Senin, 30 Mei 2016

MENDUNG DILERENG MERAPI 6

Oleh : Ki Jagabaya Amalindo

Bumbung  6

Kedua orang dari Kademangan Cangkringan itu terdiam, kepalanya telah tertunduk, tubuhnya telah merasakan perasaan sakit yang teramat sangat, seolah sendi - sendi pada tangan kanan mereka telah terlepas, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi kecuali menunggu belas kasihan seorang yang bernama Rudita.
Apakah kita pernah bertemu sebelum ini, ki sanak ?” Tanya Rudita perlahan
Kedua orang itu tidak menjawab, wajahnya masih menatap tanah, penyesalan dan rasa takut telah membelit jantungnya.
Melihat kedua orang Cangkringanitu tidak berdaya lagi maka serentak orang - orang dalam kedai itu telah keluar dan Nyi Sarmini telah berdiri di paling depan, tangan perempuan itu terlihat bergerak - gerak seakan hendak meremas kedua wajah yang menunduk itu, mulutnyapun terlihat komat - kamit menggerutu.
 “Bagaimana, apa yang kisanak harapkan dariku ?” Suara Rudita masih terdengar sareh,” Apakah kisanak memerlukan uang ?” Tangan Ruditapun yang telah menggenggam uang itu segera terjulur.
 “Mohon ampun Ki sanak, aku tidak memerlukan uang itu lagi” kata Suro Bledek perlahan, suaranya terdengar kaku.
“Lalu apa yang kisanak kehendaki ?”
“Ampunilah kami kisanak” ucap Suro Bledek memohon.
Terdengar Nyi sarmini menggeram pelan mendengar permintaan Suro Bledek itu, kening pemilik warung itu tampak berkerut tanpa sengaja telah memperhatikan wajah orang yang bernama Rudita itu, sangat jelas terlihat wajah itu tidak rusak setelah terkena pukulan kedua orang Cangkringan itu, wajah yang tetap tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun, tubuh orang itu nampak segar seperti saat orang itu datang pertama kali ke kedainya.
Semua orang yang tengah berdiri di belakang Rudita itu nampak keheranan melihat sikap orang yang berbaju lurik itu, tangan mereka terasa gatal untuk segera menyentuh keduanya.
“Kenapa orang itu begitu sabar ?” gumam orang bertubuh kurus pelanggan kedai Nyi Sarmini kepada orang yang tengah berdiri disebelahnya.
“Kenapa orang yang bernama Rudita tidak menghukum kedua orang yang telah mencoba mencelakainya itu ?” Sebuah pertanyaan telah membelit di dada Nyi Sarmini.
Mereka semua membeku seolah menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang bernama Rudita itu.
Dalam kebekuan itu telah terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari mendekat, serentak semua mata telah memandang ke arah datangnya kuda - kuda itu.
Tak lama kemudian rombongan orang berkuda itu telah berhenti di muka kedai Nyi Sarmini, Swandaru yang berada di paling depan segera meloncat turun dari kudanya dan telah diikuti dengan yang lainnya,” Ada apa ini, ?” Tanya Swandaru.
Nyi Sarmini lah yang telah menjawab pertanyaan itu, kakinya telah melangkah kedepan,
“Selamat datang Ki Swandaru” ucapnya, rupanya pemilik warung itu telah mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu.
“Ada apa Nyai, apakah seseorang telah membuat keributan di kedaimu ?”
Swandaru telah berjalan lebih mendekat, dan katanya” Apakah kau telah membuat keributan disini ki sanak ? Kalau kau yang membuat keributan maka aku akan menghentikanmu, apakah kau belum pernah mendengar nama Swandaru Geni ?”
Nampak orang yang berbaju lurik itu tidak menjawab, wajahnya telah menunduk, seolah sedang menghitung jari kakinya.
“Bukan dia Ki Swandaru, tetapi kedua orang yang sedang duduk di tanah itu” Jelas Nyi Sarmini.
Segera Swandaru menatap kedua orang itu, lalu katanya,” Aku tidak ingin melihat kesombongan terjadi disini di kedai ini.”
Dalam pada itu kening Ki Jayaraga tampak berkerut, diamatinya orang berbaju lurik yang tengah menundukkan wajahnya itu, seakan orang tua itu telah mengenal sebelumnya.
Sementara Pandan Wangi yang berdiri di belakang Ki Jayaraga telah menyibak dan berjalan kearah orang yang berbaju lurik itu, tanpa ragu telah di pegangnya tangan yang membeku itu,” He ! Apakah kalian tidak mengenal Rudita lagi, putra Ki Waskita ?” katanya lantang.
Suara itu bak guntur di siang hari, menggelegar di telinga Swandaru, bahkan Ki Jayaraga dan Sukra telah terperanjat mendengarkan suara Pandan Wangi itu.
“Rudita, sudahlah jangan bermain - main lagi” terdengar suara lembut Pandan Wangi.
Orang berbaju lurik itupun telah mengangkat wajahnya, perasaan malu dan bersalah telah berdesakan di dalam rongga dadanya, katanya,” Maafkan Aku Pandan Wangi, kakang Swandaru, Ki Jayaraga dan kau Sukra, sama sekali bukan maksudku menunjukan kesombongan di hadapan kalian semuanya, aku telah benar - benar menyesal berbuat seperti ini,”
Rudita benar - benar telah menyesal, sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk memamerkan ilmu kebalnya, apalagi dihadapan mereka yang memang mendalami ilmu kanuragan, dia hanya ingin melindungi dirinya, dia tidak ingin membuat persoalan apalagi menyakiti siapapun, tetapi sisi lain di relung hatinya telah mengatakan bahwa dengan mempelajari ilmu kebal itu maka dia telah mulai melangkah mencurigai dan memusuhi sesamanya.
Berdiri seperti patung, tak sepatah katapun terucap dari mulut Swandaru itu, Rudita baginya adalah seorang yang sangat aneh hampir sama seperti kakak seperguruannya, sikapnya sulit untuk dipahaminya. Meskipun sudah berumur baginya Rudita adalah tetap seorang yang cengeng dan seorang yang tidak berani melihat kenyataan hidup.
Ki Jayaraga tengah menarik dafas dalam - dalam, dia telah mengenal anak Ki Waskita itu, meskipun sudah lama tidak bertemu, orang tua itupun telah mengenal wataknya, maka katanya” Angger Rudita, apakah yang telah terjadi ? Angger tidak usah berkecil hati seolah kami mengatakan angger sebagai orang yang berpaling dari keyakinan yang telah angger yakini itu, tidak ngger, kami justru memujimu, kamilah orang - orang yang justru telah memelihara kecurigaan itu dalam hati kami dengan dalih waspada, suatu saat akupun ingin menjadi sepertimu, punyai hati damai dan tidak punya rasa curiga”
Orang - orang yang berkumpul di kedai itu benar - benar tidak mengerti akan sikap orang yang ternyata bernama Rudita itu.
 “Aku menyerahkan semua persolan ini kepada Ki Jayaraga, kedatanganku di Jati Anom ini adalah sekedar lewat sebenarnya aku ingin pergi Ke Sangkal Putung untuk menemui Nyi Pandan Wangi” terdengar suara Rudita bergetar, seolah ia ingin menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
 “Tetapi sebelumnya aku mohon kalian semua memaafkan kedua orang itu, biarlah mereka pergi, mereka tidak akan berbuat jahat lagi” terdengar permintaan Rudita.
Swandaru telah membisu pandangan matanya telah beralih memandang pepohonan di sekitar kedai itu, Sukra nampak menggeleng - gelengkan kepalanya sedangkan Pandan Wangi telah tersenyum dan Ki Jayaraga telah menarik nafas dalam - dalam, katanya,” Baiklah angger Rudita, kami akan melepas keduanya, tanpa syarat apapun, biarlah mereka pergi, kemanapun yang mereka inginkan,”
Kepada Swandaru orang tua itupun mengatakan,” Silahkan angger semua masuk ke dalam kedai, bukankah kita memang mau makan, biarlah aku mengurus kedua orang ini, baru kemudian aku akan menyusul” Ki Jayaraga tetap berdiri ditempatnya, dipandanginya orang - orang yang yang tengah berkumpul itu,” Silahkan ki sanak membubarkan diri dan lupakan peristiwa ini.”
Swandaru yang mendengar permintaan Ki Jayaraga tanpa menunggu lebih lama kakinyapun segera melangkah masuk ke dalam kedai itu dan segera dipesannya beberapa pincuk makanan kesukaannya, Pandan Wangi, Rudita dan Sukrapun telah mengikutinya. Terlihat Nyi Sarmini dengan cekatan telah melayani tamu - tamunya.
Sore hari itu Kademangan Sangkal Putung, benar - benar menampakan wajah yang sumringah, betapa tidak kehadiran Swandaru benar - benar telah menggembirakan rakyat kademangan yang subur makmur itu, mendengar kedatangan Swandaru hampir semua bebahu kademangan telah berkumpul di pendapa rumah yang besar itu, orang - orang itu menanyakan apa saja yang terlintas di benak mereka, seakan menyambut kedatangan seorang raja maka pendapa itu semakin malam semakin penuh dengan orang - orang yang ingin menyatakan kegembiraannya.
Ki Demangpun telah menjamu mereka semuanya, semua makanan yang ada di dapurpun telah mengalir menuju pendapa. Orang tua itu tak henti - hentinya menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan katanya kepada Ki Jayaraga saat mereka berada disudut pendapa itu,” Aku merasa aneh Ki Jayaraga, kenapa orang - orang selalu bertanya kepadaku ? Seolah aku telah terilbat dalam perjalanan Swandaru, seolah aku telah pergi ke Menoreh.“
Ki Jayaraga tersenyum simpul, katanya,” Itulah kelebihan Ki Demang, mereka sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, jiwa dan hati mereka telah tertambat pada tanah kelahiran serta kecerahan hati Ki Demang sekeluarga.”
Di dalam rumah, kegembiraan Swandaru terasa sedikit terkurangi, saat satu pertanyaan melintas di benaknya,” Apakah keperluan Rudita datang ke Sangkal Putung ? Apakah perlunya Rudita menemui Pandan WangI ?”
“Pada saatnya aku akan mengerti” gumamnya dalam hati, pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri.
Bersamaan waktu, malam itu wayah sepi bocah, nampak seekor kuda bergerak perlahan mendekati Kepatihan, tergurat seleret keraguan di wajah penunggangnya tetapi kuda itu terus mendekat ke arah kepatihan, sampai saatnya seorang pengawal menegurnya,
“Berhenti ki sanak,”
Penunggang kuda itupun telah meloncat turun dan segera memberi salam, pengawal yang menghentikan kuda itu segera melangkah maju, diamatinya sejenak wajah  penunggang kuda itu , lalu beberapa pertanyaanpun telah meluncur dari mulutnya,” Siapakah ki sanak ini ? Hendak kemana malam - malam begini  ?”
 “Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, ki sanak, Apakah Ki Patih Mandaraka ada di Kepatihan ?” tanya penunggang kuda itu.
Pengawal itu tidak segera menjawab pertanyaan orang itu, diperhatikannya wajah penunggang kuda itu, seraut wajah yang bersih dengan kumis tipis melintang rapi, ternyata mata pengawal itu tidak hanya berhenti pada wajah orang itu, diamatinya seluruh pakaian dan punggung orang orang yang baru datang itu,” Tentu orang ini adalah bangsawan menilik pakaian yang dikenakannya” pikir pengawal itu, namun hatinya terasa berdebar - debar ketika tidak terlihat olehnya keris yang terselip di pinggang belakang orang berkuda itu.”  Apakah orang ini tidak membawa piyandel ? Biasanya seorang bangsawan selalu membawa keris kemanapun pergi”
 “Ki Sanak siapakah namamu ? Ada keperluan apa menghadap Ki Patih saat malam begini ?”
Penunggang kuda itupun menghela nafas, dia sangat memahami sikap pengawal Kepatihan itu, sikap hati - hati.
 “Apakah aku harus berterus terang ataukah aku akan memakai nama lain sehingga terkesan lebih pantas,” pikiranya.
Orang berkuda itu merasa geli atas sikapnya sendiri, saat ini ia berpakaian rapi dengan ikat kepala yang rapi pula, tidak seperti biasanya, apakah nama kesehariannya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya itu ? Saat pikirannya tengah mengembara, keputusan telah diambilnya dan ia akan berterus terang saja supaya semua bisa berjalan cepat  dan lancar, lalu katanya,” Namaku Timur… Timur Pamungkas, kisanak” kata orang itu perlahan.
Pengawal yang telah memberhentikannya itu nampak mengingat - ingat namun nama Timur Pamungkas benar - benar sebuah nama yang belum pernah didengarnya.
Sementara pengawal yang masih berdiri di gardu itu merasa curiga, mengapa kawannya belum juga selesai berbincang dengan penunggang kuda itu, segera saja dia melangkah mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi, setelah mendekat katanya,” Apa yang terjadi ? Apa yang di kendaki orang ini adi ?”
“Orang ini ingin menghadap Ki Patih sekarang, malam ini” jawab pengawal pertama
“Siapa namanya” Tanya pengawal yang kedua.
“Raden Timur Pamungkas” jawab pengawal yang pertema.
Nampak orang berkuda itu sedikit terkejut ketika mendengar nama yang disebut oleh pengawal yang pertama itu, cepat - cepat orang berkuda itu menyahut,” Tidak ada Raden, hanya Timur Pamungkas itu saja ki sanak”
Tetapi pengawal yang pertama itu justru tersenyum, sangat mengherankan, katanya” Ki sanak, melihat pengadegmu sebenarnya sebutan Raden sangat cocok dikenakan pada namamu, atau jika tidak maka kata Pangeran mungkin lebih cocok.”
Orang berkuda yang bernama Timur Pamungkas itu tertawa kecil, baginya pengawal itu hanya bergurau tanpa menyadari arti dari kata - katanya.
“Terserahlah padamu kisanak, Ki Patih tentu sudah menungguku, mumpung belum terlalu malam” kata penunggang kuda itu.
Pengawal yang datang kedua itu segera bergerak, sambil berkata,” Adi tetaplah disini, biarlah aku yang akan menyampaikan kepada pengawal dalam, aku tidak tahu apakah nanti kisanak bisa diterima sekarang atau mungkin besok,”
“ Terima kasih ki sanak, aku akan menunggu,” Sahut Timur Pamungkas perlahan.
Pengawal kedua itu telah berjalan dengan cepat, masuk ke dalam istana kepatihan dan menghadap pimpinan pengawal dalem, segera disampaikan maksudnya.
Pemimpin pengawal dalam itu segera mengerutkan dahinya ketika mendengar keterangan pengawal yang baru datang itu, hari ini telah terlampau malam untuk menghadap Ki Patih, tidak biasanya seseorang akan datang ke Kepatihan saat seperti ini, hanya beberapa Pangeran saja yang diperkenankan menghadap.
Sejenak keraguan telah menghadangnya,” Bagaimana kalau yang dibawa tamu itu merupakan berita yang sangat penting ?” gumamnya dalam hati.
Sebelum pimpinan pengawal dalam itu menemukan jawaban, terdengarlah suara derit pintu terbuka, sesosok tubuh dengan pakaian sangat rapi telah keluar dari ruangan dalam, seorang yang sudah sepuh meski wajahnya tetap memancarkan kewibawaannya.
Terlonjak kaget semua pengawal itu, segeralah mereka menyembah dan manghaturkan kata,” Ampun Ki Patih”
Orang tua itu tersenyum, sembari berkata,” Kenapa kalian tidak cepat - cepat memberitahu jika ada tamu ?”
“Ampun Ki Patih, hamba ragu - ragu sebab hari telah malam,” jawab pemimpin pengawal dalam itu.
Ki Patih tetap tersenyum, lalu katanya,“Baiklah, aku mengerti apa yang kau pikirkan, sekarang ikutlah denganku, menyambut tamu kita.”
Ki Patih telah bergegas melangkahkan kakinya ke regol kepatihan, pengawal dalam pun telah mengikutinya dari belakang.
Pertemuan yang sangat mengharukan, sebuah penantian yang cukup menegangkan bagi Ki Patih Mandaraka. Sepasang tangan tua itu telah menggenggam pundak tamunya dan tidak cukup itu saja, meski sesaat,  Ki Patih Mandaraka seorang penasehat Mataram yang sangat disegani lawan ataupun kawan itu telah memeluk erat tubuh itu, tiada kata terucap, getar perasaan hormat telah mengaliri seluruh urat nadi kedua orang tua itu.
Para pengawal yang berdiri disekitarnya terasa bagaikan  bermimpi melihat kejadian itu, belum pernah mereka melihat tingkah laku sesembahannya seperti itu, tanpa sadarnya mulut mereka ternganga dan beberapa diantaranya telah menggosok - gosok matanya seolah mereka tak percaya.
“Assalamualaikum Ki Patih,” Itu saja kalimat yang meluncur dari seorang Timur Pamungkas.
“Iya - iya Kyai,    waalaikumsalam”  terbata - bata Ki Juru Martani menjawab salam itu
Ki Patih itupun telah menguasai perasaannya, dengan tertawa perlahan dipandanginya wajah tamunya, sementara tangan itu masih melekat di pundak itu,” Luar biasa Kyai, luar biasa, Kyai nampak segar, lebih muda dan lebih perkasa,”
“Ah, malam - malam begini Ki Patih masih sempat bercanda”   Sahut orang itu, segeralah tangan Kyai Grinsing pun menjabat tangan Ki Patih Mandaraka itu.
“Marilah masuk, aku tidak mempersiapkan apapun untuk  menyambut kedatanganmu ini, Kyai”  kata Ki Patih sembari melangkahkan kakinya kearah pendapa Kepatihan dan selanjutnya kedua orang tua itu telah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
“Terima kasih, tinggalkan kami berdua.”  terdengar kata Ki Patih kepada para pengawalnya, saat keduanya telah duduk.
Keduanya saling menanyakan kabar masing - masing setelah sekian lama tidak bertemu, sendau guraupun telah menyertai perbincangan kedua orang tua itu.
“Siapa lagi nama yang akan Kyai pergunakan” tanya Ki Juru Matani sembari tertawa tertahan.
Kyai Gringsing nampak tersenyum, katanya” Berbahagialah Ki Patih yang hanya punya satu nama, ki Juru Martani”
“Kenapa Kyai ? Bukankah menyenangkan, jika kita punya banyak nama ?”  tanya Ki Patih Mandaraka yang nama aslinya adalah Juru Martani itu.
“Aku sering lupa dengan namaku sendiri Ki Juru,” jawab Kyai Gringsing, segeralah ruangan itu di penuhi gelak tawa kedua orang tua itu.
“Nah, siapakah yang bersalah Kyai ?”
“Aku sendiri”  jawab Kyai Grinsing sambil tertawa.
Nampaknya keduanya telah lupa dengan umur mereka masing - masing, keduanya tengah terlibat dalam pembicaraan yang sangat menyegarkan, kenangan mereka telah mengalir perlahan menyusuri waktu yang telah berlalu, saat - saat mulai menebang alas mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang besar, merekapun mengenang sosok Ki Ageng Pemanahan dan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelarPanembahan Senopati, dua orang ayah dan anak yang telah meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya negeri Mataram.
Pembicaraan yang menyenangkan itu telah berlangsung beberapa lama, sampai pada saatnya Ki Patih mandaraka, berkata” Kyai, silahkan beristirahat di gandok yang telah dipersiapkan, besok kita sambung lagi pembicaraan ini  tetapi sebelum Kyai meninggalkan tempat ini, ada satu pertanyaanku yang segera ingin mendapatkan jawabannya”
“Pertanyaan apakah itu Ki Patih ?”  tanya Kyai Gringsing dengan kening berkerut, terasa dadanya berdebar - debar.
Nampak Ki Juru membetulkan tempat duduknya dan bergeser sejengkal mendekat, lalu katanya” Apakah Kyai mengenal Adipati Surabaya ?”
Sesaat Kyai Gringsing terdiam, dicobanya mengingat - ingat nama beberapa Pangeran terakhir dari Majapahit baik yang dikenalnya secara langsung ataupun nama yang pernah disebutkan oleh kakek serta gurunya sebelum pergi. Ternyata dia benar - benar tidak menemukan nama yang terkait dengan keberadaan Adipati Surabaya itu.
“Ternyata aku telah kehilangan perhatian terhadap perkembangan di daerah bang wetan, aku tidak mengerti lagi apa yang telah terjadi, tentang Mataram pun  saat sekarang aku juga kurang memahami apa sebenarnya yang tengah terjadi, kepergianku dari Jati Anom benar - benar  membuatku tenggelam,”  gumamnya dalam hati. selanjutnya” Aku telah menentukan jalanku sendiri”   Orang tua itu sama sekali tidak pernah menyesali keputusannya.
“Ki Patih Madaraka, mohon ampun yang sebesar - besarnya bahwa hamba tidak menemukan nama yang bisa dikaitkan dengan Adipati Surabaya, bahkan tentang Adipati itu sendiri hamba juga belum mengenalnya”  kata Kyai Gringsing apa adanya
Ki Patih pun tersenyum mendengar kata - kata itu, dipandanginya wajah sahabatnya itu, seolah telah melupakan perkataan yang baru saja didengarnya, katanya kemudian” Kyai, berbicara kepadaku sangatlah  berbeda dengan saat kita berbicara kepada Sinuhun Prabu, aku telah mengerti siapa Kyai sebenarnya, kumohon Kyai dapat berbicara padaku dengan bahasa seorang sahabat sebagaimana bahasa Kyai saat berbicara dengan adi Pemanahan, dengan begitu aku akan merasakan arti sahabat yang sebenarnya.”
“Tetapi, Ki Juru adalah seorang Patih Mataram”  sahut Kyai Gringsing
“Sedangkan Kyai adalah seorang Pangeran Majapahit”  sahut Ki Pati tak kalah cepatnya.
Keduanya tersenyum, persahabatan yang tulus diantara mereka, benar - benar terasa menyejukkan.
“Baiklah, ternyata tidak ada pengetahuanku tentang Surabaya yang melebihi pengetahuan yang ada dalam diri Ki Patih, aku mohon maaf”  kata Kyai Gringsing tulus.
“Tidak apa - apa Kyai, di waktu mendatang kita akan mencari keterangan tentangnya, sekarang aku persilahkan untuk beristirahat, besok akan banyak yang harus kita bicarakan, aku mohon Kyai bermalam beberapa hari di Kepatihan, sebenarnyalah kehadiran Kyai sangat diharapkan oleh Panembahan Prabu, besok atau lusa kita akan menghadap.”
“Baiklah Ki Patih” jawab Kyai Grinsing. Keduanya pun segera berpisah.
Malam telah semakin larut, para prajurit Mataram yang bertugas pun semakin siaga, beberapa kelompok prajurit  berkuda telah meronda mengelilingi kota, mereka menjaga setiap jengkal wilayah, tlatah Mataram adalah harapan bagi mereka yang hidup diatasnya.
Mataram telah menjadi sunyi dan sebagian besar rakyat Mataram pun telah tertidur dengan pulasnya. tetapi tidak demikian yang terjadi pada Kyai Gringsing, sosok tua itu telah duduk di lantai di dalam biliknya.
Banyak persoalan yang telah membelit benaknya, tugas yang diembannya ternyata tidaklah ringan,” Apakah aku akan sanggup melaksanakannya ?”  pertanyaan yang selalu mengganggunya, sebuah pertanyaan yang akan terjawab seiring waktu berjalan.
Orang tua itu telah menundukkan kepalanya, ia mencoba untuk mengurai persoalan yang diberikan oleh Sunan Muria kepadanya,” Ini adalah kesempatan terakhir bagiku, umurku sudah terlalu banyak, aku akan berbuat sebaik - baiknya sesuai pesan Kanjeng Sunan”
Dipandanginya seluruh dinding bilik itu, juga tempat rebahan di depannya, ia pun segera tersenyum kecil, baginya berada didalam bilik di Kepatihan yang bagus dan rapi itu  adalah merupakan sebuah keanehan, sejatinya bahwa dia berhak mendapatkan seperti apa yang didapatkan para Pangeran dalam hidup kesehariannya tetapi justru semua kemewahan itu telah ia tinggalkan, rasa kecewa yang di mulai dari kehidupan kakeknya serta kekecewaan yang dirasakannya sendiri terhadap lingkungan disekitarnya saat itu terus menderanya, sampai suatu saat benar - benar telah melemparkannya pada dunianya yang sekarang.
Di dalam bilik Kepatihan itulah dia akan memulai menjalankan suatu tugas yang teramat berat, sebuah kewajiban diakhir perjalanan hidupnya. “Kyai Gringsing telah aku kuburkan di lereng merapi itu,”  terdengar desahnya perlahan, orang tua itu merasa bahwa tidak mungkin lagi dia menggunakan nama itu, dengan nama itu tentu orang akan berbondong - bondong datang menemuinya untuk berobat, sedangkan saat ini seolah dirinya tidak mempunyai waktu yang banyak, kewajiban baru telah menunggunya.
“Sebaiknya aku memenuhi saran Kanjeng Sunan Muria, untuk menggunakan namaku sendiri,”   
Seberkas keraguan telah melintas di hatinya. Pamungkas adalah nama yang telah dilupakan orang.
“Hem.. Panembahan Pamungkas, sebuah nama yang terlalu baik dan sekaligus berat bagiku”
Wajah tua itu sempat menegang sesaat, ternyata selama kepergiannya ke bang kulon, putra Sunan Kalijaga itu bersama para santrinya telah membangun padepokan kecil ditepi sungai  di kaki Merapi.
Terngiang pesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling,” Raden, sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan.”
Sebuah perhatian yang terlampau berlebihan, mata tua itu telah memandangi kedua belah tangannya, tanpa sadar pandangan itu telah berhenti pada sebuah gambar ciri perguruan kakeknya, sebuah lukisan yang melekat pada pergelangan tangannya.” Hem..apakah masih ada orang yang mengingat gambar seperti ini ?”
Orang tua itu sama sekali tidak mengira bahwa ciri perguruan kakeknya telah menuntunnya pada keberadaanya saat ini, sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya.
Kyai Gringsing terlihat menarik nafas dalam - dalam, pikirannyapun segera berpindah kepada seorang putra Sunan Kalijaga, dari Sunan Murialah dia mendapatkan banyak keterangan tentang Mataram saat ini.  Menurut Sunan Muria bahwa persoalan yang bakal timbul di Mataram sekarang ini adalah jauh lebih rumit dibandingkan saat - saat berdirinya, meskipun demikian Wali waskita itu tidak akan membiarkan Mataram runtuh, baginya Mataram adalah simbol perjuangannya dalam menyebarkan agama serta keyakinan yang telah dianutnya.
“Raden, apapun yang bakal terjadi, Mataram harus tetap diselamatkan, keyakinanku terhadap Mataram telah melebihi keyakinanku terhadap negeri - negeri yang lainnya di Jawadwipa ini dan aku juga berharap banyak pada muridmu, putra Ki Sadewa itu”   
Kokok ayam telah terdengar bersautan, tetapi orang tua itu belum juga selesai dengan angan - angannya, sesaat orang tua itu telah memejamkan matanya, dalam waktu yang tidak terlalu lama telah ditiliknya kembali sebangsal ilmu dan pengetahuannya,” Semoga pengetahuan yang tak seberapa banyak ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.”
Orang tua itu segera berdiri takkala mendengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari Kepatihan itu, segera ia menuju ke pakiwan dan selanjutnya kakinya telah melangkah meninggalkan Kepatihan menuju tempat adzan yang tadi telah berkumandang.
Di Sangkal Putung, Rudita, Ki Jayaraga dan Sukra telah berjalan - jalan mengelilingi padukuhan induk kademangan Sagkal Puting, ketiga orang itu benar - benar sangat mengagumi keindahan alam yang terhampar luas di daerah kelahiran Swandaru itu, Sukra pun nampak selalu memuji keindahan kademangan itu.
“Kyai, aku melihat Sangkal Putung ini saat sekarang telah maju sangat pesat, banyak sekali aku jumpai bagunan rumah yang besar - besar dan kegiatan di pasar juga nampak lebih ramai”  kata Rudita
“Benar angger Rudita, aku merasakan bahwa Ki Demang yang sudah sepuh itu bersama anakmas Swandaru telah benar - benar berhasil dalam membangun kademangan ini”  sahut Ki Jayaraga.
“Kyai, selama keberadaanku disini, akan kumanfaatkan untuk belajar pertanian dan apabila aku kembali ke Menoreh maka akan segera aku terapkan ilmu dari Sangkal Putung ini,”  kata Sukra sambil memandang wajah Ki Jayaraga.
“Bagus sekali Sukra, Menoreh akan berbangga memiliki pemuda sepertimu”
“Bukan itu yang kumaksud, Kyai”  sahut Sukra, sementara Rudita hanya tersenyum mendengar perbincangan itu.
“Aku ingin sawah kita mendapatkan hasil yang lebih bagus lagi Kyai, aku akan tunjukkan kepada kakang Glagah Putih bahwa aku mampu mengolah sawah itu tanpa dia”  Sukra telah meneruskan kata - katanya.
Kali ini Ki Jayaraga tidak sekedar tersenyum tetapi orang tua itu telah tertawa terkekeh - kekeh, Rudita pun juga tertawa.” Kenapa, semua tertawa ? Aku mengatakan yang sebenarnya , apakah ada yang lucu”   kata Sukra sembari memberhentikan langkahnya.
“Kata-katamu benar Sukra, tidak ada yang lucu”  kata Rudita
“Nah, apa alasannya kakang tertawa ?”
“Aku tertawa setelah melihat Ki Jayaraga tertawa”  jawab Rudita sekenanya dan sambungnya,” Tanyalah kepada Ki Jayaraga, kenapa tertawa ?”
Sukra pun telah mengalihkan pandangannya ke arah Ki Jayaraga, katanya” Kenapa Kyai tertawa ?”
“Sukra, ternyata dalam kepergianmu yang lumayan jauh ini, kau tidak melupakan nama Glagah Putih”  jawab Ki Jayaraga.
Sukra nampak menganggukkan kepalanya, baginya seorang Glagah Putih  adik sepupu Ki Rangga itu adalah sosok yang menjengkelkan tetapi sekaligus menyenangkan, tiba - tiba sebuah kerinduan telah duduk dan mendekam dihatinya.
Sebelum wayah temawon, ketiganya telah kembali ke rumah Ki Swandaru, mereka duduk di sudut pendapa, tidak beberapa  lama kemudian nampak seorang perempuan telah menyuguhkan minuman dan jajanan pasar
Di pendapa itu hati Rudita benar - benar merasakan kegembiraan, pembicaraan ketiganya sama sekali tidak menyentuh hal - hal yang mencemaskan hatinya, Ki Jayaraga selalu bercerita tentang kesibukannya memperbaiki pematang sawah dan Sukrapun selalu berbicara tentang sawah dan hasil panennya.
Keceriaan di kademangan Sangkal Putung itu rupaya juga telah menular hingga di pendapa Kepatihan Mataram, terlihat Ki Juru Martani sedang duduk berhadapan dengan sahabatnya itu, namun Ki Patih Mandaraka itu telah nampak sedikit kebingungan, sedikit keraguan hinggap didadanya,” Bagaimana aku harus memanggilmu, Kyai ?”
“Kenapa ?”  tanya Kyai Gringsing itu.
“Sebenarnyalah aku menjadi bingung, nama Kyai yang sebenarnya telah membuat ku berdebar - debar”  jawab Ki Patih sembari tertawa kecil,lalu” Ki Pamungkas serasa kurang pas, Kyai”
“Ki Juru, panggil saja aku dengan Pamungkas, itu sudah lebih dari cukup”  kata Kyai Gringsing perlahan.
“Kyai Pamungkas, juga kurang cocok, aku akan memanggilmu Panembahan Pamungkas,Kyai”  kata Ki Patih Mandaraka
Mendengar itu, Kyai Gringsing terlihat tersenyum malu, katanya” Ki Patih, rasanya terlalu berat aku menggunakan gelar dan nama itu.”
Terdengar Ki Patih tertawa perlahan, lalu katanya,” Panembahan, dengarlah, saat tengah malam seseorang telah berbisik kepadaku lewat pameling menanyakan akan keberadaan Kyai Gringsing dan akupun telah menjawabnya, bahwa saat ini Kyai tengah berada di Kepatihan dan rupanya bisikan itu mengatakan, Kyai Gringsing sudah tidak ada lagi dan yang datang ke Kepatihan itu sebenarnyalah adalah Panembahan Pamungkas dari padepokan Ngadem di kaki Merapi, pameling Sunan Murialah yang telah mengatakan semuanya padaku.”
Kyai Gringsing yang sekarang bernama Panembahan Pamungkas itu tertawa meski tidak terlalu keras, lalu katanya,” Rupanya Kanjeng Sunan Muria telah mengkhawatirkan diriku, Ki Patih,”
“Kenapa ? Apakah Sunan Muria tidak tahu akan kemampuan seorang Panembahan Pamungkas ?”  tanya Ki Patih yang diiringi derai tawa.
“Dengarlah baik - baik Ki Juru martani, adakah ilmu yang bisa melawan jika seseorang telah ditolak saat bertamu ? Nah ternyata Sunan Muria telah memperhitungkan itu”  kata Panembahan Pamungkas.
Mereka berdua ternyata sudah lupa akan usia mereka, keduanya telah tertawa terkekeh - kekeh sampai tubuh keduanya berguncang - guncang.
Ternyata Ki Juru Martani tak mau kalah, disela - sela derai tawanya, telah terselip kata - katanya,” Ada .. ada Panembahan, aku akan terapkan ajian Tebal Wajah, bagaimana ?”

Suasana di pendapa Kepatihan itu benar - benar sangat menyenangkan, beberapa abdi dalam pun telah tersenyum mendengarkan gurauan kedua orang tua itu.
Bumbung 7

Mohon maaf

atas permintaan Ki Agus Malindo yang menuliskan Mendung di Lereng Merapi, maka unggahan naskah di blog ini kami hentikan, dan yang sudah diunggah kami “pending” sampai waktu yang tidak ditentukan.

8 komentar:

  1. Kapan bisa dilanjutken, Ki Miswanto?
    Rasanya perjalanan ini masih jauh?
    Semoga segera bisa berlanjut ya, Ki.

    BalasHapus
  2. Kapan lanjutnya ni .. dah gak sabar Udah lma nunggunya .. tpi gk kunjung d terusin ..
    ditunggu ya segera...���� selak ra sabar ki lo hahahah

    BalasHapus
  3. Ki Jagabaya Amalindo wonten pundi nggih tutuge

    BalasHapus
  4. Tolong di lanjut kan, kami pengemar setia selalu menunggu,, semoga hasil karya nya menjadi amal ibadah hendak nya,,,

    BalasHapus
  5. Tolong di lanjut kan, kami pengemar setia selalu menunggu,, semoga hasil karya nya menjadi amal ibadah hendak nya,,,

    BalasHapus
  6. Nyuwun tulung dipun terasaken Ki

    BalasHapus
  7. Sampun dangu mboten buka bumbung Enggal, kapan nggih dibuka Malih.....

    BalasHapus

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com