Senin, 30 Mei 2016

MENDUNG DILERENG MERAPI 6

Oleh : Ki Jagabaya Amalindo

Bumbung  6

Kedua orang dari Kademangan Cangkringan itu terdiam, kepalanya telah tertunduk, tubuhnya telah merasakan perasaan sakit yang teramat sangat, seolah sendi - sendi pada tangan kanan mereka telah terlepas, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi kecuali menunggu belas kasihan seorang yang bernama Rudita.
Apakah kita pernah bertemu sebelum ini, ki sanak ?” Tanya Rudita perlahan
Kedua orang itu tidak menjawab, wajahnya masih menatap tanah, penyesalan dan rasa takut telah membelit jantungnya.
Melihat kedua orang Cangkringanitu tidak berdaya lagi maka serentak orang - orang dalam kedai itu telah keluar dan Nyi Sarmini telah berdiri di paling depan, tangan perempuan itu terlihat bergerak - gerak seakan hendak meremas kedua wajah yang menunduk itu, mulutnyapun terlihat komat - kamit menggerutu.
 “Bagaimana, apa yang kisanak harapkan dariku ?” Suara Rudita masih terdengar sareh,” Apakah kisanak memerlukan uang ?” Tangan Ruditapun yang telah menggenggam uang itu segera terjulur.
 “Mohon ampun Ki sanak, aku tidak memerlukan uang itu lagi” kata Suro Bledek perlahan, suaranya terdengar kaku.
“Lalu apa yang kisanak kehendaki ?”
“Ampunilah kami kisanak” ucap Suro Bledek memohon.
Terdengar Nyi sarmini menggeram pelan mendengar permintaan Suro Bledek itu, kening pemilik warung itu tampak berkerut tanpa sengaja telah memperhatikan wajah orang yang bernama Rudita itu, sangat jelas terlihat wajah itu tidak rusak setelah terkena pukulan kedua orang Cangkringan itu, wajah yang tetap tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun, tubuh orang itu nampak segar seperti saat orang itu datang pertama kali ke kedainya.
Semua orang yang tengah berdiri di belakang Rudita itu nampak keheranan melihat sikap orang yang berbaju lurik itu, tangan mereka terasa gatal untuk segera menyentuh keduanya.
“Kenapa orang itu begitu sabar ?” gumam orang bertubuh kurus pelanggan kedai Nyi Sarmini kepada orang yang tengah berdiri disebelahnya.
“Kenapa orang yang bernama Rudita tidak menghukum kedua orang yang telah mencoba mencelakainya itu ?” Sebuah pertanyaan telah membelit di dada Nyi Sarmini.
Mereka semua membeku seolah menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang bernama Rudita itu.
Dalam kebekuan itu telah terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari mendekat, serentak semua mata telah memandang ke arah datangnya kuda - kuda itu.
Tak lama kemudian rombongan orang berkuda itu telah berhenti di muka kedai Nyi Sarmini, Swandaru yang berada di paling depan segera meloncat turun dari kudanya dan telah diikuti dengan yang lainnya,” Ada apa ini, ?” Tanya Swandaru.
Nyi Sarmini lah yang telah menjawab pertanyaan itu, kakinya telah melangkah kedepan,
“Selamat datang Ki Swandaru” ucapnya, rupanya pemilik warung itu telah mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu.
“Ada apa Nyai, apakah seseorang telah membuat keributan di kedaimu ?”
Swandaru telah berjalan lebih mendekat, dan katanya” Apakah kau telah membuat keributan disini ki sanak ? Kalau kau yang membuat keributan maka aku akan menghentikanmu, apakah kau belum pernah mendengar nama Swandaru Geni ?”
Nampak orang yang berbaju lurik itu tidak menjawab, wajahnya telah menunduk, seolah sedang menghitung jari kakinya.
“Bukan dia Ki Swandaru, tetapi kedua orang yang sedang duduk di tanah itu” Jelas Nyi Sarmini.
Segera Swandaru menatap kedua orang itu, lalu katanya,” Aku tidak ingin melihat kesombongan terjadi disini di kedai ini.”
Dalam pada itu kening Ki Jayaraga tampak berkerut, diamatinya orang berbaju lurik yang tengah menundukkan wajahnya itu, seakan orang tua itu telah mengenal sebelumnya.
Sementara Pandan Wangi yang berdiri di belakang Ki Jayaraga telah menyibak dan berjalan kearah orang yang berbaju lurik itu, tanpa ragu telah di pegangnya tangan yang membeku itu,” He ! Apakah kalian tidak mengenal Rudita lagi, putra Ki Waskita ?” katanya lantang.
Suara itu bak guntur di siang hari, menggelegar di telinga Swandaru, bahkan Ki Jayaraga dan Sukra telah terperanjat mendengarkan suara Pandan Wangi itu.
“Rudita, sudahlah jangan bermain - main lagi” terdengar suara lembut Pandan Wangi.
Orang berbaju lurik itupun telah mengangkat wajahnya, perasaan malu dan bersalah telah berdesakan di dalam rongga dadanya, katanya,” Maafkan Aku Pandan Wangi, kakang Swandaru, Ki Jayaraga dan kau Sukra, sama sekali bukan maksudku menunjukan kesombongan di hadapan kalian semuanya, aku telah benar - benar menyesal berbuat seperti ini,”
Rudita benar - benar telah menyesal, sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk memamerkan ilmu kebalnya, apalagi dihadapan mereka yang memang mendalami ilmu kanuragan, dia hanya ingin melindungi dirinya, dia tidak ingin membuat persoalan apalagi menyakiti siapapun, tetapi sisi lain di relung hatinya telah mengatakan bahwa dengan mempelajari ilmu kebal itu maka dia telah mulai melangkah mencurigai dan memusuhi sesamanya.
Berdiri seperti patung, tak sepatah katapun terucap dari mulut Swandaru itu, Rudita baginya adalah seorang yang sangat aneh hampir sama seperti kakak seperguruannya, sikapnya sulit untuk dipahaminya. Meskipun sudah berumur baginya Rudita adalah tetap seorang yang cengeng dan seorang yang tidak berani melihat kenyataan hidup.
Ki Jayaraga tengah menarik dafas dalam - dalam, dia telah mengenal anak Ki Waskita itu, meskipun sudah lama tidak bertemu, orang tua itupun telah mengenal wataknya, maka katanya” Angger Rudita, apakah yang telah terjadi ? Angger tidak usah berkecil hati seolah kami mengatakan angger sebagai orang yang berpaling dari keyakinan yang telah angger yakini itu, tidak ngger, kami justru memujimu, kamilah orang - orang yang justru telah memelihara kecurigaan itu dalam hati kami dengan dalih waspada, suatu saat akupun ingin menjadi sepertimu, punyai hati damai dan tidak punya rasa curiga”
Orang - orang yang berkumpul di kedai itu benar - benar tidak mengerti akan sikap orang yang ternyata bernama Rudita itu.
 “Aku menyerahkan semua persolan ini kepada Ki Jayaraga, kedatanganku di Jati Anom ini adalah sekedar lewat sebenarnya aku ingin pergi Ke Sangkal Putung untuk menemui Nyi Pandan Wangi” terdengar suara Rudita bergetar, seolah ia ingin menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
 “Tetapi sebelumnya aku mohon kalian semua memaafkan kedua orang itu, biarlah mereka pergi, mereka tidak akan berbuat jahat lagi” terdengar permintaan Rudita.
Swandaru telah membisu pandangan matanya telah beralih memandang pepohonan di sekitar kedai itu, Sukra nampak menggeleng - gelengkan kepalanya sedangkan Pandan Wangi telah tersenyum dan Ki Jayaraga telah menarik nafas dalam - dalam, katanya,” Baiklah angger Rudita, kami akan melepas keduanya, tanpa syarat apapun, biarlah mereka pergi, kemanapun yang mereka inginkan,”
Kepada Swandaru orang tua itupun mengatakan,” Silahkan angger semua masuk ke dalam kedai, bukankah kita memang mau makan, biarlah aku mengurus kedua orang ini, baru kemudian aku akan menyusul” Ki Jayaraga tetap berdiri ditempatnya, dipandanginya orang - orang yang yang tengah berkumpul itu,” Silahkan ki sanak membubarkan diri dan lupakan peristiwa ini.”
Swandaru yang mendengar permintaan Ki Jayaraga tanpa menunggu lebih lama kakinyapun segera melangkah masuk ke dalam kedai itu dan segera dipesannya beberapa pincuk makanan kesukaannya, Pandan Wangi, Rudita dan Sukrapun telah mengikutinya. Terlihat Nyi Sarmini dengan cekatan telah melayani tamu - tamunya.
Sore hari itu Kademangan Sangkal Putung, benar - benar menampakan wajah yang sumringah, betapa tidak kehadiran Swandaru benar - benar telah menggembirakan rakyat kademangan yang subur makmur itu, mendengar kedatangan Swandaru hampir semua bebahu kademangan telah berkumpul di pendapa rumah yang besar itu, orang - orang itu menanyakan apa saja yang terlintas di benak mereka, seakan menyambut kedatangan seorang raja maka pendapa itu semakin malam semakin penuh dengan orang - orang yang ingin menyatakan kegembiraannya.
Ki Demangpun telah menjamu mereka semuanya, semua makanan yang ada di dapurpun telah mengalir menuju pendapa. Orang tua itu tak henti - hentinya menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan katanya kepada Ki Jayaraga saat mereka berada disudut pendapa itu,” Aku merasa aneh Ki Jayaraga, kenapa orang - orang selalu bertanya kepadaku ? Seolah aku telah terilbat dalam perjalanan Swandaru, seolah aku telah pergi ke Menoreh.“
Ki Jayaraga tersenyum simpul, katanya,” Itulah kelebihan Ki Demang, mereka sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, jiwa dan hati mereka telah tertambat pada tanah kelahiran serta kecerahan hati Ki Demang sekeluarga.”
Di dalam rumah, kegembiraan Swandaru terasa sedikit terkurangi, saat satu pertanyaan melintas di benaknya,” Apakah keperluan Rudita datang ke Sangkal Putung ? Apakah perlunya Rudita menemui Pandan WangI ?”
“Pada saatnya aku akan mengerti” gumamnya dalam hati, pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri.
Bersamaan waktu, malam itu wayah sepi bocah, nampak seekor kuda bergerak perlahan mendekati Kepatihan, tergurat seleret keraguan di wajah penunggangnya tetapi kuda itu terus mendekat ke arah kepatihan, sampai saatnya seorang pengawal menegurnya,
“Berhenti ki sanak,”
Penunggang kuda itupun telah meloncat turun dan segera memberi salam, pengawal yang menghentikan kuda itu segera melangkah maju, diamatinya sejenak wajah  penunggang kuda itu , lalu beberapa pertanyaanpun telah meluncur dari mulutnya,” Siapakah ki sanak ini ? Hendak kemana malam - malam begini  ?”
 “Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, ki sanak, Apakah Ki Patih Mandaraka ada di Kepatihan ?” tanya penunggang kuda itu.
Pengawal itu tidak segera menjawab pertanyaan orang itu, diperhatikannya wajah penunggang kuda itu, seraut wajah yang bersih dengan kumis tipis melintang rapi, ternyata mata pengawal itu tidak hanya berhenti pada wajah orang itu, diamatinya seluruh pakaian dan punggung orang orang yang baru datang itu,” Tentu orang ini adalah bangsawan menilik pakaian yang dikenakannya” pikir pengawal itu, namun hatinya terasa berdebar - debar ketika tidak terlihat olehnya keris yang terselip di pinggang belakang orang berkuda itu.”  Apakah orang ini tidak membawa piyandel ? Biasanya seorang bangsawan selalu membawa keris kemanapun pergi”
 “Ki Sanak siapakah namamu ? Ada keperluan apa menghadap Ki Patih saat malam begini ?”
Penunggang kuda itupun menghela nafas, dia sangat memahami sikap pengawal Kepatihan itu, sikap hati - hati.
 “Apakah aku harus berterus terang ataukah aku akan memakai nama lain sehingga terkesan lebih pantas,” pikiranya.
Orang berkuda itu merasa geli atas sikapnya sendiri, saat ini ia berpakaian rapi dengan ikat kepala yang rapi pula, tidak seperti biasanya, apakah nama kesehariannya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya itu ? Saat pikirannya tengah mengembara, keputusan telah diambilnya dan ia akan berterus terang saja supaya semua bisa berjalan cepat  dan lancar, lalu katanya,” Namaku Timur… Timur Pamungkas, kisanak” kata orang itu perlahan.
Pengawal yang telah memberhentikannya itu nampak mengingat - ingat namun nama Timur Pamungkas benar - benar sebuah nama yang belum pernah didengarnya.
Sementara pengawal yang masih berdiri di gardu itu merasa curiga, mengapa kawannya belum juga selesai berbincang dengan penunggang kuda itu, segera saja dia melangkah mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi, setelah mendekat katanya,” Apa yang terjadi ? Apa yang di kendaki orang ini adi ?”
“Orang ini ingin menghadap Ki Patih sekarang, malam ini” jawab pengawal pertama
“Siapa namanya” Tanya pengawal yang kedua.
“Raden Timur Pamungkas” jawab pengawal yang pertema.
Nampak orang berkuda itu sedikit terkejut ketika mendengar nama yang disebut oleh pengawal yang pertama itu, cepat - cepat orang berkuda itu menyahut,” Tidak ada Raden, hanya Timur Pamungkas itu saja ki sanak”
Tetapi pengawal yang pertama itu justru tersenyum, sangat mengherankan, katanya” Ki sanak, melihat pengadegmu sebenarnya sebutan Raden sangat cocok dikenakan pada namamu, atau jika tidak maka kata Pangeran mungkin lebih cocok.”
Orang berkuda yang bernama Timur Pamungkas itu tertawa kecil, baginya pengawal itu hanya bergurau tanpa menyadari arti dari kata - katanya.
“Terserahlah padamu kisanak, Ki Patih tentu sudah menungguku, mumpung belum terlalu malam” kata penunggang kuda itu.
Pengawal yang datang kedua itu segera bergerak, sambil berkata,” Adi tetaplah disini, biarlah aku yang akan menyampaikan kepada pengawal dalam, aku tidak tahu apakah nanti kisanak bisa diterima sekarang atau mungkin besok,”
“ Terima kasih ki sanak, aku akan menunggu,” Sahut Timur Pamungkas perlahan.
Pengawal kedua itu telah berjalan dengan cepat, masuk ke dalam istana kepatihan dan menghadap pimpinan pengawal dalem, segera disampaikan maksudnya.
Pemimpin pengawal dalam itu segera mengerutkan dahinya ketika mendengar keterangan pengawal yang baru datang itu, hari ini telah terlampau malam untuk menghadap Ki Patih, tidak biasanya seseorang akan datang ke Kepatihan saat seperti ini, hanya beberapa Pangeran saja yang diperkenankan menghadap.
Sejenak keraguan telah menghadangnya,” Bagaimana kalau yang dibawa tamu itu merupakan berita yang sangat penting ?” gumamnya dalam hati.
Sebelum pimpinan pengawal dalam itu menemukan jawaban, terdengarlah suara derit pintu terbuka, sesosok tubuh dengan pakaian sangat rapi telah keluar dari ruangan dalam, seorang yang sudah sepuh meski wajahnya tetap memancarkan kewibawaannya.
Terlonjak kaget semua pengawal itu, segeralah mereka menyembah dan manghaturkan kata,” Ampun Ki Patih”
Orang tua itu tersenyum, sembari berkata,” Kenapa kalian tidak cepat - cepat memberitahu jika ada tamu ?”
“Ampun Ki Patih, hamba ragu - ragu sebab hari telah malam,” jawab pemimpin pengawal dalam itu.
Ki Patih tetap tersenyum, lalu katanya,“Baiklah, aku mengerti apa yang kau pikirkan, sekarang ikutlah denganku, menyambut tamu kita.”
Ki Patih telah bergegas melangkahkan kakinya ke regol kepatihan, pengawal dalam pun telah mengikutinya dari belakang.
Pertemuan yang sangat mengharukan, sebuah penantian yang cukup menegangkan bagi Ki Patih Mandaraka. Sepasang tangan tua itu telah menggenggam pundak tamunya dan tidak cukup itu saja, meski sesaat,  Ki Patih Mandaraka seorang penasehat Mataram yang sangat disegani lawan ataupun kawan itu telah memeluk erat tubuh itu, tiada kata terucap, getar perasaan hormat telah mengaliri seluruh urat nadi kedua orang tua itu.
Para pengawal yang berdiri disekitarnya terasa bagaikan  bermimpi melihat kejadian itu, belum pernah mereka melihat tingkah laku sesembahannya seperti itu, tanpa sadarnya mulut mereka ternganga dan beberapa diantaranya telah menggosok - gosok matanya seolah mereka tak percaya.
“Assalamualaikum Ki Patih,” Itu saja kalimat yang meluncur dari seorang Timur Pamungkas.
“Iya - iya Kyai,    waalaikumsalam”  terbata - bata Ki Juru Martani menjawab salam itu
Ki Patih itupun telah menguasai perasaannya, dengan tertawa perlahan dipandanginya wajah tamunya, sementara tangan itu masih melekat di pundak itu,” Luar biasa Kyai, luar biasa, Kyai nampak segar, lebih muda dan lebih perkasa,”
“Ah, malam - malam begini Ki Patih masih sempat bercanda”   Sahut orang itu, segeralah tangan Kyai Grinsing pun menjabat tangan Ki Patih Mandaraka itu.
“Marilah masuk, aku tidak mempersiapkan apapun untuk  menyambut kedatanganmu ini, Kyai”  kata Ki Patih sembari melangkahkan kakinya kearah pendapa Kepatihan dan selanjutnya kedua orang tua itu telah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
“Terima kasih, tinggalkan kami berdua.”  terdengar kata Ki Patih kepada para pengawalnya, saat keduanya telah duduk.
Keduanya saling menanyakan kabar masing - masing setelah sekian lama tidak bertemu, sendau guraupun telah menyertai perbincangan kedua orang tua itu.
“Siapa lagi nama yang akan Kyai pergunakan” tanya Ki Juru Matani sembari tertawa tertahan.
Kyai Gringsing nampak tersenyum, katanya” Berbahagialah Ki Patih yang hanya punya satu nama, ki Juru Martani”
“Kenapa Kyai ? Bukankah menyenangkan, jika kita punya banyak nama ?”  tanya Ki Patih Mandaraka yang nama aslinya adalah Juru Martani itu.
“Aku sering lupa dengan namaku sendiri Ki Juru,” jawab Kyai Gringsing, segeralah ruangan itu di penuhi gelak tawa kedua orang tua itu.
“Nah, siapakah yang bersalah Kyai ?”
“Aku sendiri”  jawab Kyai Grinsing sambil tertawa.
Nampaknya keduanya telah lupa dengan umur mereka masing - masing, keduanya tengah terlibat dalam pembicaraan yang sangat menyegarkan, kenangan mereka telah mengalir perlahan menyusuri waktu yang telah berlalu, saat - saat mulai menebang alas mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang besar, merekapun mengenang sosok Ki Ageng Pemanahan dan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelarPanembahan Senopati, dua orang ayah dan anak yang telah meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya negeri Mataram.
Pembicaraan yang menyenangkan itu telah berlangsung beberapa lama, sampai pada saatnya Ki Patih mandaraka, berkata” Kyai, silahkan beristirahat di gandok yang telah dipersiapkan, besok kita sambung lagi pembicaraan ini  tetapi sebelum Kyai meninggalkan tempat ini, ada satu pertanyaanku yang segera ingin mendapatkan jawabannya”
“Pertanyaan apakah itu Ki Patih ?”  tanya Kyai Gringsing dengan kening berkerut, terasa dadanya berdebar - debar.
Nampak Ki Juru membetulkan tempat duduknya dan bergeser sejengkal mendekat, lalu katanya” Apakah Kyai mengenal Adipati Surabaya ?”
Sesaat Kyai Gringsing terdiam, dicobanya mengingat - ingat nama beberapa Pangeran terakhir dari Majapahit baik yang dikenalnya secara langsung ataupun nama yang pernah disebutkan oleh kakek serta gurunya sebelum pergi. Ternyata dia benar - benar tidak menemukan nama yang terkait dengan keberadaan Adipati Surabaya itu.
“Ternyata aku telah kehilangan perhatian terhadap perkembangan di daerah bang wetan, aku tidak mengerti lagi apa yang telah terjadi, tentang Mataram pun  saat sekarang aku juga kurang memahami apa sebenarnya yang tengah terjadi, kepergianku dari Jati Anom benar - benar  membuatku tenggelam,”  gumamnya dalam hati. selanjutnya” Aku telah menentukan jalanku sendiri”   Orang tua itu sama sekali tidak pernah menyesali keputusannya.
“Ki Patih Madaraka, mohon ampun yang sebesar - besarnya bahwa hamba tidak menemukan nama yang bisa dikaitkan dengan Adipati Surabaya, bahkan tentang Adipati itu sendiri hamba juga belum mengenalnya”  kata Kyai Gringsing apa adanya
Ki Patih pun tersenyum mendengar kata - kata itu, dipandanginya wajah sahabatnya itu, seolah telah melupakan perkataan yang baru saja didengarnya, katanya kemudian” Kyai, berbicara kepadaku sangatlah  berbeda dengan saat kita berbicara kepada Sinuhun Prabu, aku telah mengerti siapa Kyai sebenarnya, kumohon Kyai dapat berbicara padaku dengan bahasa seorang sahabat sebagaimana bahasa Kyai saat berbicara dengan adi Pemanahan, dengan begitu aku akan merasakan arti sahabat yang sebenarnya.”
“Tetapi, Ki Juru adalah seorang Patih Mataram”  sahut Kyai Gringsing
“Sedangkan Kyai adalah seorang Pangeran Majapahit”  sahut Ki Pati tak kalah cepatnya.
Keduanya tersenyum, persahabatan yang tulus diantara mereka, benar - benar terasa menyejukkan.
“Baiklah, ternyata tidak ada pengetahuanku tentang Surabaya yang melebihi pengetahuan yang ada dalam diri Ki Patih, aku mohon maaf”  kata Kyai Gringsing tulus.
“Tidak apa - apa Kyai, di waktu mendatang kita akan mencari keterangan tentangnya, sekarang aku persilahkan untuk beristirahat, besok akan banyak yang harus kita bicarakan, aku mohon Kyai bermalam beberapa hari di Kepatihan, sebenarnyalah kehadiran Kyai sangat diharapkan oleh Panembahan Prabu, besok atau lusa kita akan menghadap.”
“Baiklah Ki Patih” jawab Kyai Grinsing. Keduanya pun segera berpisah.
Malam telah semakin larut, para prajurit Mataram yang bertugas pun semakin siaga, beberapa kelompok prajurit  berkuda telah meronda mengelilingi kota, mereka menjaga setiap jengkal wilayah, tlatah Mataram adalah harapan bagi mereka yang hidup diatasnya.
Mataram telah menjadi sunyi dan sebagian besar rakyat Mataram pun telah tertidur dengan pulasnya. tetapi tidak demikian yang terjadi pada Kyai Gringsing, sosok tua itu telah duduk di lantai di dalam biliknya.
Banyak persoalan yang telah membelit benaknya, tugas yang diembannya ternyata tidaklah ringan,” Apakah aku akan sanggup melaksanakannya ?”  pertanyaan yang selalu mengganggunya, sebuah pertanyaan yang akan terjawab seiring waktu berjalan.
Orang tua itu telah menundukkan kepalanya, ia mencoba untuk mengurai persoalan yang diberikan oleh Sunan Muria kepadanya,” Ini adalah kesempatan terakhir bagiku, umurku sudah terlalu banyak, aku akan berbuat sebaik - baiknya sesuai pesan Kanjeng Sunan”
Dipandanginya seluruh dinding bilik itu, juga tempat rebahan di depannya, ia pun segera tersenyum kecil, baginya berada didalam bilik di Kepatihan yang bagus dan rapi itu  adalah merupakan sebuah keanehan, sejatinya bahwa dia berhak mendapatkan seperti apa yang didapatkan para Pangeran dalam hidup kesehariannya tetapi justru semua kemewahan itu telah ia tinggalkan, rasa kecewa yang di mulai dari kehidupan kakeknya serta kekecewaan yang dirasakannya sendiri terhadap lingkungan disekitarnya saat itu terus menderanya, sampai suatu saat benar - benar telah melemparkannya pada dunianya yang sekarang.
Di dalam bilik Kepatihan itulah dia akan memulai menjalankan suatu tugas yang teramat berat, sebuah kewajiban diakhir perjalanan hidupnya. “Kyai Gringsing telah aku kuburkan di lereng merapi itu,”  terdengar desahnya perlahan, orang tua itu merasa bahwa tidak mungkin lagi dia menggunakan nama itu, dengan nama itu tentu orang akan berbondong - bondong datang menemuinya untuk berobat, sedangkan saat ini seolah dirinya tidak mempunyai waktu yang banyak, kewajiban baru telah menunggunya.
“Sebaiknya aku memenuhi saran Kanjeng Sunan Muria, untuk menggunakan namaku sendiri,”   
Seberkas keraguan telah melintas di hatinya. Pamungkas adalah nama yang telah dilupakan orang.
“Hem.. Panembahan Pamungkas, sebuah nama yang terlalu baik dan sekaligus berat bagiku”
Wajah tua itu sempat menegang sesaat, ternyata selama kepergiannya ke bang kulon, putra Sunan Kalijaga itu bersama para santrinya telah membangun padepokan kecil ditepi sungai  di kaki Merapi.
Terngiang pesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling,” Raden, sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan.”
Sebuah perhatian yang terlampau berlebihan, mata tua itu telah memandangi kedua belah tangannya, tanpa sadar pandangan itu telah berhenti pada sebuah gambar ciri perguruan kakeknya, sebuah lukisan yang melekat pada pergelangan tangannya.” Hem..apakah masih ada orang yang mengingat gambar seperti ini ?”
Orang tua itu sama sekali tidak mengira bahwa ciri perguruan kakeknya telah menuntunnya pada keberadaanya saat ini, sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya.
Kyai Gringsing terlihat menarik nafas dalam - dalam, pikirannyapun segera berpindah kepada seorang putra Sunan Kalijaga, dari Sunan Murialah dia mendapatkan banyak keterangan tentang Mataram saat ini.  Menurut Sunan Muria bahwa persoalan yang bakal timbul di Mataram sekarang ini adalah jauh lebih rumit dibandingkan saat - saat berdirinya, meskipun demikian Wali waskita itu tidak akan membiarkan Mataram runtuh, baginya Mataram adalah simbol perjuangannya dalam menyebarkan agama serta keyakinan yang telah dianutnya.
“Raden, apapun yang bakal terjadi, Mataram harus tetap diselamatkan, keyakinanku terhadap Mataram telah melebihi keyakinanku terhadap negeri - negeri yang lainnya di Jawadwipa ini dan aku juga berharap banyak pada muridmu, putra Ki Sadewa itu”   
Kokok ayam telah terdengar bersautan, tetapi orang tua itu belum juga selesai dengan angan - angannya, sesaat orang tua itu telah memejamkan matanya, dalam waktu yang tidak terlalu lama telah ditiliknya kembali sebangsal ilmu dan pengetahuannya,” Semoga pengetahuan yang tak seberapa banyak ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.”
Orang tua itu segera berdiri takkala mendengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari Kepatihan itu, segera ia menuju ke pakiwan dan selanjutnya kakinya telah melangkah meninggalkan Kepatihan menuju tempat adzan yang tadi telah berkumandang.
Di Sangkal Putung, Rudita, Ki Jayaraga dan Sukra telah berjalan - jalan mengelilingi padukuhan induk kademangan Sagkal Puting, ketiga orang itu benar - benar sangat mengagumi keindahan alam yang terhampar luas di daerah kelahiran Swandaru itu, Sukra pun nampak selalu memuji keindahan kademangan itu.
“Kyai, aku melihat Sangkal Putung ini saat sekarang telah maju sangat pesat, banyak sekali aku jumpai bagunan rumah yang besar - besar dan kegiatan di pasar juga nampak lebih ramai”  kata Rudita
“Benar angger Rudita, aku merasakan bahwa Ki Demang yang sudah sepuh itu bersama anakmas Swandaru telah benar - benar berhasil dalam membangun kademangan ini”  sahut Ki Jayaraga.
“Kyai, selama keberadaanku disini, akan kumanfaatkan untuk belajar pertanian dan apabila aku kembali ke Menoreh maka akan segera aku terapkan ilmu dari Sangkal Putung ini,”  kata Sukra sambil memandang wajah Ki Jayaraga.
“Bagus sekali Sukra, Menoreh akan berbangga memiliki pemuda sepertimu”
“Bukan itu yang kumaksud, Kyai”  sahut Sukra, sementara Rudita hanya tersenyum mendengar perbincangan itu.
“Aku ingin sawah kita mendapatkan hasil yang lebih bagus lagi Kyai, aku akan tunjukkan kepada kakang Glagah Putih bahwa aku mampu mengolah sawah itu tanpa dia”  Sukra telah meneruskan kata - katanya.
Kali ini Ki Jayaraga tidak sekedar tersenyum tetapi orang tua itu telah tertawa terkekeh - kekeh, Rudita pun juga tertawa.” Kenapa, semua tertawa ? Aku mengatakan yang sebenarnya , apakah ada yang lucu”   kata Sukra sembari memberhentikan langkahnya.
“Kata-katamu benar Sukra, tidak ada yang lucu”  kata Rudita
“Nah, apa alasannya kakang tertawa ?”
“Aku tertawa setelah melihat Ki Jayaraga tertawa”  jawab Rudita sekenanya dan sambungnya,” Tanyalah kepada Ki Jayaraga, kenapa tertawa ?”
Sukra pun telah mengalihkan pandangannya ke arah Ki Jayaraga, katanya” Kenapa Kyai tertawa ?”
“Sukra, ternyata dalam kepergianmu yang lumayan jauh ini, kau tidak melupakan nama Glagah Putih”  jawab Ki Jayaraga.
Sukra nampak menganggukkan kepalanya, baginya seorang Glagah Putih  adik sepupu Ki Rangga itu adalah sosok yang menjengkelkan tetapi sekaligus menyenangkan, tiba - tiba sebuah kerinduan telah duduk dan mendekam dihatinya.
Sebelum wayah temawon, ketiganya telah kembali ke rumah Ki Swandaru, mereka duduk di sudut pendapa, tidak beberapa  lama kemudian nampak seorang perempuan telah menyuguhkan minuman dan jajanan pasar
Di pendapa itu hati Rudita benar - benar merasakan kegembiraan, pembicaraan ketiganya sama sekali tidak menyentuh hal - hal yang mencemaskan hatinya, Ki Jayaraga selalu bercerita tentang kesibukannya memperbaiki pematang sawah dan Sukrapun selalu berbicara tentang sawah dan hasil panennya.
Keceriaan di kademangan Sangkal Putung itu rupaya juga telah menular hingga di pendapa Kepatihan Mataram, terlihat Ki Juru Martani sedang duduk berhadapan dengan sahabatnya itu, namun Ki Patih Mandaraka itu telah nampak sedikit kebingungan, sedikit keraguan hinggap didadanya,” Bagaimana aku harus memanggilmu, Kyai ?”
“Kenapa ?”  tanya Kyai Gringsing itu.
“Sebenarnyalah aku menjadi bingung, nama Kyai yang sebenarnya telah membuat ku berdebar - debar”  jawab Ki Patih sembari tertawa kecil,lalu” Ki Pamungkas serasa kurang pas, Kyai”
“Ki Juru, panggil saja aku dengan Pamungkas, itu sudah lebih dari cukup”  kata Kyai Gringsing perlahan.
“Kyai Pamungkas, juga kurang cocok, aku akan memanggilmu Panembahan Pamungkas,Kyai”  kata Ki Patih Mandaraka
Mendengar itu, Kyai Gringsing terlihat tersenyum malu, katanya” Ki Patih, rasanya terlalu berat aku menggunakan gelar dan nama itu.”
Terdengar Ki Patih tertawa perlahan, lalu katanya,” Panembahan, dengarlah, saat tengah malam seseorang telah berbisik kepadaku lewat pameling menanyakan akan keberadaan Kyai Gringsing dan akupun telah menjawabnya, bahwa saat ini Kyai tengah berada di Kepatihan dan rupanya bisikan itu mengatakan, Kyai Gringsing sudah tidak ada lagi dan yang datang ke Kepatihan itu sebenarnyalah adalah Panembahan Pamungkas dari padepokan Ngadem di kaki Merapi, pameling Sunan Murialah yang telah mengatakan semuanya padaku.”
Kyai Gringsing yang sekarang bernama Panembahan Pamungkas itu tertawa meski tidak terlalu keras, lalu katanya,” Rupanya Kanjeng Sunan Muria telah mengkhawatirkan diriku, Ki Patih,”
“Kenapa ? Apakah Sunan Muria tidak tahu akan kemampuan seorang Panembahan Pamungkas ?”  tanya Ki Patih yang diiringi derai tawa.
“Dengarlah baik - baik Ki Juru martani, adakah ilmu yang bisa melawan jika seseorang telah ditolak saat bertamu ? Nah ternyata Sunan Muria telah memperhitungkan itu”  kata Panembahan Pamungkas.
Mereka berdua ternyata sudah lupa akan usia mereka, keduanya telah tertawa terkekeh - kekeh sampai tubuh keduanya berguncang - guncang.
Ternyata Ki Juru Martani tak mau kalah, disela - sela derai tawanya, telah terselip kata - katanya,” Ada .. ada Panembahan, aku akan terapkan ajian Tebal Wajah, bagaimana ?”

Suasana di pendapa Kepatihan itu benar - benar sangat menyenangkan, beberapa abdi dalam pun telah tersenyum mendengarkan gurauan kedua orang tua itu.
Bumbung 7

Mohon maaf

atas permintaan Ki Agus Malindo yang menuliskan Mendung di Lereng Merapi, maka unggahan naskah di blog ini kami hentikan, dan yang sudah diunggah kami “pending” sampai waktu yang tidak ditentukan.

Rabu, 25 Mei 2016

MENDUNG DILERENG MERAPI 5

Oleh: A. Malindo
Tali rasa TDBM

BUMBUNG  5
Telah diceritakan keinginannya untuk mengetahui tingkat penguasaan ilmu daripada Swandaru dan Pandan Wangi kepada istrinya,” Mirah, aku harus berkata sebenarnya kepadamu bahwa Mataram saat ini tengah menghadapi situasi yang agak genting tetapi masih diluar kota raja dan tepatnya keberadaan akan bahaya itu masih di sekitar Madiun dan Ponorogo, tetapi satu atau dua perguruan telah memanfaatkan situasi ini demi keuntungan mereka semata tanpa memperhatikan ketenangan dan keselamatan orang lain, bahkan aku bersama Ki Waskita telah merasakan pahitnya situasi ini, karena itu tengah malam nanti aku berkeinginan untuk mengetahui tingkat kemapuan adi Swandaru, hal ini juga dikarenakan Kitab Windujati akan berada diSangkal Putung untuk waktu yang tidak terbatas, bagaimana menurut pendapatmu Sekar Mirah ?” kata Agung Sedayu kepada istrinya saat keduanya duduk dalam biliknya.
“Apakah kakang Swandaru bisa menerima dan mengerti niat baik kakang Sedayu ?” desis Sekar Mirah.
“Aku akan menyampaikan apa adanya sesuai pembicaraan selama di Kepatihan dan peristiwa yang menimpaku, tetapi tentu aku tidak akan bercerita tetang persoalanku dengan Mataram,”
“Apakah kakang yakin tidak membuat Kakang Swandaru tersinggung ?”
“Aku juga akan mengajak Pandan Wangi, Glagah Putih serta Ki Jayaraga”
“Kakang sebaiknya kau ajak berbicara dahulu saat makan malam, saat kita semua berkumpul, tetapi kakang aku mohon kakang jangan melanjutkan rencana ini jika kakang Swandaru kurang berkenan apalagi merasa tersinggung, aku mengkhawatirkan keselamatannya”
“Baiklah Sekar Mirah, saranmu akan aku perhatikan, pandanganku terhadap adi Swandaru sebenarnyalah telah berubah, seakan aku telah melihat suatu keseimbangan dalam diri kakangmu itu meskipun kadang - kadang masih bergolak seperti dulu”
“Syukurlah kakang, tetapi sampaikanlah dengan hati - hati, aku tahu tabiat kakakku” desis Sekar Mirah perlahan.
Selesai berbicara dengan istrinya maka Agung Sedayupun telah menemui Ki Jayaraga dan telah meminta tanggapannya dan nampaknya Ki jayaraga tidak berkeberatan serta  sependapat dengan Nyi Sekar Mirah.
Langitpun telah menjadi gelap, matahari telah selesai menjalankan tugasnya dan rembulan telah muncul membelah cakrawala yang tiada berujung dan sepercik sinar rembulan itu telah datang dan memberikan seberkas sinarnya pada Tanah Perikan Menoreh.
Agung Sedayu dengan sangat hati - hati telah menyampaikan maksud dan rencananya kepada Swandaru dan Pandan Wangi pada saat mereka semua tengah makan malam.
“Kakang Sedayu, bagaimana persiapan Tanah Perdikan Menoreh sendiri ?” Pandan Wangilah orang pertama yang menanggapi uraian panjang lebar itu.
 “Ki Gede telah memulai persiapan itu Wangi, tetapi semuanya dilakukan secara diam - diam dan tentu nantinya Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan membantu sepenuhnya” jelas Agung Sedayu.
“Kakang untuk Sangkal Putung tidak menjadi masalah yang terlalu besar, kami setiap saat akan mampu bergerak, kemanapun yang dibutuhkan oleh Mataram” sahut Swandaru kemudian.
Bagi Sekar Mirah jawaban kakaknya terasa sangat mendebarkan hatinya, tetapi dia tetap saja terdiam menunggu uraian suaminya selanjutnya.
“Adi Swandaru, Ki Patih mandaraka sendiri telah mengungkapkan rasa khawatirnya mengenai gerakan ini, seandainya kita menghadapi sepasukan segelar sepapan dari sebuah kadipaten atau gabungan sekalipun, bagi Mataram bukanlah suatu permasalahan karena semuanya sudah jelas dan tergambar terang, prajurit sandi akan dapat melaksanakan tugas sebaik - baiknya, tetapi yang kita hadapi sekarang adalah beberapa perguruan yang tersebar diseluruh bang wetan yang sangat luas, tentunya perguruan - perguruan itu mempunyai tataran ilmu yang jauh lebih tinggi dari prajurit kebanyakan,”
“Bukankah di Mataram ada Panembahan Hanykrawati dan Ki Patih Mandaraka ? Apakah ada orang yang mempunyai ilmu melebihi keduanya, kakang ?” sahut Swandaru.
Semuanya terdiam, tangan mereka segera menyisihkan semua peralatan makan dan ketika sudah selesai, dengan seksama mereka memperhatikan keterangan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Janganlah kita lupa bahwa Sultan Demak terakhir telah mangkat di bang wetan”
Keterangan itu bak seribu lebah telah menyengat tengkuk mereka yang mendengarkannya,” Apakah tidak sebaiknya kita mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk menghadapi keadaan yang tidak menentu ini ?”
Tidak ada yang menyahut, mereka semua masih terhanyut oleh keterangan mengenai Sultan Demak terakhir itu, mereka tengah membayangkan kekuatan perguruan - perguruan yang ada di bang wetan, sementara itu Agung Sedayu telah memberikan waktu dan tidak melanjukan perkataannya.
Di sebelah Glagah Putih nampak Ki Jayaraga menarik nafas dalam - dalam, baginya bang wetan adalah tempatnya orang - orang yang berilmu sangat tinggi, pengalamannya selama bertualang telah menunjukkan padanya tentang kemampuan orang - orang dari bang wetan, tetapi nampaknya orang tua itu tetap berdiam diri.
“Adi Swandaru, berkenaan dengan pertanyaan serta permintaanmu untuk membawa Kitab guru pada sore hari tadi, tentunya aku sama sekali tidak berkeberatan dan memang sudah saatnya Kitab guru berada ditanganmu, tetapi yang menjadi persoalan adalah perjalananmu menuju Sangkal Putung itu menjadi sangat mendebarkan hati ini,” kata Agung Sedayu selanjutnya.
Pandan Wangi telah menatap suaminya, kebimbangan telah merayapi dinding hatinya.
“Aku mengerti apa yang kau maksud kakang, bahwa aku harus menjaga Kitab itu dengan taruhan nyawaku” berkata Swandaru pelan.
“Bukan itu adi, nyawa kita tentu lebih penting daripada Kitab itu sendiri” sahut Agung Sedayu.
“Aku berjanji padamu kakang juga kepada guru bahwa aku akan menjaganya sebaik - baiknya” Swandaru berusaha meyakinkan kakak seperguruannya, sekilas terlintas dibenak murid termuda Kyai Gringsing itu meragukan ketulusan kakak seperguruannya untuk menyerahkan Kitab Windujati itu.
“Adi Swandaru, satu pertanyaan lagi yang harus adi jawab sebelum aku menyerahkan Kitab Windujati itu, apakah adi sanggup mendengarkan pertanyaanku ? terdengar suara Agung Sedayu dengan nada yang amat sareh.
Kening Swandaru nampak berkerut dalam, dada Pandan Wangi terasa berdebar - debar, bahkan Sekar Mirahpun telah menahan nafasnya, Rara Wulan yang sedari tadi berdiam diri telah bergeser setapak mulutnya yang mungil itu terlihat menggigit kuku tangan kanannya, ketegangan benar - benar telah mencengkam jantungnya, hanya Ki Jayaraga dan Glagah Putih saja yang mampu menguasai perasaannya.
“Adi, apakah kau sudah siap  ?” suara Agung Sedayu serasa menyadarkan semuanya.
“Baiklah kakang, aku akan menjawab pertanyaamu itu, semoga aku sanggup” jawab Swandaru dengan sorot mata penuh kebimbangan.
Agung sedayu telah beringsut sejari dan ditatanya perasaannya, lalu katanya perlahan tetapi penuh dengan tekanan,” Adi Swandaru, Jika kau membawa Kitab itu pergi ke Sangkal Putung,  dimanakah letak Kitab itu setelah adi tidak bernafas lagi ?”
Dada Swandaru bagaikan dihantam batu sebesar kepala gajah mendengar pertanyaan kakak seperguruannya itu, wajahnya semburat merah tangannya telah mengepal, tetapi dia tidak mengetahuinya kekuatan apa yang telah mengunci mulutnya.
Pertanyaan yang menurutnya sangat tidak wajar dan sangat meremehkan dirinya dan merendahkan martabat seorang Swandaru Geni, dia tetap duduk di tempatnya, tubuhnya kaku seperti patung, sementara Glagah Putihpun telah membeku, ia sama sekali tidak menduga pertanyaan kakak sepupunya itu, pertanyaan yang tidak pernah terlontar dari mulut seorang Agung Sedayu sebelumnya, terasa kakinya seperti kesemutan.
Leher  Pandan Wangi dan Sukar Mirah dan Rara Wulan terasa tak kuat lagi menahan berat kepalanya, dada mereka seperti telah berisi air yang tertumpah dari bendungan.
Kejadian perang tanding antara kedua saudara seperguruan itu kembali membayang di pelupuk mata Sekar Mirah dan Pandan Wangi, peristiwa yang sangat tidak mereka inginkan.
Isi kepala Swandaru Geni terasa telah diguncang oleh sesuatu yang tak di mengertinya. Swandaru sangat kebingungan, bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu, perasaannya bergolak hebat, kemampuannya untuk menundukkan kakak seperguruannya belumlah dia miliki baginya adik Untara itu memiliki sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan, kesadaran akan semua keterbatasannya tiba - tiba telah meluap melebihi segala nafsunya, ketakutan tiba - tiba telah mencengam tengkuk dan hatinya, wajah Agung Sedayupun menurutnya  tiba - tiba telah berubah menjadi wajah malaikat pencabut nyawa , kepalanya tertunduk lesu, wajahnya terlihat pucat pasi.
Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan perasaan dan pikiran adik seperguruannya bergejolak hebat dan saling berbenturan, sungguh sangat mengherankan tidak sepatah katapun keluar dari mulut seorang Swandaru Geni.
“Adi Swandaru, aku mohon maaf yang sebesar - besarnya telah mengejutkanmu dengan pertanyaan itu, ketahuilah bahwa itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh guru Kyai Gringsing kepadaku saat itu dan sama sepertimu, aku tak bisa menjawabnya ?  Nah, Adi sebaiknya kita segera mempersiapkan diri lebih dari apa yang telah kita anggap cukup dan seterusnya marilah kita berserah diri sepenuhnya kepada Illahi Robbi”
“Iya kakang, aku telah mengerti sekarang, terima kasih kakang telah menunjukkan kepadaku tentang siapa diriku sebenarnya, aku menyadari kekuranganku, jika guru ada saat ini maka akupun akan segera mohon ampun atas kebodohanku ini” kata Swandaru sembari berdesah perlahan kepala masih tertunduk.
Rumah Ki Rangga serasa disiram hujan sewindu mendengar kata- kata Swandaru itu, tidak biasanya putera Ki Demang bersikap seperti itu, sekarang nampaknya Swandaru telah benar - benar mengalami kemajuan yang sangat luar biasa untuk mengendapkan persaaan dan berpikir secara jernih, tentu ini akan membuat Kyai Gringsing sangat bangga terhadapnya.
“Kita beristirahat sekarang, nanti tengah malam aku berharap semua yang ada disini kecuali Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk ikut bersamaku ke Padas Gempal, satu tempat yang bagus untuk menempa diri” ujar Ki Rangga seolah memberi perintah kepada semua yang hadir di ruangan itu.  Mereka telah menggerakkan kakinya tetapi nampaknya kaki itu seolah tak mau bergerak, bayangan tentang peristiwa yang bakal terjadi di Mataram benar - benar sangat menggetarkan hati.
Agung Sedayu telah berdiri meninggalkan mereka dan pergi ke pakiwan membersihkan dirinya dan segera menghadap pada Sang Penciptanya.
Mereka telah meninggalkan rumah ki Rangga, derap kuda yang tidak terlalu cepat telah menghamburkan debu di sepanjang jalan tu.
“Inilah adi tempat yang aku maksudkan, orang menoreh memberi nama Padas Gempal” kata Agung Sedayu kepada Swandaru saat mereka memasuki tanah lapang di pinggiran sungai yang tidak terlalu besar itu., sedangkan Pandan Wangi nampak menganggukkan kepalanya, ingatannya yang tajam telah menuntunnya untuk segera mengenali tempat itu” Ayah Argapati dulunya sering mengajakku bermain - main disini”
“Kakang apa yang akan kita lakukan disini ?” tanya Swandaru dengan nada gelisah, hatinya masih merasakan sesuatu yang kurang mapan terhadap kakak seperguruannya itu.
Agung Sedayu terdiam sesaat, tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya, lalu katanya,” Mohon dimaafkan Ki Jayaraga, bukan maksud untuk memamerkan sesuatu tetapi saat ini aku ingin memberikan sesuatu kepada saudaraku, semoga dijauhkan dari sikap deksura”
Dengan wajah yang tulus dan bibir tersenyum dipandanginya kakak sepupu Glagah Putih itu, kemudian katanya,” Silahkan angger, aku akan jadi penonton saja, tetapi jika angger memerlukan akupun sudah menyiapkan diri sejak dari rumah tadi”
“Baiklah Ki, mohon Ki Jayaraga menilai jika ada sesuatu yang kurang pada kami” Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berdiri menghadap Swandaru Geni, Pandan Wangi dan Glagah Putih,” Marilah kita segera memulai latihan ini, tetapi sebelumnya marilah kita panjatkan permohonan keselamatan dan kelancaran kepada Illahi Robbi”
Setelah diam sejenak maka Agung Sedayu telah bergeser ketengah tanah lapang itu.
“Marilah adi Swandaru, seperti dulu saat kita baru pertama kali berguru, kita sering berlatih bersama, maafkan adi, aku akan menyerangmu dengan sungguh - sungguh dan cobalah mengimbangiku dan jangan kau mengekang diri karena aku juga tidak menahan seranganku.”  kata  Agung sedayu dan pandangannya segera beralih kepada adik sepupunya dia pun berkata,
“Glagah putih bermainlah dengan bokayumu dan jangan pula kau tahan seranganmu”
“Baik kakang” jawab Glagah Putih mantab dan segera anak itu bergeser menghadap Pandan Wangi.
“Segeralah kalian memulai” terdengar perintah kakak sepupunya.
Pandan Wangipun telah menatap Glagah Putih dengan tersenyum, diapun berkata.” aku akan melawanmu adi, tetapi tolong kau jangan terlalu menyakiti tubuhku”
Glagah Putih juga tersenyum mendengar perkataan itu, perasaannya juga kurang mapan tetapi dia akan menjalankan tugas itu dengan sebaik - baiknya.
Swandaru yang telah berdiri didepan Agung Sedayupun merasakan keanehan dari sikap saudara seperguruannya itu, terpikir olehnya bahwa adik Untara ini telah meremehkannya maka diapun segera mempersiapkan dirinya, dan berjanji dalam hatinya akan membuat kejutan, tidak seperti dulu saat ia menantang perang tanding,” Aku sudah berlatih sangat keras dan aku akan memberi pelajaran  kakang Sedayu” gumamnya dalam hati.
Tidak menunggu lama, Agung Sedayu telah meluncur menyerang Swandara, tangannya telah mengembang dan telah bergerak cepat menggapai dada. Melihat serangan itu Swandaru segera menangkisnya sembari bergeser kesamping kanan, benturan kecil telah terjadi dan dengan cepat serangan susulan segera melanda anak Sangkal Putung itu.
Semakin lama pertempuran itu semakin cepat, benturan semakin sering terjadi dan segera di rasakan oleh Swandaru bahwa tubuhnya mulai kesakitan, tangan Agung sedayu terasa bergerak terlalu cepat dan sudah beberapa kali dia terdesak mundur tetapi kakak seperguruannya itu sama sekali tak menghiraukan bahkan semakin meningkatkan serangannya, seperti benar - benar akan menggilas dan menggulung Swandaru.
Murid kedua Kyai Gringsing itu tidak mau selalu terdesak lawannya, segera ia membangkitkan tenaga cadangan yang tertumpuk dalam dirinya, gerakannya segera berubah, kakinya nampak semakin kokoh dan terasa angin berdesir tajam saat tangannya terayun menyambar lawannya. Agung Sedayu menyadari hal itu maka segeralah diungkap ilmu kebalnya meskipun tidak sampai tataran puncak.
Sementara di lingkaran lainnya, terlihat dua bayangan hitam telah berputar dan saling mendorong, nampak keduanya bergerak sangat lincah, bahkan menurut Ki Jayaraga kecepatan bergerak keduanya telah melebihi kecepatan gerak Swandaru.
Glagah Putih yang mengimbangi gerakan itu merasa sangat keheranan dan bahkan segera keringatnya membasahi pakaiannya.” Luar biasa” desis Glagah Putih dalam hati, saat itu ia telah meloncat mudur menampil jarak, terasa bahu kirinya tersentuh tangan Pandan Wangi, sengatan itu benar - benar telah mengagetkannya.
Pandan Wangi telah memandanginya dengan tatapan mata seorang kakak yang penuh kasih sayang,” Maafkan aku adi, bersungguh - sungguhlah supaya aku dapat belajar lebih banyak lagi”
 “Baiklah mbokayu, aku akan bersungguh - sungguh, berhati - hatilah” gumam Glagah Putih.
Selesai berbicara Glagah Putihpun segera melayang menerjang dan menyerang Pandan Wangi. Keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sangat cepat, Tubuh Pandan Wangi terlihat lentur seperti karet, bergerak disela - sela tangan murid Ki Jayaraga itu dan saat tertentu tangannya akan menghentak kuat seperti lesung yang menimpa dada, tetapi lawannya adalah Glagah Putih, seorang  yang telah kenyang pengalaman di segala medan pertempuran, bekalnya dari Ki Jayaraga dan kakak sepupunya serta pergaulannya dengan Raden Rangga telah membuat tubuhnya kalis dari segala sentuhan lawannya.
Terdengar pekik kecil takkala tangan Glagah Putih yang seberat timah itu menyentuh bahu kiri Pandan  Wangi, Murid Ki Gede Menoreh itu terdorong kesamping dan terhuyung - huyung, namun sekejab kemudian telah bisa menguasai keadaannya kembali.
Sementara Ki Jayaraga telah memperhatikan lingkaran lainnya, kedua murid Kyai Gringsing itu benar - benar telah bergerak dilandasi oleh tenaga cadangan yang sangat besar, saat keduanya merambah pada inti ilmu perguruan Windujati maka semua gerakan telah terlihat semakin cepat dan rumit, meskipun tubuh Swandaru telihat gemuk tetapi gerakannya tak kalah lincah di banding gerakan Agung Sedayu.
Laksana burung rajawali Agung Sedayu telah mengurung tubuh Swandaru Geni, gerakan tubuh tanpa bobot itu benar - benar telah membuat sesak nafas, meski merasa kesulitan Swandaru Geni nampak terus berjuang dan bergerak seperti seekor banteng ketaton, sentuhan tanduknya tentu akan segera melemparkan dan membuang tubuh lawannya.  Kaki Swandaru telah bergerak dan bergeser dengan cepatnya, tidak disadarinya bahwa akibat gerakannya itu, tanah di Padas Gempal seolah telah mengelupas, rumput liar telah beterbangan tercabut beserta akar -  akarnya.
Ki Jayaraga benar - benar menikmati latih tanding itu, kekaguman terhadap kakak sepupu Glagah Putih tak pernah habis - habisnya, bukan hanya gerak tandangnya tetapi kecepatan nalar dan sikapnya menghadapi suatu persoalan,” orang dengan sifat dan kepribadian  yang sangat langka” gumamnya dalam hati.
Sementara baginya gerakan Swandaru Geni, benar - benar suatu gerakan yang didiukung oleh tenaga cadangan seekor gajah, kuat dan trengginas,” Sungguh mengagumkam” desisnya.
Satu serangan beruntun bak deburan ombak di pantai selatan, Agung Sedayu telah melibat Swandaru tanpa ampun, tiba - tiba tangan kanannya telah menyusup dan menghantam dada Swandaru, tubuh gemuk itu telah terdorong dan terseret beberapa langkah kebelakang, sementara itu Agung Sedayu tidak segera memburunya.
“Luar biasa, sungguh mengagumkan kecepatan gerakmu, tetapi apakah tenagamu hanya sebesar itu kakang” Swandaru telah maju beberapa langkah kedepan dan wajahnya tetap ceria seolah tak merasakan apapun.
Agung Sedayupun tersenyum menyambut perkataan adik seperguruannya itu, timbulah rasa bangga di hatinya melihat kemajuan ilmu adik seperguruannya itu.
‘ Sangat bagus adi, rupaya kau telah menguasai ilmu Tamengwaja sesuai yang tersurat di Kitab guru, , apakah kau sudah mencapai pada penguasaan puncaknya adi ?”
Wajah ceria itu berubah memerah, kakak seperguruannya ternyata telah mengerti ungkapan ilmunya.
“Kakang, akupun tahu kau memiliki ilmu kebal tetapi kenapa bukan Tamengwaja seperti yang ada di kitab guru ? Jika kau menguasainya, maka kau akan menjadi orang terkuat di Mataram kakang.” kata - kata swandaru telah meluncur cepat.
Mendengar itu, kening Agung Sedayu berkerut, jantungnya berdesir, diakuinya bahwa ilmu kebalnya didapat dan dipelajarinya bukan dari Kitab Windujati, tetapi gurunya tidak pernah menyalahkannya, bahkan selalu mendorong bagi perkembangan ilmunya, ada kesulitan baginya untuk menjelaskan, meskipun kepada Swandaru dirinya tentu tidak dapat bercerita darimana ilmu kebal itu diperolehnya.
Tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya, Agung Sedayupun berkata,” Adi Swandaru, aku ingin tahu seberapa tebal Tamengwaja itu melindungimu”  
Secepat tatit, dengan sebuah lompatan panjang  dengan tangan mengepal Agung Sedayu telah melabrak dada Swandaru lagi. Tidak sempat menghindar maka Swandaru telah berbuat cepat, segera tangannya bersilang di muka dadanya menunggu serangan lawannya. Sebuah benturan telah terjadi, sungguh mencengangkan, terlihat Agung Sedayu tetap berdiri tegak ditempatnya, sementara itu tubuh Swandaru bagaikan telah terbang kebelakang, terpental dan segera jatuh berguling - guling di tanah berdebu itu.
Anak muda gemuk itu tidak mengeluh namun juga tidak segera bangun, tubuh itu tidak terluka sedikitpun, tetapi tetap saja dia terduduk ditanah. Perasaan heran dan kagum telah bercampur aduk di benaknya, Tamengwaja yang di banggakan itu telah dengan mudahnya di tembus oleh kekuatan kakak seperguruannya.
“Baiklah adi, sudah cukup kiranya latihan pembuka ini dan kita akan melangkah pada tahap berikutnya,” berkata Agung Sedayu.
“Belum kakang, aku belum selesai, akau masih mempunyai beberapa ilmu lainnya dan aku akan menunjukam padamu” sahut Swandaru sembari berdiri dan melangkah mendekati Agung Sedayu
 “Bagaimana adi ?”
“Kakang aku minta maaf padamu, pukulan mu itu hanya mendorong tubuhku saja tanpa menyakitiku dan aku akan bangkit melawanmu lagi, nah, bagaimana kalau Tamengwajaku akan aku terapkan pada tataran puncaknya ? Apakah kakang bisa menembusnya dan tidak sekedar mendorong saja”
Agung Sedayu segera mengerutkan keningnya, adik perguruannya ini ternyata belum juga mengerti akan isyarat yang telah diberikannya, dia memang hanya mendorongnya saja dan bukan berusaha menyakiti tubuh Swandaru, tetapi tindakan tiu telah disalah artikan oleh adik seperguruannya itu
Di sisi yang lain, Glagah Putih juga telah menghentikan serangannya dan Pandan Wangipun telah melangkah surut, mereka berduapun memandang kearah kedua murid Kyai Grinsing itu, Ki Jayaraga telah mendekatinya pula.
 “Adi seberapa kuat aji Tamengwaja dalam tataran puncaknya itu ? Apakah kau benar - benar telah menguasainya ?”  bertanya Agung Sedayu.
 “Kakang kau belum mengetahuinya, jika kau mengetahuinya maka tentu kau akan berkata lain”
“Adi, kalaupun aku telah mendorongmu sebenarnya aku hanya menggunakan sebagian tenaga cadanganku saja dan aku belum merambah ke ilmuku yang lainnya, tetapi tidak mengapa, tentu akan sangat baik kiranya aku dapat melihat puncak aji Tamengwaja yang adi miliki sehingga akupun dapat mempelajarinya.”
 “Kakang, apakah kau dapat membuktikan apa yang kau ucapkan ?” tanya Swandaru dengan suara sedikit meninggi.
Mendengar itu, segera tersungging sebuah senyuman di bibir Ki Jayaraga, sejenak ia telah menoleh ke arah Glagah Putih dan kakinyapun terayun melangkah mendekatinya, iapun tahu apa yang dirasakan muridnya itu.
 “Jika diijinkan, aku akan memecahkan ilmunya itu” geramnya dalam hati, wajahnya nampak tegang dan bibirnyapun mengatup rapat.
Pandan Wangipun telah merapat ke arah Ki Jayaraga, kecemasan nampak diwajahnya, diketahuinya bahwa ajian Tamengwaja suaminya sangatlah ngegirisi, dia telah mencoba menembusnya tetapi tidak berhasil, tetapi anak Ki Gede itupun menyadari siapa sebenarnya Agung Sedayu itu, sejak pertemuannya dengan seorang Gupita, sejak itu pulalah dia telah mengagumi kemampuannya, ia pernah mendengar bahwa seorang Pangeran Benawa putra Raja Pajang saat itu saja sudah mengakui kemampuan anak Jati Anom itu bahkan Panembahan Senopati pernah mengatakan sendiri kepada semua orang saat di pendopo kademangan Sangkal Putung bahwa seorang Agung Sedayu telah mendekati kemampuannya. Pandan Wangi merasa sangat yakin bahwa dengan sepenuh kekuatannya tentu Agung Sedayu mampu dan pasti menembus seberapapun tebal aji Tamengwaja itu, kesadaran itulah yang membuat dirinya cemas akan keselamatan suaminya.
Wajah Agung Sedayu tetap tersenyum, ia mengerti tabiat adik seperguruannya sehingga perkataan itu tidak mengejutkannya, justru jantungnya telah berdentang di cengkam keraguan, bagaimana cara membuktikannya ? Tidak pernah terlintas niatnya untuk menyakiti tubuh Swandaru tetapi dengan menembus puncak ilmu Tamengwaja tentunya akan berakibat luka di dalam tubuh. Kebimbangan yang tak segera menemukan sebuah jawaban.
“Segeralah bersiap adi, aku akan membuktikan ucapanku, bukankah itu yang adi kehendaki ?” kata Agung Sedayu.
Terdengar geram Swandaru mendengar perkataan itu. selangkah ia telah maju mendekati kakak seperguruannya.
Melihat Swandaru melangkah maju mendekati Agung Sedayu, kerut di kening Ki Jaya raga semakin dalam, rasa khawatir juga menyelimuti hatinya, katanya” Angger Swandaru, dalam sebuah pertempuran tentunya setiap orang diperbolehkan menggunakan ilmu apa saja yang telah dimilikinya, tidak terpaku pada satu ilmu, pengertiannya adalah puncak setiap ilmu tidaklah selalu sama meskipun jenis ilmu yang diterapkannya adalah sama salah satunya tergantung pada seberapa besar tenaga cadangan yng bisa diungkap seseorang dan tentu masih banyak hal lain yang juga mempengaruhinya, dan aku sudah melihat sampai dimana takaran ilmu angger berdua dan sebaiknya kita sudahi latihan ini dan akan kita ikuti apa yang dikatakan angger Sedayu selanjutnya, bijaksanalah dalam hal ini angger Swandaru.“
“Ki Jayaraga, menurutku tidak perlu setiap orang menimbun seribu macam ilmu dalam dirinya kalau ternyata kemampuannya hanya setengah - setengah saja lebih baik mempunyai satu atau dua ilmu tetapi dalam tataran tertinggi sehingga dia akan dengan mudah mengalahkan lawan - lawannya” sahut Swandaru.
“Kau benar ngger. tetapi yang kau hadapi sekarang ini adalah seorang kakak seperguruanmu dan aku adalah orang tua yang telah kenyang melihat beberapa banyak ilmu yang bertebaran di bumi ini ngger, sejujurnya saat ini aku merasa tidak akan mampu lagi untuk mengimbangi ilmu angger Agung Sedayu meskipun dengan aji Sigar Bumi sekalipun” kata Ki Jayaraga masih mencoba untuk menyadarkan Swandaru dan mencegah latih tanding itu selanjutnya.
“Ah, Ki jayaraga terlalu merendahkan diri dan kyai kurang mengenali diri kyai sendiri” sahut Swandaru.
Glagah Putih telah berdiri dengan kaki renggang terlihat telapak tanggannya telah mulai digerak - gerakkannya untuk mengusir rasa gatal yang telah menggelitik jantungnya, sementara mulut Pandan Wangi terasa kelu, nasehat dari Ki Jayaraga sudah tidak dihiraukan oleh suaminya apalagi dirinya.
Rembulan tengah bersinar menerangi Padas Gempal dan sekitarnya, angin malampun telah membelai tanpa mengerti ketegangan yang menggurat pada setiap wajah. Nampaknya Ki Rangga Agung Sedayu telah mengambil keputusan, dengan sikap yang tenang diapun berkata,” Baiklah adi Swandaru aku akan berbuat sesuai yang kau inginkan, aku akan membuktikan semua ucapanku sekaligus aku ingin menyadarkan bahwa adi Swandaru belum pantas untuk berdiri berhadapan dengan para pemimpin perguruan dari bang wetan, bersiaplah adi”
Swandarupun telah mendengus mendengar kata kata itu, tanpa membuang waktu dia telah mempersiapkan dirinya dan mengungkit sampai tuntas tenaga cadangannya dan beberapa ilmu simpanannya, tangannya telah bergetar. sementara Agung Sedayu juga telah mempersiapkan diri sebaik - baiknya dan telah bertekat menunjukan beberapa ilmunya.
Sekejab,  Swandaru telah berteriak nyaring tubuhnya telah meloncat menggapai dada yang terbuka itu, secepat itu pula lawanya bergerak menghindar kesamping, tangan kiri yang kokoh itu telah mengejar dan menusuk arah kepala, Agung Sedayu segera memiringkan tubuhnya, terasa olehnya sebuah desir angin yang tajam menerpa kulitnya, tak mau sekedar menghindar diapun segera membalas menyerang lambung Swandaru yang terbuka. sebuah sentuhan yang tidak berarti apa - apa bagi seorang Swandaru Geni.
Agung sedayu merasakan sebuah lapisan tebal melindungi tubuh adik seperguruannya,  bahkan lapisan itu lebih tebal dari sebelumnya. Swandarupun merasakan sentuhan itu dan ia semakin yakin akan kekuatan ilmu tamengwajanya, dengan beberapa gerakan yang rumit ia telah melibat lawannya tanpa ampun seolah tanpa menghiraukan serangan dan sentuhan tangan lawannya.
Perhitungan Agung Sedayu telah mendekati kebenarannya, ia ingin menundukkan adik seperguruan menurut caranya. Saat Swandaru terlihat berhenti menyerang dan seolah menarik nafas maka kini justru Agung Sedayu yang melibatnya dengan serangan yang cepat, ilmu kebalnya dang dirangkapi oleh ilmu Bayu Lampah telah menyentuh dan meraba kulit dan daging Swandaru meskipun dilapisi oleh ilmu tamengwaja pada tataran puncaknya, dan murid kedua Kyai Gringsing itu segera terdesak hebat, mata telanjangnya telah tak mampu lagi menangkap semua gerakan tubuh lawannya, tangan Agung Sedayu telah berubah menjadi berpuluh - puluh pasang.
Anak Sangkal Putung itu benar - benar telah kehilangan kiblat perlawanannya, gerakannya bak orang kesurupan menangkis semua serangan Agung Sedayu, padahal sepupu Glagah Putih itu hanya diam saja beberapa langkah di belakangnya.
Dengan mata nanar di carinya kakak seperguruannya itu, dan badan gemuk itupun telah bergerak memutar, segera meledak amarahnya setelah diketahui bahwa Agung Sedayu tengah berdiam diri saja tepat di belakang tubuhnya, sebuah senyuman menghiasi wajah nan sabar itu.
Bagai kerbau jantan, dengan nafsu menggelora Swandaru kembali menyerang lawannya yang terlihat berdiri tegak seperti patung itu, dengan sedikit gerakan tangan Agung sedayu bergerak menangkis serangan itu dan tiba - tiba sesuatu telah menimpa Swandaru Geni, sebuah sentuhan yang tidak terlalu keras mengguncang dada suami Pandan Wangi itu dan terlihat tubuh yang gemuk itu telah berguncang serta terdorong surut satu langkah.
Agung Sedayupun telah mundur beberapa langkah dan melihat akibat dari semua sentuhan dan benturan yang telah ia lakukan.
Mata Swandaru yang menyala itu tiba - tiba berubah, tubuh gemuk itu telah membeku berdiri disebelah pohon randu besar, segera dirasakannya satu keanehan yang telah menjalari tubuhnya yang semula tak dirasakannya, seolah telah datang beribu ribu semut angkrang mengerubuti tubuhnya dan merusak semua persendiannya, pergelangan tangannya dan jari - jarinya seakan tak bisa digerakkan dan perasaan nyeri telah membekap seluruh tubuhnya, itulah akibat yang harus ditanggungnya bila terkena ajian Bayu Lampah meskipun oleh Agung Sedayu tidak diterapkan pada tataran tertingginya.
Sebuah ajian yang diciptakan dengan dilandasi oleh rasa welas asih, sebuah ajian yang dipergunakan untuk bertahan dan melindungi wadag saja, dua kilan dari tubuh, beberapa lembar angin akan selalu bergerak dan berputar melindungi tubuh seseorang yang mengungkapkannya dan dalam beberapa tataran berikutnya ajian ini akan memberikan peringatan bagi yang menyentuhnya, seluruh getaran akan di pantulkan kearah getaran asalnya, sekuat dan sebesar getaran itu sendiri.
“Adi, apakah kau sudah paham, apa arti petanyaanku ? Yang sebenarnya adalah pertanyaan guru itu” tanya Agung Sedayu, diam sejenak dan memberikan kesempatan kepada Swandaru untuk merenung, lalu tak lama kemudian, lanjutnya,” Dalam keadaan seperti ini sangat mudah bagi orang lain untuk menghilangkan nafasmu, dan orang itu akan pergi bersama Kitab itu meninggalkan tubuhmu yang tergolek membeku, apakah kau belum juga percaya ?
Tanpa menunggu jawaban Swandaru, bagaikan seekor burung garuda, tiba - tiba dengan gagahnya tubuh Agung Sedayu telah meloncat dan melayang tinggi - tinggi dan telah hinggap di sebatang ranting kecil pohon randu itu, tubuhnya telah tertopang oleh ranting sebesar jari kelingking dan tak lama tubuh itu pun segera melesat berpindah tempat. Terlihat tubuh itu bagai mengapung diudara dan dengan menjejak pada pepohonan yang lainnya, Agung Sedayu telah meluncur deras mengarah ke adik seperguruannya itu, dengan tangan mengepal segera membentur kepala dan menghabisinya.
Terdengar pekik kecil Pandan Wangi melihat tubuh yang berkelebat itu, tiada kuasa dia mencegahnya, baginya kejadian itu terlalu cepat, jauh lebih cepat dari semua gerakan Agung Sedayu saat perang tanding dengan suaminya terdahulu, hatinya telah terjatuh terhempas ditanah dan ia terlihat pasrah, bunga Menoreh itu telah terduduk ditanah dan terasa badannya sudah tidak bertulang lagi, tubuh itu terguling dengan lemahnya, ia telah pingsan.
Ki Jayaraga telah meloncat dan berusaha membentur serangan itu, tetapi telah terlambat, kecepatan geraknya ternyata tidak mampu menandingi cepatnya gerakan Agung Sedayu, sebuah gerakan maha cepat yang membelah malam dan terlihat Glagah Putih diam membeku dan tidak melakukan gerakan apapun, dia benar - benar tidak menyangka jika kakak sepupunya yang selalu terlihat tersenyum itu telah berubah dan sedemikian marahnya menerjang tubuh Swandaru yang telah tidak berdaya itu, tanpa sadar anak Ki Widura itu telah berdesah dan matanyapun telah terpejam.
Sementara Swandaru Geni sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, tubuhnya telah kaku, ia telah menatap pasrah, ternyata kebodohannya telah menyeretnya masuk memeluk bencana, otaknya kini hanya mengingat wajah anaknya, Swatantra.
 Sebuah pukulan maha dahyat telah membentur sasarannya, sebuah pohon randu disamping tubuh Swandaru itu, tidak terjadi getaran yang mengguncang pohon itu, dedaunan yang lebatpun tiada berguguran, masih terlihat jelas, pohon randu itu tetap berdiri tegak dengan kokoh dan angkuh.
Mata Swandaru yang terlihat sayu itu tiba - tiba telah membuka dan terbelalak lebar, tanpa berkedib ia telah melihat bahwa batang pokok pohon randu itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, lubang dari sisi satu menembus sisi yang lainnya.
“Nah adi, dengan kemampuan yang tak seberapa ini, apakah kau yakin aku tidak mampu menembus ilmu kebalmu ?” tanya Agung Sedayu.perlahan.
“Ampun kakang, aku mohon ampun, selamanya aku tak akan mampu mengimbangimu, aku akan menanggung semua akibat perbuatanku ini kakang, aku mohon ampun” desah Swandaru dan terlihat anak Sangkal Putung itu menjatuhkan badannya memeluk kaki kakak seperguruannya itu.
Dada Agung Sedayu telah bergetar mendengar ucapan itu, justru tubuhnya telah kaku membeku, segeralah ditata semua getar perasaannya, ditariklah nafas dalam - dalam, kemudian katanya,”  Berdirilah adi, jangan seperti itu, aku tidak mempunyai perasaan apa - apa terhadapmu, aku hanya ingin mengingatkan serta melindungimu, seperti aku melindungi seluruh keluarga besarku, tidak ada setitik keinginanpun untuk menyakitimu, berdirilah ! pada saatnya nanti kaupun tentu akan mampu melakukan apapun yang seperti aku lakukan” Agung Sedayu berkata perlahan sambil menarik tubuh adik seperguruannya itu.
“Berbaringlah, aku akan menyentuh beberapa simpul syarafmu, kau akan segera terbebas dari akibat ajian itu,  ”   
Seperti seseorang yang telah kehilangan akalnya, Swandaru telah berbaring diam dan menunggu.
Ki Jayaraga telah berdiri di samping kakak sepupu Glagah putih itu sesekali dilihatnya lubang yang menganga di pokok pohon randu itu, tidak ada bekas yang terlihat menghitam dan tidak ada kerusakan di pinggir lubang itu,” Hem, kekuatan apa yang telah melubangi pohon randu itu” desisnya perlahan.
Sebelum Agung Sedayu melakukan sesuatu ternyata suara teriakan Glagah Putih telah mengejutkannya,” Kakang, mbokayu Pandan Wang telah pingsan,”
Terlihat Swandaru akan bergerak bangun, tetapi Ki Jayaraga telah mencegahnya,” tetaplah berbaring ngger, serahkan angger Pandan Wangi kepada angger Sedayu, semoga  semuanya akan kembali seperti semula”
Agung Sedayu tampak berlari kecil menuju tempat tubuh Pandan Wangi yang tergolek diam ditunggui oleh adik sepupunya itu.
Di hampirinya adik sepupunya itu,” Kenapa mbokayumu sampai pingsan Glagah Putih ?” tanya Agung Sedayu dengan suara gemetar, rasa gugup telah merasuki jantungnya.
Glagah Putih yang masih berjongkok itu telah menceritakan kejadiannya, dan Agung Sedayu mendengarkannya dengan dada berdebar - debar, tak disangkanya permainannya telah menyebabkan putri Ki Gede Menoreh itu pingsan, perasaan bersalah telah mengganggu pikirannya, dipandanginya wajah perempuan itu, wajah yang memancarkan ketulusan dan kasih sayang yang teramat besar, kepahitan hidupnya dimasa lalu telah memberinya ketabahan yang sangat luar biasa, wajah yang telah dikenalnya sejak lama.
Tanpa sadarnya, tangannya telah menyentuh titik nadi yang ada di leher dan tangan Pandan Wangi, terasa olehnya denyut yang sangat perlahan, terlihat kecemasan telah menggurat diwajah Agung Sedayu itu.
Melihat kakak sepupunya telah berbuat sesuatu untuk menolong mbokayu Pandan Wang maka Glagah Putihpun segera berlalu menuju Ki Jayaraga yang berjongkok disamping tubuh Swandaru yang tengah berbaring, sejenak dipandanginya pohon randu itu, sejenak kemudian diapun telah berdiri meraba pokok batang yang telah berlubang itu, sebuah lubang yang sangat halus.
“Guru, sepertinya aku telah melihat ayah Widura saat ini” terdengar pelan suara Glagah Putih kepada Ki Jayaraga.
“Ada apa, Glagah Putih ?” sahut Ki Jayaraga sambil melangkah mendekat.
“Guru, ayah Widura di Jati Anom mengalami peristiwa serupa seperti yang dialami kakang Swandaru.
 “Kenapa dengan Ki Widura ?”
Nampak Glagah Putih diam sejenak, seperti sedang mengingat - ingat sesuatu, tak lama kemudian diulanginya cerita ayahnya saat kedatangan Kyai Gringsing di Padepokan Jati Anom, terjadi latihan yang singkat dan Kyai Gringsing itu telah menuntun ayahnya dengan laku yang tidak pada umumnya dan ayahnya pun telah menggunakan ilmu kebal lembu sekilan tetapi ilmu itu telah terpecahkan dan Kyai Gringsing telah memukul sebuah pohon Mahoni hingga berlobang sama dengan lobang di pohon randu ini. Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, cerita muridnya telah menggambarkan satu peristiwa yang serupa, persamaannya terletak pada akibat sebuah pukulan yang menimpa sebuah pohon, sama sama telah berlubang, sebesar kepala kerbau.
“Jadi Kyai Gringsing telah terlebih dulu ke Jati Anom sebelum ke Menoreh ?” terdengar suara Ki Jayaraga setengah bertanya.
“Benar guru, bahkan sekarang ayah Widura telah memanggil Kyai Gringsing sebagai Guru sepuh” kata Glagah Putih selanjutnya.
“Nampaknya angger Agung Sedayulah yang pantas mendapat sebutan guru muda” sekali lagi terdengar suara Ki Jayaraga sembari menoleh melihat pohon randu itu.
 “Bersyukurlah kita, Glagah Putih, Sang Pencipta telah menempatkan orang orang yang berilmu linuwih disekitar kita, belajarlah dengan tekun bukan saja terhadap ilmunya tetapi juga kepada bentuk kepribadiannya serta pandangan hidupnya, kedua sosok yang sangat rendah diri, pendiam dan tidak banyak bicara, keduanya merupakan orang - orang terpilih ngger.”
“Apakah angger setuju dengan pendapatku ?”
“Tentu Kyai, tetapi bagaimakah pandangan Kyai terhadap orang yang terlalu sering menasehati orang lain seolah dia sudah menggenggam dunia ini ? tanya Glagah Putih.
“Adakah orang semacam itu angger ? Siapakah orang itu angger ?” tanya Ki Jayaraga
“Tidak guru aku hanyai berandai - andai saja”
“Baiklah, ingatlah ini angger, tiada kesempurnaan pada diri manusia ini, kesempurnaan itu hanyalah milik semata Illahi Robbi”
“Bagaimana aku harus bersikap kyai ?”
“Hem, apakah kau akan menggilas dan meledakkan kepalanya ? Bukan itu angger, dengarlah apa yang dia ucapkan, tentu tidak semua perkataannya salah, ambil yang bermanfaat dan tinggalkan sisanya”
“Apakah kau mengerti , ngger Glagah Putih ?”
“Baik guru aku telah mengerti” jawab Glagah Putih dengan kepala tertunduk. jiwanya yang muda terkadang telah meledak - ledak.
“Marilah kita kembali ke angger Swandaru, nampaknya angger Pandan Wangipun telah terlihat siuman” kata Ki Jayaraga sambil melangkah ke arah adik seperguruan Agung Sedayu itu.
Saat itu Pandan Wangi telah membaik meskipun belum tersadar, tangan itu terkulai lemah dan menggenggam tangan orang yang tengah duduk disebelahnya itu, Agung Sedayu tak kuasa untuk melepas genggaman itu, matanya menerawang jauh, memandang bebatuan yang berserakan di sungai kecil itu.
Tidak beberapa lama Pandan Wangipun telah tersadar, rambutnya yang panjang itu sudah tidak tertata lagi, wajahnya yang pucat dengan perlahan telah memerah dan matanya yang kabur telah menjadi terang kembali, dipandanginya lelaki yang duduk didepannya itu, tangannya tak jua melepaskan gengaman itu, ingatannya telah pulih kembali dan segera ia menangis terisak - isak.
 “Akulah yang seharusnya mencegahmu kakang tetapi aku tak sanggup menghentikan gerakan itu, sudah berulangkali aku meyakinkan kakang Swandaru tetapi selalu gagal, aku tidak mengerti, bagaimana aku harus bersikap selanjutnya ? Apakah kakang benar - benar telah merasa kecewa terhadap kakang Swandaru dan tidak ada harapan untuk memperbaikinya ? Apakah sudah sepantasnya kakang menghukumnya dan tidak memberi kesempatan lagi ? Apakah yang kakangrasakan jika melihatku seperti ini ? Kakang, akan melihatku tanpa kakang Swandaru lagi, aku mohon maaf telah berulang kali menyakiti hati kakang” Seribu perkataaan Pandan Wangi telah meluncur seperti air terjun Grojogan Sewu, sangat deras tanpa hentinya melanda nurani seorang Agung Sedayu yang tengah rapuh.
Anak Jati Anom ini benar - benar telah tersudut di pojok sebuah dinding saat malam yang sangat gelap tanpa bintang ataupun rembulan dan seolah tak bisa bergerak lagi, kebimbangan dan keraguan telah membelenggunya, ia tidak mengerti harus berkata apa lagi, mulutnya benar - benar terkunci, dipandanginya mata yang memerah itu, mata itu seolah menuntut sesuatu yang sangat besar darinya, tak kuasa melihatnya, terdengar Agung Sedayu telah menggeram, segera dibuangnya pandangannya jauh - jauh, menurutnya Pandan Wangi belum mengerti keadaan sebenarnya, putra Ki Demang itu tidak mengalami sesuatu yang gawat dan dia tetap hidup bahkan telah ditunggui oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Sebangsal ilmunya ternyata tidak bisa menahan getaran yang mengalir dari tangan Pandan Wangi itu, terasa hangat merambati sekujur tubuhnya dan telah melaju dengan cepat menuju jantungnya, kenikmatan itu benar - benar telah menggetarkan dadanya, perasaannya bergolak hebat dan keringat dingin telah mengembun di keningnya. Matanya tak kuat lagi memandang mata yang sembab itu, mata yang menyimpan bongkahan air yang akan segera pecah.
Beberapa tarikan nafas telah dilakukannya, tetap saja tak bisa menahan getaran yang merambat dari putri Menoreh itu. Jika saja semua orang tahu, bahwa sesungguhnya getaran itu telah melebihi tataran puncak dari ilmunya, Bayu Lampah. Tangan mungil nan lembut itu terus menggegamnya, tangan itu seolah tidak akan terlepas.
Tidak satu patah katapun yang terucap keluar dari mulutnya, dia ingin segera menatap putri Menoreh itu dan berkata,” lepaskan tanganmu Wangi,” tetapi ternyata nyalinya tidak cukup kuat mengatakan itu, Agung Sedayu seorang murid Raden Pamungkas sepertinya telah ketakutan saat melihat pipi yang merona semu kemerahan dan bibir Pandan Wangi yang telah basah oleh airmata itu.
Dan seolah semua orang di seluruh tlatah bang wetan telah menantangnya,
“Ayo Ki Rangga kerahkan semua ilmumu ! "
Ki Rangga ternyata telah hampir putus asa, ilmu apa lagi yang mampu melawan getar perasaannya sendiri. Getar perasaan yang mengaliri tangan seorang Pandan Wangi telah benar - benar meluluh lantakan semua ilmunya.
 Desir langkah ki Jayaraga telah membangunkannya dari sebuah mimpi buruk, tangan kirinya yang terbebas dari genggaman tangan Pandan Wangi itu telah bergerak cepat menotok simpul syaraf di belakang bawah telinga kanannya, sekejab kemudian sebuah tarikan nafas yang panjang telah mengakhiri penderitaannya, udara malam itu telah dihisapnya dalam - dalam, lalu katanya lembut,” Wangi, sungguh aku tidak mengerti apa yang telah kau ucapkan, aku tidak berbuat sesuatu apapun terhadap adi Swandaru kecuali melayaninya dan aku merasa telah berbuat sebaik - baiknya, meskipun ternyata telah membuatmu pingsan” itu saja yang meluncur dari mulutnya.
“Bukankah kakang telah membunuh kakang Swandaru ?” terdengar tangis Pandan Wangi meledak seperti bendungan pecah.
Agung Sedayu telah memandang ke arah Ki Jayaraga yang telah berjalan mendekat. Mata itu seolah tidak memancarkan sinar keperkasaannya, pandangan mata yang benar - benar kosong, gemetar oleh suatu perasaan yang aneh, benar - benar telah membuatnya lupa menceriterakan keadaan Swandaru yang sebenarnya.
“Angger Pandan Wangi, lihatlah kearah pohon randu itu, lihatlah angger Swandaru telah terduduk menunggu kedatanganmu” ujar Ki Jayaraga.
Bagai disengat kalajengking di tengkuknya mendengar perkataan itu, dilepaskannya genggaman tangannya itu dan bergegas menuju Ki Swandaru Geni.
***

Beberapa hari kemudian, Ki Swandaru Geni telah pulih seperti sediakala, kekagumannya kepada kakak seperguannya benar - benar seperti menyentuh langit,” Kakang Sedayu, bagaimana caramu mempelajari kitab guru itu ?” satu saat pertanyaan itu telah meluncur dari seorang Swandaru.
“Adi, aku mempelajarinya sama seperti adi, tidak ada hal lain yang melebihi cara belajar adi”
“Mengapa hasil yang ku dapatkan berbeda kakang, tidak sebaik kakang”
“Tidak berbeda adi, kebetulan saja aku telah mempelajarinya terlebih dahulu”
“Suatu saat, aku mohon padamu kakang, bantulah aku untuk mempelajari kitab guru itu”
“Dengan senang hati adi, kapan saja adi mau, hanya adi harus datang ke Menoreh sebab aku telah terikat dengan pasukan khusus itu.”
Hari baru nan cerah telah menghampar indah di bumi menoreh, Pandan Wangi telah dengan setia melayani ayahnya, di pagi hari itu.Ki Argapati telah berjalan bersama Panda Wangi melihat - lihat suasana padukuhan induk itu, seringkali tampak Ki Gede tertawa mendengar perkataan anaknya itu,” Pandan Wangi, bagaimana kalau kau setiap enam purnama berada di Menoreh berkumpul dengan kami dan enam purnama sisanya kau berada di Sangkal Puting ?” tanya ayahnya.
Sebagai anak, Pandan Wangi telah mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya,
“Sebenarnya aku ingin kembali ke Menoreh ayah, sesegera mungkin, tetapi ayah harus ingat, aku tidak sendiri lagi, aku sudah memiliki suami dan anak yang tinggal di Sangkal Putung,” kata - kata itu telah menghentikan langkah kaki Ki Gede, dipandanginya wajah putrinya itu dan segera di peluknya, seakan ia memeluk Pandan Wangi kecil. Bapak dan anak itu telah menyusuri jalan kembali menuju rumah induk.
Sementara di barak pasukan khusus telah terjadi peningkatan kegiatan, beberapa lurah prajurit tampak terlihat hilir mudik dan di barak lainnya terlihat Ki Rangga telah menerima tamu dari Mataram, beberapa orang utusan Ki Patih Mandaraka.
“Ki Rangga, perkembangan yang tidak menentu ini, sangat menggelisahkan hati para pemimpin di Mataram, Ki Patihpun tidak tidak bisa mengetahui dengan pasti kapan gerakan ini akan menyentuh Mataram, untuk menanggapi hal ini beberapa brigada pasukan Mataram yang tersebar telah di minta segera memepersiapkan diri, brigada Ganjur telah mulai berbenah, pasukan Tumenggung Untaradirapun di Jatinom telah bersiap - siap.”  kata utusan itu kepada Ki Rangga.
Di depan utusan itu, Ki Rangga telah duduk dengan tangan bersendekap, dadanya terasa berdebar meski tidak begitu kencang.
“Sebenarnya kami juga telah mempersiapkan diri sejak kedatanganku dari kepatihan saat itu, ?” desis Ki Rangga
“Selanjutnya apakah ada pesan khusus dari Ki Patih Mandaraka”
“Benar Ki Rangga, secara umum pesan itu adalah peningkatan kemampuan pasukan khusus ini harus di percepat dan harus menjadi pasukan terbaik diantara beberapa pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram, sedangkan pesan yang lainnya, Ki Rangga harus membentuk kelompok - kelompok kecil yang bertugas untuk menyebarkan pemberitahuan kepada beberapa perguruan yang tersebar di sekitar Menoreh, sampai daerah Wanasaban dan yang terakhir Ki Patih telah memerintahkan kepada Ki Rangga untuk melepas 2 orang prajurit yang bernama Glagah Putih dan Rara Wulan untuk bergabung dengan prajurit telik sandi khusus yang akan di bentuk Mataram dalam waktu dekat ini”
“Hem, nampaknya persoalan ini telah meningkat pada persolan yang harus di tanggapi Mataram dengan sungguh - sungguh” kata Ki Rangga perlahan.
“Benar Ki Rangga, bahkan aku telah mendengar ada dua orang Tumenggung yang telah diutus oleh Ki Patih pergi ke Kadipaten Jipang” gumam utusan itu
“Baiklah, Ki Rangga Tirtabaya, aku telah menerima pesan sekaligus perintah ini dan aku dengan segenap pasukan khusus ini akan menjunjung tinggi semua yang telah ditetapkan oleh Mataram, dan akupun berharap dalam waktu tidak terlalu lama aku akan menghadap ke Mataram untuk mendapatkan keterangan - keterangan lain yang sangat berguna pagi pasukan ini”
Demikianlah kedua Rangga Mataram itu telah berpisah, sepeninggal utusan itu segera Ki Rangga telah mengumpulkan beberapa lurah prajuritnya dan memerintahkan agar segenap jajaran pasukan khusus di Menoreh segera bersiap - siap menyambut segala kemungkinan yang terjadi.
Glagah Putihpun telah dipanggilnya. “Glagah Putih, rupaya kita harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan yang terjadi saat ini, kaupun telah mendapat perintah dari Ki Patih untuk bergabung dengan pasukan telik sandi khusus“
“Baik kakang, aku siap kapanpun aku di perintahkan, bagaimana dengan Rara Wulan ? Apakah dia mempunyai tugas khusus ?” tanya Glagah Putih kepada kakak sepupunya itu.
“Benar, Rara Wulan akan bersamamu, bergabung dengan prajurit telik sandi, rincian tugas itu belum aku terima sepenuhnya, dalam beberapa hari kedepan tentu kita akan menerima nawala dari Mataram ,” Ki Rangga berhenti sebentar, matanya menatap pada tanah lapang di depan barak Pawiyatan itu.
“Hari ini aku akan pulang sedikit awal, aku akan mempersiapkan kepulangan kakangmu Swandaru, nanti saatnya kau pulang, tolong sampaikan pesanku kepada Ki Lurah Putrayuda agar dia mempersiapkan semua peralatan latihan di sanggar terbuka, kita akan memerlukannya besok,”
“Baik kakang”
“Kakang, bolehkah aku menyampaikan saran mengenai kepulangan kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi ?” tanya Glagah Putih. Tentu saja pertanyaan itu membuat Ki Rangga tersenyum,” Ada apa, Glagah Putih ?”
“Apakah kakang tidak merasa kawatir melepas kitab itu bersama kakang Swandaru dan kangmbok Pandan Wangi saja ?”
Mata anak Ki Widura itu memandang wajah kakaknya, kening Ki Ranggapun tengah berkerut meski tidak terlalu dalam.
“Akupun sedang berpikir, seandainya tidak ada perintah dari Ki Patih kepadamu, tentu aku sudah memintamu bersama Rara Wulan untuk menemani perjalanan itu, tetapi tidak bisa dalam waktu sekarang ini Glagah Putih,” berhenti sejenak, lalu terusnya,” aku akan meminta Ki Jayaraga untuk pergi bersama mereka dan aku akan menyuruh Sukra untuk ikut, supaya anak itu mendapat pengalaman baru, sudah waktunya mengenal daerah lain selain Menoreh”
“Bagus sekali kakang, tentu membuat Sukra tidak bisa tidur saat mau berangkat” terdengar suara tertawa Glagah Putih.
Dirumah Ki Gede, pasangan suami istri itu tengan mempersiapkan diri karena besok pagi akan segera meninggalkan menoreh kembali ke Sangkal Putung, mereka telah meninggalkan Swatantra untuk waktu yang cukup lama. Dengan wajah ceria Swandaru telah mempersiapkan segalanya, bahkan jenang alot bikinan Nyi Turimah telah pula di bungkusnya dengan rapi.
  Sementara Ki Gede melihat semuanya itu dengan wajah yang sedikit murung, ia akan berpisah lagi dengan anak menantu dan Pandan Wangi putrinya itu, terkadang tanpa disadari orang tua itu telah mengeluh, siapa yang akan meneruskannya, menjadi panutan orang – orang di Tanah Perdikan Menoreh.
Dari gandok lain terlihat Pandan Wangi tengah berjalan dengan memakai pakaian kebaya lengkap berwarna cokelat muda dengan rambut yang telah ditata rapi dengan sanggulnya itu, Ki Gede memandangnya dengan penuh kebanggaan, orang tua itu menyadari bahwa putri semata wayangnya itu sudah tidak muda lagi, tetapi pada usianya sekarang sangat sulit untuk mengatakan bahwa anaknya bukanlah seorang perempuan yang cantik, dagu anak itu seperti dagu miliknya, belah jambe.
“Pandan Wangi, kenapa kau berpakaian seperti ini ? tanya Swndaru keheranan ketika Pandan Wangi telah menyentuh punggungnya.
Nampak putri Menoreh itu tersenyum, sejenak wajahnya menunduk membetulkan lipitan pada kain panjangnya, lalu dengan wajah keheranan telah menatap wajah yang gemuk bulat itu, katanya, “Apakah tidak boleh kakang ? Sesekali aku ingin berpakaian seperti ini, bukankan aku sudah mengatakan padamu kakang bahwa sore hari ini, teman kecilku Surti akan melangsungkan pernikahan dengan anak Ki Jagabaya, aku dan Menik serta Sasih akan menghadiri acara itu, apakah kau mau ikut, kakang ?”
“Tentu tidah Wangi,aku hanya heran saja, wajahmu benar – benar cerah seperti bintang dilangit saat purnama sidhi” terdengar Swandaru memuji keelokan rupa istrinya.
“Apakah kakang tidak menyadari sebelumnya ?”
“Menyadari apa Wangi ?”
“Menyadari seperti yang kakang ucapkan tadi”
Keningnya telah berkerut, tiba - tiba Swandaru telah berjalan mengelilingi tubuh itu serta berhenti didepannya, anak Sangkal Putung itu memandang tajam wajah Pandan Wangi, lalu katanya,” Kau betul – betul elok rupa Wangi, tetapi aku tidak bisa membayangkan mimikmu ketika perutmu sakit, kau berlari dan kemudian duduk di jambangan pakiwan, muka itu pastilah menyeramkan, lebih menakutkan dari muka Sengkuni saat murka”
Tawa Swandaru segera meledak memenuhi semua ruangan dirumah itu, tubuh gemuk itu telah berguncang, oleng kekanan lalu kekiri, Ki Gede yang mendengar percakapan itu telah tersenyum, Swandaru baginya adalah menantu yang menyenangkan.
Tanggapan lain telah datang dari Pandan Wangi, tangannya telah terjulur lurus mengapai perut suaminya, tidak ingin perutnya menjadi sasaran maka Swandaru Geni telah bergerak cepat, dengan sigapnya telah meloncat menjauh, menghindari sergapan tangan Pandan Wangi.
Di rumah, Ki Rangga tengah menyampaikan permintaan kepada Ki Jayaraga, orang tua itu telah tersenyum, katanya,” Satu tugas yang sangat berat angger Sedayu”
Ki Rangga tersenyum mendengar perkataan itu, bahkan Nyi Sekar Mirahpun telah menyahutnya,” Perjalanan yang menyenangkan Kyai, dengan hadirnya Sukra maka Kyai tidak akan pernah mengantuk.” Segera saja mereka tersenyum dan tertawa kecil, Sukra akan menempuh perjalanan yang cukup panjang.
Hari itu telah tiba, setelah berpamitan kepada seluruh sanak kadang maka kuda merekapun segera berderap meninggalkan padukuhan induk Menoreh dan menuju ke Sangkal Putung, dalam perjalanan itu, meski Ki Jayaraga banyak bercanda tetapi sebenarnya hatinya telah mengidap rasa was - was, betapa tidak, dirinya telah dipercaya oleh Ki Rangga untuk mengawal Kitab Windujati, sebuah kitab yang sangat dipercaya memuat tuntunan kehidupan dan sebangsal ilmu yang nggegirisi, Sukra yang berkuda disampingnya benar - benar telah menikmati perjalanan itu, wajahnya tampak terang, anak itu tak henti - hentinya memandangi semuanya yang nampak selama perjalanan, seakan matanya tak pernah berkedib, rasa kagumnya melihat pemandangan membawanya pada sikap bersyukur yang tiada habisnya.
Swandarupun tidak banyak bicara, dibenaknya telah terpikir, setelah tiba di Sangkal Putung dia akan berlatih sangat keras siang dan malam, mengejar ketertinggalan dari kakak seperguruannya maka kerja keras adalah pilihan yang tak bisa ia elakkan, tetapi terkadang ia merasa kebingungan ilmu manakah yang harus dipelajarinya terlebih dahulu.
Penyeberangan di Sungai Progo sekarang telah bertambah ramai, terlihat banyak orang yang lalu lalang dengan membawa sesuatu yang diperdagangkan, masuk dan keluar Menoreh, sementara satang yang membawa Swandarupun telah bergerak perlahan, Ki Jayaraga tak sedikitpun kehilangan kewaspadaanya, matanya yang awas telah memandang sekelilingnya, sementara Sukra telah berjongkok, tangannya menyentuh air yang kebetulan hari itu terlihat tidak begitu keruh.
“Sukra, apa yang sedang kau pikirkan” terdengar suara Ki Jayaraga membuyarkan lamunan anak yang sedang berjongkok itu.” Kyai sungai yang besar ini, pada saat hujan lebat, apakah tidak menimbulkan banjir ?” tanya Sukra.
“Kita harapkan tidak Sukra, entah beberapa tahun mendatang, saat manusia sudah semakin banyak atau terjadi sesuatu yang diluar perkiraan, bisa saja sungai ini meluap dan menggenangi daerah disekitarnya,”
 Mata Sukra terus memandang ke arah air yang mengalir tidak begitu deras itu, perasaannya berkecamuk tak menentu, terselip rasa gembira dan juga rasa takut, bagaimana jika tiba - tiba sungai Progo itu banjir, meluap serta menggulungnya ?
Satang itu tetap bergerak dengan lambatnya, terkadang harus berhenti sebab terhalang oleh batu yang cukup besar, semua orang yang diatasnya juga mengerti dan sabar menunggu satang itu berbelok dan meneruskan perjalanannya.
Ketika semua mata memandang arah tepian sungai Progo yang sebentar lagi akan segera mereka capai, tiba - tiba Pandan Wangi telah terpekik kecil, jarinya bergerak menunjuk kearah penyeberangan dimana mereka mulai naik satang, Swandaru dan Ki Jayaraga nampak terkejut, mereka segera mengarahkan pandangan sesuai gerakan tangan itu, diantara sinar matahari yang memantul di permukaan sungai progo, sesosok tubuh bagaikan terbang telah melesat melintasi sungai progo itu, kakinya sesekali telah menjejak ke air untuk mendorong tubuhnya supaya tetap terapung diudara dan dengan cepatnya sesosok tubuh itu menyeberang dan telah mendarat, jauh lebih cepat dari gerakan satang Swandaru.
Setelah mendaratkan kakinya ke bumi, sosok itu telah berjalan menghilang diantara semak belukar yang masih banyak bertebaran sepanjang pinggiran sungai itu.
Seakan bermimpi di pagi hari, semua orang diatas satang itu telah melihat suatu yang mengagumkan, seseorang telah menyeberang sungai progo tanpa rakit.
Pandan Wangi telah bergerak mendekati Ki Jayaraga, katanya,” Kyai, apakah kyai telah melihat yang sekilas itu ?”
“Benar ngger, aku telah melihatnya jelas sekali, tetapi aku tak melihat wajahnya, aku telah mencoba mengenalinya, bahkan aku telah mengirim pameling kepada orang - orang yang kuduga mampu melakukan hal tersebut namun tak ada jawaban” jawab Ki Jayaraga, detak jantungnya mulai berubah dan terasa semakin cepat.
“Siapakah orang itu kyai ?” suara Swandaru juga telah mendesak Ki Jayaraga.
“Aku tidak mengenalnya ngger”
“Ilmu meringankan tubuhnya sangat luar biasa kyai” masih terdengar suara lanjutan dari Swandaru, anak gemuk itu masih terheran - heran, tiba - tiba ia teringat kepada saudara seperguruannya,” Kyai, apakah orang itu kakang Agung Sedayu ?”
Pandan Wangi telah terhenyak mendengar nama itu disebut, sementara Sukra juga turut berbicara,” Tidak mungkin Ki Swandaru ! Ki Rangga itu sekarang masih ada di Menoreh dan Ki Rangga tetap akan membutuhkan rakit ini untuk menyeberang, tadi itu bukanlah seseorang melainkan hantu yang telah kemanungsan, dia pulang kesiangan Ki”
Ki Jayaraga sempat tersenyum mendengar kata - kata Sukra itu, bahkan Pandan Wangi itu telah menyahut,” Kau benar Sukra, tentu Ki Rangga Agung Sedayu ada di Menoreh di barak pasukan khusus”
Swandaru mengerutkan keningnya, kata - kata Sukra tak bisa dipahaminya, dipandanginya wajah anak itu, tetapi dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Satang itu telah merapat, merekapun telah turun dan segera melanjutkan perjalanan menuju Sangkal Putung.
Sebuah perjalanan yang menegangkan bagi Ki Jayaraga, betapa tidak, sebagai orang tua yang berpengalaman, kehadiran sosok yang melintas sungai Progo itu benar - benar telah mengambil perhatiannya, keselamatan Sukra dan anak - anak Sangkal Putung itu berada ditangannya, sembari memacu kudanya sesekali Ki Jayaraga telah melihat kedalam dirinya, beberapa ilmu simpanannya telah ditiliknya, ilmu yang sudah lama tidak ia pergunakan.” Apakah ilmu itu masih mampu aku ungkap ?”
Orang tua itu menyadari keterbatasan kekuatan jasmani dan rohaninya, sedangkan untuk mengungkap ilmu itu ia memerlukan dukungan jasmani yang sangat besar,” Semoga tidak terjadi sesuatu, matahari telah mencapai puncaknya dan sebentar lagi aku akan sampai daerah kekuasaan angger Untara, tentu akan banyak prajurit yang meronda” katanya dalam hati.
Di depan Swandaru telah memacu kudanya yang cukup tegar itu, kepalanya tegak memandang kedepan, hatinya telah merasakan kebahagiaan, tidak memakan waktu terlalu lama lagi dia akan memasuki Sangkal Putung.
Hampir memasuki hutan kecil disebelah utara Jati Anom, tiba - tiba Ki Jayaraga telah memacu kudanya mendekati kuda Swandaru, katanya
“Angger sebaiknya kita tidak terlalu cepat memacu kuda, didepan kita terbentang hutan kecil, sebaiknya kita hati - hati angger, dadaku terasa berdebaran,”
Swandaru menangkap apa yang dimaksud oleh Ki Jayaraga segera memperlambat derap kudanya.” Biarlah aku yang di depan, angger Swandaru”
Tanpa menunggu persetujuan Swandaru, Ki Jayaraga telah berkuda paling depan, kewaspadaannya telah ditingkatkan, dipertajam pandangan matanya, kuda mereka telah memasuki hutan itu tetapi sudah tidak berlari lagi, seolah kuda itu hanya melangkahkan satu persatu kakinya.
“Kita berhenti sebentar ngger, tempat ini lebih terbuka”
Pandan Wangi segera merapat mendekati suaminya sedangkan kuda Sukra telah bergerak ke arah Ki Jayaraga,” Sukra berhati - hatilah, mungkin kita akan menghadapi beberapa orang jahat yang akan merampok kita, persiapkan dirimu,”
“Baik Kyai, sekarang aku sudah siap, apapun yang terjadi aku siap Kyai, aku akan melawan siapapun yang mencoba mengganggu kita, aku akan membantu Kyai menghadapi orang itu”
Ki Jayaraga tersenyum, dengan lembut telah berkata,” Mendekatlah kepada Ki Swandaru, sementara biarkan aku disini dulu.”
“Kemarilah Sukra” kata Pandan Wangi telah meluncur memanggil Sukra dan kuda Sukrapun telah bergerak mendekat.
Merekapun segera meloncat turun dari kudanya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan, mata mereka segera menatap hutan itu seolah telah mencari sesuatu, suasana di hutan itu tetap tenang sama sekali tidak menampakan suatu keganjilan.
Swandaru nampak memandang ke arah Ki Jayaraga dengan raut muka yang menegang,
“Orang tua itu tentu tidak mengada -ada” pikirnya.
Sementara Pandan Wangi telah mengenakan sepasang pedang tipisnya.
kegelisahan keempat orang itu segera terjawab, saat terdengar suara tertawa perlahan, namun suara itu seakan telah merambat kesemua urat kayu di hutan itu, suara yang telah menggetarkan semua dada orang yang tengah mendengarkannya,
Tiba - tiba terlihat Sukra telah memegang dadanya, wajahnya telah memucat tetapi anak itu terlihat tidak menyerah, dicobanya menghentakan seluruh tenaganya untuk bertahan, bahkan dengan sisa tenaganya ia telah berteriak sekuat - kuatnya,” He orang yang tak tahu diri kenapa kau bersembunyi ? keluarlah kami akan menghadapimu dan Ki Jayaraga akan segera menghukummu”
Suara tertawa itu telah berhenti sesaat, yang terdengar adalah kata-katanya, meskipun perlahan,” Siapa kau bocah tengik ?”
“Sukra, namaku Sukra,” jawab anak muda itu tak kalah lantangnya.
Ki Jayaraga sengaja membiarkan Sukra berbuat sesatu, ia sedang berusaha mencari dimana keberadaan orang yang semula tertawa itu.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah sangat mengejutkan semuanya, tidak tahan akan suara tertawa itu maka Swandaru telah meloncat kedepan, begitu kakinya menjejak tanah maka anak Sanggal Putung telah menghentakkannya cambuknya sendal pancing, sebuah ledakan dahyat telah menggetarkan hutan kecil itu.
Suara cambuk itu bukannya menghentikan suara orang itu, malah terjadi sebalikya terdengar suara tertawa mengguntur seolah mengatasi suara ledakan itu, “Apakah kau yang disebut orang bercambuk itu ? He”
“Jika orang bercambuk itu adalah kau maka aku telah menyesal datang kemari, suara lecutanmu telah mengagetkan kambing milik orang di padukuhan sebelah itu.”
Mendengar suara itu Sukra telah terjatuh, tubuhnya telah terlentang di rerumputan hutan kecil itu. Ki Jayaragapun segera melangkah mendekati tubuh itu, mengangkatnya serta meletakkan pada tempat yang teduh.
Sesaat kemudian orang tua itu telah berdiri menghadap pohon trembesi yang tegak dan angkuh itu, diperkirakannya arah suara itu berasal, katanya,” Ki sanak, kau tentu orang yang mempunyai ilmu linuwih, sebaiknya kau menampakkan diri dan kita akan saling mengenal.”
“Percuma dan sangat membuang waktuku” dengus suara itu.
Swandaru yang tidak mengerti dimana keberadaan orang itu telah benar - benar merasa di remehkan, sekali lagi cambuknya telah berputar diatas kepalanya, dan segera dihentakkannya sendal pancing, tidak terdengar suara yang memekakan telinga tetapi cambuk itu telah menebarkan getaran yang sangat kuat dan melanda setiap dada orang yang berada di sekitarnya.
“Nah, kisanak, cepatlah keluar atau aku akan segera melecutmu” teriak Swandaru.
Tidak segera terdengar jawaban, hutan itu nampak lengang, tidak terdengar suara burung berkicau bersautan.
“Apakah kau akan keluar, Ki sanak atau aku benar - benar akan menyerangmu ?” teriak Swandaru Geni. Sementara Pandan Wangi pun telah menunggu dengan tegangnya, pandangan matanya, seolah telah menembus semua sisi hutan itu tetapi yang dicarinya tidak ditemukannya.
Pencarian itu telah berhenti, ketika suara tertawa itu terdengar kembali perlahan dan berkepanjangan.
“Awas ! Orang itu telah mengungkap aji Gelap Ngampar” teriak Ki Jayaraga menggelegar serasa memukul gendang telinga Swandaru dan Pandan Wangi.
Sebenarnyalah ajian Gelap Ngampar telah diterapkan orang itu, justru pada tataran yang cukup tinggi, suara itu tidak terlalu keras namun berkepanjangan, bak deburan ombak pantai selatan bergulung - gulung tiada putusnya menghantam dada semua orang yang mendengarkannya.
Bagi Ki Jayaraga bukanlah suatu hal yang terlalu sulit, orang tua itu segera menutup indera pendengarnnya, dan masih terlihat kokoh berdiri bak batu karang di tengah lautan, dengan kaki renggang telah menghadap kearah suara itu, sementara Pandan Wangi dan Swandaru nampak berusaha keras menutup indera pendengarannya, keduanya telah merasakan sentuhan Aji Gelap Ngampar yang benar - benar nggegirisi., dada merekapun serasa sesak, bahkan terlihat tubuh Swandaru yang menerapkan aji Tamengwaja sejak awal telah bergetar, nampak anak Sangkal Putung itu kebingungan, ada keinginannya untuk menyerang langsung kepada sumber suara itu tetapi kemana dia akan mengarahkan ilmunya, dia tidak mengetahui dimana orang itu berada, sedangkan ilmu tamengwajanya ternyata tidak berarti sama sekali melawan ajian Gelap Ngampar itu.
Ki Jayaraga tidak akan membiarkan keduanya mengalami kesulitan, segera orang tua menjulurkan kedua tangannya kedepan, dalam sekejab gerakan tangan itu telah mengangkat debu dan dedaunan kering dan segera berputar cepat makin lama semakin membesar seperti angin puting beliung. Tangan Ki Jayaraga telah bergerak kesamping dan angin itupun telah berputar mengikuti gerakan tangan Ki Jayaraga.
Meskipun tidak terlalu besar tetapi angin itu benar - benar telah berputar dan masuk kedalam hutan itu, terus bergerak menyasak diantara celah celah pepohonan, ranting lapuk dan daun yang telah menguningpun segera teraduk - aduk tanpa ampun. Angin berputar yang membawa udara panas itu benar - benar telah mencari mangsanya.
Swandaru Geni dan Pandan Wangi telah melihat semuanya, mereka bagaikan anak kecil yang telah melihat permainan para raksasa di belantara ilmu kanuragan, ilmu yang mereka miliki ternyata belum cukup untuk bertahan apalagi menilai kedahsyatan kedua ilmu itu.
Nampak keringat mengembun di kening Ki Jayaraga, sementara angin pusaran itu telah berhenti, seolah telah menemukan mangsanya dan segera angin itu akan melumat dan meremukan apa saja yang dilibatnya, Swandarupun dengan diam - diam telah mengagumi ilmu Ki Jayaraga itu.
Angin prahara berhawa panas itu terus berputar semakin lama semakin cepat dan ternyata tidak bergeser sejengkalpun, Ki Jayaraga juga merasakan bahwa angin praharanya telah melibat orang yang telah menerapkan ajian Gelap Ngampar itu.
Dalam hati Pandan Wangi telah bersyukur, bagaimana jadinya jika Ki Jayaraga tidak bersama mereka, kekagumannya kepada sosok Agung Sedayu semakin tidak bisa dicegah lagi, seolah adik Untara itu mengetahui apa yang bakal terjadi saat mereka kembali Ke Sangkal Putung.
Sungguh aneh dan diluar dugaan Ki Jayaraga, suara tertawa itu masih saja terdengar bahkan semakin menyakitkan dada anak - anak sangkal Putung itu.
“Ki sanak, Gelap Ngamparmu tidak berarti apa - apa bagiku, keluarlah !” suara Ki Jayaraga terdengar menggelegar bak guntur di langit, kemampuannya telah benar - benar tidak di kekangnya lagi. Suara itu langsung menusuk dada orang yang tidak diketahuinya itu.
Benturan kedua ilmu itu benar - benar dahsyat meski tidak terlihat, Ki Jayaragapun benar - benar meyakini, bahwa orang yang tertawa itu tentu tidak akan terganggu oleh ilmu yang telah dilontarkannya lewat suara itu.
Tanpa sadarnya guru Glagah Putih itupun telah berpaling kearah Swandaru, terlihat olehnya bahwa anak Ki Demang itu telah benar - benar kebingungan, sedangkan Pandan Wangi tubuhnya telah nampak gemetar.
“Kisanak jika kau tidak mau keluar maka akulah yang akan datang padamu” geram Ki Jayaraga.
Seolah tak menghiraukan Ki Jayaraga, tiba - tiba getaran suara tertawa itu telah meningkat dan semakin meningkat, sementara Swandaru dalam kebingungannya telah mencoba mengurangi pengaruh suara tertawa yang dilandasi ajian Gelap Ngampar itu, terlihat ia melecutkan cambuknya beberapa kali, lecutan tanpa suara yang cukup mengetarkan.
Sebuah pertempuran yang sungguh aneh, wadag mereka sama sekali tidak bersentuhan, hanya lontaran ilmu merekalah yang saling berbenturan. Keringatpun telah membasahi tubuh Swandaru dan Ki Jayaraga.
Sementara itu Pandan Wangi telah jatuh terduduk, gemuruh didadanya benar - benar sulit diatasinya, sebenarnya murid Ki Argapati itu sudah memiliki ketahanan dan kemapanan ilmu yang cukup tinggi, tetapi menghadapi pertempuran aneh itu ternyata bekalnya belum mencukupi.
Melihat istrinya terduduk maka darah Swandaru benar - benar telah mendidih, dia telah lupa suba sita, bagaikan orang kesurupan setan disiang bolong maka tanpa menghiraukan Ki Jayaraga dia telah meloncat menerjang semak belukar dan cambuk itu telah dihentakkannya sampai tataran puncaknya, akibatnya sungguh luar biasa, semak belukar itu seakan telah dihempas oleh kekuatan raksasa, semuanya telah tercabut dari akarnya dan pepohonan yang tersentuh cambuk itu telah bertumbangan.
Melihat tindakan Swandaru itu, berguncanglah dada Ki Jayaraga, seumur hidupnya dia tidak pernah mengalami kekalutan hati seperti yang dirasakannya saat ini, ternyata benar adanya bahwa tugas yang diberikan oleh Ki Rangga padanya adalah suatu tugas yang maha berat. Ilmu praharanya telah dilepaskannya dan matanya dengan penuh kecemasan telah mengikuti semua gerakan anak Sangkal putung itu.
“Swandaru, berhenti” suara Ki Jayaraga benar - benar mengguncang dada suami Pandan Wangi itu, tetapi nampaknya Swandaru sudah benar - benar wuru, maka dengan membabi buta dia telah mengayunkan cambuknya, hutan itu telah benar - benar diaduknya.
Ki Jayaraga benar - benar gelisah seakan tubuhnya  telah berdiri diatas bara, dia tidak bisa lagi menghentikan putaran cambuk Swandaru itu, bila ia mendekat maka cambuk itu tentu akan meraba tubuhnya, kegelisahan itu telah mencapai puncaknya saat dilihatnya Padan Wangi telah terkulai pingsan.
Ki Jayaraga justru telah berdiri membeku, Swandaru masih terlihat berloncatan masuk dan menerjang apa saja yang terbentang dihadapannya, suami Pandan Wangi itu benar - benar seperti kerbau liar.yang mengamuk di padang perburuan.
Dalam benak Ki Jayaraga, satu - satunya jalan menghentikan Swandaru adalah menyerangnya secara langsung, tetapi serangan terhadap anak itu tentu akan mengakibatkan luka, sedangkan hatinya tidak menginginkan hal itu terjadi, tetapi jika dia hanya berdiam diri maka kemungkinan terpahitpun akan segera menimpa murid kedua Kyai Gringsing itu.
“Aku akan menghentikannya, sebelum semuanya berakhir dengan kepahitan, aku tak akan sanggup memikul kesalahan jika terjadi seuatu terhadap angger Swandaru” gumam Ki jayaraga dalam hatinya, sekilas terbayang wajah sahabat yang sangat dihormatinya dan wajah teduh Ki Rangga, keduanya pasti akan menyalahkannya.
“Apa boleh buat,  ”  segera orang tua itu mempersiapkan dirinya mengungkap sebuah ajian yang telah lama disimpannya, sebuah ajian yang belum diturunkan kepada muridnya, ajian itu didapatnya dari seorang pertapa yang tinggal di daratan kecil sebelah barat daratan Karimun Jawa, ajian  Sungsang Bumi.
Jari - jari tangannya telah merapat dan kedua tangannya telah bergerak perlahan, naik dan berhenti di samping kedua telinganya, terlihat tangan itu bergetar, telapak tangan dengan jari - jari merapat itu telah terlihat mengepal, ibu jari telah menempel pada jari telunjuk, ajian itu telah siap dan akan segera dilontarkan kepada Swandaru meski pada tataran yang terendah.
Mata Ki Jayaraga telah memandang Swandaru, rupaya suami Pandan Wangi belum juga menemukan sasaran yang dicarinya, dengan kemarahan yang tak terkendali dia selalu bergerak kearah yang dicurigainya, tetapi semua itu tak berlangsung lama, secepat Ki Jayaraga mengungkap ajiannya maka secepat itulah sesosok bayangan telah berkelebat, menyusup diantara putaran cambuk Swandaru, bahkan sosok itu tidak merasa khawatir sedikitpun bila tubuhnya terhantam cambuk berkarah besi baja itu. Satu serangan cepat telah melibat Swandaru, belum tuntas satu tarikan nafas, seolah sebuah tangan hantu terlihat diantara rimbunnya dedaunan, tangan itu menghentak dagu Swandaru dan sekaligus memecahkan ilmu Tamengwaja yang sangat di banggakan anak Sangkal Putung itu.
Tubuh gemuk itupun telah terpental dan segera limbung kekanan kemudian telah terjatuh menimpa bumi, tidak ada suara rintihan.
Dengan kening berkerut sosok itu telah berdiri beberapa langkah dari tubuh itu. Hanya sesaat sosok itu memandangi tubuh korbannya, dan dengan satu hentakan kaki kanannya tubuh itu telah meluncur seakan terbang ke arah Ki Jayaraga, orang itu itu telah berdiri dengan kaki merenggang dan menatap wajah guru Glagah Putih dengan wajah tegang.
“Assalamualaikum, Kyai, apa khabarnya?” sapa sosok itu sembari tangan kanannya merenggut topeng kayu berwarna coklat yang menututpi wajahnya.
Sesaat Ki Jayaraga terpaku di tempatnya, setelah menjawab salam itu, Ki Jayaragapun segera melangkah kedepan dan menjabat tangan orang itu dan segera memeluknya sesaat.
“Maafkan aku Kyai, aku telah menempuh cara ini, suatu cara yang sangat berbahaya dan tentu sangat menegangkan bagi Ki Jayaraga” kata Kyai Grinsing perlahan sembari tertawa.
Kyai Jayaraga tersenyum, dahinya masih tetap berkerutbenaknya masih tersimpan beberapa pertanyaan yang belum memperoleh jawaban.
“Aku benar - benar telah kehilangan akal kyai, seandainya kemunculan Kyai sedikit saja terlambat, mungkin aku tidak akan tinggal di Menoreh lagi, tentu anakmas Agung Sedayu akan murka dan aku tak akan sanggup menahannya,” kata Ki Jayaraga.
“Ah, tentu tidak seperti itu, Kyai” sahut Kyai Gringsing sembari berjalan kearah Pandan Wangi yang terbaring pingsan, Ki jayaragapun telah berjalan disampingnya.
Setelah menempatkan tubuh Pandan Wangi dekat dengan Sukra maka kedua orang tua itu telah berjalan menuju sebuah pohon gayam dan mereka telah duduk dan berbincang,
“Bagaimana dengan Swandaru,  Kyai ?”
“Tidak akan terjadi apa - apa, dia hanya pingsan dan sebentar lagi akan siuman”
Guru Glagah Putih  itu nampak menarik nafas dalam - dalam.
“Kyai Jayaraga, menurut cerita angger Sedayu bahwa angger Swandaru telah banyak mengalami perubahan pada kepribadiannya dan diceritakannya pula bahwa Swandaru telah membawa Kitab itu dan akan menyimpannya di Sangkal Putung,” kata Kyai Gringsing seolah membaca dan  mengerti apa saja yang terlintas di benak Ki Jayaraga,  berhenti sejenak, matanya menatap wajah guru Glagah Putih itu.
“Kapan Kyai menemui angger Sedayu ?” tanya Ki Jayaraga
“Belum lama berselang  Kyai, saat angger Sedayu selesai menunaikan kewajiban Subuhnya”
“Apakah perjalanan ke barat telah selesai, Kyai ?”
“Benar Kyai, aku sudah ke bang kulon dan telah menyelesaikan sedikit kewajiban”
Nampak Ki Jayaraga mengangguk - anggukan kepalanya, sementara Kyai Gringsing telah berkata selanjutnya,” Ki Jayaraga, aku berharap kejadian hari ini sebagai pelajaran terhadap muridku yang kedua itu, biarlah dia mengerti bahwa masih banyak lagi hal - hal yang harus dipelajarinya untuk menatap kehidupan ini, biarlah dia menyadari bahwa nafsunya yang bergejolak berlebihan itu akan dapat menghancurkan dirinya sendiri, biarlah Swandaru sadar bahwa sikap menganggap rendah orang lain apalagi meremehkannya akan membuatnya menderita di kemudian hari.”
“Semoga angger Swandaru dapat segera mengerti arti dan makna kejadian hari ini” sahut Ki Jayaraga, sementara tangannya telah menyeka keringat yang masih mengembun di keningnya.
Wajah lembut itu tetap memandang ke arah guru Glagah Putih itu, sejenak kemudian terdengar perkataannya,” Ki Jayaraga, aku tidak ingin Swandaru dan Pandan Wangi mengetahui apa saja yang telah aku lakukan, silahkan Ki Jayaraga membuat cerita, selain itu akupun ingin mohon pertolongan pada Kyai”
“Apa yang dapat kulakukan Kyai ?”
Nampak Kyai Gringsing tengah menarik nafas dalam - dalam, lalu katanya,” Aku ingin titipkan Kitab itu kepada Ki Jayaraga, maksudku setelahnya tiba di Sangkal Putung, ku mohon Ki Jayaraga dan Sukra tidak langsung meninggalkannya dan segera kembali ke Menoreh tetapi menetaplah sementara waktu disana, sebab aku sangat mengkhawatirkannya Kyai, dengan adanya Kitab itu Sangkal Putung tentu sangat berbahaya bagi keselamatan Swandaru dan keluarganya, sementara untuk saat ini aku tidak bisa menungguinya”
“Sampai  berapa lama Kyai ?” tanya Ki Jyaraga.
“Tidak terlalu lama Kyai, aku akan melanjutkan perjalannku menemui Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Prabu Hanyakrawati di Mataram dan selanjutnya aku akan kembali Sangkal Putung, kurang lebih sekitar enam hari” jawab Kyai Gringsing perlahan.
“Baiklah Kyai, aku menyanggupinya, tetapi mohon jangan terlalu lama, sawah Ki Rangga tentu akan terbengkelai sebab tidak ada yang menggarapnya kecuali aku dan angger Sukra”
Kyai Gringsingpun terlihat menganggukkan kepalanya.

Kedua orang tua itu telah sepakat untuk berpisah, sebelum semuanya tersadar, setelah mengucapkan salam maka Kyai Gringsingpun telah meninggalkan mereka.
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com