, tubuhnya telah tertopang oleh ranting sebesar jari kelingking dan
tak lama tubuh itu pun segera melesat berpindah tempat. Terlihat tubuh itu
bagai mengapung diudara dan dengan menjejak pada pepohonan yang lainnya, Agung
Sedayu telah meluncur deras mengarah ke adik seperguruannya itu, dengan tangan
mengepal segera membentur kepala dan menghabisinya.
Terdengar pekik kecil Pandan Wangi melihat tubuh yang
berkelebat itu, tiada kuasa dia mencegahnya, baginya kejadian itu terlalu
cepat, jauh lebih cepat dari semua gerakan Agung Sedayu saat perang tanding
dengan suaminya terdahulu, hatinya telah terjatuh terhempas ditanah dan ia
terlihat pasrah, bunga Menoreh itu telah terduduk ditanah dan terasa badannya
sudah tidak bertulang lagi, tubuh itu terguling dengan lemahnya, ia telah
pingsan.
Ki Jayaraga telah meloncat dan berusaha membentur
serangan itu, tetapi telah terlambat, kecepatan geraknya ternyata tidak mampu
menandingi cepatnya gerakan Agung Sedayu, sebuah gerakan maha cepat yang
membelah malam dan terlihat Glagah Putih diam membeku dan tidak melakukan
gerakan apapun, dia benar - benar tidak menyangka jika kakak sepupunya yang
selalu terlihat tersenyum itu telah berubah dan sedemikian marahnya menerjang
tubuh Swandaru yang telah tidak berdaya itu, tanpa sadar anak Ki Widura itu
telah berdesah dan matanyapun telah terpejam.
Sementara Swandaru Geni sudah tidak tahu lagi apa yang
harus dilakukannya, tubuhnya telah kaku, ia telah menatap pasrah, ternyata
kebodohannya telah menyeretnya masuk memeluk bencana, otaknya kini hanya
mengingat wajah anaknya, Swatantra.
Sebuah pukulan
maha dahyat telah membentur sasarannya, sebuah pohon randu disamping tubuh
Swandaru itu, tidak terjadi getaran yang mengguncang pohon itu, dedaunan yang
lebatpun tiada berguguran, masih terlihat jelas, pohon randu itu tetap berdiri
tegak dengan kokoh dan angkuh.
Mata Swandaru yang terlihat sayu itu tiba - tiba telah
membuka dan terbelalak lebar, tanpa berkedib ia telah melihat bahwa batang
pokok pohon randu itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, lubang dari sisi
satu menembus sisi yang lainnya.
“Nah adi, dengan kemampuan yang tak seberapa ini,
apakah kau yakin aku tidak mampu menembus ilmu kebalmu ?” tanya Agung
Sedayu.perlahan.
“Ampun kakang, aku mohon ampun, selamanya aku tak akan
mampu mengimbangimu, aku akan menanggung semua akibat perbuatanku ini kakang,
aku mohon ampun” desah Swandaru dan terlihat anak Sangkal Putung itu
menjatuhkan badannya memeluk kaki kakak seperguruannya itu.
Dada Agung Sedayu telah bergetar mendengar ucapan itu,
justru tubuhnya telah kaku membeku, segeralah ditata semua getar perasaannya,
ditariklah nafas dalam - dalam, kemudian katanya,” Berdirilah adi, jangan
seperti itu, aku tidak mempunyai perasaan apa - apa terhadapmu, aku hanya ingin
mengingatkan serta melindungimu, seperti aku melindungi seluruh keluarga
besarku, tidak ada setitik keinginanpun untuk menyakitimu, berdirilah ! pada
saatnya nanti kaupun tentu akan mampu melakukan apapun yang seperti aku lakukan”
Agung Sedayu berkata perlahan sambil menarik tubuh adik seperguruannya itu.
“Berbaringlah, aku akan menyentuh beberapa simpul
syarafmu, kau akan segera terbebas dari akibat ajian itu, ”
Seperti seseorang yang telah kehilangan akalnya,
Swandaru telah berbaring diam dan menunggu.
Ki Jayaraga telah berdiri di samping kakak sepupu
Glagah putih itu sesekali dilihatnya lubang yang menganga di pokok pohon randu
itu, tidak ada bekas yang terlihat menghitam dan tidak ada kerusakan di pinggir
lubang itu,” Hem, kekuatan apa yang telah melubangi pohon randu itu” desisnya
perlahan.
Sebelum Agung Sedayu melakukan sesuatu ternyata suara
teriakan Glagah Putih telah mengejutkannya,” Kakang, mbokayu Pandan Wang telah
pingsan,”
Terlihat Swandaru akan bergerak bangun, tetapi Ki
Jayaraga telah mencegahnya,” tetaplah berbaring ngger, serahkan angger Pandan
Wangi kepada angger Sedayu, semoga semuanya akan kembali seperti semula”
Agung Sedayu tampak berlari kecil menuju tempat tubuh
Pandan Wangi yang tergolek diam ditunggui oleh adik sepupunya itu.
Di hampirinya adik sepupunya itu,” Kenapa mbokayumu
sampai pingsan Glagah Putih ?” tanya Agung Sedayu dengan suara gemetar, rasa
gugup telah merasuki jantungnya.
Glagah Putih yang masih berjongkok itu telah
menceritakan kejadiannya, dan Agung Sedayu mendengarkannya dengan dada berdebar
- debar, tak disangkanya permainannya telah menyebabkan putri Ki Gede Menoreh
itu pingsan, perasaan bersalah telah mengganggu pikirannya, dipandanginya wajah
perempuan itu, wajah yang memancarkan ketulusan dan kasih sayang yang teramat
besar, kepahitan hidupnya dimasa lalu telah memberinya ketabahan yang sangat
luar biasa, wajah yang telah dikenalnya sejak lama.
Tanpa sadarnya, tangannya telah menyentuh titik nadi
yang ada di leher dan tangan Pandan Wangi, terasa olehnya denyut yang sangat
perlahan, terlihat kecemasan telah menggurat diwajah Agung Sedayu itu.
Melihat kakak sepupunya telah berbuat sesuatu untuk
menolong mbokayu Pandan Wang maka Glagah Putihpun segera berlalu menuju Ki
Jayaraga yang berjongkok disamping tubuh Swandaru yang tengah berbaring,
sejenak dipandanginya pohon randu itu, sejenak kemudian diapun telah berdiri
meraba pokok batang yang telah berlubang itu, sebuah lubang yang sangat halus.
“Guru, sepertinya aku telah melihat ayah Widura saat
ini” terdengar pelan suara Glagah Putih kepada Ki Jayaraga.
“Ada apa, Glagah Putih ?” sahut Ki Jayaraga sambil
melangkah mendekat.
“Guru, ayah Widura di Jati Anom mengalami peristiwa
serupa seperti yang dialami kakang Swandaru.
“Kenapa dengan
Ki Widura ?”
Nampak Glagah Putih diam sejenak, seperti sedang
mengingat - ingat sesuatu, tak lama kemudian diulanginya cerita ayahnya saat
kedatangan Kyai Gringsing di Padepokan Jati Anom, terjadi latihan yang singkat
dan Kyai Gringsing itu telah menuntun ayahnya dengan laku yang tidak pada
umumnya dan ayahnya pun telah menggunakan ilmu kebal lembu sekilan tetapi ilmu
itu telah terpecahkan dan Kyai Gringsing telah memukul sebuah pohon Mahoni
hingga berlobang sama dengan lobang di pohon randu ini. Ki Jayaraga mengerutkan
keningnya, cerita muridnya telah menggambarkan satu peristiwa yang serupa,
persamaannya terletak pada akibat sebuah pukulan yang menimpa sebuah pohon,
sama sama telah berlubang, sebesar kepala kerbau.
“Jadi Kyai Gringsing telah terlebih dulu ke Jati Anom
sebelum ke Menoreh ?” terdengar suara Ki Jayaraga setengah bertanya.
“Benar guru, bahkan sekarang ayah Widura telah
memanggil Kyai Gringsing sebagai Guru sepuh” kata Glagah Putih selanjutnya.
“Nampaknya angger Agung Sedayulah yang pantas mendapat
sebutan guru muda” sekali lagi terdengar suara Ki Jayaraga sembari menoleh
melihat pohon randu itu.
“Bersyukurlah
kita, Glagah Putih, Sang Pencipta telah menempatkan orang orang yang berilmu
linuwih disekitar kita, belajarlah dengan tekun bukan saja terhadap ilmunya
tetapi juga kepada bentuk kepribadiannya serta pandangan hidupnya, kedua sosok
yang sangat rendah diri, pendiam dan tidak banyak bicara, keduanya merupakan
orang - orang terpilih ngger.”
“Apakah angger setuju dengan pendapatku ?”
“Tentu Kyai, tetapi bagaimakah pandangan Kyai terhadap orang yang terlalu sering menasehati orang lain seolah dia sudah menggenggam dunia ini ? tanya Glagah Putih.
“Adakah orang semacam itu angger ? Siapakah orang itu angger ?” tanya Ki Jayaraga
“Tidak guru aku hanyai berandai - andai saja”
“Baiklah, ingatlah ini angger, tiada kesempurnaan pada diri manusia ini, kesempurnaan itu hanyalah milik semata Illahi Robbi”
“Bagaimana aku harus bersikap kyai ?”
“Tentu Kyai, tetapi bagaimakah pandangan Kyai terhadap orang yang terlalu sering menasehati orang lain seolah dia sudah menggenggam dunia ini ? tanya Glagah Putih.
“Adakah orang semacam itu angger ? Siapakah orang itu angger ?” tanya Ki Jayaraga
“Tidak guru aku hanyai berandai - andai saja”
“Baiklah, ingatlah ini angger, tiada kesempurnaan pada diri manusia ini, kesempurnaan itu hanyalah milik semata Illahi Robbi”
“Bagaimana aku harus bersikap kyai ?”
“Hem, apakah kau akan menggilas dan meledakkan
kepalanya ? Bukan itu angger, dengarlah apa yang dia ucapkan, tentu tidak semua
perkataannya salah, ambil yang bermanfaat dan tinggalkan sisanya”
“Apakah kau mengerti , ngger Glagah Putih ?”
“Baik guru aku telah mengerti” jawab Glagah Putih dengan kepala tertunduk. jiwanya yang muda terkadang telah meledak - ledak.
“Apakah kau mengerti , ngger Glagah Putih ?”
“Baik guru aku telah mengerti” jawab Glagah Putih dengan kepala tertunduk. jiwanya yang muda terkadang telah meledak - ledak.
“Marilah kita kembali ke angger Swandaru, nampaknya angger
Pandan Wangipun telah terlihat siuman” kata Ki Jayaraga sambil melangkah ke
arah adik seperguruan Agung Sedayu itu.
Saat itu Pandan Wangi telah membaik meskipun belum
tersadar, tangan itu terkulai lemah dan menggenggam tangan orang yang tengah
duduk disebelahnya itu, Agung Sedayu tak kuasa untuk melepas genggaman itu,
matanya menerawang jauh, memandang bebatuan yang berserakan di sungai kecil
itu.
Tidak beberapa lama Pandan Wangipun telah tersadar,
rambutnya yang panjang itu sudah tidak tertata lagi, wajahnya yang pucat dengan
perlahan telah memerah dan matanya yang kabur telah menjadi terang kembali,
dipandanginya lelaki yang duduk didepannya itu, tangannya tak jua melepaskan
gengaman itu, ingatannya telah pulih kembali dan segera ia menangis terisak -
isak.
“Akulah yang
seharusnya mencegahmu kakang tetapi aku tak sanggup menghentikan gerakan itu,
sudah berulangkali aku meyakinkan kakang Swandaru tetapi selalu gagal, aku
tidak mengerti, bagaimana aku harus bersikap selanjutnya ? Apakah kakang benar
- benar telah merasa kecewa terhadap kakang Swandaru dan tidak ada harapan
untuk memperbaikinya ? Apakah sudah sepantasnya kakang menghukumnya dan tidak
memberi kesempatan lagi ? Apakah yang kakangrasakan jika melihatku seperti ini
? Kakang, akan melihatku tanpa kakang Swandaru lagi, aku mohon maaf telah
berulang kali menyakiti hati kakang” Seribu perkataaan Pandan Wangi telah
meluncur seperti air terjun Grojogan Sewu, sangat deras tanpa hentinya melanda
nurani seorang Agung Sedayu yang tengah rapuh.
Anak Jati Anom ini benar - benar telah tersudut di
pojok sebuah dinding saat malam yang sangat gelap tanpa bintang ataupun
rembulan dan seolah tak bisa bergerak lagi, kebimbangan dan keraguan telah
membelenggunya, ia tidak mengerti harus berkata apa lagi, mulutnya benar -
benar terkunci, dipandanginya mata yang memerah itu, mata itu seolah menuntut
sesuatu yang sangat besar darinya, tak kuasa melihatnya, terdengar Agung Sedayu
telah menggeram, segera dibuangnya pandangannya jauh - jauh, menurutnya Pandan
Wangi belum mengerti keadaan sebenarnya, putra Ki Demang itu tidak mengalami
sesuatu yang gawat dan dia tetap hidup bahkan telah ditunggui oleh Ki Jayaraga
dan Glagah Putih.
Sebangsal ilmunya ternyata tidak bisa menahan getaran
yang mengalir dari tangan Pandan Wangi itu, terasa hangat merambati sekujur
tubuhnya dan telah melaju dengan cepat menuju jantungnya, kenikmatan itu benar
- benar telah menggetarkan dadanya, perasaannya bergolak hebat dan keringat
dingin telah mengembun di keningnya. Matanya tak kuat lagi memandang mata yang
sembab itu, mata yang menyimpan bongkahan air yang akan segera pecah.
Beberapa tarikan nafas telah dilakukannya, tetap saja
tak bisa menahan getaran yang merambat dari putri Menoreh itu. Jika saja semua
orang tahu, bahwa sesungguhnya getaran itu telah melebihi tataran puncak dari
ilmunya, Bayu Lampah. Tangan mungil nan lembut itu terus menggegamnya, tangan
itu seolah tidak akan terlepas.
Tidak satu patah katapun yang terucap keluar dari
mulutnya, dia ingin segera menatap putri Menoreh itu dan berkata,” lepaskan
tanganmu Wangi,” tetapi ternyata nyalinya tidak cukup kuat mengatakan itu,
Agung Sedayu seorang murid Raden Pamungkas sepertinya telah ketakutan saat
melihat pipi yang merona semu kemerahan dan bibir Pandan Wangi yang telah basah
oleh airmata itu.
Dan seolah semua orang di seluruh tlatah bang wetan
telah menantangnya,
“Ayo Ki Rangga kerahkan semua ilmumu ! "
“Ayo Ki Rangga kerahkan semua ilmumu ! "
Ki Rangga ternyata telah hampir putus asa, ilmu apa
lagi yang mampu melawan getar perasaannya sendiri. Getar perasaan yang mengaliri
tangan seorang Pandan Wangi telah benar - benar meluluh lantakan semua ilmunya.
Desir langkah
ki Jayaraga telah membangunkannya dari sebuah mimpi buruk, tangan kirinya yang
terbebas dari genggaman tangan Pandan Wangi itu telah bergerak cepat menotok
simpul syaraf di belakang bawah telinga kanannya, sekejab kemudian sebuah
tarikan nafas yang panjang telah mengakhiri penderitaannya, udara malam itu
telah dihisapnya dalam - dalam, lalu katanya lembut,” Wangi, sungguh aku tidak
mengerti apa yang telah kau ucapkan, aku tidak berbuat sesuatu apapun terhadap
adi Swandaru kecuali melayaninya dan aku merasa telah berbuat sebaik - baiknya,
meskipun ternyata telah membuatmu pingsan” itu saja yang meluncur dari
mulutnya.
“Bukankah kakang telah membunuh kakang Swandaru ?” terdengar
tangis Pandan Wangi meledak seperti bendungan pecah.
Agung Sedayu telah memandang ke arah Ki Jayaraga yang
telah berjalan mendekat. Mata itu seolah tidak memancarkan sinar
keperkasaannya, pandangan mata yang benar - benar kosong, gemetar oleh suatu
perasaan yang aneh, benar - benar telah membuatnya lupa menceriterakan keadaan
Swandaru yang sebenarnya.
“Angger Pandan Wangi, lihatlah kearah pohon randu itu,
lihatlah angger Swandaru telah terduduk menunggu kedatanganmu” ujar Ki
Jayaraga.
Bagai disengat kalajengking di tengkuknya mendengar
perkataan itu, dilepaskannya genggaman tangannya itu dan bergegas menuju Ki
Swandaru Geni.
***
Beberapa hari kemudian, Ki Swandaru Geni telah pulih seperti sediakala, kekagumannya kepada kakak seperguannya benar - benar seperti menyentuh langit,” Kakang Sedayu, bagaimana caramu mempelajari kitab guru itu ?” satu saat pertanyaan itu telah meluncur dari seorang Swandaru.
“Adi, aku mempelajarinya sama seperti adi, tidak ada
hal lain yang melebihi cara belajar adi”
“Mengapa hasil yang ku dapatkan berbeda kakang, tidak
sebaik kakang”
“Tidak berbeda adi, kebetulan saja aku telah
mempelajarinya terlebih dahulu”
“Suatu saat, aku mohon padamu kakang, bantulah aku
untuk mempelajari kitab guru itu”
“Dengan senang hati adi, kapan saja adi mau, hanya adi
harus datang ke Menoreh sebab aku telah terikat dengan pasukan khusus itu.”
Hari baru nan cerah telah menghampar indah di bumi
menoreh, Pandan Wangi telah dengan setia melayani ayahnya, di pagi hari itu.Ki
Argapati telah berjalan bersama Panda Wangi melihat - lihat suasana padukuhan
induk itu, seringkali tampak Ki Gede tertawa mendengar perkataan anaknya itu,” Pandan
Wangi, bagaimana kalau kau setiap enam purnama berada di Menoreh berkumpul
dengan kami dan enam purnama sisanya kau berada di Sangkal Puting ?” tanya
ayahnya.
Sebagai anak, Pandan Wangi telah mengerti apa yang
dimaksud oleh ayahnya,
“Sebenarnya aku ingin kembali ke Menoreh ayah, sesegera mungkin, tetapi ayah harus ingat, aku tidak sendiri lagi, aku sudah memiliki suami dan anak yang tinggal di Sangkal Putung,” kata - kata itu telah menghentikan langkah kaki Ki Gede, dipandanginya wajah putrinya itu dan segera di peluknya, seakan ia memeluk Pandan Wangi kecil. Bapak dan anak itu telah menyusuri jalan kembali menuju rumah induk.
“Sebenarnya aku ingin kembali ke Menoreh ayah, sesegera mungkin, tetapi ayah harus ingat, aku tidak sendiri lagi, aku sudah memiliki suami dan anak yang tinggal di Sangkal Putung,” kata - kata itu telah menghentikan langkah kaki Ki Gede, dipandanginya wajah putrinya itu dan segera di peluknya, seakan ia memeluk Pandan Wangi kecil. Bapak dan anak itu telah menyusuri jalan kembali menuju rumah induk.
Sementara di barak pasukan khusus telah terjadi
peningkatan kegiatan, beberapa lurah prajurit tampak terlihat hilir mudik dan
di barak lainnya terlihat Ki Rangga telah menerima tamu dari Mataram, beberapa
orang utusan Ki Patih Mandaraka.
“Ki Rangga, perkembangan yang tidak menentu ini,
sangat menggelisahkan hati para pemimpin di Mataram, Ki Patihpun tidak tidak
bisa mengetahui dengan pasti kapan gerakan ini akan menyentuh Mataram, untuk
menanggapi hal ini beberapa brigada pasukan Mataram yang tersebar telah di
minta segera memepersiapkan diri, brigada Ganjur telah mulai berbenah, pasukan
Tumenggung Untaradirapun di Jatinom telah bersiap - siap.” kata utusan itu kepada Ki Rangga.
Di depan utusan itu, Ki Rangga telah duduk dengan
tangan bersendekap, dadanya terasa berdebar meski tidak begitu kencang.
“Sebenarnya kami juga telah mempersiapkan diri sejak kedatanganku dari kepatihan saat itu, ?” desis Ki Rangga
“Sebenarnya kami juga telah mempersiapkan diri sejak kedatanganku dari kepatihan saat itu, ?” desis Ki Rangga
“Selanjutnya apakah ada pesan khusus dari Ki Patih
Mandaraka”
“Benar Ki Rangga, secara umum pesan itu adalah
peningkatan kemampuan pasukan khusus ini harus di percepat dan harus menjadi
pasukan terbaik diantara beberapa pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram,
sedangkan pesan yang lainnya, Ki Rangga harus membentuk kelompok - kelompok
kecil yang bertugas untuk menyebarkan pemberitahuan kepada beberapa perguruan
yang tersebar di sekitar Menoreh, sampai daerah Wanasaban dan yang terakhir Ki
Patih telah memerintahkan kepada Ki Rangga untuk melepas 2 orang prajurit yang
bernama Glagah Putih dan Rara Wulan untuk bergabung dengan prajurit telik sandi
khusus yang akan di bentuk Mataram dalam waktu dekat ini”
“Hem, nampaknya persoalan ini telah meningkat pada
persolan yang harus di tanggapi Mataram dengan sungguh - sungguh” kata Ki
Rangga perlahan.
“Benar Ki Rangga, bahkan aku telah mendengar ada dua
orang Tumenggung yang telah diutus oleh Ki Patih pergi ke Kadipaten Jipang” gumam
utusan itu
“Baiklah, Ki Rangga Tirtabaya, aku telah menerima
pesan sekaligus perintah ini dan aku dengan segenap pasukan khusus ini akan
menjunjung tinggi semua yang telah ditetapkan oleh Mataram, dan akupun berharap
dalam waktu tidak terlalu lama aku akan menghadap ke Mataram untuk mendapatkan
keterangan - keterangan lain yang sangat berguna pagi pasukan ini”
Demikianlah kedua Rangga Mataram itu telah berpisah,
sepeninggal utusan itu segera Ki Rangga telah mengumpulkan beberapa lurah
prajuritnya dan memerintahkan agar segenap jajaran pasukan khusus di Menoreh
segera bersiap - siap menyambut segala kemungkinan yang terjadi.
Glagah Putihpun telah dipanggilnya. “Glagah Putih,
rupaya kita harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan yang
terjadi saat ini, kaupun telah mendapat perintah dari Ki Patih untuk bergabung
dengan pasukan telik sandi khusus“
“Baik kakang, aku siap kapanpun aku di perintahkan,
bagaimana dengan Rara Wulan ? Apakah dia mempunyai tugas khusus ?” tanya Glagah
Putih kepada kakak sepupunya itu.
“Benar, Rara Wulan akan bersamamu, bergabung dengan
prajurit telik sandi, rincian tugas itu belum aku terima sepenuhnya, dalam
beberapa hari kedepan tentu kita akan menerima nawala dari Mataram ,” Ki Rangga
berhenti sebentar, matanya menatap pada tanah lapang di depan barak Pawiyatan
itu.
“Hari ini aku akan pulang sedikit awal, aku akan
mempersiapkan kepulangan kakangmu Swandaru, nanti saatnya kau pulang, tolong
sampaikan pesanku kepada Ki Lurah Putrayuda agar dia mempersiapkan semua
peralatan latihan di sanggar terbuka, kita akan memerlukannya besok,”
“Baik kakang”
“Kakang, bolehkah aku menyampaikan saran mengenai
kepulangan kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi ?” tanya Glagah Putih. Tentu
saja pertanyaan itu membuat Ki Rangga tersenyum,” Ada apa, Glagah Putih ?”
“Apakah kakang tidak merasa kawatir melepas kitab itu
bersama kakang Swandaru dan kangmbok Pandan Wangi saja ?”
Mata anak Ki Widura itu memandang wajah kakaknya,
kening Ki Ranggapun tengah berkerut meski tidak terlalu dalam.
“Akupun sedang berpikir, seandainya tidak ada perintah
dari Ki Patih kepadamu, tentu aku sudah memintamu bersama Rara Wulan untuk
menemani perjalanan itu, tetapi tidak bisa dalam waktu sekarang ini Glagah
Putih,” berhenti sejenak, lalu terusnya,” aku akan meminta Ki Jayaraga untuk
pergi bersama mereka dan aku akan menyuruh Sukra untuk ikut, supaya anak itu mendapat
pengalaman baru, sudah waktunya mengenal daerah lain selain Menoreh”
“Bagus sekali kakang, tentu membuat Sukra tidak bisa
tidur saat mau berangkat” terdengar suara tertawa Glagah Putih.
Dirumah Ki Gede, pasangan suami istri itu tengan
mempersiapkan diri karena besok pagi akan segera meninggalkan menoreh kembali
ke Sangkal Putung, mereka telah meninggalkan Swatantra untuk waktu yang cukup
lama. Dengan wajah ceria Swandaru telah mempersiapkan segalanya, bahkan jenang
alot bikinan Nyi Turimah telah pula di bungkusnya dengan rapi.
Sementara Ki Gede melihat semuanya itu dengan
wajah yang sedikit murung, ia akan berpisah lagi dengan anak menantu dan Pandan
Wangi putrinya itu, terkadang tanpa disadari orang tua itu telah mengeluh,
siapa yang akan meneruskannya, menjadi panutan orang – orang di Tanah Perdikan
Menoreh.
Dari gandok lain terlihat Pandan Wangi tengah berjalan
dengan memakai pakaian kebaya lengkap berwarna cokelat muda dengan rambut yang
telah ditata rapi dengan sanggulnya itu, Ki Gede memandangnya dengan penuh
kebanggaan, orang tua itu menyadari bahwa putri semata wayangnya itu sudah
tidak muda lagi, tetapi pada usianya sekarang sangat sulit untuk mengatakan
bahwa anaknya bukanlah seorang perempuan yang cantik, dagu anak itu seperti dagu
miliknya, belah jambe.
“Pandan Wangi, kenapa kau berpakaian seperti ini ?
tanya Swndaru keheranan ketika Pandan Wangi telah menyentuh punggungnya.
Nampak putri Menoreh itu tersenyum, sejenak wajahnya
menunduk membetulkan lipitan pada kain panjangnya, lalu dengan wajah keheranan
telah menatap wajah yang gemuk bulat itu, katanya, “Apakah tidak boleh
kakang ? Sesekali aku ingin berpakaian seperti ini, bukankan aku sudah
mengatakan padamu kakang bahwa sore hari ini, teman kecilku Surti akan
melangsungkan pernikahan dengan anak Ki Jagabaya, aku dan Menik serta Sasih
akan menghadiri acara itu, apakah kau mau ikut, kakang ?”
“Tentu tidah Wangi,aku hanya heran saja, wajahmu benar
– benar cerah seperti bintang dilangit saat purnama sidhi” terdengar Swandaru
memuji keelokan rupa istrinya.
“Apakah kakang tidak menyadari sebelumnya ?”
“Menyadari apa Wangi ?”
“Menyadari seperti yang kakang ucapkan tadi”
Keningnya telah berkerut, tiba - tiba Swandaru telah
berjalan mengelilingi tubuh itu serta berhenti didepannya, anak Sangkal Putung
itu memandang tajam wajah Pandan Wangi, lalu katanya,” Kau betul – betul elok
rupa Wangi, tetapi aku tidak bisa membayangkan mimikmu ketika perutmu sakit,
kau berlari dan kemudian duduk di jambangan pakiwan, muka itu pastilah
menyeramkan, lebih menakutkan dari muka Sengkuni saat murka”
Tawa Swandaru segera meledak memenuhi semua ruangan
dirumah itu, tubuh gemuk itu telah berguncang, oleng kekanan lalu kekiri, Ki
Gede yang mendengar percakapan itu telah tersenyum, Swandaru baginya adalah menantu
yang menyenangkan.
Tanggapan lain telah datang dari Pandan Wangi,
tangannya telah terjulur lurus mengapai perut suaminya, tidak ingin perutnya
menjadi sasaran maka Swandaru Geni telah bergerak cepat, dengan sigapnya telah
meloncat menjauh, menghindari sergapan tangan Pandan Wangi.
Di rumah, Ki Rangga tengah menyampaikan permintaan
kepada Ki Jayaraga, orang tua itu telah tersenyum, katanya,” Satu tugas yang
sangat berat angger Sedayu”
Ki Rangga tersenyum mendengar perkataan itu, bahkan
Nyi Sekar Mirahpun telah menyahutnya,” Perjalanan yang menyenangkan Kyai,
dengan hadirnya Sukra maka Kyai tidak akan pernah mengantuk.” Segera saja
mereka tersenyum dan tertawa kecil, Sukra akan menempuh perjalanan yang cukup
panjang.
Hari itu telah tiba, setelah berpamitan kepada seluruh
sanak kadang maka kuda merekapun segera berderap meninggalkan padukuhan induk
Menoreh dan menuju ke Sangkal Putung, dalam perjalanan itu, meski Ki Jayaraga
banyak bercanda tetapi sebenarnya hatinya telah mengidap rasa was - was, betapa
tidak, dirinya telah dipercaya oleh Ki Rangga untuk mengawal Kitab Windujati,
sebuah kitab yang sangat dipercaya memuat tuntunan kehidupan dan sebangsal ilmu
yang nggegirisi, Sukra yang berkuda disampingnya benar - benar telah menikmati
perjalanan itu, wajahnya tampak terang, anak itu tak henti - hentinya
memandangi semuanya yang nampak selama perjalanan, seakan matanya tak pernah
berkedib, rasa kagumnya melihat pemandangan membawanya pada sikap bersyukur
yang tiada habisnya.
Swandarupun tidak banyak bicara, dibenaknya telah
terpikir, setelah tiba di Sangkal Putung dia akan berlatih sangat keras siang
dan malam, mengejar ketertinggalan dari kakak seperguruannya maka kerja keras
adalah pilihan yang tak bisa ia elakkan, tetapi terkadang ia merasa kebingungan
ilmu manakah yang harus dipelajarinya terlebih dahulu.
Penyeberangan di Sungai Progo sekarang telah bertambah
ramai, terlihat banyak orang yang lalu lalang dengan membawa sesuatu yang
diperdagangkan, masuk dan keluar Menoreh, sementara satang yang membawa
Swandarupun telah bergerak perlahan, Ki Jayaraga tak sedikitpun kehilangan
kewaspadaanya, matanya yang awas telah memandang sekelilingnya, sementara Sukra
telah berjongkok, tangannya menyentuh air yang kebetulan hari itu terlihat
tidak begitu keruh.
“Sukra, apa yang sedang kau pikirkan” terdengar suara
Ki Jayaraga membuyarkan lamunan anak yang sedang berjongkok itu.” Kyai sungai
yang besar ini, pada saat hujan lebat, apakah tidak menimbulkan banjir ?” tanya
Sukra.
“Kita harapkan tidak Sukra, entah beberapa tahun
mendatang, saat manusia sudah semakin banyak atau terjadi sesuatu yang diluar
perkiraan, bisa saja sungai ini meluap dan menggenangi daerah disekitarnya,”
Mata Sukra
terus memandang ke arah air yang mengalir tidak begitu deras itu, perasaannya
berkecamuk tak menentu, terselip rasa gembira dan juga rasa takut, bagaimana
jika tiba - tiba sungai Progo itu banjir, meluap serta menggulungnya ?
Satang itu tetap bergerak dengan lambatnya, terkadang
harus berhenti sebab terhalang oleh batu yang cukup besar, semua orang yang
diatasnya juga mengerti dan sabar menunggu satang itu berbelok dan meneruskan
perjalanannya.
Ketika semua mata memandang arah tepian sungai Progo
yang sebentar lagi akan segera mereka capai, tiba - tiba Pandan Wangi telah
terpekik kecil, jarinya bergerak menunjuk kearah penyeberangan dimana mereka
mulai naik satang, Swandaru dan Ki Jayaraga nampak terkejut, mereka segera
mengarahkan pandangan sesuai gerakan tangan itu, diantara sinar matahari yang
memantul di permukaan sungai progo, sesosok tubuh bagaikan terbang telah
melesat melintasi sungai progo itu, kakinya sesekali telah menjejak ke air
untuk mendorong tubuhnya supaya tetap terapung diudara dan dengan cepatnya
sesosok tubuh itu menyeberang dan telah mendarat, jauh lebih cepat dari gerakan
satang Swandaru.
Setelah mendaratkan kakinya ke bumi, sosok itu telah
berjalan menghilang diantara semak belukar yang masih banyak bertebaran
sepanjang pinggiran sungai itu.
Seakan bermimpi di pagi hari, semua orang diatas
satang itu telah melihat suatu yang mengagumkan, seseorang telah menyeberang
sungai progo tanpa rakit.
Pandan Wangi telah bergerak mendekati Ki Jayaraga,
katanya,” Kyai, apakah kyai telah melihat yang sekilas itu ?”
“Benar ngger, aku telah melihatnya jelas sekali,
tetapi aku tak melihat wajahnya, aku telah mencoba mengenalinya, bahkan aku
telah mengirim pameling kepada orang - orang yang kuduga mampu melakukan hal
tersebut namun tak ada jawaban” jawab Ki Jayaraga, detak jantungnya mulai
berubah dan terasa semakin cepat.
“Siapakah orang itu kyai ?” suara Swandaru juga telah
mendesak Ki Jayaraga.
“Aku tidak mengenalnya ngger”
“Ilmu meringankan tubuhnya sangat luar biasa kyai” masih
terdengar suara lanjutan dari Swandaru, anak gemuk itu masih terheran - heran,
tiba - tiba ia teringat kepada saudara seperguruannya,” Kyai, apakah orang itu
kakang Agung Sedayu ?”
Pandan Wangi telah terhenyak mendengar nama itu
disebut, sementara Sukra juga turut berbicara,” Tidak mungkin Ki Swandaru ! Ki
Rangga itu sekarang masih ada di Menoreh dan Ki Rangga tetap akan membutuhkan
rakit ini untuk menyeberang, tadi itu bukanlah seseorang melainkan hantu yang
telah kemanungsan, dia pulang kesiangan Ki”
Ki Jayaraga sempat tersenyum mendengar kata - kata
Sukra itu, bahkan Pandan Wangi itu telah menyahut,” Kau benar Sukra, tentu Ki
Rangga Agung Sedayu ada di Menoreh di barak pasukan khusus”
Swandaru mengerutkan keningnya, kata - kata Sukra tak
bisa dipahaminya, dipandanginya wajah anak itu, tetapi dia tidak mengucapkan
sepatah katapun. Satang itu telah merapat, merekapun telah turun dan segera
melanjutkan perjalanan menuju Sangkal Putung.
Sebuah perjalanan yang menegangkan bagi Ki Jayaraga,
betapa tidak, sebagai orang tua yang berpengalaman, kehadiran sosok yang
melintas sungai Progo itu benar - benar telah mengambil perhatiannya,
keselamatan Sukra dan anak - anak Sangkal Putung itu berada ditangannya,
sembari memacu kudanya sesekali Ki Jayaraga telah melihat kedalam dirinya,
beberapa ilmu simpanannya telah ditiliknya, ilmu yang sudah lama tidak ia pergunakan.”
Apakah ilmu itu masih mampu aku ungkap ?”
Orang tua itu menyadari keterbatasan kekuatan jasmani
dan rohaninya, sedangkan untuk mengungkap ilmu itu ia memerlukan dukungan
jasmani yang sangat besar,” Semoga tidak terjadi sesuatu, matahari telah mencapai
puncaknya dan sebentar lagi aku akan sampai daerah kekuasaan angger Untara,
tentu akan banyak prajurit yang meronda” katanya dalam hati.
Di depan Swandaru telah memacu kudanya yang cukup
tegar itu, kepalanya tegak memandang kedepan, hatinya telah merasakan
kebahagiaan, tidak memakan waktu terlalu lama lagi dia akan memasuki Sangkal
Putung.
Hampir memasuki hutan kecil disebelah utara Jati Anom,
tiba - tiba Ki Jayaraga telah memacu kudanya mendekati kuda Swandaru, katanya
“Angger sebaiknya kita tidak terlalu cepat memacu kuda, didepan kita terbentang hutan kecil, sebaiknya kita hati - hati angger, dadaku terasa berdebaran,”
“Angger sebaiknya kita tidak terlalu cepat memacu kuda, didepan kita terbentang hutan kecil, sebaiknya kita hati - hati angger, dadaku terasa berdebaran,”
Swandaru menangkap apa yang dimaksud oleh Ki Jayaraga
segera memperlambat derap kudanya.” Biarlah aku yang di depan, angger Swandaru”
Tanpa menunggu persetujuan Swandaru, Ki Jayaraga telah
berkuda paling depan, kewaspadaannya telah ditingkatkan, dipertajam pandangan
matanya, kuda mereka telah memasuki hutan itu tetapi sudah tidak berlari lagi,
seolah kuda itu hanya melangkahkan satu persatu kakinya.
“Kita berhenti sebentar ngger, tempat ini lebih
terbuka”
Pandan Wangi segera merapat mendekati suaminya sedangkan kuda Sukra telah bergerak ke arah Ki Jayaraga,” Sukra berhati - hatilah, mungkin kita akan menghadapi beberapa orang jahat yang akan merampok kita, persiapkan dirimu,”
Pandan Wangi segera merapat mendekati suaminya sedangkan kuda Sukra telah bergerak ke arah Ki Jayaraga,” Sukra berhati - hatilah, mungkin kita akan menghadapi beberapa orang jahat yang akan merampok kita, persiapkan dirimu,”
“Baik Kyai, sekarang aku sudah siap, apapun yang
terjadi aku siap Kyai, aku akan melawan siapapun yang mencoba mengganggu kita,
aku akan membantu Kyai menghadapi orang itu”
Ki Jayaraga tersenyum, dengan lembut telah berkata,” Mendekatlah
kepada Ki Swandaru, sementara biarkan aku disini dulu.”
“Kemarilah Sukra” kata Pandan Wangi telah meluncur
memanggil Sukra dan kuda Sukrapun telah bergerak mendekat.
Merekapun segera meloncat turun dari kudanya dan
bersiap menghadapi segala kemungkinan, mata mereka segera menatap hutan itu
seolah telah mencari sesuatu, suasana di hutan itu tetap tenang sama sekali
tidak menampakan suatu keganjilan.
Swandaru nampak memandang ke arah Ki Jayaraga dengan
raut muka yang menegang,
“Orang tua itu tentu tidak mengada -ada” pikirnya.
“Orang tua itu tentu tidak mengada -ada” pikirnya.
Sementara Pandan Wangi telah mengenakan sepasang
pedang tipisnya.
kegelisahan keempat orang itu segera terjawab, saat terdengar suara tertawa perlahan, namun suara itu seakan telah merambat kesemua urat kayu di hutan itu, suara yang telah menggetarkan semua dada orang yang tengah mendengarkannya,
kegelisahan keempat orang itu segera terjawab, saat terdengar suara tertawa perlahan, namun suara itu seakan telah merambat kesemua urat kayu di hutan itu, suara yang telah menggetarkan semua dada orang yang tengah mendengarkannya,
Tiba - tiba terlihat Sukra telah memegang dadanya,
wajahnya telah memucat tetapi anak itu terlihat tidak menyerah, dicobanya
menghentakan seluruh tenaganya untuk bertahan, bahkan dengan sisa tenaganya ia
telah berteriak sekuat - kuatnya,” He orang yang tak tahu diri kenapa kau
bersembunyi ? keluarlah kami akan menghadapimu dan Ki Jayaraga akan segera
menghukummu”
Suara tertawa itu telah berhenti sesaat, yang
terdengar adalah kata-katanya, meskipun perlahan,” Siapa kau bocah tengik ?”
“Sukra, namaku Sukra,” jawab anak muda itu tak kalah
lantangnya.
Ki Jayaraga sengaja membiarkan Sukra berbuat sesatu, ia sedang berusaha mencari dimana keberadaan orang yang semula tertawa itu.
Ki Jayaraga sengaja membiarkan Sukra berbuat sesatu, ia sedang berusaha mencari dimana keberadaan orang yang semula tertawa itu.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah sangat mengejutkan
semuanya, tidak tahan akan suara tertawa itu maka Swandaru telah meloncat
kedepan, begitu kakinya menjejak tanah maka anak Sanggal Putung telah
menghentakkannya cambuknya sendal pancing, sebuah ledakan dahyat telah
menggetarkan hutan kecil itu.
Suara cambuk itu bukannya menghentikan suara orang
itu, malah terjadi sebalikya terdengar suara tertawa mengguntur seolah
mengatasi suara ledakan itu, “Apakah kau yang disebut orang bercambuk itu ? He”
“Jika orang bercambuk itu adalah kau maka aku telah
menyesal datang kemari, suara lecutanmu telah mengagetkan kambing milik orang
di padukuhan sebelah itu.”
Mendengar suara itu Sukra telah terjatuh, tubuhnya
telah terlentang di rerumputan hutan kecil itu. Ki Jayaragapun segera melangkah
mendekati tubuh itu, mengangkatnya serta meletakkan pada tempat yang teduh.
Sesaat kemudian orang tua itu telah berdiri menghadap
pohon trembesi yang tegak dan angkuh itu, diperkirakannya arah suara itu
berasal, katanya,” Ki sanak, kau tentu orang yang mempunyai ilmu linuwih,
sebaiknya kau menampakkan diri dan kita akan saling mengenal.”
“Percuma dan sangat membuang waktuku” dengus suara
itu.
Swandaru yang tidak mengerti dimana keberadaan orang
itu telah benar - benar merasa di remehkan, sekali lagi cambuknya telah
berputar diatas kepalanya, dan segera dihentakkannya sendal pancing, tidak
terdengar suara yang memekakan telinga tetapi cambuk itu telah menebarkan
getaran yang sangat kuat dan melanda setiap dada orang yang berada di
sekitarnya.
“Nah, kisanak, cepatlah keluar atau aku akan segera
melecutmu” teriak Swandaru.
Tidak segera terdengar jawaban, hutan itu nampak
lengang, tidak terdengar suara burung berkicau bersautan.
“Apakah kau akan keluar, Ki sanak atau aku benar -
benar akan menyerangmu ?” teriak Swandaru Geni. Sementara Pandan Wangi pun
telah menunggu dengan tegangnya, pandangan matanya, seolah telah menembus semua
sisi hutan itu tetapi yang dicarinya tidak ditemukannya.
Pencarian itu telah berhenti, ketika suara tertawa itu
terdengar kembali perlahan dan berkepanjangan.
“Awas ! Orang itu telah mengungkap aji Gelap Ngampar” teriak
Ki Jayaraga menggelegar serasa memukul gendang telinga Swandaru dan Pandan
Wangi.
Sebenarnyalah ajian Gelap Ngampar telah diterapkan
orang itu, justru pada tataran yang cukup tinggi, suara itu tidak terlalu keras
namun berkepanjangan, bak deburan ombak pantai selatan bergulung - gulung tiada
putusnya menghantam dada semua orang yang mendengarkannya.
Bagi Ki Jayaraga bukanlah suatu hal yang terlalu
sulit, orang tua itu segera menutup indera pendengarnnya, dan masih terlihat
kokoh berdiri bak batu karang di tengah lautan, dengan kaki renggang telah
menghadap kearah suara itu, sementara Pandan Wangi dan Swandaru nampak berusaha
keras menutup indera pendengarannya, keduanya telah merasakan sentuhan Aji
Gelap Ngampar yang benar - benar nggegirisi., dada merekapun serasa sesak,
bahkan terlihat tubuh Swandaru yang menerapkan aji Tamengwaja sejak awal telah
bergetar, nampak anak Sangkal Putung itu kebingungan, ada keinginannya untuk
menyerang langsung kepada sumber suara itu tetapi kemana dia akan mengarahkan
ilmunya, dia tidak mengetahui dimana orang itu berada, sedangkan ilmu
tamengwajanya ternyata tidak berarti sama sekali melawan ajian Gelap Ngampar
itu.
Ki Jayaraga tidak akan membiarkan keduanya mengalami
kesulitan, segera orang tua menjulurkan kedua tangannya kedepan, dalam sekejab
gerakan tangan itu telah mengangkat debu dan dedaunan kering dan segera
berputar cepat makin lama semakin membesar seperti angin puting beliung. Tangan
Ki Jayaraga telah bergerak kesamping dan angin itupun telah berputar mengikuti
gerakan tangan Ki Jayaraga.
Meskipun tidak terlalu besar tetapi angin itu benar -
benar telah berputar dan masuk kedalam hutan itu, terus bergerak menyasak
diantara celah celah pepohonan, ranting lapuk dan daun yang telah menguningpun
segera teraduk - aduk tanpa ampun. Angin berputar yang membawa udara panas itu
benar - benar telah mencari mangsanya.
Swandaru Geni dan Pandan Wangi telah melihat semuanya,
mereka bagaikan anak kecil yang telah melihat permainan para raksasa di
belantara ilmu kanuragan, ilmu yang mereka miliki ternyata belum cukup untuk
bertahan apalagi menilai kedahsyatan kedua ilmu itu.
Nampak keringat mengembun di kening Ki Jayaraga,
sementara angin pusaran itu telah berhenti, seolah telah menemukan mangsanya
dan segera angin itu akan melumat dan meremukan apa saja yang dilibatnya,
Swandarupun dengan diam - diam telah mengagumi ilmu Ki Jayaraga itu.
Angin prahara berhawa panas itu terus berputar semakin
lama semakin cepat dan ternyata tidak bergeser sejengkalpun, Ki Jayaraga juga
merasakan bahwa angin praharanya telah melibat orang yang telah menerapkan
ajian Gelap Ngampar itu.
Dalam hati Pandan Wangi telah bersyukur, bagaimana
jadinya jika Ki Jayaraga tidak bersama mereka, kekagumannya kepada sosok Agung
Sedayu semakin tidak bisa dicegah lagi, seolah adik Untara itu mengetahui apa
yang bakal terjadi saat mereka kembali Ke Sangkal Putung.
Sungguh aneh dan diluar dugaan Ki Jayaraga, suara
tertawa itu masih saja terdengar bahkan semakin menyakitkan dada anak - anak
sangkal Putung itu.
“Ki sanak, Gelap Ngamparmu tidak berarti apa - apa
bagiku, keluarlah !” suara Ki Jayaraga terdengar menggelegar bak guntur di
langit, kemampuannya telah benar - benar tidak di kekangnya lagi. Suara itu
langsung menusuk dada orang yang tidak diketahuinya itu.
Benturan kedua ilmu itu benar - benar dahsyat meski
tidak terlihat, Ki Jayaragapun benar - benar meyakini, bahwa orang yang tertawa
itu tentu tidak akan terganggu oleh ilmu yang telah dilontarkannya lewat suara
itu.
Tanpa sadarnya guru Glagah Putih itupun telah
berpaling kearah Swandaru, terlihat olehnya bahwa anak Ki Demang itu telah
benar - benar kebingungan, sedangkan Pandan Wangi tubuhnya telah nampak
gemetar.
“Kisanak jika kau tidak mau keluar maka akulah yang
akan datang padamu” geram Ki Jayaraga.
Seolah tak menghiraukan Ki Jayaraga, tiba - tiba
getaran suara tertawa itu telah meningkat dan semakin meningkat, sementara
Swandaru dalam kebingungannya telah mencoba mengurangi pengaruh suara tertawa
yang dilandasi ajian Gelap Ngampar itu, terlihat ia melecutkan cambuknya
beberapa kali, lecutan tanpa suara yang cukup mengetarkan.
Sebuah pertempuran yang sungguh aneh, wadag mereka
sama sekali tidak bersentuhan, hanya lontaran ilmu merekalah yang saling
berbenturan. Keringatpun telah membasahi tubuh Swandaru dan Ki Jayaraga.
Sementara itu Pandan Wangi telah jatuh terduduk,
gemuruh didadanya benar - benar sulit diatasinya, sebenarnya murid Ki Argapati
itu sudah memiliki ketahanan dan kemapanan ilmu yang cukup tinggi, tetapi
menghadapi pertempuran aneh itu ternyata bekalnya belum mencukupi.
Melihat istrinya terduduk maka darah Swandaru benar -
benar telah mendidih, dia telah lupa suba sita, bagaikan orang kesurupan setan
disiang bolong maka tanpa menghiraukan Ki Jayaraga dia telah meloncat menerjang
semak belukar dan cambuk itu telah dihentakkannya sampai tataran puncaknya,
akibatnya sungguh luar biasa, semak belukar itu seakan telah dihempas oleh kekuatan
raksasa, semuanya telah tercabut dari akarnya dan pepohonan yang tersentuh
cambuk itu telah bertumbangan.
Melihat tindakan Swandaru itu, berguncanglah dada Ki
Jayaraga, seumur hidupnya dia tidak pernah mengalami kekalutan hati seperti
yang dirasakannya saat ini, ternyata benar adanya bahwa tugas yang diberikan
oleh Ki Rangga padanya adalah suatu tugas yang maha berat. Ilmu praharanya
telah dilepaskannya dan matanya dengan penuh kecemasan telah mengikuti semua
gerakan anak Sangkal putung itu.
“Swandaru, berhenti” suara Ki Jayaraga benar - benar
mengguncang dada suami Pandan Wangi itu, tetapi nampaknya Swandaru sudah benar
- benar wuru, maka dengan membabi buta dia telah mengayunkan cambuknya, hutan
itu telah benar - benar diaduknya.
Ki Jayaraga benar - benar gelisah seakan tubuhnya
telah berdiri diatas bara, dia tidak bisa lagi menghentikan putaran
cambuk Swandaru itu, bila ia mendekat maka cambuk itu tentu akan meraba
tubuhnya, kegelisahan itu telah mencapai puncaknya saat dilihatnya Padan Wangi
telah terkulai pingsan.
Ki Jayaraga justru telah berdiri membeku, Swandaru
masih terlihat berloncatan masuk dan menerjang apa saja yang terbentang
dihadapannya, suami Pandan Wangi itu benar - benar seperti kerbau liar.yang
mengamuk di padang perburuan.
Dalam benak Ki Jayaraga, satu - satunya jalan
menghentikan Swandaru adalah menyerangnya secara langsung, tetapi serangan
terhadap anak itu tentu akan mengakibatkan luka, sedangkan hatinya tidak
menginginkan hal itu terjadi, tetapi jika dia hanya berdiam diri maka kemungkinan
terpahitpun akan segera menimpa murid kedua Kyai Gringsing itu.
“Aku akan menghentikannya, sebelum semuanya berakhir
dengan kepahitan, aku tak akan sanggup memikul kesalahan jika terjadi seuatu
terhadap angger Swandaru” gumam Ki jayaraga dalam hatinya, sekilas terbayang
wajah sahabat yang sangat dihormatinya dan wajah teduh Ki Rangga, keduanya
pasti akan menyalahkannya.
“Apa boleh buat, ” segera orang tua itu
mempersiapkan dirinya mengungkap sebuah ajian yang telah lama disimpannya,
sebuah ajian yang belum diturunkan kepada muridnya, ajian itu didapatnya dari
seorang pertapa yang tinggal di daratan kecil sebelah barat daratan Karimun
Jawa, ajian Sungsang Bumi.
Jari - jari tangannya telah merapat dan kedua
tangannya telah bergerak perlahan, naik dan berhenti di samping kedua
telinganya, terlihat tangan itu bergetar, telapak tangan dengan jari - jari
merapat itu telah terlihat mengepal, ibu jari telah menempel pada jari
telunjuk, ajian itu telah siap dan akan segera dilontarkan kepada Swandaru
meski pada tataran yang terendah.
Mata Ki Jayaraga telah memandang Swandaru, rupaya
suami Pandan Wangi belum juga menemukan sasaran yang dicarinya, dengan
kemarahan yang tak terkendali dia selalu bergerak kearah yang dicurigainya,
tetapi semua itu tak berlangsung lama, secepat Ki Jayaraga mengungkap ajiannya
maka secepat itulah sesosok bayangan telah berkelebat, menyusup diantara
putaran cambuk Swandaru, bahkan sosok itu tidak merasa khawatir sedikitpun bila
tubuhnya terhantam cambuk berkarah besi baja itu. Satu serangan cepat telah
melibat Swandaru, belum tuntas satu tarikan nafas, seolah sebuah tangan hantu
terlihat diantara rimbunnya dedaunan, tangan itu menghentak dagu Swandaru dan
sekaligus memecahkan ilmu Tamengwaja yang sangat di banggakan anak Sangkal
Putung itu.
Tubuh gemuk itupun telah terpental dan segera limbung
kekanan kemudian telah terjatuh menimpa bumi, tidak ada suara rintihan.
Dengan kening berkerut sosok itu telah berdiri
beberapa langkah dari tubuh itu. Hanya sesaat sosok itu memandangi tubuh
korbannya, dan dengan satu hentakan kaki kanannya tubuh itu telah meluncur
seakan terbang ke arah Ki Jayaraga, orang itu itu telah berdiri dengan kaki
merenggang dan menatap wajah guru Glagah Putih dengan wajah tegang.
“Assalamualaikum, Kyai, apa khabarnya?” sapa sosok itu
sembari tangan kanannya merenggut topeng kayu berwarna coklat yang menututpi
wajahnya.
Sesaat Ki Jayaraga terpaku di tempatnya, setelah
menjawab salam itu, Ki Jayaragapun segera melangkah kedepan dan menjabat tangan
orang itu dan segera memeluknya sesaat.
“Maafkan aku Kyai, aku telah menempuh cara ini, suatu
cara yang sangat berbahaya dan tentu sangat menegangkan bagi Ki Jayaraga” kata
Kyai Grinsing perlahan sembari tertawa.
Kyai Jayaraga tersenyum, dahinya masih tetap
berkerutbenaknya masih tersimpan beberapa pertanyaan yang belum memperoleh
jawaban.
“Aku benar - benar telah kehilangan akal kyai,
seandainya kemunculan Kyai sedikit saja terlambat, mungkin aku tidak akan
tinggal di Menoreh lagi, tentu anakmas Agung Sedayu akan murka dan aku tak akan
sanggup menahannya,” kata Ki Jayaraga.
“Ah, tentu tidak seperti itu, Kyai” sahut Kyai
Gringsing sembari berjalan kearah Pandan Wangi yang terbaring pingsan, Ki
jayaragapun telah berjalan disampingnya.
Setelah menempatkan tubuh Pandan Wangi dekat dengan
Sukra maka kedua orang tua itu telah berjalan menuju sebuah pohon gayam dan
mereka telah duduk dan berbincang,
“Bagaimana dengan Swandaru, Kyai ?”
“Tidak akan terjadi apa - apa, dia hanya pingsan dan
sebentar lagi akan siuman”
Guru Glagah Putih itu nampak menarik nafas dalam
- dalam.
“Kyai Jayaraga, menurut cerita angger Sedayu bahwa
angger Swandaru telah banyak mengalami perubahan pada kepribadiannya dan
diceritakannya pula bahwa Swandaru telah membawa Kitab itu dan akan
menyimpannya di Sangkal Putung,” kata Kyai Gringsing seolah membaca dan
mengerti apa saja yang terlintas di benak Ki Jayaraga, berhenti
sejenak, matanya menatap wajah guru Glagah Putih itu.
“Kapan Kyai menemui angger Sedayu ?” tanya Ki Jayaraga
“Belum lama berselang Kyai, saat angger Sedayu
selesai menunaikan kewajiban Subuhnya”
“Apakah perjalanan ke barat telah selesai, Kyai ?”
“Benar Kyai, aku sudah ke bang kulon dan telah
menyelesaikan sedikit kewajiban”
Nampak Ki Jayaraga mengangguk - anggukan kepalanya,
sementara Kyai Gringsing telah berkata selanjutnya,” Ki Jayaraga, aku berharap
kejadian hari ini sebagai pelajaran terhadap muridku yang kedua itu, biarlah
dia mengerti bahwa masih banyak lagi hal - hal yang harus dipelajarinya untuk
menatap kehidupan ini, biarlah dia menyadari bahwa nafsunya yang bergejolak
berlebihan itu akan dapat menghancurkan dirinya sendiri, biarlah Swandaru sadar
bahwa sikap menganggap rendah orang lain apalagi meremehkannya akan membuatnya
menderita di kemudian hari.”
“Semoga angger Swandaru dapat segera mengerti arti dan
makna kejadian hari ini” sahut Ki Jayaraga, sementara tangannya telah menyeka
keringat yang masih mengembun di keningnya.
Wajah lembut itu tetap memandang ke arah guru Glagah
Putih itu, sejenak kemudian terdengar perkataannya,” Ki Jayaraga, aku tidak
ingin Swandaru dan Pandan Wangi mengetahui apa saja yang telah aku lakukan,
silahkan Ki Jayaraga membuat cerita, selain itu akupun ingin mohon pertolongan
pada Kyai”
“Apa yang dapat kulakukan Kyai ?”
Nampak Kyai Gringsing tengah menarik nafas dalam -
dalam, lalu katanya,” Aku ingin titipkan Kitab itu kepada Ki Jayaraga, maksudku
setelahnya tiba di Sangkal Putung, ku mohon Ki Jayaraga dan Sukra tidak
langsung meninggalkannya dan segera kembali ke Menoreh tetapi menetaplah
sementara waktu disana, sebab aku sangat mengkhawatirkannya Kyai, dengan adanya
Kitab itu Sangkal Putung tentu sangat berbahaya bagi keselamatan Swandaru dan
keluarganya, sementara untuk saat ini aku tidak bisa menungguinya”
“Sampai berapa lama Kyai ?” tanya Ki Jyaraga.
“Tidak terlalu lama Kyai, aku akan melanjutkan
perjalannku menemui Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Prabu Hanyakrawati di
Mataram dan selanjutnya aku akan kembali Sangkal Putung, kurang lebih sekitar
enam hari” jawab Kyai Gringsing perlahan.
“Baiklah Kyai, aku menyanggupinya, tetapi mohon jangan
terlalu lama, sawah Ki Rangga tentu akan terbengkelai sebab tidak ada yang
menggarapnya kecuali aku dan angger Sukra”
Kyai Gringsingpun terlihat menganggukkan kepalanya.
Kedua orang tua itu telah sepakat untuk berpisah,
sebelum semuanya tersadar, setelah mengucapkan salam maka Kyai Gringsingpun
telah meninggalkan mereka.
Lanjutkan ceritanya...
BalasHapus