A. Malindo
Keempat kuda itu telah melaju tidak terlalu kencang
menuju Menoreh, debu debu berhamburan telah mereka tinggalkan. Suasana
ceria telah mengiringi perjalanan mereka.
“Lihatlah Pandan Wangi, perkembangan daerah sepanjang
kita lalui tadi benar – benar mencengangkan, semua kehidupan ditanah ini telah
banyak mengalami kemajuan, Panembahan Senopati benar – benar seorang raja yang
banyak membawa perubahan pada rakyatnya, semoga Panembahan Prabu Hanyakrawati
bisa meneruskannya” terdengar suara Swandaru sedikit berteriak.
Kuda mereka belum terlihat letih, apalagi kuda yang
ditunggangi oleh Glagah Putih, kuda pejantan yang sangat gagah berwarna gelap,
pemberian seorang Pangeran dari Mataram yang telah tiada.
Pandan Wang yang berkuda disamping suaminya merasakan
kegembiraan yang sulit tergambarkan, saat tidak lama lagi dia akan bertemu
dengan ayahnya, Ki Argapati, sosok yang sangat dihormati dan selalu di pujanya,
tidak hanya olehnya tetapi oleh seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh, bahkan
oleh Prabu Mataram. Sesekali tersentuh oleh kakinya, sebuah benda yang
tergantung dilambung kudanya, sepasang pedang tipis, senjata yang selalu
menyertainya kemanapun di berada.
Berbeda dengan Pandan Wagi, tampak Rara Mulan
tersenyum tipis membayangkan kelakuan suaminya, seorang pemuda Jati Anom yang
mempunyai sifat ceria namun kadang – kadang sangat menjengkelkan, sifat kekanak
– kanakannya terlalu sering muncul apalagi saat – saat mereka sedang berdua
saja. Tidak terasa perjalanan mereka sudah hampir mendekati sungai Praga,
merekapun telah berencana untuk istirahat di tepian sungai itu, beristirahat di
sebuah kedai kecil yang tidak terlalu ramai pengunjungnya.
Sementara Itu Di Barak pasukan khusus terasa kesibukan
sedikit meningkat, takkala barak itu telah kedatangan seorang yang usianya
sudah senja tetapi tetap mempunyai perbawa tinggi dan selalu membawa
keberuntungan bagi Mataram, Ki Patih Mandaraka. Tidak ada hal yang khusus di
bicarakan, selain meninjau kesiapan dan kesejateraan pasukan Mataram yang
berada di Menoreh itu dan setelah dirasa cukup maka rombongan Ki Patihpun telah
bergerak menuju ke padukuhan induk Menoreh diiringi senopati pasukan khusus Ki
Rangga Agung Sedayu dan bebarapa prajuritnya.
Sepeninggal Ki Patih, seorang Lurah prajurit dengan
penuh kebanggaan telah bergumam kepada dirinya sediri,” Meskipun pasukan ini
jauh dari kota raja, tetapi kesiapan dan kemampuan tempurnya sangat lah
mengagumkan, aku bangga telah menjadi bagiannya, kemampuankupun telah banyak
meningkat seiring berjalannya waktu, apalagi sekarang, selain pembinaan
prajurit pada umumnya, senopati pasukan khusus telah memberi pembinaan secara
pribadi kepada para Lurah prajuritnya, seolah pemimpinnya itu telah mengangkatnya
sebagai murid meskipun hanya dilingkungan keprajuritan.”
Kedatangan Ki Patih telah disambut oleh rakyat Menoreh
dengan wajah kegembiraan, salam dan hormat telah mengiringi Ki Patih saat
memasuki padukuhan induk Menoreh. Nampak Ki Gede Menoreh telah berdiri di pintu
gerbang utama padukuhan induk, setelah memberi salam dan menanyakan kabar
keselamatan maka rombongan itupun bergegas menuju pendapa rumah Ki Gede
Sore itu tidak ada pembicaraan yang penting, Ki Patih
hanya menjawab pertanyaan dan bercanda dengan segenap perangkat dan bebahu
Menoreh, Ki Gede Menoreh tampak tersenyum, disebelah Ki Rangga telah duduk
seorang yang kedatangannya sangat di harapkan oleh Ki Patih Mandaraka, terlihat
tersenyum tenang wajahnya tampak segar meskipun kerut ketuaan diwajahnya
semakin dalam.
" Kalau diizinkan aku akan bermalam di rumah yang
besar ini " kata Ki Patih selanjutnya. Ki Patihpun telah berencana
bermalam di Menoreh.
" Silahkan Ki Patih, jangankan satu malam,
sewindupun kami tidak merasa keberatan " sahut Ki Geda sembari tertawa.
Mendengar sahutan pemimpinnya serentak para bebahu menoreh itu
tertawa lepas.
Bahkan Ki Murdi segera berkata, " Sebaiknya Ki
Patih bermalam di rumah hamba saja ", gelak tawa segera memenuhi
pendapa yang luas itu.
Kedatangan Ki Patih ke tanah Perdikan itu ternyata
tidak terlepas dari pengamatan orang – orang yang berkepentingan atas
tumbangnya Mataram.
“Orang tua yang sangat licik dan sombong” geram
seseorang yang rambutnya telah memutih.
“Benar kakang, akibat kelicikannya daerah kuasa para
Adipati di pesisir utara telah menjadi berkurang bahkan harus menyembah dibawah
kakinya.” sahut lelaki yang tak lain adalah adik seperguruan orang yang yang
berambut putih.
“Bagaimana tanggapan kakang dengan kedatangan beberapa
utusan dari timur beberapa hari yang lalu ?”
“Aku kurang tertarik adi, pergerakan itu akan memakan
waktu yang sangat lama dan tentunya kita akan selalu berada di bawah kaki dan
bayang – bayang orang dari timur itu,”
“Tetapi kekuatan itu akan sangat nggegirisi bila
saatnya datang dan mereka bergerak ke Mataram, apakah kita tidak mengambil
keuntungan dari pasukan bang wetan itu, kakang?”
Orang yang dipanggilnya kakang itu tampak terdiam, ia
menyadari kebenaran kata – kata adik seperguruannya, dibayangkannya sebuah
kekuatan gabungan dari beberapa perguruan yang tersebar diseluruh bang wetan,
tentu sebuah pertunjukan kekuatan yang sangat besar dan mengerikan.
“Adi, bagaimana tanggapan orang – orang dari perguruan
Gagak Kapur dari pegunungan Kendeng itu ?”
“Mereka kurang setuju dengan penggabungan itu kakang,
mereka akan menghimpun kekuatan sendiri untuk menghadapi Mataram, bahkan mereka
berencana akan melakukan upaya pendahuluan sebelum menyerang Mataram. “
Mendengar perkataan adik seperguruannya itu, segeralah
meledak tawanya, lalu katanya,
“Apakah perguruan Gagak Kapur itu telah bermimpi
disiang bolong, adi? apakah mereka mendapat dukungan dari adipati atau
katakanlah pasukan segelar sepapan untuk menyerang Mataram ?”
Segeralah mereka berdua tertawa terbahak mendengar
rencana perguruan Gagak Kapur dari Kendeng itu.
“Tidaklah mudah menyerang Mataram adi, Demak dan
Patipun tak kuasa menentang Mataram, daerah Tuban dan Madiunpun telah
digulungnya, aku akan bisa memahami jika perguruan Kendeng itu mengatakan akan
menyerang Mataram dengan mengurangi atau memotong ranting – ranting yang
menjadi penyangga Mataram”
Sejenak keduanya terdiam, mereka telah hanyut oleh
angan – angannya, kedatangan utusan dari timur telah menambah persoalan bagi
padepokannya, sejak kepergian gurunya, merekalah yang meneruskan semua
tradisi padepokan yang berada di Nusakambangan itu, sebuah wilayah
kepulauan yang terus dan selalu menentang keberadaan Mataram.
“Kakang, apakah tidak sebaiknya kita membantu orang –
orang dari pegunungan kendeng itu ?”
“Bagaimana maksudmu, adi Naga Upas ?
Orang yang bergelar Ki Naga Upas nampak
terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari kakak seperguruannya itu, ditariknya
nafas dalam – dalam, lalu katanya,” Kita dapat memfaatkan kebencian dan rencana
mereka untuk kepentingan kita kakang, biarlah sementara kita bekerja sama,
selanjutnya kita akan menempuh rencana kita sendiri, bagaimana menurut kakang ?”
Orang yang selalu dipanggilnya kakang itu, tampak
mengerutkan keningnya dalam – dalam, tidak segera dijawabnya pertanyaan adik
seperguruannya itu, bahkan segera diletakkannya jari telunjuknya didepan
mulutnya, katanya,” Seseorang telah datang dan mengamati kita.”
Segera keduanya bersiap menghadapi segala kemungkinan,
padangan merekapun menebar mencari tahu keberadaan seseorang. Mereka
merasakan denyut jantung berdetak tetapi mereka belum melihat ujud wadag
seseorang.
Tak lama kemudian terdengar suara tertawa perlahan,
seseorang telah berdiri di batu padas dengan tangan bersedekap memandang kearah
mereka.
“Persetan” geram Naga Upas.
Segera kedua orang dari Nusakambangan itu berdiri
menghadap kearah kearah orang yang berdiri di batu padas, tanpa aba – aba
keduanya telah menyerang orang itu. Seleret sinar merah telah menerjang menghantam
batu padas itu, terdengar bunyi ledakan yang keras, tetapi orang yang berdiri
diatasnya telah menghilang.
Terlihat keduanya meloncat dengan cepatnya
kearah batu padas itu dan mencoba mengejar orang yang telah mengamati
mereka. ” Sudahlah adi, dia telah melarikan diri”
“Setan belang, ternyata Menoreh juga menyimpan hantu” dengus
Naga Upas.
“Baiklah, kita kembali saja ke gubuk di tepi hutan
itu, biarlah dia datang dan kita akan meringkusnya” terdengar kakak
seperguruannya berkata, keduanya segera berhambur meninggalkan batu padas itu.
Wayah sepi bocah, kehangatan suasana di Tanah Perdikan
Menoreh semakin lengkap, takkala rombongan Ki Swandaru Geni telah tiba di
pendapa, kedatangannya benar - benar sangat mengejutkan semua orang yang tengah
berkumpul itu, tampak kemudian Ki Gede tergopoh - gopoh menyambut menantu dan
anak perempuan kesayangannya itu.
Suasana yang sangat menyenangkan dan penuh
kekeluargaan itu, membuat semua hati saat itu terasa hangat, kerinduan antara
ayah dan anak itu telah terobati, Ki Patih menyaksikan semua itu dengan
perasaan haru dan baru menjelang tengah malam mereka telah berkumpul di sentong
tengah mendengarkan dengan saksama pembicaraan dari Ki Patih Mataram itu.
Setelah mengucapkan salam, segera Ki Patih memulai
pembicaraan, di sampaikannya salam dari Panembahan Hanyakrawati untuk seluruh
masyarakat di Tanah Perdikan Menoreh, semoga keselamatan, kesejahteraan dan
keberkahan selalu menaungi kehidupan hari ini dan hari -hari kedepannya, tak
lupa pula Ki Patihpun secara khusus menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Ki
Gede Menoreh atas sumbangsihnya selama ini terhadap kesatuan dan keutuhan
Mataram.
Nampak semua yang hadir di sentong tengah itu membalas
salam dari Panembahan Hanyakrawati dan Ki Gedepun telah membalasnya dengan
ungkapan terima kasih yang sebesar - besarnya atas perhatian penguasa Mataram
itu terhadap perkembangan Tanah Perdikan Menoreh.
“Wayah Pringgoloyo, sampaikan terlebih dahulu apa yang
cucunda lihat saat sore tadi” seru Ki Patih Mandaraka, sesaat semua wajah
memandang Pangeran muda itu.
Sejenak nampak Pangeran itu menarik nafas dan kemudian
telah diceritakannya kejadian tadi sore saat dia akan memasuki padukuhan induk
Menoreh, dua orang dari Nusakambangan telah hadir di Menoreh.
“Mereka tidak berbuat sesuatu, mereka hanya ingin
menyaksikan kedatangan Eyang Patih saja dan saat ini Glagah Putih dan Rara
Wulan terus mengamati pergerakan mereka, sementara Ki Jayaraga tetap dirumah Ki
Rangga” kata Pangeran muda itu.
“Apakah itu tidak membahayakan mereka wayah? Maksudku
Glagah Putih dan Rara Wulan” terdengar suara Ki Patih.
“Cucunda telah memberi petunjuk eyang, Glagah Putih
dan Rara Wulan hanya mengamati saja dan bila terjadi singgungan maka mereka
harus mengirim isyarat dengan panah sanderen, sehingga pengawal terdekat segera
bertindak sambil menunggu kita,”
“Bagaimana menurutmu Ki Rangga ?” tanya Ki Patih.
Nampak Ki Rangga tersenyum, katanya “Rupanya Pangeran
telah mengaturnya Ki Patih, biarlah keduanya belajar menjadi prajurit telik
sandi, dengan ikat pinggang pemberian Ki Patih maka Glagah Putih dan istrinya
akan merasa aman.”
Mendengar jawaban Ki Rangga semua yang hadir
tersenyum,” Ah, saat seperti ini Ki Rangga masih sempat bercanda, keduanya
adalah anak muda yang mumpuni tanpa ikat pinggang itu mereka akan lebih
berbahaya. He! Kenapa belajar menjadi telik sandi? Apakah masih ada yang
kurang dari pengalaman mereka ketika di Demak ?” sahut Ki Patih sembari tertawa
kecil.
Ki Rangga dan Pangeran Pringgoloyo nampak tertawa
mendengar tanggapan Ki Patih itu.
Swandaru yang duduk di sebelah Ki Gede itu segera
mengerutkan keningnya mendengar pembicaraan itu, lalu katanya” Mohon ampun Ki
Patih dan Pangeran Pringgoloyo. apakah tidak sebaiknya mereka kita tangkap saja
dan segera kita bawa ke pendapa ini, dengan demikian kita segera tahu apa maksud
sebenarnya mereka hadir di Menoreh ?”
Terlihat Pandan Wangi diam - diam telah menggerakkan
tangannya menyentuh tubuh suaminya, tetapi rupanya tidak dirasakannya.
Ki Rangga segera mengerutkan keningnya mendengar
usulan adik seperguruannya itu. Menurutnya suatu hal yang tidak perlu di
lakukan, keterangan Pangeran Pringgloyo belumlah dapat dibuktikan sebagai suatu
kebenaran bahwa orang - orang dari Nusakambangan itu akan berbuat sesuatu yang
merugikan Tanah Perdikan ini atau mereka telah berbuat suatu kejahatan.
Sedangkan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita nampak
tersenyum. Bagi mereka, sekalipun pikiran itu ada benarnya tetapi saat sekarang
tindakan Pangeran itu adalah tindakan yang terbaik, lagipula pada kenyataannya
kedua orang itupun tidak berbuat apa -apa.
“Angger Swandaru, sebaiknya kita tidak perlu
memulainya, biarlah apa saja yang diperbuat oleh mereka sepanjang tidak
mengganggu dan menyentuh kita, bukankah mereka hanya datang dan ingin melihatku
?” jawab Ki Patih dengan wajah tersenyum.
Mendengar jawaban itu, Swandaru nampak menganggukan
kepalanya meskipun hatinya kurang bisa menerima.
“Marilah kita berbicara pada hal yang lain, lebih
penting dan tentunya lebih menarik perhatian kita semuanya” lanjut Ki Patih.
Nampak semuanya mengangguk - anggukan kepala. Meskipun
masih berselimut tabir, kehadiran guru Ki Rangga itu telah menyejukkan hati
mereka semua, mereka ingin segera melihat dan menyatakan kesehatan orang tua
itu, sepertinya menanti orang bertopeng itu muncul kembali adalah suatu
kenikmatan tersendiri.
Bagi Ki Waskita, orang itu bukan hanya sahabat yang
baik tetapi juga orang yang mengerti tentang jalur ilmunya.
“Aku mendengar dari wayah Pringgoloyo, tentang
kehadiran orang tua yang sangat kita hormati di Gumuk Kembar, apakah benar demikian
adanya Ki Rangga ?”
Ki Rangga telah beringsut sedikit sebelum menjawab
pertanyaan Ki Patih, katanya “Benar adanya Ki Patih, guru telah kembali setelah
sekian lama menepi bahwa Sunan Muria lah yang telah menggugah hati guru dan
menunjukan jalanNya untuk kembali.”
Suasana hening sejenak, mereka mencoba membayangkan
kehadiran sosok tua yang selalu menyelimuti dirinya dengan misteri itu.
“Maaf kakang, apakah Kyai Gringsing dalam keadaan
sehat, kakang ? Kapan Kyai itu akan kembali ketengah - tengah kita?” tanya
Pandan Wangi seraya bergeser maju dan dipandanginya wajah bening kakak
seperguruan suaminya itu.
Mendengar pertanyaan anaknya kepada Ki Rangga,
Ki Gede menarik nafas dalam - dalam, ia mengerti akan kerinduan seorang Pandan
Wangi kepada orang tua itu.
Sementara ki Waskita yang sedari tadi diam saja,
nampak pula bergeser tempat duduknya.
“Guru dalam keadaan sehat Pandan Wangi, tidak kurang
satu apapun bahkan terlihat lebih muda di banding umurnya yang sebenarnya, saat
sekarang guru sedang dalam perjalanan ke barat menuju tlatah Cirebon dengan
membawa pesan dan petunjuk kanjeng Sunan.” jawab Ki Rangga sembari
menatap wajah Pandan Wangi, masih terlihat senyum diwajah itu.
Mendengar penjelasan itu, Ki Waskita nampak mengangguk
- anggukkan kepalanya, dan katanya dalam hati,” Petunjuk itu menjadi semakin
jelas adanya, nampaknya mendung akan segera datang, Kanjeng Sunan Muriapun
telah mengetahuinya, rupanya sahabatnya itu harus sekali lagi terlibat
didalamnya.” .
Ki Patih Mandaraka telah mendengar semua peristiwa
yang terjadi di Gumuk Kembar itu, bahkan Pangeran mudapun telah menceritakan
padanya tentang awal mulanya peristiwa itu sejak kedatangannya dan orang
bertopeng itu telah bermain - main dengan sebuah ilmu yang tidak di
mengertinya.
Sementara itu kegalauan telah mencengkam jantung
Swandaru, “Kenapa guru selalu hadir di dekat Kakang Sedayu ?”
Mengapa gurunya tidak pergi ke Sangkal Putung saja
menemuinya? Tentu akan akan menyenangkan dan aku dapat membahagiankan guru
melebihi orang lain” gumamnya dalam hati.
“Baiklah Ki Rangga, pada saatnya kau harus bercerita
selengkapnya padaku sambil menunggu kehadirannya” pinta Ki Patih Mandaraka.
“Hamba Ki Patih” jawab Ki Rangga.
Segera Ki Patih beralih pada pembicaraan yang lainnya,
dengan hati - hati disampaikannya perkembangan terakhir di Mataram dan
daerah - daerah kekuasaannya. Ki Patih belum menyinggung perkembangan daerah
bang wetan, menurutnya saat itu terlalu banyak orang yang mendengarkannya,
sebenarnyalah Ki Patih hanya ingin membicarakannya dengan Ki Gede, Ki Rangga
serta Ki Waskita, sebab permasalahan bang wetan bukanlah suatu permasalahan
yang mudah, bang wetan adalah daerah yang sangat luas dengan dengan beribu -
ribu rakyatnya, tentunya sebuah permasalahan besar dan menyangkut
kepentingan Mataram secara keseluruhan dan akan melibatkan banyak rakyat kecil
yang akan menanggung akibatnya bila sampai terjadi pecah perang.
Pembicaraan malam itupun telah diakhiri oleh Ki Patih
dengan mengucapkan salam penutupan dan permohonan diri bahwa menjelang Matahari
terbit akan segera berangkat menuju Mataram.
“Silahkan Ki Patih menempati gandok sebelah kanan yang
telah dipersiapkan” kata Ki Gede..
Dalam perjalanan menuju biliknya, Ki Patih segera
menggamit Ki Rangga, seraya berucap sembari tersenyum, “Esok malam
aku menunggumu di Kepatihan Ki Rangga, datanglah bersama Ki Waskita, jangan kau
katakan keperluan kepergianmu ini kepada siapapun.”
Dada Ki Rangga terasa berdebar - debar mendengar
permintaan yang sekaligus perintah bagi dirinya untuk menghadap Ki Patih
Mandaraka di Kepatihan Mataram.
Pagi
hari Ki Patih bersama Pangeran Pringgoloyo telah pergi meninggalkan Menoreh, Ki
Geda Menoreh serta keluarga dan para bebahu mengiringi perjalanan sampai batas
padukuhan induk. Rombongan Ki Patihpun segera berderap menuju Mataram
meskipun tidak terlalu cepat.
Ki
Waskita dan Ki Jayaraga telah duduk di pendapa rumah Ki Rangga, didepan
mereka terlihat minuman hangat dan beberapa jajanan pasar yang baru di beli
Sukra di kedai padukuhan sebelah.
“Ki Waskita, saat ini nampaknya Mataram memerlukan
tenaga Kyai Gringsing dan Ki Waskita” terdengar suara Ki Jayaraga pelan.
“Apa yang dapat kita lakukan lagi kyai, umur kita
sudah terlalu tua untuk memikirkan Mataram, sebaiknya anak - anak mudalah yang
harus mulai mengambil alih peran kita” sahut Ki Waskita.
“Tetapi nampaknya Ki Juru lebih senang berbicara
dengan kita yang sudah tua - tua ini kyai, bagaimana tanggapan Ki Waskita
tentang kehadiran Ki Patih ke Menoreh ?”
“Sebenarnya tidak ada urusan apa - apa Ki, atau
mungkin lebih tepatnya memberi dorongan batiniah saja kepada Ki Gede dan rakyat
Menoreh, tetapi disisi lain benar sesuai panggraita Ki Jayaraga nampaknya
Mataram memerlukan guru angger Sedayu itu,”
“Apakah yang bakal terjadi di Mataram ini Ki Waskita ?”
tiba - tiba Ki Jayaraga bertanya dengan nada yang dalam.
Ki Waskita terdiam sejenak, di pandanginya ki Jayaraga
sesaat, sembari tersenyum, katanya “Apakah kita tahu pasti yang bakal terjadi
besok Kyai?”
“Maaf Ki Waskita, kadang - kadang hati ini dilanda
kecemasan tanpa tahu sebabnya” desis Ki Jayaraga.
Matahari hampir mendekati puncaknya, panas sangat
menyengat kulit hari itu, Swandaru dan Pandan Wangi sudah pula berada di rumah
Sekar Mirah, tampak suasana gembira membekap mereka, saat tertentu terdengar
gelak tawa Sekar Mirah juga pandan Wangi.
Bersamaan waktu itu pula Ki Waskita telah berpacu
menuju barak Pasukan Khusus, menurut rencana hari itu bersama Ki Rangga akan
segera pergi ke Mataram menjumpai Ki Patih Mandaraka.
Setelah memberi pesan kepada para Lurah prajurit
secukupnya, segera Ki Rangga pergi ke sanggar terbuka menemui Glagah Putih dan
Rara Wulan.
“Jadi Kakang bersama Ki Waskita akan pergi ke Mataram
sore ini? Kapan kakang akan kembali ?” tanya adik sepupunya.
Segera Ki Rangga menjelaskan segala sesuatunya, tampak
suami istri itu menganggukkan kepalanya.
Sore hari kuda keduanya segera berderap meninggalkan
Menoreh menuju Mataram, sepanjang jalan tak banyak yang dibicarakan, mereka
ingin segera sampai di Kepatihan, menemui Ki Patih, untuk mendengarkan wejangan
dan perintahnya. Menurut perkiraan, sebelum tengah malam mereka akan sampai di
kota Raja.
“ Ki Waskita, apakah kita akan beristirahat di
desa Turi ataukah kita langsung ke Mataram” tanya Ki Rangga saat kuda mereka
tidak berlari cepat.
“Terserah angger saja, aku akan ikut” jawab Ki Waskita
“Sebaiknya kita melingkar saja, menghidari padukuhan
Turi itu,”
“Kita akan istirahat sejenak diujung padukuhan itu
Kyai, aku ingin mengetahui, apakah maksud dan keperluan mereka ?” kata Ki
Rangga.
“Baiklah ngger” sahut Ki Waskita.
Padukuhan Turi telah mereka lewati, di ujung padukuhan
saat menjumpai kedai kecil yang sudah tak dipergunakan lagi merekapun telah
berhenti, setelah menambatkan kudanya, terlihat Ki Rangga telah duduk disebelah
Ki Waskita, hatinya telah bergetar sesaat.
“Nampaknya kedua orang itu memang sedang mengikuti
kita ngger” desis Ki Waskita
“Benar Ki Waskita, aku merasakannya, sejak kita
meninggalkan sungai progo” sahut Ki Rangga.
“Mengapa mereka tidak segera berbuat sesuatu Kyai ?”
“Aku kurang mengerti angger, sebaiknya kita lebih
berhati - hati”
“Sebentar lagi mereka akan segera datang kyai, mereka
tidak terlalu jauh dibelakang kita,”
Dugaan Ki Rangga tidaklah terlalu meleset, senopati
itupun segera berdiri diikuti oleh Ki Waskita ketika mendengar suara derap kaki
kuda mendekat.
“Ternyata kalian orang - orang yang tidak mengenal
takut, kalian telah memilih tempat yang sangat baik” kata seorang dengan
jambang yang telah memutih ketika mereka sudah bertemu dan saling berhadapan.
“Siapakah kau kisanak ?” tanya Ki Rangga
“Apa pentingnya nama kami bagimu orang Menoreh ?” sahut
orang berjambang itu.
“Tentulah penting ki sanak, mungkin kita akan bertemu
suatu saat, dan kita akan saling menyapa” kata Ki Rangga, di bibirnya telah
tersungging sebuah senyuman.
Mendengar perkataan Ki Rangga, meledaklah tawa kedua
orang yang baru datang itu.
“Kenapa kalian tertawa, apakah ada yang lucu dari
pertanyaanku, ki sanak ?”
“Bagaimana mungkin kita akan bertemu lagi Rangga,
sedangkan hari ini kau akan mati ?”
“Apakah kau yakin dengan perkataanmu kisanak ?” Ki
Waskita pun telah mulai berbicara.
“He, kakek tua beristirahat sajalah, aku tidak akan
mengganggumu, kami hanya memerlukan kepala Rangga yang sombong ini saja,” kemudian
katanya kepada kawannya,” “segera
lakukan tugasmu Ki Ajar Puputan, aku akan melihat, berapa lama Rangga ini akan
dapat bertahan dari cengkraman ilmumu.”
“Kau sudah mengenalku, ki sanak ?” kata Ki Rangga
ingin meyakinkan dirinya dengan siapa ia berhadapan
“Belum sepenuhnya Ki Rangga, aku hanya mengenalmu
sebagai Senopati pasukan khusus” jawab orang yang disebut Ki Ajar Puputan itu.
“Tentu temanmu itu yang sudah mengenalku” sahut ki
Rangga sembari matanya menatap orang yang berjambang itu.
“Kau tidak terlalu penting orang Menoreh, beberapa
perguruan hanya memandangmu sebagai senopati dari pasukan khusus, itu saja.
Dengan pasukanmu kau akan ditakuti di medan pertempuran tetapi tanpa pasukanmu
nampaknya kau hanya seorang tikus kecil”
Sesaat kemudian meledaklah tawa kedua orang yang baru
datang itu.
Ki Rangga dan Ki Waskita nampak mengerutkan keningnya
dan termangu - mangu memandang keduanya.
Diantara sela -sela derai tertawanya, orang yang
berjambang itupun berkata,” Rupanya kepalamu lebih berharga daripada kepala
orang bercambuk yang telah menggegerkan wilayah pesisir utara beberapa saat
yang lalu.”
Kata - kata itu sangat menarik perhatian Ki Rangga dan
Ki Waskita.
“Apakah kau pernah bertemu dengan orang bercambuk
seperti yang kau katakan itu, ki sanak ?” tanya Ki Waskita.
“Guruku lah yang telah membunuh orang bercambuk yang
tua itu” desis orang yang berjambang itu, dan lanjutnya,” sekarang aku dan
guruku sedang memburu orang bercambuk yang muda, muridnya, apakah kau tahu
dimana aku harus menemukannya, Ki Rangga ?”
Ki Waskita nampak hanya menarik nafas mendengar bualan
orang itu.
“Cepatlah selesaikan orang Menoreh itu Ki Ajar, kita
akan segera pergi mengambil hadiahnya dan segera pula kita mencari orang
bercambuk itu”
Orang yang dipanggil Ajar Puputan itu tampak tersenyum
dan segera maju beberapa langkah, dengan mantap dia berkata,” Sebenarnya aku
tidak perduli denganmu Ki Rangga, tetapi karena akhir - akhir ini namamu banyak
disebut oleh beberapa perguruan maka aku tertarik untuk datang kepadamu dan
membuktikan bahwa kau belumlah pantas untuk di perhitungkan”
“Katakan juga kepadanya Ki Ajar bahwa nilai kepalanya
terlalu mahal di bandingkan tingkat ilmunya yang sebenarnya” teriak orang
berjambang itu
“Kau benar Lurah Sembawa” jawab Ki Ajar Puputan.
Ki Waskita sama sekali tidak tertarik dengan
pembicaraan itu, bahkan dengan tenangnya melangkah surut dan segera duduk di
gundukan tanah berumput itu.
“Nah, harusnya demikian kakek tua, istirahatlah dan
nikmatilah tontonan yang akan menyenangkan hatimu” kata Ki Ajar Puputan.
“Cepatlah Ki Ajar, waktu kita tidak banyak”
“Ki sanak, bagaimana mungkin kau bisa membuat
permainan ini ? Seolah nyawa orang tidaklah berarti bagimu ?” tanya Ki Rangga
mencoba untuk mengerti jalan pikiran lawannya itu.
“Sudahlah Ki Rangga, tugasku adalah membunuhmu dan aku
segera mendapatkan balasannya, setumpuk emas dan kedudukan yang pantas” jawab
Ki Ajar Puputan diiringi derai tawa yang berkepanjangan..
“Siapa yang menyuruh dan mengupahmu, ki sanak ?” tanya
Ki Rangga ingin tahu.
“Cukup Ki Ajar, jika kau terlalu banyak bicara maka
aku sendiri yang akan menyelesaikannya dan kau akan kehilangan kesempatan itu” teriak
Ki Lurah Sembawa.
“Bersiaplah Ki Rangga, aku tidak punya pilihan lain,
aku harus segera membunuhmu, meskipun aku kurang mengenalmu”
Ki Rangga telah melihat sepercik keraguan di mata Ki
Ajar itu,” Mungkin orang ini berada dalam kesulitan sehingga dia menyanggupi
pekerjaan yang kotor ini” gumamnya dalam hati.
Sementara Ki Waskita terlihat seperti acuh tak acuh
menanggapi kedua orang yang baru datang itu, baginya sudah sangat jelas bahwa
keduanya bukanlah orang - orang yang bermaksud baik.
“Angger sebaiknya hati - hati menghadapi kedua orang
itu” kata Ki Waskita perlahan, sembari membetulkannya letak duduknya..
“Aku belum merasa perlu berbuat sesuatu saat ini, aku
akan melihat apa yang akan di perbuat angger Sedayu menghadapi orang - orang
itu” kata Ki Waskita dalam hatinya, tiba tiba terlintas keinginannya melihat
perkembangan ilmu murid sahabatnya itu, seseorang yang telah diberinya ijin
untuk melihat isi seluruh kitab peninggalan gurunya.
Sementara terlihat Ki Lurah Sembawa dengan wajah
tegang mengamati dua orang yang sudah saling berhadapan itu. Melihat ketenangan
Ki Rangga dalam menghadapi Ki Ajar Puputan itu, terasa membuat jantungnya
terasa gatal, segera terbayang kedatangan sekelompok orang di padepokannya
dengan membawa sekampil emas dan perhiasan lainnya, jika ternyata kawannya itu
tidak bisa menyelesaikan tugasnya maka dia sendiri yang akan membereskannya.
Sambil memandang lawannya Ki Ajar yang sudah malang
melintang didunia olah kanuragan segera mengerti, ketenangan sikap lawannya
telah memberinya peringatan agar berhati - hati.” Meskipun aku tak mempunyai
kepentingan apapun sebelumnya tetapi pekerjaan dengan upah sekampil emas itu
tentu lebih menarik dari pada pekerjaan lainnya.”
Ki Lurah Sembawa tak perlu menunggu lama, terlihat Ki
Ajar telah melontarkan serangan meskipun dalam tataran terendah dari ilmunya.
Sebuah serangan pancingan untuk menuju gerakan berikutnya. Mendapat
serangan itu, Ki Rangga bergerak mundur selangkah dan dikibaskannya tangan Ki
Ajar Puputan itu kesamping kirinya dan segeralah serangan susulan telah melanda
senopati pasukan khusus itu. Mendapat perlakuan seperti itu, ki
Ranggapun telah mengimbanginya setapak demi setapak.
Beberapa lama serangan itu telah dilancarkan dan
dengan mudahnya dihindari atau dipatahkan oleh Ki Rangga. Gerakan dan serangan
Ki Ajar ternyata tak luput dari pengamatan Ki Lurah Sembawa, serangan yang
membuat kawannya itu merasa muak.
“He ! Ki Ajar, mengapa langkahmu seperti langkah bayi
kemarin sore ?” teriak Ki Lurah Sembawa, lalu” Ajar Puputan, lawanmu itu adalah
senopati Mataram, kau tidak perlu mencobanya dari dasar !”
Ki Waskita menjadi sangat heran, mengapa orang yang
disebut Ki Ajar itu memulai serangan dengan tataran begitu rendahnya ? Ki
Ranggapun yang mendapat serangan dan melayani segala gerakan lawannya itu juga
merasakan satu keanehan.
Mengapa gerakan dan serangan orang ini sedemikian
sederhananya, apakah dia sangat meremehkan aku? atau mungkin dia merasa kasihan
terhadapku? Sepercik keraguan telah merayapi jantung Ki Rangga.
Tetapi tidak demikian bagi Ki Ajar Puputan itu, dia
telah mempunyai rencana tersendiri dengan semua gerakannya itu, dia tidak
akan menerjang lawannya dengan ilmu atau gerakan yang rumit.
Dalam keheranannya, segera Ki Rangga dengan diam -
diam telah mengungkap ilmu kebalnya pada tataran tertinggi meski belum mencapai
puncaknya, dia tidak ingin lengah dan kemudian menyesal menghadapi sikap
lawannya itu. Selain ilmu kebal, ilmu meringankan tubuhnya juga telah
diungkapkannya, kedua ilmunya tidak disegera diperlihatkan kepada lawannya.
Dengan gerakan sangat lambat Ki Ajar Puputan mencoba
sekali lagi menyerang lawannya. Ki Waskita yang duduk tidak terlalu jauh itu
tiba - tiba merasa khawatir terhadap keselamatan Ki Rangga, selama
petualangannya baru sekarang ini ditemuinya seorang Ajar yang mempunyai gerakan
sesederhana ini.
Dalam kebimbangan lawan dan kawannya itu,
sebenarnyalah Ki Ajar Puputan sedari awal telah mengerahkan salah satu ilmunya
justru pada tataran puncaknya, rupanya gelimang perhiasaan benar - benar telah
menindas otaknya, sifat keluguan dan keraguan itu sebenarnyalah adalah cara
menutupi sifat bengisnya.
Dengan satu serangan sederhana tangan Ki Ajar mengarah
kedada lawannya, dengan gerak sederhana pula Ki Rangga telah meletakkan
tangannya didepan dada untuk menangkis serangan itu, tetapi akibat serangan itu
sungguh di luar dugaan dan perhitungan orang - orang yang melihatnya, terlihat
nyata bahwa tiba tiba tubuh Ki Rangga telah tersentak dan terpental jauh,
membentur kedai kecil yang sudah tidak di pergunakan itu, segera kedai
yang terbuat dari anyaman bambu itu telah terangkat bagaikan melayang terseret
tubuh Ki Rangga dan seiring jatuhnya tubuh Ki Rangga ketanah maka kedai itupun
telah pecah berserakan, berhamburan meninggalkan debu yang tipis.
Meledaklah suara tertawa Ki Ajar Puputan itu,
tidak terlalu keras tetapi getaran suaranya sudah cukup untuk memukul
dada Ki Waskita dan Ki Lurah Sembawa.
Jantung Ki Waskita seakan terlepas dari tangkainya
melihat kejadian itu, ingin rasanya meloncat mendapatkan tubuh Ki Rangga itu.
“Jenis ilmu apalagi ini ?” desis Ki Waskita sembari
berdiri melihat kearah tubuh Ki Rangga yang terpelanting itu, perasaan bersalah
telah hinggap didadanya, seandainya sedari tadi dia mengingatkannya kepada Ki
Rangga akan ilmu lawannya itu.
Disisi lainnya dengan berdiri mematung Ki Lurah itu
telah melihat akibat pukulan Ki Ajar Puputan yang tampak sangat sederhana itu,”
Ilmu apa yang telah diterapkan oleh setan dari Bergota ini ?” gumamnya.
Masih terdengar suara tertawa Ki Ajar Puputan, disela
tertawanya telah terselip kata katanya,” Ki Lurah Sembawa, tugasku sudah aku
selesaikan, marilah kita tinggalkan tempat ini, tentu kakang Tumenggung telah
tidak sabar menunggu kedatangan kita.”
Suara tertawa yang telah mengiris dada Ki Waskita,
nampak Ki lurahpun tengah berjalan mendekat kearah kawannya itu.
Padukuhan Turi telah terlena, gelap baru saja turun
menyelimuti padukuhan itu, cahaya bulan pun belum sepenuhnya menerangi bumi,
sementara beberapa puluh langkah dari tempat mereka berdiri, sesosok
bayangan yang tengah berjalan kearah mereka, tampak bayangan itu tidak
mengenakan ikat kepala dan terlihat pakaiannya telah compang - camping.
Ki Ajar Puputan dan Ki Lurah Sembawa telah menghadap
kearah bayangan itu datang, dada mereka berdegup kencang saat memperhatikan
bayangan itu berjalan, mata mereka seolah tak percaya bahkan seakan telah
melihat hantu yang baru bangkit dari kuburnya dan hanya beberapa saat saja
sosok bayangan itu telah berdiri beberapa langkah dari mereka, badan
tegak dan kakinya telah kokoh tertancap di bumi.
Dalam pada itu Ki Waskita telah menarik nafas dalam -
dalam menyaksikan kehadirannya, firasatnya ternyata benar, Agung Sedayu telah
kembali.
“Satu ilmu yang luar bisa ki sanak, ilmu yang kau
bangun dengan memanfaatkan kelengahan lawanmu, lihatlah aku telah kehilangan ikat
kepalaku dan bajuku telah koyak di beberapa bagiannya, apakah kalian membawa
pakaian rangkap, ki sanak ?” kata ki Rangga dengan suara tetap tenang seperti
semula.
“Ora waras, setan kuburan, kau tidak mati juga orang
gila ! Kau tentu mempunyai ilmu kebal yang sangat kuat” dengus Ki Ajar
Puputan dengan mata melotot yang seolah biji mata itu akan keluar dari
kelopaknya.
“Sebagaimana Ki sanak lihat” terdengar suara Ki Rangga
perlahan.
Ki Lurahpun melihat kehadiran ki Rangga dengan hati
berdebaran, kenyataan yang dihadapi benar - benar sangat mengagetkannya,
ternyata senopati Mataram itu mempunyai ilmu kebal yang sangat kuat sehingga
telah dapat membebaskannya dari serangan Ajar Puputan yang sangat mematikan
itu.
Berseberangan dengan Ki Lurah Sembawa, sambil menekan
punggungnya Ki Waskitapun nampak tersenyum tipis, kematangan ilmu kebal Ki
Rangga telah menyisipkan rasa bangga di hatinya.
Dalam sekejap, tanpa banyak bicara lagi Ki
Ajarpun segera menyerang Ki Rangga masih tetap dengan gerakan sederhana,
menanggapi hal itu Ki Rangga tidak mau terbawa arus ilmu lawannya, segera ia
melibat Ki Ajar dengan serangan cepat dan berbahaya, melihat perubahan tata
gerak lawannya itu mau tak mau ki Ajar telah mengimbanginya, segeralah terjadi
pertempuran yang menggetarkan dada. Dua bayangan hitam telah berputaran dan
saling menyerang.
Dengan kecepatan gerak yang mengagumkan Ki Rangga
telah mengurung lawannya, gerakan tangannya seolah seperti kabut yang
membungkus tubuh lawannya, meskipun perlahan Ki Ajar telah terdesak mundur,
bahkan terkadang terlihat bahwa orang dari Bergota itu telah kehilangan kiblat
perlawanannya, segeralah sentuhan tangan Ki Rangga yang sekeras besi geligen
itu benar - benar mulai meraba tubuhnya.
“Setan ! Orang ini mempunyai kecepatan gerak
yang sangat tidak masuk akal” pikir ki Ajar.
Ki Waskitapun melihat kesulitan yang dialami lawan
Agung Sedayu itu, semakin terdesak dan selanjutnya mata tua itu telah melihat
sebuah hantaman tangan kiri Ki Rangga telah menerpa pelipis kanan Ki Ajar Puputan,
badan itu nampak bergetar dan telah condong ke kiri, tak mau melewatkan
kesempatan itu segera Ki Rangga meloncat mendekat dengan jari mengembang
menggapai dada yang terbuka itu, sebuah sentuhan tangan kanan yang dilambari
kekuatan tenaga cadangan yang sangat besar telah membentur tubuh orang Bergota
itu, serentak terdengar keluhan tertahan, tubuh itu telah terjengkang mundur,
berguling beberapa kali dan rebah merapat di tanah.
Suasana menjadi hening, nafas Ki Lurah Sembawa serasa
telah tersumbat di kerongkongan, kening berkerut dalam serta matanya
dengan nanar telah memperhatikan kawannya itu.
Ki Rangga tidak segera memburu lawannya, dia tetap
berdiri beberapa langkah dan telah memberi kesempatan kepada lawannya untuk
bangkit
Dadanya bagai terhimpit batu padas dan tulang dadanya
pun terasa berpatahan, sejenak Ki Ajarpun tidak segera berdiri, dikerahkan daya
tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit yang luar biasa itu, dengan tarikan
nafas yang panjang, meskipun tetatih - tatih dia telah berdiri lagi. Terdengar
orang bergota itu mendengus keras menggetarkan hati, kesadarannya akan
kemampuan lawannya yang memiliki ilmu kebal yang tak mungkin di tembus serta
kecepatan gerak yang tidak mungkin diimbanginya maka segera ia mencabut
pusakanya. Ditangan Ki Ajar telah tergenggam sebuah keris pusaka yang
berwarna kehitaman dengan cahaya buram.
Dengan dada berdebar - denar, Ki Rangga menatap
dan mengamati senjata lawannya itu.
“Ternyata kau senang bermain - main dengan racun Ki
Ajar” terdengar suara Ki Rangga berat.
Dengan suara parau, dia menjawab” Kau sadari itu
Rangga, segeralah kau menyerah dan aku berjanji akan membunuhmu secara cepat,
bagaimana ?”
“Kau bergurau Ki sanak”
“Ilmu kebalmu tidak akan berarti apa -apa bagi kerisku
yang sangat bertuah ini, Ki Rangga”
Tak mau menghadapi kesulitan yang bakal timbul maka
secara perlahan Ki Rangga telah meningkatkan ilmu kebalnya sampai kepuncak,
perlahan tetapi pasti udara panas telah menyelimuti dirinya dan tangan kanannya
segera mengurai senjata yang melilit di lambungnya sebuah cambuk yang berjuntai
panjang.
Gerakan tangan Ki Rangga ternyata tidak lepas dari
pengamatan Ki Lurah Sembawa dengan jantung seakan mau meledak dengan bibir
gemetar, Ki Lurah itu bergeser maju dua langkah.
“Setan alas, rupanya kaulah setan bercambuk itu” terdengar
teriakan Ki Lurah Sembawa memecah kesenyapan malam. dan dengan tergesa - gesa
pula telah ditariknya senjata yang terselip di samping kiri pinggangnya itu,
sebuah golok yang berukuran besar. Kakinya segera melangkah merapat kepada Ki
Ajar.
“Kita bergabung Ki Ajar, segera kita selesaikan orang
bercambuk ini”
Melihat perkembangan keadaan itu Ki Waskitapun dengan
tenangnya telah berjalan mendekat ke arah Ki Rangga, katanya, “Aku ambil salah
satu lawanmu, angger”
Ki Rangga tidak segera menjawab, berpikir sejenak,
menghadapi lawan yang satu saja cukup sulit baginya apalagi melawan keduanya,
tetapi membiarkan Ki Waskita ikut terjun ke medan itu sangatlah deksura,
sebagai murid yang baik, diapun berkata,” Duduklah Kyai, biarlah aku mencobanya
terlebih dahulu, bila ternyata aku kesulitan, silahkan Kyai melibatkan diri.”
“Bedebah” geram Ki Ajar Puputan.
“Senopati, kesombonganmu ternyata menyentuh langit,
kau belum mengenal aku, sebentar lagi tubuhmu akan tersayat dan tulangmu akan
remuk oleh sabetan golokku, ajalpun segera menjemputmu.” teriak Ki Lurah
Sembawa.
Tanpa menghiraukan bualan lawannya, terdengar Ki
Rangga tertawa lirih,” Silahkan Ki Waskita menepi, biarlah aku mencobanya.”
Meskipun dicengkam oleh keraguan yang sangat, Ki
Waskitapun dengan wajah tersungging senyuman tetap bergeser menepi,
memberi kesempatan kepada ki Rangga untuk menghadapi kedua lawannya.
Ki Ranggapun segera kembali menatap kedua lawannya
itu, terasa angin malam telah mengusap wajah yang teduh nan tenang serta
membelai rambutnya yang sebatas bahu, dia sudah tidak memikirkan lagi dimana
ikat kepalanya yang telah terjatuh itu, dengan segala ketulusan hati, ia telah
memanjatkan doa memohon pertolonganNya.
Ki Ajar Puputan pun segera menyiapkan diri, ia telah
gagal membunuh Ki Rangga dengan serangan pertamanya, tetapi keyakinan terhadap
tuah keris itu telah telah membuatnya melangkah kembali mendekati orang yang
diburunya itu. Sekilas diperhatikan wajah Ki Lurah yang tegang itu,
timbulah harapannya akan dengan cepat menyelesaikan pekerjaan itu dan segera
mengambil imbalannya.
Sedangkan hati Ki Lurah sendiri berbagai macam persaan
telah bercampur aduk dengan sengitnya, persaan gelisah menghadapi orang
bercambuk itu, perasaan senang sebab tak perlu mencari lagi keberadaannya serta
perasaan khawatir akan nasib yang akan menimpanya, sependapat dengan Ki Ajar
Puputan, menurutnya mereka berdua akan dengan cepat dapat mematahkan perlawanan
orang bercambuk itu.
Tanpa membuang waktu terlalu lama, segera Ki Lurah
Sembawa menyerang lawannya, dengan teriakan nyaring telah diayunkannya golok
besar itu menebas leher lawannya, serangan yang datang dengan cepat itu segera
dihindari oleh Ki Rangga dengan merendahkan tubuhnya dan segera terdengar
ledakan yang memekakkan telinga, cambuknya telah terayun menyambar perut Ki
Lurah Sembawa, tidak mau terkena lecutan maka Ki Lurahpun terlihat meloncat
kesamping dan belum sempat menarik nafas, Ki Rangga telah melihat kelebat keris
Ki Ajar menusuk ke arah lambung, segera ia bergeser surut sembari mengayunkan
cambuknya sendal pancing kearah leher lawannya, tidak terdengar bunyi ledakan
keras, cambuk itu hanya terlihat berdesing tajam tetapi getaran yang
ditimbulkannya segera menyusup masuk menusuk dada kedua lawannya.
“Gila !” terdengar umpatan Ki Lurah seakan ingin
membebaskan dadanya dari getaran cambuk lawannya.
Terlihat keduanya masih melibat Ki Rangga dengan
serangan cepat dan mematikan, keduanya adalah orang yang berlimu sangat tinggi,
mereka bertempur saling mengisi dan melengkapi tetapi lawannya adalah Ki Rangga
Agung Sedayu seorang yang mempunyai kemampuan aneh, meskipun keduannya bergerak
sangat cepat, terlihat Ki Rangga tanpa kesulitan menghindar dan terkadang
membentur serangan itu dengan tangan kirinya, tubuhnya meliuk - liuk
diantara kedua senjata lawannya, sementara serasa cambuk berjuntai panjang itu
menggoda perasaan dan tubuh lawannya bahkan sempat terdengar Ki Rangga tertawa
perlahan takkala melihat kedua lawannya hampir saling berbenturan.
“Kalian harus sering melakukan latihan bersama- sama
sehingga gerakan kalian akan semakin padu” katanya sambil melayani serangan
dari kedua lawannya, gerakan cambuknya benar - benar membuat sulit kedua
lawannya.
Mendengar ejekan lawannya, terasa dada Ki Ajar seakan
mau pecah, segera ia meloncat surut dan sekejap telah diunkapkan ilmunya
yang lain, dalam keremangan malam nampak keris itu telah memerah perlahan dan
kemudian keris itu bagaikan telah membara.
Beberapa puluh langkah Ki Waskita telah melihat perubahan
keris lawan Ki Rangga itu, dadanya nampak berdebar - debar. Ia tahu bahwa
adik Untara itu memiliki ilmu kebal yang sangat kuat bahkan pada puncaknya
telah menimbulkan dan menebarkan hawa panas tetapi apakah ilmu itu dapat
menahan ujung keris yang membara itu ? Ki Waskitapun segera mempersiapkan
dirinya.
Disamping orang Bergota itu, Ki Lurah Sembawa
telah memejamkan matanya sekejap, ilmu rangkapan goloknya telah terangkat
kepermukaan, keduanya segera meloncat menggempur pertahanan Ki Rangga,
ketiganya bagaikan bayangan hitam yang telah berputaran saling mendesak
dan saling menyerang dengan dahsyatnya. Sambaran keris yang membara dan golok
lawannya telah menimbulkan desiran angin yang sangat mendebarkan, kemanapun Ki
Rangga bergerak merekapun selalu mengejar dan mengurungnya kembali dengan
serangan yang cepat, cambuk Ki Ranggapun telah bergerak seolah ujungnya
mempunyai mata, kemana arah lawannya bergerak maka ujung cambuk itu telah
mengikuti dan segera mematuk lawannya, tidak terdengar suara ledakan yang
memekakan telinga lagi.
Sementara golok Ki Lurah Sembawa nampak berputaran
dengan cepat mengelilingi tubuh lawannya, menurut mata Ki Rangga bahwa golok
itu telah berubah menjadi puluhan golok yang siap menembus ilmu kebalnya. Saat
menghindari serangan Ki Ajar Puputan terasa sebuah sabetan telah menerpa
pundaknya, sebuah dorongan yang kuat sehingga Ki Rangga telah bergeser
kesamping. Ki Rangga telah meraba pundaknya, tidak ada darah menetes,
ilmu kebalnya masih mampu menahan serangan itu.
Ki Lurah Sembawapun terperanjat dan telah meloncat
surut diiring oleh Ki Ajar, mereka berdua ingin melihat akibat dari sentuhan
golok itu, dengan dada berdegup keduanya memperhatikan Ki Rangga, pundak itu
tidak terluka apalagi mengucurkan darah.
“Ki sanak, apakah perlu perkelahian ini dilanjutkan,
tidakkah ada kesadaran pada diri kisanak , kesadaran akan hak orang lain” terdengar
suara Ki Rangga perlahan, selanjutnya,
“Biarkanlah kami melanjukan perjalanan dan kembalilah
kalian, tidak ada permusuhan dan kalian bisa hidup dengan tenang.”
Kedua lawan Ki Rangga adalah dua orang yang telah
kenyang pengalaman didunia hitam, perkataan Ki Rangga bagi mereka adalah suatu
penghinaan yang tidak dapat dilupakan, tanpa berjanji segera saja keduanya
meloncat menerkam tubuh Senopati Mataram itu. Perkelahian yang rumitpun
berlangsung kembali. Ki Waskita yang berdiri tidak terlalu jauh itu segera
melihat perubahan tata gerak dari anak Jati Anom itu, dia tidak lagi sekedar
menghindar tetapi gerakan cambuk itu benar - benar telah memberikan perlawanan.
Ki Rangga tidak lagi menjajagi ilmu lawannya, merasa
waktunya telah banyak terbuang maka iapun telah menyerang lawannya. Ketika
keris ki Ajar menusuk lambungnya, ia telah bergeser kesamping, dengan lompatan
kecil cambuknya telah terayun, sebuah lecutan sendal pancing telah merobek
pundak Ki Ajar Puputan dan tanpa diduga oleh Ki Lurah cambuk itupun telah
bergeser mendatar meraba baju dan mengoyak lambungnya. Akibat sentuhan itu
keduanya tekah terlempar dan jatuh berguling - guling ditanah dan ketika bangun
terasa sesuatu yang hangat telah membasahi tubuh mereka.
“Gendruwo, demit, thethelkan ” terdengar mereka
menggeram marah, tanpa menghiraukan lukanya keduanya telah menyerang kembali,
kemarahan yang meluap telah membuat nalar mereka semakin kabur, darah telah
membasahi tubuh dan perlahan daya tahan tubuh merekanpun mulai menurun,
kebingungan mereka telah sampai kepuncaknya ketika mereka tidak melihat
tubuh Ki Rangga lagi dengan jelas, gerakan Ki Rangga yang sangat cepat telah
membuat mereka kehilangan pegangan, satu sentuhan kaki telah menerpa ulu
hati Ki Lurah Sembawa, tubuh itu telah terdorong kebelakang sementara itu ujung
cambuk Ki Rangga telah membelit pergelangan tangan Ki Ajar Puputan, dengan satu
sentakan yang kuat telah membuat orang Bergota itu kehilangan keris pusakanya.
Pergelangan tangan itu terasa patah dan kulitnya telah
mengelupas segera memerah basah oleh darah, nampak Ki Ajar Puputan
telah berdiri termangu - mangu dengan memegangi pergelangan tangannya.
Saat Ki Rangga memperhatikan Ki Ajar maka ki Lurah
Sembawa tidak melewatkan kesempatan itu, dikerahkannya tenaga cadangannya
sampai kepuncak dan disertai teriakan nyaring segera ia melompat tinggi
sambil mengayunkan goloknya membelah punggung anak Jati Anom itu.
Namun Ki Rangga adalah orang yang sangat terasah
pranggaitanya, teriakan lawannya yang nyaring sudah memberikan waktu yang cukup
baginya, dengan cepat Ki Rangga membalikan badannya dan tanpa ancang - ancang
telah menyambut serangan itu, , terlihat Ki Rangga melontarkan tubuhnya
kesamping kiri dan bagaikan menggeliat ujung cambuk berkarah baja itu telah
menyusup serta menampar dada lawannya yang masih terapung diudara itu,
sebuah kekuatan yang sangat besar telah memukul dan meremukan dada serta
jantung Ki Lurah Sembawa. Tubuh itu telah terhentak dan jatuh menimpa tanah
dengan kerasnya, tidak terdengar rintihan, tubuh telah terbujur diam.
Ki Ajar telah melihat jelas kejadian di muka hidungnya
itu, tak terasa kakinya telah gemetar dan segera terduduk ditanah, masih
terlihat pundaknya menitikkan darah, luka yang belum sempat dilihatnya dan
tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanannya yang terasa pedih, ia tak
mau bernasib seperti Ki Luran itu, segera katanya,” Aku menyerah ki sanak, aku
mohon ampun.”
Sementara Ki Waskita yang terlihat jongkok disamping
tubuh ki Lurah itu segera menggelengkan kepalanya dan terdengar suaranya
perlahan,” Ki Lurah sudah meninggal ngger, “
Setelah membelitkan cambuk dilambungnya maka Ki
Ranggapun kemudian berjalan kearah Ajar Puputan yang telah terduduk dan nampak
gemetar itu.
“Apakah yang ingin kau lakukan Ki sanak ?”
“Aku menyerah Ki Rangga”
“Sorot matamu tidak mengatakan demikian ki sanak” Ki
Rangga telah berdiri tiga langkah didepan Ki Ajat itu,
“Aku benar - benar menyerah Ki Rangga, aku tak mau
mengalami nasib seperti Ki Lurah”
“Apakah kau tidak memperhitungkan akibat perbuatanmu
itu, kisanak”
Ki Ajar Puputan tampak terdiam, tidak menjawab
pertanyaan Ki Rangga, tubuhnya terlihat bergemetaran.
Ki Waskita yang berdiri beberapa langkah dari
lingkaran pertempuran itu, tampak mengerutkan keningnya dalam - dalam,
bagaimana mungkin seorang Ajar dengan mudahnya telah menyerah ?
“Berdirilah ki sanak, aku akan memberikan obat untuk
menghentikan darahmu yang masih keluar itu.”
Tanpa menyahut, segera Ki Ajar itu berdiri dan ki
Rangga pun telah memberikan obat seperti yang telah dikatakannya itu.
Sekali lagi Ki Ajar telah berbuat licik, dengan gerakan sangat cepat dia
telah melangkah ke depan dan tangannya segera terayun, sebuah pisau
belati kecil dan mengandung racun yang sangat tajam telah menghunjam dengan
derasnya ke dada kiri Ki Rangga, terdengar desis Ki Rangga menahan rasa sakit,
pisau itu telah menggores dalam di dadanya.
Bagaikan seorang yang kesurupan, Ki Ajar telah tertawa
tergelak - gelak, disela tertawanya diapun berkata,” Salahmu sendiri Ki Rangga,
kau telah melepas ilmu kebalmu, pisau itu adalah pisau yang sangat beracun,
sebentar lagi tubuhmu akan terbujur dan kulitmupun akan segera membiru.“
Mendengar perkataan itu, dengan satu lompatan panjang
Ki Waskita telah berdiri disamping Ki Rangga dan terdengar orang tua itu
menggeram,” Kau sangat licik, ki sanak.“
Sementara Ki Rangga telah meraba dadanya, darah
segarpun segera memancar dari luka itu, terdengar gemeretak gigi senopati
Mataram itu, Ki Ajar masih nampak tertawa berkepanjangan,” Aku puas dapat
menggores tubuhmu Ki Rangga, kau akan segera mati menyusul Ki Lurah
Sembawa.”
Dengan kening berkerut Ki Rangga telah memandang
lawannya tajam - tajam, sungguh dia tidak menyangka bahwa lawannya itu telah
berbuat sangat licik.
“Aku akan menyempurnakan kematianmu, Ki Rangga” kata -
kata Ki Ajar masih terdengar bagaikan rintihan hantu pencabut nyawa. Meskipun
tenaganya telah menyusut nampak Ki Ajar telah memusatkan segenap nalar dan
budinya segera menghimpun ajian puncaknya, ia ingin segera menyelesaikan
lawannya.
Sesaat kebimbangan telah mencengkam hati murid Kyai
Gringsing itu, apakah ia akan membentur puncak ilmu lawannya itu ataukah akan
mencari jalan yang lainnya ? Baginya racun itu sama sekali tidaklah
berbahaya dan sekarangpun racun itu telah dipunahkannya, tetapi melihat orang
itu mengungkap ilmu puncaknya maka dadanya terasa berdebar - debar.
Ki Ajar Puputan sudah tidak membutuhkan pisau kecil
itu lagi, ia sudah bersiap melontarkan ilmu pamungkasnya, terlihat tangan itu
bergetar hebat dengan teriakan nyaring dia telah meloncat penghantam dada
lawannya yang masih terlihat berdiri mematung, sentuhan tangan itu tentu
dapat menembus ilmu kebal dan akan menghanguskan jantung Ki Rangga.
Tidak terlihat Ki Rangga bergerak sedikutpun, tubuhnya
tetap saja berdiri mematung, tangannya telah bersendekap dimuka dadanya,
ditunggunya tangan itu menyentuh dadanya, keheranan nampak diwajah Ajar Puputan
melihat sikap lawannya itu tetapi semuanya sudah terlanjur bahkan orang Bergota
itu telah menguras tenaga cadangannya, sebuah benturan hebat telah terjadi,
sebuah sentakkan dan hentakan dahsyat, tangan kanan yang mengepal
telah menempel dan menyentuh dada Ki Rangga yang terbuka itu, tidak
terdengar suara ledakan, nampak Ki Rangga bergetar mundur selangkah, wajahnya
terlihat tegang walau hanya sesaat, sedangkan tubuh Ki Ajar telah terpental
beberapa langkah kebelakang, tulang tangannya telah patah dan jantungnya
telah hangus terbakar, tubuh itupun telah tersungkur dan menggelepar di tanah
yang basah oleh embun malam, terdengar suara rintihan perlahan dan kemudian
terdiam selamanya.
“Bayu
Lampah” desis Ki Waskita. Sebuah ilmu pertahanan sejenis dengan ilmu Tamengwaja
ataupun Lembu Sekilan tetapi dalam perkembangannya, pertahanan yang di bangun
oleh ilmu Bayu Lampah adalah tidak sekedar bertahan melainkan membalikan
serangan lawan sekuat dan sebesar serangan itu sendiri.
Terlihat Ki Rangga telah menarik nafas dalam - dalam,
tangan yang bersendekap itu telah diurainya, sejenak kemudian,” Maafkan aku Ki
Waskita, aku tidak dapat berbuat lainnya” terdengar suara ki Rangga pelan.
“Bukan kesalahanmu ngger, akupun akan berbuat
sepertimu jika mengalami keadaan seperti ini, bahkan mungkin lebih dari yang
sudah angger lakukan, sebuah kelicikan yang sangat keji ” kata Ki Waskita
menenangkan gejolak perasaan Ki Rangga.
“Nampaknya angger telah menemukan simpul - simpul
puncak dari kitab aku pinjamkan kepadamu ngger, apakah benar yang tadi aku
lihat adalah ajian Bayu Lampah ?”
Ki Rangga nampak tersenyum mendengar pertanyaan itu,
jawabnya,” Benar Kyai, aku baru memulainya, aku baru pada tahap awal sebab
petunjuk di kitab itu sangat kabur, aku mencoba merangkai dengan kitab guru
Kyai Gringsing .“
Ki Waskita menganggukkan kepalanya, dadanya terasa
mengembang bahwa satu ilmu telah dikembangkan oleh anak murid sahabatnya itu,
ilmu yang telah disadap dari kitab perguruannya, sebenarnyalah Ki Waskita ingin
membicarakan perkembangan ilmu dalam kitab perguruannya itu tetapi keadaan yang
menurutnya belum memungkinkan, saatnya nanti dia akan membicarakannya dengan Ki
Rangga.
Setelah merawat lukanya, ki Rangga telah berdiri dan
bersama Ki Waskita telah meletakkan tubuh kedua orang lawannya itu di tempat
yang terlindung dan aman dan mereka telah melanjutkan langkahnya kearah kuda -
kuda yang tertambat itu.
“Bagaimana lukamu ngger, apakah racun itu masih
mempengaruhimu ?”
“Luka yang tidak terlalu dalam Kyai, pisau itu masih
tertahan oleh selapis ilmuku dan racun itupun telah aku punahkan”
“Syukurlah, kita beristirahat sejenak ngger supaya
tenagamu sedikit pulih,”
“Kita akan meminta bantuan penduduk padukuhan ini
ngger untuk memakamkan keduanya.” lanjut Ki Waskita
Saat
dirasa telah cukup beristirahat maka keduanya telah berpacu kembali ke
padukuhan Turi. Mereka menjelaskan semuanya kepada para bebahu padukuhan itu
dan telah menitipkan kedua kuda itu sampai saatnya prajurit Mataram datang
mengambilnya, setelah menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan biaya
penguburan secukupnya maka keduanya telah melanjutkan perjalanan menuju istana
Kepatihan di kota Raja.
Terlihat Ki Rangga telah menarik nafas dalam - dalam,
tangan yang bersendekap itu telah diurainya, sejenak kemudian,” Maafkan aku Ki
Waskita, aku tidak dapat berbuat lainnya” terdengar suara ki Rangga pelan.
“Bukan kesalahanmu ngger, akupun akan berbuat
sepertimu jika mengalami keadaan seperti ini, bahkan mungkin lebih dari yang
sudah angger lakukan, sebuah kelicikan yang sangat keji ” kata Ki Waskita
menenangkan gejolak perasaan Ki Rangga.
“Nampaknya angger telah menemukan simpul - simpul
puncak dari kitab aku pinjamkan kepadamu ngger, apakah benar yang tadi aku
lihat adalah ajian Bayu Lampah ?”
Ki Rangga nampak tersenyum mendengar pertanyaan itu,
jawabnya,” Benar Kyai, aku baru memulainya, aku baru pada tahap awal sebab
petunjuk di kitab itu sangat kabur, aku mencoba merangkai dengan kitab guru
Kyai Gringsing .“
Ki Waskita menganggukkan kepalanya, dadanya terasa
mengembang bahwa satu ilmu telah dikembangkan oleh anak murid sahabatnya itu,
ilmu yang telah disadap dari kitab perguruannya, sebenarnyalah Ki Waskita ingin
membicarakan perkembangan ilmu dalam kitab perguruannya itu tetapi keadaan yang
menurutnya belum memungkinkan, saatnya nanti dia akan membicarakannya dengan Ki
Rangga.
Setelah merawat lukanya, ki Rangga telah berdiri dan
bersama Ki Waskita telah meletakkan tubuh kedua orang lawannya itu di tempat
yang terlindung dan aman dan mereka telah melanjutkan langkahnya kearah kuda -
kuda yang tertambat itu.
“Bagaimana lukamu ngger, apakah racun itu masih
mempengaruhimu ?”
“Luka yang tidak terlalu dalam Kyai, pisau itu masih
tertahan oleh selapis ilmuku dan racun itupun telah aku punahkan”
“Syukurlah, kita beristirahat sejenak ngger supaya
tenagamu sedikit pulih,”
“Kita akan meminta bantuan penduduk padukuhan ini
ngger untuk memakamkan keduanya.” lanjut Ki Waskita
Saat dirasa telah cukup beristirahat maka keduanya
telah berpacu kembali ke padukuhan Turi. Mereka menjelaskan semuanya kepada
para bebahu padukuhan itu dan telah menitipkan kedua kuda itu sampai saatnya
prajurit Mataram datang mengambilnya, setelah menyampaikan ucapan terima kasih
dan memberikan biaya penguburan secukupnya maka keduanya telah melanjutkan
perjalanan menuju istana Kepatihan di kota Raja.
Memasuki kota Mataram saat malam telah larut membuat
hati mereka berdua diterpa keraguan, sebuah kelambatan yang tidak disengaja dan
direncanakan, kepada Ki Waskita, Ki Rangga telah meminta pertimbangan, apakah
yang sebaiknya dilakukan.
Namun Ki Waskita berpendapat sama dengan Ki Lurah
bahwa mereka akan tetap menuju istana Kepatihan dan akan menghadap Ki Patih
pada keesokkan harinya.
Petugas jaga istana Kepatihanpun telah mendapat
perintah bahwa wayah kapanpun kedatangan kedua orang dari Menoreh itu telah
ditunggu oleh Ki Patih Mandaraka.
“Ki Rangga bersama Ki Waskita dipersilahkan
beristirahat di gandok wetan, semuanya telah dipersiapkan dan besok pagi wayah
temawon akan ditunggu Ki Patih di sentong tengah” berkata Abdi Dalem istana
Kepatihan itu.
Malam itu kedua orang dari Tanah Perdikan Menoreh
telah benar - benar beristirahat, keduanya telah mengalami ketegangan batin
yang cukup melelahkan sepanjang perjalanan menuju Mataram, setelah membersihkan
diri dan menunaikan kewajiban terhadap Sang Pencipta maka keduanya segera
merebahkan tubuhnya.
Hari baru telah datang, kehidupan rakyat Mataram terus
berlanjut, setiap orang telah mengais harapan, kebahagiaan dan kesedihan telah
berjalan tanpa direncanakan dan datang tanpa terelakkan, saat itu wayah
temawon, Ki Rangga dan Ki Waskita telah berada di sentong dalam sesuai
dengan petunjuk abdi dalam kepatihan, mereka sedang menunggu kedatangan Ki
Patih Mandaraka.
“Angger Sedayu, bagaimana perkembangan luka di dadamu
? Apakah sudah tidak mengeluarkan darah lagi ?” tanya Ki Waskita sembari
menikmati jajanan yang telah disiapkan.
“Sudah jauh lebih baik Kyai, apalagi semalam aku dapat
istirahat sepenuhnya justru sekarang dada ini terasa berdebar - debar menunggu
kedatangan Ki Patih” jawab Ki Rangga sembari tersenyum.
“Ah, bukan hanya angger tetapi akupun juga berdebar -
debar, sebab aku sudah lama sekali tidak memperhatikan perkembangan yang ada di
Mataram ini, apalagi sejak ibu Rudita sudah tidak ada lagi, tentu angger ingat,
saat angger bertemu Rudita pada pemakaman ibunya itu, sudah lama sekali.”
Ki Rangga mengangguk - anggukan kepalanya, sebentar
terlintas bayangan seorang yang mempunyai sifat luhur, seorang Rudita anak
semata wayang Ki Waskita yang selalu bersedih bila mendengar atau menyaksikan
terjadinya kekerasan, dia selalu memberikan apapun yang bisa dia berikan
terhadap sesamanya, bahkan sekarang Rudita sudah membuka padepokan sendiri,
sebuah padepokan yang tidak mengajarkan olah kanuragan.” Hem… seorang yang
telah menemukan cahaya keyakinan yang teguh” gumamnya dalam hati.
Derit pintu jati itu telah menarik perhatian kedua
orang Menoreh itu, serentak mereka berpaling dan melihat seorang yang sudah
sepuh telah melangkah menghampiri mereka. Ki Rangga dan Ki Waskita segera
berdiri mendapatkan Ki Patih Mataram itu. Setelah menanyakan kabar dan
keselamatan masing - masing maka merekapun telah duduk dan suasana
menyenangkan telah mengurung mereka. Seolah tiada jarak antara mereka.
Seorang abdi dalem baru yang belum mengenal Ki Rangga,
telah bertanya - tanya dalam hatinya,” Siapakah mereka itu ? Seorang Tumenggung
saja tidak mendapat kesempatan bercanda dengan Ki Patih layaknya mereka, sangat
mengherankan, apakah mereka sanak kadang Ki Patih yang datang dari Selo ?”
Abdi dalem itu merasa pening kepalanya memikirkan itu,
tidak mau kepalanya menjadi lebih berat lagi maka abdi dalem itu segera masuk
ke sentong barat dan melakukan tugas - tugas kesehariannya.
“Ki Rangga, aku mengetahui kehadiranmu semalam tetapi
aku sengaja tidak menghampirimu, biarlah pagi ini saja kita bertemu,
tentu perjalanan yang melelahkan bagimu Ki Rangga,” Ki Patih telah membuka
pembicaraan itu.
Ki Rangga tersenyum, pandangan matanya mengarah pada
Ki Wakita dan orang tua itupun segera tersenyum.” Ki Patih, sebenarnyalah
hamba bersama Ki Waskita telah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan”
“Ceritakanlah angger Sedayu” pinta Ki Patih perlahan.
Sementara Ki Waskita pun berkata,” silahkan angger
bercerita dengan jujur, jangan mengatakan yang aneh - aneh tetang perkembangan
ilmuku, bayangan semu sekarang ini sudah jarang peminatnya,“
“Apa lagi angger akan becerita tentang ikat kepalaku,
kumohon jangan ngger sebab ikat kepala itu sudah aku jual beberapa tahun yang
lalu kepada Ki Jaka Raras” Ki Waskita menambahkan.
Mendengar hal itu meledaklah tawa Ki Patih Mandaraka,
tubuhnya berguncang dan segera tangannya memegang perutnya. Suasana akrab yang
betul - betul mengherankan bagi siapapun yang melihat, sekalipun seorang
Adipati..
Cerita tentang Ki Ajar Puputan dan Ki Lurah Sembawa
telah mengalir sesuai dengan peristiwa yang telah dialaminya.
“Hem….. ternyata mereka telah sampai ke Mataram
meskipun induknya masih ada di daerah Madiun” desah ki Patih perlahan.
Ki Rangga dan Ki Waskita tetap berdiam diri dan
menunggu tanggapan dan pendapat Ki Patih.
“Ki Rangga dan Ki Waskita, sebenarnyalah aku akan
meminta pertimbangan dan pendapat tentang perkembangan yang terkadi di Mataram
berkaitan dengan perkembangan keadaan didarah timur, terutama dari Ki Rangga
yang pernah melawat ke timur bahkan kepada Kyai Gringsing, tetapi nampaknya
harus tertunda sesaat sebab sebentar lagi aku harus menghadap wayah Panembahan
Prabu , silahkan beristirahat ataupun menikmati suasana kepatihan, selesai
menghadap maka aku akan segera kembali dan kita akan berbincang - bincang lagi”
kata Ki Patih kepada para tamunya.
“Hamba Ki Patih” terdengar hampir bersamaan suara Ki
Rangga dan Ki Waskita.
Ki Patih segera mohon diri dan melangkahkan kakinya
keluar Kepatihan menuju pendopo siti inggi, selanjutnya atas petunjuk abdi
dalem istana, Ki Patihpun menuju ruang khusus.
Dengan kepala tertunduk Patih Mataram itu menunggu
kedatangan rajanya.
Suasana saat itu sedikit hening, hanya terdengar suara
burung perkutut kesayangan keluarga istana, Panembahan Prabu Hanyakrawati telah
duduk di ruang yang telah dipersiapkan bagi para raja yang memerintah
Mataram, ruangan yang tidak begitu besar tetapi mempunyai suasana tersendiri
dan berbeda dengan ruangan - ruangan lainnya, terlihat lukisan wajah Penembahan
Senopati tergantung rapi didinding.
“Eyang Patih Mandaraka, apakah tadi aku tidak salah
mendengar bahwa Ki Rangga Agung Sedayu telah berada di istana Kepatihan ?” terdengar
suara Panembahan Hanyakrawati memecah kesunyian.
“Benar cucunda Prabu, semalam mereka telah datang dan
hari ini hamba telah menemui mereka”
“Apakah Ki Rangga mempunyai keperluan tertentu dan
ingin menghadap padaku eyang?”
“ Tidak cucunda Prabu, hambalah yang telah
memanggil mereka dan ingin meminta pertimbangan dan pandangan atas
situasi yang terjadi akhir - akhir ini di bang wetan”
Mendengar penjelasan Ki Patih Mandaraka, Panembahan
Hanyakrawati tampak menganggukkan kepalanya, terdengar kemudian katanya,” Eyang,
aku sudah mendengar dan mengikuti sepak terjang Ki Rangga dalam lingkaran
keprajuritan ataupun dalam kehidupan kesehariannya sebagai masyarakat biasa,
aku juga telah mendengar cerita dari Sinuhun Panembahan Senopati semasa beliau
ada, rasanya Mataram telah berhutang banyak kepada murid Raden Pamungkas itu,
bagaimana menurut Ki Patih, seandainya Mataram memberikan sesuatu kepadanya ?”
Ki Patih Mandaraka mendengarkan secara saksama apa
saja yang telah dikatakan oleh Panembahan Prabu, ingin secepatnya mendengar
kelanjutan dari apa yang sudah diucapkan itu.
“Bagaimana menurut eyang, apakah sudah sepantasnya
bila pangkat keprajuritan Tumenggung di berikan kepada Ki Rangga ?”
Ki Patih nampak terdiam sesaat mendengar perkataan
Panembahan Prabu itu, menurutnya sudah sepantasnyalah apabila Ki Rangga Agung
Sedayu diberikan jenjang kepangkatan yang lebih tinggi yakni Tumenggung dan
seharusnya telah di berikan sejak dulu mengingat pengabdiannya yang sangat
besar terhadap Mataram bahkan pengabdiannya telah dimulai sejak babad hutan
mentaok.
“Bagaimana eyang ? Apakah eyang menyetujuinya ?” tanya
Panembahan Prabu membuyarkan lamunan Ki Patih.
Terlihat Ki Patih menarik nafas dalam - dalam,
kemudian katanya,” Tentu hamba sangat setuju Panembahan Prabu, apapun yang akan
diberikan kepada Ki Rangga,”
“Baiklah eyang dalam waktu dekat, tentunya setelah
persoalan dengan bang wetan selesai maka aku akan segera memwisudanya menjadi
Tumenggung, sementara persoalan yang berkembang di Madiun, Panaraga dan
Surabaya membuatku sangat prihatin.”
Mendengar itu, perasaan Ki Patih telah menjadi lega,
seolah terasa dada tuanya telah terisiram oleh air padasan.
Pembicaraan selanjutnya telah bergeser kepada
perkembangan daerah timur yang sangat menggelisahkan.
“Bagaimana caranya kita mencegah semua itu, eyang
Patih ?“
“Panembahan Prabu hamba memerlukan waktu untuk
berpikir lebih dalam lagi, sebab masalah ini telah menyangkut hidup orang
banyak dan tentu saja kelangsungan trah Mataram itu sendiri, hamba berjanji
untuk secepatnya menyelesaikan masalah ini dengan harapan kehidupan selanjutnya
menjadi lebih tenang khususnya di bang wetan.”
“Eyang, apakah Mataram akan bernasib sama dengan Demak
ataupun Pajang ?” tiba - tiba terdengar pertanyaan Panembahan Prabu.
Seperti disengat seribu lebah, jantung Ki Patih telah
berdebar - debar mendengar pertanyaan itu, sebuah pertanyaan yang tercurah oleh
rasa gelisah dan kecemasan, satu pertanyaan yang belum pernah didengarnya
sebelumnya, sejenak Ki Patih terdiam dan pikiranyapun seperti membeku.
“Eyang, sesungguhnya aku menginginkan bahwa Mataram
akan selalu dan tetap ada sepanjang masa, aku ingin Mataram dapat berbuat lebih
besar lagi bagi kesejahteraan rakyat di seluruh tanah ini, bahkan aku ingin
penerusku kelak bisa mempersatukan beberapa daerah yang terpecah - pecah itu
menjadi satu,” Panembahan prabu berhenti sejenak dan dipandanginya Ki Patih
Mandaraka itu, lalu lanjutnya,” Apakah itu merupakan hal yang mustahil untuk
dilaksanakan, eyang ?”
Sesungguhnya debaran didada Ki Patih belumlah reda
tetapi terasa hari ini dadanya bagai diguncang gempa dahyat, pertanyaan yang
datang berturut itu benar - benar sangat sulit untuk menjawabnya, dalam lubuk
hati yang paling dalam tentunya ia menginginkan suatu kelanggengan tetapi
segera disadarinya bahwa didunia ini tidak ada sesuatupun yang akan langgeng,
semuanya akan berjalan dan berubah menurut zamannya dan akan selalu berubah
menurut kehendakNya.
“Panembahan Prabu, bolehkah hamba berpendapat ?” kata
Ki Patih.
“Kenapa eyang ? Bukankah aku memang bertanya dan ingin
mendapat tanggapan dari eyang ?”
“Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab, menurut
hamba kita sebagai manusia diperbolehkan berkeinginan seolah tidak terbatas
tetapi hendaknya keinginan itu harus diupayakan semampu dan sekuat mungkin
tanpa melupakan keterbatasan kita sebagai makhluk ciptaanNya.” jawab Ki Patih.
“Aku mengerti dan memahami maksud eyang Mandaraka.” desis
Panembahan Prabu.
Di dalam ruangan khusus itu, Panembahan Prabu tampak
menundukkan kepalanyanya, sesaat terbayang beberapa persoalan yang membelit
Mataram dan perlu penyelesaian segera, penundaan menurutnya hanya akan
menghambat seluruh cita - cita Mataram.
“Eyang pada saatnya nanti, aku akan berbuat sesuatu
yang berbeda dengan kebiasaan Mataram selama ini, biarlah sementara terpendam
dalam dada ini, yakinilah, aku akan berbuat yang terbaik bagi Mataram dan akan
selalu mendengarkan segala nasehat dari eyang Mandaraka.”
Kepala Ki Patih tetap tertunduk, hatinya telah
bergetar mendengarkan janji rajanya itu, bahkan telah didengarkannya perkataan
selanjutnya,” Ki Patih Mandaraka, aku akan turun langsung ke medan pertempuran
jika Mataram memerlukannya dan aku tidak akan gentar sedikitpun menghadapi
siapa saja di tanah ini, jika ada sanak kadang istana yang telah mendapat
palenggahan dan mereka tidak mau tunduk atas kuasa Mataram maka akupun tak akan
segan untuk menghukumnya.”
Ki Patih yang tua itu segera mengerti perasaan yang
telah membekap dada rajanya itu, kemudian katanya,” Ampun Panembahan Prabu,
hamba akan menjalankan semua titah, semoga keagungan Illahi Robbi memberkahi
semua keinginan paduka, semua tenaga dan pikiran hamba yang tua ini akan hamba
curahkan sepenuhnya demi kejayaan Mataram.”
Keduanya sempat terdiam. didada mereka telah
berkecamuk berbagai persoalan. Kelangsungan Mataram telah mereka letakkan
di atas kepentingan lainnya.
“Baiklah, sekarang aku tidak akan menahan eyang lagi,
sampaikan salamku kepada Ki Rangga dan katakan padanya bahwa aku, Hanyakrawati
akan turun kegelanggang secara langsung bila mana prajurit Mataram berada
dimedan perang di manapun dan kapanpun.”
Setelah menghaturkan sembah maka Ki Patihpun segera
mohon diri, kakinya segera melangkah ke arah bangunan yang terletak di sayap
kanan pendopo siti inggil dan ditemuinya seorang yang berumur setengah baya dan
katanya,” Ki Lurah Putrayuda, apakah wayah Pangeran Pringgoloyo sudah kembali
dari Ganjur ?”
“Belum Ki Patih, adakah perintah untuk hamba ?” tanya
ki Lurah Putrayudha
“Jika sudah kembali, sampaikan pada Pangeran muda itu,
jika aku memerlukannya” kata Ki Patih perlahan.
“Sendika Ki Patih”
Merasa cukup maka Ki Patihpun segera menuju istana
Kepatihan dan menemui tamu - tamunya itu.
“Sembari menunggu Ki Patih datang, tidak ada salahnya
bila aku mengatakan sesuatu padamu, angger Sedayu” kata Ki Waskita saat
mereka duduk di sudut pendapa kepatihan.
Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak, lalu
katanya,” Apakah ada susuatu yang penting Kyai ?”
Sebenarnya pembicaraan mereka sudah berlangsung
beberapa lama tetapi nampaknya kali ini ada sesuatu yang penting sehingga
nampak orang tua itu seolah meminta ijin atau memberi isyarat bila yang akan
dibicarakan kemudian adalah sesuatu yang berbeda dari apa yang sudah
dibicarakan sebelumnya.
Ki Waskita menarik nafas dalam - dalam. ada sedikit
keraguan dalam hatinya, baginya mengatakan sesuatu kepada Agung Sedayu adalah
jalan keluar untuk menumpahkan kegundahan dalam dadanya, sejenak dipandanginya
pintu regol kepatihan, mungkin saja akan dilihatnya Ki Patih yang telah kembali
dari istana, ditunggunya beberapa saat tetapi nampaknya yang ditunggunya belum
datang juga.
“Angger, saat ini aku telah melihat beberapa isyarat
yang kurang aku mengerti kejelasan arti sebenarnya, sebuah isyarat tentang
keburaman yang akan menyelimuti Mataram, isyarat itu datang pada saat aku
memasuki Kepatihan beberapa saat yang lalu, tepatnya saat angger melayani
tantangan Pangeran Panaraga. Ketika itu aku kurang mengerti sebab isyarat itu
sangat kabur, hanya dadaku berdebar - debar saat menyaksikan angger
meninggalkan kepatihan menyusul kepergian Pangeran Pringgoloyo, saat itu aku
mengira bahwa aku mencemaskan kepergian angger,” Ki Waskita berhenti sejenak,
pandanganya segera tertuju kepada seorang prajurit dengan pedang dilambung
berjalan melintasi pendapa, tidak beberapa lama terdengar Ki Waskita meneruskan
pembicaraannya,” Ternyata aku salah mengurainya, saat aku menyaksikan akhir
dari perang tanding saat itu ternyata isyarat itu datang kembali dan makin kuat
serta memberi petunjuk padaku akan sesuatu yang bakal terjadi, sangat
mendebarkan hati ini ngger.”
Agung Sedayu memandang Ki Waskita dengan wajah
yang tegang, pengenalnya terhadap orang tua yang telah dianggap sebagai gurunya
itu benar - benar telah meyakinkannya bahwa apa yang dikatakan kepadanya adalah
suatu isyarat yang mendekati kebenaran tetapi kenyataan yang akan dihadapi,
benar - benar tidak dapat ditembus oleh orang tua itu.
Keduanya adalah orang yang mumpuni, tetapi mereka
menyadari sepenuhnya bahwa untuk menyingkap tabir isyarat itu dan melihat suatu
kenyataan, peristiwa akan terjadi yang sebenarnya nyata adalah satu hal
yang sangat tidak mungkin mereka lakukan. manusia hanya bisa meraba dan mencoba
menguraikan berdasarkan peristiwa - peristiwa yang terjadi disekitar mereka
saja.” Rahasia itu hanya milik Illahi Robbi” gumamnya Agung Sedayu dalam hati
“Ki Waskita, mohon penjelasan atas isyarat itu, kyai” berkata
Angung Sedayu sembari bergeser mendekat.
“Angger
peristiwa yang terjadi kemudian telah semakin menguatkan isyarat itu, tanpa
kita duga sebelumnya bahwa Kyai Gringsing telah hadir diantara kita dengan
segala rahasia yang dibawanya, kemudian beberapa waktu lalu telah hadir pula
seorang sahabat di masa mudaku, orang itu telah mengunjungiku dan menemuiku di
padepokan Rudita dan telah berbicara padaku akan kesediaannya menyerahkan
tenaga dan pikirannya bahkan muridnya, demi kejayaan dan ketenangan di tanah
ini, serta yang paling mendebarkan dada ini adalah saat aku melihat Ki Patih
saat berada di Menoreh, di pinggangnya itu terselip pusaka yang hampir tiada
duanya, cahaya tipis kehijauan telah terpancar dari pusaka itu dan aku bisa
melihatnya, sebelumnya aku tidak pernah menyaksikan ataupun melihat keris itu
melekat ditubuh Ki Juru Mertani,”
Agung Sedayu tampak termenung memikirkan semua
perkataan salah satu gurunya itu, perlahan dicobanya untuk mengingat dan
merangkai peristiwa di seputar dirinya dan ternyata ia juga merasakan hal yang
sama seperti yang dirasakan oleh ki Waskita.
Keheningan sesaat telah menghanyutkan mereka menyusuri
peristiwa - peristiwa yang pernah terjadi dan mengguncang semua sendi kehidupan
di tanah ini.
Keheningan itu segera terpecahkan saat Ki Patih telah
hadir dan berada diatara mereka berdua, pembicaraanpun telah berlanjut tetapi
Ki Patih tidak mengatakan hasil pembicaraannya dengan Panembahan Prabu secara
terperinci, hanya disampaikannya salam dari Sinuhun dan kesediaannya membantu
sepenuhnya demi terwujudnya ketenangan dan ketentraman rakyat Mataram secara
keseluruhan.
“Ki Rangga
dalam pertemuanku dengan Sinuhun Prabu telah disinggung tentang jenjang
kepangkatan keprajuritanmu, Sinuhun sangat menghormatimu dan akan memberimu
sesuatu tetapi aku tidak dapat menyebutnya kapan hal itu akan dilakukannya
tetapi percayalah sesuatu yang akan membuatmu lebih bermanfaat bagi sesama,
doaku semoga semuanya berjalan lancar dan segera terwujud apa yang diinginkan
oleh Sinuhun Panembahan Prabu Hanyakrawati terhadapmu.” kata Ki Patih mengakhiri pembicaraan di
pendapa itu. Saatnya bagi mereka untuk menunaikan kewajiban terhadap
penciptaNya dan tak lupa Ki Patihpun telah mengundang kedua tamunya untuk makan
malam bersamanya.
Saat wayah sepi bocah tampak dengan tergesa - gesa
Pangeran Pringgoloyo telah berjalan menuju istana Kepatihan dan kedatangannya
telah membuat pembicaraan itu semakin hangat, mereka telah bertukar pendapat
menanggapi situasi yang telah terjadi di bang wetan dan akibat yang akan timbul
bagi Mataram.
“Ki Rangga, aku telah mendengarkan semua laporanmu
ketika kau bersama wayah Pringgoloyo melawat ke timur beberapa waktu yang lalu,
apakah kau saat itu tidak melihat atau katakanlah mendengar beberapa perguruan
didaerah bang wetan yang telah berhimpun dan berniat pergi ke Mataram ?” tanya
Ki Patih kepada Ki Rangga.
“Ampun Ki Patih saat itu hamba tidak melihat adanya
situasi seperti itu, hamba bersama Pangeran Pringgoloyo sendiri tanpa pasukan
pengawal telah berkeliling Madiun dan Ponorogo, meskipun tidak banyak tetapi
kami melihat beberapa perguruan nampak tenang dan tidak bergejolak,”
“Jika demikian nampaknya gerakan ini memang berasal
dari Suroboyo dan dipimpin oleh seorang Tumenggung, bukankah Ki Ajar Puputan
juga menyebutkan hal yang sama saat melawanmu ?”
“Hamba Ki Patih”
“Bagaimana menurut tanggapan Ki Waskita tentang hal
ini, apakah Ki Waskita melihat isyarat yang dapat kita urai ?” Tanya Ki Patih.
Ki Waskitapun mencoba memberi tanggapannya
tentang situasi yang berkembang di bang wetan, khusus mengenai isyarat
yang diterimanya dengan sangat hati - hati telah disampaikan beberapa pendangannya.
“Ki Patih Mandaraka, mohon ampun, tentang
isyarat yang yang hamba terima adalah sekedar petunjuk, sebuah petunjuk
yang masih kabur dan memerlukan penafsiran yang teliti, terkadang masih sering
isyarat sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di kemudian hari,”
Nampak Ki Patih memandang Ki Waskita dengan wajah yang
tersenyum, sebagai orang yang telah mengenalnya, jawaban itu tidak membuatnya
terkejut, sudah menjadi kebiasaan sahabatnya itu berkata dengan merendah.
“Bukankah Kyai pernah mengatakan padaku tentang
mendung yang berarak dan turun dari Merapi” nampaknya Ki Patih ingin menarik Ki
Waskita agar dapat bercerita tentang isyarat itu lebih jauh lagi.
“Ah…” desah Ki Waskita
“Tidakkah Kyai ingin bercerita kepada kami semua,
sehingga kami bisa menangkap maknanya, dan hal terpenting adalah kami bisa
bersiap - siap menghadapi apapun yang bakal terjadi, meskipun ternyata
kedepannya tidak terjadi apa - apa, persiapan bagi kita semua adalah bukan
merupakan suatu kerugian, bukankah begitu Ki Rangga ?”
Ki Ranggapun terlihat tersenyum ketika mendengar kata
- kata itu.
Rasa - rasanya Ki Waskita sudah tidak dapat mengelak
lagi, dadanya terasa berdebaran segera ditariknya nafas - dalam - dalam untuk
menenangkannya.
“Ki Patih, sebenarnyalah aku memang melihat mendung
itu telah bergerak turun dari merapi menuju Mataram, meskipun tidak terlalu
cepat, tetapi sedikit demi sedikit telah menghalangi sinar matahari yang
menerangi bumi Mataram ini,” Ki Waskita telah berhenti sejenak, wajahnya telah
menghadap ke bawah seolah sedang mengamati tikar pandan berwarna hijau yang
menjadi alas duduk mereka yang hadir di ruangan itu, sesaat kemudian wajah itu
telah tegak kembali dan nampak telah melanjutkan kata - katanya,” Mendung itu
tentunya dapat dikaitkan dengan adanya gejolak yang terjadi di bang wetan ini
Ki Patih.“
Suasana terasa sangat hening, ruangan itu telah
menjadi saksi bisu yang melihat kegundahan hati orang - orang itu,
terbayang oleh mereka gejolak itu nyata adanya dan benar telah terjadi
dan tinggal menunggu waktunya saja tiba di Mataram.
Ki Patih sendiri telah merasakan firasat itu bahkan
telah disentuhnya kembali benda pusaka yang selama ini telah disimpannya rapi,
sementara Ki Rangga termenung membayangkan apa yang bakal terjadi, seandainya
bahaya itu datang haruslah ditemukan cara menghindari bahkan cara untuk
melenyapkan bahaya itu sendiri, sedangkan Pangeran Pringgoloyo tengah
memikirkan bagaimana caranya membebaskan Mataram dari kesulitan yang bakal
datang itu.
“Baiklah sanak kadangku, mengerti dan memahami apa
yang diuraikan Ki Waskita dengan mempertimbangkan keadaan yang terjadi saat
ini, kita akan segera bersiap dan melakukan semua tindakan yang nantinya dapat
mencegah, mengurangi dan bahkan meneolak bahaya yang akan dapat itu” kata Ki
Patih telah memecahkan suasana yang terasa membeku itu.
“Ki Patih, bila mereka datang dengan pasukan segelar
sepapan maka tidak ada pilihan bagi Mataram untuk melawan dengan segenap
kekuatan yang ada dalam gelar pasukan tetapi yang sulit adalah apabila
mereka akan menyusup ke Mataram dengan kelompok - kelompok kecil berbaur dengan
masyarakat dan berbuat sesuatu kekacauan, apalagi mereka itu berasal dari
beberapa perguruan yang berbeda,” kata Ki Waskita menyambung perkataan sesepuh
Mataram itu.
Semuanya tampak mengangguk mendengarkan uraian
tersebut. Ki Patih tidak segera menanggapi uraian Ki Waskita itu, tiba - tiba
dibenaknya telah melintas sesuatu yang menggelisahkan hatinya.
“Wayah, pada saat kau ke Ponorogo, apakah kau
mendapatkan kabar keberadaan seorang yang mengaku sebagai Pangeran
Ranapati itu ?” tanya Ki Patih kepada Pangeran Pringgoloyo.
“Tidak eyang, cucunda beberapa kali menanyakan kepada
para pini sepuh di Ponorogo mereka semua menjawab tidak tahu bahkan sebagian
dari mereka menganggap bahwa Pangeran Ranapati telah ditangkap dan dibawa ke
Mataram, ” jawab Pangeran Pringgoloyo.
Ki Patih tampak termenung, dahinya terlihat berkerut
dalam, jelas sekali dalam ingatannya, saat Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat
tugas ke timur untuk melihat perkembangan Panaraga dan mengamati kedatangan
seorang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati, satu pekerjaan keprajuritan
yang rumit dan memakan waktu yang lama, sampai saatnya Glagah Putih dan Rara
Wulan telah kehilangan jejak, Pangeran Ranapati seolah telah hilang di telan
bumi.
Setelah itu Mataram telah memerintahkan Adipati
Ponorogo untuk datang ke Mataram dan meminta penjelasan atas adanya persiapan
keprajuritan yang berlebihan dan kehadiran seorang Pangeran Ranapati, yang
menurut kalangan istana Mataram hanyalah sebuah akal - akalan seseorang untuk
mencari mukti.
“ Menurutku kegiatan yang cenderung meningkat
didaerah bang wetan perlu mendapat perhatian seksama, seperti yang dikatakan
oleh Ki Waskita, yang lebih berbahaya adalah apabila mereka menyusup ke Mataram
dan selalu mengguncang ketenangan rakyat yang pada akhirnya akan menumbuhkan
saling ketidak percayaan diantara sesama, sementara pasukan induknya menanti
saat yang paling tepat, kemudian akan datang kebarat menghantam Mataram.” ujar
Ki Patih.
“Ampun Ki Patih, sekedar usulan saja, bagaimana jika
kita juga menggalang kesatuan antara beberapa perguruan di wilayah barat ini,
tentunya dengan jalan yang berbeda dengan mereka dari bang wetan, perguruan -
perguruan itu hanya kita himbau agar berhati - hati dalam menanggapi segala
hasutan dan fitnah, dan apabila mereka kesulitan dalam mengadapi orang - orang
yang menentang Mataram, mereka dapat meminta bantuan kepada kita dan kita akan
dengan senang hati membantu mereka,” kata Ki Rangga, sesaat kemudian lanjutnya,”
Dan di Mataram juga harus disiapkan pasukan khusus yang tidak terlalu besar dan
dapat digerakkan sewaktu - waktu, khususnya menangani persoalan yang timbul di
kota raja dan kademangan kademangan sekitarnya, sementara semua prajurit
Mataram dimanapun berada, segera diwajibkan untuk meningkatkan kesiagaan dan
kewaspadaannya,dengan gerakan itu kita semua akan bersiaga dan tidak terlena,” kata
Ki Rangga menyampaikan usulannya.
“Eyang, nampaknya usulan Ki Rangga dapat kita tempuh
secara bersamaan dan persiapan itu tidak kita lakukan semata - mata tetapi
secara diam diam sehingga masyarakat tidak gelisah dan bertanya - tanya.” sambung Pangeran Pringgoloyo.
“Baiklah, kita akan menempuh berbagai cara dan akan
kita jalankan secara bersama -sama, khusus dikota raja kita akan menggerakan
kelompok yang lama yakni Gajah Liwung untuk mengamati kota dan daerah
sekitarnya, untuk kesiapan dan kesiagaan prajurit akan akan di sampaikan lewat
jalurnya serta pemberitahuan kepada perguruan - perguruan yang tersebar maka
akan dibuat nawala yang nantinya akan disampaikan oleh kelompok - kelompok
prajurit yang bertugas.”
“Ada satu hal lagi yang membuat hati ini terasa
gelisah” gumam Ki Patih seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Mohon ampun, apakah yang membuat Ki Patih gelisah ?” tanya
Ki Rangga.
“Ki Rangga, Ki Waskita dan wayah Pringgoloyo,
dengarlah baik - baik, Mataram tentu tidak akan gentar menghadapi sebuah
Kadipaten atau gabungan beberapa Kadipaten sekalipun, sebab Mataram dapat
menyiapkan prajurit dengan jumlah tak terbatas pula, menilik kemampuan prajurit
tentu bukanlah hal yang sulit sebab rata - rata mempunyai kemampuan yang tidak
jauh berbeda satu dengan yang lainnya, hanya ada beberapa saja yang mempunyai
kelebihan, aku dan Panembahan Prabu dibantu oleh beberapa Tumenggung akan
sanggup melayaninya, tetapi sekarang ini kita akan menghadapi beberapa
perguruan yang tersebar di daerah yang amat luas, tentunya mereka secara
peorangan akan mempunyai kekuatan yang nggegirisi, banyak sekali perguruan dari
daerah timur yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, kalau mereka bergabung
semua, apakah Mataram mampu menghadapinya ?” suara ki Patih terdengar perlahan
tetapi sangat meyakinkan.
Ruangan itu nampak lengang, mereka membayangkan
kekuatan gabungan dari beberapa perguruan di bang wetan, tentu mereka mempunyai
kelebihan - kelebihan yang sulit di bayangkan dan tentunya sangat berbeda
dengan kemampuan seorang Lurah prajurit, Rangga atau Tumenggung sekalipun.
Keheningan itu tiba - tiba telah dikejutkan oleh
teriakan kecil Pangeran Pringgoloyo yang telah meluncur begitu saja seolah
tanpa disadarinya,” Kyai Gringsing,”
Semuanya telah menoleh kearah Pangeran Pringgoloyo,
bahkan Ki Patihpun segera bertanya,” Apa maksudnya wayah ?”
Merasa diperhatikan oleh semua yang hadir diruangan
itu, nampak wajah Pangeran muda itu segera memerah, katanya,” Maafkan aku Ki
Rangga, bukanlah menjadi hakku untuk melibatkan guru Ki Rangga , yang aku
ucapkan tadi hanya kata-kata yang keluar tanpa sadar dari mulutku yang lancang
ini” katanya sambil menatap Ki Rangga, sorot matanya benar - benar memancarkan
rasa penyesalan yang mendalam.
Semuanya telah tersenyum mendengar kata - kata itu, Ki
Patihpun segera berkata,” Rupanya Kyai Grinsing telah hadir tepat pada saatnya,
baiklah wayah aku akan mengundang guru angger Sedayu ini untuk datang ke
Mataram dan tentu akan sangat menyenangkan hatimu juga hati kita semua,
bagaimana tanggapan Ki Waskita ?”
Ki Waskita masih tampak terdiam, waktu sesaat itu
telah dipergunakan oleh Ki Rangga untuk menyahut pembicaraan itu,” Bukan hanya
guru Ki Patih, sebaiknya Mataram juga segera membangunkan perguruan
Pangrantunan yang telah tertidur cukup lama.”
“Ah… ” desah Ki Waskita
“Baik - baik aku akan segera membangunkannya” sahut Ki
Patih cepat cepat sembari tertawa kecil. Sementara itu terlihat Pangeran
Pringgoloyo tersenyum meskipun kurang mengerti apa yang dibicarakan itu.
Pembicaraan itu masih berlangsung hingga tengah malam,
kentongan nada daramuluk telah terdengar bertalu - talu memukul setiap dinding
rumah di kota raja itu, Ki Patih telah menutup pertemuan itu, serta
berjanji akan membuat langkah - langkah cepat untuk mengatasi kemelut
itu.
“Ki Patih, jika tidak ada perintah lagi, segera pagi
ini hamba bersama Ki Waskita mohon diri kembali ke Menoreh” berkata KI Rangga
“Baiklah Ki Rangga, aku ijinkan kau kembali ke Menoreh
tetapi selalu ingatlah bahwa tugas dan kewajiban selalu menanti kita setiap
saat, tugas yang sangat mulia menjaga dan memelihara tatanan urip bebarayan nan
agung ” jawab Ki Patih.
“Hamba Ki Patih”
Kepada Pangeran Pringgoloyo, Ki Patihpun berkata,” Wayah,
Ki Juru Mertani yang tua ini sudah tidak dapat lagi menuntunmu berkembang lebih
dari yang ada sekarang, saranku memohonlah kepada Ki Rangga agar kau dapat
menimba sedikit ilmu dari padanya”
“Sendiko eyang”
“Ah.. mohon ampun, Ki Patih telah salah menilai diri
hamba,” kata Ki Rangga pelan.
“Bertanyalah kepada Ki Waskita, apakah penilaianku
salah, kami adalah orang - orang tua yang sangat mengagumimu ngger, kami tidak
pernah merasa malu mengatakannya, bahkan Panembahan Prabupun telah mengatakan
padaku, kami tahu angger telah melebihi kami semuanya dan sangatlah pantas pada
saatnya nanti aku akan menitipkan setidaknya dua Pangeran Mataram untuk menjadi
muridmu, angger Agung Sedayu”
Kaki Ki Rangga yang telah siap melangkah meninggalkan
ruangan itu terasa telah membeku, kehadirannya di kepatihan yang tidak
beberapa lama itu, ternyata telah memberinya sebuah beban keawajiban yang
sangat berat.
Perjalanan kembali ke Menoreh telah ditempuh Ki Rangga
dan Ki Waskita tanpa halangan dan sebentar lagi mereka akan sampai di barak
pasukan khusus dan selanjutnya mereka akan menuju padukuhan induk.
Kedatangan dua orang itu segera mengubah suasana di
rumah Ki Rangga menjadi lebih ramai menyenangkan, Swandaru dan Panda Wangi
hampir setiap hari berada di rumah Ki Rangga meskipun tidak terlalu lama,
sementara Sukra semakin rajin berlatih siang dan malam, bahkan disawahpun dia
telah berlatih meskipun dalam bentuk yang berbeda, kekuatan tubuhnyapun telah
berkembang menakjubkan.
Hari itu tamu dari Sangkal Putung itu telah memutuskan
untuk bermalam di rumah Ki Rangga, suasana benar - benar sangat menyenangkan
bagi setiap penghuninya.
“Apakah selama memimpin pasukan khusus kakang tidak
menemui kesulitan sebab yang aku pahami adalah mengatur orang demikian banyak
itu tentu menumbuhkan banyak persoalan dan kesulitan ?” tanya Swandaru saat
mereka jalan - jalan di pekarangan belakang rumah Ki Rangga.
“Benar adi, kesulitan itu banyak sekali, sangat
memerlukan kesabaran dan ketabahan”
“Apakah prajurit - prajurit itu semua tunduk kepadamu,
kakang ?”
Terdengar Agung Sedayu tertawa mendengar pertanyaan
itu, katanya,” Menurut adi, kalau prajurit itu tidak tunduk, apa yang akan adi
lakukan ?”
Swandaru menghentikan langkahnya, dipandanginya wajah
kakak seperguruannya itu, lalu jawabnya sembari meletakkan tangan kanan dengan
jari mengepal di muka wajahnya,
“Jika prajurit itu bebal , maka tanganku yang kanan
ini akan segera membentur keningnya, kakang”
“Nah, bagaimana kalau prajurit itu mempunyai perilaku
yang kurang menyenangkan ? meskipun dipasukanku tidak ada yang seperti itu”
“Tentu, tentu dan pasti sudah aku lemparkan ke parit
disawah yang kau garap kakang dan aku akan menyuruh Sukra untuk menghajarnya” jawab
Swandaru disertai tawa yang berderai, sementara Agung Sedayu juga tertawa
meskipun tertahan.
Keduanya terus berbincang tentang pasukan khusus
mataram yang ditempatkan di Menoreh itu, sampai saatnya keduanya telah
mendengar suara dari arah pintu belakang.
“Kakang Gupita dan Kakang Gupala masuklah segera,
minuman dan jajanan telah aku siapkan” terdengar teriakan kecil dari seorang
Pandan Wangi.
Terlihat Gupita tersenyum sementara Gupala segera
memelototkan matanya memandang perempuan itu, lalu katanya,” He, kau mau kemana
Wangi sore hari begini ? Kenapa kau menyandang pedang tipis itu dipinggangmu ?”
“Kang mbok ingin mencari keringat kakang” sahut
perempuan disampingnya yang tak lain adalah Rara Wulan, sementara didepan pintu
terlihat wajah cemberut Sekar Mirah.
“He ! kalau hanya cari keringat cepatlah kemari, lihat
di tengkukku ini sudah mengalir banyak keringat ” teriak Swandaru,
tertawanya tak terbendung lagi, tergelak gelak dan ketika tertawanya telah
berhenti, segera dipandanginya adiknya yang berdiri didepan pintu itu,
lalu mengejeknya,” Sekar Mirah wajah mu jelek sekali sore ini, hati hati ya,
jika kau terus cemberut maka aku akan memberi kakang Sedayu gadis muda yang
sangat cantik,“
Mendengar kakaknya mengganggu maka, tangan itu segera terayun
cepat, sebuah bungkusan daun pisang telah terbang menggapai tubuh yang tambun
itu.
Melihat benda yang terbang kearahnya, segera Swandaru
dengan gerakan sangat lucu telah menghindari serangan itu, terpaksalah semua
yang melihat gerakan itu tertawa bahkan Sekar Mirah sendiri segera menutup
mulut dengan kedua belah tangannya, terdengar suara tertawanya meskipun pelan.
Dengan tangan bertolak pinggang, Swandaru segera
menatap wajah Sekar Mirah yang terlihat tegang itu, kata - katanya telah
meluncur deras bagai anak panah yang telah melesat dari busurnya, ” He,
Sekar Mirah anak yang manja, kau harus ingat, dalam hal lempar melempar,
panah memanah belajarlah kepada Tuan Sedayu ini sebab keponakan Ki Widura
inilah adalah pemenang lomba memanah di Sangkal Putung itu” terdengar Swandaru
masih mengejek adiknya, sekali lagi tertawanya telah meledak menggetarkan
halaman belakang rumah Ki Rangga.
Melihat tingkah laku suaminya, tampak Pandan Wangi
hanya menggeleng - gelengkan kepalanya dan terdengar suaranya renyah,” Kakang
Gupita, tolong suruh adikmu Gupala berhenti tertawa.”
Sementara terlihat Rara Wulan telah terduduk ditanah
sambil memegang perutnya.
Agung Sedayu sendiri hanya tersenyum melihat semua
itu, dia sangat mengenal tabiat kedua kakak beradik dari Sangkal Putung
itu.
Tidak tahan diejek kakaknya maka dengan muka bersungut
- sungut Sekar Mirah yang tengah mengandung itu segera membalikkan badannya
menuju ruang dalam.
“Sudahlah adi, jangan kau teruskan candamu, lihatlah
Sekar Mirah didalam dan nanti saat wayah sirep bocah aku akan menunggumu di
sanggar, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu” kata Agung sedayu kepada
Swandaru yang tengah berdiri termangu - mangu. Setelah itu segera pandangan
mata Agung Sedayu berganti arah ke Rara Wulan dan katanya,
“Rara, jika kau ingin menemani mbokayumu, pergilah
sekarang, Glagah Putih telah menempatkan beberapa batu meskipun tidak terlalu
besar di dalam sanggar, kalian berdua dapat memanfaatkannya”
Sementara di didalam sanggar ternyata Glagah Putih
telah membimbing Sukra meningkatkan ilmu geraknya, sedangkan Ki Jayaraga duduk
disudut sanggar mengamati pergerakan keduanya. Gerakan Sukra ternyata sangat
membuat kagum Glagah Putih, diawali satu serangan kaki kanan melingkar mengarah
ke lambung lawan latih tandingnya, Sukra ternyata telah bergerak maju dan
tanpa disangka anak itu setengah berjongkok, kaki kirinya segera menyapu kedua
kaki dihadapannya, dengan cermat Sukra telah memperhitungkan gerakan
selanjutnya, sebuah lompatan kecil telah menyusul Glagah Putih, tangan Sukra
yang mengepal telah menyentuh dada anak Jati Anom itu dan Glagah Putih telah
bergetar surut satu langkah kebelakang.
“Luar biasa kau Sukra” kata Glagah Putih memuji Sukra,”
Dari mana kau mendapatkan gerakan - gerakan cepat seperti itu ?”
“Maaf kakang. aku telah menyakitimu” desis Sukra.
Terdengar Ki Jayaraga tertawa dan berkata,” Angger
Glagah Putih, ternyata selama ini Sukra telah melatih dirinya sendiri siang dan
malam, aku hanya memberi petunjuk apa yang harus dilakukannya, lihatlah hasilnya,
Sukra dapat bergerak lebih cepat dan bisa menjaga pernafasannya dengan baik,
perhatikan badan Sukra seolah belum berkeringat”
“Sukra, sentuhan tanganmu sangatlah berbobot tetapi
sentuhan itu masih belum didukung oleh tenaga cadangan yang baik, saat
mendatang aku akan memberikan tuntunan yang lebih dalam tentang cara penyaluran
tenaga cadangan, dan kau tidak perlu merasa bersalah Sukra, sentuhan tangamu
itu tak akan menyakiti kakangmu, jadi kau jangan ragu - ragu melepaskan
seranganmu.” lanjut Ki Jayaraga.
“Baik Ki Jayaraga, aku hanya bisa mengucapkan terima
kasih kepada Kyai dan kakang Glagah Putih yang telah membimbingku” kata Sukra
perlahan.
Glagah Putih yang mendengar ucapan Sukra itu, nampak
menarik nafas dalam - dalam, segeralah timbul perasaan iba dalam hatinya,
katanya,” Sukra jika saat - saat tertentu Ki Jayaraga tidak sempat membimbingmu
karena suatu kesibukan maka akupun akan dengan senang hati membantu
meningkatkan ilmumu.”
“Terima kasih, kakang” desis Sukra dengan kepala
tertunduk.
Di halaman belakang terlihat Agung Sedayu tengah duduk
menatap matahari yang telah berjalan lamban menuju ke tempat peraduannya.
Dipikirkannya kehadiran Swandaru dan Pandan Wangi selama di tanah Menoreh itu,
menurut rencananya kitab Windujati akan segera diberikan kepada adik
seperguruannya menjelang kepulangannya ke Sangkal Putung, sedikit timbul
keraguannya mengingat situasi yang berkembang akhir - akhir ini, bisa saja
keselamatan Swandaru dan istrinya akan terancam, jika mereka kelompok bang
wetan bertindak mematahkan ranting - ranting pendukung mataram.” Apakah adi
Swandaru mampu melindungi Kitab itu” pertanyaan serta kesadaran itu telah
mengusik hatinya.
“Biarlah aku memastikanya terlebih dahulu, sampai
dimana tingkat kemampuan adi Swandaru dan Pandan Wangi untuk menjaga Kitab itu”
gumamnya dalam hati.
Dalam sebuah rumah yang besar, Ki Gede Menoreh tengah
merasakan kebahagiaan yang sangat luar biasa, perasan yang sangat dibutuhkannya
untuk menjaga kesehatannya, Kunjungan anak dan menantunya serta kehadiran Ki
Waskita di rumahnya telah memberinya semangat hidup yang lebih menggelora,
bahkan telah terlontar kesediaan Ki Waskita untuk menetap di rumah itu untuk
jangka waktu yang lama, meskipun terkadang orang tua itu harus pulang dan
menengok anaknya, dipadepokan Rudita.
0 komentar:
Posting Komentar