Kamis, 19 Mei 2016

MENDUNG DI LERENG MERAPI 2

Oleh  : A. Malindo


Bukan terusan ataupun lanjutan API di BUKIT MENOREH

BUMBUNG 2

Waktu terasa merambat tak terasa dan hari yang telah di tentukan telah tiba, pagi itu Ki Gede Monoreh telah meminta Ki Jayaraga datang ke rumahnya. Sementara itu, Agung Sedayu telah berada di sanggar bersama Glagah Putih. 
“Baiklah Glagah Putih, malam nanti menjelang purnama kita akan pergi ke Gumuk Kembar,”  Kata Ki Rangga membuka pembicaraan. 
“Kita akan menghadapi tugas berat, kita harus mempersiapkan diri terutama mempersiapkan batin kita untuk menghadap Sang Illahi Robbi” . Glagah Putih memandang wajah kakak sepupunya, ia mengerti sepenuhnya apa yang di maksud oleh Ki Rangga. 
“Sebenarnya akulah sasaran mereka, tetapi kau dan Ki Jayaraga harus bersiap menghadapi situasi yang belum kita ketahui” .
“Iya kakang”  jawab Glagah Putih singkat. 
“Glagah Putih, waktu kita hanya tinggal beberapa saat lagi, aku akan sedikit memacu ilmumu, sebab Perguruan Argopuro memiliki ilmu kebal yang hampir sama dengan yang aku punya, jadi kau harus yakin bisa memecahkannya” . Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya.” Mendekatlah, aku akan meyalurkan hawa dingin kedalam ragamu, seperti yang aku lakukan sebelumnya terhadapmu, cara yang sama, lebih mendekatlah” .
Glagah Putih segera beringsut kedepan, diam sejenak mempersiapkan dirinya, rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada kakak sepupunya selalu diucapkannya meskipun dalam hati, segera dijulurkannya kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap atas. Wajah Ki Rangggapun terlihat tegang meskipun hanya sekejap, menyambut adik sepupunya segera dijulurkan tangannya dan menelangkup diatas tangan Glagah Putih. 
Sesaat kemudian terasa sesuatu masuk dan mengalir di tubuh putra Ki Widura itu, tubuhnya terasa menggigil kedinginan, kepalanya menjadi sedikit pening  tetapi tetap dipertahankannya keseimbangannya, di terimanya hawa murni dan merayap perlahan seiring terbukanya cakra jantung maka terkumpullah semuanya dan mengendaplah aliran hawa murni itu di jantungnya. 
Tidak terlalu lama, sesaat kemudian tampak Ki Rangga membuka matanya demikian juga dengan Glagah Putih.
“Selesai Glagah Putih, aliran hawa yang aku salurkan tadi hanya mendorong rasa cinta terhadap sesama dan rasa perduli pada dirimu, saat seseorang menanamkan nafsu angkara kepadamu maka ungkaplah rasa damai dihatimu, mohonlah pertolongan hanya kepada Illahi Robbi semata” . Agung Sedayu berhenti sejenak, terlihat menarik nafas panjang, kemudian dipandanginya adik sepupunya itu lalu katanya” Hawa murni itu dapat kau salurkan bersamaan dengan pengungkapan ilmu yang lain, diantara bangsal ilmu yang engkau miliki, yang  paling sesuai adalah ajian Namaskara” .
"Apakah kau memahaminya, Glagah Putih". Tanya Ki Rangga.
Glagah Putih menggangukkan kepalanya, tanpa menjawab kepalanya masih sedikit berputar serta perutnya terasa sedikit mulal. Ditariknya nafas panjang - panjang beberapa kali dan dikeluarkan lewat mulutnya perlahan seperti meniup awan kecil yang melintas di muka wajahnya. 
Ki Rangga tak bergeming, dibiarkannya adik sepupunya melakukan hal-hal yang menolong dirinya sendiri, tak lama kemudian.
“Bagaimana cara aku mengungkapkannya, kakang ?”  tanya Glagah Putih seolah meminta penjelasan.
“Sama seperti engkau mengungkap ajian Namaskara pada puncaknya, hanya sertakan dengan keyakinan yang teguh, bukalah cakra jantungmu selebar – lebarnya, kedamaian akan mengalirkan kekuatan yang bersifat dingin, nah kemudian doronglah seiring dengan ilmumu” .
Glagah Putih mengerutkan keningnya, meskipun ia paham dan mengerti ajaran kakak sepupunya namun tetap saja ada keraguan di hatinya.
“Apakah kau mau mencobanya ?”  tanya KiRangga sembari tersenum, seolah mengerti keraguan di hati adik sepupunya.
“Jika kakang tidak berkeberatan” jawab Glagah Putih mantab.
“Baiklah, kita akan coba tetapi di sanggar saja sebab kita sudah tidak punya waktu lagi, berdirilah” .
Tampak Ki Rangga berdiri dan berjalan menuju ketengah sanggar di ikuti adik sepupunya.
***

Pada hari yang sama di tempat lain di kali Progo  terlihat tiga orang berwajah keras mengiringi seorang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rapi tengah menyeberang dan tak lama kemudian telah mendarat di bumi Menoreh.
“Guru, apakah kita langsung menuju rumah Ki Rangga atau istirahat sejennak di rumah Ki Merta”  tanya pemuda berkumis tipis sambil menepuk – nepuk leher kudanya.
“Tidak Raden Trunoloyo, kita tidak kerumah orang bercambuk apalagi ke rumah ki Merta”  jawab orang yang di panggil guru itu.
“Jadi kemana kita malam ini ?” tanya pemuda yang ternyata bernama Raden Trunoloyo itu.
Tampak gurunya terdiam sejenak, dipandanginya aliran kali progo itu, lalu katanya kepada dua orang di belakangnya,” Adi Menak Jati dan adi Menak Sungsang, apakah kalian mempunyai rencana lain ?”
Kedua orang kembar itu menarik nafas pelan – pelan, bagi mereka tidak ada alasan untuk menunda rencana awal, rencana yang sudah disusun oleh seorang pertapa sakti yang tidak lain adalah kakek mereka sendiri. Terngiang jelas perintah dari pertapa itu.
“Kyai Lamotan, apakah ada pertimbangan baru, sehingga kita harus menunda rencana awal?”  kata Menak Jati, diam sejenak, lalu katanya,” Bila di tunda apakah tidak berakibat buruk bagi kita?  Sebab sudah banyak perguruan dari bang wetan yang datang ke Menoreh ini” .
Kyai Lamotan mengerutkan keningnya, lalu katanya” Bukankah kita harus menunggu kehadiran Ki Gajah Lodra ?” .
“Tidak perlu Kyai, guru tidak jadi pergi ke Menoreh, lewat aji pameling guru telah memerintahkan aku bersama adi Menak Sungsang untuk melakukan tugas itu”  jelas Menak Jati.
Kyai Lamotan  tampak ragu – ragu sejenak, dipandanginya Raden Trunoloyo seolah – olah sedang ditakarnya, dalam diri anak muda itu mengalir darah Panglima Kadipaten Pasuruan, meskipun terlihat lemah lembut, anak muda itu akan tetap menatap korbannya tanpa berkedib dan menghancurkannya tanpa belas kasihan.
“Aku hanya salah satu gurunya, sejak kecil dia diasuh oleh seorang pertapa dari lereng Gunung Arjuno, sampai pertapa itu meninggal dunia”  katanya dalam hati.
“Meskipun aku gurunya, aku tidak yakin akan kemampuan sebenarnya, terlalu banyak rahasia yang disembunyikan padaku” .
“Bagaimana Kyai ?”  tanya Menak Jati membuyarkan lamunan kyai Lamotan.
“Baiklah adi, kita akan laksanakan rencana awal secepatnya, tetapi apakah adi berdua yakin dapat mewakili Ki Gajah Lodra ?”  kata Kyai Lamotan kepada dua saudara kembar itu.
Keduanya tertawa berkepanjangan mendengar perkataan Kyai Lamotan, tanpa ragu tampak Kebo Jalu mengeluarkan sesuatu dari kotak yang di bungkus rapi itu, sementara itu Raden Trunoloyo tampak acuh tidak acuh melihat peti yang berisi benda pusaka itu.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling dan yakin akan keamanan benda pusaka itu, Menak Jati, berdesis,” Inilah pusaka itu Kyai Lamotan” .
Ketegangan merayapi wajah Kyai Lamotan yang sudah tua itu, matanya terus menatap benda pusaka dihadapannya, tak disangkanya benda pusaka itu hadir dihadapannya. 
Sebuah tongkat pendek berwarna kuning keemasan, yang kalau diukur tidak melebihi panjang dari setengah depa.
“Kyai Gada Menak”  desisnya perlahan.
Wajah Raden Trunoloyo tampak menegang sesaat, perasaannya bergejolak hebat, hanya sesaat, kemudian tampak dia  menarik nafas dalam – dalam mendengar nama pusaka yang dibawa dua saudara kembar itu. 
Ayahnya pernah mengatakan bahwa pusaka itulah yang selama ini di carinya, sangat diyakini oleh ayahnya, bahwa dengan pusaka itu Kadipaten Pasuruan akan menjadi pusat pemerintahan di pulau jawa ini. Kini tanpa di sengaja pusaka itu telah hadir di hadapannya.
Terbayang wajah ayahnya Rangga Kaniten pada saat terakhir, mengerang kesakitan takkala di kalahkan oleh Panembahan Senopati dalam perang tanding di alun- alun Pasuruan.
“Aku harus membalaskannya, demi ayah dan tanah leluhurku aku akan berbuat apa saja”  geram Raden Trunoloyo dalam hatinya.
Mereka masih berada sekitar Sungai Progo, ternyata keberangkatan mereka ke bumi Argapati itu tidaklah bersama – sama hal ini bisa di ketahui dari keadaan mereka, Raden Trunoloyo menunggang kuda sementara tiga orang lainnya hanya berjalan kaki saja. Dari Pasuruan Raden Trunoloyo telah singgah terlebih dulu Padepokan Merak di daerah Tuban  mengunjungi makam ayahandanya dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Menoreh, sedangkan Kyai Lamotan dan dua saudara kembar itu dari Padepokan Lumbang di lereng gunung Bromo lansung menuju Menoreh.
Mereka berempat tengah sibuk dengan angan – angannyanya masing – masing dan belum beranjak dari tepian sungai Progo.
“Baiklah Raden dan adi Menak Jati serta adi Menak Sungsang, kita akan melaksanakan rencana yang telah di buat oleh Ki Gajah Lodra, tetapi kita juga tidak boleh gegabah dan tergesa – gesa, semua harus di perhitungkan, ingat di Menoreh bukan hanya ada Ki Rangga tetapi ada beberapa orang yang lainnya yang juga harus kita perhitungkan, diantaranya adalah Ki Gede Monoreh Sendiri”  Kata Kyai Lamotan.
Raden Trunoloyo mengangguk – anggukan kepalanya, sementara dua orang saudara kembar itu mengerutkan dahinya, dan salah satu berucap,” Apakah kita harus meragukan diri kita sendiri Kyai ? Atau Kyai meragukan kami, bukankah eyang guru Gajah Lodra telah meminjamkan pusaka andalannya Kyai Gada Menak.?”
“Bukan meragukan kemampuan kita, tetapi membuat perhitungan yang tepat dan kita harus yakin bahwa perhitungan kita tidak meleset”
Raden Trunoloyo adalah seseorang yang dibesarkan dilingkungan keprajuritan dan terbiasa bergerak dengan rencana yang telah disusun secara rapi, sehingga dengan cepat menerima saran dari gurunya, Kyai Lamotan.
“Bagaimana seandainya ada perguruan lain yang telah mendahului kita, Kyai ?”  bertanya Menak Sungsang.
Raden Trunoloyo tetap berdiam diri, dibiarkannya gurunya menjelaskan persoalan yang menyangkut tugas mereka.
“Tentu tidak adi sekalian, kita hanya menunda beberapa hari saja dengan mengamati kehidupan di Menoreh ini, jangan memandang rendah Menoreh apalagi memandang sebelah mata tentang tingkat ilmu Ki Rangga Agung Sedayu” .
“Hem...” desah Menak Jati.
“Sabarlah barang dua atau tiga hari adi, sekarang kita akan membuat gubuk di tepian Sungai Progo ini dan jangan membuat persoalan yang tidak perlu dengan orang – orang sekitar sini” .
Dua saudara kembar itu tampak akan berbicara, tetapi terpotong oleh perkataan Raden Trunoloyo,” Kakang berdua, bersabarlah, kita belum pernah ke Menoreh sebelumnya, apa salahnya jika kita menikmati udara segar dan keindahan tanah Menoreh ini terlebih dahulu sebelum menjalankan tugas?” .
“Gila, hentikan kelakuan busuk itu Raden”  geram Menak Sungsang. Pemuda yang di panggil Raden itu tertawa terbahak sedangkan wajah Kyai Lamotan terlihat menegang meskipun sesaat.
“Besok pagi kita akan masuk ke Padukuhan induk dan mengamatinya sekaligus melihat dimana letak rumah ki Rangga dan melihat siapa saja yang tinggal bersamanya.” kata Kyai Lamotan sambil merebahkan badannya di atas rerumputan liar yang tumbuh disekitar sungai Progo itu.
Sementara di pendopo rumah Ki Gede terlihat Ki Jayaraga mengangguk – anggukan kepalanya ketika mendengar perkataan Ki Gede Menoreh.
“Aku percaya sepenuhnya kepada angger Sedayu Ki, semenjak menjadi prajurit Mataram di bawah asuhan Ki Lurah Branjangan pada waktu itu dan dibawah bimbingan langsung Ki Patih Mandaraka meskipun lambat tetapi batin dan ketetapan hati angger Sedayu banyak sekali mengalami perubahan, sifat – sifat pada saat mudanya terutama sifat ragu – ragu dan banyak pertimbangan telah banyak berkurang” .
“Aku telah melihatnya secara lansung pada saat angger Sedayu membimbing pemuda – pemuda Menoreh ini disela – sela waktunya sebagai senopati Pasukan Khusus.”
“Ki Gede benar, angger Agung Sedayu yang kita lihat sekarang sudah berbeda jauh dengan angger Agung Sedayu pada saat – saat dulu” .  kata Ki Jayaraga menyambung kata – kata Ki Gede.
“Sewajarnyalah bila seseorang bertambah usia dan bertambah tanggung jawabnya, apalagi sudah berkeluarga maka perubahan batin dan sikapnya pastilah selalu ada, hanya orang – orang disekitarnya kadang – kadang kurang tanggap dan selalu mencari – cari kelemahan dan kesalahannya saja”  kata Ki Gede sembari matanya menatap pintu regol halamannnya.
“Ki Jayaraga, berapakah usia kyai saat ini ?”  tiba – tiba pertanyaan Ki Gede bergulir pada hal pribadi Ki Jayaraga.
Dahi Ki Jayaraga berkerut, sembari tersenyum dia menjawab,” Aku tidak ingat lagi Ki Gede, berapa usiaku ? tetapi menilik ujudku sekarang kemungkinan kita sebaya” .
Mendengar jawaban Ki Jayaraga, tampak Ki Gede tertawa perlahan.
“Kenapa Ki Gede tertawa ? Mungkin aku salah”  sahut Ki Jayaraga cepat – cepat.
“Ki Jayaraga dengarlah, aku tidak mempunyai alasan yang kuat, tetapi entah mengapa tiba – tiba timbul di hati ini rasa rindu terhadap guru angger Sedayu yang banyak mempunyai nama itu”  tiba – tiba terdengar suara Ki Gede menurun seakan – akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Ki Jayaragapun terdiam, nampak dahinya berkerut di kenangnya Kyai Gringsing sebagai seorang tua yang baik hati, berkat orang tua itulah ia menyadari keadaannya, menyadari kesalahan pada masa lalunya. Orang tua itu tidak melumatkan tubuhnya saat perang tanding itu terjadi bahkan perkataan dan petunjuknya sangat bijaksana, mengajaknya kembali ke jalanNya dan di perbolehkan tinggal bersama murid terkasih orang bercambuk itu.
Sementara kenangan Ki Gede Menoreh membawanya surut jauh kebelakang saat Ki Tambah Wedi atau Paguhan itu merusak sendi – sendi kehidupan Menoreh.
“Hem .. orang tua yang baik, dia berada hampir di segala tempat dan peristiwa besar yang terjadi di Menoreh bahkan Mataram” .
Kedua orang tua itu telah hanyut dalam kenangan kepada seserang yang ternyata adalah keturunan langsung garis lurus Majapahit yang di kenal sebagai Raden Timur Pamungkas.
Panggilan untuk menunaikan kewajiban telah terdengar dari Masjid padukuan induk, keduanya tersadar.
“Ki Jayaraga marilah kita tunaikan kewajiban kita dan kita berdoa memohon kepada Illahi Robbi bagi keselamatan Ki Rangga beserta keluarganya dan untuk Menoreh serta Mataram pada umumnya.”
“Marilah Ki Gede, silahkan Ki gede di depan, aku akan mengikuti”  jawab Ki jayaraga.
Di Kepatihan Mataram wayah sepi bocah, Ki Patih Mandaraka telah memanggil seseorang dan mengirimnya ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat dan menjadi saksi sekaligus mencegah apabila terjadi kecurangan dalam perang tanding nanti. 
“Baiklah Eyang, cucunda akan datang dan menyaksikan perang tanding itu, cucunda akan ikut campur bila diperlukan”  jawabnya singkat. 
Di Keheningan yang agung, duduklah seorang Agung Sedayu sendiri di tengah sanggarnya. 
Kewajiban menunaikan ibadah menurut keyakinannya telah selesai ditunaikannya dan memberi tuntunan menambah kemantaban ilmu kepada adik sepupunyapun telah usai di kerjakannya dan kepada Sekar Mirah istrinya telah dibisikkannya kepasrahan dirinya dan kepada Sang Maha Pencipta. Tiada tangan yang bisa mencegah apapun yang di kehendakiNYA kecuali Yang Mulia Illahi Robbi pencipta alam semesta.
Di kosongkannya pikiran dan ruang kalbunya dan disingkirkannya segala nafsu duniawinya, dipusatkannya nalar dan budinya memohon segala kemurahanNYA.
Sebagai manusia biasa ia hanya dapat memohon, setinggi apapun ilmunya tentu tiada sebanding dengan ilmu Sang Pencipta, kesadarannya sebagai hambaNya telah menenggelamkan seorang Agung Sedayu dalam kepasrahan sejati, tiada keinginan seujung rambutpun untuk melangkahiNYA.
Lampu di dalam sanggarnya tampak berkeredib dan tetap menyala walaupun kecil, semakin dalam ia memanjatkan doa, terasa semakin dingin udara dalam sanggar itu, terlihat jelas bagi seseorang apabila memperhatikannya, lembar – lebar kabut putih laksana kapas telah turun dan menempel pada pangkuan bumi.
Dilihatnya kembali bangsal ilmunya, mulai terendah sampai tertinggi seolah ingin ditatanya kembali, dipilah pilah dan dirapatkannya dan persiapkan sesuai dengan segala kebutuhannya.
Keningnya nampak berembun dan tubuhnya telah basah oleh keringat meskipun ia tak bergerak sedikitpun dan menjelang saat tengah malam, wudarlah semedinya.
Sejenak kemudian terdengar derit pintu sanggar dan nampak Agung Sedayu berjalan ke arah padasan dan segera membasuh mukanya.
Sekar Mirah nampak semakin tenang melihat wajah suaminya yang tampak bening berseri – seri seolah tiada kecemasan.
Bulan terus bergerak betapun lambatnya, di pendapa rumah Ki Rangga telah berkumpul beberapa orang tua yang akan menjadi melepas Ki Rangga, diantaranya adalah Ki Gede Menoreh.
" Apakah kau sudah siap, angger Sedayu ?”  tanya Ki Gede.
"Aku siap ki Gede, semoga kita semua diberi perlindungNya" jawab Agung Sedayu tenang.
"Hati - hatilah kakang, aku tidak bisa mengikutimu apalagi membantumu, aku dan anak dalam kandungan ini akan selalu berdoa untukmu kakang?”  Mata Sekar Mirah tampak berkaca - kaca, sebagai seorang istri yang ditinggalkan suami tetap saja hatinya bergetar di landa kecemasan dan harapan.
"Seandanya saja keadaanku mengijinkan tentu aku akan membantumu kakang" kata Sekar Mirah perlahan.
Agung Sedayu mengerti sepenuhnya perasaan istrinya, sebagai seorang yang berilmu tinggi tentu terasa gatal tangan Sekar Mirah untuk dapat turun ke gelanggang membantu dirinya, keadaannyalah yang membuatnya harus berada di rumah.
Setelah doa di panjatkan maka mereka segera bergegas menuju halaman dan meraih tunggungannya masing – masing. Kuda merekapun telah berlari ke arah Gumuk Kembar meskipun tidak terlalu cepat tetapi tetap saja meninggalkan debu – debu yang berhamburan.
****

Di Gumuk Kembar, sudah hadir Ki Rangga beserta saksi – saksinya, sementara Ki Bondan Ketapang belum menampakan batang hidungnya.
Ki Rangga tampak menengadahkan kepalanya melihat bulan yang hampir mencapai puncaknya, katanya,” Sebentar lagi orang dari bang wetan itu akan datang” .
Ketegangan telah merambat di jantung orang – orang Menoreh.
Gumuk Kembar sebenarnyalah adalah nama hutan disebelah utara menoreh, karena ada dua gunungan kecil maka hutan itu oleh orang Menoreh sebagai hutan Gumuk Kembar, terlihat pohon – pohon besar tumbuh berserakan seakan muncul begitu saja dari perut bumi.Tidak jauh dari tempat orang – orang Menoreh berdiri, sebuah bayangan tampak duduk bersila diatas dahan pohon raksasa yang menjulang tinggi, dahan bercabang yang besar  menopang bayangan itu.
Kemampuannya menyerap getar gelombang tubuhnya membuat bayangan itu yakin bahwa keberadaannya tidak akan diketahui siapapun, keberangkatannya dari Mataram menjelang senja ternyata tidak terlambat. Bulan telah berada tepat diatas kepala orang – orang Menoreh, terlihat Ki Gede telah memeluk senjata kepercayaannya, sebuah tumbak panjang yang merupakan sipat kandel Tanah Perdikan Menoreh, Kyai Tunggul Bumi.
Ki Jayaraga justru duduk bersila sambil memejamkan matanya memanjatkan doa bagi keselamatan Ki Rangga dan keluarganya, sementara Glagah Putih tengan mondar – mandir dan Ki Rangga berdiri tegak disamping Ki Gede.
Kegelisahan tak berlangsung lama, suara langkah beberapa orang telah terdengar jelas, sesaat kemudian telah muncul di hadapan orang – orang Menoreh.
“Selamat malam Ki Bondan Ketapang ?”  terdengar suara Ki Rangga menyapa orang baru datang itu.
“Aku kira engkau tidak datang Ki Rangga”  sahut Ki Bondan Ketapang setelah berdiri sepuluh langkah dari Ki Rangga Agung Sedayu dan para saksinya.
“Jangan membual Ki,” terdengar suara Ki Rangga datar.
Tampak dua orang telah berdiri di hadapan orang – orang Menoreh.
“Ternyata Ki Bondan Ketapang juga berhati jantan, dia datang hanya dengan muridnya saja”  gumam Glagah putih dalam hatinya.
Ki Bondan Ketapang memperhatikan satu persatu wajah orang – orang Menoreh yang mengiringi Ki Rangga.” Ki Rangga, kenapa kau membawa orang sakit – sakitan itu bersamamu ?”  kata Ki Bondang sambil memandang ke arah Ki Gede Monoreh.
Ki Gede yang merasa dirinya di bicarakan segera menyahut dengan suara pelan penuh wibawa,” Selamat datang ki sanak semuanya di Menoreh, akulah Kepala Tanah Perdikan ini, sewajarnyalah aku hadir disini untuk sekedar menjadi saksi bagi perang tanding ki Rangga dengan lawannya, aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada kecurangan dalam perang tanding ini." 
Terdengar Ki Bondang Ketapang tertawa meski dengan nada sumbang.
“Orang – orang Menoreh, kematian Singa Patrap ternyata telah menumbuhkan bulu di jantungku, aku akan menuntut balas, nyawa harus di bayar dengan nyawa” .
“Terserahlah padamu Ki Bondan ketapang, apa saja yang katakan, tetapi aku tetap menyarankan padamu, urungkan niatmu” .
“Jika perang tanding ini tetap kita lakukan dan kau tetap berdiri maka adikmu serta Singa Patrappun tak akan pernah hidup kembali tetapi jika kau kalah maka akan semakin menambah penderitaanmu, sebaiknya urungkan saja niatmu dan kembalilah ke Argopuro, kami tidak akan mengganggumu”  ujar Ki Rangga.
“Setan alas, apa kau tidak punya perassan Ki Rangga, apa kau tidak punya nalar?”  kata Ki Bondang setengah berteriak.
“Apakah hatimu terbuat dari batu, wahai orang menoreh ? Apakah kau tidak mengerti apa artinya saudara?” .
“Maaf Ki Bondan, aku hanya ingin mengatakan bahwa permusuhan atau balas dendam ataupun apapun bahasa lainnya, sangatlah tidak terpuji” .
“He ! apa katamu, kau sudah membunuh adik bahkan muridku.”  
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, ditatanya detak jantungnya.
Ada keinginanya untuk menghindari permusuhan dengan siapapun dan dimanapun, lalu katanya,” Apakah kau tahu apa yang di lakukan oleh Kebo Samparan pada saat menghadang pasukan Mataram ? Ketahuilah Ki Bondan, bahwa Kebo Samparan telah dengan curang menyerang Pangeran Pringgoloyo saat berperang tanding melawan Ki Ageng Patal, meskipun lukanya tidak seberapa tetapi pusaka Kebo Samparan telah menyobek lengan Pangeran Pringgoloyo”  kata Ki Rangga yang mencoba menjelaskan peristiwa terbunuhnya Kebo Samparan. 
“Persetan dengan ceritamu Ki Rangga,” sahut Ki Bondan Ketapang, dia mengenal siapa Ki Ageng Patal, yang tak lain adalah guru dari Kebo Samparan.
“Sebenarnyalah Pangeran Pringgoloyo harus menghadapi 2 orang sekaligus, sampai akhirnya aku datang” jelas Ki Rangga.
“Kau akan mengabarkan kemenanganmu Ki Rangga, kau akan mengatakan bahwa Ki Ageng Patal dan Kebo samparan mati terbunuh olehmu, ternyata kesombonganmu sudah menyentuh langit Ki Rangga“
“Jangan bermimpi kau dapat mengalahkanku.”
Bagi orang – orang menoreh Ki Bondan Ketapang adalah orang orang yang hatinya sekeras batu hitam, tidak mungkin lagi untuk membujuknya supaya mengurungkan perang tanding itu.
Jalak Werdi sedari tadi diam saja mulai bosan mendengar percakapan gurunya, baginya hanya ada 2 pilihan mukti atau mati.
“Apakah mereka akan bertempur secara berpasangan ?”  pikirnya, tanpa sadarnya telah dihitungnya perimbangan kekuatan antara pihaknya dan pihak orang menoreh.
“Aku akan bertahan sampai gurunya membereskan lawan – lawannya dan kemudian bersama guru aku akan menggulung sisanya”  kata Jalak werdi dalam hatinya.
Sementara tidak jauh dari orang – orang itu, tampak bayangan hitam dengan duduk bersila diatas dahan besar itu menarik nafas dalam - dalam, matanya yang tajam terus  memperhatikan perkembangan keadaan, diedarkan pandangannya berkeliling, ketajaman mata wadag dan mata hatinya telah menembus malam di hutan Gumuk Kembar  itu.
Suasana tegang di Gumuk kembar itu ternyata tidak dapat menghentikan keriuhan suara binatang malam yang hidup di hutan itu.**
Glagah Putih merasa tidak telaten melihat kakak sepupunya terus membujuk Ki Bondan Ketapang.
“Sebaiknya kakang sedayu tidak usah membuang waktu lebih banyak lagi” kata nya dalam hati.
Ki Rangga tampak terdiam, baginya sudah tidak ada jalan lain lagi kecuali bertempur dengan orang dari Argopuro itu.
“Baiklah Ki Bondan aku akan melayanimu, aku sudah berusaha mencegah perselisihan ini dan rupanya aku tidak berhasil” terdengar Ki Rangga berkata.
Meskipun kemarahanya bergolak, Ki Bondan Ketapang tetap bisa membuat perhitungan secara mapan, katanya “Sesuai janji jantan kita, maka siapapun tidak diperbolehkan mencampuri perang tanding antara kau dengan aku ? Apakah kau menyanggupi nya Ki Rangga ?”
“Setelah kau mati maka aku persilahkan orang berikutnya untuk melawanku sampai orang terakhir yang kau bawa kemari.”
“Aku menyanggupinya” Jawab Ki Rangga datar
“Kami tidak akan mencampuri urusan perang tanding ini, kecuali kau berbuat curang atau kau menggunakan orang lain untuk mencampuri perang tanding ini” terdengar suara Ki Gede Monoreh dengan berat.
“Majulah Ki Rangga, Jalak Werdi akan menghadapi anak muda yang telah menantangnya beberapa hari yang lalu.”
Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih mendengar perkataan daripada lawan kakak sepupunya itu. Terasa darahnya mengalir hangat menyusuri tubuhnya.
“Aku tidak boleh kehilangan keseimbangan nalarku” katanya dalam hati. Setelah mohon restu kepada guru dan Ki Gede, Glagah putihpun telah maju ketengah, dengan kaki merenggang dia siap menerima perintah kakak sepupunya yang sekaligus merupakan gurunya.
Sementara bayangan yang duduk bersila diatas cabang pohon besar itu mengerutkan dahinya, sekali lagi telah dicobanya kembali untuk mengenali getaran di dalam dadanya. Nampak ia memejamkan matanya, dipusatkan nalar dan budinya dan segera salah satu ajiannya telah muncul, bersama hembusan angin semilir dari cakra mahkota tampak belahan sukmanya telah melayang mendekat dan bahkan telah berdiri di samping Ki Rangga, diamatinya lawan Ki Rangga itu dan sejenak kemudian bagaikan terbang belahan sukma itu telah berdiri di belakang Ki Gede Menoreh, dan ternyata dia telah menemukan sesuatu yang di carinya. Bagi bayangan itu ketegangan dan kegaduhan yang ada di bawah sana sedikitpun tak mengganggunya. Tidak lama kemudian bayangan itu membuka matanya, dan bergumam lirih seakan ditujukan hanya untuk dirinya sendiri,” Mengagumkan.” **
Sementara Ki Jayaraga telah menggamit Ki Gede Monoreh, segera dikatakannya apa yang dirasakannya.
Ki Rangga memandang sesaat ke arah Glagah Putih dan kembali di palingkan wajahnya ke arah Ki Bondan Ketapang lalu, 
“Ki Bondan Ketapang, apakah kau menyembunyikan sesuatu? atau kau akan mengatakan apa saja yang belum kau katakan ?”
“Apa maksudmu Ki Rangga ?” sahut Ki Bondan.
“Kenapa kau diam saja, apakah kau telah menunggu seseorang dan dengan licik akan menyerang kami ?”
Bondan Ketapang tampak mengerutkan dahinya.
Ki Rangga terlihat sedikit gelisah, segera di pikirkannya keselamatan Ki Gede dan Ki Jayaraga serta Glagah putih, ada keraguan dalam hatinya, apakah saat ini tanggapan batinnya atas keadaan sekitarnya benar adanya atau hanya kegelisahan hatinya semata.
Sekali lagi di cobanya mengenali lingkungannya, sebelum ia terlibat perang tanding dan selagi ia mempunyai kesempatan, keraguan yang mendera batinya telah didorongnya menepi seiring kecemasan terhadap keselamatan para saksinya.” Aku tidak berbuat curang, aku hanya ingin mereka keluar dari persembunyianya saja” katanya dalam hati, maka segera ditingkatkannya tenaga cadangannya, dengan suara bergetar, katanya,” Kisanak yang ada di sekitar kami, aku persilahkan datang, jangan bersembunyi”.
Tidak terlalu keras, tapi akibatnya sungguh mencengangkan, bagaikan datang beribu – ribu duri kemarung dari atas langit dan turun menghunjam setiap dada yang ada di hutan Gumuk Kembar itu.
“Silahkan Ki sanak menampakkan diri” suara itu bergulung – gulung dan menyusup tajam dan mencocok jantung setiap orang yang mendengarkannya.
Terlihat segera akibatnya, Glagah putih terlihat mundur selangkah dan segera menyilangkan tangan didepan dadanya, terasa jantungnya bagai diremas dan ditusuk seribu jarum, sementara itu Jalak Werdi tanpa sadar telah memegang dadanya dan lututnya terasa gemetar. Ki Jayaraga tampak menyilangkan tangannya didepan dada seperti yang dilakukan oleh Glagah putih dan Ki Gede Monoreh terilat bersandar pada tumbaknya supaya tidak terjatuh.
Perasaan sakit juga menerpa Ki Bondan Ketapang, dilihatnya muridnya terduduk maka darahnyapun menggelegak, terdengar suaranya mengguntur seolah mengimbangi suara Ki Rangga.” Kau menyerang secara licik Ki Rangga” dan secepat kilat didorongnya tubuhnya menyerang Ki Rangga, tangan terjulur lurus mengarah kekening.
Segerahlah pertempuran antara Ki Rangga dan Bondang Ketapang berlangsung seru, keduanya saling melibat lawannya dan seolah tak memberi kesempatan untuk bernafas.
Melihat gurunya telah mulai bertempur maka Jalak Werdipun sambil berteriak nyaring telah meloncat menggempur Glagah Putih meskipun dadanya masih terasa sakit, tangan kanannya mengepal menjulur kearah dada, melihat serangan itu Glagah putih bergeser kesamping, merasa serangannya gagal maka Jalak Werdi dengan cepat tanganya berubah arah dan menebas kepala lawannya. Secepat gerakan Jalak Werdi maka tampak Glagah Putih membungkuk badannya sembari tangannya dengan jari merapat menusuk arah perut lawannya yang terbuka.
Sentuhan pertama Glagah Putih ternyata tidak dirasakan oleh Jalak Werdi bahkan dengan cepatnya kakinya memutar dengan gerakan sabit menghantam pundak Glagah Putih, akibatnya Glagah Putih terdorong kesamping beberapa langkah.
“Nah, demit kecil kau sudah merasakannya, itu hanya kecepatan gerak yang tak seberapa, kau nampak sudah kesulitan” kata Jalak Werdi diiringi suara tawa mengejek.
“Apakah kau sudah merasa menang dengan sentuhan lalat di pundakku ini ?” tanya Glagah Putih sembari tersenyum.
Tanpa menjawab pertanyaan Glagah putih segera Jalak Werdi menyerang kembali dengan tenaga cadangan yang telah ditingkatkannya. Seperti angin puyuh gerakan tangan dan kakinya melibat adik sepupu Ki Rangga itu. Tak mau diremehkan lawannya maka Glagah Putihpun segera meningkatkan kecepatan gerak dan bobot pukulannya, kedua orang itu tampak seolah berputar dan saling mendesak.
Sambil bertempur Glagah Putih memperhatikan unsur – unsur gerak lawannya, memang ada beberapa persamaan dengan lawan – lawannya terdahulu, tetapi hanya pada permulaannya saja, bila meningkat pada tataran tertinggi maka pasti ada perbedaannya.
“Gila, ilmu kebal orang ini cukup membuatku repot, aku harus lebih hati – hati dan cepat membuat perhitungan” kata Glagah Putih dalam hatinya, ia merasakan bahwa sentuhan kaki dan tangannya sampai saat ini hanya membuat lawannya mundur saja, tanpa menyakiti apalagi membuat lawannya mengeluh.
Sementara Jalak Werdi juga merasa heran akan daya tahan tubuh lawannya, meskipun tidak memiliki ilmu kebal seperti dirinya ternyata lawannya masih saja melibatnya dan berani membentur serangannya.
“He ! anak muda ternyata kulitmu sangat liat, kau pasti di bantu iblis Gumuk kembar ini,” dengusnya.
Tiba – tiba sesuatu telah terjadi, diawali dengan suatu gerakan tipuan, dan diteruskan dengan satu gerakan cukup rumit terlihat sisi telapak tangan Glagah putih telah menghantam kening Jalak Werdi. Akibat pukulan itu terasa isi kepalanya bagai kan diaduk dan membuat matanya berkunang – kunang, dengan tergesa – gesa Jalak Werdi meloncat kebelakang.
Melihat lawannya surut kebelakang, Glagah Putih tidak mengejarnya.
“Nah.. kisanak kau telah merasakan sentuhan kecilku, apakah kau akan menyerah ?” kata Glagah Putih sembari tersenyum, dicobanya menggelitik dada lawannya.
“Setan alas, kau akan segera menyesali kesombonganmu” bentak Jalak Werdi.
“Berhati - hatilah, aku tidak main – main lagi sekarang, persiapkan dirimu, aku akan segera melumatmu,”
“He ! aku tidak menyangka ternyata kau baik sekali, selalu memperingatkanku” sahut Glagah Putih sembari tertawa.
Segera Jalak Werdi membuktikan kata – katanya. Terlihat tangannya mengepal keras dan segera dilibatnya Glagah Putih dengan kecepatan gerak yang luar biasa. Desir angin dan udara panas selalu mengikuti setiap gerakannya. Terpaksalah Glagah Putih berloncatan menghindar seperti kijang kepanasan, tetapi Jalak Werdi terus memburu dan tidak melepaskannya. Satu sentuhan telah menerpa dada Glagah Putih, dan dengan tergesa – gesa Glagah Putih meloncat mundur mengambil jarak, sesaat tercium bau kain yang terbakar, ternyata baju nya telah menjadi kehitam – hitaman dan dadanya telah terluka, kulitnya memerah.
“Gila, kau telah menyakitiku Jalak Werdi” geram Glagah Putih.
“Tidak hanya menyakitimu demit kecil tetapi aku benar – benar akan membunuhmu” jawab Jalak Werdi bengis.
Glagah Putih tidak menjawab, segera di persiapkan dirinya menghadapi pertempuran yang tentunya lebih sengit lagi. Ditatapnya lawannya dan di perhatikannya segala gerak geriknya.
Jalak Werdi telah meloncat dengan cepatnya, tangannya nampak mengembang menerkam kepala Glagah Putih. Dengan gerak yang mantab dipotongnya serangan itu dengan menghantam bahu sembari melontarkan tubuhnya kesamping. Tak mau bahunya menjadi sasaran, segera murid Ki Bondan Ketapang itu membentur serangan Glagah Putih dengan tangan mengepal. Dua kekuatan dengan tenaga cadangan yang mumpuni telah berbenturan, akibatnya masing – masing telah terdorong mundur dua langkah. 
Glagah Putih merasakan tangannya telah menyentuh bara sepanas bara tempurung kelapa. Sementara itu Jalak Werdi merasa tangannya seakan patah di gibas tanduk kerbau jantan, sesaat keduanya terdiam dan memperbaiki posisinya masing – masing.
Dilingkaran lainnya Ki Rangga masih nampak hanya melayani setiap serangan Ki Bondan Ketapang, tenaga cadangannya hanya ditingkatkannya sedikit demi sedikit, bahkan Ki Rangga masih sempat memperhatikan pertempuran antara adik sepupunya melawan murid lawannya itu.   ” Keadaannya terlihat masih belum membahayakan Glagah Putih.” Sambil berloncatan bagai burung sikatan diamatinya keadaan sekelilingnya, belum nampak orang lain selain Ki Jayaraga dan Ki Gede Monoreh.
“Mungkin aku telah salah menilai panggraitaku.”
Nampaknya Ki Bondan Ketapang melihat kesempatan itu, saat Ki Rangga sedang memperhatikan lingkungannya, maka tiba – tiba kelengahan itu telah dimanfaatkan sebaik – baiknya, segera ditingkatkannya kecepatan geraknya yang dilandasi ilmu meringankan tubuh yang mumpuni dan seketika itu terasa bagaikan batu sebesar lembu telah menghentak dan menghantam dada lawannya, nampak Ki Rangga terdorong kebelakang beberapa langkah bahkan telah jatuh dan berguling – guling di tanah berumput yang lembab.
Wajah Ki Jayaraga dan Ki Gede nampak menegang, dada merekapun terasa sesak saat melihat kejadian itu, bahkan Ki Gede telah memegang tumbaknya semakin erat dan tangannya telah bergetar.
Untunglah tubuh Ki Rangga telah dilapisi ilmu kebal sehingga dapat menahan gempuran itu sehingga tulang dadanya tidak menjadi berserakan.
Melihat lawannya tegak kembali dengan wajah tersenyum, debar di jantung Ki Bondan Ketapang itu nampak berdegup kencang.
Gurunya Pertapa Kumitir telah mengingatkannya sebelum berangkat bahwa salah satu murid orang bercambuk telah memiliki ilmu yang hampir serupa dengan ilmu yang diajarkannya dan sekarang dia telah membuktikannya.
Dengan tenangnya terlihat Ki Rangga berjalan mendekati lawannya, sembari berkata,” Apakah kau tidak jemu dengan permainan anak – anak ini Ki Bondan ?”
Di lingkaran lainnya tubuh Glagah Putih telah basah kuyup oleh keringat bercampur embun malam dan pada beberapa bagian tubuhnya tampak luka memar seperti luka bakar, sedangkan lawannya meskipun memiliki ilmu kebal pada bagian tertentu masih dapat tertembus bahkan disakiti oleh Glagah Putih. Tenaga wantah dan di dorong dengan tenaga cadangan yang besar telah menggoyahkan ilmu kebalnya yang belum sempurna itu.
Pada saat berikutnya, satu serangan seperti angin ribut telah melanda Glagah Putih, tubuh Jalak Werdi tampak hanya seperti bayangan merangsek lawannya tanpa ampun, kemanapun Glagah Putih bergeser selalu diikutinya dengan cepat dan segera nampak kesulitan melanda anak Jati Anom itu, kaki kiri Jalak Werdi tepat menghantam kening Glagah Putih, hutan Gumuk Kembar terasa berputar dan tanah yang dipijaknya terasa bergoyang.
Sekali lagi dada Ki Jayaraga dan Ki Gede terasa terhimpit batu padas yang runtuh dari pegunungan.
Sambil menjatuhkan diri dan berguling – guling menjauhkan diri dari lawannya, Glagah Putih telah menyentuh beberapa bagian simpul syarafnya untuk membangkitkan tenaga cadangan yang lebih besar serta mengurangi rasa sakit di tubuhnya.
“Apakah kau menyerah demit kecil ?”
“Menyerahlah supaya kematianmu tidak merasakan sakit, sebab aku akan cepat mengantarmu ke neraka dengan puncak ajianku”  terdengar Jalak Werdi tertawa terbahak.
Mendengar muridnya tertawa, Ki Bondan lamatan tersenyum dan segera melihat keadaan lawan muridnya itu diperhatikannya tubuh Glagah Putih yang kotor dan berdebu, pakaiannya terkoyak disana - sini, tetapi sesaat kemudian nasib malang telah menimpanya. 
Rupanya setelah terhindar dari serangan tangan kiri ki Rangga tanpa diduga Senopati pasukan khusus mataram itu bagaikan terbang telah meloncat ke udara dan menjatuhkan kakinya kanannya tepat membentur ubun – ubun kepala Ki Bondan Ketapang dengan kerasnya.
Meskipun di lambari ilmu kebal yang hampir sempurna tetap saja tertempus oleh kekuatan musuhnya. Kepalanya terasa pecah di guncang oleh pohon besar yang tumbang menimpanya, matanya berkunang – kunang dan sebelum sadar sepenuhnya, sekali lagi tangan Ki Rangga telah menghantam punggungnya, tanpa ampun terlihat tubuh Ki Bondang Ketapang terdorong ke depan beberapa puluh langkah, jatuh memeluk semak belukar.  
Pada sisi yang lainnya, kemenangan kecil Jalak Werdi harus di tebusnya dengan sebuah keluhan panjang, terasa lehernya tertusuk tangan Glagah Putih yang merapat, dan sebuah pukulan keras telah menghantam dagu dan dadanya, ilmu kebalnya tidak dapat menahan serangan itu, terlihat darah segar telah meleleh dibibirnya.
Dengan nafas terengah – engah serta menahan sakit di sekujur tubuhnya, Jalak Werdi telah bertekat segera mengakhiri pertempuran itu dengan ilmu pamungkasnya. 
“Menyerahlah ! Kau akan diampuni” Glagah Putih mencoba menawarkan satu penyelesaian tanpa menimbulkan korban. 
Di pandanginya Glagah Putih tajam – tajam, meskipun terlihat masih muda tetapi menurutnya anak muda itu telah dirasuki ilmu dan kekuatan iblis.
“Aku akan mencincangnya dengan dengan ilmu pamungkasku.”  geramnya. 
Tanpa menjawab ajakan lawannya, Jalak Werdi telah menghentakkan ilmu pamungkasnya, badannya terlihat memerah sesaat, kemudian yang tampak adalah tubuhnya seperti mengepulkan asap tipis berwarna merah dan telah membakar udara disekitarnya. 
Wajah Glagah Putih nampak menegang, mematung sesaat melihat pengerahan aji pamungkas lawannya, sebuah ilmu kebal yang dirangkapi oleh panasnya api.
Tentu ilmu itu sama dengan ilmu Singa Patrap, sebuah ilmu yang di pergunakan untuk bertahan, tetapi bukan sebuah ilmu untuk menyerang. 
Sambil menunggu, telah pula di bangunkaknya sebuah ilmu yang ditemukannya secara gaib saat berdua dengan Rara Wulan di padang pengembaraannya, Ajian Namaskara. 
Saat yang ditunggunya  telah tiba, Jalak Werdi tampak menjulurkan kedua belah tangannya, sebuah gerakan yang menimbulhan hempasan angin yang kuat disertai hawa panas yang menyengat.
Dengan cepat Glagah Putih menghidar dengan satu loncatan kesamping, dengan perhitungan matang ia telah bergeser menjauhi arena pertempuran kakak sepupunya melawan ki Bondan Ketapang juga tempat Ki Jayaraga dan Ki Gede berdiri. 
Glagah Putih tidak ingin seranganya atau serangan lawannya menganggu arena pertempuran kakak sepupunya apalagi mengusik Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh. 
Merasa menghatam tempat kosong maka Jalah Werdipun selalu mengulanginya” Anak demit.. kemanapun kau lari aku akan mengikutimu dan sebentar lagi tubuhmu akan terpanggang oleh imuku.”  
Sembari terus berloncatan menghindari serangan lawannya, disentakan tangannya melepas ajian Namaskara dengan tataran tidak terlalu tinggi hanya menahan dan membenturnya saja, pakaian Glagah Putih semakin terlihat hitam dan compang – camping dan dadanya pun terasa pedih meskipun sesaat, Jalak Werdipun merasakan sengatan tajam didadanya meskipun tidak terlalu lama. 
Dalam pada itu KiJayaraga merasakan keanehan melihat perlawanan Glagah Putih.” Kenapa Glagah Putih tidak membenturkan ilmunya saja, bukankah Ajian Namaskara telah di perdalam oleh angger Agung Sedayu ?” pertanyaan itu terus menggelitik jantung Ki Jayaraga.
“Semoga dia menemukan cara yang terbaik” desis Ki Jayaraga.
“Rasanya angger Glagah Putih mempunyai rencana sendiri KI Jayaraga” terdengar suara Ki Gede menenangkan hati Ki Jayaraga yang tengah bergejolak. 
Setelah dirasa menemukan tempat yang mapan maka segera dilaksanakanlah rencananya. Tiba – tiba tanpa menghiraukan panas yang menyengat tubuhbya Glagah Putih telah melenting kedepan dan lansung menghentakan sebuah pukulan dahyat menghantam dada Jalak Werdi yang dilapisi oleh ilmu kebal dan lembaran hawa panas itu, mendapat serangan yang tiba – tiba itu darah murid Argopuro terasa terkesiap tak ada kesempatan untuk mengelak.
Rasa nyeri dan panas telah membekap tangannya Glagah Putih, sementara Jalak Werdi telah terdorong kebelakang dan terjatuh pada lututnya terasa dada telah retak.   Glagah Putih telah melihat kesempatan itu segera digerakannya kedua belah tangannya menelengkup dan diarahkannya ke lawannya, sekejap saja  bau wangi yang menyengat telah menyumbat pernafasan Jalak Werdi. 
“Demit keparat, setan kober” umpat Jalak Werdi, keseimbangan nalarnya telah terguncang hebat dan pemusatan ajian Tapak Genipun terganggu, beberapa saat matanya terlihat nanar memandang Glagah Putih. Bau yang sangat wangi telah menyengat dan menyumbat hidung serta pernafasannya.
Ki Jayaraga segera memahami gerakan muridnya itu, melihat pakaian yang sudah compang – camping dan melihat beberapa luka di tubuh Glagah Putih, rasanya kekuatan anak muda itu telah berkurang sehingga harus dengan cepat Glagah Putih membuat keputusan dengan memperkecil akibat yang akan dideritanya bila terjadi benturan pada puncak ilmu nya, dilihatnya Glagah Putih telah melepas ajian yang dipelajari dari kakak sepupunya, aji Gondo Puspa sebuah ajian yang menyerang indra penciuman yang pada akhirnya bisa melumpuhkan syaraf yang ada di otak lawannya. 
Bau yang sangat wangi benar – benar sangat mengganggunya, diupayakanya menutup lubang indra pernafasannya tetapi selalu gagal. Tanpa menghiraukan keadaannya sekali lagi di julurkankannya tangannya, dikuras tenaga cadangannya sampai tuntas dan disalurkan pada puncak kemampuannya, segera terlihat bola – bola api meluncur dan menerkam Glagah Putih, saat bersamaan meluncurlah ajian Namaskara pada puncak kekuatannya disertaikan hawa dingin yang membeku, secepat tatit diudara membentur ajian Tapak Geni. Dorongan tenaga cadangan yang dilontarkan Glagah Putih sangatlah besar melebihi dorongan tenaga cadangan ajian Tapak Geni.
Terdengar umpatan kasar dan kotor keluar dari mulut Jalak Werdi, terasa bagai disengat petir dilangit, jantungnya berhenti berdetak, hangus menghitam dan tubuhnya telah terjatuh di tanah seperti pohon pisang yang tumbang ditebang parang, darah segar meleleh dari sela – sela bibirnya.
Sementara Glagah Putih terdorong beberapa langkah mundur, jantung seperti diremas oleh seribu jari, tetapi dia tetap berdiri tegak dengan kaki merenggang menancap kokoh ke bumi.
Ditariknya nafas dalam – dalam seolah ingin menghirup seluruh udara segar hutan Gumuk Kembar itu. Melihat lawannya yang berbaring diam, segeralah ia berpaling kepada gurunya dan Ki Gede seolah meminta pertimbangannya.
“Marilah kita mendekat Ki Gede” desis Ki Jayaraga, kemudian keduanya berjalan menuju kearah Glagah Putih tanpa meninggalkan kewaspadaannya.
Untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan ketahanan tubuhnya, tampak Glagah Putih mengambil butiran obat yang di selipkan disaku ikat pinggangnya dan segera ditelannya.
Dalam pada itu Ki Ranggapun telah memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperhatikan keadaan muridnya.
“Apakah Ki Bondan akan melihat keadaan Jalak Werdi ?” tanya Ki Rangga.
Ki Bondan tampak ragu – ragu sejenak, kemudian tanpa memandang Ki Rangga segera dilangkahkan kakinya ke arah tubuh Jalak Werdi, dengan berjongkok dirabanya titik pada leher muridnya dan telah dipastikannya Jalak Werdi telah menyusul Singa Patrap.
Orang tua itu segera berdiri dan menggeram marah di perhatikannya setiap wajah orang menoreh yang berada di tempat itu, kematian kedua muridnya telah menghanguskan jantungnya.
“Menyerahlah Ki Bondan, kau akan di perlakukan dengan baik, aku Ki Gede Menoreh akan menjamin keselamatanmu.”
“Persetan ! Kalian orang menoreh harus menerima hukumanku” geram orang dari Argopuro itu.
“Aku disini Ki Bondan, jangan kau usik mereka !” teriak Ki Rangga.
Tanpa berkata sepatah katapun tiba – tiba tubuh Ki Bondang Ketapang nampak membara, segera tubuhnya bagaikan terbang melesat menjangkau dan menyerang Ki Rangga. Udara panas yang membungkus badan Ki Bondan terasa membakar hutan Gumuk Kembar itu.
Menyadari akan bahaya setiap sentuhan tangan lawannya segera Ki Rangga mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, terasa perlahan menyebar panas, bedanya adalah tubuh Ki Rangga tampak tidak membara seperti tubuh lawannya.
Kembali keduanya terlibat pertempuran seru, kedua nya tidak menggunakan senjata apapun. Gerakan yang cepat dari lawannya segera dimbanginya dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mendekati sempurna.
Keduanya saling mendesak dan mendorong, berbeda dengan sebelumnya, Ki Bondan Ketapang tidak terlalu banyak bicara tetapi kaki tangannya bergerak sangat cepat, tubuhnya berputaran mengelilingi Ki Rangga dan sepasang tangannya seolah telah berubah menjadi penjadi puluhan pasang tangan.
“Ki Bondan ternyata mempunyai bekal yang cukup untuk menantang angger Sedayu” gumam Ki Gede, disampingnya telah berdiri Glagah Putih dan Ki Jayaraga, tampak keduanya mengangguk – anggukan kepalanya menyetujui pendapat Ki Gede.
Sementara itu bayangan diatas pohon itu tetap duduk bersila dan tak bergerak sedikitpun, kecepatan gerak lawan Ki Rangga itu ternyata telah membuatnya kagum.
Sejenak bayangan itu menarik nafas dalam – dalam. Dia akan mencoba membantu orang – orang dari Menoreh itu.
“Pangeran keluarlah, sebenarnya aku sudah mengetahui keberadaan pangeran sejak tadi” sebuah pesan lewat aji Pameling telah dikirimkannya.
“Orang Menoreh yang sedang bertempur itu juga sudah mengetahui dengan tepat dimana Pangeran berada” lanjutnya.
Beberapa puluh depa dari Ki gede Menoreh berdiri, seseorang juga nampak duduk bersila di atas batu yang berserakan di hutan itu. 
“Siapakah ki sanak ini yang telah memberiku pesan lewat aji pameling ini ?” jawab orang yang duduk di batu itu, yang sebenarnya adalah Pangeran Pringgoloyo.
“Pangeran tidak usah mengetahui siapa aku, tetapi percayalah aku berada di pihak orang orang Menoreh itu”
“Aku belum dapat mempercayaimu kisanak”
“Sebenarnyalah aku mengetahui dimana Pangeran berada saat ini, tetapi apakah Pangeran tahu dimana aku berada ?”
Pembicaraan lewat aji Pameling itu terus berlangsung.  Pangeran Pringgoloyo segera memusatkan nalar dan budinya mencoba mengetahui dimana tempat orang yang telah memberinya pesan itu. Beberapa lama terus di cobanya.
“Pangeran telah gagal” pesan itu kembali diterimanya.
“Dengarlah baik – baik Pangeran, aku akan menyentuhmu sebagai tanda aku tahu dimana Pangeran berada, bagaimana ?”
Dada Pangeran muda itu terasa berdebar – debar, gejolak darah mudanya telah nampak di permukaan, dengan mantab, pangeran itu berkata.:” Sentuhlah aku kisanak jika kisanak merasa mampu.”
Segera saja Pangeran itu mengetrapkan aji Panglimunan dan memutus getar yang mengalir keluar dari tubuhnya.
Sebuah pertunjukan kemampuan yang sulit dimengerti telah terjadi. Tidak ada getar panas, tidak ada gerakan – gerakan yang terlihat, tidak ada kata – kata, keduanya hanya merasakan kesunyian, dan tidak terlalu lama sesuatu telah terjadi. Kepala Pangeran Pringgalaya terasa berat seakan mau terjatuh memikirkan peristiwa yang dialaminya, tanpa terduga olehnya, sebuah sentuhan kecil mendorong dadanya dan Pangeran muda itu jatuh terpelanting dari batu yang didudukinya.
“Nah Pangeran, kau sudah merasakan sentuhanku, sekarang cobalah menyentuhku” pesan itu telah diterimanya kembali.
Pangeran Pringgoloyo mengerutkan keningnya, otaknya telah bekerja keras, lalu jawabnya dengan aji pameling.
“Terima kasih ki sanak, aku tidak akan mencobanya, sebenarnyalah aku tidak mengetahui dimana kisanak berada”
Terdengar suara tertawa perlahan dan pesan itu telah didengarnya sekali lagi” Ternyata Pangeran adalah seorang yang jujur dan berhati seluas samudra, sekarang keluarlah, Ki Jayaraga telah menunggumu, lupakan aku sebab aku masih menunggu orang lain Pangeran.”
Aji Pameling orang itu benar – benar sangat kuat sehingga terdengar sangat jelas baginya seolah seseorang sedang berbisik ditelinganya.
“Luar biasa, hanya Ki Rangga seorang yang mampu berbuat seperti itu” gumamnya dalam hati.
Pertama kali pikirannya menduga pada Ki Patih Mandaraka atau ayahandanya, karena menurutnya di Mataram hanya kedua orang itulah yang telah diakuinya memiliki ilmu seolah tanpa batas, tetapi setelah mengalami peristiwa yang baru saja terjadi Pangeran Pringgoloyo segera berubah pendapat.
“Nampaknya orang itu mempunyai kelebihan dari ayanhanda dan Ki Patih Mandaraka” gumamnya lirih seolah kepada dirinya sendiri. Tanpa membuang waktu Pangeran muda itu telah muncul dan mendekati Ki Gede Menoreh,
“Selamat malam Ki Gede, mohon maaf telah mengejutkan semuanya”
“Pangeran Pringgoloyo” desis Glagah Putih setelah melihat bayangan itu semakin jelas dan ditangan bayangan itu tampak sebuah tumbak pendek, kyai Pasir Sewukir.
Ki Gede dan Ki Jayaraga serta Glagah segera menggangguk hormat dari memberi salam.
“Sangat mengejutkan kami semua Pangeran, saat seperti ini Pangeran telah hadir di Gumuk Kembar ini.” berkata Ki Gede.
“Aku menyadarinya Ki Gede, seharusnya aku tidak menampakkan diri sesuai pesan Ki Patih Mandaraka tetapi dengan terpaksa aku keluar dari persembunyianku karena seseorang,” jelas Pangeran Pringgoloyo. Kening yang berkerut segera menghiasi wajah ketiga orang menoreh itu.
“Nanti aku akan bercerita, sekarang marilah kita menjadi saksi yang baik bagi pertempuran itu” kata Pangeran muda itu.
Wajah ketiga orang itu menegang, mereka lupa bahwa masih berlangsung pertempuran yang nggegirisi antara Ki Rangga dengan Ki Bondan Ketapang.
“Setan alas, kalian telah menjebakku” suara mengguntur kembali menggema di hutan Gumuk Kembar itu, memukul pohon pohon besar yang berserakan di hutan itu.
“Ki Rangga kau adalah orang paling licik yang pernah kutemui” Suara itu terus menggema.
Keluar dari libatan Ki Bondan Ketapang segera Ki Rangga melontarkan dirinya mundur beberapa langkah dan ternyata lawannya tidak memburunya, dan katanya” Selamat malam Pangeran, selamat datang di Gumuk Kembar ini”
“Selamat malam Ki Rangga, malam ini Ki Rangga terlihat sangat sibuk, aku datang atas perintah Ki Patih Mandaraka,” Jawab Pangeran Pringgoloyo.
Ki Bondan Ketapang terlihat sangat marah mendengar percakapan itu.
“Kesombongan kalian semua telah melampaui tingginya awan di langit” dengus Ki Bondan Ketapang. “Majulah kalian bersama – sama, supaya tugasku cepat selesai”
Terdengar Pangeran Pringgoloyo tertawa perlahan, kemudian katanya” Jangan takut ki sanak, kami tidak akan mengeroyokmu, kami bukan kucing betina yang takut melihat singa, lawanlah Ki Rangga sampai batas kemampuanmu, kami akan menjadi saksi yang baik”
Terdengar Ki Bondam menggeram, baginya sangat tidak mungkin dapat melawan semua orang yang berdiri disitu. 
“Aku harus mengalahkan Ki Rangga dahulu, melihat kematian Ki Rangga mereka akan segera kehilangan akal dan aku akan mudah untuk membinasakannya sisanya” gumamnya dalam hati.
“Aku akan melayanimu Ki Bondan, mereka akan tetap menjadi saksi yang baik” kata KiRangga.
Terdengar suara tertawa, orang dari Argopuro itu ingin meyakinkan dirinya, katanya ”Baiklah Ki Rangga, Jika kau lelaki jantan, buktikan ucapanmu dan jangan merengek minta bantuan, apapun yang terjadi denganmu.”
K Rangga tertawa tertahan.” Apakah kau sedang menguji siasatmu sendiri Ki Bondan ?”
“Segera lakukan apa yang ingin kau lakukan Ki Bondan” kata Ki Rangga kemudian.
Sesaat kemudian Ki Bondan telah menyerang Ki Rangga dengan dahyatnya. Ki Rangga telah siap melayaninya. Pertempuran cepatpun segera berlangsung kembali. Tampak orang Argopura itu telah merambah dan mempergunakan ilmu – ilmu simpanannya.
Satu gerakan memutar, kaki lawannya telah terayun deras menyapu kedua belah kakinya, segera tubuh Ki Rangga melenting melewati kepala lawannya, di julurkannya tangannya menghantam tengkuk Ki Bondan. Tak ingin tengkuknya retak, Ki Bondan segera memutar badannya dengan cepat kaki kanannya menyerang ke arah wajah Ki Rangga. Dengan mundur dua langkah Ki Rangga telah terbebas dari serangan itu.
Sesaat kemudian Ki Ranggalah yang telah melibat Ki Bondan Ketapang dengan sengitnya, dengan gerakan yang sangat cepat serta rumit terlihat tangan Ki Rangga akan menyentuh dada lawannya tetapi tiba – tiba tubuh lawannya telah memecah menjadi dua, tangan Ki Rangga hanya menerpa tempat yang kosong.
Terdengar suara tertawa perlahan, segera terlihat dua orang serupa dengan tubuh yang membara berdiri dengan kaki renggang siap menyerang Ki Rangga.
Wajah Ki Rangga terlihat menegang sejenak, pertunjukan ilmu Ganda Raga telah dipertunjukan oleh lawannya, segera di pertajamnya mata batinnya, dengan senyum di dalam hatinya segera dikenalinya bahwa Ki Bondan yang sebenarnya berada di sebelah kanan.
Sekejap mata segera Ki Bondan dengan kembarannya itu menyerang Ki Rangga dengan dahsyatnya, udara panas benar – benar segera mengurungnya, satu pukulan telah menyentuh pundak Ki Rangga sentuhan yang mengetarkan ilmu kebalnya, belum sempat memperbaiki keaadaannya tiba – tiba dengan telapak tangan terbuka kembaran lainnya telah menyentuh dadanya dengan sepenuh kekuatan, tampak Ki rangga terdorong tiga langkah kebelakang, terasa pukulan itu telah menembus ilmu kebalnya, meskipun tidak terlalu kuat.
Dua kembaran itu tak berhenti dan memberi Ki Rangga kesempatan, saling berloncatan menyilang keduanya silih berganti telah menyerang dan mendesak lawannya. Ki rangga segera meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya, seperti mengambang di udara dia melayani semua serangan lawan – lawannya.
Ki Gede tanpa sadar mengusap matanya beberapa kali, Pangeran Pringgoloyopun melihat kemampuan meringakan tubuh Ki Rangga dengan perasaan kagum,” Luar biasa” desisnya. Ia melihat tubuh Ki Rangga menjejak tanah hanya beberapa kali saja tetapi nampak tubuh Ki Rangga dapat bergeser di udara hanya dengan bantuan tubuh lawannya saja.
Tanah Gumuk Kembar terlihat bagai dibajak, rumput – rumput kering telah berterbangan kian kemari, terkadang terdengar ranting dan dahan patah berderak terkena pukulan yang tidak menyentuh lawannya. Sinar bulan yang cukup terang membuat perang tanding itu terlihat jelas, cepat dan membingungkan.
Wajah Glagah Putih terlihat tegang,” Kenapa kakang Sedayu tidak mempergunakan ilmu yang serupa dengan lawannya itu, bahkan bisa memecah menjadi tiga ?” Dan pemikirannya itu telah disampaikan kepada gurunya.
“Kita tunggu dan melihat apa yang terjadi berikutnya Glagah Putih, mungkin angger Sedayu belum merasa perlu menggunakannya ?” kata Ki Jayaraga.
Pangeran Pringgoloyo tampak mengerutkan dahinya, sementara Ki Gede berkata,” Dalam perkembangannya, ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang dimiliki angger Sedayu benar – benar sangat nggegirisi,”
“Benar Ki Gede, aku telah menyaksikannya sendiri, terlalu tinggi bila diterapkannya saat ini” desis Ki Jayaraga.
Percikan api telah menebar kemana –mana dan telah membakar pakaian Ki Rangga. Tdak seperti pakaian Glagah Putih, kini terlihat jelas bahwa pakaian Ki Rangga benar – benar telah terbakar.
Kekuatan apinya benar – benar luar biasa, telah membakar seluruh baju yang dikenakannya, merasa terganggu oleh serpihan kain yang tersisa maka Ki Rangga pun telah melepas bajunya sehingga terlihat Ki Rangga telah bertelanjang dada.
Pangeran muda itu tersenyum dan menggeleng – gelengkan kepalanya, sedangkan ketiga orang menoreh lainnya hanya menahan nafasnya masing – masing, belum pernah mereka melihat Ki Rangga bertempur dengan dada telanjang. Perasaan lain juga menghinggapi dada sonapati pasukan khusus mataram itu.
Terlihat dua kembaran itu bagai terbang bersamaan masing – masing dengan tangan kanannya telah menyerang dada Ki Rangga, tetapi kali ini Senopati pasukan khusus itu tidak mengelak, dengan keyakinan yang mantap dibenturnya kedua tangan kanan lawan – lawannya itu dengan kedua belah tangannya, akibatnya sungguh dahyat, percikan bunga api telah menerangi malam di Gumuk Kembar, Ki Rangga tergetar dan bergeser surut satu langkah kebelakang, perassan sakit telah menyup didadanya, sedangkan lawannya terdorong mundur hampir enam langkah, segera terdengar keluhan tertahan keluar dari mulut dua kembaran Ki Bondan Ketapang, tangan mereka terasa patah,
Melihat keadaan itu segera Ki Ranggapun mengungkap ilmu yang lainnya, satu gerakan sangat sederhana, sangat berbeda dengan gerakan tangan Glagah Putih, tangan kanannya yang semula terlihat mengepal telah dibukanya dan ditempelkan ke dada kanannya. Ajian Gondo Puspa.
Dua Kembaran itu belum menyadari akibat gerakan itu, dalam sekejab telah tercium bau wewangian, tiba – tiba dua kembaran itu merasa pernafasannya telah tersumbat, dadanya terasa sesak dan bau wangi yang sangat pekat menyengat segera mengaliri syaraf otaknya.
Mereka yang melihat pertempuran itu memang mencium bau harum tetapi hanya sekilas – sekilas saja, tetapi bagi lawan Ki Rangga bau itu merupakan awal dari sebuah bencana.
Tubuh kedua kembaran itu bergetar hebat seperti orang menggigil, pemusatan ilmunya segera terganggu, dengan tergesa gesa segera ia menutup tujuh lubang tubuhnya, sementara waktu Ki Bondan berhasil mengatasi ilmu Ki Rangga itu, tetapi kembarannya segera lenyap tertiup angin malam, terlihat seorang Bondan Ketapang berdiri sendiri seperti semula, rupaya orang Argopuro itu tak sanggup mempertahankan ilmu Ganda Raga nya.
Belum sempat mengatasi goncangan pada ilmunya dan keseimbangan nalarnya, Ki Bondan Ketapang telah melihat Ki Rangga telah meluncur menyerangnya dengan cepat.
Kedua tangan Ki Rangga tampak memutih seakan di balut oleh serat kapas nan dingin, tangan itu bergerak bersamaan sangat cepat menggempur pertahanannya, akibatnya sebuah pukulan menerpa dada dan sekaligus mengoyak ilmu kebalnya,dan merusak tulang belulangnya.
Ki Bondan telah terjengkang beberapa puluh langkah kebelakang dan tubuhnya berguling – guling, dada terasa pecah di hantam bongkahan batu es sebesar kerbau, darah telah mengalir pelan membasahi bibirnya.
Hanya karena ketahanan tubuhnya yang sangat luar biasa serta pengetrapan ilmu kebal dalam tataran tertinggi sajalah maka nasib Ki Bondan Ketapang berbeda dengan nasib Singa Patrap.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam – dalam ketika melihat lawan Ki Rangga itu telah berdiri lagi. Glagah Putih segera bergeser maju untuk meyakinkan penglihatannya. Tampak Ki Gede dan Pangeran Pringgoloyo menahan nafasnya.
Seperti mayat yang bangkit dari kuburnya Ki Bondan Ketapang telah berjalan gontai ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Semua wajah terlihat tegang menunggu apa yang akan di perbuat oleh Ki Bondan Ketapang.
Sementara itu Ki Rangga tengah menatap lawannya dengan tegang. Seluruh bagian dalam tubuh nya juga merakan kesakitan bahkan tulang dadanya terasa retak, tetapi ia masih berdiri tegak kokoh tak tergoyahkan.
“Menyerahlah ki sanak, tidak ada gunanya membunuh diri” kata Ki Rangga perlahan.
Mata Ki Bondan menatap Ki Rangga dengan tajamnya,” aku akan membunuhmu Ki Rangga yang malang” dengusnya.
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, dia sudah kehabisan akal untuk membujuk lawannya supaya menyerah.
“Apaboleh buat, akupun tidak mau menjadi korban ilmu pamungkas orang Argopuro ini” katanya dalam hati, dengan memohon kemurahan dan pertolongan Sang Pencipta maka segera di persiapkan dirinya sebaik – baiknya.
“Biarlah raganya tetap utuh, aku tidak harus membunuhnya,aku masih mempunyai pilihan “  gumam Ki Rangga dalam hatinya.
Dengan tegang di pandanginya wajah lawannya. Orang Argopuro itu menganggakat kedua belah tangannya setinggi bahunya dengan telapak tahan terbuka menghadap Ki Rangga.
Tak lama terlihat jelas, tangan itu membara dan melontarkan lidah api menjulur dan bergolak serta menjilat - jilat, pelan tetapi pasti akan segera membakar tubuh Ki Rangga, setapak demi setapak Ki Bondan maju mendekati lawannya. Gelapnya malam seakan menambah kengerian melihat jilatan api itu, merah kebiruan membara.
Menghadapi serangan lawannya itu Ki Rangga segera mengungkap tirai pertahanannya, terlihat kabut tipis membentang satu depa di depannya. Segeralah lidah api itu menjilat kabut tipis itu semakin lama lidah api itu semakin masuk dalam gumpalan kabut tipis itu, terdengar bunyi desis yang berkepanjangan, terlihat kabut itu sedikit bergejolak.
Ki Bondang Ketapang terus merangsek maju dan berusaha memecah gumpalan kabut itu, di kerahkannya seluruh tenaga cadangannya, Api itu terus bergolak hebat dalam bekapan kabut dingin itu, suara desis semakin kuat terdengar.
Ki Rangga melihat lawannya sudah terlalu mendekatinya, tiba – tiba Ki Rangga meloncat mundur beberapa langkah.
Di persiapkannya ajian kabutnya didukung dengan setengah kekuatan tenaga cadangannya, segeralah ia meloncat bagaiakan terbang laksana burung rajawali diangkasa, Ki Rangga mengapung diudara dan segera melesat bagai anak panah meluncur dengan deras ke arah lawannya, dengan satu gerakan dahsyat di sambarnya ke dua belah telapak tangan yang terbuka itu dengan sebuah hantaman.
Gumpalan api itupun telah terkoyak dahsyat dan pecah berhamburan, terdengar teriakan kesakitan memecah kesunyian malam, tubuh Ki Bondan seakan terpental dan terdorong jauh kebelakang, tangannya terkulai patah, tubuh itu terlempar masuk ke dalam kegelapan hutan, terdengar suara gemeresak sesaat setelah itu sunyi kembali.
Suasana di Gumuk kembar itu sangat hening, semua berdiri mematung melihat kejadian itu. Semua orang Menoreh itu tampak hanya menarik nafas panjang tanpa bicara apapun, sementara Pangeran Pringgoloyo dengan kening berkerut melihat kearah dimana tubuh lawan Ki Rangga tadi terlempar  
Di tengah tanah kosong itu dalam keheningan yang mencengkam, Ki Rangga tetap berdiri tegak menatap ke arah pohon mahoni beberapa puluh depa di depannya
“Puji wasisa bethoro agung” terdengar suara perlahan. Dari balik pohon mahoni yang besar itu tampak seorang yang sudah tua berpakaian serba putih berjalan menuju ke tempat Ki Rangga berdiri,
Pangeran Pringgoloyo dengan wajah tegang segera menggerakkan tumbaknya merunduk, sementara itu Ki Gede, Ki Jayaraga dan Glagah putih telah menyiapkan diri menghadapi apapun yang terjadi.
Ki Rangga terlihat menahan nafas melihat ujud orang itu. Seorang yang tua tetapi nampak badannya tetap kokoh dan mengenakan pakaian yang tidak selayaknya.
“Tentu seorang pendeta atau pertapa” pikirnya
“Terimalah salamku orang muda, aku datang dari jauh mencari muridku, tetapi aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan” kata – kata itu meluncur dari mulut orang yang baru datang itu.
“Selamat datang Ki sanak, kami belum mengenalmu, dalam keadaan seperti ini, mohon dimaafkan bila terlihat sikap kami yang kurang sopan dalam menyambutmu” kata Ki Rangga membalas perkataan orang itu.
“Ketahuilah orang muda, Bondan Ketapang adalah muridku dan orang sering memanggilku Pertapa Kumitir sebab aku memang tinggal di alas Kumitir”
“Sebenarnyalah aku datang sebelum perang tanding ini berlangsung, aku telah menyaksikan perang tanding tanpa alasan itu dari awal sampai akhir dan aku tidak mencampurinya, sebab aku melihat sifat jantan dari sorot matamu orang muda,” Orang itu berhenti sejenak, sementara Ki Rangga tetap berdiam diri menunggu orang itu meneruskan kata – katanya.
“Orang muda dalam jiwamu ada rasa welas asih yang begitu besar, terbukti kau tidak menghancurkan tubuh lawanmu apalagi membunuhnya, aku mengagumimu dan dari wajahmu terpancar jiwa wisnu.” Orang itu berhenti berbicara.
“Terima kasih, Kyai sudah memujiku, tetapi sejujurnya aku tidak mengerti maksud Kyai mengatakan itu semua” berkata Ki Rangga menjelaskan.
 “Sudilah kiranya engkau orang muda menjadi muridku, siapakah namamu orang muda ?” kata Pertapa Kumitir itu.
“Agung Sedayu Kyai” jawabnya singkat.
Pertapa itu tersenyum, lalu katanya” atas kemurahanmu Bondan Ketapang masih hidup, dia jatuh di pangkuanku.”
Terlihat keraguan tergores diwajah pertapa tua itu, hanya sesaat dan katanya,” Aku seorang Syiwa tentu sangatlah pantas aku mempunyai murid sepertimu.”
“Hem...” Ki Rangga tampak berdesah, persoalan apalagi yang harus kuhadapi ini ? "
“Ki Sanak yang aku hormati, tidaklah semudah itu untuk menjadi muridmu, aku sudah mempunyai kehidupan sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan, aku sangat bersyukur Kyai”
“Apakah kau tidak ingin melihat kehidupan Dewata yang Agung ?”
Ki Rangga terdiam, Pangeran Pringgoloyo seakan sudah tak sabar, Ki Jayaraga dan Ki Gedepun tampak kebingungan menghadapi sikap orang yang baru datang itu, apalagi Glagah Putih mondar mandir seakan kakinya terasa panas seolah telah menginjak bara.
Bulan telah bergeser dan sisa malam tidak akan lama lagi. Sebuah bayangan berkelebat cepat, kakinya menjejak pada pepohonan, tubuhnya tak berbobot, dengan sekali hentak bagaikan terbang bayangan itu telah mendarat disisi Ki Rangga Agung Sedayu.
Seseorang dengan jubah berwarna kehitaman dengan motif lurik dan mengenakan sebuah topeng kayu serta ikat kepala dengan laweran yang sedikit agak panjang.
Setelah memberi salam, terdengar katanya,” aku persilahkan kau menepi angger Sedayu, bergabunglah dengan Pangeran Pringgoloyo dan saudara – saudaramu dari Menoreh, aku akan mengambil alih persoalan ini.”
Mulut Ki Rangga bagaikan terbungkam, mendengar perkataan itu, kebingungan telah mencengkam jantungnya, kedatangan orang berjubah putih sudah mengejutkannya sekarang datang lagi orang berjubah hitam dengan topeng yang menutupi wajahnya bahkan orang yang terakhir datang itu telah memintanya untuk menepi.
Sejenak ia hanyut dalam keraguan dan kebimbangan, bagaimana kelanjutannya apabila ia menepi dan menonton dari kejahuan sedangkan ternyata kedua orang yang baru datang itu berselisih pendapat, apabila terjadi sesatu terhadap orang yang memakai topeng itu, apakah harus dibiarkan saja, hati kecilnya yang paling dalam ternyata telah berpihak kepada orang bertopeng itu.
Sebagai seorang Senopati maka jiwa keprajuritannya pun segera muncul kepermukaan, katanya,:” Kisanak berdua, kehadiran pada saat seperti ini sungguh suatu kejadian yang aneh dan menurut nalarku sulit untuk menerima bahwa sebenarnya kisanak berdua telah datang untuk memusuhi kami.”
“Kebaikan dan keburukan sifat kisanak berdua belumlah kami rasakan, tetapi kami tetap memegang teguh keyakinan atas kebenaran mutlak yang tidak bisa kisanak ambil atau kisanak paksakan kepada kami, kami akan mempertahankan jiwa kami, keutuhan Tanah Perdikan Menoreh dan kesatuan dari pada Mataram.”
Ki Gede Monoreh yang sedari tadi diam mematung, setelah mendengarkan perkataan Ki Rangga segeralah tergugah hatinya, katanya,”  Kami sudah tua kisanak, meskipun kemampuanku tidak sekuku ireng di bandingkan dengan kemampuan ki sanak berdua, tetapi kami akan tetap mempertahankan jiwa kami dan menjunjung tinggi urip bebrayan dengan segala paugerannya.”
“Hem....” orang bertopeng itu mendesah.
“Aku tidak memusuhi kalian semuanya, termasuk kepada kisanak yang baru datang ini, aku hanya meminta angger Agung Sedayu supaya bersedia menjadi muridku, itu saja. Sebagai seorang Syiwa aku ingin berbuat kebaikan di jalan yang telah aku yakini kebenarannya” berkata Pertapa Kumitir itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, Pangeran Pringgoloyopun maju kedepan, sambil berkata” Mohon maaf ki sanak berdua, meskipun umurku masih muda tetapi kedatanganku kemari adalah perintah dari Ki Patih Mandaraka Mataram, sebaiknya tidak usah terlalu berbelit dan silang pendapat, aku persilahkan ki sanak berdua pergi ke Mataram dan menghadap pada Ki Patih, atau kepada Panembahan Hanyakrawati sekalipun”
Terdengar suara tertawa dari balik topeng itu, katanya” Aku berkeberatan untuk pergi ke Mataram saat – saat seperti ini anak muda, aku akan tinggal di mana saja tanpa harus ada keterikatan, dan ketahuilah kalian semua orang menoreh, bahwa kedatanganku kemari hanyalah karena aku mengetahui bahwa ada seorang pertapa sakti dari timur telah datang kemari dan melihat perang tanding ini, dan kepadamu Pangeran, apakah permainan tadi belum cukup memberimu bukti.”
Kembali terdengar suara tertawa orang bertopeng itu.
Orang bertopeng itu telah menghadap ke arah Pertapa Kumitir,
katanya,” Niatan yang sebenarnya bagus Rahardian Kuda Mandira, tetapi meminta dan memaksa seseorang menjadi muridmu adalah suatu kesalahan, apalagi orang itu sudah mempunyai tanggung jawab serta keyakinan terhadap Penciptanya.”
Alangkah terkejutnya Pertapa Kumitir itu mendengar perkataan orang bertopeng itu.
“Ki sanak orang bertopeng, tiada kemarahan yang membelit hatiku, tetapi kau sebut nama Rahardian Kuda Mandira, apakah kau yakin akan ucapanmu dan kemampuanmu” ujar Pertapa Kumitir.
Ki Jayaraga mendengarkan semua semua pembicaraan itu dengan seksama, sebagai seorang pengembara segera dingat – ingatnya apakah dia mengetahui atau pernah bertemu dengan keduanya, tetapi ternyata ia tidak menemukan apa – apa.
Tidak segera terdengar jawaban, nampak orang bertopeng berjalan beberapa langkah mendekati Ki Rangga, dan segera di balikkan badannya dengan sikap tenang dia berkata,”  Aku bukan anak kecil yang bicara sambil menangis Rahardian, kembalilah ke timur dan hiduplah damai dengan lingkungan barumu, bukankah kau dari jalur Rahardian Kuda Kertapati Majapahit terakhir ?”
Tubuh Pertapa Kumitir itu seolah basah tersiram air hujan yang tercurah dari langit, di Menoreh ternyata dia harus bertemu dengan seseorang yang mengerti asal – usulnya.
“Siapakah kau sebenarnya ki sanak ?” tanya Pertapa Kumitir itu.
“Apakah setelah kau mengetahui siapa aku, kau akan mengurungkan niatmu Rahardian ?” Orang bertopeng itu balik bertanya.
Suasana menjadi tegang, nampak Pertapa Kumitir itu menarik nafas dalam – dalam, tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Keraguan yang sangat telah merayap didadanya.
Orang bertopeng itu tampak sengaja membiarkan orang berjubah putih itu untuk berpikir.
Sementara Ki Rangga mencoba menduga – duga gambaran wajah di balik topeng itu.
“Aku harus menemukannya secepatnya, sebelum aku membuat keputusan” desisnya dalam hati, segera dikerahkannya ingatannya menjelajah sepanjang perjalanan hidupnya, dicobanya mengenali getaran – getaran tubuh orang bertopeng itu, bahkan segera ditingkatkannya ilmu sapta pranggaitanya, sampai pada akhirnya keringat dingin telah mengembun di keningnya, tetapi dia belum menemukan apa – apa.
Nampak kemudian Pertapa Kumitir itu duduk bersila ditanah berdebu dan kotor itu, ditatanya pakaiannya itu dan segera dipejamkan matanya sebentar saja dan terdengar katanya,” Kisanak bertopeng, tolonglah aku mengangkat tubuhku yang bersila ini, tubuh yang tidak seberapa kuat ini tetapi jangan kau rusak tubuh ini. Kesadaranku atas Syiwa telah menuntunku hingga kini meskipun aku terkadang tanpa sadar juga melanggarnya, apakah kau bersedia ki sanak yang bertopeng ?”
“Hem...” terdengar suara mendengus keluar dari balik topeng kayu itu.
“Rupanya kebiasaan dari kakek buyutmu telah menurun padamu”
Ki Rangga benar – benar membeku, dia tidak tahu apa yang harus di lakukannya, kecemasan telah mengelayut di benaknya, bagaimana seandainya orang bertopeng itu tak sanggup memenuhi permintaan orang berpakaian putih itu ?, Apakah yang akan dilakukan oleh Pertama Kumitir itu terhadap orang bertopeng itu ? Apakah dia akan diam saja bila terjadi perselisihan diantara keduanya?.
Bagi Ki Rangga persoalannya dengan Bondan Ketapang jauh terasa lebih mudah, dengan jelas dia dapat menghadapinya meskipun harus menyabung nyawa, tetapi sekarang dia harus menghadapi dua orang yang tidak di kenalinya.
“Ki sanak, biarlah aku mencobanya menuruti permintaanmu, mungkin aku akan gagal tetapi aku hanya ingin tidak ada perselisihan diantara kita” terdengar perkataan Ki Rangga kepada Pertama Kumitir.
“Hem ... Sedayu, apakah kau meragukan kemampuanku ? kata orang bertopeng itu.
“Biarlah aku saja yang menuruti permintaan Pertapa itu, karena dia telah meminta padaku, bukan kepadamu,”
“Istirahatlah dan belajarlah melihat sisi lain dari kehidupan ini”
“Jangan terlalu lama Ki sanak” terdengar kata Pertapa Kumitir yang tidak lain adalah Rahardian Kuda Mandira itu perlahan.
Mendengar perkataan Rahardian Kuda Mandira itu, segera orang bertopeng itu duduk bersila beberapa langkah di hadapan pertapa itu.
Di kibaskannya jubahnya kebelakang. Ada perasaan lain setelah dirinya memakai jubah itu, segera teringat olehnya, seorang tua di pegunungan Telemaya, ia tersenyum dalam hatinya, sedikit kegelian menggelitik hatinya saat membayangkan orang tua itu, seorang yang kemudian dipanggilnya sebagai Pasingsingan Sepuh. Sesaat kemudian di pandanginya Ki Rangga yang kebingungan.
 “Mulailah ki sanak, tetapi aku sangat memohon padamu jangan kau rusak wadagku” sekali lagi pertapa itu mengingatkan orang bertopeng itu.
Gumuk kembar sekali lagi menjadi saksi bisu, mereka berlima menyaksikannya dengan dada berdebar – debar, bagi Pangeran Pringgoloyo peristiwa itu telah menambah perbendaharaan pengetahuannya, meskipun usianya terhitung muda tetapi kemauannya untuk belajar sangatlah tinggi maka segera diperhatikannya pertempuran dengan cara mereka.
Ki Rangga dengan tekun telah memperhatikan kesemuanya itu, tidak satu kejabpun peristiwa itu luput dari pengamatannya.
Ki gede dan Ki Jayaraga terlihat menahan nafas sejenak dan Glagah Putihpun tak kalah tegangnya melihat semuanya itu.
Keheningan yang lengang telah datang. Rembulan bergerak pelan tertutup awan, hutan Gumuk Kembar itu betul betul terdiam dan telah membeku, Glagah Putih tanpa sadar mengedarkan pandangannya berkeliling tiada terdengar suara apapun, sementara dalam kediamannya Ki Rangga yang masih bertenjang dada itu telah terduduk memanjatkan doa mengharap kehadirat Illahi Robbi,
“Semua berjalan sesuai kehendakNya, tiada manusia yang kuasa merubahnya.”
Dalam kediaman itu tampak samar samar seperti asap tipis berwarna keputihan seolah telah keluar dari cakra mahkota kepala Pertapa Kumitir.
Keduanya duduk bersila dangan kedua belah tangan bersendekap di depan dada, keduanya telah memejamkan mata, menutup tujuh lubang tubuhnya, kelanggengan akan Dzat Pencipta adalah tujuannya.
Tak selang beberapa lama jubah Pertapa Kumitir itu telah bergerak seperti ditiup angin kecil dan sekejap kemudian tampak tidak bergerak sama sekali.
Sebuah pertempuran yang sangat sulit untuk di mengerti, keduanya tampak tidak menggerakkan tubuhnya sama sekali, mata keduanya terpejam, nafas merekapun telah dengan sengaja dihentikan.
Mata Ki Rangga segera menatap tajam tubuh Pertapa itu.
Bagaikan kena sihir, orang – orang Menoreh dan Mataram itu segera membelalakkan matanya takkala melihat tubuh Pertapa itu meninggalkan tanah yang telah didudukinya, dengan posisi tetap bersila ternyata Pertapa itu telah mengambang diudara dan bergerak melayang perlahan, meskipun pelan tetapi telah bergeser, mengapung tidak menyentuh tanah, bergerak beberapa puluh langkah dan akhirnya telah berpindah tempat.
Pertapa itu duduk bersila di bawah pohon Mahoni.
Pangeran Pringgoloyo mengusap – usap matanya dan segera ia berdiri meyakinkan penglihatannya, ternyata benar adanya, Pertapa Kumitir itu tampak masih memejamkan matanya, kabut tipis kemerahan telah lepas dari ubun - ubunnya dan dia telah duduk di bawah pohon mahoni yang sama seperti saat dia datang.
Sesaat kemudian Pertapa tua itu membuka matanya ditariknya nafas dalam – dalam, segera mengatur pernafasannya, sesaat kemudian telah berdiri dan berjalan menuju ke tempat orang bertopeng yang masih duduk bersila itu.
“Aku mengaku kalah ki sanak, engkau telah memenangkannya selanjutnya aku juga mohon maaf kepadamu” terdengar ucapan pertapa itu sembari duduk dengan kepala tertunduk.
“Tidak ada kemenangan itu Rahardian, yang ada adalah petunjuk tentang kehidupan, kemenangan dan kekalahan itu hanya bahasa kita sebagai manusia, hakekatnya adalah kesadaran kita sendiri akan perbuatan kita dan aku sudah menuruti apa yang menjadi kemauanmu” berkata orang bertopeng itu sembari membuka matanya.
“Ki sanak bertopeng, apa yang harus kulakukan dengan tubuhku yang tua renta ini ?”
“Pulanglah Rahardian, kemanapun kau akan pulang, tetapi ketahuilah bahwa sebaik – baiknya engkau pulang yang terbaik adalah pulang kepada Dzat Pencipta Alam Illahi Robbi, ini hanya nasehat dan saranku”
Pertapa itu tampak mengganggukkan kepalanya.
“Rawatlah Bondan muridmu itu sebaik – baiknya, meskipun kesehatan muridmu itu pada akhirnya tidaklah sempurna, percayalah dia akan selalu mengikutimu dan akan selalu membantumu disaat-saat kau memerlukannya, berangkatlah !“
“Sebelum aku pergi, perkenankanlah aku mengenal kisanak”
 “Hem .....” Orang bertopeng itu menarik nafas dalam – dalam.
Segera tangannya mengambil sesuatu dari balik jubah luriknya dan menyerahkan kepada Pertapa tua itu sambil berucap,
“Terimalah benda ini, jika kau telah berniat, pergilah kepada orang yang bisa membaca dan mengerti makna dari bacaan yang tertulis di benda itu, aku tidak akan menjelaskannya sekarang,”
Seakan ada yang menggajal didadanya, pertapa itu seolah akan bertanya lagi, tetapi orang bertopeng itu segera berkata,” Sudahlah Rahardian, berangkatlah. Ingatlah Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram adalah sama, kita sangat memerlukannya dan harus selalu menjaganya.“
Setelah mohon diri kepada orang bertopeng , maka pertapa itupun mohon diri kepada semua orang yang ada di Gumuk Kembar itu, setelah itu pergi menuju tempat tubuh muridnya, segera didukungnya dan tak lama tampak bayangan putih itu telah berkelebat cepat ke arah timur.
Seiring dengan perginya Pertapa Kumitir itu, sesuatu telah mengusik lembut dada orang bertopeng itu.
Tanpa disadarinya keringat dingin telah mengembun dikeningnya, kegelisahan telah merayapi jantungnya.
Orang bertopeng itu masih menatap gelapnya malam seakan tak percaya bahwa bulan telah bergeser dan sebentar lagi dia akan menikmati cerahnya pagi.
Seakan di hembus angin semilir, ketika terdengar Ki Rangga menyadarkannya” Ki sanak semua telah selesai, apa yang kisanak inginkan dariku, aku tidak akan ingkar, aku akan selalu patuh.”
Pangeran Pringgoloyo berdiri mematung, melihat Ki Rangga yang perkasa itu dengan santunnya berkata kepada orang bertopeng yang sangat aneh itu. Ki Jayaragapun bersama Glagah Putih dan Ki Gede telah berdiri di belakang Ki Rangga.
“Ki Sanak aku tidak akan memaksamu apalagi melawanmu, apapun alasannya” kata Ki Rangga perlahan.
Orang bertopeng itu tidak berpaling sedikitpun, tetap saja dipandanginya pepohonan yang tumbuh dengan lebatnya itu.
Pangeran Pringgoloyo semakin heran melihat Ki Rangga justru duduk bersila di belakang orang bertopeng itu.
 “Apakah yang sebenarnya telah terjadi ? Apakah kesaktian Ki Rangga tidak akan bisa mengatasi orang itu ?
Seandainya di gabungkan semua orang termasuk dirinya apakah belum cukup ?
Kepadanya Ki Patih Mandaraka sering berceritera tentang kelebihan orang – orang disekitar Ki Rangga, apakah benar tidak cukup untuk menandingi bahkan menangkap orang itu ?”
Dadanya terasa sesak, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, Pangeran muda itu sangat mengagumi dan menghormati Ki Rangga sehingga dia hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukan Ki Rangga.
Glagah Putih merasa benar – benar akan menyerah, jika kakak sepupunya saja tak dapat melawan orang itu, apalagi dia, sedangkan menurutnya bila Pangeran Pringgoloyo dan Ki Jayaraga serta Ki Gede bersama – sama bergabungpun masih di bawah tingkat ilmu kakak sepupunya.
Perasan putus asa telah membawa langkahnya menuju sebuah batu besar dan segera direbahkannya badannya yang memang terasa letih, rupanya kebiasaannya Raden Rangga telah menjangkitinya.
“Apakah betul Sedayu kau akan menyerah sebelum kau buktikan kebenarannya ?” tanya orang bertopeng itu, suaranya memecah keheningan malam.
Dengan menarik nafas dalam – dalam Agung Sedayu telah menjawabnya,” Benar ki sanak, aku menyerah, tetapi aku sudah meyakini kebenarannya, keputusanku tidak akan berubah ?
“Bagaimana nasib orang – orang yang mengikutimu, bukankah mereka sangat bergantung kepadamu ?” tanya orang bertopeng itu.
“Mereka semua menyerah kisanak, tidak akan ada yang mampu melawanmu Ki sanak, bahkan Ki Patih serta Panembahan Hanyakrawatimu tidak akan mampu menahanmu.”
Terdengar orang itu berdehem pelan.
“Ki sanak, tolonglah menoleh ke arah batu itu, lihatlah, apakah yang akan kisanak perbuat terhadap teman Raden Rangga itu” kata Agung Sedayu sambil menunjuk batu dimana terlihat Glagah Putih telah tertidur pulas diatasnya.
Tanpa disadarinya orang bertopeng itu telah menoleh ke arah batu yang ditunjukan oleh Ki Rangga itu, terdengar suara tertawa tertahan.
“Baiklah, aku akan mengampuni kalian semuanya” sembari berkata orang bertopeng itu telah menggerakkan tangannya merenggut topeng kayu yang melekat di wajahnya.
Bulan semakin tenggelam ditelan awan, bersamaan terlihat kilat telah menyambar menerangi langit Gumuk Kembar itu, menerangi sesaat seraut wajah teduh nan lembut, penuh dengan kesabaran namun memendam satu jiwa kewibawaan yang amat besar, wajah seseorang yang telah lama menghilang dan kini telah kembali, tak kuasa melihat wajah itu, segera Agung Sedayu bersujud dan mencium kaki orang itu.
“Subhanalloh” gumam Ki Jayaraga dan Ki Gede bersamaan dan segera berhambur mendekat, bahkan Ki Gede seperti kehilangan akalnya, dilemparkannya tumbak pusakanya dan memeluk tubuh orang itu, tak terasa lelaki tinggi besar itu telah meneteskan air mata keharuan, kerinduannya kepada orang itu seolah tak tertahankan sementara ki Jayaraga telah menjabat tangan orang itu sembari mengucap
“Selamat datang kembali Kyai,”
Dan katanya kepada Pangeran yang kebingungan itu,” Pangeran, inilah guru Ki Rangga Agung Sedayu yang bernama Kyai Gringsing itu”
Seakan sianar matahari pagi telah menerpa wajahnya, mendengar penjelasan itu, segera Pangeran muda itu menunduh dan mengambil tangan orang itu dan menciumnya seraya berkata,” Kyai terimalah jiwa dan hormatku ini dan mohon ampun atas semua kebodohanku.”
“Pangeran muda, aku telah menerimamu, maafkan aku telah mengganggumu” kata Kyai Gringsing perlahan.
Mereka telah duduk melingkar di tanah kecuali Glagah Putih yang masih tertidur di batu padas itu.
Tak bisa menahan rasa gelinya maka segera Kyai Gringsing mengambil batu kecil dan disentilnya mengarah pada kaki Glagah Putih.
Akibatnya, Glagah Putihpun terlonjak berdiri dan bersiap menerima serangan dari manapun, bahkan katanya,” Raden aku sudah siap”
Terlihat Agung Sedayu tertawa melihat tingkah laku adik sepupunya itu,
“Kemarilah lihatlah siapa yang datang.”
Sembari mengusap matanya, Glagah Putih berjalan ke arah mereka, tiba – tiba dia telah berhenti dan menatap seseorang dengan mulut ternganga dan tidak keluar kata sepatahpun.
“Kemarilah Glagah Putih, aku bukan hantu, aku masih sama seperti di Jati Anom dulu, kakek tua yang selalu marah padamu” terdengar suara Kyai Gringsing sembari tertawa.
Tak bisa menguasai perasaannya, segeralah anak Ki Widura itu berlari mendapatkan orang tua itu, tak sepatah katapun terucap, hanya terdengar senggukan tangis di pangkuan Kyai Gringsing. **
Mendung menebar rata diatas langit Menoreh, mengarak dan bergerak keselatan menyimpan menyimpan takdir dan cerita Illahi, cerita panjang tentang peristiwa Gumuk Kembar telah menyebar kemana – mana.
Ditepian Sungai Progo dua orang tampak duduk termenung, aliran sungai itu seolah tak memberi jawaban atas rencana mereka.
“Apa pendapatmu Raden ?” kata Kyai Lamotan memecah kebisuan.
Raden Trunoloyo nampak menghela nafas panjang, dahinya berkerut, kebimbangan sangat mengganjal didadanya, keinginan untuk secepatnya menyelesaikan tugas mereka terasa sangat mendesak didada, tetapi menurut nalarnya tentu akan sulit melalukannya pada saat ini, berita yang tersebar di menoreh sangat mengganggu rencananya.
“Bagaimana pendapat murid – murid Ki Gajah Lodra guru ? tanya Raden Trunoloyo kepada Kya Lamotan tanpa menjawab pertanyaan gurunya itu.
“Aku belum mengetahuinya Raden, semenjak kabar tentang Ki Rangga beredar, mereka tak banyak bicara, malam hari mereka banyak berada di luar gubuk yang kita bangun ini.
Kebisuan kembali membekap kedua orang itu.
Terpikir oleh Raden Trunoloyo akan keberadaan benda pusaka yang dibawa oleh kedua Menak saudara kembar itu. Sebenarnya saat ini hasratku untuk datang ke Menoreh sudah hilang, lebih baik bagiku untuk memusatkan pikiran kepada benda pusaka itu, sepertinya aku saat sekarang belum mampu untuk menaklukkan menoreh.
“Guru, apakah guru meyakini rencana kita ini akan berhasil ?”
Terlihat gurunya termenung sejenak mendapat pertanyaan itu. Di biarkannya orang tua itu melihat aliran sungai progo yang terlihat keruh, sejenak kemudian Raden Trunaloyo itu mendengar gurunya berkata,
“Raden sejak semula aku sudah ragu – ragu berangkat ke Menoreh ini, melihat kemampuanku saat ini rasa – rasanya belum mencukupi untuk menghadapi Senopati Mataram itu, hanya karena desakan Ki Gajah Lodralah akhirnya aku berangkat tetapi saat sekarang justru Ki Gajah Lodra tidak hadir diantara kita” orang tua itu terdiam sejenak, kembali matanya menatap air yang mengalir di sungai Progo itu.
“Apakah guru tidak yakin bahwa kita berempat akan dapat mengatasinya ?”
Orang tua itu nampak menghela nafas beberapa kali.
“Raden, kau belum mengenal siapa Ki Rangga Agung Sedayu itu sebenarnya, pengetahuan dua Menak bersaudara itupun sangat terbatas, mereka hanya menganggap Ki Rangga Agung Sedayu sama dengan Rangga – Rangga lainnya di Mataram, sejujurnya Raden untuk menghadapi Ki Rangga seorang diri kita masih memerlukan dua orang lagi yang mempunyai tingkat ilmu yang sama denganku, padahal di menoreh masih banyak orang yang mempunyai kelebihan dan selalu berdekatan dengan Ki Rangga.“
Raden Trunoloyopun membisu mendengar keterangan gurunya itu, di bayangkannya kekuatan menoreh terutama yang tersimpan di dalam diri Ki Rangga itu.
 “Seharusnya Ki Gajah Lodra sendirilah yang akan menghadapinya, sedangkan kita menghadapi kawan – kawan Ki Rangga”
Mendung di langit nampak semakin gelap dan benarlah adanya sebentar kemudian airpun telah tertumpah dari langit. Kedua orang itu segera berjalan masuk ke dalam gubuk yang telah di bangunnya itu
Pada malam hari wayah sepi uwong hadirlah dua saudara kembar yang lebih di kenal sebagai Menak kembar itu dalam gubuk mereka.
“Kyai ada yang ingin kusampaikan kepada Kyai dan Raden Tronoloyo,” terdengan Menak jati memulai pembicaraan di malam yang terasa dingin itu.
Raden Trunoloyo segera beringsut maju seraya membetulkan letak duduknya.
“Semalam guru telah datang ke Menoreh dan kami menemuinya di tempat guru tinggal selama di Menoreh, menurut guru bahwa lebih baik rencana ini kita ditunda sampai guru selesai dengan penyempurnaan ilmunya, kabar dari Gumuk Kembar itu telah mempengaruhi pertimbangannya Kyai” kata Menak Jati.
“Sampai kapan ?” tanya Raden Trunoloyo
“Kami tidak tahu Raden” jawab Menak Sungsang.
“Hem ..”  terdengar desah Raden Trunoloyo.
“Penundaan ini harus aku sampaikan kepada Kyai, malam itu pula Ki Gajah Lodra telah mengambil pusakanya kembali”
Mendengar perkataan akhir dari Menak bersaudara itu, segera seleret warna merah telah menghiasi wajahnya meskipun hanya sekejab.
“Gila, pusaka itu telah lenyap dari hadapanku” gumam Raden Trunoloyo dalam hatinya.
“Baiklah adi Menak bersaudara, meskipun kami merasa kecewa tetapi tidak mengapa, kita masih punya kesempatan lainnya sampai saatnya Ki Gajah Lodra selesai dengan penyempurnaan ilmunya” kata Kyai Lamotan menanggapi perkataan dua Menak bersaudara.
Air sungai Progo tampak mengalir deras melebihi biasanya, sementara keempat orang itu terdiam dan kesepakan telah mereka buat bahwa pada esok hari mereka akan segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.kembali ke bang wetan.
Sementara itu di tempat lain di menoreh, tampak keluarga kecil Ki Rangga itu telah berkumpul diruang tengah.
Pembicaraan seputar kehadiran Kyai Gringsing telah membuat hangat hati dan pikiran keluarga kecil itu.
“Dengarlah, bahwa setelah menitip salam kepada seluruh keluarga ini, Kyai Gringsing mengatakan belum saatnya kembali ketengah tengah kita semuanya, guru masih punya kewajiban yang harus diselesaikannya yaitu guru harus pergi kebarat sesuai petunjuk daripada Sunan Muria dan pada saatnya nanti guru akan kembali di tengah – tengah kita, tetapi guru tidak memberi tahu mengenai waktunya” Ki Rangga berhenti sejenak,
“Kakang bagaimana keadaan Kyai Gringsing, maksudku kesehatannya ? Aku sangat rindu pada orang tua itu kakang” berkata Sekar Mirah.
“Sebenarnyalah bahwa usia guru sudah cukup tua bahkan diatas Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh, tetapi saat di Gumuk Kembar kita melihat Kyai Gringsing tampak sangat segar dan lebih muda dibandingkan saat – saat di Jati Anom dahulu, aku sangat yakin bahwa guru telah menemukan sesuatu bagi dirinya selama mengasingkan diri itu.
“Mengapa saat itu Kyai Gringsing di kabarkan meninggal dunia kakang ?” tanya Rara Wulan.
Agung Sedayu segera menarik nafas dalam – dalam dan dikenangnya saat di bersama adik seperguruannya menyatakan keberadaan gurunya bersama Ki Widura pamannya.
“Rara, saat itu Kyai Gringsing sangat kecewa melihat keadaan dirinya sendiri, orang – orang terlalu mengganggap guru sebagai tabib yang melebihi tabib lainnya, bahkan ada beberapa orang yang menganggap guru sebagai orang yang bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia.'
" Pengertian telah dicoba diberikan kepada orang – orang itu tetapi mereka tidak mempercayainya bahkan sebaliknya mereka semakin yakin dan percaya dan pada suatu saat mereka mengganggap guru sebagai pendusta”
Suasana menjadi hening, mereka membayangkan situasi yang di hadapi guru Agung Sedayu itu kala itu, rumit dan menggelisahkan.
“Selanjutnya guru mengatakan kepada Ki Widura bahwa anggaplah aku sudah tiada Ki Widura dan sampaikan pesanku ke angger Sedayu dan angger Swandaru supaya jangan mencari aku lagi, biarlah pada saatnya akulah yang akan menemui mereka.”
Saat itu Kyai Grinsing telah meminta supaya segera menggali kubur dan tunjukkan pada mereka bahwa itu adalah makammnya dan jangan perbolehkan kedua muridku itu untuk mencari kebenaran dari keberadaanku, terutama angger Sedayu dan sebagai tanda perpisahannya maka Kyai Gringsingpun telah menyerahkan cambuk pusakanya, sebuah cambuk yang terbuat dari janget kinatelon yang telah menemani sebagian dari perjalanan hidupnya dan sebagai ciri kehadirannya.
Mereka sangat seksama mendengarkan cerita Ki Rangga, tiada terlewat, pada hal – hal kecil dimintanya Ki Rangga untuk mengulanginya.
“Apakah kakang percaya pada waktu itu ? desak Sekar Mirah.
“Aku mempercayainya Mirah bahkan aku telah melihat cambuk guru ada ditangan Ki Widura” jawab suaminya.
“Apakah kakang tidak ingin melihat kebenaran tentang kematian Kyai Gringsing itu ?” tanya Glagah Putih.
Pertanyaan demi pertanyaan telah mengalir dengan derasnya, sederas air sungai Progo, rasa ingin tahu dari keluarga kecil itu sangat mengetuk hati Ki Rangga. Sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan kata – kata kepada orang tua yang mempunyai banyak nama itu.
“Kau benar Glagah Putih, saat itu rasanya aku tidak dapat menerima kepergian guru, saat itu aku ingin menangis sebab guru, sudah aku anggap sebagai pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada dan aku sangat mengaguminya, tetapi ternyata Ki Widura telah berhasil meyakinkanku tentang ketiadaan guru.”
Suasana menjadi hening, Ki Jayaragapun membayangkan semua cerita Ki Rangga dan sekarang sudah terbukti bahwa Kyai Gringsing sebenarnyalah masih ada.
Bagi mereka yang ada di ruangan itu segera mengerti tabir yang selama ini menyelimuti keberadaan Guru Agung Sedayu itu.
“Ki Widuralah yang mengerti dan mengetahui tentang Kyai Gringsing sebab ayah dari Glagah Putih itulah yang selalu mendapingi saat – saat kesehariannya.”
Terlihat mereka menarik nafas dalam – dalam tanda kelegaan. Nyala api kecil itu tampak berkedib ditiup angi kecil menerangi mereka yang berada ruang tengah.
“Glagah Putih, kau adalah murid dari perguruan bercambuk ini selain murid Ki Jayaraga, telah menjadi tugasmu sekarang untuk memberitahukan dan sekaligus mengabarkan akan keberadaan guru kepada kakangmu Swandaru dan paman Widura” terdengar suara Agung Sedayu memecah keheningan.
“Mintalah ijin pada gurunu Ki Jayaraga akan tugas yang aku berikan ini padamu, he ! bukankah aku kakak seperguruanmu Glagah Putih ?” canda Ki Rangga sembari tertawa.
“Kakak seperguruan, sebagai kakak sepupunya dan sekaligus gurunya” sahut Ki Jayaraga sambil tertawa.
Keceriaan segera terlihat di wajah Glagah Putih, namun hanya sebentar dan sekarang wajahnya tampak muram.
“Kenapa kau Glagah putih ? Apakah kau kurang senang dengan tugas itu ?” bertanya Ki Jayaraga.
“Bukan guru, bukan” jawabnya tergagap
“Lalu apa ?” tanya kakak sepupunya.Glagah Putih terdiam sesaat dan segera dilihatnya mbokayunya Sekar Mirah, kemudian katanya,
“Maaf kakang, aku segan bertemu dengan kakang Swandaru”
Meledaklah tawa Sekar Mirah meski sudah ditahannya.
“Aku sudah menebak jawabanmu Glagah Putih,”
“Maaf mbokayu,”
“Kau sudah sangat dewasa saat ini, cobalah belajar mengendalikan diri lebih dalam lagi, dan kau harus jadi orang penyabar” kata kakak sepupunya.
Semua yang mendengar wejangan itu tertawa, termasuk Rara Wulan.
“He, Rara mengapa kau ikut tertawa ?” tanya Glagah Putih pada istrinya itu.
“Raut mukamu lucu kakang” jawab Rara Wulan sembari tersenyum.
“Lihat itu dahimu langsung berkeriput saat mendengar nama Ki Swandaru Geni” kata Rara Wulan diiringi dengan derai tawa yang sangat renyah.
“Awas kau, nanti aku bawa lari rambutmu” geram Glagah Putih.
Semua yang duduk diruangan itu segera tersenyum melihat gurauan pasangan muda itu...

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com