Oleh : A. Malindo
Bukan terusan
ataupun lanjutan API di BUKIT MENOREH
BUMBUNG 2
Waktu terasa merambat tak terasa dan hari yang telah di tentukan telah tiba,
pagi itu Ki Gede Monoreh telah meminta Ki Jayaraga datang ke rumahnya.
Sementara itu, Agung Sedayu telah berada di sanggar bersama Glagah Putih.
“Baiklah Glagah Putih, malam nanti
menjelang purnama kita akan pergi ke Gumuk Kembar,” Kata Ki Rangga membuka pembicaraan.
“Kita akan menghadapi tugas berat, kita
harus mempersiapkan diri terutama mempersiapkan batin kita untuk menghadap Sang
Illahi Robbi” . Glagah Putih memandang wajah kakak sepupunya, ia mengerti
sepenuhnya apa yang di maksud oleh Ki Rangga.
“Sebenarnya akulah sasaran mereka, tetapi
kau dan Ki Jayaraga harus bersiap menghadapi situasi yang belum kita ketahui” .
“Iya kakang” jawab Glagah Putih singkat.
“Glagah Putih, waktu kita hanya tinggal
beberapa saat lagi, aku akan sedikit memacu ilmumu, sebab Perguruan Argopuro
memiliki ilmu kebal yang hampir sama dengan yang aku punya, jadi kau harus
yakin bisa memecahkannya” . Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya.” Mendekatlah,
aku akan meyalurkan hawa dingin kedalam ragamu, seperti yang aku lakukan
sebelumnya terhadapmu, cara yang sama, lebih mendekatlah” .
Glagah Putih segera beringsut kedepan,
diam sejenak mempersiapkan dirinya, rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada
kakak sepupunya selalu diucapkannya meskipun dalam hati, segera dijulurkannya
kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap atas. Wajah Ki
Rangggapun terlihat tegang meskipun hanya sekejap, menyambut adik sepupunya
segera dijulurkan tangannya dan menelangkup diatas tangan Glagah Putih.
Sesaat kemudian terasa sesuatu masuk dan
mengalir di tubuh putra Ki Widura itu, tubuhnya terasa menggigil kedinginan,
kepalanya menjadi sedikit pening tetapi tetap dipertahankannya
keseimbangannya, di terimanya hawa murni dan merayap perlahan seiring
terbukanya cakra jantung maka terkumpullah semuanya dan mengendaplah aliran
hawa murni itu di jantungnya.
Tidak terlalu lama, sesaat kemudian tampak
Ki Rangga membuka matanya demikian juga dengan Glagah Putih.
“Selesai Glagah Putih, aliran hawa yang
aku salurkan tadi hanya mendorong rasa cinta terhadap sesama dan rasa perduli
pada dirimu, saat seseorang menanamkan nafsu angkara kepadamu maka ungkaplah
rasa damai dihatimu, mohonlah pertolongan hanya kepada Illahi Robbi semata” .
Agung Sedayu berhenti sejenak, terlihat menarik nafas panjang, kemudian dipandanginya
adik sepupunya itu lalu katanya” Hawa murni itu dapat kau salurkan bersamaan
dengan pengungkapan ilmu yang lain, diantara bangsal ilmu yang engkau miliki,
yang paling sesuai adalah ajian Namaskara” .
"Apakah kau memahaminya, Glagah
Putih". Tanya Ki Rangga.
Glagah Putih menggangukkan kepalanya,
tanpa menjawab kepalanya masih sedikit berputar serta perutnya terasa sedikit
mulal. Ditariknya nafas panjang - panjang beberapa kali dan dikeluarkan lewat
mulutnya perlahan seperti meniup awan kecil yang melintas di muka
wajahnya.
Ki Rangga tak bergeming, dibiarkannya adik
sepupunya melakukan hal-hal yang menolong dirinya sendiri, tak lama kemudian.
“Bagaimana cara aku mengungkapkannya,
kakang ?” tanya Glagah Putih seolah
meminta penjelasan.
“Sama seperti engkau mengungkap ajian
Namaskara pada puncaknya, hanya sertakan dengan keyakinan yang teguh, bukalah
cakra jantungmu selebar – lebarnya, kedamaian akan mengalirkan kekuatan yang
bersifat dingin, nah kemudian doronglah seiring dengan ilmumu” .
Glagah Putih mengerutkan keningnya,
meskipun ia paham dan mengerti ajaran kakak sepupunya namun tetap saja ada
keraguan di hatinya.
“Apakah kau mau mencobanya ?” tanya KiRangga sembari tersenum, seolah
mengerti keraguan di hati adik sepupunya.
“Jika kakang tidak berkeberatan” jawab
Glagah Putih mantab.
“Baiklah, kita akan coba tetapi di sanggar
saja sebab kita sudah tidak punya waktu lagi, berdirilah” .
Tampak Ki Rangga berdiri dan berjalan
menuju ketengah sanggar di ikuti adik sepupunya.
***
Pada hari yang sama di tempat lain di kali
Progo terlihat tiga orang berwajah keras mengiringi seorang pemuda
berwajah tampan dengan pakaian rapi tengah menyeberang dan tak lama kemudian
telah mendarat di bumi Menoreh.
“Guru, apakah kita langsung menuju rumah
Ki Rangga atau istirahat sejennak di rumah Ki Merta” tanya pemuda berkumis tipis sambil menepuk –
nepuk leher kudanya.
“Tidak Raden Trunoloyo, kita tidak kerumah
orang bercambuk apalagi ke rumah ki Merta” jawab orang yang di panggil guru itu.
“Jadi kemana kita malam ini ?” tanya
pemuda yang ternyata bernama Raden Trunoloyo itu.
Tampak gurunya terdiam sejenak,
dipandanginya aliran kali progo itu, lalu katanya kepada dua orang di
belakangnya,” Adi Menak Jati dan adi Menak Sungsang, apakah kalian mempunyai
rencana lain ?”
Kedua orang kembar itu menarik nafas pelan
– pelan, bagi mereka tidak ada alasan untuk menunda rencana awal, rencana yang
sudah disusun oleh seorang pertapa sakti yang tidak lain adalah kakek mereka
sendiri. Terngiang jelas perintah dari pertapa itu.
“Kyai Lamotan, apakah ada pertimbangan
baru, sehingga kita harus menunda rencana awal?” kata Menak Jati, diam sejenak, lalu katanya,” Bila
di tunda apakah tidak berakibat buruk bagi kita? Sebab sudah banyak
perguruan dari bang wetan yang datang ke Menoreh ini” .
Kyai Lamotan mengerutkan keningnya, lalu
katanya” Bukankah kita harus menunggu kehadiran Ki Gajah Lodra ?” .
“Tidak perlu Kyai, guru tidak jadi pergi
ke Menoreh, lewat aji pameling guru telah memerintahkan aku bersama adi Menak
Sungsang untuk melakukan tugas itu” jelas Menak Jati.
Kyai Lamotan tampak ragu – ragu
sejenak, dipandanginya Raden Trunoloyo seolah – olah sedang ditakarnya, dalam
diri anak muda itu mengalir darah Panglima Kadipaten Pasuruan, meskipun
terlihat lemah lembut, anak muda itu akan tetap menatap korbannya tanpa
berkedib dan menghancurkannya tanpa belas kasihan.
“Aku hanya salah satu gurunya, sejak kecil
dia diasuh oleh seorang pertapa dari lereng Gunung Arjuno, sampai pertapa itu
meninggal dunia” katanya dalam hati.
“Meskipun aku gurunya, aku tidak yakin
akan kemampuan sebenarnya, terlalu banyak rahasia yang disembunyikan padaku” .
“Bagaimana Kyai ?” tanya Menak Jati membuyarkan lamunan kyai
Lamotan.
“Baiklah adi, kita akan laksanakan rencana
awal secepatnya, tetapi apakah adi berdua yakin dapat mewakili Ki Gajah Lodra ?”
kata Kyai Lamotan kepada dua saudara
kembar itu.
Keduanya tertawa berkepanjangan mendengar
perkataan Kyai Lamotan, tanpa ragu tampak Kebo Jalu mengeluarkan sesuatu dari
kotak yang di bungkus rapi itu, sementara itu Raden Trunoloyo tampak acuh tidak
acuh melihat peti yang berisi benda pusaka itu.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling
dan yakin akan keamanan benda pusaka itu, Menak Jati, berdesis,” Inilah pusaka
itu Kyai Lamotan” .
Ketegangan merayapi wajah Kyai Lamotan
yang sudah tua itu, matanya terus menatap benda pusaka dihadapannya, tak
disangkanya benda pusaka itu hadir dihadapannya.
Sebuah tongkat pendek berwarna kuning
keemasan, yang kalau diukur tidak melebihi panjang dari setengah depa.
“Kyai Gada Menak” desisnya perlahan.
Wajah Raden Trunoloyo tampak menegang
sesaat, perasaannya bergejolak hebat, hanya sesaat, kemudian tampak dia
menarik nafas dalam – dalam mendengar nama pusaka yang dibawa dua saudara
kembar itu.
Ayahnya pernah mengatakan bahwa pusaka
itulah yang selama ini di carinya, sangat diyakini oleh ayahnya, bahwa dengan
pusaka itu Kadipaten Pasuruan akan menjadi pusat pemerintahan di pulau jawa
ini. Kini tanpa di sengaja pusaka itu telah hadir di hadapannya.
Terbayang wajah ayahnya Rangga Kaniten
pada saat terakhir, mengerang kesakitan takkala di kalahkan oleh Panembahan
Senopati dalam perang tanding di alun- alun Pasuruan.
“Aku harus membalaskannya, demi ayah dan
tanah leluhurku aku akan berbuat apa saja” geram Raden Trunoloyo dalam hatinya.
Mereka masih berada sekitar Sungai Progo,
ternyata keberangkatan mereka ke bumi Argapati itu tidaklah bersama – sama hal ini
bisa di ketahui dari keadaan mereka, Raden Trunoloyo menunggang kuda sementara
tiga orang lainnya hanya berjalan kaki saja. Dari Pasuruan Raden Trunoloyo
telah singgah terlebih dulu Padepokan Merak di daerah
Tuban mengunjungi makam ayahandanya dan selanjutnya meneruskan
perjalanan ke Menoreh, sedangkan Kyai Lamotan dan dua saudara kembar itu dari
Padepokan Lumbang di lereng gunung Bromo lansung menuju Menoreh.
Mereka berempat tengah sibuk dengan angan
– angannyanya masing – masing dan belum beranjak dari tepian sungai Progo.
“Baiklah Raden dan adi Menak Jati serta
adi Menak Sungsang, kita akan melaksanakan rencana yang telah di buat oleh Ki
Gajah Lodra, tetapi kita juga tidak boleh gegabah dan tergesa – gesa, semua
harus di perhitungkan, ingat di Menoreh bukan hanya ada Ki Rangga tetapi ada
beberapa orang yang lainnya yang juga harus kita perhitungkan, diantaranya
adalah Ki Gede Monoreh Sendiri” Kata
Kyai Lamotan.
Raden Trunoloyo mengangguk – anggukan
kepalanya, sementara dua orang saudara kembar itu mengerutkan dahinya, dan
salah satu berucap,” Apakah kita harus meragukan diri kita sendiri Kyai ? Atau
Kyai meragukan kami, bukankah eyang guru Gajah Lodra telah meminjamkan pusaka
andalannya Kyai Gada Menak.?”
“Bukan meragukan kemampuan kita, tetapi
membuat perhitungan yang tepat dan kita harus yakin bahwa perhitungan kita
tidak meleset”
Raden Trunoloyo adalah seseorang yang
dibesarkan dilingkungan keprajuritan dan terbiasa bergerak dengan rencana yang
telah disusun secara rapi, sehingga dengan cepat menerima saran dari gurunya,
Kyai Lamotan.
“Bagaimana seandainya ada perguruan lain
yang telah mendahului kita, Kyai ?” bertanya Menak Sungsang.
Raden Trunoloyo tetap berdiam diri,
dibiarkannya gurunya menjelaskan persoalan yang menyangkut tugas mereka.
“Tentu tidak adi sekalian, kita hanya
menunda beberapa hari saja dengan mengamati kehidupan di Menoreh ini, jangan
memandang rendah Menoreh apalagi memandang sebelah mata tentang tingkat ilmu Ki
Rangga Agung Sedayu” .
“Hem...” desah Menak Jati.
“Sabarlah barang dua atau tiga hari adi,
sekarang kita akan membuat gubuk di tepian Sungai Progo ini dan jangan membuat
persoalan yang tidak perlu dengan orang – orang sekitar sini” .
Dua saudara kembar itu tampak akan
berbicara, tetapi terpotong oleh perkataan Raden Trunoloyo,” Kakang berdua,
bersabarlah, kita belum pernah ke Menoreh sebelumnya, apa salahnya jika kita
menikmati udara segar dan keindahan tanah Menoreh ini terlebih dahulu sebelum
menjalankan tugas?” .
“Gila, hentikan kelakuan busuk itu Raden” geram Menak Sungsang. Pemuda yang di panggil
Raden itu tertawa terbahak sedangkan wajah Kyai Lamotan terlihat menegang
meskipun sesaat.
“Besok pagi kita akan masuk ke Padukuhan
induk dan mengamatinya sekaligus melihat dimana letak rumah ki Rangga dan
melihat siapa saja yang tinggal bersamanya.” kata Kyai Lamotan sambil
merebahkan badannya di atas rerumputan liar yang tumbuh disekitar sungai Progo
itu.
Sementara di pendopo rumah Ki Gede
terlihat Ki Jayaraga mengangguk – anggukan kepalanya ketika mendengar perkataan
Ki Gede Menoreh.
“Aku percaya sepenuhnya kepada angger
Sedayu Ki, semenjak menjadi prajurit Mataram di bawah asuhan Ki Lurah
Branjangan pada waktu itu dan dibawah bimbingan langsung Ki Patih Mandaraka
meskipun lambat tetapi batin dan ketetapan hati angger Sedayu banyak sekali
mengalami perubahan, sifat – sifat pada saat mudanya terutama sifat ragu – ragu
dan banyak pertimbangan telah banyak berkurang” .
“Aku telah melihatnya secara lansung pada
saat angger Sedayu membimbing pemuda – pemuda Menoreh ini disela – sela
waktunya sebagai senopati Pasukan Khusus.”
“Ki Gede benar, angger Agung Sedayu yang
kita lihat sekarang sudah berbeda jauh dengan angger Agung Sedayu pada saat –
saat dulu” . kata Ki Jayaraga menyambung
kata – kata Ki Gede.
“Sewajarnyalah bila seseorang bertambah
usia dan bertambah tanggung jawabnya, apalagi sudah berkeluarga maka perubahan
batin dan sikapnya pastilah selalu ada, hanya orang – orang disekitarnya kadang
– kadang kurang tanggap dan selalu mencari – cari kelemahan dan kesalahannya saja”
kata Ki Gede sembari matanya menatap
pintu regol halamannnya.
“Ki Jayaraga, berapakah usia kyai saat ini
?” tiba – tiba pertanyaan Ki Gede
bergulir pada hal pribadi Ki Jayaraga.
Dahi Ki Jayaraga berkerut, sembari
tersenyum dia menjawab,” Aku tidak ingat lagi Ki Gede, berapa usiaku ? tetapi
menilik ujudku sekarang kemungkinan kita sebaya” .
Mendengar jawaban Ki Jayaraga, tampak Ki
Gede tertawa perlahan.
“Kenapa Ki Gede tertawa ? Mungkin aku
salah” sahut Ki Jayaraga cepat – cepat.
“Ki Jayaraga dengarlah, aku tidak
mempunyai alasan yang kuat, tetapi entah mengapa tiba – tiba timbul di hati ini
rasa rindu terhadap guru angger Sedayu yang banyak mempunyai nama itu” tiba – tiba terdengar suara Ki Gede menurun
seakan – akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Ki Jayaragapun terdiam, nampak dahinya
berkerut di kenangnya Kyai Gringsing sebagai seorang tua yang baik hati, berkat
orang tua itulah ia menyadari keadaannya, menyadari kesalahan pada masa
lalunya. Orang tua itu tidak melumatkan tubuhnya saat perang tanding itu
terjadi bahkan perkataan dan petunjuknya sangat bijaksana, mengajaknya kembali
ke jalanNya dan di perbolehkan tinggal bersama murid terkasih orang bercambuk
itu.
Sementara kenangan Ki Gede Menoreh
membawanya surut jauh kebelakang saat Ki Tambah Wedi atau Paguhan itu merusak
sendi – sendi kehidupan Menoreh.
“Hem .. orang tua yang baik, dia berada
hampir di segala tempat dan peristiwa besar yang terjadi di Menoreh bahkan
Mataram” .
Kedua orang tua itu telah hanyut dalam
kenangan kepada seserang yang ternyata adalah keturunan langsung garis lurus
Majapahit yang di kenal sebagai Raden Timur Pamungkas.
Panggilan untuk menunaikan kewajiban telah
terdengar dari Masjid padukuan induk, keduanya tersadar.
“Ki Jayaraga marilah kita tunaikan
kewajiban kita dan kita berdoa memohon kepada Illahi Robbi bagi keselamatan Ki
Rangga beserta keluarganya dan untuk Menoreh serta Mataram pada umumnya.”
“Marilah Ki Gede, silahkan Ki gede di
depan, aku akan mengikuti” jawab Ki
jayaraga.
Di Kepatihan Mataram wayah sepi bocah, Ki
Patih Mandaraka telah memanggil seseorang dan mengirimnya ke Tanah Perdikan
Menoreh untuk melihat dan menjadi saksi sekaligus mencegah apabila terjadi
kecurangan dalam perang tanding nanti.
“Baiklah Eyang, cucunda akan datang dan
menyaksikan perang tanding itu, cucunda akan ikut campur bila diperlukan” jawabnya singkat.
Di Keheningan yang agung, duduklah seorang
Agung Sedayu sendiri di tengah sanggarnya.
Kewajiban menunaikan ibadah menurut
keyakinannya telah selesai ditunaikannya dan memberi tuntunan menambah
kemantaban ilmu kepada adik sepupunyapun telah usai di kerjakannya dan kepada
Sekar Mirah istrinya telah dibisikkannya kepasrahan dirinya dan kepada Sang
Maha Pencipta. Tiada tangan yang bisa mencegah apapun yang di kehendakiNYA
kecuali Yang Mulia Illahi Robbi pencipta alam semesta.
Di kosongkannya pikiran dan ruang kalbunya
dan disingkirkannya segala nafsu duniawinya, dipusatkannya nalar dan budinya
memohon segala kemurahanNYA.
Sebagai manusia biasa ia hanya dapat
memohon, setinggi apapun ilmunya tentu tiada sebanding dengan ilmu Sang
Pencipta, kesadarannya sebagai hambaNya telah menenggelamkan seorang Agung
Sedayu dalam kepasrahan sejati, tiada keinginan seujung rambutpun untuk
melangkahiNYA.
Lampu di dalam sanggarnya tampak
berkeredib dan tetap menyala walaupun kecil, semakin dalam ia memanjatkan doa,
terasa semakin dingin udara dalam sanggar itu, terlihat jelas bagi seseorang
apabila memperhatikannya, lembar – lebar kabut putih laksana kapas telah turun
dan menempel pada pangkuan bumi.
Dilihatnya kembali bangsal ilmunya, mulai
terendah sampai tertinggi seolah ingin ditatanya kembali, dipilah pilah dan
dirapatkannya dan persiapkan sesuai dengan segala kebutuhannya.
Keningnya nampak berembun dan tubuhnya
telah basah oleh keringat meskipun ia tak bergerak sedikitpun dan menjelang
saat tengah malam, wudarlah semedinya.
Sejenak kemudian terdengar derit pintu
sanggar dan nampak Agung Sedayu berjalan ke arah padasan dan segera membasuh
mukanya.
Sekar Mirah nampak semakin tenang melihat
wajah suaminya yang tampak bening berseri – seri seolah tiada kecemasan.
Bulan terus bergerak betapun lambatnya, di
pendapa rumah Ki Rangga telah berkumpul beberapa orang tua yang akan menjadi
melepas Ki Rangga, diantaranya adalah Ki Gede Menoreh.
" Apakah kau sudah siap, angger
Sedayu ?” tanya Ki Gede.
"Aku siap ki Gede, semoga kita semua
diberi perlindungNya" jawab Agung Sedayu tenang.
"Hati - hatilah kakang, aku tidak
bisa mengikutimu apalagi membantumu, aku dan anak dalam kandungan ini akan
selalu berdoa untukmu kakang?” Mata
Sekar Mirah tampak berkaca - kaca, sebagai seorang istri yang ditinggalkan
suami tetap saja hatinya bergetar di landa kecemasan dan harapan.
"Seandanya saja keadaanku mengijinkan
tentu aku akan membantumu kakang" kata Sekar Mirah perlahan.
Agung Sedayu mengerti sepenuhnya perasaan
istrinya, sebagai seorang yang berilmu tinggi tentu terasa gatal tangan Sekar
Mirah untuk dapat turun ke gelanggang membantu dirinya, keadaannyalah yang
membuatnya harus berada di rumah.
Setelah doa di panjatkan maka mereka
segera bergegas menuju halaman dan meraih tunggungannya masing – masing. Kuda
merekapun telah berlari ke arah Gumuk Kembar meskipun tidak terlalu cepat
tetapi tetap saja meninggalkan debu – debu yang berhamburan.
****
Di Gumuk Kembar, sudah hadir Ki Rangga
beserta saksi – saksinya, sementara Ki Bondan Ketapang belum menampakan batang
hidungnya.
Ki Rangga tampak menengadahkan kepalanya
melihat bulan yang hampir mencapai puncaknya, katanya,” Sebentar lagi orang dari
bang wetan itu akan datang” .
Ketegangan telah merambat di jantung orang
– orang Menoreh.
Gumuk Kembar sebenarnyalah adalah nama
hutan disebelah utara menoreh, karena ada dua gunungan kecil maka hutan itu
oleh orang Menoreh sebagai hutan Gumuk Kembar, terlihat pohon – pohon besar tumbuh
berserakan seakan muncul begitu saja dari perut bumi.Tidak jauh dari tempat
orang – orang Menoreh berdiri, sebuah bayangan tampak duduk bersila diatas
dahan pohon raksasa yang menjulang tinggi, dahan bercabang yang
besar menopang bayangan itu.
Kemampuannya menyerap getar gelombang
tubuhnya membuat bayangan itu yakin bahwa keberadaannya tidak akan diketahui
siapapun, keberangkatannya dari Mataram menjelang senja ternyata tidak
terlambat. Bulan telah berada tepat diatas kepala orang – orang Menoreh, terlihat
Ki Gede telah memeluk senjata kepercayaannya, sebuah tumbak panjang yang
merupakan sipat kandel Tanah Perdikan Menoreh, Kyai Tunggul Bumi.
Ki Jayaraga justru duduk bersila sambil
memejamkan matanya memanjatkan doa bagi keselamatan Ki Rangga dan keluarganya,
sementara Glagah Putih tengan mondar – mandir dan Ki Rangga berdiri tegak
disamping Ki Gede.
Kegelisahan tak berlangsung lama, suara
langkah beberapa orang telah terdengar jelas, sesaat kemudian telah muncul di
hadapan orang – orang Menoreh.
“Selamat malam Ki Bondan Ketapang ?” terdengar suara Ki Rangga menyapa orang baru
datang itu.
“Aku kira engkau tidak datang Ki Rangga” sahut Ki Bondan Ketapang setelah berdiri
sepuluh langkah dari Ki Rangga Agung Sedayu dan para saksinya.
“Jangan membual Ki,” terdengar suara Ki
Rangga datar.
Tampak dua orang telah berdiri di hadapan
orang – orang Menoreh.
“Ternyata Ki Bondan Ketapang juga berhati
jantan, dia datang hanya dengan muridnya saja” gumam Glagah putih dalam hatinya.
Ki Bondan Ketapang memperhatikan satu
persatu wajah orang – orang Menoreh yang mengiringi Ki Rangga.” Ki Rangga,
kenapa kau membawa orang sakit – sakitan itu bersamamu ?” kata Ki Bondang sambil memandang ke arah Ki
Gede Monoreh.
Ki Gede yang merasa dirinya di bicarakan
segera menyahut dengan suara pelan penuh wibawa,” Selamat datang ki sanak
semuanya di Menoreh, akulah Kepala Tanah Perdikan ini, sewajarnyalah aku hadir
disini untuk sekedar menjadi saksi bagi perang tanding ki Rangga dengan
lawannya, aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada kecurangan dalam perang
tanding ini."
Terdengar Ki Bondang Ketapang tertawa
meski dengan nada sumbang.
“Orang – orang Menoreh, kematian Singa
Patrap ternyata telah menumbuhkan bulu di jantungku, aku akan menuntut balas,
nyawa harus di bayar dengan nyawa” .
“Terserahlah padamu Ki Bondan ketapang,
apa saja yang katakan, tetapi aku tetap menyarankan padamu, urungkan niatmu” .
“Jika perang tanding ini tetap kita
lakukan dan kau tetap berdiri maka adikmu serta Singa Patrappun tak akan pernah
hidup kembali tetapi jika kau kalah maka akan semakin menambah penderitaanmu,
sebaiknya urungkan saja niatmu dan kembalilah ke Argopuro, kami tidak akan
mengganggumu” ujar Ki Rangga.
“Setan alas, apa kau tidak punya perassan
Ki Rangga, apa kau tidak punya nalar?” kata Ki Bondang setengah berteriak.
“Apakah hatimu terbuat dari batu, wahai
orang menoreh ? Apakah kau tidak mengerti apa artinya saudara?” .
“Maaf Ki Bondan, aku hanya ingin
mengatakan bahwa permusuhan atau balas dendam ataupun apapun bahasa lainnya,
sangatlah tidak terpuji” .
“He ! apa katamu, kau sudah membunuh adik
bahkan muridku.”
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam,
ditatanya detak jantungnya.
Ada keinginanya untuk menghindari
permusuhan dengan siapapun dan dimanapun, lalu katanya,” Apakah kau tahu apa
yang di lakukan oleh Kebo Samparan pada saat menghadang pasukan Mataram ?
Ketahuilah Ki Bondan, bahwa Kebo Samparan telah dengan curang menyerang
Pangeran Pringgoloyo saat berperang tanding melawan Ki Ageng Patal, meskipun
lukanya tidak seberapa tetapi pusaka Kebo Samparan telah menyobek lengan
Pangeran Pringgoloyo” kata Ki Rangga
yang mencoba menjelaskan peristiwa terbunuhnya Kebo Samparan.
“Persetan dengan ceritamu Ki Rangga,” sahut
Ki Bondan Ketapang, dia mengenal siapa Ki Ageng Patal, yang tak lain adalah
guru dari Kebo Samparan.
“Sebenarnyalah Pangeran Pringgoloyo harus
menghadapi 2 orang sekaligus, sampai akhirnya aku datang” jelas Ki Rangga.
“Kau akan mengabarkan kemenanganmu Ki
Rangga, kau akan mengatakan bahwa Ki Ageng Patal dan Kebo samparan mati
terbunuh olehmu, ternyata kesombonganmu sudah menyentuh langit Ki Rangga“
“Jangan bermimpi kau dapat mengalahkanku.”
Bagi orang – orang menoreh Ki Bondan
Ketapang adalah orang orang yang hatinya sekeras batu hitam, tidak mungkin lagi
untuk membujuknya supaya mengurungkan perang tanding itu.
Jalak Werdi sedari tadi diam saja mulai
bosan mendengar percakapan gurunya, baginya hanya ada 2 pilihan mukti atau
mati.
“Apakah mereka akan bertempur secara
berpasangan ?” pikirnya, tanpa sadarnya
telah dihitungnya perimbangan kekuatan antara pihaknya dan pihak orang menoreh.
“Aku akan bertahan sampai gurunya
membereskan lawan – lawannya dan kemudian bersama guru aku akan menggulung
sisanya” kata Jalak werdi dalam hatinya.
Sementara tidak jauh dari orang – orang
itu, tampak bayangan hitam dengan duduk bersila diatas dahan besar itu menarik
nafas dalam - dalam, matanya yang tajam terus memperhatikan
perkembangan keadaan, diedarkan pandangannya berkeliling, ketajaman mata wadag
dan mata hatinya telah menembus malam di hutan Gumuk Kembar itu.
Suasana tegang di Gumuk kembar itu
ternyata tidak dapat menghentikan keriuhan suara binatang malam yang hidup di
hutan itu.**
Glagah Putih merasa tidak telaten melihat
kakak sepupunya terus membujuk Ki Bondan Ketapang.
“Sebaiknya kakang sedayu tidak usah
membuang waktu lebih banyak lagi” kata nya dalam hati.
Ki Rangga tampak terdiam, baginya sudah
tidak ada jalan lain lagi kecuali bertempur dengan orang dari Argopuro itu.
“Baiklah Ki Bondan aku akan melayanimu,
aku sudah berusaha mencegah perselisihan ini dan rupanya aku tidak berhasil” terdengar
Ki Rangga berkata.
Meskipun kemarahanya bergolak, Ki Bondan
Ketapang tetap bisa membuat perhitungan secara mapan, katanya “Sesuai janji
jantan kita, maka siapapun tidak diperbolehkan mencampuri perang tanding antara
kau dengan aku ? Apakah kau menyanggupi nya Ki Rangga ?”
“Setelah kau mati maka aku persilahkan
orang berikutnya untuk melawanku sampai orang terakhir yang kau bawa kemari.”
“Aku menyanggupinya” Jawab Ki Rangga datar
“Kami tidak akan mencampuri urusan perang
tanding ini, kecuali kau berbuat curang atau kau menggunakan orang lain untuk
mencampuri perang tanding ini” terdengar suara Ki Gede Monoreh dengan berat.
“Majulah Ki Rangga, Jalak Werdi akan
menghadapi anak muda yang telah menantangnya beberapa hari yang lalu.”
Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih
mendengar perkataan daripada lawan kakak sepupunya itu. Terasa darahnya
mengalir hangat menyusuri tubuhnya.
“Aku tidak boleh kehilangan keseimbangan
nalarku” katanya dalam hati. Setelah mohon restu kepada guru dan Ki Gede,
Glagah putihpun telah maju ketengah, dengan kaki merenggang dia siap menerima
perintah kakak sepupunya yang sekaligus merupakan gurunya.
Sementara bayangan yang duduk bersila
diatas cabang pohon besar itu mengerutkan dahinya, sekali lagi telah dicobanya
kembali untuk mengenali getaran di dalam dadanya. Nampak ia memejamkan matanya,
dipusatkan nalar dan budinya dan segera salah satu ajiannya telah muncul,
bersama hembusan angin semilir dari cakra mahkota tampak belahan sukmanya telah
melayang mendekat dan bahkan telah berdiri di samping Ki Rangga, diamatinya
lawan Ki Rangga itu dan sejenak kemudian bagaikan terbang belahan sukma itu
telah berdiri di belakang Ki Gede Menoreh, dan ternyata dia telah menemukan
sesuatu yang di carinya. Bagi bayangan itu ketegangan dan kegaduhan yang ada di
bawah sana sedikitpun tak mengganggunya. Tidak lama kemudian bayangan itu
membuka matanya, dan bergumam lirih seakan ditujukan hanya untuk dirinya
sendiri,” Mengagumkan.” **
Sementara Ki Jayaraga telah menggamit Ki
Gede Monoreh, segera dikatakannya apa yang dirasakannya.
Ki Rangga memandang sesaat ke arah Glagah
Putih dan kembali di palingkan wajahnya ke arah Ki Bondan Ketapang lalu,
“Ki Bondan Ketapang, apakah kau menyembunyikan
sesuatu? atau kau akan mengatakan apa saja yang belum kau katakan ?”
“Apa maksudmu Ki Rangga ?” sahut Ki
Bondan.
“Kenapa kau diam saja, apakah kau telah
menunggu seseorang dan dengan licik akan menyerang kami ?”
Bondan Ketapang tampak mengerutkan dahinya.
Ki Rangga terlihat sedikit gelisah, segera
di pikirkannya keselamatan Ki Gede dan Ki Jayaraga serta Glagah putih, ada
keraguan dalam hatinya, apakah saat ini tanggapan batinnya atas keadaan
sekitarnya benar adanya atau hanya kegelisahan hatinya semata.
Sekali lagi di cobanya mengenali
lingkungannya, sebelum ia terlibat perang tanding dan selagi ia mempunyai
kesempatan, keraguan yang mendera batinya telah didorongnya menepi seiring
kecemasan terhadap keselamatan para saksinya.” Aku tidak berbuat curang, aku
hanya ingin mereka keluar dari persembunyianya saja” katanya dalam hati, maka
segera ditingkatkannya tenaga cadangannya, dengan suara bergetar, katanya,” Kisanak
yang ada di sekitar kami, aku persilahkan datang, jangan bersembunyi”.
Tidak terlalu keras, tapi akibatnya
sungguh mencengangkan, bagaikan datang beribu – ribu duri kemarung dari atas
langit dan turun menghunjam setiap dada yang ada di hutan Gumuk Kembar itu.
“Silahkan Ki sanak menampakkan diri” suara
itu bergulung – gulung dan menyusup tajam dan mencocok jantung setiap orang
yang mendengarkannya.
Terlihat segera akibatnya, Glagah putih
terlihat mundur selangkah dan segera menyilangkan tangan didepan dadanya,
terasa jantungnya bagai diremas dan ditusuk seribu jarum, sementara itu Jalak
Werdi tanpa sadar telah memegang dadanya dan lututnya terasa gemetar. Ki
Jayaraga tampak menyilangkan tangannya didepan dada seperti yang dilakukan oleh
Glagah putih dan Ki Gede Monoreh terilat bersandar pada tumbaknya supaya tidak
terjatuh.
Perasaan sakit juga menerpa Ki Bondan
Ketapang, dilihatnya muridnya terduduk maka darahnyapun menggelegak, terdengar
suaranya mengguntur seolah mengimbangi suara Ki Rangga.” Kau menyerang secara
licik Ki Rangga” dan secepat kilat didorongnya tubuhnya menyerang Ki Rangga,
tangan terjulur lurus mengarah kekening.
Segerahlah pertempuran antara Ki Rangga
dan Bondang Ketapang berlangsung seru, keduanya saling melibat lawannya dan
seolah tak memberi kesempatan untuk bernafas.
Melihat gurunya telah mulai bertempur maka
Jalak Werdipun sambil berteriak nyaring telah meloncat menggempur Glagah Putih
meskipun dadanya masih terasa sakit, tangan kanannya mengepal menjulur kearah
dada, melihat serangan itu Glagah putih bergeser kesamping, merasa serangannya
gagal maka Jalak Werdi dengan cepat tanganya berubah arah dan menebas kepala
lawannya. Secepat gerakan Jalak Werdi maka tampak Glagah Putih membungkuk
badannya sembari tangannya dengan jari merapat menusuk arah perut lawannya yang
terbuka.
Sentuhan pertama Glagah Putih ternyata tidak
dirasakan oleh Jalak Werdi bahkan dengan cepatnya kakinya memutar dengan
gerakan sabit menghantam pundak Glagah Putih, akibatnya Glagah Putih terdorong
kesamping beberapa langkah.
“Nah, demit kecil kau sudah merasakannya,
itu hanya kecepatan gerak yang tak seberapa, kau nampak sudah kesulitan” kata
Jalak Werdi diiringi suara tawa mengejek.
“Apakah kau sudah merasa menang dengan
sentuhan lalat di pundakku ini ?” tanya Glagah Putih sembari tersenyum.
Tanpa menjawab pertanyaan Glagah putih
segera Jalak Werdi menyerang kembali dengan tenaga cadangan yang telah
ditingkatkannya. Seperti angin puyuh gerakan tangan dan kakinya melibat adik
sepupu Ki Rangga itu. Tak mau diremehkan lawannya maka Glagah Putihpun segera
meningkatkan kecepatan gerak dan bobot pukulannya, kedua orang itu tampak
seolah berputar dan saling mendesak.
Sambil bertempur Glagah Putih
memperhatikan unsur – unsur gerak lawannya, memang ada beberapa persamaan
dengan lawan – lawannya terdahulu, tetapi hanya pada permulaannya saja, bila
meningkat pada tataran tertinggi maka pasti ada perbedaannya.
“Gila, ilmu kebal orang ini cukup
membuatku repot, aku harus lebih hati – hati dan cepat membuat perhitungan” kata
Glagah Putih dalam hatinya, ia merasakan bahwa sentuhan kaki dan tangannya
sampai saat ini hanya membuat lawannya mundur saja, tanpa menyakiti apalagi
membuat lawannya mengeluh.
Sementara Jalak Werdi juga merasa heran
akan daya tahan tubuh lawannya, meskipun tidak memiliki ilmu kebal seperti
dirinya ternyata lawannya masih saja melibatnya dan berani membentur
serangannya.
“He ! anak muda ternyata kulitmu sangat
liat, kau pasti di bantu iblis Gumuk kembar ini,” dengusnya.
Tiba – tiba sesuatu telah terjadi, diawali
dengan suatu gerakan tipuan, dan diteruskan dengan satu gerakan cukup rumit
terlihat sisi telapak tangan Glagah putih telah menghantam kening Jalak Werdi.
Akibat pukulan itu terasa isi kepalanya bagai kan diaduk dan membuat matanya
berkunang – kunang, dengan tergesa – gesa Jalak Werdi meloncat kebelakang.
Melihat lawannya surut kebelakang, Glagah
Putih tidak mengejarnya.
“Nah.. kisanak kau telah merasakan sentuhan kecilku, apakah kau akan menyerah ?” kata Glagah Putih sembari tersenyum, dicobanya menggelitik dada lawannya.
“Nah.. kisanak kau telah merasakan sentuhan kecilku, apakah kau akan menyerah ?” kata Glagah Putih sembari tersenyum, dicobanya menggelitik dada lawannya.
“Setan alas, kau akan segera menyesali
kesombonganmu” bentak Jalak Werdi.
“Berhati - hatilah, aku tidak main – main
lagi sekarang, persiapkan dirimu, aku akan segera melumatmu,”
“He ! aku tidak menyangka ternyata kau
baik sekali, selalu memperingatkanku” sahut Glagah Putih sembari tertawa.
Segera Jalak Werdi membuktikan kata –
katanya. Terlihat tangannya mengepal keras dan segera dilibatnya Glagah Putih
dengan kecepatan gerak yang luar biasa. Desir angin dan udara panas selalu
mengikuti setiap gerakannya. Terpaksalah Glagah Putih berloncatan menghindar
seperti kijang kepanasan, tetapi Jalak Werdi terus memburu dan tidak
melepaskannya. Satu sentuhan telah menerpa dada Glagah Putih, dan dengan
tergesa – gesa Glagah Putih meloncat mundur mengambil jarak, sesaat tercium bau
kain yang terbakar, ternyata baju nya telah menjadi kehitam – hitaman dan
dadanya telah terluka, kulitnya memerah.
“Gila, kau telah menyakitiku Jalak Werdi” geram
Glagah Putih.
“Tidak hanya menyakitimu demit kecil
tetapi aku benar – benar akan membunuhmu” jawab Jalak Werdi bengis.
Glagah Putih tidak menjawab, segera di
persiapkan dirinya menghadapi pertempuran yang tentunya lebih sengit lagi.
Ditatapnya lawannya dan di perhatikannya segala gerak geriknya.
Jalak Werdi telah meloncat dengan
cepatnya, tangannya nampak mengembang menerkam kepala Glagah Putih. Dengan
gerak yang mantab dipotongnya serangan itu dengan menghantam bahu sembari
melontarkan tubuhnya kesamping. Tak mau bahunya menjadi sasaran, segera murid
Ki Bondan Ketapang itu membentur serangan Glagah Putih dengan tangan mengepal.
Dua kekuatan dengan tenaga cadangan yang mumpuni telah berbenturan, akibatnya
masing – masing telah terdorong mundur dua langkah.
Glagah Putih merasakan tangannya telah
menyentuh bara sepanas bara tempurung kelapa. Sementara itu Jalak Werdi merasa
tangannya seakan patah di gibas tanduk kerbau jantan, sesaat keduanya terdiam
dan memperbaiki posisinya masing – masing.
Dilingkaran lainnya Ki Rangga masih nampak
hanya melayani setiap serangan Ki Bondan Ketapang, tenaga cadangannya hanya
ditingkatkannya sedikit demi sedikit, bahkan Ki Rangga masih sempat
memperhatikan pertempuran antara adik sepupunya melawan murid lawannya
itu. ” Keadaannya terlihat masih belum membahayakan Glagah
Putih.” Sambil berloncatan bagai burung sikatan diamatinya keadaan
sekelilingnya, belum nampak orang lain selain Ki Jayaraga dan Ki Gede Monoreh.
“Mungkin aku telah salah menilai
panggraitaku.”
Nampaknya Ki Bondan Ketapang melihat
kesempatan itu, saat Ki Rangga sedang memperhatikan lingkungannya, maka tiba –
tiba kelengahan itu telah dimanfaatkan sebaik – baiknya, segera ditingkatkannya
kecepatan geraknya yang dilandasi ilmu meringankan tubuh yang mumpuni dan
seketika itu terasa bagaikan batu sebesar lembu telah menghentak dan menghantam
dada lawannya, nampak Ki Rangga terdorong kebelakang beberapa langkah bahkan
telah jatuh dan berguling – guling di tanah berumput yang lembab.
Wajah Ki Jayaraga dan Ki Gede nampak menegang,
dada merekapun terasa sesak saat melihat kejadian itu, bahkan Ki Gede telah
memegang tumbaknya semakin erat dan tangannya telah bergetar.
Untunglah tubuh Ki Rangga telah dilapisi
ilmu kebal sehingga dapat menahan gempuran itu sehingga tulang dadanya tidak
menjadi berserakan.
Melihat lawannya tegak kembali dengan
wajah tersenyum, debar di jantung Ki Bondan Ketapang itu nampak berdegup
kencang.
Gurunya Pertapa Kumitir telah
mengingatkannya sebelum berangkat bahwa salah satu murid orang bercambuk telah
memiliki ilmu yang hampir serupa dengan ilmu yang diajarkannya dan sekarang dia
telah membuktikannya.
Dengan tenangnya terlihat Ki Rangga
berjalan mendekati lawannya, sembari berkata,” Apakah kau tidak jemu dengan
permainan anak – anak ini Ki Bondan ?”
Di lingkaran lainnya tubuh Glagah Putih
telah basah kuyup oleh keringat bercampur embun malam dan pada beberapa bagian
tubuhnya tampak luka memar seperti luka bakar, sedangkan lawannya meskipun
memiliki ilmu kebal pada bagian tertentu masih dapat tertembus bahkan disakiti
oleh Glagah Putih. Tenaga wantah dan di dorong dengan tenaga cadangan yang
besar telah menggoyahkan ilmu kebalnya yang belum sempurna itu.
Pada saat berikutnya, satu serangan
seperti angin ribut telah melanda Glagah Putih, tubuh Jalak Werdi tampak hanya
seperti bayangan merangsek lawannya tanpa ampun, kemanapun Glagah Putih
bergeser selalu diikutinya dengan cepat dan segera nampak kesulitan melanda
anak Jati Anom itu, kaki kiri Jalak Werdi tepat menghantam kening Glagah Putih,
hutan Gumuk Kembar terasa berputar dan tanah yang dipijaknya terasa bergoyang.
Sekali lagi dada Ki Jayaraga dan Ki Gede
terasa terhimpit batu padas yang runtuh dari pegunungan.
Sambil menjatuhkan diri dan berguling –
guling menjauhkan diri dari lawannya, Glagah Putih telah menyentuh beberapa
bagian simpul syarafnya untuk membangkitkan tenaga cadangan yang lebih besar
serta mengurangi rasa sakit di tubuhnya.
“Apakah kau menyerah demit kecil ?”
“Menyerahlah supaya kematianmu tidak
merasakan sakit, sebab aku akan cepat mengantarmu ke neraka dengan puncak
ajianku” terdengar Jalak Werdi tertawa terbahak.
Mendengar muridnya tertawa, Ki Bondan
lamatan tersenyum dan segera melihat keadaan lawan muridnya itu diperhatikannya
tubuh Glagah Putih yang kotor dan berdebu, pakaiannya terkoyak disana - sini,
tetapi sesaat kemudian nasib malang telah menimpanya.
Rupanya setelah terhindar dari serangan
tangan kiri ki Rangga tanpa diduga Senopati pasukan khusus mataram itu bagaikan
terbang telah meloncat ke udara dan menjatuhkan kakinya kanannya tepat
membentur ubun – ubun kepala Ki Bondan Ketapang dengan kerasnya.
Meskipun di lambari ilmu kebal yang hampir
sempurna tetap saja tertempus oleh kekuatan musuhnya. Kepalanya terasa pecah di
guncang oleh pohon besar yang tumbang menimpanya, matanya berkunang – kunang
dan sebelum sadar sepenuhnya, sekali lagi tangan Ki Rangga telah menghantam
punggungnya, tanpa ampun terlihat tubuh Ki Bondang Ketapang terdorong ke depan
beberapa puluh langkah, jatuh memeluk semak belukar.
Pada sisi yang lainnya, kemenangan kecil
Jalak Werdi harus di tebusnya dengan sebuah keluhan panjang, terasa lehernya
tertusuk tangan Glagah Putih yang merapat, dan sebuah pukulan keras telah
menghantam dagu dan dadanya, ilmu kebalnya tidak dapat menahan serangan itu,
terlihat darah segar telah meleleh dibibirnya.
Dengan nafas terengah – engah serta
menahan sakit di sekujur tubuhnya, Jalak Werdi telah bertekat segera mengakhiri
pertempuran itu dengan ilmu pamungkasnya.
“Menyerahlah ! Kau akan diampuni” Glagah
Putih mencoba menawarkan satu penyelesaian tanpa menimbulkan korban.
Di pandanginya Glagah Putih tajam – tajam,
meskipun terlihat masih muda tetapi menurutnya anak muda itu telah dirasuki
ilmu dan kekuatan iblis.
“Aku akan mencincangnya dengan dengan ilmu
pamungkasku.” geramnya.
Tanpa menjawab ajakan lawannya, Jalak
Werdi telah menghentakkan ilmu pamungkasnya, badannya terlihat memerah sesaat,
kemudian yang tampak adalah tubuhnya seperti mengepulkan asap tipis berwarna
merah dan telah membakar udara disekitarnya.
Wajah Glagah Putih nampak menegang,
mematung sesaat melihat pengerahan aji pamungkas lawannya, sebuah ilmu kebal
yang dirangkapi oleh panasnya api.
Tentu ilmu itu sama dengan ilmu Singa
Patrap, sebuah ilmu yang di pergunakan untuk bertahan, tetapi bukan sebuah ilmu
untuk menyerang.
Sambil menunggu, telah pula di
bangunkaknya sebuah ilmu yang ditemukannya secara gaib saat berdua dengan Rara Wulan
di padang pengembaraannya, Ajian Namaskara.
Saat yang ditunggunya telah tiba,
Jalak Werdi tampak menjulurkan kedua belah tangannya, sebuah gerakan yang
menimbulhan hempasan angin yang kuat disertai hawa panas yang menyengat.
Dengan cepat Glagah Putih menghidar dengan
satu loncatan kesamping, dengan perhitungan matang ia telah bergeser menjauhi
arena pertempuran kakak sepupunya melawan ki Bondan Ketapang juga tempat Ki
Jayaraga dan Ki Gede berdiri.
Glagah Putih tidak ingin seranganya atau
serangan lawannya menganggu arena pertempuran kakak sepupunya apalagi mengusik
Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh.
Merasa menghatam tempat kosong maka Jalah
Werdipun selalu mengulanginya” Anak demit.. kemanapun kau lari aku akan
mengikutimu dan sebentar lagi tubuhmu akan terpanggang oleh imuku.”
Sembari terus berloncatan menghindari
serangan lawannya, disentakan tangannya melepas ajian Namaskara dengan tataran
tidak terlalu tinggi hanya menahan dan membenturnya saja, pakaian Glagah Putih
semakin terlihat hitam dan compang – camping dan dadanya pun terasa pedih
meskipun sesaat, Jalak Werdipun merasakan sengatan tajam didadanya meskipun
tidak terlalu lama.
Dalam pada itu KiJayaraga merasakan
keanehan melihat perlawanan Glagah Putih.” Kenapa Glagah Putih tidak membenturkan
ilmunya saja, bukankah Ajian Namaskara telah di perdalam oleh angger Agung
Sedayu ?” pertanyaan itu terus menggelitik jantung Ki Jayaraga.
“Semoga dia menemukan cara yang terbaik” desis
Ki Jayaraga.
“Rasanya angger Glagah Putih mempunyai
rencana sendiri KI Jayaraga” terdengar suara Ki Gede menenangkan hati Ki
Jayaraga yang tengah bergejolak.
Setelah dirasa menemukan tempat yang mapan
maka segera dilaksanakanlah rencananya. Tiba – tiba tanpa menghiraukan panas
yang menyengat tubuhbya Glagah Putih telah melenting kedepan dan lansung
menghentakan sebuah pukulan dahyat menghantam dada Jalak Werdi yang dilapisi
oleh ilmu kebal dan lembaran hawa panas itu, mendapat serangan yang tiba – tiba
itu darah murid Argopuro terasa terkesiap tak ada kesempatan untuk mengelak.
Rasa nyeri dan panas telah membekap
tangannya Glagah Putih, sementara Jalak Werdi telah terdorong kebelakang dan
terjatuh pada lututnya terasa dada telah retak. Glagah Putih telah
melihat kesempatan itu segera digerakannya kedua belah tangannya menelengkup
dan diarahkannya ke lawannya, sekejap saja bau wangi yang menyengat telah
menyumbat pernafasan Jalak Werdi.
“Demit keparat, setan kober” umpat Jalak
Werdi, keseimbangan nalarnya telah terguncang hebat dan pemusatan ajian Tapak
Genipun terganggu, beberapa saat matanya terlihat nanar memandang Glagah Putih.
Bau yang sangat wangi telah menyengat dan menyumbat hidung serta pernafasannya.
Ki Jayaraga segera memahami gerakan
muridnya itu, melihat pakaian yang sudah compang – camping dan melihat beberapa
luka di tubuh Glagah Putih, rasanya kekuatan anak muda itu telah berkurang
sehingga harus dengan cepat Glagah Putih membuat keputusan dengan memperkecil
akibat yang akan dideritanya bila terjadi benturan pada puncak ilmu nya,
dilihatnya Glagah Putih telah melepas ajian yang dipelajari dari kakak
sepupunya, aji Gondo Puspa sebuah ajian yang menyerang indra penciuman yang
pada akhirnya bisa melumpuhkan syaraf yang ada di otak lawannya.
Bau yang sangat wangi benar – benar sangat
mengganggunya, diupayakanya menutup lubang indra pernafasannya tetapi selalu
gagal. Tanpa menghiraukan keadaannya sekali lagi di julurkankannya tangannya,
dikuras tenaga cadangannya sampai tuntas dan disalurkan pada puncak
kemampuannya, segera terlihat bola – bola api meluncur dan menerkam Glagah
Putih, saat bersamaan meluncurlah ajian Namaskara pada puncak kekuatannya
disertaikan hawa dingin yang membeku, secepat tatit diudara membentur ajian
Tapak Geni. Dorongan tenaga cadangan yang dilontarkan Glagah Putih sangatlah besar
melebihi dorongan tenaga cadangan ajian Tapak Geni.
Terdengar umpatan kasar dan kotor keluar
dari mulut Jalak Werdi, terasa bagai disengat petir dilangit, jantungnya
berhenti berdetak, hangus menghitam dan tubuhnya telah terjatuh di tanah
seperti pohon pisang yang tumbang ditebang parang, darah segar meleleh dari
sela – sela bibirnya.
Sementara Glagah Putih terdorong beberapa
langkah mundur, jantung seperti diremas oleh seribu jari, tetapi dia tetap
berdiri tegak dengan kaki merenggang menancap kokoh ke bumi.
Ditariknya nafas dalam – dalam seolah
ingin menghirup seluruh udara segar hutan Gumuk Kembar itu. Melihat lawannya
yang berbaring diam, segeralah ia berpaling kepada gurunya dan Ki Gede seolah
meminta pertimbangannya.
“Marilah kita mendekat Ki Gede” desis Ki
Jayaraga, kemudian keduanya berjalan menuju kearah Glagah Putih tanpa
meninggalkan kewaspadaannya.
Untuk mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan ketahanan tubuhnya, tampak Glagah Putih mengambil butiran obat
yang di selipkan disaku ikat pinggangnya dan segera ditelannya.
Dalam pada itu Ki Ranggapun telah memberi
kesempatan kepada lawannya untuk memperhatikan keadaan muridnya.
“Apakah Ki Bondan akan melihat keadaan
Jalak Werdi ?” tanya Ki Rangga.
Ki Bondan tampak ragu – ragu sejenak,
kemudian tanpa memandang Ki Rangga segera dilangkahkan kakinya ke arah tubuh
Jalak Werdi, dengan berjongkok dirabanya titik pada leher muridnya dan telah
dipastikannya Jalak Werdi telah menyusul Singa Patrap.
Orang tua itu segera berdiri dan menggeram marah di perhatikannya setiap wajah orang menoreh yang berada di tempat itu, kematian kedua muridnya telah menghanguskan jantungnya.
Orang tua itu segera berdiri dan menggeram marah di perhatikannya setiap wajah orang menoreh yang berada di tempat itu, kematian kedua muridnya telah menghanguskan jantungnya.
“Menyerahlah Ki Bondan, kau akan di
perlakukan dengan baik, aku Ki Gede Menoreh akan menjamin keselamatanmu.”
“Persetan ! Kalian orang menoreh harus
menerima hukumanku” geram orang dari Argopuro itu.
“Aku disini Ki Bondan, jangan kau usik
mereka !” teriak Ki Rangga.
Tanpa berkata sepatah katapun tiba – tiba
tubuh Ki Bondang Ketapang nampak membara, segera tubuhnya bagaikan terbang
melesat menjangkau dan menyerang Ki Rangga. Udara panas yang membungkus badan
Ki Bondan terasa membakar hutan Gumuk Kembar itu.
Menyadari akan bahaya setiap sentuhan
tangan lawannya segera Ki Rangga mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, terasa
perlahan menyebar panas, bedanya adalah tubuh Ki Rangga tampak tidak membara
seperti tubuh lawannya.
Kembali keduanya terlibat pertempuran
seru, kedua nya tidak menggunakan senjata apapun. Gerakan yang cepat dari
lawannya segera dimbanginya dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mendekati sempurna.
Keduanya saling mendesak dan mendorong,
berbeda dengan sebelumnya, Ki Bondan Ketapang tidak terlalu banyak bicara
tetapi kaki tangannya bergerak sangat cepat, tubuhnya berputaran mengelilingi
Ki Rangga dan sepasang tangannya seolah telah berubah menjadi penjadi puluhan
pasang tangan.
“Ki Bondan ternyata mempunyai bekal yang
cukup untuk menantang angger Sedayu” gumam Ki Gede, disampingnya telah berdiri
Glagah Putih dan Ki Jayaraga, tampak keduanya mengangguk – anggukan kepalanya
menyetujui pendapat Ki Gede.
Sementara itu bayangan diatas pohon itu
tetap duduk bersila dan tak bergerak sedikitpun, kecepatan gerak lawan Ki
Rangga itu ternyata telah membuatnya kagum.
Sejenak bayangan itu menarik nafas dalam –
dalam. Dia akan mencoba membantu orang – orang dari Menoreh itu.
“Pangeran keluarlah, sebenarnya aku sudah
mengetahui keberadaan pangeran sejak tadi” sebuah pesan lewat aji Pameling
telah dikirimkannya.
“Orang Menoreh yang sedang bertempur itu
juga sudah mengetahui dengan tepat dimana Pangeran berada” lanjutnya.
Beberapa puluh depa dari Ki gede Menoreh
berdiri, seseorang juga nampak duduk bersila di atas batu yang berserakan di
hutan itu.
“Siapakah ki sanak ini yang telah
memberiku pesan lewat aji pameling ini ?” jawab orang yang duduk di batu itu,
yang sebenarnya adalah Pangeran Pringgoloyo.
“Pangeran tidak usah mengetahui siapa aku,
tetapi percayalah aku berada di pihak orang orang Menoreh itu”
“Aku belum dapat mempercayaimu kisanak”
“Sebenarnyalah aku mengetahui dimana
Pangeran berada saat ini, tetapi apakah Pangeran tahu dimana aku berada ?”
Pembicaraan lewat aji Pameling itu terus
berlangsung. Pangeran Pringgoloyo segera memusatkan nalar dan budinya
mencoba mengetahui dimana tempat orang yang telah memberinya pesan itu. Beberapa
lama terus di cobanya.
“Pangeran telah gagal” pesan itu kembali
diterimanya.
“Dengarlah baik – baik Pangeran, aku akan
menyentuhmu sebagai tanda aku tahu dimana Pangeran berada, bagaimana ?”
Dada Pangeran muda itu terasa berdebar –
debar, gejolak darah mudanya telah nampak di permukaan, dengan mantab, pangeran
itu berkata.:” Sentuhlah aku kisanak jika kisanak merasa mampu.”
Segera saja Pangeran itu mengetrapkan aji
Panglimunan dan memutus getar yang mengalir keluar dari tubuhnya.
Sebuah pertunjukan kemampuan yang sulit
dimengerti telah terjadi. Tidak ada getar panas, tidak ada gerakan – gerakan
yang terlihat, tidak ada kata – kata, keduanya hanya merasakan kesunyian, dan
tidak terlalu lama sesuatu telah terjadi. Kepala Pangeran Pringgalaya terasa
berat seakan mau terjatuh memikirkan peristiwa yang dialaminya, tanpa terduga
olehnya, sebuah sentuhan kecil mendorong dadanya dan Pangeran muda itu jatuh
terpelanting dari batu yang didudukinya.
“Nah Pangeran, kau sudah merasakan
sentuhanku, sekarang cobalah menyentuhku” pesan itu telah diterimanya kembali.
Pangeran Pringgoloyo mengerutkan
keningnya, otaknya telah bekerja keras, lalu jawabnya dengan aji pameling.
“Terima kasih ki sanak, aku tidak akan
mencobanya, sebenarnyalah aku tidak mengetahui dimana kisanak berada”
Terdengar suara tertawa perlahan dan pesan
itu telah didengarnya sekali lagi” Ternyata Pangeran adalah seorang yang jujur
dan berhati seluas samudra, sekarang keluarlah, Ki Jayaraga telah menunggumu,
lupakan aku sebab aku masih menunggu orang lain Pangeran.”
Aji Pameling orang itu benar – benar
sangat kuat sehingga terdengar sangat jelas baginya seolah seseorang sedang
berbisik ditelinganya.
“Luar biasa, hanya Ki Rangga seorang yang
mampu berbuat seperti itu” gumamnya dalam hati.
Pertama kali pikirannya menduga pada Ki
Patih Mandaraka atau ayahandanya, karena menurutnya di Mataram hanya kedua
orang itulah yang telah diakuinya memiliki ilmu seolah tanpa batas, tetapi
setelah mengalami peristiwa yang baru saja terjadi Pangeran Pringgoloyo segera
berubah pendapat.
“Nampaknya orang itu mempunyai kelebihan
dari ayanhanda dan Ki Patih Mandaraka” gumamnya lirih seolah kepada dirinya
sendiri. Tanpa membuang waktu Pangeran muda itu telah muncul dan mendekati Ki
Gede Menoreh,
“Selamat malam Ki Gede, mohon maaf telah
mengejutkan semuanya”
“Pangeran Pringgoloyo” desis Glagah Putih
setelah melihat bayangan itu semakin jelas dan ditangan bayangan itu tampak
sebuah tumbak pendek, kyai Pasir Sewukir.
Ki Gede dan Ki Jayaraga serta Glagah
segera menggangguk hormat dari memberi salam.
“Sangat mengejutkan kami semua Pangeran,
saat seperti ini Pangeran telah hadir di Gumuk Kembar ini.” berkata Ki Gede.
“Aku menyadarinya Ki Gede, seharusnya aku
tidak menampakkan diri sesuai pesan Ki Patih Mandaraka tetapi dengan terpaksa aku
keluar dari persembunyianku karena seseorang,” jelas Pangeran Pringgoloyo.
Kening yang berkerut segera menghiasi wajah ketiga orang menoreh itu.
“Nanti aku akan bercerita, sekarang
marilah kita menjadi saksi yang baik bagi pertempuran itu” kata Pangeran muda
itu.
Wajah ketiga orang itu menegang, mereka
lupa bahwa masih berlangsung pertempuran yang nggegirisi antara Ki Rangga
dengan Ki Bondan Ketapang.
“Setan alas, kalian telah menjebakku” suara
mengguntur kembali menggema di hutan Gumuk Kembar itu, memukul pohon pohon
besar yang berserakan di hutan itu.
“Ki Rangga kau adalah orang paling licik
yang pernah kutemui” Suara itu terus menggema.
Keluar dari libatan Ki Bondan Ketapang
segera Ki Rangga melontarkan dirinya mundur beberapa langkah dan ternyata lawannya
tidak memburunya, dan katanya” Selamat malam Pangeran, selamat datang di Gumuk
Kembar ini”
“Selamat malam Ki Rangga, malam ini Ki
Rangga terlihat sangat sibuk, aku datang atas perintah Ki Patih Mandaraka,” Jawab
Pangeran Pringgoloyo.
Ki Bondan Ketapang terlihat sangat marah
mendengar percakapan itu.
“Kesombongan kalian semua telah melampaui
tingginya awan di langit” dengus Ki Bondan Ketapang. “Majulah kalian bersama –
sama, supaya tugasku cepat selesai”
Terdengar Pangeran Pringgoloyo tertawa
perlahan, kemudian katanya” Jangan takut ki sanak, kami tidak akan
mengeroyokmu, kami bukan kucing betina yang takut melihat singa, lawanlah Ki
Rangga sampai batas kemampuanmu, kami akan menjadi saksi yang baik”
Terdengar Ki Bondam menggeram, baginya
sangat tidak mungkin dapat melawan semua orang yang berdiri disitu.
“Aku harus mengalahkan Ki Rangga dahulu,
melihat kematian Ki Rangga mereka akan segera kehilangan akal dan aku akan
mudah untuk membinasakannya sisanya” gumamnya dalam hati.
“Aku akan melayanimu Ki Bondan, mereka
akan tetap menjadi saksi yang baik” kata KiRangga.
Terdengar suara tertawa, orang dari
Argopuro itu ingin meyakinkan dirinya, katanya ”Baiklah Ki Rangga, Jika kau
lelaki jantan, buktikan ucapanmu dan jangan merengek minta bantuan, apapun yang
terjadi denganmu.”
K Rangga tertawa tertahan.” Apakah kau
sedang menguji siasatmu sendiri Ki Bondan ?”
“Segera lakukan apa yang ingin kau lakukan
Ki Bondan” kata Ki Rangga kemudian.
Sesaat kemudian Ki Bondan telah menyerang
Ki Rangga dengan dahyatnya. Ki Rangga telah siap melayaninya. Pertempuran
cepatpun segera berlangsung kembali. Tampak orang Argopura itu telah merambah
dan mempergunakan ilmu – ilmu simpanannya.
Satu gerakan memutar, kaki lawannya telah
terayun deras menyapu kedua belah kakinya, segera tubuh Ki Rangga
melenting melewati kepala lawannya, di julurkannya tangannya menghantam
tengkuk Ki Bondan. Tak ingin tengkuknya retak, Ki Bondan segera memutar
badannya dengan cepat kaki kanannya menyerang ke arah wajah Ki Rangga. Dengan
mundur dua langkah Ki Rangga telah terbebas dari serangan itu.
Sesaat kemudian Ki Ranggalah yang telah
melibat Ki Bondan Ketapang dengan sengitnya, dengan gerakan yang sangat cepat
serta rumit terlihat tangan Ki Rangga akan menyentuh dada lawannya tetapi tiba
– tiba tubuh lawannya telah memecah menjadi dua, tangan Ki Rangga hanya menerpa
tempat yang kosong.
Terdengar suara tertawa perlahan, segera
terlihat dua orang serupa dengan tubuh yang membara berdiri dengan kaki
renggang siap menyerang Ki Rangga.
Wajah Ki Rangga terlihat menegang sejenak,
pertunjukan ilmu Ganda Raga telah dipertunjukan oleh lawannya, segera di
pertajamnya mata batinnya, dengan senyum di dalam hatinya segera dikenalinya
bahwa Ki Bondan yang sebenarnya berada di sebelah kanan.
Sekejap mata segera Ki Bondan dengan
kembarannya itu menyerang Ki Rangga dengan dahsyatnya, udara panas benar –
benar segera mengurungnya, satu pukulan telah menyentuh pundak Ki Rangga
sentuhan yang mengetarkan ilmu kebalnya, belum sempat memperbaiki keaadaannya
tiba – tiba dengan telapak tangan terbuka kembaran lainnya telah menyentuh
dadanya dengan sepenuh kekuatan, tampak Ki rangga terdorong tiga langkah
kebelakang, terasa pukulan itu telah menembus ilmu kebalnya, meskipun tidak
terlalu kuat.
Dua kembaran itu tak berhenti dan memberi Ki Rangga kesempatan, saling
berloncatan menyilang keduanya silih berganti telah menyerang dan mendesak
lawannya. Ki rangga segera meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya, seperti
mengambang di udara dia melayani semua serangan lawan – lawannya.
Ki Gede tanpa sadar mengusap matanya beberapa kali, Pangeran Pringgoloyopun
melihat kemampuan meringakan tubuh Ki Rangga dengan perasaan kagum,” Luar biasa”
desisnya. Ia melihat tubuh Ki Rangga menjejak tanah hanya beberapa kali saja
tetapi nampak tubuh Ki Rangga dapat bergeser di udara hanya dengan bantuan
tubuh lawannya saja.
Tanah Gumuk Kembar terlihat bagai dibajak, rumput – rumput kering telah
berterbangan kian kemari, terkadang terdengar ranting dan dahan patah berderak
terkena pukulan yang tidak menyentuh lawannya. Sinar bulan yang cukup terang
membuat perang tanding itu terlihat jelas, cepat dan membingungkan.
Wajah Glagah Putih terlihat tegang,” Kenapa kakang Sedayu tidak
mempergunakan ilmu yang serupa dengan lawannya itu, bahkan bisa memecah menjadi
tiga ?” Dan pemikirannya itu telah disampaikan kepada gurunya.
“Kita tunggu dan melihat apa yang terjadi berikutnya Glagah Putih, mungkin
angger Sedayu belum merasa perlu menggunakannya ?” kata Ki Jayaraga.
Pangeran Pringgoloyo tampak mengerutkan dahinya, sementara Ki Gede berkata,”
Dalam perkembangannya, ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang dimiliki
angger Sedayu benar – benar sangat nggegirisi,”
“Benar Ki Gede, aku telah menyaksikannya sendiri, terlalu tinggi bila
diterapkannya saat ini” desis Ki Jayaraga.
Percikan api telah menebar kemana –mana dan telah membakar pakaian Ki
Rangga. Tdak seperti pakaian Glagah Putih, kini terlihat jelas bahwa pakaian Ki
Rangga benar – benar telah terbakar.
Kekuatan apinya benar – benar luar biasa, telah membakar seluruh baju yang
dikenakannya, merasa terganggu oleh serpihan kain yang tersisa maka Ki Rangga
pun telah melepas bajunya sehingga terlihat Ki Rangga telah bertelanjang dada.
Pangeran muda itu tersenyum dan menggeleng – gelengkan kepalanya, sedangkan
ketiga orang menoreh lainnya hanya menahan nafasnya masing – masing, belum
pernah mereka melihat Ki Rangga bertempur dengan dada telanjang. Perasaan lain
juga menghinggapi dada sonapati pasukan khusus mataram itu.
Terlihat dua kembaran itu bagai terbang bersamaan masing – masing dengan
tangan kanannya telah menyerang dada Ki Rangga, tetapi kali ini Senopati
pasukan khusus itu tidak mengelak, dengan keyakinan yang mantap dibenturnya
kedua tangan kanan lawan – lawannya itu dengan kedua belah tangannya, akibatnya
sungguh dahyat, percikan bunga api telah menerangi malam di Gumuk Kembar, Ki
Rangga tergetar dan bergeser surut satu langkah kebelakang, perassan sakit
telah menyup didadanya, sedangkan lawannya terdorong mundur hampir enam
langkah, segera terdengar keluhan tertahan keluar dari mulut dua kembaran Ki
Bondan Ketapang, tangan mereka terasa patah,
Melihat keadaan itu segera Ki Ranggapun mengungkap ilmu yang lainnya, satu
gerakan sangat sederhana, sangat berbeda dengan gerakan tangan Glagah Putih,
tangan kanannya yang semula terlihat mengepal telah dibukanya dan ditempelkan
ke dada kanannya. Ajian Gondo Puspa.
Dua Kembaran itu belum menyadari akibat gerakan itu, dalam sekejab telah
tercium bau wewangian, tiba – tiba dua kembaran itu merasa pernafasannya telah
tersumbat, dadanya terasa sesak dan bau wangi yang sangat pekat menyengat
segera mengaliri syaraf otaknya.
Mereka yang melihat pertempuran itu memang mencium bau harum tetapi hanya
sekilas – sekilas saja, tetapi bagi lawan Ki Rangga bau itu merupakan awal dari
sebuah bencana.
Tubuh kedua kembaran itu bergetar hebat seperti orang menggigil, pemusatan
ilmunya segera terganggu, dengan tergesa gesa segera ia menutup tujuh lubang
tubuhnya, sementara waktu Ki Bondan berhasil mengatasi ilmu Ki Rangga itu,
tetapi kembarannya segera lenyap tertiup angin malam, terlihat seorang Bondan
Ketapang berdiri sendiri seperti semula, rupaya orang Argopuro itu tak sanggup
mempertahankan ilmu Ganda Raga nya.
Belum sempat mengatasi goncangan pada ilmunya dan keseimbangan nalarnya, Ki
Bondan Ketapang telah melihat Ki Rangga telah meluncur menyerangnya dengan
cepat.
Kedua tangan Ki Rangga tampak memutih seakan di balut oleh serat kapas nan
dingin, tangan itu bergerak bersamaan sangat cepat menggempur pertahanannya,
akibatnya sebuah pukulan menerpa dada dan sekaligus mengoyak ilmu kebalnya,dan
merusak tulang belulangnya.
Ki Bondan telah terjengkang beberapa puluh langkah kebelakang dan tubuhnya
berguling – guling, dada terasa pecah di hantam bongkahan batu es sebesar
kerbau, darah telah mengalir pelan membasahi bibirnya.
Hanya karena ketahanan tubuhnya yang sangat luar biasa serta pengetrapan
ilmu kebal dalam tataran tertinggi sajalah maka nasib Ki Bondan Ketapang
berbeda dengan nasib Singa Patrap.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam – dalam ketika melihat lawan Ki Rangga itu
telah berdiri lagi. Glagah Putih segera bergeser maju untuk meyakinkan
penglihatannya. Tampak Ki Gede dan Pangeran Pringgoloyo menahan nafasnya.
Seperti mayat yang bangkit dari kuburnya Ki Bondan Ketapang telah berjalan
gontai ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Semua wajah terlihat tegang menunggu apa
yang akan di perbuat oleh Ki Bondan Ketapang.
Sementara itu Ki Rangga tengah menatap lawannya dengan tegang. Seluruh
bagian dalam tubuh nya juga merakan kesakitan bahkan tulang dadanya terasa
retak, tetapi ia masih berdiri tegak kokoh tak tergoyahkan.
“Menyerahlah ki sanak, tidak ada gunanya membunuh diri” kata Ki Rangga
perlahan.
Mata Ki Bondan menatap Ki Rangga dengan tajamnya,” aku akan membunuhmu Ki
Rangga yang malang” dengusnya.
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, dia sudah kehabisan akal untuk
membujuk lawannya supaya menyerah.
“Apaboleh buat, akupun tidak mau menjadi korban ilmu pamungkas orang Argopuro ini” katanya dalam hati, dengan memohon kemurahan dan pertolongan Sang Pencipta maka segera di persiapkan dirinya sebaik – baiknya.
“Apaboleh buat, akupun tidak mau menjadi korban ilmu pamungkas orang Argopuro ini” katanya dalam hati, dengan memohon kemurahan dan pertolongan Sang Pencipta maka segera di persiapkan dirinya sebaik – baiknya.
“Biarlah raganya tetap utuh, aku tidak harus membunuhnya,aku masih
mempunyai pilihan “ gumam Ki Rangga
dalam hatinya.
Dengan tegang di pandanginya wajah lawannya. Orang Argopuro itu
menganggakat kedua belah tangannya setinggi bahunya dengan telapak tahan
terbuka menghadap Ki Rangga.
Tak lama terlihat jelas, tangan itu membara dan melontarkan lidah api menjulur dan bergolak serta menjilat - jilat, pelan tetapi pasti akan segera membakar tubuh Ki Rangga, setapak demi setapak Ki Bondan maju mendekati lawannya. Gelapnya malam seakan menambah kengerian melihat jilatan api itu, merah kebiruan membara.
Tak lama terlihat jelas, tangan itu membara dan melontarkan lidah api menjulur dan bergolak serta menjilat - jilat, pelan tetapi pasti akan segera membakar tubuh Ki Rangga, setapak demi setapak Ki Bondan maju mendekati lawannya. Gelapnya malam seakan menambah kengerian melihat jilatan api itu, merah kebiruan membara.
Menghadapi serangan lawannya itu Ki Rangga segera mengungkap tirai
pertahanannya, terlihat kabut tipis membentang satu depa di depannya. Segeralah
lidah api itu menjilat kabut tipis itu semakin lama lidah api itu semakin masuk
dalam gumpalan kabut tipis itu, terdengar bunyi desis yang berkepanjangan,
terlihat kabut itu sedikit bergejolak.
Ki Bondang Ketapang terus merangsek maju dan berusaha memecah gumpalan
kabut itu, di kerahkannya seluruh tenaga cadangannya, Api itu terus bergolak
hebat dalam bekapan kabut dingin itu, suara desis semakin kuat terdengar.
Ki Rangga melihat lawannya sudah terlalu mendekatinya, tiba – tiba Ki
Rangga meloncat mundur beberapa langkah.
Di persiapkannya ajian kabutnya didukung dengan setengah kekuatan tenaga
cadangannya, segeralah ia meloncat bagaiakan terbang laksana burung rajawali
diangkasa, Ki Rangga mengapung diudara dan segera melesat bagai anak panah
meluncur dengan deras ke arah lawannya, dengan satu gerakan dahsyat di
sambarnya ke dua belah telapak tangan yang terbuka itu dengan sebuah hantaman.
Gumpalan api itupun telah terkoyak dahsyat dan pecah berhamburan, terdengar
teriakan kesakitan memecah kesunyian malam, tubuh Ki Bondan seakan terpental
dan terdorong jauh kebelakang, tangannya terkulai patah, tubuh itu terlempar
masuk ke dalam kegelapan hutan, terdengar suara gemeresak sesaat setelah itu
sunyi kembali.
Suasana di
Gumuk kembar itu sangat hening, semua berdiri mematung melihat kejadian itu.
Semua orang Menoreh itu tampak hanya menarik nafas panjang tanpa bicara apapun,
sementara Pangeran Pringgoloyo dengan kening berkerut melihat kearah dimana
tubuh lawan Ki Rangga tadi terlempar
Di tengah tanah kosong itu dalam keheningan yang mencengkam, Ki Rangga
tetap berdiri tegak menatap ke arah pohon mahoni beberapa puluh depa di
depannya
“Puji wasisa bethoro agung” terdengar suara perlahan. Dari balik pohon
mahoni yang besar itu tampak seorang yang sudah tua berpakaian serba putih
berjalan menuju ke tempat Ki Rangga berdiri,
Pangeran Pringgoloyo dengan wajah tegang segera menggerakkan tumbaknya
merunduk, sementara itu Ki Gede, Ki Jayaraga dan Glagah putih telah menyiapkan
diri menghadapi apapun yang terjadi.
Ki Rangga terlihat menahan nafas melihat ujud orang itu. Seorang yang tua
tetapi nampak badannya tetap kokoh dan mengenakan pakaian yang tidak selayaknya.
“Tentu seorang pendeta atau pertapa” pikirnya
“Tentu seorang pendeta atau pertapa” pikirnya
“Terimalah salamku orang muda, aku datang dari jauh mencari muridku, tetapi
aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan” kata – kata itu
meluncur dari mulut orang yang baru datang itu.
“Selamat datang Ki sanak, kami belum mengenalmu, dalam keadaan seperti ini,
mohon dimaafkan bila terlihat sikap kami yang kurang sopan dalam menyambutmu” kata
Ki Rangga membalas perkataan orang itu.
“Ketahuilah orang muda, Bondan Ketapang adalah muridku dan orang sering
memanggilku Pertapa Kumitir sebab aku memang tinggal di alas Kumitir”
“Sebenarnyalah aku datang sebelum perang tanding ini berlangsung, aku telah
menyaksikan perang tanding tanpa alasan itu dari awal sampai akhir dan aku
tidak mencampurinya, sebab aku melihat sifat jantan dari sorot matamu orang
muda,” Orang itu berhenti sejenak, sementara Ki Rangga tetap berdiam diri
menunggu orang itu meneruskan kata – katanya.
“Orang muda dalam jiwamu ada rasa welas asih yang begitu besar, terbukti
kau tidak menghancurkan tubuh lawanmu apalagi membunuhnya, aku mengagumimu dan
dari wajahmu terpancar jiwa wisnu.” Orang itu berhenti berbicara.
“Terima kasih, Kyai sudah memujiku, tetapi sejujurnya aku tidak mengerti
maksud Kyai mengatakan itu semua” berkata Ki Rangga menjelaskan.
“Sudilah kiranya engkau orang muda
menjadi muridku, siapakah namamu orang muda ?” kata Pertapa Kumitir itu.
“Agung Sedayu Kyai” jawabnya singkat.
Pertapa itu tersenyum, lalu katanya” atas kemurahanmu Bondan Ketapang masih
hidup, dia jatuh di pangkuanku.”
Terlihat keraguan tergores diwajah pertapa tua itu, hanya sesaat dan
katanya,” Aku seorang Syiwa tentu sangatlah pantas aku mempunyai murid
sepertimu.”
“Hem...” Ki Rangga tampak berdesah, persoalan apalagi yang harus kuhadapi
ini ? "
“Ki Sanak yang aku hormati, tidaklah semudah itu untuk menjadi muridmu, aku
sudah mempunyai kehidupan sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan, aku
sangat bersyukur Kyai”
“Apakah kau tidak ingin melihat kehidupan Dewata yang Agung ?”
Ki Rangga terdiam, Pangeran Pringgoloyo seakan sudah tak sabar, Ki Jayaraga
dan Ki Gedepun tampak kebingungan menghadapi sikap orang yang baru datang itu,
apalagi Glagah Putih mondar mandir seakan kakinya terasa panas seolah telah
menginjak bara.
Bulan telah bergeser dan sisa malam tidak akan lama lagi. Sebuah bayangan
berkelebat cepat, kakinya menjejak pada pepohonan, tubuhnya tak berbobot,
dengan sekali hentak bagaikan terbang bayangan itu telah mendarat disisi Ki
Rangga Agung Sedayu.
Seseorang dengan jubah berwarna kehitaman dengan motif lurik dan mengenakan
sebuah topeng kayu serta ikat kepala dengan laweran yang sedikit agak panjang.
Setelah memberi salam, terdengar katanya,” aku persilahkan kau menepi
angger Sedayu, bergabunglah dengan Pangeran Pringgoloyo dan saudara – saudaramu
dari Menoreh, aku akan mengambil alih persoalan ini.”
Mulut Ki Rangga bagaikan terbungkam, mendengar perkataan itu, kebingungan
telah mencengkam jantungnya, kedatangan orang berjubah putih sudah
mengejutkannya sekarang datang lagi orang berjubah hitam dengan topeng yang
menutupi wajahnya bahkan orang yang terakhir datang itu telah memintanya untuk
menepi.
Sejenak ia hanyut dalam keraguan dan kebimbangan, bagaimana kelanjutannya
apabila ia menepi dan menonton dari kejahuan sedangkan ternyata kedua orang
yang baru datang itu berselisih pendapat, apabila terjadi sesatu terhadap orang
yang memakai topeng itu, apakah harus dibiarkan saja, hati kecilnya yang paling
dalam ternyata telah berpihak kepada orang bertopeng itu.
Sebagai seorang Senopati maka jiwa keprajuritannya pun segera muncul
kepermukaan, katanya,:” Kisanak berdua, kehadiran pada saat seperti ini sungguh
suatu kejadian yang aneh dan menurut nalarku sulit untuk menerima bahwa
sebenarnya kisanak berdua telah datang untuk memusuhi kami.”
“Kebaikan dan keburukan sifat kisanak berdua belumlah kami rasakan, tetapi
kami tetap memegang teguh keyakinan atas kebenaran mutlak yang tidak bisa
kisanak ambil atau kisanak paksakan kepada kami, kami akan mempertahankan jiwa
kami, keutuhan Tanah Perdikan Menoreh dan kesatuan dari pada Mataram.”
Ki Gede Monoreh yang sedari tadi diam mematung, setelah mendengarkan
perkataan Ki Rangga segeralah tergugah hatinya, katanya,” Kami sudah tua kisanak, meskipun kemampuanku
tidak sekuku ireng di bandingkan dengan kemampuan ki sanak berdua, tetapi kami
akan tetap mempertahankan jiwa kami dan menjunjung tinggi urip bebrayan dengan
segala paugerannya.”
“Hem....” orang bertopeng itu mendesah.
“Aku tidak memusuhi kalian semuanya, termasuk kepada kisanak yang baru
datang ini, aku hanya meminta angger Agung Sedayu supaya bersedia menjadi
muridku, itu saja. Sebagai seorang Syiwa aku ingin berbuat kebaikan di jalan
yang telah aku yakini kebenarannya” berkata Pertapa Kumitir itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, Pangeran Pringgoloyopun maju kedepan, sambil
berkata” Mohon maaf ki sanak berdua, meskipun umurku masih muda tetapi
kedatanganku kemari adalah perintah dari Ki Patih Mandaraka Mataram, sebaiknya
tidak usah terlalu berbelit dan silang pendapat, aku persilahkan ki sanak
berdua pergi ke Mataram dan menghadap pada Ki Patih, atau kepada Panembahan
Hanyakrawati sekalipun”
Terdengar suara tertawa dari balik topeng itu, katanya” Aku berkeberatan
untuk pergi ke Mataram saat – saat seperti ini anak muda, aku akan tinggal di
mana saja tanpa harus ada keterikatan, dan ketahuilah kalian semua orang
menoreh, bahwa kedatanganku kemari hanyalah karena aku mengetahui bahwa ada
seorang pertapa sakti dari timur telah datang kemari dan melihat perang tanding
ini, dan kepadamu Pangeran, apakah permainan tadi belum cukup memberimu bukti.”
Kembali terdengar suara tertawa orang bertopeng itu.
Orang bertopeng itu telah menghadap ke arah Pertapa Kumitir,
katanya,” Niatan yang sebenarnya bagus Rahardian Kuda Mandira, tetapi meminta dan memaksa seseorang menjadi muridmu adalah suatu kesalahan, apalagi orang itu sudah mempunyai tanggung jawab serta keyakinan terhadap Penciptanya.”
katanya,” Niatan yang sebenarnya bagus Rahardian Kuda Mandira, tetapi meminta dan memaksa seseorang menjadi muridmu adalah suatu kesalahan, apalagi orang itu sudah mempunyai tanggung jawab serta keyakinan terhadap Penciptanya.”
Alangkah terkejutnya Pertapa Kumitir itu mendengar perkataan orang
bertopeng itu.
“Ki sanak orang bertopeng, tiada kemarahan yang membelit hatiku, tetapi kau
sebut nama Rahardian Kuda Mandira, apakah kau yakin akan ucapanmu dan
kemampuanmu” ujar Pertapa Kumitir.
Ki Jayaraga mendengarkan semua semua pembicaraan itu dengan seksama,
sebagai seorang pengembara segera dingat – ingatnya apakah dia mengetahui atau
pernah bertemu dengan keduanya, tetapi ternyata ia tidak menemukan apa – apa.
Tidak segera terdengar jawaban, nampak orang bertopeng berjalan beberapa
langkah mendekati Ki Rangga, dan segera di balikkan badannya dengan sikap
tenang dia berkata,” Aku bukan anak
kecil yang bicara sambil menangis Rahardian, kembalilah ke timur dan hiduplah
damai dengan lingkungan barumu, bukankah kau dari jalur Rahardian Kuda
Kertapati Majapahit terakhir ?”
Tubuh Pertapa Kumitir itu seolah basah tersiram air hujan yang tercurah
dari langit, di Menoreh ternyata dia harus bertemu dengan seseorang yang
mengerti asal – usulnya.
“Siapakah kau sebenarnya ki sanak ?” tanya Pertapa Kumitir itu.
“Apakah setelah kau mengetahui siapa aku, kau akan mengurungkan niatmu Rahardian ?” Orang bertopeng itu balik bertanya.
“Apakah setelah kau mengetahui siapa aku, kau akan mengurungkan niatmu Rahardian ?” Orang bertopeng itu balik bertanya.
Suasana menjadi tegang, nampak Pertapa Kumitir itu menarik nafas dalam –
dalam, tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Keraguan yang sangat telah merayap didadanya.
Keraguan yang sangat telah merayap didadanya.
Orang bertopeng itu tampak sengaja membiarkan orang berjubah putih itu
untuk berpikir.
Sementara Ki Rangga mencoba menduga – duga gambaran wajah di balik topeng itu.
Sementara Ki Rangga mencoba menduga – duga gambaran wajah di balik topeng itu.
“Aku harus menemukannya secepatnya, sebelum aku membuat keputusan” desisnya
dalam hati, segera dikerahkannya ingatannya menjelajah sepanjang perjalanan
hidupnya, dicobanya mengenali getaran – getaran tubuh orang bertopeng itu,
bahkan segera ditingkatkannya ilmu sapta pranggaitanya, sampai pada akhirnya
keringat dingin telah mengembun di keningnya, tetapi dia belum menemukan apa –
apa.
Nampak kemudian Pertapa Kumitir itu duduk bersila ditanah berdebu dan kotor
itu, ditatanya pakaiannya itu dan segera dipejamkan matanya sebentar saja dan
terdengar katanya,” Kisanak bertopeng, tolonglah aku mengangkat tubuhku yang
bersila ini, tubuh yang tidak seberapa kuat ini tetapi jangan kau rusak tubuh
ini. Kesadaranku atas Syiwa telah menuntunku hingga kini meskipun aku terkadang
tanpa sadar juga melanggarnya, apakah kau bersedia ki sanak yang
bertopeng ?”
“Hem...” terdengar suara mendengus keluar dari balik topeng kayu itu.
“Rupanya kebiasaan dari kakek buyutmu telah menurun padamu”
Ki Rangga benar – benar membeku, dia tidak tahu apa yang harus di
lakukannya, kecemasan telah mengelayut di benaknya, bagaimana seandainya orang
bertopeng itu tak sanggup memenuhi permintaan orang berpakaian putih itu ?,
Apakah yang akan dilakukan oleh Pertama Kumitir itu terhadap orang bertopeng
itu ? Apakah dia akan diam saja bila terjadi perselisihan diantara keduanya?.
Bagi Ki Rangga persoalannya dengan Bondan Ketapang jauh terasa lebih mudah,
dengan jelas dia dapat menghadapinya meskipun harus menyabung nyawa, tetapi
sekarang dia harus menghadapi dua orang yang tidak di kenalinya.
“Ki sanak, biarlah aku mencobanya menuruti permintaanmu, mungkin aku akan
gagal tetapi aku hanya ingin tidak ada perselisihan diantara kita” terdengar
perkataan Ki Rangga kepada Pertama Kumitir.
“Hem ... Sedayu, apakah kau meragukan kemampuanku ? kata orang bertopeng itu.
“Hem ... Sedayu, apakah kau meragukan kemampuanku ? kata orang bertopeng itu.
“Biarlah aku saja yang menuruti permintaan Pertapa itu, karena dia telah
meminta padaku, bukan kepadamu,”
“Istirahatlah dan belajarlah melihat sisi lain dari kehidupan ini”
“Istirahatlah dan belajarlah melihat sisi lain dari kehidupan ini”
“Jangan terlalu lama Ki sanak” terdengar kata Pertapa Kumitir yang tidak
lain adalah Rahardian Kuda Mandira itu perlahan.
Mendengar perkataan Rahardian Kuda Mandira itu, segera orang bertopeng itu
duduk bersila beberapa langkah di hadapan pertapa itu.
Di kibaskannya jubahnya kebelakang. Ada perasaan lain setelah dirinya
memakai jubah itu, segera teringat olehnya, seorang tua di pegunungan Telemaya,
ia tersenyum dalam hatinya, sedikit kegelian menggelitik hatinya saat
membayangkan orang tua itu, seorang yang kemudian dipanggilnya sebagai
Pasingsingan Sepuh. Sesaat kemudian di pandanginya Ki Rangga yang kebingungan.
“Mulailah ki sanak, tetapi aku
sangat memohon padamu jangan kau rusak wadagku” sekali lagi pertapa itu
mengingatkan orang bertopeng itu.
Gumuk kembar sekali lagi menjadi saksi bisu, mereka berlima menyaksikannya
dengan dada berdebar – debar, bagi Pangeran Pringgoloyo peristiwa itu telah
menambah perbendaharaan pengetahuannya, meskipun usianya terhitung muda tetapi
kemauannya untuk belajar sangatlah tinggi maka segera diperhatikannya pertempuran
dengan cara mereka.
Ki Rangga dengan tekun telah memperhatikan kesemuanya itu, tidak satu
kejabpun peristiwa itu luput dari pengamatannya.
Ki gede dan Ki Jayaraga terlihat menahan nafas sejenak dan Glagah Putihpun
tak kalah tegangnya melihat semuanya itu.
Keheningan yang lengang telah datang. Rembulan bergerak pelan tertutup
awan, hutan Gumuk Kembar itu betul betul terdiam dan telah membeku, Glagah
Putih tanpa sadar mengedarkan pandangannya berkeliling tiada terdengar suara
apapun, sementara dalam kediamannya Ki Rangga yang masih bertenjang dada itu
telah terduduk memanjatkan doa mengharap kehadirat Illahi Robbi,
“Semua berjalan sesuai kehendakNya, tiada manusia yang kuasa merubahnya.”
Dalam kediaman itu tampak samar samar seperti asap tipis berwarna keputihan
seolah telah keluar dari cakra mahkota kepala Pertapa Kumitir.
Keduanya duduk bersila dangan kedua belah tangan bersendekap di depan dada,
keduanya telah memejamkan mata, menutup tujuh lubang tubuhnya, kelanggengan
akan Dzat Pencipta adalah tujuannya.
Tak selang beberapa lama jubah Pertapa Kumitir itu telah bergerak seperti
ditiup angin kecil dan sekejap kemudian tampak tidak bergerak sama sekali.
Sebuah pertempuran yang sangat sulit untuk di mengerti, keduanya tampak
tidak menggerakkan tubuhnya sama sekali, mata keduanya terpejam, nafas
merekapun telah dengan sengaja dihentikan.
Mata Ki Rangga segera menatap tajam tubuh Pertapa itu.
Bagaikan kena sihir, orang – orang Menoreh dan Mataram itu segera
membelalakkan matanya takkala melihat tubuh Pertapa itu meninggalkan tanah yang
telah didudukinya, dengan posisi tetap bersila ternyata Pertapa itu telah
mengambang diudara dan bergerak melayang perlahan, meskipun pelan tetapi telah
bergeser, mengapung tidak menyentuh tanah, bergerak beberapa puluh langkah dan
akhirnya telah berpindah tempat.
Pertapa itu duduk bersila di bawah pohon Mahoni.
Pangeran Pringgoloyo mengusap – usap matanya dan segera ia berdiri
meyakinkan penglihatannya, ternyata benar adanya, Pertapa Kumitir itu tampak
masih memejamkan matanya, kabut tipis kemerahan telah lepas dari ubun - ubunnya
dan dia telah duduk di bawah pohon mahoni yang sama seperti saat dia datang.
Sesaat kemudian Pertapa tua itu membuka matanya ditariknya nafas dalam –
dalam, segera mengatur pernafasannya, sesaat kemudian telah berdiri dan
berjalan menuju ke tempat orang bertopeng yang masih duduk bersila itu.
“Aku mengaku kalah ki sanak, engkau telah memenangkannya selanjutnya aku
juga mohon maaf kepadamu” terdengar ucapan pertapa itu sembari duduk dengan kepala
tertunduk.
“Tidak ada kemenangan itu Rahardian, yang ada adalah petunjuk tentang
kehidupan, kemenangan dan kekalahan itu hanya bahasa kita sebagai manusia,
hakekatnya adalah kesadaran kita sendiri akan perbuatan kita dan aku sudah
menuruti apa yang menjadi kemauanmu” berkata orang bertopeng itu sembari
membuka matanya.
“Ki sanak bertopeng, apa yang harus kulakukan dengan tubuhku yang tua renta
ini ?”
“Pulanglah Rahardian, kemanapun kau akan pulang, tetapi ketahuilah bahwa
sebaik – baiknya engkau pulang yang terbaik adalah pulang kepada Dzat Pencipta
Alam Illahi Robbi, ini hanya nasehat dan saranku”
Pertapa itu tampak mengganggukkan kepalanya.
“Rawatlah Bondan muridmu itu sebaik – baiknya, meskipun kesehatan muridmu
itu pada akhirnya tidaklah sempurna, percayalah dia akan selalu mengikutimu dan
akan selalu membantumu disaat-saat kau memerlukannya, berangkatlah !“
“Sebelum aku pergi, perkenankanlah aku mengenal kisanak”
“Hem .....” Orang bertopeng itu
menarik nafas dalam – dalam.
Segera tangannya mengambil sesuatu dari balik jubah luriknya dan
menyerahkan kepada Pertapa tua itu sambil berucap,
“Terimalah benda ini, jika kau telah berniat, pergilah kepada orang yang bisa membaca dan mengerti makna dari bacaan yang tertulis di benda itu, aku tidak akan menjelaskannya sekarang,”
“Terimalah benda ini, jika kau telah berniat, pergilah kepada orang yang bisa membaca dan mengerti makna dari bacaan yang tertulis di benda itu, aku tidak akan menjelaskannya sekarang,”
Seakan ada yang menggajal didadanya, pertapa itu seolah akan bertanya lagi,
tetapi orang bertopeng itu segera berkata,” Sudahlah Rahardian, berangkatlah.
Ingatlah Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram adalah sama, kita sangat
memerlukannya dan harus selalu menjaganya.“
Setelah mohon diri kepada orang bertopeng , maka pertapa itupun mohon diri
kepada semua orang yang ada di Gumuk Kembar itu, setelah itu pergi menuju
tempat tubuh muridnya, segera didukungnya dan tak lama tampak bayangan putih
itu telah berkelebat cepat ke arah timur.
Seiring dengan perginya Pertapa Kumitir itu, sesuatu telah mengusik lembut
dada orang bertopeng itu.
Tanpa disadarinya keringat dingin telah mengembun dikeningnya, kegelisahan
telah merayapi jantungnya.
Orang bertopeng itu masih menatap gelapnya malam seakan tak percaya bahwa
bulan telah bergeser dan sebentar lagi dia akan menikmati cerahnya pagi.
Seakan di hembus angin semilir, ketika terdengar Ki Rangga menyadarkannya” Ki
sanak semua telah selesai, apa yang kisanak inginkan dariku, aku tidak akan
ingkar, aku akan selalu patuh.”
Pangeran Pringgoloyo berdiri mematung, melihat Ki Rangga yang perkasa itu
dengan santunnya berkata kepada orang bertopeng yang sangat aneh itu. Ki
Jayaragapun bersama Glagah Putih dan Ki Gede telah berdiri di belakang Ki
Rangga.
“Ki Sanak aku tidak akan memaksamu apalagi melawanmu, apapun alasannya” kata
Ki Rangga perlahan.
Orang bertopeng itu tidak berpaling sedikitpun, tetap saja dipandanginya
pepohonan yang tumbuh dengan lebatnya itu.
Pangeran Pringgoloyo semakin heran melihat Ki Rangga justru duduk bersila
di belakang orang bertopeng itu.
“Apakah yang
sebenarnya telah terjadi ? Apakah kesaktian Ki Rangga tidak akan bisa mengatasi
orang itu ?
Seandainya di gabungkan semua orang termasuk dirinya
apakah belum cukup ?
Kepadanya Ki Patih Mandaraka sering berceritera
tentang kelebihan orang – orang disekitar Ki Rangga, apakah benar tidak cukup
untuk menandingi bahkan menangkap orang itu ?”
Dadanya terasa sesak, tidak tahu apa yang harus
dilakukannya, Pangeran muda itu sangat mengagumi dan menghormati Ki Rangga
sehingga dia hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukan Ki Rangga.
Glagah Putih merasa benar – benar akan menyerah, jika
kakak sepupunya saja tak dapat melawan orang itu, apalagi dia, sedangkan
menurutnya bila Pangeran Pringgoloyo dan Ki Jayaraga serta Ki Gede bersama –
sama bergabungpun masih di bawah tingkat ilmu kakak sepupunya.
Perasan putus asa telah membawa langkahnya menuju
sebuah batu besar dan segera direbahkannya badannya yang memang terasa letih,
rupanya kebiasaannya Raden Rangga telah menjangkitinya.
“Apakah betul Sedayu kau akan menyerah sebelum kau
buktikan kebenarannya ?” tanya orang bertopeng itu, suaranya memecah keheningan
malam.
Dengan menarik nafas dalam – dalam Agung Sedayu telah
menjawabnya,” Benar ki sanak, aku menyerah, tetapi aku sudah meyakini
kebenarannya, keputusanku tidak akan berubah ?
“Bagaimana nasib orang – orang yang mengikutimu,
bukankah mereka sangat bergantung kepadamu ?” tanya orang bertopeng itu.
“Mereka semua menyerah kisanak, tidak akan ada yang
mampu melawanmu Ki sanak, bahkan Ki Patih serta Panembahan Hanyakrawatimu tidak
akan mampu menahanmu.”
Terdengar orang itu berdehem pelan.
“Ki sanak, tolonglah menoleh ke arah batu itu,
lihatlah, apakah yang akan kisanak perbuat terhadap teman Raden Rangga itu” kata
Agung Sedayu sambil menunjuk batu dimana terlihat Glagah Putih telah tertidur
pulas diatasnya.
Tanpa disadarinya orang bertopeng itu telah menoleh ke
arah batu yang ditunjukan oleh Ki Rangga itu, terdengar suara tertawa tertahan.
“Baiklah, aku akan mengampuni kalian semuanya” sembari
berkata orang bertopeng itu telah menggerakkan tangannya merenggut topeng kayu
yang melekat di wajahnya.
Bulan semakin tenggelam ditelan awan, bersamaan
terlihat kilat telah menyambar menerangi langit Gumuk Kembar itu, menerangi
sesaat seraut wajah teduh nan lembut, penuh dengan kesabaran namun memendam
satu jiwa kewibawaan yang amat besar, wajah seseorang yang telah lama menghilang
dan kini telah kembali, tak kuasa melihat wajah itu, segera Agung Sedayu
bersujud dan mencium kaki orang itu.
“Subhanalloh” gumam Ki Jayaraga dan Ki Gede bersamaan
dan segera berhambur mendekat, bahkan Ki Gede seperti kehilangan akalnya,
dilemparkannya tumbak pusakanya dan memeluk tubuh orang itu, tak terasa lelaki
tinggi besar itu telah meneteskan air mata keharuan, kerinduannya kepada orang
itu seolah tak tertahankan sementara ki Jayaraga telah menjabat tangan orang
itu sembari mengucap
“Selamat datang kembali Kyai,”
Dan katanya kepada Pangeran yang kebingungan itu,” Pangeran,
inilah guru Ki Rangga Agung Sedayu yang bernama Kyai Gringsing itu”
Seakan sianar matahari pagi telah menerpa wajahnya,
mendengar penjelasan itu, segera Pangeran muda itu menunduh dan mengambil
tangan orang itu dan menciumnya seraya berkata,” Kyai terimalah jiwa dan
hormatku ini dan mohon ampun atas semua kebodohanku.”
“Pangeran muda, aku telah menerimamu, maafkan aku
telah mengganggumu” kata Kyai Gringsing perlahan.
Mereka telah duduk melingkar di tanah kecuali Glagah
Putih yang masih tertidur di batu padas itu.
Tak bisa menahan rasa gelinya maka segera Kyai
Gringsing mengambil batu kecil dan disentilnya mengarah pada kaki Glagah Putih.
Akibatnya, Glagah Putihpun terlonjak berdiri dan
bersiap menerima serangan dari manapun, bahkan katanya,” Raden aku sudah siap”
Terlihat Agung Sedayu tertawa melihat tingkah laku
adik sepupunya itu,
“Kemarilah lihatlah siapa yang datang.”
“Kemarilah lihatlah siapa yang datang.”
Sembari mengusap matanya, Glagah Putih berjalan ke
arah mereka, tiba – tiba dia telah berhenti dan menatap seseorang dengan mulut
ternganga dan tidak keluar kata sepatahpun.
“Kemarilah Glagah Putih, aku bukan hantu, aku masih
sama seperti di Jati Anom dulu, kakek tua yang selalu marah padamu” terdengar
suara Kyai Gringsing sembari tertawa.
Tak bisa menguasai perasaannya, segeralah anak Ki
Widura itu berlari mendapatkan orang tua itu, tak sepatah katapun terucap,
hanya terdengar senggukan tangis di pangkuan Kyai Gringsing. **
Mendung menebar rata diatas langit Menoreh, mengarak
dan bergerak keselatan menyimpan menyimpan takdir dan cerita Illahi, cerita
panjang tentang peristiwa Gumuk Kembar telah menyebar kemana – mana.
Ditepian Sungai Progo dua orang tampak duduk
termenung, aliran sungai itu seolah tak memberi jawaban atas rencana mereka.
“Apa pendapatmu Raden ?” kata Kyai Lamotan memecah
kebisuan.
Raden Trunoloyo nampak menghela nafas panjang, dahinya
berkerut, kebimbangan sangat mengganjal didadanya, keinginan untuk secepatnya
menyelesaikan tugas mereka terasa sangat mendesak didada, tetapi menurut
nalarnya tentu akan sulit melalukannya pada saat ini, berita yang tersebar di
menoreh sangat mengganggu rencananya.
“Bagaimana pendapat murid – murid Ki Gajah Lodra guru
? tanya Raden Trunoloyo kepada Kya Lamotan tanpa menjawab pertanyaan gurunya
itu.
“Aku belum mengetahuinya Raden, semenjak kabar tentang
Ki Rangga beredar, mereka tak banyak bicara, malam hari mereka banyak berada di
luar gubuk yang kita bangun ini.
Kebisuan kembali membekap kedua orang itu.
Terpikir oleh Raden Trunoloyo akan keberadaan benda
pusaka yang dibawa oleh kedua Menak saudara kembar itu. Sebenarnya saat ini
hasratku untuk datang ke Menoreh sudah hilang, lebih baik bagiku untuk
memusatkan pikiran kepada benda pusaka itu, sepertinya aku saat sekarang belum
mampu untuk menaklukkan menoreh.
“Guru, apakah guru meyakini rencana kita ini akan
berhasil ?”
Terlihat gurunya termenung sejenak mendapat pertanyaan
itu. Di biarkannya orang tua itu melihat aliran sungai progo yang terlihat
keruh, sejenak kemudian Raden Trunaloyo itu mendengar gurunya berkata,
“Raden sejak semula aku sudah ragu – ragu berangkat ke
Menoreh ini, melihat kemampuanku saat ini rasa – rasanya belum mencukupi untuk
menghadapi Senopati Mataram itu, hanya karena desakan Ki Gajah Lodralah
akhirnya aku berangkat tetapi saat sekarang justru Ki Gajah Lodra tidak hadir
diantara kita” orang tua itu terdiam sejenak, kembali matanya menatap air yang
mengalir di sungai Progo itu.
“Apakah guru tidak yakin bahwa kita berempat akan
dapat mengatasinya ?”
Orang tua itu nampak menghela nafas beberapa kali.
Orang tua itu nampak menghela nafas beberapa kali.
“Raden, kau belum mengenal siapa Ki Rangga Agung
Sedayu itu sebenarnya, pengetahuan dua Menak bersaudara itupun sangat terbatas,
mereka hanya menganggap Ki Rangga Agung Sedayu sama dengan Rangga – Rangga
lainnya di Mataram, sejujurnya Raden untuk menghadapi Ki Rangga seorang diri
kita masih memerlukan dua orang lagi yang mempunyai tingkat ilmu yang sama
denganku, padahal di menoreh masih banyak orang yang mempunyai kelebihan dan
selalu berdekatan dengan Ki Rangga.“
Raden Trunoloyopun membisu mendengar keterangan
gurunya itu, di bayangkannya kekuatan menoreh terutama yang tersimpan di dalam
diri Ki Rangga itu.
“Seharusnya Ki
Gajah Lodra sendirilah yang akan menghadapinya, sedangkan kita menghadapi kawan
– kawan Ki Rangga”
Mendung di langit nampak semakin gelap dan benarlah
adanya sebentar kemudian airpun telah tertumpah dari langit. Kedua orang itu
segera berjalan masuk ke dalam gubuk yang telah di bangunnya itu
Pada malam hari wayah sepi uwong hadirlah dua saudara
kembar yang lebih di kenal sebagai Menak kembar itu dalam gubuk mereka.
“Kyai ada yang ingin kusampaikan kepada Kyai dan Raden
Tronoloyo,” terdengan Menak jati memulai pembicaraan di malam yang terasa
dingin itu.
Raden Trunoloyo segera beringsut maju seraya membetulkan letak duduknya.
Raden Trunoloyo segera beringsut maju seraya membetulkan letak duduknya.
“Semalam guru telah datang ke Menoreh dan kami
menemuinya di tempat guru tinggal selama di Menoreh, menurut guru bahwa lebih
baik rencana ini kita ditunda sampai guru selesai dengan penyempurnaan ilmunya,
kabar dari Gumuk Kembar itu telah mempengaruhi pertimbangannya Kyai” kata Menak
Jati.
“Sampai kapan ?” tanya Raden Trunoloyo
“Kami tidak tahu Raden” jawab Menak Sungsang.
“Hem ..” terdengar desah Raden Trunoloyo.
“Penundaan ini harus aku sampaikan kepada Kyai, malam itu pula Ki Gajah Lodra telah mengambil pusakanya kembali”
“Hem ..” terdengar desah Raden Trunoloyo.
“Penundaan ini harus aku sampaikan kepada Kyai, malam itu pula Ki Gajah Lodra telah mengambil pusakanya kembali”
Mendengar perkataan akhir dari Menak bersaudara itu,
segera seleret warna merah telah menghiasi wajahnya meskipun hanya sekejab.
“Gila, pusaka itu telah lenyap dari hadapanku” gumam
Raden Trunoloyo dalam hatinya.
“Baiklah adi Menak bersaudara, meskipun kami merasa
kecewa tetapi tidak mengapa, kita masih punya kesempatan lainnya sampai saatnya
Ki Gajah Lodra selesai dengan penyempurnaan ilmunya” kata Kyai Lamotan
menanggapi perkataan dua Menak bersaudara.
Air sungai Progo tampak mengalir deras melebihi
biasanya, sementara keempat orang itu terdiam dan kesepakan telah mereka buat
bahwa pada esok hari mereka akan segera meninggalkan Tanah Perdikan
Menoreh.kembali ke bang wetan.
Sementara itu di tempat lain di menoreh, tampak
keluarga kecil Ki Rangga itu telah berkumpul diruang tengah.
Pembicaraan seputar kehadiran Kyai Gringsing telah
membuat hangat hati dan pikiran keluarga kecil itu.
“Dengarlah, bahwa setelah menitip salam kepada seluruh
keluarga ini, Kyai Gringsing mengatakan belum saatnya kembali ketengah tengah
kita semuanya, guru masih punya kewajiban yang harus diselesaikannya yaitu guru
harus pergi kebarat sesuai petunjuk daripada Sunan Muria dan pada saatnya nanti
guru akan kembali di tengah – tengah kita, tetapi guru tidak memberi tahu
mengenai waktunya” Ki Rangga berhenti sejenak,
“Kakang bagaimana keadaan Kyai Gringsing, maksudku
kesehatannya ? Aku sangat rindu pada orang tua itu kakang” berkata Sekar Mirah.
“Sebenarnyalah bahwa usia guru sudah cukup tua bahkan
diatas Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh, tetapi saat di Gumuk Kembar kita
melihat Kyai Gringsing tampak sangat segar dan lebih muda dibandingkan saat – saat
di Jati Anom dahulu, aku sangat yakin bahwa guru telah menemukan sesuatu bagi
dirinya selama mengasingkan diri itu.
“Mengapa saat itu Kyai Gringsing di kabarkan meninggal
dunia kakang ?” tanya Rara Wulan.
Agung Sedayu segera menarik nafas dalam – dalam dan
dikenangnya saat di bersama adik seperguruannya menyatakan keberadaan gurunya
bersama Ki Widura pamannya.
“Rara, saat itu Kyai Gringsing sangat kecewa melihat
keadaan dirinya sendiri, orang – orang terlalu mengganggap guru sebagai tabib
yang melebihi tabib lainnya, bahkan ada beberapa orang yang menganggap guru
sebagai orang yang bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia.'
" Pengertian telah dicoba diberikan kepada orang
– orang itu tetapi mereka tidak mempercayainya bahkan sebaliknya mereka semakin
yakin dan percaya dan pada suatu saat mereka mengganggap guru sebagai pendusta”
Suasana menjadi hening, mereka membayangkan situasi
yang di hadapi guru Agung Sedayu itu kala itu, rumit dan menggelisahkan.
“Selanjutnya guru mengatakan kepada Ki Widura bahwa
anggaplah aku sudah tiada Ki Widura dan sampaikan pesanku ke angger Sedayu dan
angger Swandaru supaya jangan mencari aku lagi, biarlah pada saatnya akulah
yang akan menemui mereka.”
Saat itu Kyai Grinsing telah meminta supaya segera
menggali kubur dan tunjukkan pada mereka bahwa itu adalah makammnya dan jangan
perbolehkan kedua muridku itu untuk mencari kebenaran dari keberadaanku,
terutama angger Sedayu dan sebagai tanda perpisahannya maka Kyai Gringsingpun
telah menyerahkan cambuk pusakanya, sebuah cambuk yang terbuat dari janget
kinatelon yang telah menemani sebagian dari perjalanan hidupnya dan sebagai
ciri kehadirannya.
Mereka sangat seksama mendengarkan cerita Ki Rangga,
tiada terlewat, pada hal – hal kecil dimintanya Ki Rangga untuk mengulanginya.
“Apakah kakang percaya pada waktu itu ? desak Sekar
Mirah.
“Aku mempercayainya Mirah bahkan aku telah melihat
cambuk guru ada ditangan Ki Widura” jawab suaminya.
“Apakah kakang tidak ingin melihat kebenaran tentang
kematian Kyai Gringsing itu ?” tanya Glagah Putih.
Pertanyaan demi pertanyaan telah mengalir dengan
derasnya, sederas air sungai Progo, rasa ingin tahu dari keluarga kecil itu
sangat mengetuk hati Ki Rangga. Sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan
kata – kata kepada orang tua yang mempunyai banyak nama itu.
“Kau benar Glagah Putih, saat itu rasanya aku tidak
dapat menerima kepergian guru, saat itu aku ingin menangis sebab guru, sudah
aku anggap sebagai pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada dan aku sangat mengaguminya,
tetapi ternyata Ki Widura telah berhasil meyakinkanku tentang ketiadaan guru.”
Suasana menjadi hening, Ki Jayaragapun membayangkan
semua cerita Ki Rangga dan sekarang sudah terbukti bahwa Kyai Gringsing
sebenarnyalah masih ada.
Bagi mereka yang ada di ruangan itu segera mengerti
tabir yang selama ini menyelimuti keberadaan Guru Agung Sedayu itu.
“Ki Widuralah yang mengerti dan mengetahui tentang
Kyai Gringsing sebab ayah dari Glagah Putih itulah yang selalu mendapingi saat
– saat kesehariannya.”
Terlihat mereka menarik nafas dalam – dalam tanda
kelegaan. Nyala api kecil itu tampak berkedib ditiup angi kecil menerangi
mereka yang berada ruang tengah.
“Glagah Putih, kau adalah murid dari perguruan
bercambuk ini selain murid Ki Jayaraga, telah menjadi tugasmu sekarang untuk
memberitahukan dan sekaligus mengabarkan akan keberadaan guru kepada kakangmu
Swandaru dan paman Widura” terdengar suara Agung Sedayu memecah keheningan.
“Mintalah ijin pada gurunu Ki Jayaraga akan tugas yang
aku berikan ini padamu, he ! bukankah aku kakak seperguruanmu Glagah Putih ?” canda
Ki Rangga sembari tertawa.
“Kakak seperguruan, sebagai kakak sepupunya dan
sekaligus gurunya” sahut Ki Jayaraga sambil tertawa.
Keceriaan segera terlihat di wajah Glagah Putih,
namun hanya sebentar dan sekarang wajahnya tampak muram.
“Kenapa kau Glagah putih ? Apakah kau kurang senang
dengan tugas itu ?” bertanya Ki Jayaraga.
“Bukan guru, bukan” jawabnya tergagap
“Lalu apa ?” tanya kakak sepupunya.Glagah Putih
terdiam sesaat dan segera dilihatnya mbokayunya Sekar Mirah, kemudian katanya,
“Maaf kakang, aku segan bertemu dengan kakang Swandaru”
Meledaklah tawa Sekar Mirah meski sudah ditahannya.
“Aku sudah menebak jawabanmu Glagah Putih,”
“Maaf mbokayu,”
“Kau sudah sangat dewasa saat ini, cobalah belajar
mengendalikan diri lebih dalam lagi, dan kau harus jadi orang penyabar” kata
kakak sepupunya.
Semua yang mendengar wejangan itu tertawa, termasuk
Rara Wulan.
“He, Rara mengapa kau ikut tertawa ?” tanya Glagah
Putih pada istrinya itu.
“Raut mukamu lucu kakang” jawab Rara Wulan sembari
tersenyum.
“Lihat itu dahimu langsung berkeriput saat mendengar
nama Ki Swandaru Geni” kata Rara Wulan diiringi dengan derai tawa yang sangat
renyah.
“Awas kau, nanti aku bawa lari rambutmu” geram Glagah
Putih.
Semua yang duduk diruangan itu segera tersenyum melihat gurauan pasangan
muda itu...
0 komentar:
Posting Komentar