Jumat, 20 Mei 2016

MENDUNG DI LERENG MERAPI 3

Oleh : A. Malindo

Cerita ini bukan Lanjutan Cerita API DIBUKIT MENORAH

BUMBUNG 3

Dan pada hari yang sudah ditetapkan berangkatlah pasangan muda itu menuju Sangkal Putung dan baru kemudian menuju ke Jati Anom.   Sepasang suami itu telah meninggalkan Tanah perdikan Menoreh, kuda mereka berlari tidak begitu cepat, mereka akan menempuh perjalanan yang agak jauh dan mereka tampak bergembira dan tugas itu dirasakannya adalah tugas yang sangat menyenangkan.

“Kakang Agung Sedayu tentu sudah memikirkan pengganti kita Rara”
“Apa maksudmu Kakang ?” sahut Rara Wulan.   
“Maksudku tugas – tugas kita di barak pasukan khusus Rara”

Rara Wulan menganggukkan kepalanya.  Panas matahari telah menyengat tubuh mereka dan debu juga telah menempel dikulit pasangan itu.  
Sementara itu di Sangkal Putung, wajah kegembiraan terpancar pada setiap penduduknya, mereka mendapatkan panen yang berlimpah dan merekapun menjalankan perdagangan dengan aman, jarang sekali ada penyamun atau perampok yang memasuki kademangan itu, mereka tahu siapa Ki Swandaru Geni putra Ki Demang itu.
Ketentraman dan ketenangan terlihat dimana – mana Jika saja ada perampok yang berani masuk Sangkal Putung maka biasanya yang tersisa adalah namanya saja, sedangkan raganya tentu sudah terbenam di tanah yang subur itu.   Nampak seorang perempuan berambut panjang terurai sedang bermain dengan anak kecil di halaman rumah Swandaru Geni.
Terdengar suara berat dari samping rumah, ” Swatantra janganlah terlalu manja” Anak kecil itu terus menggoda ibunya seolah tak menghiraukan suara ayahnya.
“Biarlah kakang, bukankah dulu sewantu kecil kaupun juga seperti itu” sahut Pandan Wangi.
“Kau jangan terlalu memanjakannya Wangi, jika terlalu manja maka jika sudah besar dia akan menyusahkan kita, menjadi anak yang cengeng” kata Swndaru meyakinkan istrinya.  
“Ah .. kakang, jangan berkata begitu”     
“Ayo, Swatantra kita masuk, ayahmu agaknya hari ini kurang kurang sesaji, dari pagi marah terus” kata Pandan Wangi seraya mengajak anaknya masuk ke dalam rumah induk Kademangan Sangkal Putung.
Swandaru yang bertubuh gemuk itu mengerutkan dahinya, nampaknya dia kurang jelas mendengar perkataan istrinya itu, terlihat pipinya yang tambun itu bergerak gerak.

Segera dilangkahkan kakinya menuju pos perodaan terdekat, ditemuinya para pengawal dan segera membicarakan kesenangan barunya yakni memelihara kuda dan seperti biasanya  setelah bicara banyak maka segera ia menguap dan membaringkan badannya yang besar itu, gardu perodaan itu seketika menjadi sempit.  Nampaknya sore itu akan ada orang yang bernasib kurang mujur. 

Keributan di Pasar pagi tadi yang nampaknya sudah selesai ternyata masih berlanjut, bahkan seorang nampak penjual kain itu telah datang ke rumah seorang gadis yang bernama Sridewi ditemani oleh seorang yang berbadan tidak terlalu tinggi tetapi kekar dan mempunyai kumis melintang.

“Sridewi, segera bayarlah semua kerugianku, akibat perbuatanmu seluruh barang jualanku menjadi tidak laku” teriak seorang perempuan didepan pintu.

“Ayo, cepat ganti” teriak perempuan penjual kain itu.

Nampak dari dalam rumah, seorang lelaki tua keluar dan berkata,” Ada apa Nyai ?

“Akibat perbuatan anakmu aku telah menjadi rugi”

“Bukankan tadi aku sudah memberikan uang pengganti saat Dewi secara tidak sengaja menjatuhkan kain daganganmu, kain itu tidak kotor apalagi rusak Nyi ?” kata ayah Sridewi itu.

“Tetapi kedaiku menjadi sepi karena itu”

“Tentu tidak karena Sridewi Nyi”  
“Diam kau tua bangka ! sekarang bayarlah kerugianku atau aku akan mengambilnya sendiri di dalam rumahmu.”  kata penjual kain itu lantang.

Ternyata keributan itu sampai ketelinga para pengawal kademangan segeralah Ki Truno sebagai pimpinan kelompok kecil pengawal itu melapor pada pimpinan mereka.

Meluncurlah Ki Swandaru diiringi beberapa pengawalnya, dengan naik kuda jantan berwarna gelap menuju ke tempat yang ditunjukkan pengawalnya, dia telah berhenti di muka rumah Sridewi itu.
Setelah turun dari kudanya,” Ada apa ini, Ki Sentanu ?” tanya Swndaru kepada lelaki tua yang ternyata adalah ayahnya Sridewi.

“Anakmas Swandaru, tadi pagi kami telah kepasar untuk membeli kain di kedai nyi Nuriah ini tetapi tanpa sengaja Sridewi telah menjatuhkan kain dagangan yang lainnya, kami sudah meletakkan kain itu pada tempatnya semula, tetapi nyi Nuriah ini marah – marah dan kami diminta membayar kerugian akibat kain yang terjatuh itu dan kami telah membayarkannya, uang kami telah berkurang dan tidak cukup lagi untuk membeli kain” Jelas ki Sentanu kepada Swandaru.

“Apakah demikian kejadiannya nyi ? tanya putra Ki Demang Sangkal Putung itu.
“Benar Ki Swandaru, tetapi akibat kejadian itu aku menjadi rugi sebab setelah itu tidak ada pembeli yang mampir di kedaiku” jawab Nyi Nuriah.
“Ah . tentu bukan karena Sridewi nyi” desis Swandaru.
“He ! Lalu karena apa orang gendut ?” sahut orang yang pendek kekar di samping nyi Nuriah itu.
“Siapa kau ki sanak ?” tanya Swandaru.
“Aku adalah suruhannya nyi Nuriah, kau mau apa ?”  Swandaru tertegun mendengar perkataan orang itu, dengan kening yang berkerut ia maju selangkah dan katanya,” Kau berkata apa padaku kisanak ?”
“He, kau mau apa ?” dengan mata melotot dan bertolak pinggang orang itu berkata setengah berteriak kepada Swandaru.
Tanpa menjawab pertanyaan orang itu ternyata Ki Swandaru Geni telah bergerak. Sebuah tamparan keras telah membentur pipi orang suruhan nyi Nuriah itu. Sementara itu dengan tubuh gemetar tampak nyi Nuriah akan berkata sesuatu tetapi mulutnya terbungkam dan badannya terasa gemetaran saat terdengar suara Swandaru membentaknya” Diam kau nyi!”
“Setan kuburan” umpat orang suruhan nyi Nuriah itu yang ternyata bernama Suromurni sambil meraba pipinya yang memerah.
“Kau mau apa ?” tanya Swandaru,
“Gila, aku akan mematahkan lehermu” teriak Suromurni, dengan mata merah segera ia melangkah maju sambil menjulurkan tangannya.
“Berhenti atau aku akan menghajarmu” teriak Swandaru
Suromurni tak menghiraukannya, dengan sepenuh kekuatan dia meloncat menerkam leher Swandaru. Melihat gerakan itu, segera Swandaru menggeser tubuhnya kesamping kanan dengan cepat tangan kanannya menghantam lambung Suromurni, akibatnya tubuh pendek itu terlempar kesamping dan jatuh berguling – guling.
“Setan kuburan, aku tidak akan mematahkan lehermu tapi aku akan membunuhmu, orang gila” teriak Suromurni dengan penuh kemarahan.

Segera ia berlari dan menyerang Swandaru lagi, tangannya mengepal memukul kepala dan kakinya tampak menendang perut. 
Dengan gerakan yang sangat sederhana Swandaru bergeser kesamping kiri, merasa tidak mengenai sasaran, segera kaki Suromurni itu bergerak melingkar mengejar lambung lawannya.
Sebuah serangan yang menurut Swandaru sangat tidak berarti apa – apa, dengan satu gerakan egos kaki kanan mundur setengah lingkaran kebelakang, dia sudah terbebas dari serangan itu.
Terdengar Suromurni menggeram marah, segera ia mundur beberapa langkah, terlihat wajah Swandaru sedikit menegang.
Dengan berteriak marah sambil berlari nampak Suromurni melancarkan serangan dengan satu tendangan jontrot, satu kaki kanannya melayang menghantam arah dada lawannya.
Kali ini Swandaru tidak menghindar tetapi justru kaki lawannya itu di sambutnya dengan sebuah pukulan keras, terjadilah benturan yang tidak seimbang, tidak berhenti sampai disitu, sebuah pukulan berikutnya telah menghantam dada Suromurni. Sekali lagi tubuh itu jatuh dan berguling ditanah yang berdebu di halaman rumah Ki Sentanu.
Ki Sentanu melihat Suromurni terjatuh dengan dada yang berdebar – debar, perasaan khawatir merayap didadanya, takut setelah itu orang suruhan nyi Nuriah itu akan melampiaskan amarah kepadanya.
Sementara badan nyi Nuriah semakin lemas melihat kejadian itu, pedagang kain itu menyadari apa yang akan terjadi setelah peristiwa ini, pastilah Swandaru akan menghukumnya sehingga dia tidak bisa berjualan di pasar lagi, perasaan menyesal telah hadir didadanya, tetapi semuanya sudah terlambat.
Melihat lawannya terjatuh maka dengan loncatan kecil Swandaru telah menjangkau baju lawannya dengan tangan kanannya dan segera mencekeramnya.
“Ora waras !, He ! Apakah kau masih melawan ?” geramnya.
Suromurni benar- benar telah kehilangan nalarnya, dengan membabi buta tangannya telah menyerang wajah Swandaru. Tak mau wajahnya tersentuh tangan lawan maka dengan sekali hentak, tangan kirinya telah menhantam dada Suromurni akibatnya terlihat tubuh itu terdorong kebelakang dan jatuh menelungkup mencium bumi, Suromurni telah pingsan.
Pengawal kademangan itu segera menarik nafas, setelah melihat akhir perkelahian itu.
“Ki Sentanu sekarang semuanya sudah selesai, laporlah kepada pengawal bila engkau beserta anakmu mengalami kesulitan lagi karena pokal orang- orang ini,” kata Swandaru.
Selesai bicara kepada ayah Sridewi segera Swandaru mendekati Nyi Nuriah, katanya” Apa kau tahu akibat perbuatanmu ini nyi ? Jangan kau semena – mena kepada orang lain, jangan kau ulangi perbuatan seperti ini lagi, bawa tubuh Suromurni dan mulai besok sampai satu beberapa hari kedepan, kau tidak boleh kepasar lagi sampai Ki Jagabaya memanggilmu, apa kau mengerti nyi Nuriah ?”
“Bagaimana aku mencari nafkah bagi keluargaku Ki Swandaru, aku mohon ampun ?” terdengar nyi Nuriah merengek.
Terlihat Ki Swandaru Geni terdiam, dipandanginya nyi Nuriah.
“Sekarang kau merengek sedangkan tadi kau membentak Ki Sentanu, bagaimana kalau seandainya aku dan pengawal kademangan ini tidak datang ? He !, Apa katamu Nuriah” bentak Swandaru.
“Ampun Ki Swandaru” gumam nyi Nuriah sambil menangis.
Kepada pengawalnya, pemimpin Sangkal Putung telah memerintahkan supaya menyelesaikan sisa permasalahan itu dan secepatnya menyuruh nyi Nuriah dan Suromurni pergi bila sudah sadarkan diri. Sementara itu Swandaru dengan gagahnya telah memacu kuda jantannya yang berwarna gelap kembali ke induk Kademangan.

“Swandaru, nampaknya kau terlalu sibuk akhir – akhir ini” kata Ki Demang sambil mengelus – elus jenggotnya yang sudah berwarna putih, ketika mereka berdua sedang duduk di pendapa saat wayah sepi bocah.
“Ya, ayah Sangkal Putung harus menjadi Kademangan yang besar dan makmur” kata Swandaru pendek.
Ki Demang mengerutkan keningnya mendengar jawaban anak sulungnya itu, tidak seperti biasanya.
“Mengapa ?” desah Ki Demang dalam hatinya.
“Swandaru, saat ini kau adalah pemimpin pengawal Sangkal Putung dan pada saat tertentu kau mewakili aku mengurusi seluruh masalah Kademangan ini, tetapi ketahuilah anakku bahwa kau saat ini belum menjadi Demang Sangkal Putung selama aku masih hidup” kata Ki Demang, sejenak ia berdiam diri menunggu tanggapan anaknya.
Swandaru masih berdiam diri, ternyata pikirannya tidak tertuju kepada pembicaraan ayahnya. Tidak segera mendapat jawaban dari anaknya, tampak Ki demang merenung, keningnya berkerut dalam.
“Apakah yang kau pikirkan Swandaru ?” tanya ayahnya yang sekan tahu apa yang dipikirkan oleh Swandaru.
“Ayah aku sekarang ini sebenarnya sedang memikirkan Kitab Guru yang masih berada di tangan kakang Agung Sedayu” jawab Swandaru sambil menatap tiang soko guru di pendopo itu.
“Bukankan kakang bisa meminjamnya dari kakang Agung Sedayu ?” terdengar suara lembut dari dari ruang dalam.
Ki Demang segera menoleh kearah suara itu,” Kau belum tidur Pandan Wangi, apakah Swatantra sudah tidur ?”
“Sudah ayah” jawab Pandan Wangi sambil melangkah mendekati suaminya dan segera duduk disampingnya, sambil memijit – mijit tangan Swandaru Geni.
“Kau benar Wangi, rasa – rasanya ada yang mendesakku untuk segera meningkatkan ilmuku”
“Kau dapat meningkatkan ilmumu kapanpun Swandaru, saat siang kau ada diantara pengawal dan malam harinya kau dapat berada disanggar, dua pekerjaan dapat kau lakukan sekaligus “  kata ayahnya.
“Seharunya bisa ayah, tetapi kakang Swandaru ini selalu malas bergerak ayah jika malam hari” sahut Pandan Wangi.
“Bukankan jika kita banyak bergerak, tubuh kita akan terjaga kesehatannya dan tubuhmu akan cepat menyusut Swandaru” kata Ki Demang.
“Benar kakang, jika malam hari kau harus bergerak dan berpindah – pindah tempat supaya tubuhmu berkeringat dan jika kakang tekun, aku yakin ilmu kakang akan mengalami banyak kemajuan,”
“Apakah kalau malam hari kau sering berlatih, anakku ?” tanya Ki Demang.
Kepala Swandaru masih tertunduk dan pikirannya menerawang jauh. Tak terasa malam semakin larut.
“He.. Swandaru, apakah kau pada malam hari masih sering bergerak atau berlatih olah kanuragan” kata ayahnya mengejutkannya.
“Tentu .. tentu ayah, aku berlatih bersama – sama Pandan Wangi saat Swantantra tidur” jawabnya sekenanya.
“Kau berlatih apa saja ?” tanya Ki Demang.
“Bermacam – macam ayah, kami berlatih berbagai jurus dengan posisi yang berbeda – beda” kata Swandaru meyakinkan ayahnya.
Terlihat Ki Demang mengangguk – anggukkan kepalanya, serta membayangkan anaknya tentu berlatih keras serta tekun, mengembangkan ilmunya, ilmu dari perguruan orang bercambuk.
“Baiklah Swandaru suatu saat aku akan melihat cara kalian berlatih bersama, tentu saja menunggu Swatantra tidur supaya tidak mengganggu kita semuanya” kata Ki Demang sambil berdiri dan menekan pinggangnya dan segera dilangkahkan kakinya menuju ke biliknya.

Sepeninggal ayahnya, segera terdengar pekik kecil Swandaru, terasa lengannya bak disengat tiga lebah indukan, ternyata Pandan Wangi dengan gemasnya telah mencubit lengan suaminya.
“Eh, kenapa kau ini ? Apa salahku ?” tanya Swandaru sambil menyeringai kesakitan.
“Kenapa kakang katakan ke ayah, kita selalu latihan bersama waktu malam hari ?” tanya Pandan Wangi.
“Kenapa ? Bukankah benar, saat malam harilah aku selalu berlatih” kata Swandaru gusar.
“Kenapa kakang katakan kita, tentu artinya aku dan kakang, apalagi dilakukan setelah anak kita tertidur, dengan macam – macam jurus dengan berbagai posisi, latihan apa itu kakang, coba jelaskan ?” kata Pandan Wangi pelan dan dipandanginya suaminya itu dengan mata melotot.
“Suatu saat ayah akan melihat latihan kita” sambungnya.
Kening Swandaru tampak berkerut, katanya” Apakah tadi aku mengatakan demikian pada ayah ?”
“Iya, kakang mengatakannya dengan amat sangat yakin”
Sesaat kemudian meledaklah tawa Swandaru memenuhi pendapa rumahnya, tubuhnya terguncang dan pipinya nampak menggelembung, sementara wajah Pandan Wangi yang segar itu nampak memerah seperti buah jambu air yang sudah masak di pohon.
Sembari tertawa Swandarupun berkata,” Baiklah nanti aku akan melarang ayah untuk melihat latihan khusus kita .“
Mendengar perkataan suaminya, segera cubitan Pandan Wangi telah mendarat untuk kedua kalinya di lengan Swandaru.
“Ampun, ampun Wangi, maaf aku tidak sengaja mengatakannya” terdengar Swandaru merengek pelan.
“Awas kau kakang !” terdengar Pandan Wangi menggerutu, wajahnya cemberut dan terlihat kesal.
Meskipun tidak terlalu terang lagi, nyala ublik di empat sudut pendapa itu masih setia menemani mereka, keduanya membicarakan tentang perkembangan buah hati mereka, Swatantra.
Malampun semakin larut, bulan terlihat bulat menerangi alam, terdengar sayup – sayup suara angin menerpa pintu regol yang tidak tertutup rapat, tempat rondapun telah dipenuhi anak – anak muda yang menjalankan tugasnya, terlihat juga sebagian pengawal kademangan telah nganglang menjelajahi padukuhan – padukuhan yang termasuk wilayah kademangan Sangkal Putung.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah mendekati padukuhan induk kademangan, kuda merekapun tampak berlari tidak terlalu kencang.
“Dadaku berdebar – debar Wulan” terdengar suara Glagah Putih
“Kenapa kakang ?” tanya Rara Wulan sembari memperlambat laju kudanya.
“Aku kurang mengerti, setiap kali akan bertemu dengan kakang Swandaru dadaku serasa berdebar-debar.”

“Sudahlah, kenangan masala lalu yang sebaiknya kakang hapus, perlakuan kakang Swandaru yang selalu merendahkan kakang Agung Sedayu mungkin sangat membekas di dada kakang,”

Tidak segera menyahut perkataan istrinya, pikirannya melambung jauh mengenang masa – masa lalunya bersama kakak sepupunya serta Kyai Gringsing juga ayahnya, saat pertama membangun Padepokan kecil di Jati Anom itu.

“Hem .., lama sekali aku tidak bertemu, semoga kakang Swandaru tidak berlaku seperti dahulu “  desahnya.

Kuda merekapun terus bergerak lambat.
“Apakah kita akan langsung menuju ke rumah Kakangmbok Pandan Wangi, kakang ? tanya istrinya

Tampak Galagah Putih menganggukkan kepalanya, katanya” Ayolah Rara, kita langsung menuju rumah Ki Swandaru” bersamaan itu segera di hentakannya kendali kudanya, kedua kuda itu telah lari berderap meskipun tidak terlalu kencang.
Saat mendekati gardu perondaan segeralah di perlambat lari kudanya bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah meloncat turun sambil menyapa anak muda yang berdiri di muka gardu itu.

“Selamat malam kisanak” terdengar suara Glagah Putih menyapa.
“Selamat malam, siapakah kisanak ini ?” tanya anak muda itu.
“Glagah Putih dan ini istriku Rara Wulan ki sanak, kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh dan ingin betemu dengan Ki Swandaru,”

“Apakah harus malam ini Ki sanak, sekarang sudah larut malam, kemungkinan Ki Swandaru tentu sudah tidur” anak muda itu berkata dengan  ramahnya.

Di pandanginya wajah anak muda itu, merupakan suatu kewajaran bila anak muda itu tidak mengenalinya, tetapi iapun tidak ingin menundanya sampai esok pagi, menunggu di banjar padukuhan bersama istrinya, lalu katanya,” mohon maaf ki sanak, sebenarnyalah aku adalah sepupu kakang Agung Sedayu yang tinggal di Menoreh suami dari adik Ki Swandaru”

Bak disengat raja kalajengking di tengkuknya, saat mendengar nama Agung Sedayu telah disebut pasangan suami istri itu, segera pemuda itu membungkuk hormat.” Maaf kisanak aku belum mengenalmu”

Pembicaraan itu ternyata mengundang anak muda yang lainnya segera mereka berkerumun di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan.

“He , anak tinggi kurus, kaukah itu” terdengar suara lantang dari belakang kerumunan anak – anak muda itu, nampak pemuda berbadan bulat seperti telor bebek dengan tergesa – gesa menghampiri Glagah Putih dan segera mengguncang pundaknya.

Glagah Putihpun segera tertawa, sembari berucap,” Rupaya kau kakang Demung, he, kenapa badanmu seperti ini ? Apakah kau telah menelan angin puting beliung itu seluruhnya ?”

Mendengar kelakar Glagah Putih, meledaklah tawa seluruh pemuda yang berdiri di gardu ronda itu,” Kakang Glagah Putih dengarlah, kemarin anginnya biyung Sumpini juga telah di telannya” sela anak muda lainnya, mendengar celoteh itu Demung dan Glagah Putihpun tertawa terbahak bahak, sementara Rara Wulan nampak tersenyum.

“Ayolah, kuantar ke rumah Ki Swandaru Geni, aku baru saja dari pendapa rumahnya” kata Demung sambil menarik tangan sahabatnya itu.
Setelah berpamitan maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menuntun kudanya mengikuti Demung yang berjalan didepan.
Kedatangan tamu yang tak diundang tetapi membawa berkah bagi seluruh keluarga Ki Swandaru di Sangkal Putung. Airmata telah menetes di pipi Pandan Wang dan Rara Wulan, mereka berpelukan seakan tak mau dilepaskan, rasa rindu dan keharuan telah mencengkam jantung kedua perempuan itu.
Swandaru juga nampak mengguncang bahu Glagah Putih, katanya,” Kau menjadi semakin dewasa Glagah Putih, badanmu semakin keras, tentu ilmumu sekarang sudah sundul wuwungan dan tentu kau melaju dengan pesat meninggalkan kami semua di Sangkal Putung,“
Dada Glagah Putih terasa berdesir mendengar ucapan adik seperguruan kakak sepupunya itu.
“He, kenapa kau terdiam” gurau Swandaru
“Seolah aku bermimpi kakang, sudah lama aku tak berkunjung ke Sangkal Putung” jawab Glahag Putih sekenanya.
Pandan Wangipun segera menghampiri Glagah Putih, seraya berkata,” Kau semakin gagah Glagah Putih dan semakin tampan, tidak rugi Rara Wulan telah memilihmu,“
“Ah, mbokayu mulai mengejek aku” balas Glagah Putih,
Rara wulan pun tersenyum sipu dan katanya,” Jangan katakan itu mbokayu, nanti kakang Glagah Putih akan segera berlari sipat kuping mencari kaca pengilon”
Terdengan ledakan tawa Swandaru, sementara Pandan Wangi dan Rara Wulan tertawa kcil, hanya Glagah Putih yang memasang muka kelam.
“Rara kau pintar melihat dan memanfaatkan keadaan, seandainya kakang Swandaru dan kangmbok Pandan Wangi tidak disini, tentu sudah aku pluntir hidungmu” geram Glagah Putih.
Ketiganya tertawa, bahkan Demung yang sedari tadi diam ikut tertawa pula, tetapi dihadapan Ki Swandaru dia tidak berani mengejek temannya itu.
“Demung, kau boleh meninggalkan kami, kembalilah ke gardu ronda, biarlah aku yang mengurus tamu – tamu ini” terdengar suara Ki Swandaru kepada Demung.
“Baiklah Ki Swandaru, Demung mohon diri” kata Demung dan segera melangkahkan kakinya kembali menuju ke gardu ronda.

Malam itu suasana rumah Ki Swandaru telah menjadi sedikit sibuk, dapur yang tadinya lengang sudah terlihat beberapa wanita yang mempersiapkan hidangan, bahkan Ki demangpun telah terbangun dari mimpinya melihat Swandaru berlatih bersama Pandan Wangi.
Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyambut kehadiran Ki Demang dengan hormat, layaknya menyambut orang tua yang menjadi ayah mereka. Pembicaraanpun berlangsung hangat meskipun udara malam yang dingin telah menyentuh tubuh mereka.
“Baiklah Glagah Putih, sekarang ceritakan apa yang kau bawa dari Menoreh,” kata Swandaru.
“Bagaimana kesehatan ayah Argapati di Menoreh ? tanya Pandan Wangi pula. Glagah Putih dan Rara Wulan segera membetulkan duduknya, terlihat mereka duduk bergeser merapat.
“Kakang Swandaru sekeluarga biarlah aku menyampaikan dulu salam dari seluruh keluarga di Menoreh untuk keluarga di Sangkal Putung” kata Glagah Putih memulai pembicaraan.
Mereka yang ada di pendapa itu menganggukkan kepalanya.
Selanjutnya Glagah Putih mulai bercerita tentang keadaan Menoreh saat kedatangan orang dari Argopuro yang menyebut namanya sebagai Ki Bondan Ketapang sampai dengan kejadian Gumuk Kembar, perang tanding antara kakak sepupunya melawan orang dari Argopuro itu sampai kehadiran seseorang berjubah lurik dan memakai topeng kayu.
Pendapa itu terasa hening, dinginnya udara malam tak dirasakan oleh mereka, jantung orang yang mendengarkan cerita itu berdegub kencang dan merekapun segera membayangkan apa yang terjadi di Menoreh, bahkan Swandaru segera beringsut mendekat ke Glagah Putih, tak ingin ketinggalan Pandan Wangipun segera bergeser kearah Rara Wulan sambil mengatupkan bibirnya yang basah oleh air matanya itu.
Glagah Putih berhenti sejenak, ditariknya nafasnya dalam – dalam, seolah hendak menata perasaannya yang telah bergetar, hatinya telah bergejolak mengenang peristiwa Gumuk Kembar itu, bukan karena perang tanding kakak sepupunya melainkan kenangan hadirnya orang tua yang sangat dihormatinya itu.
“Ayo teruskan Glagah Putih” pinta Pandan Wangi dengan nada mendesak.
Tak terasa tubuhnya telah keringat, dia diam sejenak, seolah tak menghiraukan permintaan mbokayunya.
“Apakah kau sakit ngger, istirahatlah dulu, besokpun tidak apa – apa ceritamu kau lanjutkan, kami tentu merasa senang mendengarnya.”  ujar Ki Demang.
Sementara itu Rara Wulan memahami keadaan suaminya, tentu suaminya mengalami sesuatu yang menggoncang jiwanya, saat itu ia mendengar dari ki Jayaraga bahwa seorang Glagah Putih yang berteman dengan Raden Ranga putra raja Mataram itu telah menangis di pangkuan orang tua bertopeng itu.
Sedangkan Swandaru dan Pandan Wangi benar – benar merasakan keanehan melihat putra Ki Widura itu telah mandi keringat.

“Kyai Gringsing telah hadir diantara kami kakang” desis Glagah Putih perlahan sambil menahan gejolak hatinya, terlihat anak muda mengepalkan tangannya kuat – kuat seakan hendak meremas batu hitam di halaman rumah ki Swandaru.
Bagai petir menyambar rumah Swandaru, ledakan sangat dahyat telah mengguncang seluruh dada yang mendengarkannya, jantung mereka seakan mau lepas dari tangkainya, mata ketiga orang Sangkal putung itu terasa berkunang – kunang, mereka telah hilang penguasaan dirinya.
Bibir Swandaru terasa bergetar tetapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya.
“Apa aku tidak salah dengar ngger ? Kyai Gringsing hadir di Gumuk Kembar itu” terdengar Ki Demang berkata memecah ketegangan itu.
“Benar Ki Demang” jawab Glagah Putih singkat.
“Guru telah hadir kembali” terdengar gumam Swandaru perlahan seakan ditujukan kepada dirinya sendiri tetapi semua yang ada telah mendengar gumam itu.
“Ayah dan semua yang ada disini, marilah kita panjatkan syukur kepada Junjungan kita dan kepada Pencipta alam semesta ini, bahwa guru telah kembali dan hadir diantara kita, meskipun selama ini sebenarnya guru takkan pernah hilang dari hati kita” kata Swandaru.
Sementara itu Pandan Wangi telah tertunduk, air matanya yang telah mengering kini membasahi pipinya lagi, tak ada kekuatan untuk menahan air mata itu, baginya orang tua itu telah menyelematkan dirinya dari kehancuran dan telah mengantarkan dirinya sampai pada kehidupan yang sekarang, kehidupan di Sangkal Putung bersama suami dan anaknya.
“Bagaimana kesehatan guru,Glagah Putih ?” tanya Swandaru tak sabar.
“Sehat kakang, bahkan menurut kakang Sedayu Kyai Gringsing justru nampak segar dan nampak muda di usianya, mohon maaf kakang, saat itu aku telah kehilangan pengamatan atas diriku dan sampai terlupa memperhatikan wadag orang bertopeng itu” kata Glagah Putih perlahan.
Pandan Wangi benar – benar hanyut pada kenangan masa lalunya saat – saat kehadiran kakaknya Sidanti dengan orang tua yang bernama Ki Tambak Wedi. Di kenangnya pula saat orang tua yang senang berganti nama mengobati luka ayahnya.
“Kenapa Kyai Gringsing memakai jubah lurik dan bertopeng, ngger ?” tanya Ki Demang.
Sesaat kedua orang dari menoreh itu kebingungan menjawab pertanyaan Ki Demang.
“Tentu guru mempunyai alasan sendiri ayah, apakah ayah ingat sewaktu pertama kali guru datang ke Sangkal Putung ini ? Guru juga mengenakan topeng” Swandaru mencoba menjelaskan.
Mendapat jawaban anaknya, tampak Ki Demang mengerutkan keningnya, dicobanya mengingat –ingat kehadiran Kyai Gringsing saat itu.

Tak terasa malam semakin larut, kentongan dengan nada daramuluk telah terdengar dari arah banjar padukuhan, sementara itu Swandaru telah mengetahui dari Glagah Putih bahwa saat ini gurunya sedang melawat ke arah barat, sedangkan Glagah Putih juga tak bisa menyebutkan kapan gurunya akan kembali, tetapi kehadiran gurunya serasa memacu dirinya untuk segera meningkatkan ilmunya dan keinginan segera pergi ke Menoreh semakin besar.
Glagah Putih bersama Rara Wulan telah memasuki gandhok yang telah dipersiapkan, segera mereka merebahkan diri, hari itu mereka menempuh perjalanan cukup panjang meskipun dengan berkuda.
Pagi yang cerah telah datang memulai hari baru, Sepasang suami istri dari Menoreh itu benar – benar menikmati suasana Sangkal Putung yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.
Swandaru telah banyak berubah, pelajaran hidupnya telah menuntun pada ketetapan yang santun urip bebrayan nan agung. Seorang anak muda yang dulunya seorang penakut dan pengecut telah membuka mata hatinya, meskipun tak menghilangkan sifat dan kepribadian seluruhnya namun kini ia telah menjadi Swandaru yang lain dari pada yang dulu.
Banyak orang tidak percaya akan perubahannya pada dirinya, sebab sifatnya yang meledak – ledak kadang – kadang masih nampak dalam kesehariannya, tetapi nampaknya Pandan Wangi terus mengingatkannnya siang dan malam tanpa merasa jemu, sebenarnyalah bahwa seorang Pandan Wangi adalah perempuan yang taat dan berbakti pada suaminya.
Pada sore harinya setelah berpamitan kepada semua keluarga maka sepasang suami istri dari Menoreh itu segera meninggalkan Sangkal Putung menuju Jati Anom, menuju sebuah padepokan kecil yang dihuni oleh Ki Widura beserta para Cantriknya.
Kepada pasangan muda dari menoreh itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berjanji bahwa pada hari kedua mereka akan menyusul ke Jati Anom dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Menoreh bersama – sama.
Sebuah perjalanan yang tidak terlalu jauh antara Sangkal Putung ke Jati Anom sebenarnya dapat ditempuh lebih cepat tetapi sepasang suami istri itu tidak terlalu tergesa – gesa, mereka benar - benar menikmati perjalanannya, bahkan mereka sempat berhenti di tempat yang agak tinggi, keduanya menikmati pemandangan sawah yang hijau menghampar sangat luas.

“Kakang kecemasanmu sama sekali tidak terbukti, nampaknya kakang Swandaru telah banyak berubah” kata Rara Wulan memulai pembicaraan.
“Hatiku juga mengatakan demkian Rara, semoga semuanya berubah seiring dengan perubahan kakang Swandaru” sahut Glagah Putih.
“Apa maksudnya kakang ?”
“Pandangannya terhadap Kakang Sedayu, juga bisa menjaga perasaan mbokayu Pandan Wangi dan yang terpenting adalah kakang Swandaru nantinya bisa menyebarkan rasa tentram di hati rakyatnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Menoreh.”
“Kenapa selama ini orang selalu menggambarkan seorang Swandaru Geni adalah seorang yang angkuh, sombong dan sifat - sifat kurang terpuji lainnya, kakang”
“Saat itu memang demikian adanya Rara, akupun merasakan dan mengalaminya bahkan Raden Rangga sekalipun, tetapi sekarang sudah banyak berubah. Kalau ada orang yang bercerita tentang keburukan yang melekat pada kakang Swandaru maka nampaknya orang itu tidak punya cerita lainnya, Rara.”
“Benar kakang, bukankah umur sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang ?”
“Itulah yang kumaksudkan Rara, mengapa kita selalu sulit menerima perubahan pada diri seseorang ? Apalagi perubahan yang menuju kebaikan dan sangat mengherankan bila seseorang menyenangi keburukan yang menimpa orang lain, orang seperti itu bisa jadi lebih angkuh dari kakang Swandaru sendiri, apakah tidak punya cerita lainya ?” kata Glagah Putih tenang.
“Kakang sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayah dan ibu, apa yang akan kita berikan kakang ?”  kata Rara Wulan mengalihkan pembicaraan.
Glagah Putih tampak merenung, dipandanginya hamparan padi di depannya.
“Rara, mana yang menurutmu baik ? Apakah kita akan memberikan kepada mereka sesuatu tetapi sesuatu itu bukan yang seharusnya kita punya ? atau kita tidak memberikan apapun kepada mereka karena memang kita tak punya sesuatu untuk di berikan ?”
“Kakang, bukankah kalau kita bisa memberi kepada siapapun berarti ada suatu kebaikan dalam diri kita ?”
Terdengar Glagah Putih tertawa perlahan, katanya,” Engkau benar Rara, memberi adalah perbuatan yang mulia, tetapi lihatlah dengan seksama asal dan usul sesuatu yang kau berikan itu”
Rara Wulan segera tersenyum mendengar keterangan suaminya itu.
“Jadi apa yang mau kita berikan kepada ayah dan ibu nanti kakang ?”
“Senyum kedamaian, kebahagian kita dan doa, Rara” jawab Glgah Putih mantab.

Semilir angin yang mengalir membuat mereka sejenak terbuai oleh angan – angan tentang keserdehanaan hidup yang sejati.
Saat ketenangan itu datang, tiba – tiba mereka di kejutkan oleh kedatangan tiga orang laki – laki dengan pakaian serba hitam.
“Ini dia kang, sepasang anak muda yang aku ceritakan itu” kata seorang diantara mereka
Glagah Putih dan Rara Wulan segera berdiri dan bersiap menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi.
“Anak muda, dari mana asalmu ?” tanya seorang yang bermata juling itu kepada Glagah Putih.
Setelah menguasai perasaannya segera Glagah Purih merapat mendekati istrinya dengan senyum mengambang telah menatap orang – orang itu.
“Kami dari Menoreh, setelah dari Sangkal Putung kami akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, kisanak” jawab Glagah Putih.
“Anak muda, kau dapat dari mana kuda yang besar dan tegar itu, apakah kau mencurinya ?” kata orang bermata juling itu. Rara Wulan segera tanggap bahwa orang – orang itu ternyata tertarik dan menginginkan kuda mereka, dia masih menunggu tanggapan suaminya.
Masih tampak tetap tersenyum Glagah Putihpun menjawab,” Ki sanak kudaku ini adalah kuda pinjaman dari ki Swandaru sebab kuda yang aku bawa dari Menoreh terlalu letih dan telah aku tinggalkan di Sangkal Putung,”
“Swandaru ? maksudmu Ki Swandaru anak Demang Sangkal Putung itu ?”
“Benar ki sanak” jawab Glagah Putih, Rara Wulanpun mengerti bahwa suaminya ingin menghindari keributan dengan menyebut nama Swandaru maka mereka berharap persoalan akan cepat selesai dan segera melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, tetapi rupanya harapan suami istri itu telah hanyut terbawa angin.
Tiba – tiba ketiga orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa terbahak, setelah puas orang yang bermata julingpun berkata,” Sangat kebetulan anak muda, ketahuilah malam hari nanti kami akan memasuki Sangkal Putung dan akan menemui Swandaru, kami akan membunuhnya dan membawa istrinya yang cantik itu”
“Sekarang kita akan segera mendapat tunggangan yang baik, kakang” sela seorang yang berdiri disebelah orang yang bermata juling itu.
“Betul adi kita mendapat tunggangan yang baik dan mendapat perempuan muda yang baik pula,” Suara tertawa menggelegar segera terdengar.
" Apakah kau tidak bisa menghormati seorang perempuan, ki sanak ? " terdengar suara Glagah Putih yang telah merubah menjadi berat.
" Siapa yang harus di hormati anak muda ? Perempuan harus dinikmati bukan di hormati " suara tertawa yang berkepanjangan segera terdengar.
" Kurang ajar ! " Rara Wulan setengah berteriak.
Rara Wulan sudah merasa tidak tahan lagi mendengar perkataan ke tiga orang itu, segera saja tangannya terayun deras menyentuh mulut kotor orang yang berdiri paling dekat dengannya itu.

Sentuhan yang tidak terlalu keras, namun bagi orang itu sentuhan itu bagai siraman minyak dan segera membakar amarahnya, terasa pedih menyakitkan dan tanpa sadar di pegangi mulutnya dan dua giginya telah tanggal.
“Perempuan liar, tak tau diuntung” umpatnya liar
Kali ini Glagah Putih yang telah bergerak, bagai burung alap - alap dia telah melompat tangannya segera menggapai mulut orang itu dan kaki kirinya telah membentur dada orang yang bermata juling itu secara bersamaan.
Terdengar suara mengaduh dari kedua orang itu, kedua segera terlempar dan jatuh ketanah. Orang yang giginya tanggal dua itu tak segera berdiri sekali lagi dirabanya mulutnya, dua giginya telah terlepas lagi.
“Iblis, thethekan, setan” umpatan kasar keluar meluncur deras dari mulutnya.
“Aku tidak senang mendengar perkataannmu kisanak, sebaiknya kalian segera pergi dan lupakan kami” geram Glagah Putih.
Ketiga orang itu segera bersiap, segera menyadari kesalahannya mereka terlalu menganggap remeh kedua pasangan anak muda itu.
“Anak muda sekarang kami sudah tahu siapa kalian sebenarnya, kalian adalah penjahat yang berhati iblis meskipun wajah kalian tampak lembut , bersiaplah, kami akan segera meringkusmu bahkan tak segan kami akan membunuhmu bila kalian melawan” kata orang yang bermata juling itu menebar ancaman.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri, mereka tidak mengira justru pada perjalanan pendek itu, mereka mendapatkan hambatan.
Terlihat dua orang telah berhadapan dengan Glagah Putih dan seorang lagi yang giginya tanggal empat telah bersiap menundukkan Rara Wulan.
“Aku akan segera menangkapmu cah ayu, mengikatmu dan membawamu kepada sesembahanku” katanya sembari mengulurkan tangannya kearah tubuh Rara Wulan.
Tak mau tersentuh tangan kotor itu, Rara Wulan segera mendahului menyerang lawannya, dengan satu lompatan kedepan, tangannya bergerak lurus menggapai kening lawannya sementara kaki kanannya telah mengarah ke perut lawannya. Melihat gerakan cepat perempuan itu, segera orang berbaju hitam itu dengan gugup meloncat mundur beberapa langkah menghindar, melihat hal itu Rara Wulan langsung memburunya, satu tendangan telah terjulur menghantam perut lawannya, orang berbaju hitam itu tidak dapat menghindar lagi, segera ia menurunkan kedua tangannya melindungi perutnya, benturan kekuatan itu telah terjadi, segera saja orang itu terdorong beberapa langkah mundur, gemetar dan rasa ngilu telah menjalari kedua tangannya.

“Kaki iblis, dari mana kau dapat kekuatan itu, he !” teriaknya.
Rara Wulan hanya diam saja dan berdiri tegak siap menghadapi lawannya.
Di lingkaran lainnya Glagah Putih telah bergerak seolah sedang menari dengan cepat dan lugas mengimbangi gerakan dua orang lawannya, saat tangan lawan menyambar kepalanya segera direndahkan tubuhnya dengan satu gerakan sederhana dengan telapak tangan yang merapat disentuhnya lambung lawannya yang terbuka dan dalam waktu yang hampir bersamaan kaki kanannya menyapu kaki lawannya yang lain.
Belum menyadari keadaannya, tampak berkelebat tangan kirinya membentur pelipis lawannya yang sedang membungkuk memegangi lambungnya, segera orang itu tampak berputar dan dengan satu lompatan kecil siku kanannya membentur wajah yang sedang berputar itu, tak ampun lagi lawannya segera terpelanting dan jatuh terjerembab.
Melihat kawannya mengalami kesulitan maka seorang lagi sambil menggeram telah melompat kedepan sambil menyerang tengkuk Glagah Putih. Menyadari kemungkinan itu Glagah Putih segera membalikan badan dan dibenturnya tangan lawannya itu, terdengar suara gemeretak tangan lawannya, tulangnya telah patah, satu jeritan kesakitan terdengar melengking, lawannya terduduk sambil memegangi tangannya dengan wajah yang meringis kesakitan.
“Apakah kalian masih mau melawan ?” geram Glagah Putih.
Dua lawannya sudah terduduk dan mengerang kesakitan. Glagah Putihpun segera memandang kearah Rara Wulan.
“Aku menyelesaikannya lebih cepat darimu kakang” terdengar suara Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam – dalam dilihatnya lawan Rara Wulan terbaring diam.
“Dia hanya pingsan” desis Rara Wulan.
Kembali dipandanginya dua orang lawannya yang terduduk itu.” Kalian menyerah atau bagaimana ? tanya Glagah Putih.
“Kami menyerah anak muda, kami mohon ampun jangan bunuh kami anak muda” terdengar orang bermata juling yang tangannya patah itu.
“Seharusnya aku membunuh saja kalian semuanya, he, kau telah mengatakan aku adalah penjahat yang berhati iblis” suara Glagah Putih telah mengejutkan mereka.
“Ampun anak muda, aku mohon ampun, berilah kami kesempatan .”
“Kesempatan apa ? Kalian adalah orang – orang yang berwatak kasar dan berhati liar yang tak pantas hidup di muka bumi ini” bentak Rara Wulan
Kedua orang itu nampak menggigil ketakutan.

Mendengar pertanyaan itu kedua orang itupun,menjawab” Kami akan berubah anak muda.”
“Didepan kami kalian bicara seperti itu, besok kalian akan merampok, memperkosa bahkan membunuh” kata Rara Wulang garang.
“Tidak anak muda, kami betul – betul akan berubah, mohon ampun jangan membunuh kami,” Terdengar suara orang yang bermata juling itu benar – benar memelas.
“Baiklah saat ini, kalian kami ampuni, tetapi di saat lainnya apabila kami mendengar kalian melanggar paugeran hidup, di Sangkal Putung, Jati Anom atau daerah lainnya maka kami akan datang menghukum kalian, tanpa ragu kami akan membunuh kalian, mengerti !”
“Baiklah ki sanak kami mengerti”
“Siapa kalian sebenarnya ?” tanya Rara Wulan.
Keduanya terdiam sejenak, keraguan serta kecemasan jelas membayang diwajah mereka berdua.
“Tadi kalian mengatakan punya junjungan, apakah kalian akan ingkar ?” bentak Rara Wulan.
“Tidak ...tidak anak muda ? kata orang juling itu terbata – bata.
“Cepat katakan, atau kami akan membunuh kalian”
“Baiklah anak muda, kami adalah murid – murid dari perguruan Jatirogo, namaku Gemblong anak muda,” Kata Gemblong ketakutan.
“Dimana letak padepokan perguruanmu ?”
“Daerah Penggung anak muda”
“Hem....” terdengar Glagah Putih berdesah
“Baiklah Gemblong, uruslah temanmu yang pingsan itu dan ingat perkataanku, sekali ini aku telah mengampunimu, tidak untuk kedua kalinya”
Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata,” Marilah Rara, segera kita tinggalkan tempat ini.”
Keduanyapun segera melangkah mendapatkan kuda - kuda mereka dan meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Sebuah perjalanan yang tidak jauh lagi.
Di tempat lain, wayah sore, Ki Patih Mandaraka tampak jalan mondar- mandir di pendapa Kepatihan sesekali dilihatnya pintu regol kepatihan, kegelisahan telah merambati hatinya, tak lama kemudian telah datang Tumenggung Wirabaya menghampiri Ki Patih, setelah menghaturkan salam, selanjutnya mereka berdua telah masuk ke sentong tengah.
“Aku tahu kau tidak terlambat Ki Tumenggeung tetapi rasa – rasanya aku saja yang sangat gelisah menunggu kedatanganmu” Kata Ki Patih Mandaraka membuka pembicaraan.
“Mohon ampun Ki Patih, sesuai yang hamba laporkan kemarin, hamba menunggu petunjuk Ki Patih,”
“Ki Tumenggung Wirabaya, apakah gerakan di bang wetan itu sangat mengkhawatirkan ?” terdengar pertanyaan Ki Patih Mandaraka.
“Sampai saat ini tidak Ki Patih tetapi jika dibiarkan mereka akan terus bergerak ke barat dan pada akhirnya akan sampai juga di Mataram ini, apalagi jika mereka berhasil mempengaruhi beberapa kadipaten yang dilewatinya,” jawab Ki Temenggung Wirabaya.

“Menurutmu, siapakah yang menggerakan semua itu ?”
“Menurut keterangan telik sandi, mereka berasal dari Kadipaten Surabaya, gerakan itu dipimpin oleh seorang Tumenggung yang telah rela melepas baju keprajuritannya,” Tumenggung Wira baya berhenti sejenak, menunggu tanggapan Ki Patih.
“Apakah tujuan mereka dan sampai dimana pergerakan mereka sekarang Ki Tumenggung ?”
“Semalam laporan itu mengatakan mereka telah sampai di kademangan Nganjuk perbatasan dengan Kadipaten Madiun Ki Patih,”
Ki Patih tampak merenung pendengarkan laporan itu, Kadipaten Madiun adalah daerah yang pernah memberontak terhadap Mataram tentu benih – benih kebencian dan luka itu masih ada pada sebagian rakyatnya yang tidak bisa melihat kenyataan yang dihadapinya, sedangkan Panaraga keadaannya kian tidak menentu, setelah dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu dalam perang tanding, Pangeran Jayaraga itu tidak bernafsu lagi untuk menentang Mataram tetapi para bawahannya seolah tidak mempercayainya bahwa seorang Adipati telah di kalahkan hanya oleh seorang Rangga Mataram, tentu mereka itu dapat dimanfaatkan oleh Tumenggung dari Surabaya itu untuk melawan Mataram.
“Hem ..”  desahnya.
“Apakah mereka menggunakan cara selayaknya prajurit Ki Tumenggung” tanya Ki Patih.
“Tidak Ki Patih, mereka menanggalkan semua ciri – ciri keprajuritannya”
“Itulah yang lebih membuatku prihatin Ki Tumenggung, mereka akan mengumpulkan beberapa perguruan yang tersebar di seluruh bang wetan untuk memusuhi Mataram, mereka tentu tidak mempunyai jiwa keprajuritan, mereka akan bergerak liar tanpa tali ikatan dan itu tentu sangat menyulitkan kita”
“Benar Ki Patih, gerakan itu berhenti pada setiap derah dan mereka selalu menunjukan kemampuannya bahkan selalu menantang semua perguruan dimana saja, siapa yang kalah akan menjadi pendukung gerakan itu Ki Patih, Adipati Mojokertopun telah dikalahkannya,”
“Perguruan mana yang menjadi tulang punggungnya, Ki Tumenggung Wirabaya ?”

Nampak Ki Tumenggung diam sejenak mendengar pertanyaan itu, segera diingatnya nama sebuah perguruan yang telah disebutkan oleh telik sandi Mataram itu.
“Mereka menyebutnya Perguruan Kalisat yang di pimpin oleh seorang empu yang bernama Empu Ijen, Ki Patih”
Ki Patih Mandaraka tampak terdiam, dicobanya untuk mengenal dan menyusuri pengetahuannya tentang daerah timur tetapi belum pernah didengarnya nama perguruan yang seperti diceritakan oleh ki Tumenggung itu Wirabaya itu.
“Baiklah Ki Tumenggung, pembicaraan kita hari ini sudah cukup, aku minta tolong padamu, mampirlah ke Sanggar Bedoyo, katakanlah ke pada Pangeran Pringgoloyo bahwa besok wayah temawon aku menunggunya di Kepatihan.”
“Baiklah Ki Patih, perkenankan hamba mohon diri” selesai mengaturkan sembah maka Tumenggung Wirabayapun bergeser dan melangkah meninggalkan kepatihan.
Sepeninggal Tumenggung Wirabaya, Ki Patih Mandaraka tampak termenung, pikirannya telah melayang kesegala sudut kota raja,” Apakah bakal terjadi ontran – ontran di tanah Mataram ini ?”
Ki Patihpun segera teringat kepada sahabatnya, Ki Waskita. Dingatnya saat perang tanding antara Ki Rangga dan Pangeran Jayaraga saat itu Ki Waskita telah mengeluh” Apa yang akan terjadi di tanah ini ?”
“Hem.. aku akan datang menemui Ki Waskita” gumamnya lirih.
Dengan wajah sedih Ki Patihpun segera berdiri dan berjalan menuju gandok apitan, seorang abdi dalem segera menyembah dan mempersilahkannya.
Segera Ki Patih Mandaraka masuk dan duduk memandang kesebuah tirai berwarna kuning keemasan.
Hatinya bergetar sesaat, segera ia berdiri dan dibukanya tirai itu, nampak sebuah peti besar yang terbuat dari kayu jati berukiran sangat halus tergolek disana, dengan sangat berhati hati dibukanya peti itu perlahan dan diambilnya sesuatu di dalam peti itu.
“Apakah sudah saatnya aku mempergunakan pusaka ini kembali” gumam Ki Juru perlahan. Kekhawatirannya terhadap kelangsungan Trah Mataram telah membuatnya menyentuh benda pusaka itu lagi.
Keris pusaka Kanjeng kyai Kalam Bumi, sebuah keris dengan luk tiga belas pemberian Kedaton Giri telah kembali di diselipkan pada pinggangnya, Sebuah pusaka yang diterimanya dari Sunan Giri dan pusaka itu telah menemani hampir sepanjang perjalanan hidupnya, meskipun selapis di bawah pusaka Kala Munyeng Sunan Giri tetapi pusaka itu terasa mempunyai pamor dan perbawa yang luar biasa bagi pemiliknya, segeralah pusaka itu menyatu dalam jiwa dan raganya.

Pusaka itulah yang menemaninya, bersama Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi menghadapi Raden Aryo Penangsang dan pasukannya dari Jipang kala itu. Seorang Pangeran dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya, pusaka ampuh pemberian Sunan Kudus.
“Semoga aku tidak mempergunakannya lagi” doanya dalam hati.
Setelah mengatakan sesuatu kepada abdi dalem yang menjaga ruangan itu, segera Ki Patih bergegas menuju gandok wetan dan menemui seseorang.
“Ki Sumokraton, aku memerlukan bantuanmu, malam ini pergilah ke Tanah Perdikan Menoreh dengan dua pengawal kepercayaanmu, menghadaplah kepada Ki Gede Menoreh dan sampaikan salamku, setelah itu sampaikan bahwa besok sore aku akan berkunjung ke Menoreh dan sampaikan juga aku memerlukan Ki Waskita hadir ,” berkata ki Patih kepada orang kepercayaannya itu.
Tampak Ki Sumokraton mendengarkan secara seksama semua permintaan Ki Patih Mandaraka, segera ia berucap,” Ki Patih, apakah ada hal lain yang akan hamba sampaikan kepada Ki Gede Menoreh ?”
“Tidak Ki cukup itu saja, aku akan singgah ke barak pasukan khusus yang ada di Menoreh sebelum aku ke padukuhan induk .”  jawab Ki Patih.
“Hamba mohon diri Ki Patih” Segera Ki Sumokraton bergeser dan meninggalkan gandok wetan.
Ki Juru Mertani segera melangkahkan kakinya menuju biliknya, setelah menyimpan rapi keris pusakanya maka kakinya segera melangkah ke luar dari Kepatihan menuju masjid di lingkungan istana untuk menunaikan kewajibannya. Malampun telah tiba dan bulanpun telah menjalankan tugasnya menerangi bumi Mataram
Sementara itu di padepokan orang bercambuk Jati Anom, suasana kegembiraan serasa membekap jantung semua penghuninya, semua cantrik dengan wajah berseri selalu berada di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan teman semasa kecilpun telah berdatangan.
Perasaan Ki Widura serasa mengambang di awan, kehadiran putra satu – satunya itu beserta menantunya sangat membesarkan hatinya.
Rara Wulan merasakan ketenangan dan kenyamanan hidup yang sepertinya belum pernah ia rasakan. Siang hari pasangan muda itu terlihat menerima tamu – tamu sekitar padepokan dan malam harinya bersama Ki Widura telah masuk sanggar untuk menempa para cantrik padepokan itu.
Saat tengah malam, didalam sanggar tersisa Ki Widura dan sepasang suami istri, mereka telah membicarakan sesuatu.

“Glagah Putih dan Rara Wulan, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui terlebih dahulu tentang kembalinya orang tua yang sangat kita hormati itu” Ki Widura mulai berbicara setelah mendengar cerita yang panjang dari anaknya.
Keheranan telah hinggap di benak pasangan muda itu, mereka terus memperhatikan perkataan ayahnya itu.
Ki Widura berhenti sejenak, segera menarik nafas dalam – dalam, kemudian katanya,” Sebelum pergi ke Menoreh, Kyai Gringsing ternyata telah datang ke padepokan ini, bahkan sempat pula orang tua yang baik hati itu memberi petunjuk kepadaku tentang olah kanuragan,”
“Apa maksudnya, ayah ?” tanya Glagah Putih.
“Kedatangan seseorang sangat aneh pada saat itu, Kyai Gringsing hadir sama persis seperti saat datang ke Sangkal Putung untuk menemuiku kala itu,” desis Ki Widura, seraya mengingat kejadian demi kejadian saat pasukan Tohpati menyerang Sangkal Putung.
“Bagaimana kejadiannya, ayah ?” Rasa ingin tahu telah mendesaknya bertanya kepada ayahnya.
“Saat menjelang wayah sepi bocah, di pancingnya ayahmu yang sudah tua ini untuk keluar dari padepokan pergi kesuatu tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, hutan kecil di selatan Jati Anom ini” Ki Widura berhenti sejenak, dikenangnya peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu itu dan Glagah Putih serta Rara Wulan terasa seakan menyaksikan peristiwa itu.
Ki Widura dengan kaki renggang telah mengadap orang bertopeng dan berjubah lurik itu, perasaan aneh telah berkecamuk didadanya.
“Kenapa kau selalu mengikuti ku Ki Widura, bukankah aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu ?” tanya orang bertopeng itu.
KI Widura menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya,” Kenapa kisanak memberi isyarat kepadaku, isyarat yang tidak wajar dan hanya di pahami oleh orang orang padepokan kami ?”
Mendengan perkataan Ki Widura, meledaklah tawa orang bertopeng itu,
“Ki Widura, umurmu sudah tua tetapi pengetahuanmu masih saja terlalu dangkal, apakah yang kau ketahui tentang isyarat itu, he ?”
Ki Widura tampak mengatupkan bibirnya rapat – rapat menahan gejolak didadanya, kecurigaannya semakin besar, takkala mendengar orang bertopeng itu berkata,” Isyarat itu sebenarnya aku tujukan kepada Untara, bukan kepadamu, aku menduga bahwa Untara ada di padepokan saat itu, dengan menerima isyaratku maka Untara akan mengerti musuh bebuyutannya telah datang dan akan menagih janji kepadanya” Suara tertawa yang sangat aneh telah terdengar lagi, menebar menggelitik bunga – bunga liar yang tumbuh dihutan kecil itu.
“Sudahlah kisanak, aku semakin tidak mengerti apa yang kau ucapkan, marilah kita duduk dan istirahat dipadepokan, sementara cantrikku akan memanggil angger Untara seperti yang kau kehendaki” kata Ki Widura dengan nada berat.

“Tetapi jika kau tidak mau maka aku akan memaksamu.”
Terdengar orang bertopeng itu menggeram dan dengus nafasnya terdengar memburu,” Baiklah Ki Widura aku terpaksa akan melawanmu jika kau masih ingin menangkapku, yakinlah bahwa hanya Untara yang bisa melawanku, ilmumu masih terlalu dangkal untuk menantangku,”
“Jangan meremehkan aku kisanak, apakah kau merasa mempunyai ilmu sundul langit sehingga kau berani meremehkan aku ?” kata Ki Widura.dengan suara sedikit bergetar.
“Ilmumu masih di bawah Untara, apalagi jika dibandingkan dengan adik Untara yang ada di Menoreh itu” katanya mengejek.
Mendengar dan merasa selalu disudutkan dan diremehkan maka semakin lama Ki Widura semakin tak bisa menahan dirinya lagi dan orang bertopeng itu telah menyebut beberapa anggota keluarganya” Hem..Apakah memang orang ini mengusung dendam pada keluarga Ki Sadewa, orang ini tentu mempunyai ilmu tinggi tetapi siapakah orang ini ?”
Ejekan dan segala perkataan yang merendahkan dirinya terus meluncur deras dari balik topeng itu, yang pada akhirnya Ki Widura telah kehilangan kesabarannya.
“Menyerahlah kisanak ! Hem .. sekali lagi aku menawarkan padamu, marilah singgah dipadepokanku , jika kau menolak maka aku akan segera menangkapmu, melawan atau tidak melawan”
Sekali lagi orang bertopeng itu tertawa sampai tubuhnya terguncang, katanya,” aku akan melawan saja, tetapi jangan salahkan aku jika nanti tubuhmu babak belur Widura”
Tiba – tiba dan tanpa aba – aba orang bertopeng itu secepat tatit telah meloncat menyerang Ki Widura, sebuah tendangan mengarah ke ulu hati, menanggapi serangan itu Ki Widura dengan tangkasnya telah bergerak kesamping dan memukul kaki lawannya itu., sebuah benturan kecil terjadi dan tak menggoyahkan keduanya.
Segera orang bertopeng merendah melancarkan serangan dengan jurus sapuan, tubuhnya berputar seperti gangsingan mengempur kuda – kuda ki Widura, tak membiarkan dirinya terjungkal maka segera Ki Widura melenting dengan cepat dan tangannya terjulur menggapai kening lawannya. Orang bertopeng itu terdengar menggeram melihat kelincahan lawannya, tiba – tiba dengan satu gerakan yang rumit orang bertopeng itu menghindari sentuhan tangan Ki Widura dan sekaligus membalasnya dengan telapak tangan terbuka., sebuah pukulan telah menghantam pundak bagian belakang, terasa dorongan sangat besar dan menyakitkan menerpa tubuh Ki Widura.
“Nah .. aku sudah mengenaimu Widura, sekarang apa katamu ? Ilmumu belum sekuku irengnya Agung Sedayu, keponakanmu itu” suara tertawa menggema orang bertopeng itu terdengar sekali lagi.

Ki Widura tidak menjawab, matanya memandang tajam kearah orang bertopeng itu, segera ditingkatkan ilmunya, tenaga cadangan telah dihimpun dan dikerahkannya meskipun belum sampai puncaknya.
Keduanya kembali terlibat dalam pertempuran yang cukup sengit, bayangan tubuh orang bertopeng itupun semakin jarang menyentuh tanah sedangkan Ki Widurapun terus memburunya seakan tak mau melepaskan bayangan itu.
Sebuah pukulan tangan kanan yang didorong oleh tenaga cadangan yang besar telah mendarat didada orang bertopeng itu, tetapi alangkah terkejutnya Ki Widura melihat akibat pukulannya, orang bertopeng itu seolah tak merasakan apa-apa, bahkan masih terdengar suara tertawanya yang aneh.
“Hem .. aku tak menyangka Widura kau dapat bergerak secepat itu, tetapi sayangnya pukulanmu seperti pukulan anak kecil yang baru belajar olah kanuragan”
Darah Ki Widura seakan menggelegak mendengar kata – kata itu, diperhatikan lawannya yang tengah mondar – mandir itu.
“Baiklah ki sanak, aku akan segera mengerahkan kemampuanku yang sebenarnya dan aku tidak akan ragu – ragu lagi, jangan salahkan aku jika kau merasakan akibatnya.”
Tanpa menunggu jawaban orang bertopeng itu, segera Ki Widura meloncat menerjang serta melibat lawannnya dalam sebuah pertempuran yang rumit, gerakannya semakin ringan dan pukulannya pun semakin mantap dan berat bahkan terasa udara dingin telah mengiringi gerakannnya, orang bertopeng itu terkejut saat melihat perubahan tata gerak lawannya, tetapi dia masih belum kehilangan akalnya, dengan lincahnya ia berkelebat cepat, seakan tubuhnya tidak berbobot.
“Widura mana ajianmu, kalau hanya mengandalkan gerakan dengan ilmu meringakan tubuh saja tentu kau akan segera menemui kesulitan” teriak orang bertopeng itu.
“Aku tidak ingin membunuhmu kisanak, aku hanya ingin menangkapmu” jawab Ki Widura sampil menyerang lawannya.
Pertempuran telah meningkat semakin cepat, sangatlah mengherankan, semakin meningkatkan ilmunya Ki Widura merasa semakin ada jarak antara ilmunya dan ilmu orang bertopeng itu, sampai satu ketika sebuah pukulan telah mengguncang dada Ki Widura. Dan pukulan itu telah melebihi dari daya tahannya, Ki Widura telah terdorong tiga langkah surut.
“Kau ceroboh Widura, pertahananmu semakin terbuka bila kau terlalu bernafsu untuk menyerang, kedua - duanya harus seimbang” terdengar celoteh orang bertopeng itu.
“Apakah kau mempunyai ilmu lain selain kecepatan gerak, Ki Widura ?”
Warna merah telah merambat ke wajah tua Ki Widura, selama ini belum pernah ada orang yang bertempur melawannya setangguh orang bertopeng itu, dengan terpaksa diungkapkannya satu persatu ilmunya, pertama yang diungkapnnya adalah ilmu pertahanannya, sebuah ilmu kebal yang dipelajari dari kitab kakaknya Sadewa, kitab perguruan Jati Laksana – Lembu Sekilan.

Perubahan tata gerakpun segera terjadi, Ki Widura dengan mantap telah menyerang lawannya, benturan dengan lawannya seolah tak dirasakannya, bagai orang kesurupan paman Agung Sedayu itu telah meyerang lawannya, bahkan ditangannya telah tersalur ajian Lebur Seketi meskipun belum pada puncaknya, sekilas terlihat orang bertopeng itu terdesak surut beberapa langkah,” He ! Widura, apakah kau benar – benar ingin membunuhku” teriak orang bertopeng itu sambil menghindar.
Ki Widura tidak segera menjawab, serangannya menjadi semakin rumit dan cepat, kemanapun lawannya bergerak selalu diikutinya, keyakinannya terhadap ilmu lembu sekilan yang tidak akan tertembus oleh serangan lawannya benar –benar membuat Ki Widura semakin leluasa bergerak, ayah Glagah Putihpun merasa semakin yakin akan segera dapat mengalahkan lawannya, dalam kekalutan menghadapi serangan Ki Widura , tiba – tiba orang bertopeng itu melontarkan dirinya kebelakang, seolah mencari kesempatan untuk menarik nafas, dia berdiri membelakangi pohon mahoni.
“Apakah kau menyerah kisanak ?” tanya ki Widura yang telah menghentikan serangannya itu.
Terdengar orang bertopeng itu tertawa perlahan dan disela –sela tertawanya, dia berujar,” Ada apa dengan kau Widura ? Apakah kau sudah mengalahkanku ? Ketahuilah, kalaupun aku meloncat mudur bukan berarti aku menyerah, aku justru memberimu kesempatan untuk bernafas sebab sangat tidak pantas apabila aku bertempur dengan orang yang nafasnya hampir terputus,”
Tampak kerut didahi Ki Widura semakin dalam, tak disangkanya hari ini dia bertempur melawan orang yang sangat aneh.
“Ki Widura, apakah kau menyadari kebenaran dari ucapanku itu ?”
Darah Ki Widura benar – benar mendidih, mulutnya menjadi kelu, sekejap kemudian bagaikan terbang Ki Widura telah meloncat kearah lawannya yang berdiri tegak itu, kedua tangannya mengembang dan terasa telah bergetar hebat dan sesaat lagi pasti membentur dada lawannya.
Orang bertopeng itu menyadari dengan segala ucapannya, dia terus membangkitkan kemarahan Ki Widura, usahanyapun telah berhasil dan kini ia tengah menanti pukulan dari orang padepokan bercambuk itu.
Kurang sejengkal dari dadanya, tiba – tiba orang bertopeng itu telah bergerak, sebuah gerakan yang tidak kasat mata, ia telah berpindah tempat.
Datanglah pukulan yang dahyat itu, menerpa pohon mahoni yang berdiri tegak perkasa, akibatnya pohon mahoni bagaikan terguncang hebat, daun – daun yang telah menguning, dahan yang telah lapukpun segera berguguran dan jatuh ketanah, terlihat jelas bekas sentuhan tangan Ki Widura itu, kulit pohon mahoni yang besar itu telah terkelupas dan bekas kehitaman telapak tangan telah menempel di pokok pohon itu.
“Luar biasa, Widura” desis orang bertopeng itu.
“Bagaimana akibatnya bila menyentuh dadaku ?” dan sekali lagi terdengar suara tertawa kecil keluar dari balik topeng itu.

Sementara itu Ki Widura bagaikan orang kehilangan akal, merasa serangannya gagal maka diapun segera menyiapkan serangan berikutnya. Sebuah gerakan cepat segera memburu dan melibat lawannya, gerakan yang dilandasi ilmu perguruan Windujati benar – benar telah diterapkannya. Desir angin yang kuat serta udara yang dingin telah mengiringi serangan Ki Widura.
Orang bertopeng itupun segera meningkatkan ilmunya, dia tidak lagi banyak bicara, dia tidak mau tersentuh tangan lawannya.
Tanah di hutan kecil itu segera teraduk – aduk dan rumput ilalang segera berserak tercabut dari akarnya, dua bayangan nampak berputar – putar dan saling menyerang, tubuh mereka seolah telang mengapung diudara, sangat sulit bagi mata telanjang untuk mengikuti pertempuran itu.
Satu Kejadian berikutnya benar – benar mencengkam benak dan dada Ki Widura, Ilmu Lembu Sekilan yang telah diterapkan sampai puncaknya itu telah dapat di tembus olah lawannya. Sekali lagi sebuah sentuhan dengan ibu jari telah meraba keningnya dan memecahkan ilmu kebalnya, terasa seolah bumi bagai perputar dan awanpun runtuh menimpa tubuhnya, paman Agung Sedayu itu telah terpelating dan tubuhnya bagai terlempar dan telah jatuh berguling – guling.
“Lembu sekilan yang jelek Ki Widura” ejek orang bertopeng itu.
“Bagaimana akibatnya jika aku menggunakan sepenuh kekuatan, tentu tubuhmu akan hancur Ki Widura, mengapa kau tidak mempergunakan ilmu pertahanan yang telah diwariskan oleh gurumu ? Mengapa tidak kau pergunakan aji Bayu Lampah atau memang kau belum menguasainya ?”
Ki Widura benar - benar tercengang, seolah kehabisan akal, tanpa sadar tangannya telah meraba sesuatu yang membelit dilambungnya.
Selesai bicara, tanpa menunggu Ki Widura memperbaiki keadaannya, secepat tatit diudara, orang bertopeng itu bagaikan terbang dengan tangan mengembang dan jari – jarinya telah merapat, laksana burung rajawali menyambar mangsanya dan turun dengan derasnya, tangan kanannya mengepal telah menghantam pokok pohon mahoni disamping Ki Widura berdiri, bukan main akibatnya, terlihat pohon itu tidak berguncang sedikitpun, pohon mahoni itu tidak terbakar dan masih tetap tegak berdiri dengan kokohnya.
Mata Ki Widura bagaikan terbelalak menyaksikan akibat pukulan itu, ternyata pada batang mahoni yang besar itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, dari sisi satu telah menembus ke sisi yang lainnya.
“Lihatlah Widura, bagaimana jika pukulan itu menerpa tubuhmu, meskipun lembu sekilanmu rangkap tiga aku masih yakin dapat menembusnya ?”
terdengar orang bertopeng itu berkata perlahan.
Kepalanya menjadi semakin pening dan nalarnya semakin kabur, menyaksikan kemampuan lawannya.
“Apakah angger Untara dan angger Agung Sedayu sanggup menghadapi orang ini ?” pikiran itu terlintas di benaknya,” Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mengetahui seluk beluk ilmunya ?”
Pertanyaan telah membelit otaknya yang tidak segera ditemukan jawabnya.
“Ki Widura, apakah kau membawa senjata ? Pinjamkan cambukmu padaku, jangan takut aku tak berniat menyakitimu apalagi membunuhmu”
Keraguan yang sangat telah mencengkam dadanya, ilmu orang bertopeng itu jauh diatas awan baginya, bagaimanapun tentu sangat mudah bagi orang tiu untuk membunuhnya, senjata tak akan diperlukannya untuk menghabisi seorang Widura.
Perasaan aneh telah berkecamuk didadanya, sementara itu terdengar orang bertopeng itu berkata,” Baiklah Ki Widura aku tak akan meminjam senjatamu, aku akan mencari penggantinya saja.”
“Widura, lihatlah batu hitam itu !”
Selesai bicara, dengan sedikit ancang –ancang orang bertopeng itu telah meloncat tinggi, dengan cepat tangannya menghentak sulur pepohonan hingga terputus, dan sekali menjejak tanah orang bertopeng itu telah melenting, sulur pepohonan itu telah berputar diatas kepalanya, suara desing dan terpaan angin dingin telah menyakiti dada Ki Widura, sesaat kemudian sulur pepohonan itu telah disentakannya, sekejap sinar hijau kebiruan telah menerpa batu hitam sebesar sapi lanang itu, tidak ada ledakan dan tidak ada debu yang berhamburan, ternyata batu hitam itu telah berubah warna menjadi keputihan.
Bagaikan orang yang telah tertidur panjang dengan mimpi yang sangat menyeramkan, Ki Widura telah terduduk membeku.
“Ki Widura datanglah ke batu hitam itu, lihatlah apa yang terjadi, mungkin suatu saat akan menarik perhatianmu.”  kata orang bertopeng itu perlahan.
Seperti kena ilmu sihir sekaligus ilmu gendam maka Ki Widurapun segera berjalan menuju batu hitam yang telah berubah warna itu. beberapa langkah ayah Glagah Putih itu berhenti dan diamatinya batu putih itu, dengan menahan nafas, perlahan – lahan dan gemetar digerakan tanganya menyentuh batu itu,” Subhanalloh” batu itu telah berubah menjadi es dan segera mencair membasahi tanah.
Sebuah kedahsyatan ilmu yang belum pernah di bayangkannya, beberapa saat dia bagai membeku menatap batu es itu dan dirabanya kembali, seolah tak percaya. Sebongkah kekaguman telah merayapi hatinya, tidak beberapa lama Ki Widurapun berdiri dan membalikkan badannya, alangkah terkejutnya, ternyata orang bertopeng itu telah menghilang.
Ki Widura menarik nafas dalam – dalam, kedua belah tangannyapun telah bergerak menutup mukanya dan kemudian bergeser kebawah, sebuah aura kesegaran nampak diwajahnya yang telah menua itu.
“Seperti itulah kejadiannya anakku,” terdengar ki Widura berdesis.
“Tetapi bagaimana ayah bisa memastikan bahwa orang bertopeng itu adalah Kyai Gringsing ?” tanya Rara Wulan.
“Kyai Grinsing telah masuk di sanggar ini anakku, dan telah duduk ditempatmu itu Glagah Putih, orang tua itu terlihat sedang menunggu kedatanganku” jelas Ki Widura.
“Guru sepuh itu telah bercerita banyak kepadaku sebelum menemui kalian di Menoreh” sambungnya.
“Ayah memanggilanya sebagai guru sepuh, siapakah guru mudanya ?” Rara Wulanpun segera bertanya.
Glagah Putih tak dapat menahan tawanya mendengar pertanyaan yang menggelikan itu.
“Rara, siapa guru muda itu menurutmu” tanya Galagah Putih.
“Kakang Agung Sedayu” jawab Rara Wulan pasti.
“Nah ..kalau sudah tahu, kenapa kau tanyakan ?” kata suaminya sembari tersenyum,
“Kakang benar, kenapa aku tanyakan ya ?” katanya perlahan sambil menahan senyumnya.
Melihat keduanya, hati Ki Widura terasa tentram seperti tersiram air padasan.
“Glagah Putih dan Rara Wulan sebelum pergipun, guru sepuh telah memberiku satu perkataan yang harus selalu kupikirkan,” Ki Widura, kehebatan seseorang itu sama sekali bukan terlihat dari berapa banyak harta benda yang ia kumpulkan, bukan pula dari berapa tinggi kesaktian yang ia tunjukkan, sebenarnyalah kehebatan seseorang itu akan terlihat saat dia bisa menerima dan melihat indahnya suatu perbedaan, harta, derajat dan pangkat hanyalah sebuah titipan yang sangat tidak patut untuk dipamerkan, tiada kuasa manusia yang akan melebihi KuasaNYA,”
Glagah Putih dan Rara Wulan tampak tertunduk, mereka meresapi apa yang telah disampaikan oleh Kyai Grinsing dengan lantaran ayahnya, keduanya mencoba mengurai makna di balik perkataan itu.

“Anakku berdua, tidak mudah mencerna nasehat mulia itu, masih banyak diantara kita yang telah berbuat sebaliknya” Ki Widura terdiam sejenak, lanjutnya,” Diperlukan tekad yang besar dalam diri kita untuk memulai menekan hawa nafsu yang sering meledak - ledak ini, kesadaran akan keberadaan kita sebagai manusia, itu dulu yang harus dipahami”
“Kesadaran kita sebagai manusia” kalimat itu terngiang di benak kedua anak muda itu,
“Apa maknanya ayah ?” tanya Glagah Putih.
Ki Widura tidak segera menjawab, diingatnya kelanjutan perkataan guru sepuh sebelum meninggalkan padepokan itu, seolah telah terngiang kembali semua perkataan itu.
“ Manusia itu adalahciptaanNya yang paling sempurna Ki Widura, diberiNya akal dan pikiran, diberiNya semua kelengkapan untuk hidupnya dan diberikanNya pula semua kebutuhan hidupnya, tetapi sangat sedikit diantara kita yang mengerti, bagaimana seharusnya mempergunakan semua pemberianNya itu.”

“Ki Widura, bukankan kita yang menerima ini juga harus memberi dan sebaliknya, bukankah kita yang dilayani ini juga harus melayani, bukankah kita ini mempunyai rasa kebaikan, rasa kasih sayang dan rasa menghormati serta masih banyak rasa manusiawi lainya di muka bumi ini, tetapi ku mohon padamu Ki Widura, segeralah mengerti, bahwa ada satu kata yang bisa mewakili penampakan wadag dan rohani kita yaitu kata syukur, selalu bersyukurlah pada Sang Pencipta, percayalah tiada kejelekan atau keburukan yang akan diberikan kepada kita olehNya.“

Ketiga semakin hanyut oleh perkataan orang tua yang sangat mereka hormati itu.


“Sudahlah anakku, beristirahatlah, mumpung masih sempat, sebentar lagi sudah menjelang pagi, bukaknkah nanti kedua saudaramu dari Sangkal putung akan kemari dan kalian akan melanjutkan perjalanan ke Menoreh” kata Ki Widura menyadarkan mereka.


“Kakangmu Untara juga sudah memberi bekal kepada kalian yang sudah aku simpan, rupanya kakangmu Untara terlupa saat kau datang kerumahnya saat itu, dan sebelum kau pergi sebaiknya kau melihat ke makam ibumu, doakanlah ibumu supaya mendapat tempat yang baik di sisiNya.” 

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com