Oleh : Ki Jagabaya Amalindo
Bumbung 6
Kedua orang dari Kademangan Cangkringan itu terdiam,
kepalanya telah tertunduk, tubuhnya telah merasakan perasaan sakit yang teramat
sangat, seolah sendi - sendi pada tangan kanan mereka telah terlepas, tidak ada
yang bisa mereka lakukan lagi kecuali menunggu belas kasihan seorang yang
bernama Rudita.
“Apakah kita pernah bertemu sebelum ini, ki
sanak ?” Tanya Rudita perlahan
Kedua orang itu tidak menjawab, wajahnya masih menatap
tanah, penyesalan dan rasa takut telah membelit jantungnya.
Melihat kedua orang Cangkringanitu tidak berdaya lagi
maka serentak orang - orang dalam kedai itu telah keluar dan Nyi Sarmini telah
berdiri di paling depan, tangan perempuan itu terlihat bergerak - gerak seakan
hendak meremas kedua wajah yang menunduk itu, mulutnyapun terlihat komat -
kamit menggerutu.
“Bagaimana, apa
yang kisanak harapkan dariku ?” Suara Rudita masih terdengar sareh,” Apakah
kisanak memerlukan uang ?” Tangan Ruditapun yang telah menggenggam uang itu
segera terjulur.
“Mohon ampun Ki
sanak, aku tidak memerlukan uang itu lagi” kata Suro Bledek perlahan, suaranya
terdengar kaku.
“Lalu apa yang kisanak kehendaki ?”
“Ampunilah kami kisanak” ucap Suro Bledek memohon.
Terdengar Nyi sarmini menggeram pelan mendengar
permintaan Suro Bledek itu, kening pemilik warung itu tampak berkerut tanpa
sengaja telah memperhatikan wajah orang yang bernama Rudita itu, sangat jelas
terlihat wajah itu tidak rusak setelah terkena pukulan kedua orang Cangkringan
itu, wajah yang tetap tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit
sedikitpun, tubuh orang itu nampak segar seperti saat orang itu datang pertama
kali ke kedainya.
Semua orang yang tengah berdiri di belakang Rudita itu
nampak keheranan melihat sikap orang yang berbaju lurik itu, tangan mereka
terasa gatal untuk segera menyentuh keduanya.
“Kenapa orang itu begitu sabar ?” gumam orang bertubuh
kurus pelanggan kedai Nyi Sarmini kepada orang yang tengah berdiri
disebelahnya.
“Kenapa orang yang bernama Rudita tidak menghukum
kedua orang yang telah mencoba mencelakainya itu ?” Sebuah pertanyaan telah
membelit di dada Nyi Sarmini.
Mereka semua membeku seolah menunggu dan melihat apa
yang hendak dilakukan oleh orang yang bernama Rudita itu.
Dalam kebekuan itu telah terdengar derap beberapa ekor
kuda yang berlari mendekat, serentak semua mata telah memandang ke arah
datangnya kuda - kuda itu.
Tak lama kemudian rombongan orang berkuda itu telah
berhenti di muka kedai Nyi Sarmini, Swandaru yang berada di paling depan segera
meloncat turun dari kudanya dan telah diikuti dengan yang lainnya,” Ada apa ini,
?” Tanya Swandaru.
Nyi Sarmini lah yang telah menjawab pertanyaan itu,
kakinya telah melangkah kedepan,
“Selamat datang Ki Swandaru” ucapnya, rupanya pemilik
warung itu telah mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu.
“Ada apa Nyai, apakah seseorang telah membuat
keributan di kedaimu ?”
Swandaru telah berjalan lebih mendekat, dan katanya” Apakah
kau telah membuat keributan disini ki sanak ? Kalau kau yang membuat keributan
maka aku akan menghentikanmu, apakah kau belum pernah mendengar nama Swandaru
Geni ?”
Nampak orang yang berbaju lurik itu tidak menjawab,
wajahnya telah menunduk, seolah sedang menghitung jari kakinya.
“Bukan dia Ki Swandaru, tetapi kedua orang yang sedang
duduk di tanah itu” Jelas Nyi Sarmini.
Segera Swandaru menatap kedua orang itu, lalu katanya,”
Aku tidak ingin melihat kesombongan terjadi disini di kedai ini.”
Dalam pada itu kening Ki Jayaraga tampak berkerut,
diamatinya orang berbaju lurik yang tengah menundukkan wajahnya itu, seakan
orang tua itu telah mengenal sebelumnya.
Sementara Pandan Wangi yang berdiri di belakang Ki
Jayaraga telah menyibak dan berjalan kearah orang yang berbaju lurik itu, tanpa
ragu telah di pegangnya tangan yang membeku itu,” He ! Apakah kalian tidak
mengenal Rudita lagi, putra Ki Waskita ?” katanya lantang.
Suara itu bak guntur di siang hari, menggelegar di
telinga Swandaru, bahkan Ki Jayaraga dan Sukra telah terperanjat mendengarkan
suara Pandan Wangi itu.
“Rudita, sudahlah jangan bermain - main lagi” terdengar
suara lembut Pandan Wangi.
Orang berbaju lurik itupun telah mengangkat wajahnya,
perasaan malu dan bersalah telah berdesakan di dalam rongga dadanya, katanya,” Maafkan
Aku Pandan Wangi, kakang Swandaru, Ki Jayaraga dan kau Sukra, sama sekali bukan
maksudku menunjukan kesombongan di hadapan kalian semuanya, aku telah benar -
benar menyesal berbuat seperti ini,”
Rudita benar - benar telah menyesal, sama sekali tidak
terlintas di benaknya untuk memamerkan ilmu kebalnya, apalagi dihadapan mereka
yang memang mendalami ilmu kanuragan, dia hanya ingin melindungi dirinya, dia
tidak ingin membuat persoalan apalagi menyakiti siapapun, tetapi sisi lain di
relung hatinya telah mengatakan bahwa dengan mempelajari ilmu kebal itu maka
dia telah mulai melangkah mencurigai dan memusuhi sesamanya.
Berdiri seperti patung, tak sepatah katapun terucap
dari mulut Swandaru itu, Rudita baginya adalah seorang yang sangat aneh hampir
sama seperti kakak seperguruannya, sikapnya sulit untuk dipahaminya. Meskipun
sudah berumur baginya Rudita adalah tetap seorang yang cengeng dan seorang yang
tidak berani melihat kenyataan hidup.
Ki Jayaraga tengah menarik dafas dalam - dalam, dia
telah mengenal anak Ki Waskita itu, meskipun sudah lama tidak bertemu, orang
tua itupun telah mengenal wataknya, maka katanya” Angger Rudita, apakah yang
telah terjadi ? Angger tidak usah berkecil hati seolah kami mengatakan angger
sebagai orang yang berpaling dari keyakinan yang telah angger yakini itu, tidak
ngger, kami justru memujimu, kamilah orang - orang yang justru telah memelihara
kecurigaan itu dalam hati kami dengan dalih waspada, suatu saat akupun ingin
menjadi sepertimu, punyai hati damai dan tidak punya rasa curiga”
Orang - orang yang berkumpul di kedai itu benar -
benar tidak mengerti akan sikap orang yang ternyata bernama Rudita itu.
“Aku
menyerahkan semua persolan ini kepada Ki Jayaraga, kedatanganku di Jati Anom
ini adalah sekedar lewat sebenarnya aku ingin pergi Ke Sangkal Putung untuk
menemui Nyi Pandan Wangi” terdengar suara Rudita bergetar, seolah ia ingin
menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
“Tetapi
sebelumnya aku mohon kalian semua memaafkan kedua orang itu, biarlah mereka
pergi, mereka tidak akan berbuat jahat lagi” terdengar permintaan Rudita.
Swandaru telah membisu pandangan matanya telah beralih
memandang pepohonan di sekitar kedai itu, Sukra nampak menggeleng - gelengkan
kepalanya sedangkan Pandan Wangi telah tersenyum dan Ki Jayaraga telah menarik
nafas dalam - dalam, katanya,” Baiklah angger Rudita, kami akan melepas
keduanya, tanpa syarat apapun, biarlah mereka pergi, kemanapun yang mereka
inginkan,”
Kepada Swandaru orang tua itupun mengatakan,” Silahkan
angger semua masuk ke dalam kedai, bukankah kita memang mau makan, biarlah aku
mengurus kedua orang ini, baru kemudian aku akan menyusul” Ki Jayaraga tetap
berdiri ditempatnya, dipandanginya orang - orang yang yang tengah berkumpul
itu,” Silahkan ki sanak membubarkan diri dan lupakan peristiwa ini.”
Swandaru yang mendengar permintaan Ki Jayaraga tanpa
menunggu lebih lama kakinyapun segera melangkah masuk ke dalam kedai itu dan
segera dipesannya beberapa pincuk makanan kesukaannya, Pandan Wangi, Rudita dan
Sukrapun telah mengikutinya. Terlihat Nyi Sarmini dengan cekatan telah melayani
tamu - tamunya.
Sore hari itu Kademangan Sangkal Putung, benar - benar
menampakan wajah yang sumringah, betapa tidak kehadiran Swandaru benar - benar
telah menggembirakan rakyat kademangan yang subur makmur itu, mendengar
kedatangan Swandaru hampir semua bebahu kademangan telah berkumpul di pendapa
rumah yang besar itu, orang - orang itu menanyakan apa saja yang terlintas di
benak mereka, seakan menyambut kedatangan seorang raja maka pendapa itu semakin
malam semakin penuh dengan orang - orang yang ingin menyatakan kegembiraannya.
Ki Demangpun telah menjamu mereka semuanya, semua
makanan yang ada di dapurpun telah mengalir menuju pendapa. Orang tua itu tak
henti - hentinya menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan
katanya kepada Ki Jayaraga saat mereka berada disudut pendapa itu,” Aku merasa
aneh Ki Jayaraga, kenapa orang - orang selalu bertanya kepadaku ? Seolah aku
telah terilbat dalam perjalanan Swandaru, seolah aku telah pergi ke Menoreh.“
Ki Jayaraga tersenyum simpul, katanya,” Itulah
kelebihan Ki Demang, mereka sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, jiwa
dan hati mereka telah tertambat pada tanah kelahiran serta kecerahan hati Ki
Demang sekeluarga.”
Di dalam rumah, kegembiraan Swandaru terasa sedikit
terkurangi, saat satu pertanyaan melintas di benaknya,” Apakah keperluan Rudita
datang ke Sangkal Putung ? Apakah perlunya Rudita menemui Pandan WangI ?”
“Pada saatnya aku akan mengerti” gumamnya dalam hati,
pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri.
Bersamaan waktu, malam itu wayah sepi bocah, nampak
seekor kuda bergerak perlahan mendekati Kepatihan, tergurat seleret keraguan di
wajah penunggangnya tetapi kuda itu terus mendekat ke arah kepatihan, sampai
saatnya seorang pengawal menegurnya,
“Berhenti ki sanak,”
Penunggang kuda itupun telah meloncat turun dan segera
memberi salam, pengawal yang menghentikan kuda itu segera melangkah maju,
diamatinya sejenak wajah penunggang kuda itu , lalu beberapa
pertanyaanpun telah meluncur dari mulutnya,” Siapakah ki sanak ini ? Hendak
kemana malam - malam begini ?”
“Aku akan
menghadap Ki Patih Mandaraka, ki sanak, Apakah Ki Patih Mandaraka ada di
Kepatihan ?” tanya penunggang kuda itu.
Pengawal itu tidak segera menjawab pertanyaan orang
itu, diperhatikannya wajah penunggang kuda itu, seraut wajah yang bersih dengan
kumis tipis melintang rapi, ternyata mata pengawal itu tidak hanya berhenti
pada wajah orang itu, diamatinya seluruh pakaian dan punggung orang orang yang
baru datang itu,” Tentu orang ini adalah bangsawan menilik pakaian yang
dikenakannya” pikir pengawal itu, namun hatinya terasa berdebar - debar ketika
tidak terlihat olehnya keris yang terselip di pinggang belakang orang berkuda
itu.” Apakah orang ini tidak membawa
piyandel ? Biasanya seorang bangsawan selalu membawa keris kemanapun pergi”
“Ki Sanak
siapakah namamu ? Ada keperluan apa menghadap Ki Patih saat malam begini ?”
Penunggang kuda itupun menghela nafas, dia sangat
memahami sikap pengawal Kepatihan itu, sikap hati - hati.
“Apakah aku
harus berterus terang ataukah aku akan memakai nama lain sehingga terkesan
lebih pantas,” pikiranya.
Orang berkuda itu merasa geli atas sikapnya sendiri,
saat ini ia berpakaian rapi dengan ikat kepala yang rapi pula, tidak seperti
biasanya, apakah nama kesehariannya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya itu
? Saat pikirannya tengah mengembara, keputusan telah diambilnya dan ia akan
berterus terang saja supaya semua bisa berjalan cepat dan lancar, lalu
katanya,” Namaku Timur… Timur Pamungkas, kisanak” kata orang itu perlahan.
Pengawal yang telah memberhentikannya itu nampak
mengingat - ingat namun nama Timur Pamungkas benar - benar sebuah nama yang
belum pernah didengarnya.
Sementara pengawal yang masih berdiri di gardu itu
merasa curiga, mengapa kawannya belum juga selesai berbincang dengan penunggang
kuda itu, segera saja dia melangkah mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya
telah terjadi, setelah mendekat katanya,” Apa yang terjadi ? Apa yang di
kendaki orang ini adi ?”
“Orang ini ingin menghadap Ki Patih sekarang, malam
ini” jawab pengawal pertama
“Siapa namanya” Tanya pengawal yang kedua.
“Raden Timur Pamungkas” jawab pengawal yang pertema.
Nampak orang berkuda itu sedikit terkejut ketika
mendengar nama yang disebut oleh pengawal yang pertama itu, cepat - cepat orang
berkuda itu menyahut,” Tidak ada Raden, hanya Timur Pamungkas itu saja ki sanak”
Tetapi pengawal yang pertama itu justru tersenyum,
sangat mengherankan, katanya” Ki sanak, melihat pengadegmu sebenarnya sebutan
Raden sangat cocok dikenakan pada namamu, atau jika tidak maka kata Pangeran
mungkin lebih cocok.”
Orang berkuda yang bernama Timur Pamungkas itu tertawa
kecil, baginya pengawal itu hanya bergurau tanpa menyadari arti dari kata -
katanya.
“Terserahlah padamu kisanak, Ki Patih tentu sudah
menungguku, mumpung belum terlalu malam” kata penunggang kuda itu.
Pengawal yang datang kedua itu segera bergerak, sambil
berkata,” Adi tetaplah disini, biarlah aku yang akan menyampaikan kepada
pengawal dalam, aku tidak tahu apakah nanti kisanak bisa diterima sekarang atau
mungkin besok,”
“ Terima kasih ki sanak, aku akan menunggu,” Sahut
Timur Pamungkas perlahan.
Pengawal kedua itu telah berjalan dengan cepat, masuk
ke dalam istana kepatihan dan menghadap pimpinan pengawal dalem, segera
disampaikan maksudnya.
Pemimpin pengawal dalam itu segera mengerutkan dahinya
ketika mendengar keterangan pengawal yang baru datang itu, hari ini telah
terlampau malam untuk menghadap Ki Patih, tidak biasanya seseorang akan datang
ke Kepatihan saat seperti ini, hanya beberapa Pangeran saja yang diperkenankan
menghadap.
Sejenak keraguan telah menghadangnya,” Bagaimana kalau
yang dibawa tamu itu merupakan berita yang sangat penting ?” gumamnya dalam
hati.
Sebelum pimpinan pengawal dalam itu menemukan jawaban,
terdengarlah suara derit pintu terbuka, sesosok tubuh dengan pakaian sangat
rapi telah keluar dari ruangan dalam, seorang yang sudah sepuh meski wajahnya
tetap memancarkan kewibawaannya.
Terlonjak kaget semua pengawal itu, segeralah mereka
menyembah dan manghaturkan kata,” Ampun Ki Patih”
Orang tua itu tersenyum, sembari berkata,” Kenapa
kalian tidak cepat - cepat memberitahu jika ada tamu ?”
“Ampun Ki Patih, hamba ragu - ragu sebab hari telah
malam,” jawab pemimpin pengawal dalam itu.
Ki Patih tetap tersenyum, lalu katanya,“Baiklah, aku
mengerti apa yang kau pikirkan, sekarang ikutlah denganku, menyambut tamu kita.”
Ki Patih telah bergegas melangkahkan kakinya ke regol
kepatihan, pengawal dalam pun telah mengikutinya dari belakang.
Pertemuan yang sangat mengharukan, sebuah penantian
yang cukup menegangkan bagi Ki Patih Mandaraka. Sepasang tangan tua itu telah
menggenggam pundak tamunya dan tidak cukup itu saja, meski sesaat, Ki
Patih Mandaraka seorang penasehat Mataram yang sangat disegani lawan ataupun
kawan itu telah memeluk erat tubuh itu, tiada kata terucap, getar perasaan
hormat telah mengaliri seluruh urat nadi kedua orang tua itu.
Para pengawal yang berdiri disekitarnya terasa
bagaikan bermimpi melihat kejadian itu, belum pernah mereka melihat
tingkah laku sesembahannya seperti itu, tanpa sadarnya mulut mereka ternganga
dan beberapa diantaranya telah menggosok - gosok matanya seolah mereka tak
percaya.
“Assalamualaikum Ki Patih,” Itu saja kalimat yang
meluncur dari seorang Timur Pamungkas.
“Iya - iya Kyai, waalaikumsalam” terbata - bata Ki Juru Martani menjawab salam
itu
Ki Patih itupun telah menguasai perasaannya, dengan
tertawa perlahan dipandanginya wajah tamunya, sementara tangan itu masih
melekat di pundak itu,” Luar biasa Kyai, luar biasa, Kyai nampak segar, lebih
muda dan lebih perkasa,”
“Ah, malam - malam begini Ki Patih masih sempat
bercanda” Sahut orang itu,
segeralah tangan Kyai Grinsing pun menjabat tangan Ki Patih Mandaraka itu.
“Marilah masuk, aku tidak mempersiapkan apapun untuk
menyambut kedatanganmu ini, Kyai” kata Ki Patih sembari melangkahkan kakinya
kearah pendapa Kepatihan dan selanjutnya kedua orang tua itu telah melangkahkan
kakinya menuju ruang tengah.
“Terima kasih, tinggalkan kami berdua.” terdengar kata Ki Patih kepada para
pengawalnya, saat keduanya telah duduk.
Keduanya saling menanyakan kabar masing - masing
setelah sekian lama tidak bertemu, sendau guraupun telah menyertai perbincangan
kedua orang tua itu.
“Siapa lagi nama yang akan Kyai pergunakan” tanya Ki
Juru Matani sembari tertawa tertahan.
Kyai Gringsing nampak tersenyum, katanya” Berbahagialah
Ki Patih yang hanya punya satu nama, ki Juru Martani”
“Kenapa Kyai ? Bukankah menyenangkan, jika kita punya
banyak nama ?” tanya Ki Patih Mandaraka
yang nama aslinya adalah Juru Martani itu.
“Aku sering lupa dengan namaku sendiri Ki Juru,” jawab
Kyai Gringsing, segeralah ruangan itu di penuhi gelak tawa kedua orang tua itu.
“Nah, siapakah yang bersalah Kyai ?”
“Aku sendiri” jawab Kyai Grinsing sambil tertawa.
Nampaknya keduanya telah lupa dengan umur mereka
masing - masing, keduanya tengah terlibat dalam pembicaraan yang sangat
menyegarkan, kenangan mereka telah mengalir perlahan menyusuri waktu yang telah
berlalu, saat - saat mulai menebang alas mentaok dan menjadikannya sebuah
negeri yang besar, merekapun mengenang sosok Ki Ageng Pemanahan dan Raden
Sutawijaya yang kemudian bergelarPanembahan Senopati, dua orang ayah dan anak
yang telah meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya negeri Mataram.
Pembicaraan yang menyenangkan itu telah berlangsung
beberapa lama, sampai pada saatnya Ki Patih mandaraka, berkata” Kyai, silahkan
beristirahat di gandok yang telah dipersiapkan, besok kita sambung lagi
pembicaraan ini tetapi sebelum Kyai meninggalkan tempat ini, ada satu
pertanyaanku yang segera ingin mendapatkan jawabannya”
“Pertanyaan apakah itu Ki Patih ?” tanya Kyai Gringsing dengan kening berkerut,
terasa dadanya berdebar - debar.
Nampak Ki Juru membetulkan tempat duduknya dan
bergeser sejengkal mendekat, lalu katanya” Apakah Kyai mengenal Adipati
Surabaya ?”
Sesaat Kyai Gringsing terdiam, dicobanya mengingat -
ingat nama beberapa Pangeran terakhir dari Majapahit baik yang dikenalnya
secara langsung ataupun nama yang pernah disebutkan oleh kakek serta gurunya
sebelum pergi. Ternyata dia benar - benar tidak menemukan nama yang terkait
dengan keberadaan Adipati Surabaya itu.
“Ternyata aku telah kehilangan perhatian terhadap
perkembangan di daerah bang wetan, aku tidak mengerti lagi apa yang telah
terjadi, tentang Mataram pun saat sekarang aku juga kurang memahami apa
sebenarnya yang tengah terjadi, kepergianku dari Jati Anom benar - benar
membuatku tenggelam,” gumamnya
dalam hati. selanjutnya” Aku telah menentukan jalanku sendiri” Orang tua itu sama sekali tidak pernah
menyesali keputusannya.
“Ki Patih Madaraka, mohon ampun yang sebesar -
besarnya bahwa hamba tidak menemukan nama yang bisa dikaitkan dengan Adipati
Surabaya, bahkan tentang Adipati itu sendiri hamba juga belum mengenalnya” kata Kyai Gringsing apa adanya
Ki Patih pun tersenyum mendengar kata - kata itu,
dipandanginya wajah sahabatnya itu, seolah telah melupakan perkataan yang baru
saja didengarnya, katanya kemudian” Kyai, berbicara kepadaku sangatlah
berbeda dengan saat kita berbicara kepada Sinuhun Prabu, aku telah
mengerti siapa Kyai sebenarnya, kumohon Kyai dapat berbicara padaku dengan
bahasa seorang sahabat sebagaimana bahasa Kyai saat berbicara dengan adi
Pemanahan, dengan begitu aku akan merasakan arti sahabat yang sebenarnya.”
“Tetapi, Ki Juru adalah seorang Patih Mataram” sahut Kyai Gringsing
“Sedangkan Kyai adalah seorang Pangeran Majapahit” sahut Ki Pati tak kalah cepatnya.
Keduanya tersenyum, persahabatan yang tulus diantara
mereka, benar - benar terasa menyejukkan.
“Baiklah, ternyata tidak ada pengetahuanku tentang
Surabaya yang melebihi pengetahuan yang ada dalam diri Ki Patih, aku mohon maaf”
kata Kyai Gringsing tulus.
“Tidak apa - apa Kyai, di waktu mendatang kita akan
mencari keterangan tentangnya, sekarang aku persilahkan untuk beristirahat,
besok akan banyak yang harus kita bicarakan, aku mohon Kyai bermalam beberapa
hari di Kepatihan, sebenarnyalah kehadiran Kyai sangat diharapkan oleh
Panembahan Prabu, besok atau lusa kita akan menghadap.”
“Baiklah Ki Patih” jawab Kyai Grinsing. Keduanya pun
segera berpisah.
Malam telah semakin larut, para prajurit Mataram yang
bertugas pun semakin siaga, beberapa kelompok prajurit berkuda telah
meronda mengelilingi kota, mereka menjaga setiap jengkal wilayah, tlatah
Mataram adalah harapan bagi mereka yang hidup diatasnya.
Mataram telah menjadi sunyi dan sebagian besar rakyat
Mataram pun telah tertidur dengan pulasnya. tetapi tidak demikian yang terjadi
pada Kyai Gringsing, sosok tua itu telah duduk di lantai di dalam biliknya.
Banyak persoalan yang telah membelit benaknya, tugas
yang diembannya ternyata tidaklah ringan,” Apakah aku akan sanggup melaksanakannya
?” pertanyaan yang selalu mengganggunya,
sebuah pertanyaan yang akan terjawab seiring waktu berjalan.
Orang tua itu telah menundukkan kepalanya, ia mencoba
untuk mengurai persoalan yang diberikan oleh Sunan Muria kepadanya,” Ini adalah
kesempatan terakhir bagiku, umurku sudah terlalu banyak, aku akan berbuat
sebaik - baiknya sesuai pesan Kanjeng Sunan”
Dipandanginya seluruh dinding bilik itu, juga tempat
rebahan di depannya, ia pun segera tersenyum kecil, baginya berada didalam
bilik di Kepatihan yang bagus dan rapi itu adalah merupakan sebuah
keanehan, sejatinya bahwa dia berhak mendapatkan seperti apa yang didapatkan
para Pangeran dalam hidup kesehariannya tetapi justru semua kemewahan itu telah
ia tinggalkan, rasa kecewa yang di mulai dari kehidupan kakeknya serta
kekecewaan yang dirasakannya sendiri terhadap lingkungan disekitarnya saat itu
terus menderanya, sampai suatu saat benar - benar telah melemparkannya pada
dunianya yang sekarang.
Di dalam bilik Kepatihan itulah dia akan memulai
menjalankan suatu tugas yang teramat berat, sebuah kewajiban diakhir perjalanan
hidupnya. “Kyai Gringsing telah aku kuburkan di lereng merapi itu,” terdengar desahnya perlahan, orang tua itu
merasa bahwa tidak mungkin lagi dia menggunakan nama itu, dengan nama itu tentu
orang akan berbondong - bondong datang menemuinya untuk berobat, sedangkan saat
ini seolah dirinya tidak mempunyai waktu yang banyak, kewajiban baru telah
menunggunya.
“Sebaiknya aku memenuhi saran Kanjeng Sunan Muria,
untuk menggunakan namaku sendiri,”
Seberkas keraguan telah melintas di hatinya. Pamungkas
adalah nama yang telah dilupakan orang.
“Hem.. Panembahan Pamungkas, sebuah nama yang terlalu
baik dan sekaligus berat bagiku”
Wajah tua itu sempat menegang sesaat, ternyata selama
kepergiannya ke bang kulon, putra Sunan Kalijaga itu bersama para santrinya
telah membangun padepokan kecil ditepi sungai di kaki Merapi.
Terngiang pesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling,” Raden,
sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri
nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah
menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden
dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan.”
Sebuah perhatian yang terlampau berlebihan, mata tua
itu telah memandangi kedua belah tangannya, tanpa sadar pandangan itu telah
berhenti pada sebuah gambar ciri perguruan kakeknya, sebuah lukisan yang
melekat pada pergelangan tangannya.” Hem..apakah masih ada orang yang mengingat
gambar seperti ini ?”
Orang tua itu sama sekali tidak mengira bahwa ciri
perguruan kakeknya telah menuntunnya pada keberadaanya saat ini, sehelai cambuk
dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya.
Kyai Gringsing terlihat menarik nafas dalam - dalam,
pikirannyapun segera berpindah kepada seorang putra Sunan Kalijaga, dari Sunan
Murialah dia mendapatkan banyak keterangan tentang Mataram saat ini.
Menurut Sunan Muria bahwa persoalan yang bakal timbul di Mataram sekarang
ini adalah jauh lebih rumit dibandingkan saat - saat berdirinya, meskipun
demikian Wali waskita itu tidak akan membiarkan Mataram runtuh, baginya Mataram
adalah simbol perjuangannya dalam menyebarkan agama serta keyakinan yang telah
dianutnya.
“Raden, apapun yang bakal terjadi, Mataram harus tetap
diselamatkan, keyakinanku terhadap Mataram telah melebihi keyakinanku terhadap
negeri - negeri yang lainnya di Jawadwipa ini dan aku juga berharap banyak pada
muridmu, putra Ki Sadewa itu”
Kokok ayam telah terdengar bersautan, tetapi orang tua
itu belum juga selesai dengan angan - angannya, sesaat orang tua itu telah
memejamkan matanya, dalam waktu yang tidak terlalu lama telah ditiliknya
kembali sebangsal ilmu dan pengetahuannya,” Semoga pengetahuan yang tak
seberapa banyak ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.”
Orang tua itu segera berdiri takkala mendengar suara
adzan dari masjid yang tak jauh dari Kepatihan itu, segera ia menuju ke pakiwan
dan selanjutnya kakinya telah melangkah meninggalkan Kepatihan menuju tempat
adzan yang tadi telah berkumandang.
Di Sangkal Putung, Rudita, Ki Jayaraga dan Sukra telah
berjalan - jalan mengelilingi padukuhan induk kademangan Sagkal Puting, ketiga
orang itu benar - benar sangat mengagumi keindahan alam yang terhampar luas di
daerah kelahiran Swandaru itu, Sukra pun nampak selalu memuji keindahan
kademangan itu.
“Kyai, aku melihat Sangkal Putung ini saat sekarang
telah maju sangat pesat, banyak sekali aku jumpai bagunan rumah yang besar -
besar dan kegiatan di pasar juga nampak lebih ramai” kata Rudita
“Benar angger Rudita, aku merasakan bahwa Ki Demang
yang sudah sepuh itu bersama anakmas Swandaru telah benar - benar berhasil
dalam membangun kademangan ini” sahut Ki
Jayaraga.
“Kyai, selama keberadaanku disini, akan kumanfaatkan
untuk belajar pertanian dan apabila aku kembali ke Menoreh maka akan segera aku
terapkan ilmu dari Sangkal Putung ini,” kata Sukra sambil memandang wajah Ki Jayaraga.
“Bagus sekali Sukra, Menoreh akan berbangga memiliki
pemuda sepertimu”
“Bukan itu yang kumaksud, Kyai” sahut Sukra, sementara Rudita hanya tersenyum
mendengar perbincangan itu.
“Aku ingin sawah kita mendapatkan hasil yang lebih
bagus lagi Kyai, aku akan tunjukkan kepada kakang Glagah Putih bahwa aku mampu
mengolah sawah itu tanpa dia” Sukra
telah meneruskan kata - katanya.
Kali ini Ki Jayaraga tidak sekedar tersenyum tetapi
orang tua itu telah tertawa terkekeh - kekeh, Rudita pun juga tertawa.” Kenapa,
semua tertawa ? Aku mengatakan yang sebenarnya , apakah ada yang lucu” kata Sukra sembari memberhentikan
langkahnya.
“Kata-katamu benar Sukra, tidak ada yang lucu” kata Rudita
“Nah, apa alasannya kakang tertawa ?”
“Aku tertawa setelah melihat Ki Jayaraga tertawa” jawab Rudita sekenanya dan sambungnya,” Tanyalah
kepada Ki Jayaraga, kenapa tertawa ?”
Sukra pun telah mengalihkan pandangannya ke arah Ki
Jayaraga, katanya” Kenapa Kyai tertawa ?”
“Sukra, ternyata dalam kepergianmu yang lumayan jauh
ini, kau tidak melupakan nama Glagah Putih” jawab Ki Jayaraga.
Sukra nampak menganggukkan kepalanya, baginya seorang
Glagah Putih adik sepupu Ki Rangga itu adalah sosok yang menjengkelkan
tetapi sekaligus menyenangkan, tiba - tiba sebuah kerinduan telah duduk dan
mendekam dihatinya.
Sebelum wayah temawon, ketiganya telah kembali ke
rumah Ki Swandaru, mereka duduk di sudut pendapa, tidak beberapa lama
kemudian nampak seorang perempuan telah menyuguhkan minuman dan jajanan pasar
Di pendapa itu hati Rudita benar - benar merasakan
kegembiraan, pembicaraan ketiganya sama sekali tidak menyentuh hal - hal yang
mencemaskan hatinya, Ki Jayaraga selalu bercerita tentang kesibukannya
memperbaiki pematang sawah dan Sukrapun selalu berbicara tentang sawah dan
hasil panennya.
Keceriaan di kademangan Sangkal Putung itu rupaya juga
telah menular hingga di pendapa Kepatihan Mataram, terlihat Ki Juru Martani
sedang duduk berhadapan dengan sahabatnya itu, namun Ki Patih Mandaraka itu
telah nampak sedikit kebingungan, sedikit keraguan hinggap didadanya,” Bagaimana
aku harus memanggilmu, Kyai ?”
“Kenapa ?” tanya Kyai Gringsing itu.
“Sebenarnyalah aku menjadi bingung, nama Kyai yang
sebenarnya telah membuat ku berdebar - debar” jawab Ki Patih sembari tertawa kecil,lalu” Ki
Pamungkas serasa kurang pas, Kyai”
“Ki Juru, panggil saja aku dengan Pamungkas, itu sudah
lebih dari cukup” kata Kyai Gringsing
perlahan.
“Kyai Pamungkas, juga kurang cocok, aku akan
memanggilmu Panembahan Pamungkas,Kyai” kata Ki Patih Mandaraka
Mendengar itu, Kyai Gringsing terlihat tersenyum malu,
katanya” Ki Patih, rasanya terlalu berat aku menggunakan gelar dan nama itu.”
Terdengar Ki Patih tertawa perlahan, lalu katanya,” Panembahan,
dengarlah, saat tengah malam seseorang telah berbisik kepadaku lewat pameling
menanyakan akan keberadaan Kyai Gringsing dan akupun telah menjawabnya, bahwa saat
ini Kyai tengah berada di Kepatihan dan rupanya bisikan itu mengatakan, Kyai
Gringsing sudah tidak ada lagi dan yang datang ke Kepatihan itu sebenarnyalah
adalah Panembahan Pamungkas dari padepokan Ngadem di kaki Merapi, pameling
Sunan Murialah yang telah mengatakan semuanya padaku.”
Kyai Gringsing yang sekarang bernama Panembahan
Pamungkas itu tertawa meski tidak terlalu keras, lalu katanya,” Rupanya Kanjeng
Sunan Muria telah mengkhawatirkan diriku, Ki Patih,”
“Kenapa ? Apakah Sunan Muria tidak tahu akan kemampuan
seorang Panembahan Pamungkas ?” tanya Ki
Patih yang diiringi derai tawa.
“Dengarlah baik - baik Ki Juru martani, adakah ilmu
yang bisa melawan jika seseorang telah ditolak saat bertamu ? Nah ternyata
Sunan Muria telah memperhitungkan itu” kata
Panembahan Pamungkas.
Mereka berdua ternyata sudah lupa akan usia mereka,
keduanya telah tertawa terkekeh - kekeh sampai tubuh keduanya berguncang -
guncang.
Ternyata Ki Juru Martani tak mau kalah, disela - sela
derai tawanya, telah terselip kata - katanya,” Ada .. ada Panembahan, aku akan
terapkan ajian Tebal Wajah, bagaimana ?”
Suasana di pendapa Kepatihan itu benar - benar sangat
menyenangkan, beberapa abdi dalam pun telah tersenyum mendengarkan gurauan
kedua orang tua itu.
Bumbung 7
Mohon maaf
atas permintaan Ki Agus Malindo yang menuliskan Mendung di Lereng Merapi, maka unggahan naskah di blog ini kami hentikan, dan yang sudah diunggah kami “pending” sampai waktu yang tidak ditentukan.
Kapan bisa dilanjutken, Ki Miswanto?
BalasHapusRasanya perjalanan ini masih jauh?
Semoga segera bisa berlanjut ya, Ki.
Kapan lanjutnya ni .. dah gak sabar Udah lma nunggunya .. tpi gk kunjung d terusin ..
BalasHapusditunggu ya segera...���� selak ra sabar ki lo hahahah
Ki Jagabaya Amalindo wonten pundi nggih tutuge
BalasHapusLanjutken
HapusTolong di lanjut kan, kami pengemar setia selalu menunggu,, semoga hasil karya nya menjadi amal ibadah hendak nya,,,
BalasHapusTolong di lanjut kan, kami pengemar setia selalu menunggu,, semoga hasil karya nya menjadi amal ibadah hendak nya,,,
BalasHapusNyuwun tulung dipun terasaken Ki
BalasHapusSampun dangu mboten buka bumbung Enggal, kapan nggih dibuka Malih.....
BalasHapus