Oleh : A. Malindo
Cerita ini bukan Lanjutan Cerita API DIBUKIT MENORAH
BUMBUNG 3
Dan pada hari
yang sudah ditetapkan berangkatlah pasangan muda itu menuju Sangkal Putung dan
baru kemudian menuju ke Jati Anom. Sepasang suami itu telah
meninggalkan Tanah perdikan Menoreh, kuda mereka berlari tidak begitu cepat,
mereka akan menempuh perjalanan yang agak jauh dan mereka tampak bergembira dan
tugas itu dirasakannya adalah tugas yang sangat menyenangkan.
“Kakang Agung
Sedayu tentu sudah memikirkan pengganti kita Rara”
“Apa maksudmu
Kakang ?” sahut Rara Wulan.
“Maksudku tugas
– tugas kita di barak pasukan khusus Rara”
Rara Wulan
menganggukkan kepalanya. Panas matahari telah menyengat tubuh mereka dan
debu juga telah menempel dikulit pasangan itu.
Sementara itu
di Sangkal Putung, wajah kegembiraan terpancar pada setiap penduduknya, mereka
mendapatkan panen yang berlimpah dan merekapun menjalankan perdagangan dengan
aman, jarang sekali ada penyamun atau perampok yang memasuki kademangan itu,
mereka tahu siapa Ki Swandaru Geni putra Ki Demang itu.
Ketentraman dan
ketenangan terlihat dimana – mana Jika saja ada perampok yang berani masuk
Sangkal Putung maka biasanya yang tersisa adalah namanya saja, sedangkan
raganya tentu sudah terbenam di tanah yang subur itu. Nampak
seorang perempuan berambut panjang terurai sedang bermain dengan anak kecil di
halaman rumah Swandaru Geni.
Terdengar suara
berat dari samping rumah, ” Swatantra janganlah terlalu manja” Anak kecil
itu terus menggoda ibunya seolah tak menghiraukan suara ayahnya.
“Biarlah
kakang, bukankah dulu sewantu kecil kaupun juga seperti itu” sahut Pandan
Wangi.
“Kau jangan
terlalu memanjakannya Wangi, jika terlalu manja maka jika sudah besar dia akan
menyusahkan kita, menjadi anak yang cengeng” kata Swndaru meyakinkan
istrinya.
“Ah .. kakang,
jangan berkata begitu”
“Ayo, Swatantra
kita masuk, ayahmu agaknya hari ini kurang kurang sesaji, dari pagi marah terus”
kata Pandan Wangi seraya mengajak anaknya masuk ke dalam rumah induk Kademangan
Sangkal Putung.
Swandaru yang
bertubuh gemuk itu mengerutkan dahinya, nampaknya dia kurang jelas mendengar perkataan
istrinya itu, terlihat pipinya yang tambun itu bergerak gerak.
Segera dilangkahkan kakinya menuju pos perodaan terdekat, ditemuinya para pengawal dan segera membicarakan kesenangan barunya yakni memelihara kuda dan seperti biasanya setelah bicara banyak maka segera ia menguap dan membaringkan badannya yang besar itu, gardu perodaan itu seketika menjadi sempit. Nampaknya sore itu akan ada orang yang bernasib kurang mujur.
Keributan di Pasar pagi tadi yang nampaknya sudah selesai ternyata masih berlanjut, bahkan seorang nampak penjual kain itu telah datang ke rumah seorang gadis yang bernama Sridewi ditemani oleh seorang yang berbadan tidak terlalu tinggi tetapi kekar dan mempunyai kumis melintang.
“Sridewi, segera bayarlah semua kerugianku, akibat perbuatanmu seluruh barang jualanku menjadi tidak laku” teriak seorang perempuan didepan pintu.
“Ayo, cepat ganti” teriak perempuan penjual kain itu.
Nampak dari dalam rumah, seorang lelaki tua keluar dan berkata,” Ada apa Nyai ?
“Akibat perbuatan anakmu aku telah menjadi rugi”
“Bukankan tadi aku sudah memberikan uang pengganti saat Dewi secara tidak sengaja menjatuhkan kain daganganmu, kain itu tidak kotor apalagi rusak Nyi ?” kata ayah Sridewi itu.
“Tetapi kedaiku menjadi sepi karena itu”
“Tentu tidak karena Sridewi Nyi”
“Diam kau tua bangka ! sekarang bayarlah kerugianku atau aku akan mengambilnya sendiri di dalam rumahmu.” kata penjual kain itu lantang.
Ternyata keributan itu sampai ketelinga para pengawal kademangan segeralah Ki Truno sebagai pimpinan kelompok kecil pengawal itu melapor pada pimpinan mereka.
Meluncurlah Ki Swandaru diiringi beberapa pengawalnya, dengan naik kuda jantan berwarna gelap menuju ke tempat yang ditunjukkan pengawalnya, dia telah berhenti di muka rumah Sridewi itu.
Setelah turun dari kudanya,” Ada apa ini, Ki Sentanu ?” tanya Swndaru kepada lelaki tua yang ternyata adalah ayahnya Sridewi.
“Anakmas Swandaru, tadi pagi kami telah kepasar untuk membeli kain di kedai nyi Nuriah ini tetapi tanpa sengaja Sridewi telah menjatuhkan kain dagangan yang lainnya, kami sudah meletakkan kain itu pada tempatnya semula, tetapi nyi Nuriah ini marah – marah dan kami diminta membayar kerugian akibat kain yang terjatuh itu dan kami telah membayarkannya, uang kami telah berkurang dan tidak cukup lagi untuk membeli kain” Jelas ki Sentanu kepada Swandaru.
“Apakah
demikian kejadiannya nyi ? tanya putra Ki Demang Sangkal Putung itu.
“Benar
Ki Swandaru, tetapi akibat kejadian itu aku menjadi rugi sebab setelah itu
tidak ada pembeli yang mampir di kedaiku” jawab Nyi Nuriah.
“Ah
. tentu bukan karena Sridewi nyi” desis Swandaru.
“He
! Lalu karena apa orang gendut ?” sahut orang yang pendek kekar di samping nyi
Nuriah itu.
“Siapa kau ki sanak ?” tanya Swandaru.
“Siapa kau ki sanak ?” tanya Swandaru.
“Aku
adalah suruhannya nyi Nuriah, kau mau apa ?” Swandaru tertegun mendengar perkataan orang
itu, dengan kening yang berkerut ia maju selangkah dan katanya,” Kau berkata
apa padaku kisanak ?”
“He,
kau mau apa ?” dengan mata melotot dan bertolak pinggang orang itu berkata
setengah berteriak kepada Swandaru.
Tanpa
menjawab pertanyaan orang itu ternyata Ki Swandaru Geni telah bergerak. Sebuah
tamparan keras telah membentur pipi orang suruhan nyi Nuriah itu. Sementara itu
dengan tubuh gemetar tampak nyi Nuriah akan berkata sesuatu tetapi mulutnya
terbungkam dan badannya terasa gemetaran saat terdengar suara Swandaru
membentaknya” Diam kau nyi!”
“Setan
kuburan” umpat orang suruhan nyi Nuriah itu yang ternyata bernama Suromurni
sambil meraba pipinya yang memerah.
“Kau
mau apa ?” tanya Swandaru,
“Gila,
aku akan mematahkan lehermu” teriak Suromurni, dengan mata merah segera ia
melangkah maju sambil menjulurkan tangannya.
“Berhenti
atau aku akan menghajarmu” teriak Swandaru
Suromurni
tak menghiraukannya, dengan sepenuh kekuatan dia meloncat menerkam leher
Swandaru. Melihat gerakan itu, segera Swandaru menggeser tubuhnya kesamping
kanan dengan cepat tangan kanannya menghantam lambung Suromurni, akibatnya
tubuh pendek itu terlempar kesamping dan jatuh berguling – guling.
“Setan
kuburan, aku tidak akan mematahkan lehermu tapi aku akan membunuhmu, orang gila”
teriak Suromurni dengan penuh kemarahan.
Segera
ia berlari dan menyerang Swandaru lagi, tangannya mengepal memukul kepala dan kakinya
tampak menendang perut.
Dengan gerakan yang sangat sederhana Swandaru bergeser kesamping kiri, merasa
tidak mengenai sasaran, segera kaki Suromurni itu bergerak melingkar mengejar
lambung lawannya.
Sebuah serangan yang menurut Swandaru sangat tidak berarti apa – apa, dengan satu gerakan egos kaki kanan mundur setengah lingkaran kebelakang, dia sudah terbebas dari serangan itu.
Sebuah serangan yang menurut Swandaru sangat tidak berarti apa – apa, dengan satu gerakan egos kaki kanan mundur setengah lingkaran kebelakang, dia sudah terbebas dari serangan itu.
Terdengar
Suromurni menggeram marah, segera ia mundur beberapa langkah, terlihat wajah
Swandaru sedikit menegang.
Dengan
berteriak marah sambil berlari nampak Suromurni melancarkan serangan dengan
satu tendangan jontrot, satu kaki kanannya melayang menghantam arah dada
lawannya.
Kali
ini Swandaru tidak menghindar tetapi justru kaki lawannya itu di sambutnya
dengan sebuah pukulan keras, terjadilah benturan yang tidak seimbang, tidak
berhenti sampai disitu, sebuah pukulan berikutnya telah menghantam dada
Suromurni. Sekali lagi tubuh itu jatuh dan berguling ditanah yang berdebu di
halaman rumah Ki Sentanu.
Ki
Sentanu melihat Suromurni terjatuh dengan dada yang berdebar – debar, perasaan
khawatir merayap didadanya, takut setelah itu orang suruhan nyi Nuriah itu akan
melampiaskan amarah kepadanya.
Sementara
badan nyi Nuriah semakin lemas melihat kejadian itu, pedagang kain itu menyadari
apa yang akan terjadi setelah peristiwa ini, pastilah Swandaru akan
menghukumnya sehingga dia tidak bisa berjualan di pasar lagi, perasaan menyesal
telah hadir didadanya, tetapi semuanya sudah terlambat.
Melihat
lawannya terjatuh maka dengan loncatan kecil Swandaru telah menjangkau baju
lawannya dengan tangan kanannya dan segera mencekeramnya.
“Ora
waras !, He ! Apakah kau masih melawan ?” geramnya.
Suromurni
benar- benar telah kehilangan nalarnya, dengan membabi buta tangannya telah
menyerang wajah Swandaru. Tak mau wajahnya tersentuh tangan lawan maka dengan
sekali hentak, tangan kirinya telah menhantam dada Suromurni akibatnya terlihat
tubuh itu terdorong kebelakang dan jatuh menelungkup mencium bumi, Suromurni
telah pingsan.
Pengawal
kademangan itu segera menarik nafas, setelah melihat akhir perkelahian itu.
“Ki
Sentanu sekarang semuanya sudah selesai, laporlah kepada pengawal bila engkau
beserta anakmu mengalami kesulitan lagi karena pokal orang- orang ini,” kata
Swandaru.
Selesai bicara kepada ayah Sridewi segera Swandaru mendekati Nyi Nuriah, katanya” Apa kau tahu akibat perbuatanmu ini nyi ? Jangan kau semena – mena kepada orang lain, jangan kau ulangi perbuatan seperti ini lagi, bawa tubuh Suromurni dan mulai besok sampai satu beberapa hari kedepan, kau tidak boleh kepasar lagi sampai Ki Jagabaya memanggilmu, apa kau mengerti nyi Nuriah ?”
Selesai bicara kepada ayah Sridewi segera Swandaru mendekati Nyi Nuriah, katanya” Apa kau tahu akibat perbuatanmu ini nyi ? Jangan kau semena – mena kepada orang lain, jangan kau ulangi perbuatan seperti ini lagi, bawa tubuh Suromurni dan mulai besok sampai satu beberapa hari kedepan, kau tidak boleh kepasar lagi sampai Ki Jagabaya memanggilmu, apa kau mengerti nyi Nuriah ?”
“Bagaimana
aku mencari nafkah bagi keluargaku Ki Swandaru, aku mohon ampun ?” terdengar
nyi Nuriah merengek.
Terlihat
Ki Swandaru Geni terdiam, dipandanginya nyi Nuriah.
“Sekarang kau merengek sedangkan tadi kau membentak Ki Sentanu, bagaimana kalau seandainya aku dan pengawal kademangan ini tidak datang ? He !, Apa katamu Nuriah” bentak Swandaru.
“Sekarang kau merengek sedangkan tadi kau membentak Ki Sentanu, bagaimana kalau seandainya aku dan pengawal kademangan ini tidak datang ? He !, Apa katamu Nuriah” bentak Swandaru.
“Ampun
Ki Swandaru” gumam nyi Nuriah sambil menangis.
Kepada
pengawalnya, pemimpin Sangkal Putung telah memerintahkan supaya menyelesaikan
sisa permasalahan itu dan secepatnya menyuruh nyi Nuriah dan Suromurni pergi
bila sudah sadarkan diri. Sementara itu Swandaru dengan gagahnya telah memacu
kuda jantannya yang berwarna gelap kembali ke induk Kademangan.
“Swandaru,
nampaknya kau terlalu sibuk akhir – akhir ini” kata Ki Demang sambil mengelus –
elus jenggotnya yang sudah berwarna putih, ketika mereka berdua sedang duduk di
pendapa saat wayah sepi bocah.
“Ya,
ayah Sangkal Putung harus menjadi Kademangan yang besar dan makmur” kata
Swandaru pendek.
Ki
Demang mengerutkan keningnya mendengar jawaban anak sulungnya itu, tidak
seperti biasanya.
“Mengapa
?” desah Ki Demang dalam hatinya.
“Swandaru,
saat ini kau adalah pemimpin pengawal Sangkal Putung dan pada saat tertentu kau
mewakili aku mengurusi seluruh masalah Kademangan ini, tetapi ketahuilah anakku
bahwa kau saat ini belum menjadi Demang Sangkal Putung selama aku masih hidup” kata
Ki Demang, sejenak ia berdiam diri menunggu tanggapan anaknya.
Swandaru
masih berdiam diri, ternyata pikirannya tidak tertuju kepada pembicaraan
ayahnya. Tidak segera mendapat jawaban dari anaknya, tampak Ki demang merenung,
keningnya berkerut dalam.
“Apakah
yang kau pikirkan Swandaru ?” tanya ayahnya yang sekan tahu apa yang dipikirkan
oleh Swandaru.
“Ayah
aku sekarang ini sebenarnya sedang memikirkan Kitab Guru yang masih berada di
tangan kakang Agung Sedayu” jawab Swandaru sambil menatap tiang soko guru di
pendopo itu.
“Bukankan
kakang bisa meminjamnya dari kakang Agung Sedayu ?” terdengar suara lembut dari
dari ruang dalam.
Ki
Demang segera menoleh kearah suara itu,” Kau belum tidur Pandan Wangi, apakah
Swatantra sudah tidur ?”
“Sudah
ayah” jawab Pandan Wangi sambil melangkah mendekati suaminya dan segera duduk
disampingnya, sambil memijit – mijit tangan Swandaru Geni.
“Kau benar Wangi, rasa – rasanya ada yang mendesakku untuk segera meningkatkan ilmuku”
“Kau benar Wangi, rasa – rasanya ada yang mendesakku untuk segera meningkatkan ilmuku”
“Kau
dapat meningkatkan ilmumu kapanpun Swandaru, saat siang kau ada diantara
pengawal dan malam harinya kau dapat berada disanggar, dua pekerjaan dapat kau
lakukan sekaligus “ kata ayahnya.
“Seharunya
bisa ayah, tetapi kakang Swandaru ini selalu malas bergerak ayah jika malam
hari” sahut Pandan Wangi.
“Bukankan
jika kita banyak bergerak, tubuh kita akan terjaga kesehatannya dan tubuhmu
akan cepat menyusut Swandaru” kata Ki Demang.
“Benar
kakang, jika malam hari kau harus bergerak dan berpindah – pindah tempat supaya
tubuhmu berkeringat dan jika kakang tekun, aku yakin ilmu kakang akan mengalami
banyak kemajuan,”
“Apakah
kalau malam hari kau sering berlatih, anakku ?” tanya Ki Demang.
Kepala
Swandaru masih tertunduk dan pikirannya menerawang jauh. Tak terasa malam
semakin larut.
“He..
Swandaru, apakah kau pada malam hari masih sering bergerak atau berlatih olah
kanuragan” kata ayahnya mengejutkannya.
“Tentu
.. tentu ayah, aku berlatih bersama – sama Pandan Wangi saat Swantantra tidur” jawabnya
sekenanya.
“Kau berlatih apa saja ?” tanya Ki Demang.
“Bermacam – macam ayah, kami berlatih berbagai jurus dengan posisi yang berbeda – beda” kata Swandaru meyakinkan ayahnya.
“Kau berlatih apa saja ?” tanya Ki Demang.
“Bermacam – macam ayah, kami berlatih berbagai jurus dengan posisi yang berbeda – beda” kata Swandaru meyakinkan ayahnya.
Terlihat
Ki Demang mengangguk – anggukkan kepalanya, serta membayangkan anaknya tentu
berlatih keras serta tekun, mengembangkan ilmunya, ilmu dari perguruan orang bercambuk.
“Baiklah
Swandaru suatu saat aku akan melihat cara kalian berlatih bersama, tentu saja
menunggu Swatantra tidur supaya tidak mengganggu kita semuanya” kata Ki Demang
sambil berdiri dan menekan pinggangnya dan segera dilangkahkan kakinya menuju ke
biliknya.
Sepeninggal
ayahnya, segera terdengar pekik kecil Swandaru, terasa lengannya bak disengat
tiga lebah indukan, ternyata Pandan Wangi dengan gemasnya telah mencubit lengan
suaminya.
“Eh,
kenapa kau ini ? Apa salahku ?” tanya Swandaru sambil menyeringai kesakitan.
“Kenapa
kakang katakan ke ayah, kita selalu latihan bersama waktu malam hari ?” tanya
Pandan Wangi.
“Kenapa
? Bukankah benar, saat malam harilah aku selalu berlatih” kata Swandaru gusar.
“Kenapa
kakang katakan kita, tentu artinya aku dan kakang, apalagi dilakukan setelah
anak kita tertidur, dengan macam – macam jurus dengan berbagai posisi, latihan
apa itu kakang, coba jelaskan ?” kata Pandan Wangi pelan dan dipandanginya
suaminya itu dengan mata melotot.
“Suatu
saat ayah akan melihat latihan kita” sambungnya.
Kening
Swandaru tampak berkerut, katanya” Apakah tadi aku mengatakan demikian pada
ayah ?”
“Iya, kakang mengatakannya dengan amat sangat yakin”
“Iya, kakang mengatakannya dengan amat sangat yakin”
Sesaat
kemudian meledaklah tawa Swandaru memenuhi pendapa rumahnya, tubuhnya
terguncang dan pipinya nampak menggelembung, sementara wajah Pandan Wangi yang
segar itu nampak memerah seperti buah jambu air yang sudah masak di pohon.
Sembari
tertawa Swandarupun berkata,” Baiklah nanti aku akan melarang ayah untuk
melihat latihan khusus kita .“
Mendengar
perkataan suaminya, segera cubitan Pandan Wangi telah mendarat untuk kedua
kalinya di lengan Swandaru.
“Ampun,
ampun Wangi, maaf aku tidak sengaja mengatakannya” terdengar Swandaru merengek
pelan.
“Awas
kau kakang !” terdengar Pandan Wangi menggerutu, wajahnya cemberut dan terlihat
kesal.
Meskipun
tidak terlalu terang lagi, nyala ublik di empat sudut pendapa itu masih setia
menemani mereka, keduanya membicarakan tentang perkembangan buah hati mereka,
Swatantra.
Malampun
semakin larut, bulan terlihat bulat menerangi alam, terdengar sayup – sayup
suara angin menerpa pintu regol yang tidak tertutup rapat, tempat rondapun
telah dipenuhi anak – anak muda yang menjalankan tugasnya, terlihat juga
sebagian pengawal kademangan telah nganglang menjelajahi padukuhan – padukuhan
yang termasuk wilayah kademangan Sangkal Putung.
Sementara
itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah mendekati padukuhan induk kademangan,
kuda merekapun tampak berlari tidak terlalu kencang.
“Dadaku berdebar – debar Wulan” terdengar suara Glagah Putih
“Kenapa kakang ?” tanya Rara Wulan sembari memperlambat laju kudanya.
“Aku kurang mengerti, setiap kali akan bertemu dengan kakang Swandaru dadaku serasa berdebar-debar.”
“Dadaku berdebar – debar Wulan” terdengar suara Glagah Putih
“Kenapa kakang ?” tanya Rara Wulan sembari memperlambat laju kudanya.
“Aku kurang mengerti, setiap kali akan bertemu dengan kakang Swandaru dadaku serasa berdebar-debar.”
“Sudahlah, kenangan masala lalu yang sebaiknya kakang hapus, perlakuan kakang Swandaru yang selalu merendahkan kakang Agung Sedayu mungkin sangat membekas di dada kakang,”
Tidak segera menyahut perkataan istrinya, pikirannya melambung jauh mengenang masa – masa lalunya bersama kakak sepupunya serta Kyai Gringsing juga ayahnya, saat pertama membangun Padepokan kecil di Jati Anom itu.
“Hem .., lama sekali aku tidak bertemu, semoga kakang Swandaru tidak berlaku seperti dahulu “ desahnya.
Kuda merekapun terus bergerak lambat.
“Apakah kita akan langsung menuju ke rumah Kakangmbok Pandan Wangi, kakang ? tanya istrinya
Tampak Galagah Putih menganggukkan kepalanya, katanya” Ayolah Rara, kita langsung menuju rumah Ki Swandaru” bersamaan itu segera di hentakannya kendali kudanya, kedua kuda itu telah lari berderap meskipun tidak terlalu kencang.
Saat mendekati gardu perondaan segeralah di perlambat lari kudanya bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah meloncat turun sambil menyapa anak muda yang berdiri di muka gardu itu.
“Selamat malam kisanak” terdengar suara Glagah Putih menyapa.
“Selamat malam, siapakah kisanak ini ?” tanya anak muda itu.
“Glagah Putih dan ini istriku Rara Wulan ki sanak, kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh dan ingin betemu dengan Ki Swandaru,”
“Apakah harus malam ini Ki sanak, sekarang sudah larut malam, kemungkinan Ki Swandaru tentu sudah tidur” anak muda itu berkata dengan ramahnya.
Di pandanginya wajah anak muda itu, merupakan suatu kewajaran bila anak muda itu tidak mengenalinya, tetapi iapun tidak ingin menundanya sampai esok pagi, menunggu di banjar padukuhan bersama istrinya, lalu katanya,” mohon maaf ki sanak, sebenarnyalah aku adalah sepupu kakang Agung Sedayu yang tinggal di Menoreh suami dari adik Ki Swandaru”
Bak disengat raja kalajengking di tengkuknya, saat mendengar nama Agung Sedayu telah disebut pasangan suami istri itu, segera pemuda itu membungkuk hormat.” Maaf kisanak aku belum mengenalmu”
Pembicaraan itu ternyata mengundang anak muda yang lainnya segera mereka berkerumun di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan.
“He , anak tinggi kurus, kaukah itu” terdengar suara lantang dari belakang kerumunan anak – anak muda itu, nampak pemuda berbadan bulat seperti telor bebek dengan tergesa – gesa menghampiri Glagah Putih dan segera mengguncang pundaknya.
Glagah Putihpun segera tertawa, sembari berucap,” Rupaya kau kakang Demung, he, kenapa badanmu seperti ini ? Apakah kau telah menelan angin puting beliung itu seluruhnya ?”
Mendengar kelakar Glagah Putih, meledaklah tawa seluruh pemuda yang berdiri di gardu ronda itu,” Kakang Glagah Putih dengarlah, kemarin anginnya biyung Sumpini juga telah di telannya” sela anak muda lainnya, mendengar celoteh itu Demung dan Glagah Putihpun tertawa terbahak bahak, sementara Rara Wulan nampak tersenyum.
“Ayolah,
kuantar ke rumah Ki Swandaru Geni, aku baru saja dari pendapa rumahnya” kata
Demung sambil menarik tangan sahabatnya itu.
Setelah
berpamitan maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menuntun kudanya
mengikuti Demung yang berjalan didepan.
Kedatangan
tamu yang tak diundang tetapi membawa berkah bagi seluruh keluarga Ki Swandaru
di Sangkal Putung. Airmata telah menetes di pipi Pandan Wang dan Rara Wulan,
mereka berpelukan seakan tak mau dilepaskan, rasa rindu dan keharuan telah
mencengkam jantung kedua perempuan itu.
Swandaru
juga nampak mengguncang bahu Glagah Putih, katanya,” Kau menjadi semakin dewasa
Glagah Putih, badanmu semakin keras, tentu ilmumu sekarang sudah sundul
wuwungan dan tentu kau melaju dengan pesat meninggalkan kami semua di Sangkal
Putung,“
Dada
Glagah Putih terasa berdesir mendengar ucapan adik seperguruan kakak sepupunya
itu.
“He,
kenapa kau terdiam” gurau Swandaru
“Seolah
aku bermimpi kakang, sudah lama aku tak berkunjung ke Sangkal Putung” jawab
Glahag Putih sekenanya.
Pandan
Wangipun segera menghampiri Glagah Putih, seraya berkata,” Kau semakin gagah
Glagah Putih dan semakin tampan, tidak rugi Rara Wulan telah memilihmu,“
“Ah,
mbokayu mulai mengejek aku” balas Glagah Putih,
Rara
wulan pun tersenyum sipu dan katanya,” Jangan katakan itu mbokayu, nanti kakang
Glagah Putih akan segera berlari sipat kuping mencari kaca pengilon”
Terdengan
ledakan tawa Swandaru, sementara Pandan Wangi dan Rara Wulan tertawa kcil,
hanya Glagah Putih yang memasang muka kelam.
“Rara
kau pintar melihat dan memanfaatkan keadaan, seandainya kakang Swandaru dan
kangmbok Pandan Wangi tidak disini, tentu sudah aku pluntir hidungmu” geram
Glagah Putih.
Ketiganya
tertawa, bahkan Demung yang sedari tadi diam ikut tertawa pula, tetapi
dihadapan Ki Swandaru dia tidak berani mengejek temannya itu.
“Demung,
kau boleh meninggalkan kami, kembalilah ke gardu ronda, biarlah aku yang
mengurus tamu – tamu ini” terdengar suara Ki Swandaru kepada Demung.
“Baiklah
Ki Swandaru, Demung mohon diri” kata Demung dan segera melangkahkan kakinya
kembali menuju ke gardu ronda.
Malam
itu suasana rumah Ki Swandaru telah menjadi sedikit sibuk, dapur yang tadinya
lengang sudah terlihat beberapa wanita yang mempersiapkan hidangan, bahkan Ki
demangpun telah terbangun dari mimpinya melihat Swandaru berlatih bersama
Pandan Wangi.
Glagah
Putih dan Rara Wulan pun menyambut kehadiran Ki Demang dengan hormat, layaknya
menyambut orang tua yang menjadi ayah mereka. Pembicaraanpun berlangsung hangat
meskipun udara malam yang dingin telah menyentuh tubuh mereka.
“Baiklah
Glagah Putih, sekarang ceritakan apa yang kau bawa dari Menoreh,” kata
Swandaru.
“Bagaimana
kesehatan ayah Argapati di Menoreh ? tanya Pandan Wangi pula. Glagah Putih dan
Rara Wulan segera membetulkan duduknya, terlihat mereka duduk bergeser merapat.
“Kakang
Swandaru sekeluarga biarlah aku menyampaikan dulu salam dari seluruh keluarga
di Menoreh untuk keluarga di Sangkal Putung” kata Glagah Putih memulai
pembicaraan.
Mereka
yang ada di pendapa itu menganggukkan kepalanya.
Selanjutnya Glagah Putih mulai bercerita tentang keadaan Menoreh saat kedatangan orang dari Argopuro yang menyebut namanya sebagai Ki Bondan Ketapang sampai dengan kejadian Gumuk Kembar, perang tanding antara kakak sepupunya melawan orang dari Argopuro itu sampai kehadiran seseorang berjubah lurik dan memakai topeng kayu.
Selanjutnya Glagah Putih mulai bercerita tentang keadaan Menoreh saat kedatangan orang dari Argopuro yang menyebut namanya sebagai Ki Bondan Ketapang sampai dengan kejadian Gumuk Kembar, perang tanding antara kakak sepupunya melawan orang dari Argopuro itu sampai kehadiran seseorang berjubah lurik dan memakai topeng kayu.
Pendapa
itu terasa hening, dinginnya udara malam tak dirasakan oleh mereka, jantung
orang yang mendengarkan cerita itu berdegub kencang dan merekapun segera
membayangkan apa yang terjadi di Menoreh, bahkan Swandaru segera beringsut
mendekat ke Glagah Putih, tak ingin ketinggalan Pandan Wangipun segera bergeser
kearah Rara Wulan sambil mengatupkan bibirnya yang basah oleh air matanya itu.
Glagah
Putih berhenti sejenak, ditariknya nafasnya dalam – dalam, seolah hendak menata
perasaannya yang telah bergetar, hatinya telah bergejolak mengenang peristiwa
Gumuk Kembar itu, bukan karena perang tanding kakak sepupunya melainkan
kenangan hadirnya orang tua yang sangat dihormatinya itu.
“Ayo
teruskan Glagah Putih” pinta Pandan Wangi dengan nada mendesak.
Tak terasa tubuhnya telah keringat, dia diam sejenak, seolah tak menghiraukan permintaan mbokayunya.
Tak terasa tubuhnya telah keringat, dia diam sejenak, seolah tak menghiraukan permintaan mbokayunya.
“Apakah
kau sakit ngger, istirahatlah dulu, besokpun tidak apa – apa ceritamu kau
lanjutkan, kami tentu merasa senang mendengarnya.” ujar Ki Demang.
Sementara
itu Rara Wulan memahami keadaan suaminya, tentu suaminya mengalami sesuatu yang
menggoncang jiwanya, saat itu ia mendengar dari ki Jayaraga bahwa seorang
Glagah Putih yang berteman dengan Raden Ranga putra raja Mataram itu telah
menangis di pangkuan orang tua bertopeng itu.
Sedangkan
Swandaru dan Pandan Wangi benar – benar merasakan keanehan melihat putra Ki
Widura itu telah mandi keringat.
“Kyai
Gringsing telah hadir diantara kami kakang” desis Glagah Putih perlahan sambil
menahan gejolak hatinya, terlihat anak muda mengepalkan tangannya kuat – kuat
seakan hendak meremas batu hitam di halaman rumah ki Swandaru.
Bagai
petir menyambar rumah Swandaru, ledakan sangat dahyat telah mengguncang seluruh
dada yang mendengarkannya, jantung mereka seakan mau lepas dari tangkainya,
mata ketiga orang Sangkal putung itu terasa berkunang – kunang, mereka telah
hilang penguasaan dirinya.
Bibir Swandaru terasa bergetar tetapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya.
Bibir Swandaru terasa bergetar tetapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya.
“Apa
aku tidak salah dengar ngger ? Kyai Gringsing hadir di Gumuk Kembar itu” terdengar
Ki Demang berkata memecah ketegangan itu.
“Benar
Ki Demang” jawab Glagah Putih singkat.
“Guru
telah hadir kembali” terdengar gumam Swandaru perlahan seakan ditujukan kepada
dirinya sendiri tetapi semua yang ada telah mendengar gumam itu.
“Ayah
dan semua yang ada disini, marilah kita panjatkan syukur kepada Junjungan kita
dan kepada Pencipta alam semesta ini, bahwa guru telah kembali dan hadir
diantara kita, meskipun selama ini sebenarnya guru takkan pernah hilang dari
hati kita” kata Swandaru.
Sementara
itu Pandan Wangi telah tertunduk, air matanya yang telah mengering kini
membasahi pipinya lagi, tak ada kekuatan untuk menahan air mata itu, baginya
orang tua itu telah menyelematkan dirinya dari kehancuran dan telah
mengantarkan dirinya sampai pada kehidupan yang sekarang, kehidupan di Sangkal
Putung bersama suami dan anaknya.
“Bagaimana
kesehatan guru,Glagah Putih ?” tanya Swandaru tak sabar.
“Sehat
kakang, bahkan menurut kakang Sedayu Kyai Gringsing justru nampak segar dan
nampak muda di usianya, mohon maaf kakang, saat itu aku telah kehilangan
pengamatan atas diriku dan sampai terlupa memperhatikan wadag orang bertopeng
itu” kata Glagah Putih perlahan.
Pandan
Wangi benar – benar hanyut pada kenangan masa lalunya saat – saat kehadiran
kakaknya Sidanti dengan orang tua yang bernama Ki Tambak Wedi. Di kenangnya
pula saat orang tua yang senang berganti nama mengobati luka ayahnya.
“Kenapa
Kyai Gringsing memakai jubah lurik dan bertopeng, ngger ?” tanya Ki Demang.
Sesaat
kedua orang dari menoreh itu kebingungan menjawab pertanyaan Ki Demang.
“Tentu
guru mempunyai alasan sendiri ayah, apakah ayah ingat sewaktu pertama kali guru
datang ke Sangkal Putung ini ? Guru juga mengenakan topeng” Swandaru mencoba
menjelaskan.
Mendapat
jawaban anaknya, tampak Ki Demang mengerutkan keningnya, dicobanya mengingat
–ingat kehadiran Kyai Gringsing saat itu.
Tak
terasa malam semakin larut, kentongan dengan nada daramuluk telah terdengar
dari arah banjar padukuhan, sementara itu Swandaru telah mengetahui dari Glagah
Putih bahwa saat ini gurunya sedang melawat ke arah barat, sedangkan Glagah
Putih juga tak bisa menyebutkan kapan gurunya akan kembali, tetapi kehadiran
gurunya serasa memacu dirinya untuk segera meningkatkan ilmunya dan keinginan
segera pergi ke Menoreh semakin besar.
Glagah
Putih bersama Rara Wulan telah memasuki gandhok yang telah dipersiapkan, segera
mereka merebahkan diri, hari itu mereka menempuh perjalanan cukup panjang
meskipun dengan berkuda.
Pagi
yang cerah telah datang memulai hari baru, Sepasang suami istri dari Menoreh
itu benar – benar menikmati suasana Sangkal Putung yang gemah ripah loh jinawi
toto tentrem kerto raharjo.
Swandaru
telah banyak berubah, pelajaran hidupnya telah menuntun pada ketetapan yang
santun urip bebrayan nan agung. Seorang anak muda yang dulunya seorang penakut
dan pengecut telah membuka mata hatinya, meskipun tak menghilangkan sifat dan
kepribadian seluruhnya namun kini ia telah menjadi Swandaru yang lain dari pada
yang dulu.
Banyak
orang tidak percaya akan perubahannya pada dirinya, sebab sifatnya yang meledak
– ledak kadang – kadang masih nampak dalam kesehariannya, tetapi nampaknya
Pandan Wangi terus mengingatkannnya siang dan malam tanpa merasa jemu,
sebenarnyalah bahwa seorang Pandan Wangi adalah perempuan yang taat dan
berbakti pada suaminya.
Pada
sore harinya setelah berpamitan kepada semua keluarga maka sepasang suami istri
dari Menoreh itu segera meninggalkan Sangkal Putung menuju Jati Anom, menuju
sebuah padepokan kecil yang dihuni oleh Ki Widura beserta para Cantriknya.
Kepada
pasangan muda dari menoreh itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berjanji bahwa
pada hari kedua mereka akan menyusul ke Jati Anom dan selanjutnya meneruskan
perjalanan ke Menoreh bersama – sama.
Sebuah
perjalanan yang tidak terlalu jauh antara Sangkal Putung ke Jati Anom
sebenarnya dapat ditempuh lebih cepat tetapi sepasang suami istri itu tidak
terlalu tergesa – gesa, mereka benar - benar menikmati perjalanannya, bahkan
mereka sempat berhenti di tempat yang agak tinggi, keduanya menikmati
pemandangan sawah yang hijau menghampar sangat luas.
“Kakang
kecemasanmu sama sekali tidak terbukti, nampaknya kakang Swandaru telah banyak
berubah” kata Rara Wulan memulai pembicaraan.
“Hatiku
juga mengatakan demkian Rara, semoga semuanya berubah seiring dengan perubahan
kakang Swandaru” sahut Glagah Putih.
“Apa
maksudnya kakang ?”
“Pandangannya
terhadap Kakang Sedayu, juga bisa menjaga perasaan mbokayu Pandan Wangi dan
yang terpenting adalah kakang Swandaru nantinya bisa menyebarkan rasa tentram
di hati rakyatnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Menoreh.”
“Kenapa
selama ini orang selalu menggambarkan seorang Swandaru Geni adalah seorang yang
angkuh, sombong dan sifat - sifat kurang terpuji lainnya, kakang”
“Saat
itu memang demikian adanya Rara, akupun merasakan dan mengalaminya bahkan Raden
Rangga sekalipun, tetapi sekarang sudah banyak berubah. Kalau ada orang yang
bercerita tentang keburukan yang melekat pada kakang Swandaru maka nampaknya
orang itu tidak punya cerita lainnya, Rara.”
“Benar
kakang, bukankah umur sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang ?”
“Itulah
yang kumaksudkan Rara, mengapa kita selalu sulit menerima perubahan pada diri
seseorang ? Apalagi perubahan yang menuju kebaikan dan sangat mengherankan bila
seseorang menyenangi keburukan yang menimpa orang lain, orang seperti itu bisa
jadi lebih angkuh dari kakang Swandaru sendiri, apakah tidak punya cerita lainya
?” kata Glagah Putih tenang.
“Kakang
sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayah dan ibu, apa yang akan kita berikan
kakang ?” kata Rara Wulan mengalihkan
pembicaraan.
Glagah Putih tampak merenung, dipandanginya hamparan padi di depannya.
Glagah Putih tampak merenung, dipandanginya hamparan padi di depannya.
“Rara,
mana yang menurutmu baik ? Apakah kita akan memberikan kepada mereka sesuatu
tetapi sesuatu itu bukan yang seharusnya kita punya ? atau kita tidak
memberikan apapun kepada mereka karena memang kita tak punya sesuatu untuk di
berikan ?”
“Kakang,
bukankah kalau kita bisa memberi kepada siapapun berarti ada suatu kebaikan
dalam diri kita ?”
Terdengar
Glagah Putih tertawa perlahan, katanya,” Engkau benar Rara, memberi adalah
perbuatan yang mulia, tetapi lihatlah dengan seksama asal dan usul sesuatu yang
kau berikan itu”
Rara
Wulan segera tersenyum mendengar keterangan suaminya itu.
“Jadi
apa yang mau kita berikan kepada ayah dan ibu nanti kakang ?”
“Senyum
kedamaian, kebahagian kita dan doa, Rara” jawab Glgah Putih mantab.
Semilir
angin yang mengalir membuat mereka sejenak terbuai oleh angan – angan tentang
keserdehanaan hidup yang sejati.
Saat
ketenangan itu datang, tiba – tiba mereka di kejutkan oleh kedatangan tiga
orang laki – laki dengan pakaian serba hitam.
“Ini dia kang, sepasang anak muda yang aku ceritakan itu” kata seorang diantara mereka
“Ini dia kang, sepasang anak muda yang aku ceritakan itu” kata seorang diantara mereka
Glagah
Putih dan Rara Wulan segera berdiri dan bersiap menghadapi segala sesuatu yang
bakal terjadi.
“Anak
muda, dari mana asalmu ?” tanya seorang yang bermata juling itu kepada Glagah
Putih.
Setelah
menguasai perasaannya segera Glagah Purih merapat mendekati istrinya dengan
senyum mengambang telah menatap orang – orang itu.
“Kami dari Menoreh, setelah dari Sangkal Putung kami akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, kisanak” jawab Glagah Putih.
“Kami dari Menoreh, setelah dari Sangkal Putung kami akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, kisanak” jawab Glagah Putih.
“Anak
muda, kau dapat dari mana kuda yang besar dan tegar itu, apakah kau mencurinya
?” kata orang bermata juling itu. Rara Wulan segera tanggap bahwa orang – orang
itu ternyata tertarik dan menginginkan kuda mereka, dia masih menunggu
tanggapan suaminya.
Masih
tampak tetap tersenyum Glagah Putihpun menjawab,” Ki sanak kudaku ini adalah
kuda pinjaman dari ki Swandaru sebab kuda yang aku bawa dari Menoreh terlalu
letih dan telah aku tinggalkan di Sangkal Putung,”
“Swandaru
? maksudmu Ki Swandaru anak Demang Sangkal Putung itu ?”
“Benar
ki sanak” jawab Glagah Putih, Rara Wulanpun mengerti bahwa suaminya ingin
menghindari keributan dengan menyebut nama Swandaru maka mereka berharap
persoalan akan cepat selesai dan segera melanjutkan perjalanan ke Jati Anom,
tetapi rupanya harapan suami istri itu telah hanyut terbawa angin.
Tiba
– tiba ketiga orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa terbahak, setelah
puas orang yang bermata julingpun berkata,” Sangat kebetulan anak muda,
ketahuilah malam hari nanti kami akan memasuki Sangkal Putung dan akan menemui
Swandaru, kami akan membunuhnya dan membawa istrinya yang cantik itu”
“Sekarang
kita akan segera mendapat tunggangan yang baik, kakang” sela seorang yang
berdiri disebelah orang yang bermata juling itu.
“Betul
adi kita mendapat tunggangan yang baik dan mendapat perempuan muda yang baik
pula,” Suara tertawa menggelegar segera terdengar.
"
Apakah kau tidak bisa menghormati seorang perempuan, ki sanak ? "
terdengar suara Glagah Putih yang telah merubah menjadi berat.
"
Siapa yang harus di hormati anak muda ? Perempuan harus dinikmati bukan di
hormati " suara tertawa yang berkepanjangan segera terdengar.
"
Kurang ajar ! " Rara Wulan setengah berteriak.
Rara
Wulan sudah merasa tidak tahan lagi mendengar perkataan ke tiga orang itu,
segera saja tangannya terayun deras menyentuh mulut kotor orang yang berdiri
paling dekat dengannya itu.
Sentuhan
yang tidak terlalu keras, namun bagi orang itu sentuhan itu bagai siraman
minyak dan segera membakar amarahnya, terasa pedih menyakitkan dan tanpa sadar
di pegangi mulutnya dan dua giginya telah tanggal.
“Perempuan
liar, tak tau diuntung” umpatnya liar
Kali
ini Glagah Putih yang telah bergerak, bagai burung alap - alap dia telah
melompat tangannya segera menggapai mulut orang itu dan kaki kirinya telah
membentur dada orang yang bermata juling itu secara bersamaan.
Terdengar
suara mengaduh dari kedua orang itu, kedua segera terlempar dan jatuh ketanah.
Orang yang giginya tanggal dua itu tak segera berdiri sekali lagi dirabanya
mulutnya, dua giginya telah terlepas lagi.
“Iblis,
thethekan, setan” umpatan kasar keluar meluncur deras dari mulutnya.
“Aku
tidak senang mendengar perkataannmu kisanak, sebaiknya kalian segera pergi dan
lupakan kami” geram Glagah Putih.
Ketiga
orang itu segera bersiap, segera menyadari kesalahannya mereka terlalu
menganggap remeh kedua pasangan anak muda itu.
“Anak
muda sekarang kami sudah tahu siapa kalian sebenarnya, kalian adalah penjahat
yang berhati iblis meskipun wajah kalian tampak lembut , bersiaplah, kami akan
segera meringkusmu bahkan tak segan kami akan membunuhmu bila kalian melawan” kata
orang yang bermata juling itu menebar ancaman.
Glagah
Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri, mereka tidak mengira justru
pada perjalanan pendek itu, mereka mendapatkan hambatan.
Terlihat
dua orang telah berhadapan dengan Glagah Putih dan seorang lagi yang giginya
tanggal empat telah bersiap menundukkan Rara Wulan.
“Aku akan segera menangkapmu cah ayu, mengikatmu dan membawamu kepada sesembahanku” katanya sembari mengulurkan tangannya kearah tubuh Rara Wulan.
“Aku akan segera menangkapmu cah ayu, mengikatmu dan membawamu kepada sesembahanku” katanya sembari mengulurkan tangannya kearah tubuh Rara Wulan.
Tak
mau tersentuh tangan kotor itu, Rara Wulan segera mendahului menyerang
lawannya, dengan satu lompatan kedepan, tangannya bergerak lurus menggapai
kening lawannya sementara kaki kanannya telah mengarah ke perut lawannya.
Melihat gerakan cepat perempuan itu, segera orang berbaju hitam itu dengan
gugup meloncat mundur beberapa langkah menghindar, melihat hal itu Rara Wulan
langsung memburunya, satu tendangan telah terjulur menghantam perut lawannya,
orang berbaju hitam itu tidak dapat menghindar lagi, segera ia menurunkan kedua
tangannya melindungi perutnya, benturan kekuatan itu telah terjadi, segera saja
orang itu terdorong beberapa langkah mundur, gemetar dan rasa ngilu telah
menjalari kedua tangannya.
“Kaki
iblis, dari mana kau dapat kekuatan itu, he !” teriaknya.
Rara
Wulan hanya diam saja dan berdiri tegak siap menghadapi lawannya.
Di
lingkaran lainnya Glagah Putih telah bergerak seolah sedang menari dengan cepat
dan lugas mengimbangi gerakan dua orang lawannya, saat tangan lawan menyambar
kepalanya segera direndahkan tubuhnya dengan satu gerakan sederhana dengan
telapak tangan yang merapat disentuhnya lambung lawannya yang terbuka dan dalam
waktu yang hampir bersamaan kaki kanannya menyapu kaki lawannya yang lain.
Belum
menyadari keadaannya, tampak berkelebat tangan kirinya membentur pelipis
lawannya yang sedang membungkuk memegangi lambungnya, segera orang itu tampak
berputar dan dengan satu lompatan kecil siku kanannya membentur wajah yang
sedang berputar itu, tak ampun lagi lawannya segera terpelanting dan jatuh
terjerembab.
Melihat
kawannya mengalami kesulitan maka seorang lagi sambil menggeram telah melompat
kedepan sambil menyerang tengkuk Glagah Putih. Menyadari kemungkinan itu Glagah
Putih segera membalikan badan dan dibenturnya tangan lawannya itu, terdengar
suara gemeretak tangan lawannya, tulangnya telah patah, satu jeritan kesakitan
terdengar melengking, lawannya terduduk sambil memegangi tangannya dengan wajah
yang meringis kesakitan.
“Apakah
kalian masih mau melawan ?” geram Glagah Putih.
Dua
lawannya sudah terduduk dan mengerang kesakitan. Glagah Putihpun segera
memandang kearah Rara Wulan.
“Aku
menyelesaikannya lebih cepat darimu kakang” terdengar suara Rara Wulan. Glagah
Putih menarik nafas dalam – dalam dilihatnya lawan Rara Wulan terbaring diam.
“Dia hanya pingsan” desis Rara Wulan.
“Dia hanya pingsan” desis Rara Wulan.
Kembali
dipandanginya dua orang lawannya yang terduduk itu.” Kalian menyerah atau
bagaimana ? tanya Glagah Putih.
“Kami
menyerah anak muda, kami mohon ampun jangan bunuh kami anak muda” terdengar
orang bermata juling yang tangannya patah itu.
“Seharusnya
aku membunuh saja kalian semuanya, he, kau telah mengatakan aku adalah penjahat
yang berhati iblis” suara Glagah Putih telah mengejutkan mereka.
“Ampun
anak muda, aku mohon ampun, berilah kami kesempatan .”
“Kesempatan apa ? Kalian adalah orang – orang yang berwatak kasar dan berhati liar yang tak pantas hidup di muka bumi ini” bentak Rara Wulan
Kedua orang itu nampak menggigil ketakutan.
“Kesempatan apa ? Kalian adalah orang – orang yang berwatak kasar dan berhati liar yang tak pantas hidup di muka bumi ini” bentak Rara Wulan
Kedua orang itu nampak menggigil ketakutan.
Mendengar
pertanyaan itu kedua orang itupun,menjawab” Kami akan berubah anak muda.”
“Didepan
kami kalian bicara seperti itu, besok kalian akan merampok, memperkosa bahkan
membunuh” kata Rara Wulang garang.
“Tidak
anak muda, kami betul – betul akan berubah, mohon ampun jangan membunuh kami,” Terdengar
suara orang yang bermata juling itu benar – benar memelas.
“Baiklah
saat ini, kalian kami ampuni, tetapi di saat lainnya apabila kami mendengar
kalian melanggar paugeran hidup, di Sangkal Putung, Jati Anom atau daerah
lainnya maka kami akan datang menghukum kalian, tanpa ragu kami akan membunuh
kalian, mengerti !”
“Baiklah
ki sanak kami mengerti”
“Siapa
kalian sebenarnya ?” tanya Rara Wulan.
Keduanya
terdiam sejenak, keraguan serta kecemasan jelas membayang diwajah mereka
berdua.
“Tadi
kalian mengatakan punya junjungan, apakah kalian akan ingkar ?” bentak Rara
Wulan.
“Tidak
...tidak anak muda ? kata orang juling itu terbata – bata.
“Cepat
katakan, atau kami akan membunuh kalian”
“Baiklah anak muda, kami adalah murid – murid dari perguruan Jatirogo, namaku Gemblong anak muda,” Kata Gemblong ketakutan.
“Baiklah anak muda, kami adalah murid – murid dari perguruan Jatirogo, namaku Gemblong anak muda,” Kata Gemblong ketakutan.
“Dimana
letak padepokan perguruanmu ?”
“Daerah
Penggung anak muda”
“Hem....”
terdengar Glagah Putih berdesah
“Baiklah
Gemblong, uruslah temanmu yang pingsan itu dan ingat perkataanku, sekali ini
aku telah mengampunimu, tidak untuk kedua kalinya”
Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata,” Marilah Rara, segera kita tinggalkan tempat ini.”
Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata,” Marilah Rara, segera kita tinggalkan tempat ini.”
Keduanyapun
segera melangkah mendapatkan kuda - kuda mereka dan meneruskan perjalanan ke
Jati Anom. Sebuah perjalanan yang tidak jauh lagi.
Di
tempat lain, wayah sore, Ki Patih Mandaraka tampak jalan mondar- mandir di
pendapa Kepatihan sesekali dilihatnya pintu regol kepatihan, kegelisahan telah
merambati hatinya, tak lama kemudian telah datang Tumenggung Wirabaya
menghampiri Ki Patih, setelah menghaturkan salam, selanjutnya mereka berdua
telah masuk ke sentong tengah.
“Aku
tahu kau tidak terlambat Ki Tumenggeung tetapi rasa – rasanya aku saja yang
sangat gelisah menunggu kedatanganmu” Kata Ki Patih Mandaraka membuka
pembicaraan.
“Mohon
ampun Ki Patih, sesuai yang hamba laporkan kemarin, hamba menunggu petunjuk Ki
Patih,”
“Ki
Tumenggung Wirabaya, apakah gerakan di bang wetan itu sangat mengkhawatirkan ?”
terdengar pertanyaan Ki Patih Mandaraka.
“Sampai
saat ini tidak Ki Patih tetapi jika dibiarkan mereka akan terus bergerak ke
barat dan pada akhirnya akan sampai juga di Mataram ini, apalagi jika mereka
berhasil mempengaruhi beberapa kadipaten yang dilewatinya,” jawab Ki Temenggung
Wirabaya.
“Menurutmu,
siapakah yang menggerakan semua itu ?”
“Menurut
keterangan telik sandi, mereka berasal dari Kadipaten Surabaya, gerakan itu
dipimpin oleh seorang Tumenggung yang telah rela melepas baju keprajuritannya,”
Tumenggung Wira baya berhenti sejenak, menunggu tanggapan Ki Patih.
“Apakah
tujuan mereka dan sampai dimana pergerakan mereka sekarang Ki Tumenggung ?”
“Semalam
laporan itu mengatakan mereka telah sampai di kademangan Nganjuk perbatasan
dengan Kadipaten Madiun Ki Patih,”
Ki
Patih tampak merenung pendengarkan laporan itu, Kadipaten Madiun adalah daerah
yang pernah memberontak terhadap Mataram tentu benih – benih kebencian dan luka
itu masih ada pada sebagian rakyatnya yang tidak bisa melihat kenyataan yang
dihadapinya, sedangkan Panaraga keadaannya kian tidak menentu, setelah
dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu dalam perang tanding, Pangeran Jayaraga
itu tidak bernafsu lagi untuk menentang Mataram tetapi para bawahannya seolah
tidak mempercayainya bahwa seorang Adipati telah di kalahkan hanya oleh seorang
Rangga Mataram, tentu mereka itu dapat dimanfaatkan oleh Tumenggung dari
Surabaya itu untuk melawan Mataram.
“Hem
..” desahnya.
“Apakah
mereka menggunakan cara selayaknya prajurit Ki Tumenggung” tanya Ki Patih.
“Tidak
Ki Patih, mereka menanggalkan semua ciri – ciri keprajuritannya”
“Itulah
yang lebih membuatku prihatin Ki Tumenggung, mereka akan mengumpulkan beberapa
perguruan yang tersebar di seluruh bang wetan untuk memusuhi Mataram, mereka tentu
tidak mempunyai jiwa keprajuritan, mereka akan bergerak liar tanpa tali ikatan
dan itu tentu sangat menyulitkan kita”
“Benar
Ki Patih, gerakan itu berhenti pada setiap derah dan mereka selalu menunjukan
kemampuannya bahkan selalu menantang semua perguruan dimana saja, siapa yang
kalah akan menjadi pendukung gerakan itu Ki Patih, Adipati Mojokertopun telah
dikalahkannya,”
“Perguruan
mana yang menjadi tulang punggungnya, Ki Tumenggung Wirabaya ?”
Nampak
Ki Tumenggung diam sejenak mendengar pertanyaan itu, segera diingatnya nama
sebuah perguruan yang telah disebutkan oleh telik sandi Mataram itu.
“Mereka
menyebutnya Perguruan Kalisat yang di pimpin oleh seorang empu yang bernama
Empu Ijen, Ki Patih”
Ki
Patih Mandaraka tampak terdiam, dicobanya untuk mengenal dan menyusuri
pengetahuannya tentang daerah timur tetapi belum pernah didengarnya nama
perguruan yang seperti diceritakan oleh ki Tumenggung itu Wirabaya itu.
“Baiklah
Ki Tumenggung, pembicaraan kita hari ini sudah cukup, aku minta tolong padamu,
mampirlah ke Sanggar Bedoyo, katakanlah ke pada Pangeran Pringgoloyo bahwa
besok wayah temawon aku menunggunya di Kepatihan.”
“Baiklah
Ki Patih, perkenankan hamba mohon diri” selesai mengaturkan sembah maka
Tumenggung Wirabayapun bergeser dan melangkah meninggalkan kepatihan.
Sepeninggal
Tumenggung Wirabaya, Ki Patih Mandaraka tampak termenung, pikirannya telah
melayang kesegala sudut kota raja,” Apakah bakal terjadi ontran – ontran di
tanah Mataram ini ?”
Ki
Patihpun segera teringat kepada sahabatnya, Ki Waskita. Dingatnya saat perang
tanding antara Ki Rangga dan Pangeran Jayaraga saat itu Ki Waskita telah
mengeluh” Apa yang akan terjadi di tanah ini ?”
“Hem.. aku akan datang menemui Ki Waskita” gumamnya lirih.
“Hem.. aku akan datang menemui Ki Waskita” gumamnya lirih.
Dengan
wajah sedih Ki Patihpun segera berdiri dan berjalan menuju gandok apitan,
seorang abdi dalem segera menyembah dan mempersilahkannya.
Segera Ki Patih Mandaraka masuk dan duduk memandang kesebuah tirai berwarna kuning keemasan.
Segera Ki Patih Mandaraka masuk dan duduk memandang kesebuah tirai berwarna kuning keemasan.
Hatinya
bergetar sesaat, segera ia berdiri dan dibukanya tirai itu, nampak sebuah peti
besar yang terbuat dari kayu jati berukiran sangat halus tergolek disana,
dengan sangat berhati hati dibukanya peti itu perlahan dan diambilnya sesuatu
di dalam peti itu.
“Apakah
sudah saatnya aku mempergunakan pusaka ini kembali” gumam Ki Juru perlahan.
Kekhawatirannya terhadap kelangsungan Trah Mataram telah membuatnya menyentuh
benda pusaka itu lagi.
Keris
pusaka Kanjeng kyai Kalam Bumi, sebuah keris dengan luk tiga belas pemberian
Kedaton Giri telah kembali di diselipkan pada pinggangnya, Sebuah pusaka yang
diterimanya dari Sunan Giri dan pusaka itu telah menemani hampir sepanjang
perjalanan hidupnya, meskipun selapis di bawah pusaka Kala Munyeng Sunan Giri
tetapi pusaka itu terasa mempunyai pamor dan perbawa yang luar biasa bagi
pemiliknya, segeralah pusaka itu menyatu dalam jiwa dan raganya.
Pusaka
itulah yang menemaninya, bersama Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi menghadapi
Raden Aryo Penangsang dan pasukannya dari Jipang kala itu. Seorang Pangeran
dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya, pusaka ampuh pemberian Sunan
Kudus.
“Semoga
aku tidak mempergunakannya lagi” doanya dalam hati.
Setelah
mengatakan sesuatu kepada abdi dalem yang menjaga ruangan itu, segera Ki Patih
bergegas menuju gandok wetan dan menemui seseorang.
“Ki
Sumokraton, aku memerlukan bantuanmu, malam ini pergilah ke Tanah Perdikan
Menoreh dengan dua pengawal kepercayaanmu, menghadaplah kepada Ki Gede Menoreh
dan sampaikan salamku, setelah itu sampaikan bahwa besok sore aku akan berkunjung
ke Menoreh dan sampaikan juga aku memerlukan Ki Waskita hadir ,” berkata ki
Patih kepada orang kepercayaannya itu.
Tampak
Ki Sumokraton mendengarkan secara seksama semua permintaan Ki Patih Mandaraka,
segera ia berucap,” Ki Patih, apakah ada hal lain yang akan hamba sampaikan
kepada Ki Gede Menoreh ?”
“Tidak
Ki cukup itu saja, aku akan singgah ke barak pasukan khusus yang ada di Menoreh
sebelum aku ke padukuhan induk .” jawab
Ki Patih.
“Hamba
mohon diri Ki Patih” Segera Ki Sumokraton bergeser dan meninggalkan gandok
wetan.
Ki
Juru Mertani segera melangkahkan kakinya menuju biliknya, setelah menyimpan
rapi keris pusakanya maka kakinya segera melangkah ke luar dari Kepatihan
menuju masjid di lingkungan istana untuk menunaikan kewajibannya. Malampun
telah tiba dan bulanpun telah menjalankan tugasnya menerangi bumi Mataram
Sementara
itu di padepokan orang bercambuk Jati Anom, suasana kegembiraan serasa membekap
jantung semua penghuninya, semua cantrik dengan wajah berseri selalu berada di
sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan teman semasa kecilpun telah
berdatangan.
Perasaan
Ki Widura serasa mengambang di awan, kehadiran putra satu – satunya itu beserta
menantunya sangat membesarkan hatinya.
Rara
Wulan merasakan ketenangan dan kenyamanan hidup yang sepertinya belum pernah ia
rasakan. Siang hari pasangan muda itu terlihat menerima tamu – tamu sekitar
padepokan dan malam harinya bersama Ki Widura telah masuk sanggar untuk menempa
para cantrik padepokan itu.
Saat
tengah malam, didalam sanggar tersisa Ki Widura dan sepasang suami istri,
mereka telah membicarakan sesuatu.
“Glagah
Putih dan Rara Wulan, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui terlebih dahulu
tentang kembalinya orang tua yang sangat kita hormati itu” Ki Widura mulai
berbicara setelah mendengar cerita yang panjang dari anaknya.
Keheranan
telah hinggap di benak pasangan muda itu, mereka terus memperhatikan perkataan
ayahnya itu.
Ki Widura berhenti sejenak, segera menarik nafas dalam – dalam, kemudian katanya,” Sebelum pergi ke Menoreh, Kyai Gringsing ternyata telah datang ke padepokan ini, bahkan sempat pula orang tua yang baik hati itu memberi petunjuk kepadaku tentang olah kanuragan,”
Ki Widura berhenti sejenak, segera menarik nafas dalam – dalam, kemudian katanya,” Sebelum pergi ke Menoreh, Kyai Gringsing ternyata telah datang ke padepokan ini, bahkan sempat pula orang tua yang baik hati itu memberi petunjuk kepadaku tentang olah kanuragan,”
“Apa
maksudnya, ayah ?” tanya Glagah Putih.
“Kedatangan seseorang sangat aneh pada saat itu, Kyai Gringsing hadir sama persis seperti saat datang ke Sangkal Putung untuk menemuiku kala itu,” desis Ki Widura, seraya mengingat kejadian demi kejadian saat pasukan Tohpati menyerang Sangkal Putung.
“Kedatangan seseorang sangat aneh pada saat itu, Kyai Gringsing hadir sama persis seperti saat datang ke Sangkal Putung untuk menemuiku kala itu,” desis Ki Widura, seraya mengingat kejadian demi kejadian saat pasukan Tohpati menyerang Sangkal Putung.
“Bagaimana
kejadiannya, ayah ?” Rasa ingin tahu telah mendesaknya bertanya kepada ayahnya.
“Saat
menjelang wayah sepi bocah, di pancingnya ayahmu yang sudah tua ini untuk
keluar dari padepokan pergi kesuatu tempat yang tidak banyak dikunjungi orang,
hutan kecil di selatan Jati Anom ini” Ki Widura berhenti sejenak, dikenangnya
peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu itu dan Glagah Putih serta Rara
Wulan terasa seakan menyaksikan peristiwa itu.
Ki
Widura dengan kaki renggang telah mengadap orang bertopeng dan berjubah lurik
itu, perasaan aneh telah berkecamuk didadanya.
“Kenapa
kau selalu mengikuti ku Ki Widura, bukankah aku tidak mempunyai persoalan
apapun dengan padepokanmu ?” tanya orang bertopeng itu.
KI
Widura menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya,” Kenapa kisanak memberi
isyarat kepadaku, isyarat yang tidak wajar dan hanya di pahami oleh orang orang
padepokan kami ?”
Mendengan
perkataan Ki Widura, meledaklah tawa orang bertopeng itu,
“Ki Widura, umurmu sudah tua tetapi pengetahuanmu masih saja terlalu dangkal, apakah yang kau ketahui tentang isyarat itu, he ?”
“Ki Widura, umurmu sudah tua tetapi pengetahuanmu masih saja terlalu dangkal, apakah yang kau ketahui tentang isyarat itu, he ?”
Ki
Widura tampak mengatupkan bibirnya rapat – rapat menahan gejolak didadanya,
kecurigaannya semakin besar, takkala mendengar orang bertopeng itu berkata,” Isyarat
itu sebenarnya aku tujukan kepada Untara, bukan kepadamu, aku menduga bahwa
Untara ada di padepokan saat itu, dengan menerima isyaratku maka Untara akan
mengerti musuh bebuyutannya telah datang dan akan menagih janji kepadanya” Suara
tertawa yang sangat aneh telah terdengar lagi, menebar menggelitik bunga –
bunga liar yang tumbuh dihutan kecil itu.
“Sudahlah
kisanak, aku semakin tidak mengerti apa yang kau ucapkan, marilah kita duduk
dan istirahat dipadepokan, sementara cantrikku akan memanggil angger Untara
seperti yang kau kehendaki” kata Ki Widura dengan nada berat.
“Tetapi
jika kau tidak mau maka aku akan memaksamu.”
Terdengar
orang bertopeng itu menggeram dan dengus nafasnya terdengar memburu,” Baiklah
Ki Widura aku terpaksa akan melawanmu jika kau masih ingin menangkapku,
yakinlah bahwa hanya Untara yang bisa melawanku, ilmumu masih terlalu dangkal
untuk menantangku,”
“Jangan
meremehkan aku kisanak, apakah kau merasa mempunyai ilmu sundul langit sehingga
kau berani meremehkan aku ?” kata Ki Widura.dengan suara sedikit bergetar.
“Ilmumu
masih di bawah Untara, apalagi jika dibandingkan dengan adik Untara yang ada di
Menoreh itu” katanya mengejek.
Mendengar
dan merasa selalu disudutkan dan diremehkan maka semakin lama Ki Widura semakin
tak bisa menahan dirinya lagi dan orang bertopeng itu telah menyebut beberapa
anggota keluarganya” Hem..Apakah memang orang ini mengusung dendam pada
keluarga Ki Sadewa, orang ini tentu mempunyai ilmu tinggi tetapi siapakah orang
ini ?”
Ejekan
dan segala perkataan yang merendahkan dirinya terus meluncur deras dari balik
topeng itu, yang pada akhirnya Ki Widura telah kehilangan kesabarannya.
“Menyerahlah
kisanak ! Hem .. sekali lagi aku menawarkan padamu, marilah singgah
dipadepokanku , jika kau menolak maka aku akan segera menangkapmu, melawan atau
tidak melawan”
Sekali
lagi orang bertopeng itu tertawa sampai tubuhnya terguncang, katanya,” aku akan
melawan saja, tetapi jangan salahkan aku jika nanti tubuhmu babak belur Widura”
Tiba
– tiba dan tanpa aba – aba orang bertopeng itu secepat tatit telah meloncat
menyerang Ki Widura, sebuah tendangan mengarah ke ulu hati, menanggapi serangan
itu Ki Widura dengan tangkasnya telah bergerak kesamping dan memukul kaki
lawannya itu., sebuah benturan kecil terjadi dan tak menggoyahkan keduanya.
Segera
orang bertopeng merendah melancarkan serangan dengan jurus sapuan, tubuhnya
berputar seperti gangsingan mengempur kuda – kuda ki Widura, tak membiarkan
dirinya terjungkal maka segera Ki Widura melenting dengan cepat dan tangannya
terjulur menggapai kening lawannya. Orang bertopeng itu terdengar menggeram
melihat kelincahan lawannya, tiba – tiba dengan satu gerakan yang rumit orang
bertopeng itu menghindari sentuhan tangan Ki Widura dan sekaligus membalasnya
dengan telapak tangan terbuka., sebuah pukulan telah menghantam pundak bagian
belakang, terasa dorongan sangat besar dan menyakitkan menerpa tubuh Ki Widura.
“Nah
.. aku sudah mengenaimu Widura, sekarang apa katamu ? Ilmumu belum sekuku
irengnya Agung Sedayu, keponakanmu itu” suara tertawa menggema orang bertopeng
itu terdengar sekali lagi.
Ki
Widura tidak menjawab, matanya memandang tajam kearah orang bertopeng itu,
segera ditingkatkan ilmunya, tenaga cadangan telah dihimpun dan dikerahkannya
meskipun belum sampai puncaknya.
Keduanya
kembali terlibat dalam pertempuran yang cukup sengit, bayangan tubuh orang
bertopeng itupun semakin jarang menyentuh tanah sedangkan Ki Widurapun terus
memburunya seakan tak mau melepaskan bayangan itu.
Sebuah
pukulan tangan kanan yang didorong oleh tenaga cadangan yang besar telah
mendarat didada orang bertopeng itu, tetapi alangkah terkejutnya Ki Widura
melihat akibat pukulannya, orang bertopeng itu seolah tak merasakan apa-apa,
bahkan masih terdengar suara tertawanya yang aneh.
“Hem
.. aku tak menyangka Widura kau dapat bergerak secepat itu, tetapi sayangnya
pukulanmu seperti pukulan anak kecil yang baru belajar olah kanuragan”
Darah
Ki Widura seakan menggelegak mendengar kata – kata itu, diperhatikan lawannya
yang tengah mondar – mandir itu.
“Baiklah
ki sanak, aku akan segera mengerahkan kemampuanku yang sebenarnya dan aku tidak
akan ragu – ragu lagi, jangan salahkan aku jika kau merasakan akibatnya.”
Tanpa
menunggu jawaban orang bertopeng itu, segera Ki Widura meloncat menerjang serta
melibat lawannnya dalam sebuah pertempuran yang rumit, gerakannya semakin
ringan dan pukulannya pun semakin mantap dan berat bahkan terasa udara dingin
telah mengiringi gerakannnya, orang bertopeng itu terkejut saat melihat
perubahan tata gerak lawannya, tetapi dia masih belum kehilangan akalnya,
dengan lincahnya ia berkelebat cepat, seakan tubuhnya tidak berbobot.
“Widura
mana ajianmu, kalau hanya mengandalkan gerakan dengan ilmu meringakan tubuh
saja tentu kau akan segera menemui kesulitan” teriak orang bertopeng itu.
“Aku
tidak ingin membunuhmu kisanak, aku hanya ingin menangkapmu” jawab Ki Widura
sampil menyerang lawannya.
Pertempuran telah meningkat semakin cepat, sangatlah mengherankan, semakin meningkatkan ilmunya Ki Widura merasa semakin ada jarak antara ilmunya dan ilmu orang bertopeng itu, sampai satu ketika sebuah pukulan telah mengguncang dada Ki Widura. Dan pukulan itu telah melebihi dari daya tahannya, Ki Widura telah terdorong tiga langkah surut.
Pertempuran telah meningkat semakin cepat, sangatlah mengherankan, semakin meningkatkan ilmunya Ki Widura merasa semakin ada jarak antara ilmunya dan ilmu orang bertopeng itu, sampai satu ketika sebuah pukulan telah mengguncang dada Ki Widura. Dan pukulan itu telah melebihi dari daya tahannya, Ki Widura telah terdorong tiga langkah surut.
“Kau
ceroboh Widura, pertahananmu semakin terbuka bila kau terlalu bernafsu untuk
menyerang, kedua - duanya harus seimbang” terdengar celoteh orang bertopeng
itu.
“Apakah
kau mempunyai ilmu lain selain kecepatan gerak, Ki Widura ?”
Warna
merah telah merambat ke wajah tua Ki Widura, selama ini belum pernah ada orang
yang bertempur melawannya setangguh orang bertopeng itu, dengan terpaksa
diungkapkannya satu persatu ilmunya, pertama yang diungkapnnya adalah ilmu
pertahanannya, sebuah ilmu kebal yang dipelajari dari kitab kakaknya Sadewa,
kitab perguruan Jati Laksana – Lembu Sekilan.
Perubahan
tata gerakpun segera terjadi, Ki Widura dengan mantap telah menyerang lawannya,
benturan dengan lawannya seolah tak dirasakannya, bagai orang kesurupan paman
Agung Sedayu itu telah meyerang lawannya, bahkan ditangannya telah tersalur
ajian Lebur Seketi meskipun belum pada puncaknya, sekilas terlihat orang
bertopeng itu terdesak surut beberapa langkah,” He ! Widura, apakah kau benar –
benar ingin membunuhku” teriak orang bertopeng itu sambil menghindar.
Ki
Widura tidak segera menjawab, serangannya menjadi semakin rumit dan cepat,
kemanapun lawannya bergerak selalu diikutinya, keyakinannya terhadap ilmu lembu
sekilan yang tidak akan tertembus oleh serangan lawannya benar –benar membuat
Ki Widura semakin leluasa bergerak, ayah Glagah Putihpun merasa semakin yakin
akan segera dapat mengalahkan lawannya, dalam kekalutan menghadapi serangan Ki
Widura , tiba – tiba orang bertopeng itu melontarkan dirinya kebelakang, seolah
mencari kesempatan untuk menarik nafas, dia berdiri membelakangi pohon mahoni.
“Apakah
kau menyerah kisanak ?” tanya ki Widura yang telah menghentikan serangannya
itu.
Terdengar
orang bertopeng itu tertawa perlahan dan disela –sela tertawanya, dia berujar,”
Ada apa dengan kau Widura ? Apakah kau sudah mengalahkanku ? Ketahuilah,
kalaupun aku meloncat mudur bukan berarti aku menyerah, aku justru memberimu
kesempatan untuk bernafas sebab sangat tidak pantas apabila aku bertempur
dengan orang yang nafasnya hampir terputus,”
Tampak
kerut didahi Ki Widura semakin dalam, tak disangkanya hari ini dia bertempur
melawan orang yang sangat aneh.
“Ki
Widura, apakah kau menyadari kebenaran dari ucapanku itu ?”
Darah
Ki Widura benar – benar mendidih, mulutnya menjadi kelu, sekejap kemudian
bagaikan terbang Ki Widura telah meloncat kearah lawannya yang berdiri tegak
itu, kedua tangannya mengembang dan terasa telah bergetar hebat dan sesaat lagi
pasti membentur dada lawannya.
Orang
bertopeng itu menyadari dengan segala ucapannya, dia terus membangkitkan
kemarahan Ki Widura, usahanyapun telah berhasil dan kini ia tengah menanti pukulan
dari orang padepokan bercambuk itu.
Kurang
sejengkal dari dadanya, tiba – tiba orang bertopeng itu telah bergerak, sebuah
gerakan yang tidak kasat mata, ia telah berpindah tempat.
Datanglah
pukulan yang dahyat itu, menerpa pohon mahoni yang berdiri tegak perkasa,
akibatnya pohon mahoni bagaikan terguncang hebat, daun – daun yang telah
menguning, dahan yang telah lapukpun segera berguguran dan jatuh ketanah,
terlihat jelas bekas sentuhan tangan Ki Widura itu, kulit pohon mahoni yang
besar itu telah terkelupas dan bekas kehitaman telapak tangan telah menempel di
pokok pohon itu.
“Luar
biasa, Widura” desis orang bertopeng itu.
“Bagaimana akibatnya bila menyentuh dadaku ?” dan sekali lagi terdengar suara tertawa kecil keluar dari balik topeng itu.
“Bagaimana akibatnya bila menyentuh dadaku ?” dan sekali lagi terdengar suara tertawa kecil keluar dari balik topeng itu.
Sementara
itu Ki Widura bagaikan orang kehilangan akal, merasa serangannya gagal maka
diapun segera menyiapkan serangan berikutnya. Sebuah gerakan cepat segera
memburu dan melibat lawannya, gerakan yang dilandasi ilmu perguruan Windujati
benar – benar telah diterapkannya. Desir angin yang kuat serta udara yang
dingin telah mengiringi serangan Ki Widura.
Orang
bertopeng itupun segera meningkatkan ilmunya, dia tidak lagi banyak bicara, dia
tidak mau tersentuh tangan lawannya.
Tanah
di hutan kecil itu segera teraduk – aduk dan rumput ilalang segera berserak
tercabut dari akarnya, dua bayangan nampak berputar – putar dan saling
menyerang, tubuh mereka seolah telang mengapung diudara, sangat sulit bagi mata
telanjang untuk mengikuti pertempuran itu.
Satu
Kejadian berikutnya benar – benar mencengkam benak dan dada Ki Widura, Ilmu
Lembu Sekilan yang telah diterapkan sampai puncaknya itu telah dapat di tembus
olah lawannya. Sekali lagi sebuah sentuhan dengan ibu jari telah meraba
keningnya dan memecahkan ilmu kebalnya, terasa seolah bumi bagai perputar dan
awanpun runtuh menimpa tubuhnya, paman Agung Sedayu itu telah terpelating dan
tubuhnya bagai terlempar dan telah jatuh berguling – guling.
“Lembu
sekilan yang jelek Ki Widura” ejek orang bertopeng itu.
“Bagaimana
akibatnya jika aku menggunakan sepenuh kekuatan, tentu tubuhmu akan hancur Ki
Widura, mengapa kau tidak mempergunakan ilmu pertahanan yang telah diwariskan
oleh gurumu ? Mengapa tidak kau pergunakan aji Bayu Lampah atau memang kau
belum menguasainya ?”
Ki
Widura benar - benar tercengang, seolah kehabisan akal, tanpa sadar tangannya
telah meraba sesuatu yang membelit dilambungnya.
Selesai
bicara, tanpa menunggu Ki Widura memperbaiki keadaannya, secepat tatit diudara,
orang bertopeng itu bagaikan terbang dengan tangan mengembang dan jari –
jarinya telah merapat, laksana burung rajawali menyambar mangsanya dan turun
dengan derasnya, tangan kanannya mengepal telah menghantam pokok pohon mahoni
disamping Ki Widura berdiri, bukan main akibatnya, terlihat pohon itu tidak
berguncang sedikitpun, pohon mahoni itu tidak terbakar dan masih tetap tegak
berdiri dengan kokohnya.
Mata
Ki Widura bagaikan terbelalak menyaksikan akibat pukulan itu, ternyata pada
batang mahoni yang besar itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, dari sisi
satu telah menembus ke sisi yang lainnya.
“Lihatlah
Widura, bagaimana jika pukulan itu menerpa tubuhmu, meskipun lembu sekilanmu
rangkap tiga aku masih yakin dapat menembusnya ?”
terdengar orang bertopeng itu berkata perlahan.
terdengar orang bertopeng itu berkata perlahan.
Kepalanya
menjadi semakin pening dan nalarnya semakin kabur, menyaksikan kemampuan
lawannya.
“Apakah angger Untara dan angger Agung Sedayu sanggup menghadapi orang ini ?” pikiran itu terlintas di benaknya,” Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mengetahui seluk beluk ilmunya ?”
Pertanyaan telah membelit otaknya yang tidak segera ditemukan jawabnya.
“Apakah angger Untara dan angger Agung Sedayu sanggup menghadapi orang ini ?” pikiran itu terlintas di benaknya,” Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mengetahui seluk beluk ilmunya ?”
Pertanyaan telah membelit otaknya yang tidak segera ditemukan jawabnya.
“Ki
Widura, apakah kau membawa senjata ? Pinjamkan cambukmu padaku, jangan takut
aku tak berniat menyakitimu apalagi membunuhmu”
Keraguan yang sangat telah mencengkam
dadanya, ilmu orang bertopeng itu jauh diatas awan baginya, bagaimanapun tentu
sangat mudah bagi orang tiu untuk membunuhnya, senjata tak akan diperlukannya
untuk menghabisi seorang Widura.
Perasaan aneh telah berkecamuk didadanya,
sementara itu terdengar orang bertopeng itu berkata,” Baiklah Ki Widura aku tak
akan meminjam senjatamu, aku akan mencari penggantinya saja.”
“Widura, lihatlah batu hitam itu !”
“Widura, lihatlah batu hitam itu !”
Selesai bicara, dengan sedikit ancang
–ancang orang bertopeng itu telah meloncat tinggi, dengan cepat tangannya
menghentak sulur pepohonan hingga terputus, dan sekali menjejak tanah orang
bertopeng itu telah melenting, sulur pepohonan itu telah berputar diatas
kepalanya, suara desing dan terpaan angin dingin telah menyakiti dada Ki
Widura, sesaat kemudian sulur pepohonan itu telah disentakannya, sekejap sinar
hijau kebiruan telah menerpa batu hitam sebesar sapi lanang itu, tidak ada
ledakan dan tidak ada debu yang berhamburan, ternyata batu hitam itu telah
berubah warna menjadi keputihan.
Bagaikan orang yang telah tertidur panjang
dengan mimpi yang sangat menyeramkan, Ki Widura telah terduduk membeku.
“Ki Widura datanglah ke batu hitam itu,
lihatlah apa yang terjadi, mungkin suatu saat akan menarik perhatianmu.” kata orang bertopeng itu perlahan.
Seperti kena ilmu sihir sekaligus ilmu
gendam maka Ki Widurapun segera berjalan menuju batu hitam yang telah berubah
warna itu. beberapa langkah ayah Glagah Putih itu berhenti dan diamatinya batu
putih itu, dengan menahan nafas, perlahan – lahan dan gemetar digerakan tanganya
menyentuh batu itu,” Subhanalloh” batu itu telah berubah menjadi es dan segera
mencair membasahi tanah.
Sebuah kedahsyatan ilmu yang belum pernah
di bayangkannya, beberapa saat dia bagai membeku menatap batu es itu dan
dirabanya kembali, seolah tak percaya. Sebongkah kekaguman telah merayapi
hatinya, tidak beberapa lama Ki Widurapun berdiri dan membalikkan badannya,
alangkah terkejutnya, ternyata orang bertopeng itu telah menghilang.
Ki Widura menarik nafas dalam – dalam,
kedua belah tangannyapun telah bergerak menutup mukanya dan kemudian bergeser
kebawah, sebuah aura kesegaran nampak diwajahnya yang telah menua itu.
“Seperti itulah kejadiannya anakku,” terdengar
ki Widura berdesis.
“Tetapi bagaimana ayah bisa memastikan bahwa orang bertopeng itu adalah Kyai Gringsing ?” tanya Rara Wulan.
“Tetapi bagaimana ayah bisa memastikan bahwa orang bertopeng itu adalah Kyai Gringsing ?” tanya Rara Wulan.
“Kyai Grinsing telah masuk di sanggar ini
anakku, dan telah duduk ditempatmu itu Glagah Putih, orang tua itu terlihat
sedang menunggu kedatanganku” jelas Ki Widura.
“Guru sepuh itu telah bercerita banyak kepadaku sebelum menemui kalian di Menoreh” sambungnya.
“Ayah memanggilanya sebagai guru sepuh, siapakah guru mudanya ?” Rara Wulanpun segera bertanya.
“Guru sepuh itu telah bercerita banyak kepadaku sebelum menemui kalian di Menoreh” sambungnya.
“Ayah memanggilanya sebagai guru sepuh, siapakah guru mudanya ?” Rara Wulanpun segera bertanya.
Glagah Putih tak dapat menahan tawanya
mendengar pertanyaan yang menggelikan itu.
“Rara, siapa guru muda itu menurutmu” tanya Galagah Putih.
“Kakang Agung Sedayu” jawab Rara Wulan pasti.
“Nah ..kalau sudah tahu, kenapa kau tanyakan ?” kata suaminya sembari tersenyum,
“Kakang benar, kenapa aku tanyakan ya ?” katanya perlahan sambil menahan senyumnya.
Melihat keduanya, hati Ki Widura terasa tentram seperti tersiram air padasan.
“Rara, siapa guru muda itu menurutmu” tanya Galagah Putih.
“Kakang Agung Sedayu” jawab Rara Wulan pasti.
“Nah ..kalau sudah tahu, kenapa kau tanyakan ?” kata suaminya sembari tersenyum,
“Kakang benar, kenapa aku tanyakan ya ?” katanya perlahan sambil menahan senyumnya.
Melihat keduanya, hati Ki Widura terasa tentram seperti tersiram air padasan.
“Glagah Putih dan Rara Wulan sebelum
pergipun, guru sepuh telah memberiku satu perkataan yang harus selalu
kupikirkan,” Ki Widura, kehebatan seseorang itu sama sekali bukan terlihat dari
berapa banyak harta benda yang ia kumpulkan, bukan pula dari berapa tinggi
kesaktian yang ia tunjukkan, sebenarnyalah kehebatan seseorang itu akan
terlihat saat dia bisa menerima dan melihat indahnya suatu perbedaan, harta,
derajat dan pangkat hanyalah sebuah titipan yang sangat tidak patut untuk
dipamerkan, tiada kuasa manusia yang akan melebihi KuasaNYA,”
Glagah Putih dan Rara Wulan tampak
tertunduk, mereka meresapi apa yang telah disampaikan oleh Kyai Grinsing dengan
lantaran ayahnya, keduanya mencoba mengurai makna di balik perkataan itu.
“Anakku berdua, tidak mudah mencerna
nasehat mulia itu, masih banyak diantara kita yang telah berbuat sebaliknya” Ki
Widura terdiam sejenak, lanjutnya,” Diperlukan tekad yang besar dalam diri kita
untuk memulai menekan hawa nafsu yang sering meledak - ledak ini, kesadaran
akan keberadaan kita sebagai manusia, itu dulu yang harus dipahami”
“Kesadaran kita sebagai manusia” kalimat
itu terngiang di benak kedua anak muda itu,
“Apa maknanya ayah ?” tanya Glagah Putih.
Ki Widura tidak segera menjawab,
diingatnya kelanjutan perkataan guru sepuh sebelum meninggalkan padepokan itu,
seolah telah terngiang kembali semua perkataan itu.
“ Manusia itu adalahciptaanNya yang
paling sempurna Ki Widura, diberiNya akal dan pikiran, diberiNya semua
kelengkapan untuk hidupnya dan diberikanNya pula semua kebutuhan hidupnya,
tetapi sangat sedikit diantara kita yang mengerti, bagaimana seharusnya
mempergunakan semua pemberianNya itu.”
“Ki Widura, bukankan kita yang menerima
ini juga harus memberi dan sebaliknya, bukankah kita yang dilayani ini juga
harus melayani, bukankah kita ini mempunyai rasa kebaikan, rasa kasih sayang
dan rasa menghormati serta masih banyak rasa manusiawi lainya di muka bumi ini,
tetapi ku mohon padamu Ki Widura, segeralah mengerti, bahwa ada satu kata yang
bisa mewakili penampakan wadag dan rohani kita yaitu kata syukur, selalu
bersyukurlah pada Sang Pencipta, percayalah tiada kejelekan atau keburukan yang
akan diberikan kepada kita olehNya.“
Ketiga semakin hanyut oleh perkataan orang
tua yang sangat mereka hormati itu.
“Sudahlah anakku, beristirahatlah, mumpung
masih sempat, sebentar lagi sudah menjelang pagi, bukaknkah nanti kedua
saudaramu dari Sangkal putung akan kemari dan kalian akan melanjutkan
perjalanan ke Menoreh” kata Ki Widura menyadarkan mereka.
“Kakangmu Untara juga sudah memberi bekal
kepada kalian yang sudah aku simpan, rupanya kakangmu Untara terlupa saat kau
datang kerumahnya saat itu, dan sebelum kau pergi sebaiknya kau melihat ke
makam ibumu, doakanlah ibumu supaya mendapat tempat yang baik di sisiNya.”
0 komentar:
Posting Komentar