Oleh
: A. Malindo
Cerita ini bukan lanjutan dari Api Dibukit Menoreh
Bumbung 1
Bunyi ledakan mengguntur itu ternyata membuat
perang tanding terselubung itu berhenti sejenak, hati kedua putra Mataram itu
bergejolak hebat, tanpa sadar keduanya memandang sekeliling mereka. Seolah semua
binatang tak bersuara, dan dedaunanpun enggan bergerak meski tertiup angiin.
“Paman, apakah perlu latih tanding ini diteruskan ? “
terdengar suara Pangeran Pringgalaya memecahkan keheningan .
Deburan ombak bergulung gulung terasa menghantam dada
Pangeran Jayaraga, ditariknya nafas dalam – dalam untuk menenangkan hatinya ,
lalu sahutnya, “ Kenapa ? “
“ Apakah karena mendengar suara ledakan itu dimas
menganggapku tak mampu meneruskan latih tanding ini ?“ sahut Pangeran Jayaraga,
“ Jangan dikira aku tak mampu mengalahkanmu “
“ Hem “ terdengar Pangeran Pringgoloyo desah
perlahan.
Hutan perdu itu menjadi sunyi senyap, angin semilir
membelai wajah mereka, sinar rembulan serasa enggan menerangi hutan perdu itu.
“ Kenapa dia hadir disini ? “ pertanyaan itu telah
muncul di benak Pangeran Jayaraga. “ Apakah dia tahu rencanakaku ? “
gumam Pangeran Jayaraga dalam hati.
“ Aku ingin memberikan pelajaran terhadap
Pringgoloyo, agar tahu siapa Pamannya dalam kanuragan dan dia akan menyampaikan
kepada Dimas Hanyakrawati apa saja yang dilihatnya “. Pikiran Pangeran Jayaraga
terus berkecamuk, hatinya bergolak, berbagai kepentingan pribadinya dengan
nafsu membara terus mendesak akal sehatnya.
“ He manusia bercambuk, apa maumu ? keluarlah !
Tampakkan dirimu di hadapan Jayaraga “ terdengar teriakan yang dilambari oleh
kekuatan tenaga cadangan, suaranya bergulung – gulung membentur pohon di hutan
perdu itu.
“ Untuk apa kau datang ? “ Jangan ikut campur, aku
putra Mataram siap menghapusmu dari muka bumi ini “ masih terdengar suara bergulung-gulung
Pangeran Jayaraga.
“ Paman, apakah Paman menyadari apa yang paman ucapkan
? “ suara Pangeran Pringgalaya terdengar bergetar.
“ Pringgoloyo, sebagai putra Mataram aku bertanggung jawab
atas apa yang aku katakan”
“Bukankah orang bercambuk itu sahabat leluhur kita
pada masanya ?” tanya Pangeran Pringgoloyo. “ Apakah paman belum pernah
mendengar ceritera tentang orang bercambuk itu ? “ perkataan Pangeran
Pringgalaya meluncur demikian saja.
Terlihat Pangeran Panaraga itu mengerutkan keningnya, dadanya
terasa berdentang. Pernah didengarnya dari beberapa Tumenggung dan juga
Ki Patih Mandaraka perihal orang bercambuk itu, perjuangan dan pengabdiannya
terhadap mataram sejak baru dibuka dan bahkan sebelumnya, tapi itu semua hanya
ceritera dan belum pernah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
“ Jangan selalu sebut putra Mataram paman, kita sama –
sama lahir di bumi Mataram sedangkan masih banyak lagi beribu-ribu orang yang
lahir di bumi Mataram “
Terdengar gemeretak gigi Pangeran Jayaraga.
“ Paman hentikan, mintalah restu Eyang Patih Mandaraka,
ketahuilah paman aku tidak berminat berkuasa di manapun di wilayah Mataram ini”
Berdesir tajam dada Pangeran Panaraga mendengar ucapan
saudara dan masih keponakannya itu. Merenung sejenak, pikirannyapun melayang
kesana kemari, rasa kecewa yang dalam terhadap pini sepuh Mataram yang
menempatkannya di Panaraga serta keyakinannya bahwa orang bercambuk telah turut
andil untuk membuangnya keluar dari kota raja Mataram, maka segera ia mengambil
sikap.
“Gembala, jika kau tidak mau keluar dari
persembunyiannmu maka jangan salahkan aku jika aku akan membakar seluruh hutan
ini dengan ajian pamungkasku” teriak Pangeran Jayaraga. Dan dalam sekejap
terlihat Pangeran itu menggosokan kedua telapak tangannya dan perlahan lahan
diangkat sampai batas kepala.
“Gila, Paman, hentikan” terdengar teriakan Pangeran
Pringgalaya mengguntur, Pangeran muda itu benar-benar terkejut bukan kepalang
melihat sikap Pangeran Jayaraga itu, dengan gerak naluriah ia bergeser
kesamping dan segera mempersiapkan ajian warisan leluhurnya, Aji Lawang
Geni.
Suasana sangat mencengkam, keduanya telah lupa pada
janjinya masing-masing, untuk tidak menggunakan ajian pamungkasnya.
“Tunggu Pangeran Panaraga, aku peringatkan atas nama
Ki Patih Mandaraka, hentikan pemusatan nalar budimu” terdengar suara yang
menggema seakan memukul lereng Merapi, suara yang langsung menukik menikam dada
Pangeran Panaraga yang telah lupa diri itu. Terasa seribu duri kemarung telah
bersarang didadanya. Tanpa sadar Pangeran Jayaraga mengatupkan bibirnya rapat –
rapat seolah menahan sesuatu yang sangat menyakitkan dadanya.
Dalam ketegangan yang semakin memuncak tiba – tiba
telah hadir angin pusaran yang berwarna hitam kelam, dengan suara berdesing
pelan, berputar tanpa merusak hutan perdu itu.
Kedua Pangeran seakan - akan berdiri mematung
menatap angin pusaran itu. Sejenak kemudian angin pusaran bergerak semakin
lambat dan akhirnya hanyut dihisap alam hutan perdu itu, sejalan dengan
hilangnya angin pusaran itu, muncullah sesosok yang telah dikenal oleh kedua
Pangeran itu, terlihat samar-samar sebuah bayangan seseorang yang berdada
bidang, berkulit sawo matang dengan tatapan mata lembut, terlihat
tubuhnya sangat kokoh dengan kaki seolah menancap ke bumi.
“Selamat malam Ki Rangga” sapa Pangeran Pringgalaya.
“Selamat malam Pangeran berdua” balas seseorang yang
ternyata adalah Ki Rangga Agung Sedayu.
"Mohon dimaafkan hamba telah mengganggu,
Pangeran "
Pangeran Panaraga terlihat bersungut - sungut dengan
mulut berkomat kamit tapi belum berbicara apapun. Pangeran Pringgoloyo berjalan
mendekati Ki Rangga dan berhenti disampingnya.
“ Kenapa Pangeran ada disini ?,
“Bukankan Pangeran telah mendapat perintah dari Ki
Patih untuk perjalanan ke Madiun ?”
“Bukankah Pangeran juga dilengkapi dengan perlambang
tunggul Mataram dan tidak seharusnya siapapun yang bisa mencegah tugas Pangeran
?” kata Ki Rangga dengan suara agak meninggi.
Pangeran Pringgoloyo terlihat mengangkat wajahnya dan
hendak menjawab pertanyaan Agung Sedayu, tetapi.
“Diam kau Sedayu, jangan sesorah di hadapanku, Jangan
menuduhku menghambat tugas Pringgoloyo, ketahuilah Sedayu, aku tidak berniat
apa-apa, aku hanya ingin memberi tuntunan kanuragan saja kepadanya “ sahut
Pangeran Jayaraga dengan suara gemetar menahan marah.
Nampak kening Ki Rangga Agung Sedayu berkerut, sambil
menghela nafas panjang, katanya “Maafkan aku Pangeran, jika demikian biarkanlah
Pangeran muda meneruskan perjalanannya ke timur dan aku akan mengikutinya
meskipun tidak semata – mata” Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya, “Sebenarnyalah
aku telah diutus Ki Patih Mandaraka untuk memastikan bahwa tugas Mataram yang
dipikul Pangeran Pringgoloyo harus selesai dan Pangeran mudapun harus kembali
ke Mataram dalam keadaan selamat”.
“Persetan kau Sedayu, Pringgoloyo tidak butuh
perlindunganmu, dia bisa jaga diri, bukankah dia dikawal oleh sekelompok
pengawal Mataram dan tugasnya ke Madiun bukan sebagai duta ngrampungi, dia
hanya menyampaikan pesan Dimas Panembahan Hanyakrawati saja, jadi tidak akan
ada yang mengganggunya selama perjalanan”.
“ Bagaimana dengan keadaan sekarang ini, Pangeran ? “
tanya Ki Rangga. “Apakah perang tanding ini juga merupakan bagian dari tugas
Pangeran Pringgoloyo ? “ lanjutnya.
Tampak memerah wajah Pangeran Panaraga itu, pertanyaan
itu bukan hal yang sulit untuk di jawah, tetapi karena merasa dirinya diadili
oleh seorang Rangga, maka hatinya menjadi semakin panas, nafasnya semakin
memberu eoolah udara di rongga dadadnya berdesakan ingin keluar.
“ Ki Rangga, apakah kau sadar dengan siapa kau
berhadapan, aku Pangeran Mataram sedangkan kau hanya sebagai prajurit dan
kedudukanmu hanya sebagai Rangga, apakah hak mu terhadapku ?” sergah Pangeran
Panaraga itu.
“ Apakah hakmu menuduhku menggangu tugas Pringgoloyo “
Mendengar perkataan Pangeran itu, hampir saja Ki
Rangga jatuh kepada sifat dan watak aslinya, hatinya terlalu lembut untuk
berdebat pada hal – hal yang menyangkut urusan duniawi, sejak semula seorang
manusia yang bernama Agung Sedayu ini adalah seorang yang berhati lembut dan
peragu.
Kedudukan duniawi baginya bukanlah hal terpenting,
berbuat bagi tatanan kehidupan yang lebih baik adalah tujuan hidupnya sejak
semula, tak perduli di Jati Anom atau di Tanah Perdikan Menoreh maupun di
Mataram. Baginya setiap perbuatan harus bermanfaat bagi keluarga dan sesamanya,
kalaupun sekarang dia menjadi prajurit Mataram itu adalah bentuk pengabdiannya
bagi lingkungannya dan kebetulan saja ia telah menjadi prajurit Mataram.
“Aku tidak pernah memilih, aku hanya menerima
takdirku” semboyan itu selalu melekat dan terpahat di dinding hatinya.
Dalam kebisuan sesaat itu, Pangeran Pringgoloyo cepat
menanggapi keadaan.
“Paman, baiklah aku berterus terang bahwa
sebenarnyalah Ki Rangga bertugas mendampingiku ke Madiun, selain Tunggul yang
aku bawa, Ki Rangga juga membawa pertanda Mataram, bahkan nilainya lebih tinggi
dari pertanda yang aku bawa” jelas Pangeran Pringgoloyo yang mencoba membantu
kesulitan Ki Rangga.
Agung Sedayu bagaikan terbangun dari mimpinya
mendengar ucapan Pangeran muda itu, dihirupnya seluruh udara hutan perdu itu
sepuas-puasnya, jiwa keprajuritannya mulai tumbuh kembali dan rasa tanggung
jawab terhadap tugasnya mulai menggelegak kembali memenuhi rongga dadanya.
“Aku adalah utusan Ki Patih Mandaraka, Pangeran” kata
Ki Rangga perlahan.
“Setan kau, jangan berlindung di belakang punggung Ki
Patih, aku muak “ sergah Pangeran Jayaraga.
“Terserah Pangeran, aku hanya menjelaskan, kedudukan
dan tugas yang aku emban, tidak lebih” sahut Ki Rangga, lalu katanya kepada
Pangeran Pringgoloyo “ Aku mohon diri Pangeran, ternyata aku telah keliru
menilai Pangeran Panaraga, Pangeran muda silahkan melanjutkan tugas, ingatlah
pada puncak purnama depan tugas baru telah menanti , segeralah berangkat ke
Madiun”.
Selesai bicara Agung Sedayu segera bergeser surut,
tetapi sebelum melangkah, tiba – tiba ia dikejutkan oleh kejadian di hutan
perdu itu, sebuah pohon Sawo yang tidak begitu besar telah berderak – derak
patah bagai diguncang angin prahara dan akhirnya tumbang, roboh menimpa
bumi.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, segera berpaling
dan ditatapnya Pangeran Jayaraga dengan segudang pertanyaan.
“Agung Sedayu, urusanku dengan Pringgoloyo sudah
selesai dan sekarang aku akan mengurusmu” geram Pangeran Jayaraga
“Apa maksud Pangeran ?” tanya Agung Sedayu.
“Jangan seperti anak kecil yang merengek minta mainan,
kau tentu sudah tahu maksudku Rangga” bentak Pangeran Jayaraga.
“Paman, itu tidak perlu” sahut Pangeran Pringgoloyo
cepat-cepat.
Sebenarnya dia lebih baik diam dan persoalannya akan
cepat selesai, tetapi setelah mendengar niat Pangeran Jayaraga untuk mengurus
Ki Rangga Agung Sedayu, dengan sangat terpaksa Pangeran Pringgoloyo bicara.
“Jangan ikut campur Pringgoloyo, Mataram tidak akan menjadi
lemah tanpa gembala ini” terdengar suara Pangeran Panaraga meninggi.
Tidak seperti biasanya, Agung Sedayu akan membuat
seribu pertimbangan untuk berbuat sesuatu, tapi kali ini tidak.
Ditatapnya tajam – tajam Pangeran Jayaraga dan
kemudian katanya “Baiklah Pangeran, sebenarnyalah hal ini yang aku tunggu “ dan
kemudian kepada Pangeran Pringgoloyo, katanya “Biarlah aku urus Pangeran
Panaraga ini, silahkan Pangeran Pringgoloyo menepi sejenak” Mendengar
permintaan Agung Sedayu, Pangeran muda itu tak kuasa menolaknya dan tanpa sadar
telah bergeser menepi.
Pangeran Jayaraga seolah-olah telah tersihir
sekejap melihat perubahan sikap Agung Sedayu, tak disangkanya orang
bercambuk yang menurut banyak orang peragu itu langsung menerima tantangannya,
bahkan terlihat dengan tenangnya mempersilahkan Pangeran Pringgoloyo untuk
menepi
“Tidak terlalu meyakinkan, meskipun sahabat
leluhurku tetapi tentu ilmunya tidak akan menjangkau ilmuku, warisan Perguruan
Selo” pikirnya.
Meskipun ada keseganan berurusan dengan orang
bercambuk, namun Pangeran Jayaraga itu ternyata telah berpikir lebih jauh lagi,
penalarannya telah mulai terganggu, “Inilah kesempatan itu, Ki Patih tentu akan
memujiku dengan mengalahkan orang bercambuk ini, bahkan akan menilai ulang
tentang penempatanku di Panaraga. Tempatku bukan di Panaraga tetapi disini, di
kota raja Mataram” terlihat Pangeran Jayaraga tersenyum, sebuah angan-angan
terlintas dibenaknya .
“Aku akan menangkapmu Sedayu, mengikatmu dan membawamu
ke Kepatihan dan tentu Ki Patih akan melihatmu dengan kecewa dan setelah itu
akan memberitahukan kepada Dimas Panembahan Hanyakrawti dan segeralah kau akan
dilupakan”.
Mendengar ucapan itu, Agung Sedayu hanya tersenyum
tipis, sama sekali tidak terbayang kecemasan diwajahnya, sikapnya tetap tenang.
Dada Pangeran Pringgoloyo berdebar – debar mendengar
rencana pamannya itu. Ada keinginan untuk mencegahnya, Pangeran muda itu
tahu seberapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam diri pamannya, sedangkan
baginya Ki Rangga adalah kawan baru di dunia keprajuritan, meskipun Ki Patih
Mandaraka sering mengatakan padanya bahwa Ki Rangga Agung Sedayu adalah simbol
kekuatan Mataram, tetapi secara langsung belum pernah dilihatnya bertempur
dengan musuh yang seimbang.
“Bagaimana jika Ki Rangga kalah ?” pertanyaan yang
tiba – tiba muncul. “Tidak sekedar kalah, pasti pamannya akan berbuat lebih bahkan
mungkin diluar dugaanku”
Kebimbangan telah mencengkam jantung Pangeran muda
itu. Dalam perkelahian sebelumnya sangat terasa olehnya bahwa kekuatan pamannya
belum di kerahkan sepenuhnya, masih tertahan oleh keseganan terhadap hubungan
saudara, juga ramanya, tetapi terhadap Ki Rangga tentu berbeda, Pangeran
Panaraga itu pasti akan menumpahkan ilmunya sampai tuntas tanpa ragu.
“Apakah ajian pamungkasku akan sanggup menahan ajian
pamungkas pamanda ?”.
Terlihat Pangeran muda itu sangat gelisah. Belum
sempat Pangeran muda itu menemukan jalan keluarnya, tiba – tiba terdengar
percakapan antara Ki Rangga dan pamandanya.
“Jika itu yang Pangeran kehendaki, baiklah” jawab
Agung Sedayu dan segera diulurkannya tangannya untuk diikat dan terlihat Agung
Sedayu maju dua langkah.
“Gila, bodoh dan pengecutnya kau Sedayu” bentak
Pangeran Jayaraga.
“Kenapa ?” tanya Agung Sedayu.
“Mana ilmumu yang telah membuat orang Mataram kagum,
tunjukanlah dan aku akan mengalahkanmu, melawan atau tidak, aku akan
menyerangmu dengan ajian Pamungkasku Gelap Bawono” geram Pangeran Jayaraga.
“ Hem..” Agung sedayu memandang tajam
kearah Pangeran Panaraga itu.
Sekilas teringat adik seperguruannya di Sangkal
Putung, Swandaru Geni. Seorang yang meledak – ledak, keras kepala dan kadang –
kadang sering berbuat sesuka hatinya.
“Pangeran yang keras kepala” gumamnya.
Sudah diperhitungkan secara matang sebelumnya oleh Ki
Patih Mandaraka tentang akan terjadinya benturan antara dirinya dengan Pangeran
Jayaraga cepat atau lambat. Menurut Ki Patih sebaiknya hal itu harus segera
terjadi untuk menghindari kesalahpahaman yang lebih luas lagi antara rakyat
Mataram dengan rakyat Madiun.
“Ki Rangga harus memberi pelajaran secepatnya, carilah
alasan yang tepat untuk itu “ kata Ki Patih suatu saat kepada dirinya saat di
Kepatihan.
“Rakyat perlu ketenangan dan kedamaian Agung Sedayu”
ujar Ki Patih. “Dengan menundukan Jayaraga maka para Adipati daerah timur akan
berpikir seratus kali untuk melanjutkan niatnya memberontak terhadap Mataram”.
“Ketahuilah ki Rangga sebelum Pangeran Jayaraga
ditempatkan di Panaraga, disana telah tumbuh lagi niat untuk melawan mataram
dengan sokongan Adipati Surabaya dan Adipati Pasuruan” jelas ki Patih.
Agung Sedayupun menarik nafas dalam – dalam,
pergulatan antar keluarga istana yang selalu mengorbankan rakyatnya, dalam
benaknya terpikir bahwa dunia ini perlu keseimbangan. Demi tegaknya urip
bebrayan agung maka diapun menyanggupinya.
Sebenarnyalah sesorang telah mendukung niat Ki patih
dan Agung Sedayu itu. Seseorang yang sudah lama sekali menghilang dari gejolak
seputar pemerintahan Mataram, meskipun mengenakan ikat kepala khusus, nyatanya
tak bisa menahan perubahan warna rambutnya, sudah memutih semua dan orang
mengingatnya sebagai lawan tangguh Panembahan Agung.
Tanpa aba – aba, nampak Pangeran Jayaraga segera
menyiapkan dirinya kembali, langsung pada puncak dari segala ilmunya, tanpa
mengurangi bobot tenaga cadangannya dan bahkan telah ditambah sampai tingkatan
tertinggi, Pangeran itu terdengar menggeram “ Siapapun kau Agung Sedayu, jangan
salahkan aku, jika sebentar lagi jasadmu akan hancur lebur jadi debu dan namamu
akan terlupakan di bumi Mataram”
“He, bukankah Pangeran ingin menangkap aku hidup
– hidup? Membawa ke Kepatihan dan menujukan kemenangan serta mempermalukanku”
kata Ki Rangga setengah bergurau, masih ada niatnya untuk menghentikan benturan
ilmu.
“Persetan, gembala malang” geram Pangeran Jayaraga “Aku
tahu kaupun memiliki ilmu yang cukup tinggi, tidak usah membuang waktu, aku
akan menakarmu dengan puncak ilmuku”
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, baginya tidak
ada jalan lain kecuali membenturkan ilmunya, ia tidak mau lumat oleh ilmu
warisan perguruan Selo. Semasa hidupnya Kyai Gringsing telah banyak ceritera
tentang betapa saktinya Ki Ageng Selo, sampai sampai masyarakat sekitar Selo
menjulukinya sebagai putra dari dewa petir.
Pangeran Pringgoloyo seolah terbungkam, mulutnya
menjadi kelu oleh kemarahan yang telah menyesakkan dadanya. Sementara Agung
Sedayu tetap tersenyum tipis dan siap dalam kesiagaan tertinggi dengan berbagai
macam ilmunya, diungkapkannya tenaga cadangannya meskipun tidak sampai tuntas,
terpikir olehnya penderitaan yang pasti terjadi dan akan berkepanjangan bila
nantinya terjadi perang lagi antara Mataram dan daerah Bang Wetan.
Dalam kediamannya Ki Rangga telah memanjatkan doa
kepada Sang Pencipta mohon bimbingan dan perlindunganNya.
“Saat seperti ini aku telah dipaksa kembali oleh
keadaan, semoga Guru mengampuni aku, tiada niat untuk menyombongkan diri”
desisnya di dalam hati.
“Baiklah, Pangeran telah memaksaku dengan tanpa
pilihan, Jika Raden Sutawijaya masih ada dan melihatku maka tentu Panembahan
Senopati itu akan mentertawaiku” ucap Ki Rangga sambil bergeser mundur beberapa
langkah, bersamaan terlintas kenangannya ketika bertemu Senopati Ing Ngalaga,
saat ia dan gurunya baru pertama kali membuka Padepokannya di Jati Anom dan
Raden Sutawijaya telah menantangnya berkelahi tanpa sebab.
“Kenangan yang indah “ gumamnya perlahan seolah –olah
kepada dirinya sendiri.
“Apakah kau mengigau Ki Rangga?, kau berkata seolah
Panembahan Senopati akan mentertawaimu ketika menghadapiku ?”.
“Hem.. tidak ada sangkut pautnya, bahkan beliau akan
kagum melihat salah satu putra Mataram telah menunjukkan kemampuan sebenarnya,
sehingga Mataram tidak bergantung kepada orang lain” kata Pangeran Jayaraga
membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sesaat kemudian, tanpa meninggalkan kewaspadaan
ditatapnya mata Pangeran Jayaraga, Agung Sedayu berkata, “Pangeran Panaraga,
aku akan menunjukan padamu, siapa sebenarnya sahabat dari Raden Sutawijaya ini”.
Sekilas wajah Ki Rangga tampak menegang, keragu raguan
yang selama ini selalu mencengkamnya telah hilang dihembus angin Lereng Merapi,
keyakinan akan paugeran hidup yang telah ditetapkaNya serta nasehat Ki Patih
Mandaraka dan Ki Waskita, maka pendiriannya semakin mantap, ditingkatkannya
kewaspadaannya dan sejenak kemudian setelah menarik nafas panjang – panjang,
iapun berkata, “Apakah Pangeran sudah siap?” dan katanya kepada Pangeran
Pringgoloyo “Hamba mohon ijin Pangeran, semoga hamba dijauhkan dari sikap
deksura.
“Sombong sekali” geram Pangeran Jayaraga.
Keyakinan terhadap tingkat ilmunya dan telah diuji
oleh beberapa peristiwa dalam perjalanan hidupnya, Pangeran Jayaraga semakin
pasti dapat melumatkan Ki Rangga, pengakuan Ki Patih saat menyaksikan perang
tanding antara dirinya dengan saudara seperguruan Rangga Kaniten dari timur semakin
menambah percaya dirinya.
“Ki Rangga, apakah gurumu pernah berceritera tentang
Eyang Selo” tanya Pangeran Jayaraga kepada Ki Rangga.
“Benar Pangeran, guru berceritera tentang seorang
putera dewa petir” jawab Ki Rangga, diam sejenak, lalu lanjutnya, “Seorang yang
rendah hati, yang bekerja sebagai petani, suka menolong sesama dan sangat perhatian
terhadap lingkungannya”. Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya “Apakah
Pangeran merasa memiliki kemampuan seperti Ki Ageng Selo ?” tanya Ki Rangga.
Sementara itu Pangeran Pringgoloyo merasa kepalanya
semakin pening mendengar percakapan antara Ki Rangga dengan pamanya. Perasaan
kecewa terhadap pamannya menjadi semakin dalam, tetapi sisi yang lain ia tidak
mengerti, alasan apakah yang mendorong Ki Rangga bersedia membenturkan imunya
dengan ilmu warisan perguruan Selo, perguruan kakeknya sendiri.
“Ki Rangga pasti punya alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan “ katanya dalam hati. Kebimbangannya semakin menjadi-jadi
takala mendengar geram pamannya.
“Ki Rangga, apakah kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan” kata Pangeran Panaraga lantang.
Tiba tiba langit menjadi kelam cahaya bulan hanya
menembus tipis, kabut hitam telah memagari arena di hutan perdu itu, itulah
akibat awal ilmu ajian Gelap Bawono, terlihat Pangeran Jayaraga bergerak dan
bergesar satu langkah kesamping, kaki kanannya bergerak kedepan, membuat
gerakan membentuk lingkaran kecil, setelah berhenti lalu ditekuk lututnya
merendah dan sekali lagi digosokan kedua telapak tangannya dan perlahan – lahan
naik keatas dadanya dan akhirnya berhenti di muka wajahnya, katanya “Jangan kau
tahan ilmumu gembala, lepaskan semuanya sampai tuntas agar ragamu tetap utuh”
Pangeran Pringgoloyo benar-benar membeku tegang, “Apakah
yang harus aku lakukan?“ gumamnya dalam hati.
“Apakah ajianku sanggup menahan ajian Selo ini”
“Apakah aku hanya akan berdiam diri saja “
“Bagaimana jika nantinya Ki Rangga Agung Sedayu tak
mampu menahan ajian itu ?”
“Aku akan menjadi seorang pengecut bila membiarkannya,”
terdengar gemeretak gigi Pangeran muda itu dan segeralah diungkap ajian
pamungkasnya Lawang Geni. Namun langkahnya tertahan.
“Pangeran muda, ajian Lawang Geni saat ini belum
waktunya untuk melawan ajian Gelap Bawono milik Pangeran Jayaraga, menepilah
dan ungkap ajian Tamengwaja sampai kepuncaknya” terdengar suara lembut mengetuk
telinga batinnya.
“Yakinlah Pangeran, mohonlah dan semoga Sang Pencipta
memberi perlindungan bagi kita semua” masih terdengar suara Ki Rangga
lewat aji Pameling yang kuat yang hanya ditujukan kepada orang yang
dikehendakinya saja.
Pangeran Pringgoloyo tidak menjawab hanya
dianggukannya kepalanya, diakuinya kekuatan aji pamelingnya belum setingkat
dengan Ki Rangga dengan demikian yakinlah Pangeran muda itu akan kemampuan Ki
Rangga Agung Sedayu.
Dengan gerakan cepat sekali sambil berteriak nyaring
Pangeran Jayaraga telah menghentakkan kakinya kebumi dan bagaikan terbang
dengan menjulurkan tangan dengan telapak terbuka menghantam langit, sekejap....
maka meluncurlah ajian Gelap Bawono mengejar dan menghajar tubuh Agung Sedayu
yang sedari tadi hanya berdiam diri, seolah tanpa persiapan. Jantung Pangeran
Pringgalaya seakan berhenti berdegup. “Ternyata Pangeran Panarga itu
memang menyimpan ajian yang seperti di ceriterakan oleh Eyang Patih Madaraka
kepadanya”.
Sebuah ajian yang maha dahyat warisan Perguruan Selo,
telapak tangan Pangeran Madiun itu terbuka mengahadap keatas dan terlihat sinar
yang sangat menyilaukan turun dari langit dan menyambar dan sekaligus
menghantam tubuh Agung Sedayu.
Jika saja sasarannya bukan pimpinan perguruan
bercambuk dan murid terkasih dari Raden Pamungkas yang merupakan cucu Windujati
maka tentu tubuhnya akan hangus dan meledak dengan daging dan tulang
berserakan.
Sekejap kemudian, secepat tatit diudara terlihat
seorang penggembala yang bernama Agung Sedayu itu menghentakkan cambuknya
menghantam kilat di langit dengan puncak ilmu Lebur seketi yang telah
matang dan telah dirangkapi dengan ilmu Bayu Dirga, sebuah ilmu yang tersimpan
rapat di rontal Kyai Gringsing, tak tertulis dengan jelas dan hanya tersirat
saja, hanya karena karunia tiada tara dari Sang Pencipta lah putra Ki Sadewa
itu berhasil menguasainya, bahkan Kyai Gringsingpun mengakui bahwasanya
Bayu Dirga belum dikuasainya dengan sempurna.
Alam yang tadinya gelap gulita telah menjadi terang
benderang, benturan ilmu benar –benar telah terjadi maha dahyat, seolah telah
terjadi gempa dilereng Merapi, bumi pijakan di hutan perdu itu terasa bergoncang,
Daun menguning telah gugur berserakan , dahan dan ranting berpatahan,
udara malam yang dingin berubah menjadi panas mebara seperi lahar di puncak
Merapi.
Benturan ilmu itu membuat pantulan dahsyat dan
menyebar kemana – mana, menghantam pohon – pohon rindang, mengguncang pohon
randu raksasa, hingga menyinggung tubuh Pangeran Pringgoloyo.
Sebenarnyalah Pangeran muda itu telah mengetrapkan aji
Tameng Waja dalam puncak kekuatannya, sejauh dapat dilakukannya, tetapi tetap
saja tak dapat menahan pantulan akibat benturan kedua ilmu itu, tubuh Pangeran
Pringgoloyo terpelanting dan tersungkur jatuh di semak belukar, dan akibat
lebih parah terjadi pada Pangeran Jayaraga, tubuh Pangeran Panaraga yang
tengah terbang telah tersentak oleh kekuatan yang tiada terkira olehnya,
meluncur dengan derasnya menghantam pohon sawo kecik, terjatuh, diam dan
membeku.
Tidak jauh dari tubuh Pangeran Panaraga tampak Ki
Rangga Agung Sedayu tengah berloncatan kesana kemari menghindari tumbangnya
pohon – pohon besar yang tumbuh di hutan perdu itu dari, dengan ilmu
meringankan tubuhnya mumpuni, bagaikan terbang telah meluncur mendekati tubuh
Pangeran Pringgoloyo yang ternyata telah pingsan, bersamaan dengan
kedatangannya, tampak dahan pohon randu alas telah patah dan akan menimpa tubuh
Pangeran Pringgoloyo, dengan sigap melenting tinggi dan sekali lagi dilecutkan
cambuknya menghantam dahan itu, tidak ada bunyi ledakan, terdengar hanya bunyi
berdesing saja akibatnya dahan itu hancur dan berubah jadi butiran hitam yang
sangat halus.
Kemudian suasanapun menjadi hening dan membeku,
setelah mengatur pernafasannya, perlahan-lahan Agung sedayu terduduk ditanah,
pemusatan nalar dan budi telah dilakukannya, Ajian Gelap Bawono telah
menggetarkan dada sampai menusuk jantungnya, tak lama kemudian dengan tarikan
nafas panjang, terlihat Agung Sedayu telah selesai dengan semedinya dan
perlahan berdiri dan berjalan kearah Pangeran pringgalaya yang masih terbaring
diam, disentuhnya di bagian belakang telinga dan diberikannya beberapa totokan
di bagian dada dan punggung maka sadarlah Pangeran muda itu.
Di Mataram Ki juru Martani ditemani oleh Ki Wakita
duduk terpekur di Pendapa Kepatihan, wajahnya terlihat muram. Terlintas
beberapa wajah kerabat dan sahabatnya yang telah mendahuluinya. “Hem.. mereka
telah mendahuluiku,” gumamnya.
“Gusti Patih” terdengar suara menyapa dari longkangan
dalam.
Mendengar seseorang memanggilnya Ki Patih Mandaraka
segera menoleh kearah suara itu, rupaya abdi dalam telah bersimpuh di lantai
sambil menunggu perintah.
“Ampun Gusti, hamba telah mengejutkan” lanjutnya
dengan kepala tertunduk.
“Tidak Lambang, hanya aku saja yang sudah mulai renta
dan mudah terkejut” kata Ki Patih perlahan sembari tersenyum.
“Bukankah begitu Ki Waskita?” Kata Ki Patih sambil
menoleh kekanan melihat sahabatnya yang rambutnya sudah memutih semuanya.
“Hamba Ki Patih” sahut Ki Waskita perlahan dengan
senyuman tersungging di bibirnya.
“Ada apa Lambang? Bukankah engkau aku tugaskan kerumah
Temenggung Singayudha?”
“Hamba Ki patih, kedatangan hamba akan melaporkan
hasil tugas hamba” jawab abdi dalem itu.
“laporkan Lambang, berkatalah jujur meskipun membuat
hatiku sedih” ujar Ki Patih.
Setelah membetulkan duduknya, mulailah Lambang
menceriterakan dari awal sampai akhir tugasnya, tanpa ada yang terlewat, bahkan
pada bagian penting telah diulangi beberapa kali dan Lambangpun mengakhiri
laporanya dengan menyembah Ki Patih.
Terlihat Ki Patih menarik nafas dalam-dalam, lalu
katanya “Jadi Tumenggung Singayuda masih dihutan itu?”
“Benar Ki Patih”
“Agung Sedayu tengah mengobati luka dalam Pangeran
Panaraga ?” tanya ki Patih.
“Benar Ki Patih”
“Kenapa tubuh Pangeran Panaraga itu tidak di bawa ke
Kepatihan saja?” tanya Ki Patih.
“Ampun Gusti, menurut Ki Rangga Agung Sedayu tak ada
waktu lagi, luka Pangeran Panaraga sangat parah. Ki Rangga tidak ingin
terlambat Gusti” jelas Abdi Dalem itu.
Ki Patih terdengar berdesah dan memandang arah Ki
Waskita, tetapi sahabatnya itu tetap menundukkan kepalanya.
Suasana di Pendapa Kepatihan itu menjadi hening,
terpikir oleh Ki Patih bahwa awan hitam telah berarak menuju Mataram “Apakah
harus terjadi berulang kali perang saudara yang tidak perlu itu. Peperangan
antara saudara akan selalu membuat Mataram lemah, sampai kapan Jawa Dwipa ini
dapat disatukan kembali seperti jaman Majapahit ? Gemah ripah loh jinawi”
“Lambang, dengar permintaanku “ berkata Ki Patih, “
Tetaplah di Kepatihan dan jangan katakan kepada siapapun tentang peristiwa ini,
aku akan ke hutan perdu itu bersama Ki Waskita”
“Hamba Ki Patih “
Sejenak kemudian Ki Patih bersama Ki Waskita bergegas
menuju ke halaman depan.
“Kita pergi ke hutan perdu dengan naik kuda saja Ki
Waskita “ kata Ki Patih. Tampak Ki Waskita menganggukan kepalanya.
“Apakah ki Patih sudah tidak kuat lagi jalan kaki
meskipun tidak terlalu jauh “ canda Ki Waskita
“Ah... tentu tidak sekuat dulu Ki Waskita, hanya aku
ingin terlihat biasa saja saat ini, tidak menarik perhatian, supaya tidak
banyak pertanyaan” jelas Ki Patih sambil tersenyum. Tampak Ki Waskita mengangguk
anggukkan kepalanya.
Kedua nya telah meninggalkan halaman Kepatihan,
kudanya berlari tidak terlalu kencang. Ki Waskita seolah telah melihat Agung
Sedayu tengah duduk bersila “Seorang yang punya budi pekerti yang mulia, sejak
pertama aku melihatnya, aku sudah mempercayainya “ gumamnya dalam hati.
“He.. Ki Waskita, nampaknya engkau tidak tertarik pada
persoalan Agung Sedayu kali ini“ teriak Ki Patih sambil memacu kudanya perlahan
dan sementara kudanya terus berlari kearah utara. Ki Waskita hanya tersenyum
kecut mendengar gurauan Ki Patih Mandaraka.
“Kita belok kekanan“ tak lama kemudian mereka berdua
telah melihat Agung Sedayu seorang diri duduk bersila dibawah pohon randu
yang telah menghitam.
Melihat kedatangan Ki Patih dan Ki Waskita maka Ki
Rangga segera berdiri dan memberi salam, “Waalaikum salam” terdengar jawaban
hampir bersamaan dari kedua orang tua yang baru datang itu. Sedangkan Pangeran
Pringgoloyo juga menghaturkan salam dengan posisi tetap duduk.
Keduanya segera turun dari kudanya dan medapatkan Ki
Rangga dan Pangeran Pringgoloyo, dengan mengerutkan keningnya Ki Patih
bertanya, “Dimana anakmas Jayaraga?“
“Ampun Ki Patih, Pangeran Jaya raga belum sadarkan
diri, hamba telah berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya, tetapi karena
keterbatasan pengetahuan hamba tentang obat – obatan maka kondisinya belum
pulih dan masih memerlukan perawatan”.
Selesai memberi keterangan maka Ki Rangga telah
mengajak kedua orang tua itu ketempat dimana Pangeran Jayaraga terbujur diam.
Tidak terlalu jauh, sesampai ditempat itu alangkah
terkejutnya Ki Patih dan Ki Waskita melihat dua tubuh tergolek diam.
Dengan memegang keningnya, ki Patih seolah memerlukan
penjelasan bagaimana mungkin seorang Tumenggung bernama Singayuda
tergolek pingsan di sisi Pangeran Jayaraga.
“Ki Waskita, rupanya kita sangat beruntung datang
terlambat” kata Ki Patih sambil tertawa tertahan, lalu lanjutnya, “Bagaimana
jadinya jika kita menjadi saksi perang tanding ini, mungkin kita juga akan
tertidur seperti Tumenggung Singayuda ini”.
Tampak ki Waskita menggelengkan kepalanya sembari
tersenyum, kemudian katanya, “Tentu tidak Ki Patih, Ki Rangga tentu akan
menggunakan ilmu yang lainnya dan tentu ilmu yang tidak menyentuh kita”
Ki Patih tertawa perlahan,
“ Benar begitu, Ki Rangga ?”
Ki Rangga tersenyum, dan mengajak kembali ketempat
Pangeran Pringgoloyo.
Ki Patih tidak segera bertanya kepada Pangeran
Pringgoloyo maupun Ki Rangga, tetapi diedarkannya pandangannya ke semua arah di
hutan perdu itu, dan katanya kepada Ki Waskita, “Kyai, apakah Prabu Airlangga telah
datang dan mencoba ilmunya?”.
Ki Waskita pun terlihat kebingungan menjawab
pertanyaan Ki Patih Mandaraka itu.
“Baiklah, cucunda sekarang cobalah berceritera tentang
kejadian di hutan perdu ini” pinta Ki Patih kepada Pangeran Pringgoloyo.
Pangeran Pringgoloyo menarik nafas dalam – dalam dan
mulai menceriterakan kejadian dari awal sampai akhir, sampai saat tak di
ketahuinya tiba – tiba dia tak sadarkan diri, sementara itu nampak Ki
Rangga hanya menundukkan kepalanya saja sambil menunggu tanggapan dari Ki
Patih, meskipun sempat juga mencuri pandang ke arah Ki Waskita.
Ki Patih mendengarkan ceritera Pangeran Pringgoloyo
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa sadarnya sekali lagi diedarkannya
pandangannya berkeliling ke hutan perdu itu, perasaan kagum serta heran
merayapi hati penasehat Mataram itu, dalam usia yang belum mencapai separo baya
itu Ki Rangga Agung Sedayu telah mencapai tataran ilmu yang sedemikian
tingginya melewati angkatan tua, bahkan tumbuh keyakinannya dalam beberapa
waktu kedepan tentu sudah sangat langka orang yang dapat menyusul ketinggian
ilmu seorang yang asal muasalnya adalah seorang penakut dan pengecut.
Sementara itu Ki Waskita hanya berdiam diri saja,
kepalanya tertunduk, ternyata pikirannya telah menerawang jauh kedepan, rasa
khawatir telah tumbuh di hatinya, bukan soal Agung sedayu melainkan tentang
Mataram. Isyarat yang diterimanya menggambarkan bergumpal – gumpal awan gelap
telah turun bergerak dari gunung merapi menuju Mataram. “ Apa artinya ini ?”
keluhnya.
Matahari semakin terik, dan sudah hampir melewati
puncaknya, terdengar suara burung jalak berkicau tiada hentinya.
Pangeran
Jayaraga telah di bawa ke Mataram dan beberapa minggu kemudian sudah pulih
kembali meskipun tidak seperti sediakala, ingatannya mengalami kelumpuhan
ringan, atas seijin Panembahan Hanyakrawati, Pangeran Jayaraga telah dihantar
pulang ke Panaraga.
Sementara
itu Pangeran Pringgoloyo pun telah selesai dengan tugasnya dan telah kembali ke
Mataram dengan selamat, Ki Ranggapun telah berkumpul dengan keluarga besarnya
di Menoreh, kembali menjalankan tugasnya sebagai Senopati pasukan khusus
Sementara itu di utara bumi Mataram angin berhembus perlahan mengusap
lembut wajah merapi, burung – burung beterbangan kian kemari menadai kehidupan
di alam jagad raya ciptaan Sang Illahi.
“ Kyai,
apakah tidak ada keinginan untuk membantu negeri Mataram lagi ? “ tanya
sesorang yang bertubuh kurus, yang mempunyai kulit bersih,berwajah damai dengan
sorot mata penuh kelembutan. Suasana membisu, tidak terdengar jawaban.
Bongkahan
batu padas sebesar kerbau jantan itu tersusun rapi dan berjajar seolah
membentengi tempat dimana kedua orang tua itu berbicara.
“ Api ini
telah padam sejak dulu, aku tidak mempunyai kepentingan apapun, sekarang sudah
saatnya bagiku menenangkan diri dan memohon rakmat dan ridho Sang Pencipta,
sebagai bekal kelak dikemudian hari, sebenarnyalah umurku tidak akan lama lagi
“ gumam orang tua itu dalam hatinya.
Pembicaraan
kedua orang tua itu tetap berlansung beberapa lama.
“
Mengasingkan diri dengan menuntut ilmu dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta
adalah suatu perbuatan mulia, tetapi jika kemudian seseorang itu tak acuh dan
tak perduli kepada lingkungannya apakah itu di benarkan oleh ajaran agama serta
keyakinan kita kyai ? “
Percakapan
yang sebenarnya sangat menggelisahkan bagi orang tua yang duduk di batu hitam
itu. Selalu di kenang masa lalunya dan terpahat rapi didinding hatinya, suka
dan duka dalam menjalani kehidupan telah dirasakannya, berpetualang dari bang
wetan sampai ranah Pajajaran telah di lakukannya bahkan semasa mudanya pernah
mengikuti gurunya pergi ke tanah wiraraja.
Kepergiannya
selama ini, sebenarnya adalah timbulnya rasa lelah dan penyesalan serta
keputusasaannya terhadap masyarakat di lingkungannya, kepandaiannya dalam obat
– obatan telah disalah artikan.
Di
kenangnya saat itu, di padepokan Jati Anom, seseorang ibu telah datang
kepadanya sambil membawa anaknya yang sudah meninggal dunia, dengan menangis
memohon untuk bisa dihidupkan kembali anaknya, ia dengan segala
kemampuannya mencoba menjelaskan dan menyadarkan bahwasanya anak itu telah
meninggal dunia dan tidak dapat hidup kembali, tetapi rupanya sang ibu tetap
tidak mempercayainya bahkan sambil marah ibu itu menuding serta menhujatnyanya
sebagai pendusta, saat itu kebingungan telah mencengkam hatinya, karena tidak
sampai hati melihat penderitaan ibu itu akhirnya ia melakukan kesalahan yang
menurutnya tidak bisa dimaafkan.
Nampak
orang tua itu menarik nafas dalam – dalam digeleng – gelengkan kepalanya,
kegelisahan dan kecemasan tergurat jelas di wajahnya.
Terlintas
sesaat, kenangan masa mudanya, ketika dia pergi ketimur bersama gurunya dan di
perkenalkan pada seorang putri keturunan dari Adipati Tuban.
“ Sungguh
suatu kebodohan, sebenarnyalah putri itu akan terselamatkan seandainya saat itu
aku mau menerima dan membawanya “,
“
Hem.. aku masih terlalu muda saat itu“ desahnya dalam hati.
Kehampaan
hidup telah menjadi takdirnya. Penyesalan dan keputus asaan telah mendorongnya
untuk menyingkir dari lingkungannya.
Kesabaran
gurunya dan ketulusan kakeknya sangat menolongnya dalam mengarungi kehidupan
selanjutnya. Sejak saat itulah dia tenggelam dalam dalam dunia barunya,
mempelajari olah kanuragan dan kajiwan dari dua sumber yang berbeda.
Selang
beberapa tahun kemudian peristiwa pahit telah menimpanya, gurunya telah pergi
ke Demak diiringi oleh seorang Sunan dari Kudus, meninggalkannya dan tidak
pernah kembali, sedangkan ayahanda beserta ibundanya telah terlebih dahulu
kembali kepangkuan Illahi saat mengikuti perjalanan ke timur Prabu Majapahit
terakhir, hanya Empu Windujatilah satu – satunya harapan hidupnya,
tuntunan tentang kehidupan yang tidak pernah berhenti dari sang kakek dan
darah Majapahit telah menjadikannya seseorang yang tuntas kawruh ilmu perguruan
Windujati.
Atas
saran kakeknya, berangkatlah dia menuju Demak, dalam perjalanan panjangnya
selalu terngiang pesan gurunya sebelum meninggalkanya,
“
Pamungkas, mengertilah bahwa pengabdian yang sebenarnya adalah berbuat suatu
kebajikan terhadap sesama tanpa pamrih dan jauhkan nafsumu dari perbuatan
angkara dan berlindunglah hanya kepada Sang Pencipta “
Tanpa
disadarinya mata tua itu telah mengembun dan hampir menitikan air mata.
Lamunan
dan kenangan kedua tokoh tua terhenti, takkala salah satu orang tua itu
bertanya sesuatu.
“ Apakah
yang harus aku perbuat Kanjeng ? , tiada lagi kekuatan dalam raga ini, tiada
lagi api dalam dada ini dan tiada lagi angin yang bertiup di jantung hamba ini
“
Tampak
seseorang yang berwajah lembut itu menarik nafas dalam – dalam, mata hatinya
menerawang jauh kedepan, dipandanginya puncak gunung merapi itu sepuas –
puasnya. Kebimbangan juga telah melanda hatinya.
“ Kyai,
ketahuilah bahwa sampai sekarang aku menjalankan tugasku ini tanpa henti dan
tanpa terputus, siang dan malam pikiran dan tenagaku aku curahkan demi agama
serta keyakinanku terhadap Illahi Robbi, aku ingin memberikan ilmu kepada semua
orang di lingkunganku, khususnya ilmu keagamaan, aku bisa belajar agama dan
disaat bersamaan aku juga mengabdikan diri kepada lingkunganku “, diam sejenak,
lalu katanya “ Apakah kyai tidak ingin melakukan sesuatu itu seperti yang aku
lakukan, mendekatkan diri pada Sang Pencipta sekaligus mengabdi dan beramal kepada
lingkungannya sesuai dengan jalan yang di ridhoi Nya “
“ Hem....
“ desah orang tua itu,
Merapi
terasa bergetar sejenak, kedua orang tua yang sudah tuntas pengetahuan lahir
dan bathinnya itu serentak memandang puncak Merapi. “ Semoga ini bukan pertanda
dari pembicaraan kita, Kyai “ desisnya. “ Baiklah Kanjeng Sunan, berilah
petunjuk kepada hamba, bagaimana cara dan saat hamba harus memulai, sebagai
murid, hamba akan menjunjung tinggi segala titah Kanjeng Sunan “ berkata orang
tua itu dengan kepala tertunduk.
Orang tua
yang di panggil Kangjeng Sunan itu terdiam, dipandanginya orang tua yang duduk
didepannya, dan tak lama kemudian katanya, “ Raden, sebaiknya memulai
pengabdian tidak harus dengan keterpaksaan, yakinlah bahwa apa yang Raden
lakukan saat ini dan yang akan datang akan selalu mendapat ridho dari Alloh
SWT, aku akan selalu dekat dengan Raden dimanapun berada “. Kanjeng Sunan Muria
berhenti sejenak dan berdiri berjalan kedalam gua yang tidak terlalu dalam itu
dan berhenti di depan mata air kecil, diambilnya air itu dengan kedua tangan
terbuka dan segera dibasuhkan ke wajahnya.
“
Kemarilah Raden “ panggilnya.
Raden
Pamungkaspun berdiri dan berjalan kearah Sunan Muria.
“ Ramanda
Sunan Kalijaga sering melakukan perbuatan seperti ini, mendekatlah Raden “
pinta Sunan Muria, seakan ingin menunjukan sesuatu kepada sahabat sekaligus
muridnya itu.
“
Lihatlah batu besar itu, bukankah kita sudah beberapa hari tidak makan dan
minum ?, seharusnya semalam kita boleh udar tirakat, tetapi tidak ada makanan
yang bisa kita makan sampai saat ini “
Raden
Pamungkas terdiam, berpikir sejenak, kira – kira apa yang akan dilakukan oleh
Sunan Muria itu.
“
Sebaiknya kita sudahi saja Raden, tirakat kita saat ini “.
Selesai
bicara tampak Sunan Muria berjalan kearah batu besar itu dan mengetuk batu
besar itu dengan telunjuk jarinya dan diulanginya sekali lagi.
Keluarlah
air dari batu besar itu dan segera di minum oleh Sunan Muria.
“
Silahkan minum Raden “ kata Sunan Muria kepada Raden Pamungkas.
Kyai
Gringsing terkejut bukan buatan, dipandanginya batu itu tanpa berkedip, terasa
perlahan dadanya berdebar – debar, tanpa disengaja ditajamkannya penglihatan
bathinnya, sebagai orang tua yang telah kenyang manis asinnya kehidupan tentu
dia tidak akan mudah dibohongi dengan ilmu semu atau sejenisnya.
“
Sentuhlah air itu Raden, itu bukan bentuk semu atau ilmu panggada soca “ kata
Sunan Muria seolah tahu apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh sahabatnya itu.
Seperti
tersedot pusaran kali progo dengan gemetar tangan Kyai Gringsing telah menyentuh
air yang keluar dari batu itu, didalam pengetahuannya belum pernah dijumpainya
sebuah ilmu seperti itu.
Melihat
keheranan di wajah sahabatnya itu, Sunan itupun berkata, : “ Raden dapat
melakukan seperti yang aku lakukan ataupun ayahanda lakukan, cobalah Raden “
“ Ampun
Kanjeng Sunan, hamba sudah menguasai berbagai ilmu kanuragan dan kajiwan tetapi
ilmu Kanjeng Sunan hamba tak akan pernah bisa melakukannya “ jawabnya lirih.
Sunan
Muria tersenyum, dijawabnya,” Raden, sesungguhnya ilmu itu sangatlah luas dan
melebihi apa yang bisa kita lihat didunia ini, melebihi luasnya laut dan
hamparan tanah di bumi ini, ada ilmu untuk memelihara, ada juga ilmu untuk
merusak “,
Gua yang
tidak terlalu dalam itu seolah menjadi saksi bisu, tampak jubah Kanjeng Sunan
yang semula putih bersih sudah berubah warna menjadi kecoklatan.
“ Ilmu
yang lain adalah ilmu untuk mencipta “
Bergetar
rasa syukur di hati Kyai Gringsing mendengarkan petunjuk Sunan Muria itu,
ternyata di usia tuanya dia masih diberi kesempatan untuk lebih memahami dan
mendekat pada DzatNYa
Masih
dengan wajah tenang tersungging senyum yang tulus, Sunan itu mendekat dan di
jabat tangan sahabatnya itu, “ Berdoalah Raden sesuai dengan tuntunanku dan
memoholah padaNYa dengan sekuat hati Raden, mintalah sesuatu yang seperti aku
lakukan, insya Alloh Raden akan mendapatkan rahmat dan ridhoNya “
Tiada
hujan tetapi serasa terdengar halilintar menyambar dan meledak di mulut
gua itu, pandangan mata Kyai Gringsing tampak kabur, lehernya terasa tak mampu
menahan berat kepalanya, jari – jemarinya pun terasa tiada bertulang. “ Ya
Gusti Pangeran penentu semua kehidupan di alam jagad raya, berilah hambamu ini
kemurahan dan keridhoanMu “ doanya.
Setelah
melaksanakan kewajibannya, duduklah kembali Raden Pamungkas diatas sebuah batu
hitam, orang tua itu memejamkan matanya, memanjatkan doa permohonan kepada
Illahi Robbi sesuai tuntunan Sunan Muria.
Dalam
keheningan, Sunan Muria telah berdiri menghadap pada sahabatnya itu, di
julurkan ke dua belah tangan dan berhenti tepat diatas kepala Kyai Gringsing,
tampaklah kabut tipis seolah keluar dari telapak tangan itu dan masuk ke raga
sahabatnya lewat cakra mahkota, sekejap kemudian terlihat tubuh Kyai Gringsing
bergetar pelan.
Sembari
menarik nafas pelan sekali, Sunan Muria mundur dua langkah dan dibiarkannya
Raden Pamungkas menyelesaikan semedinya.
Tak lama
kemudian, Kyai Gringsing telah membuka matanya dan menyembah Sunan Muria seraya
menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
“ Bukan
kepadaku Raden, berterima kasihlah kepada Sang Pencipta alam semesta dan
Junjungan Kita, sebenarnyalah sesuatu akan terjadi terjadilah bila Illahi Robbi
menghendaki, nah sekarang lalukan seperti apa yang sudah aku perbuat Raden “
perintah Kanjeng Sunan.
Orang tua
itu berdiri dan bergeser perlahan mendekati batu besar yang telah mengeluarkan
air itu, dengan ragu – ragu dirabanya batu itu, tanpa sadar ia menoleh ke Sunan
Muria.
“ Semoga
tempat ini nantinya di kemudian hari terdapat air yang melimpah dan banyak
dikunjungi orang, meskipun letaknya di lereng gunung “ ujar Sunan Muria.
Dengan
ketetapan hati dan kepasrahan terhadap Penciptanya diketuklah batu itu dengan
telunjuknya dan diulanginya sekali lagi, sebentar kemudian basahlah bartu itu
dan segera memancarkan air meskipun kecil.
“
Subhanalloh “ gumam orang tua itu memanjatkan syukur.
Dengan
tersenyum Sunan Muria berjalan keluar gua itu dan Raden Pamungkas mengikutinya
dari belakang, mereka menuju sebuah pohon mahoni, mereka duduk bersila.
“ Sebaik
– baiknya manusia adalah apabila dia bisa bermanfaat bagi sesamanya dan
berjalan di arah yang telah di tentukanNYA dan menjauhi semua laranganNYA, “
kata Sunan Muria, diam sejenak, selanjutnya, “ sebelum Raden memulainya, aku
telah menyiapkan sesuatu yang akan sangat membantu tugas Raden berikutnya, dan
untuk Raden aku berikan kediamanku diatas bukit itu sebagai tempat terakhir
bagi Raden jika saatnya tiba, tetap berdekatan denganku, aku ingin memenuhi
pesan ayahanda Sunan Kalijaga “, kata – kata itu mengalir bagai air padasan
menitik di hati Raden Pamungkas.
Sejenak
Raden Pamungkas mengangkat wajahnya, dipandanginya Sunan Muria itu dengan
berbagai pertanyaan.
“ Baiklah
Raden, aku berterus terang, bahwa selama aku mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga
aku telah ditempa ilmu kajiwan dan kanuragan, saatnya di desa Kadilangu,
ayahanda berkata,” Anakku, dalam menyebarkan dan menjaga agama baru ini engkau
haruslah kuat lahir dan bathin, pada saatnya nanti akan ada seseorang yang akan
membantumu, akan muncul seseorang yang mempunyai darah dari Bang wetan dengan
ciri – ciri seperti ini, bahwa orang itu selalu membawa benda panjang dan
lentur menyerupai cambuk dan dalam ikat pinggangnya selalu terselip ramuan dari
empon – empon terutama daun jati “ Kanjeng Sunan Muria berhenti sejenak,
dihirupnya udara lereng merapi itu, lalu terusnya, “ Raden, aku telah
mengikutimu dan memperhatikanmu sejak Raden membantu berdirinya Mataram, saat
Raden bermain hantu – hantuan dan bernama Kyai Dandang Wesi. Juga tentang Kyai
Damar seorang dukun yang dipercaya dapat menyembukan penyakit yang diakibatkan
oleh hantu Mentaok meskipun itu hanya sebuah cerita ngayawara, apakah Raden
Ingat ? “
Raden
Pamungkas yang tak lain adalah kyai Gringsing itu tampak tertawa perlahan,
dihadapannya duduk seseorang Wali waskita, dengan penuh kesadaran di lihatnya kedalam
dirinya sendiri, akhir perjalanan hidupnya telah membawanya kepada putra dari
Sunan Kalijaga, seorang Ulama yang sangat di kagumi oleh kakenya,Empu Widujati.
“
Sudahlah Raden, aku harus segera kembali keutara, para santri dan masyarakatku
pasti telah menungguku, aku sangat berharap Raden mengerti semua yang telah aku
sampaikan, ketenangan dan kedamaian sangat di perlukan oleh lingkungan kita,
sedangkan ketenangan dan kedamaian itu tidak akan tercipta dengan sendirinya,
selama manusia tetap mengagungkan nafsunya dan selama masyarakat kita lupa dan
tidak mau belajar tentang kehidupan dan DzatNya maka selama itu kehadiran Raden
akan tetap selalu dibutuhkan, “
Angin
semilir membelai wajah putra Sunan Kalijaga itu, terdengar kemudian
wejangannya,
“ Aku bangga
mempunyai sahabat seperti Raden, mau belajar dengan tekun dan memperdalam
ajaran yang telah aku sampaikan, ketahuilah, saat sekarang Raden telah
mempunyai apa saja yang seharusnya di punyai seseorang, bersiaplah Raden
kewajiban telah menunggu “
Kyai Gringsing
mendengarkan semua perkataan Sunan Muria dengan seksama, dicernanya setiap kata
dan seolah telah disimpannya dalam kampil yang telah ia siapkan dan diletakan
di dalam relung kalbunya.
“ Raden
pergilah sementara waktu ke barat, berhentilah pada bangunan masjid yang
terletak di lingkungan kasultanan Cirebon, temuilah seseorang yang bernama
Rahadian Silirespati dan berikan kampil ini “ ujar Sunan Muria sembari
memberikan kampil kepada Kyai Gringsing, selanjutnya, “ Rahardian Silirespati
akan membantu mempersiapkan semua kebutuhan Raden dan sebelum pergi silahkan
Raden mandi di belumbang yang telah aku bersiapkan di dalam gua yang tidak
terlalu dalam itu, dan pada purnama ke enam mendatang kita akan bertemu kembali
di Muria “
Mendengar
permintaan itu, Kyai Grinsing tampak menganggukkan kepalanya, mulutnya terasa
terbungkam tak satu patah katapun yang bisa diucapkannya, kecuali perkataan, “
Terima kasih Kanjeng Sunan, hamba akan melaksanakan semua titah, mohon doa
restunya, semoga hamba bisa memenuhi kewajiban ini “
“ Aku
mohon diri Raden, aku menunggumu pada purnama ke enam “
Setelah
mungucapkan salam, Sunan Muriapun segera membalikan badan dan berjalan menjauhi
Kyai Gringsing.
Sesaat
kemudian duduklah kembali orang tua itu, pikirannya terbang kemana–mana, tanpa
disadarinya terbayang wajah muridnya yang tengah mengabdi pada Mataram, seorang
yang sangat patuh terhadapnya dan telah mewarisi segala ilmu yang ia miliki. “
Akankah aku akan betemu dengan Agung Sedayu lagi ? “ desisnya.
Senja
telah memeluk merapi, udara dingin telah menyentuh kulitnya “ Baiklah, saatnya
aku mempersiapkan diri sesuai petunjuk Kanjeng Sunan “ gumam Kyai
Gringsing. Dilangkahkannya kakinya menuju ruangan di dalam gua itu.

Kehidupan terus berlangsung dengan segala keindahannya, meskipun terkadang
timbul gejolak yang akan membuat kepedihan, matahari akan terus bersinar,
anugerah ilahi akan selalu menyelimuti alam jagat raya yang penuh misteri.
Di tanah Perdikan menoreh, hamparan padi terbentang luas, keelokan
pemandangan alam yang tiada duanya, hari yang cerah dan langitpun nampak bersih
membiru, terlihat Sukra dan Glagah putih saling bahu membahu mencangkul
galengan sawah garapan keluarga Agung Sedayu, panas terik matahari tidak
dihiraukannya, terlihat semakin bertambah dewasa dan tubuh Sukra semakin kekar,
kulitnya sawomatang dengan sedikit hitam tersengat matahari Menoreh.
“ Sukra,
galengan air harus sering kita bersihkan supaya tanaman padi kita dapat tumbuh
subur dan kelak pada saatnya kita akan memetik hasil panen yang memuaskan “
kata Glagah Putih sembari mengayunkan cangkulnya.
Terdengar
Sukra tertawa renyah, dipalingkannya wajah nya yang ceria itu ke arah Gragah
Putih, dan jawabnya singkat, “ iya kakang “
“ Tidak
hanya itu, kita harus juga memperhatikan sumber dari air yang mengalir di
galengan ini, sumber air itu harus terjaga, karena sebenarnyalah tanaman padi
sangat bergantung pada berapa banyak air yang menggenanginya “.
Sekali
lagi terdengar Sukra tertawa tetapi dengan nada yang berbeda dan tidak menjawab
sepatah katapun.
“ He..
kenapa kau tertawa saja, “ kata Glagah Putih dengan nada kesal.
Masih
terdengar suara tertawa Sukra, kali ini ayunan cangkulnya berhenti,
dipandanginya sepupu Ki Rangga itu dengan mata sedikit melotot sambel digeleng
– gelengkan kepalanya, katanya,
“ Kenapa
kakang menasehati aku ? Bukankah hampir setiap hari bersama Ki Jayaraga aku kemari,
melihat air, melihat padi, melihat burung – burung yang hinggap di sawah kita
ini “, diam sejenak dan lanjutmya,
“
Sementara kakang selalu pergi entah kemana, saat datang kakang hanya makan nasi
dari hasil panen padi ini “
Penjelasan
dan jawaban Sukra mengalir deras seperi aliran air di galengan yang membasahi
kakinya.
Mendengar
semua perkataan Sukra itu meledaklah tawa Glagah Putih sampai sampai hampir
memecahkan gendang telinga Sukra.
“ Oh..
oh..maafkan aku Sukra “
“ Tidak,
tidak bisa di maafkan aku akan katakan kepada Ki Jayaraga “ jawab Sukra
bersungut – sungut.
“ Ya
sudah, nanti aku akan bicara kepada kakang Agung Sedayu, bahwa Sukra marah
padaku dan meminta agar setiap hari aku harus pergi kesawah untuk menemaninya
“,
“ Dan aku
akan meninggalkan barak pasukan khusus demi membantu Sukra di sawah “, gumam
Glagah Putih.
Mendengar
ucapan itu, mata Sukra terbelalak, wajahnya terlihat cemas dan seketika itu
berjalan mendekat ke Glagah Putih, katanya setengah merengek, “ Jangan kakang,
jangan kau lakukan itu, biarlah sawah ini aku yang mengurus bersama Ki
Jayaraga, kau dapat datang kapan saja “.
Karena
Glagah Putih masih terdiam, maka Sukrapun mengguncang-guncang lengannya.
Glagah
Putih pun segera berhenti menggoda, katanya sambil tertawa “ Ya sudah, aku akan
bicara saja ke Ki Jayaraga “,
“ Apa
yang mau kakang katakan ? “
“ Akan
aku katakan bahwa Sukra anak yang rajin, jadi selain harus mendapat kiriman
dari Mbokayu Sekar Mirah, Sukra harus mendapat perhatian yang lebih “
Sukra
mengerutkan keningnya, dipasang telinganya baik – baik demi mendengarkan ucapan
Glagah Putih berikutnya.
“
Perhatian apa ? “ pikirnya.
Sejenak
Glagah Putih terdiam dan dilangkahkan kakinya menuju gubug iyupan yang letaknya
tidak terlalu jauh, dengan perasaan gundah gulana di ikutinya setiap langkah
kakangnya itu.
“ Aku
akan memohon pada Ki Jaya Raga untuk meningkatkan olah kanuraganmu “ kata
Glagah putih membuka pembicaraan setelah keduanya duduk bersandar pada dinding
bambu yang di buat Sukra dua pekan yang lalu.
“ oh..
syukurlah, terima kasih kakang “ kata Sukra puas mendengarkan jawaban itu.
Semilir angin datang serasa membelai tubuh mereka, perasaan lelah dan kantuk seakan datang tanpa di undang.
Semilir angin datang serasa membelai tubuh mereka, perasaan lelah dan kantuk seakan datang tanpa di undang.
“ Kakang,
apakah kau tidak pergi kebarak pasukan khusus ? tanya Sukra kepada Glagah Putih
yang tampak memejamkan matanya.
“ Tidak
Sukra, aku bersama mbokayumu Rara Wulan mendapat istirahat hari ini dan esok “
jawab Glagah Putih
“ Kakang,
apakah aku boleh bertanya sesuatu ? “ tanya Sukra saat mereka beristirahat
sambil menunggu Rara Wulan membawa kiriman.
Kening Glagah putih tampak berkerut, jawabnya : “ Tentu boleh Sukra, asalkan jangan tanya tentang makanan yang dikirim oleh mbokayumu “. Sukra tertawa mendengar jawaban Glagah putih.
Kening Glagah putih tampak berkerut, jawabnya : “ Tentu boleh Sukra, asalkan jangan tanya tentang makanan yang dikirim oleh mbokayumu “. Sukra tertawa mendengar jawaban Glagah putih.
“ Ayo,
tanya apa ? “ desak Glagah putih. Sukra kaget dan tampak kebingungan.
“ He., kenapa kau ini, baru saja tertawa dan sekarang kebingungan “
“ Aku lupa kakang, aku benar – benar lupa, apa yang mau kutanyakan “ jawab Sukra sambil berdiri menjauhi Glagah Putih.
“ He., kenapa kau ini, baru saja tertawa dan sekarang kebingungan “
“ Aku lupa kakang, aku benar – benar lupa, apa yang mau kutanyakan “ jawab Sukra sambil berdiri menjauhi Glagah Putih.
“ Ohhh..
kucing kecil... kau mengangguku lagi ya “ kata Glagah Putih dengan mata melotot
dan siap mengejar Sukra. Mengetahui apa yang bakal terjadi terhadap dirinya,
Sukra pun bergeser menjauh dan siap ambil langkah seribu kembali ke rumah ki
Rangga dan berlindung di balik punggung Rara Wulan.
“ Oh. .
kakang, bagaimana aku bisa hidup dengan leher terputar “ kata Sukra seolah
minta penjelasan. “ Lagi pula Ki Rangga pasti marah padamu, sebab aku murid
terkasih Ki Rangga .”
Mendengar
bualan Sukra, mau tak mau Glagah putih tersenyum dan duduk kembali di tanah,
disandarkannya tubuhnya di tiang gubug iyupan itu. Tak lama kemudian datanglah
Rara Wulan membawa kiriman makan siang mangut lele, ketiganya bersantap lahap.
Tidak
jauh dari pada mereka, dua pasang mata dengan tajamnya mengamati gerak gerik ke
tiga orang keluarga Ki Rangga itu. “ Mereka adalah keluarga Ki Rangga, mereka
termasuk orang - orang yang harus mendapat pelajaran “ gumam salah seorang itu
dalam hatinya.
“
Bagaimana kakang, apa yang kita lakukan sekarang ?“ tanya seseorang dengan ikat
kepala hitam itu.
Seseorang lagi dengan pakaian lurik tampak mengerutkan keningnya. Tidak segera dijawabnya pertanyaan adik seperguruannya itu.
Seseorang lagi dengan pakaian lurik tampak mengerutkan keningnya. Tidak segera dijawabnya pertanyaan adik seperguruannya itu.
Di
perhatikannya Glagah Putih sejenak, lalu katanya, “ Kita datangi mereka dan
kita sampaikan maksud guru kita,”
“ Tetapi
kakang, apakah kita tidak sebaiknya menunggu kehadiran guru, “ sahut seorang
yang memakai ikat kepala hitam.
“ Kapan guru datang ? “ tanya seorang lagi
“ Tidak lama lagi, wayah sepi wong “ jawab adik seperguruannya
“ Tangan ini sudah gatal, penghinaan Mataram terhadap perguruan – perguruan di daerah timur tidak bisa di maafkan, “ gumamnya
“ Baiklah, kita menunggu kehadiran guru, supaya semuanya berjalan sesuai rencana, “ lanjut orang yang berpakaian lurik itu.
“ Kapan guru datang ? “ tanya seorang lagi
“ Tidak lama lagi, wayah sepi wong “ jawab adik seperguruannya
“ Tangan ini sudah gatal, penghinaan Mataram terhadap perguruan – perguruan di daerah timur tidak bisa di maafkan, “ gumamnya
“ Baiklah, kita menunggu kehadiran guru, supaya semuanya berjalan sesuai rencana, “ lanjut orang yang berpakaian lurik itu.
Tidak
menunggu jawaban adik seperguruannya, orang berbaju lurik itu langsung bergeser
dan segera meninggalkan tempat persembunyiannya, sementara itu orang dengan
ikat kepala hitam itu mengikutinya dari belakang.
Kepergian
mereka ternyata tak luput dari perhatian Glagah Putih, tanpa sadarnya anak muda
itu menarik nafas panjang. Kelezatan masakan Rara Wulan menjadi sedikit
berkurang ketika mendengar Glagah Putih berbicara,
“ Wulan, apakah kau tadi pergi dari rumah ada seseorang yang mengikutimu ? " tanya Glagah putih memecahkan kesunyian.
Serentak Rara Wulan dan Sukra memandang Glagah Putih. “ Aku kurang mengamati keadaan ketika itu kakang “ jawab Rara Wulan,
“ Apakah kakang telah melihat sesorang yang mengawasi kita ? “ tanya Sukra cemas.
“ Wulan, apakah kau tadi pergi dari rumah ada seseorang yang mengikutimu ? " tanya Glagah putih memecahkan kesunyian.
Serentak Rara Wulan dan Sukra memandang Glagah Putih. “ Aku kurang mengamati keadaan ketika itu kakang “ jawab Rara Wulan,
“ Apakah kakang telah melihat sesorang yang mengawasi kita ? “ tanya Sukra cemas.
Glagah
putih menarik nafas sejenak, menganggukan kepala, lalu katanya,
“ Benar Sukra, aku melihat dua orang memperhatikan kita, tetapi sekarang sudah pergi “ , berhenti sejenak, lalu, “ Mungkin akulah yang terlalu berprasangka .“
Bagi Rara Wulan dan Sukra tentu Glagah Putih tidak membual, mereka tahu betul siapa Glagah Putih itu. Mereka terdiam dan menunggu perkembangan keadaan.
.
Setelah menyelesaikan makan siang, segera Rara Wulan dan Sukra mengemasi peralatan yang mereka bawa, tak lama kemudian mereka mendengar ajakan Glagah putih.
“ Marilah kita pulang “ ajak Glagah Putih kepada Rara Wulan dan Sukra memecah kesunyian, “ Nanti kita beritahukan kepada Kakang Agung Sedayu, semoga tidak ada hal hal yang dapat mengganggu ketenangan di tanah ini “.
“ Benar Sukra, aku melihat dua orang memperhatikan kita, tetapi sekarang sudah pergi “ , berhenti sejenak, lalu, “ Mungkin akulah yang terlalu berprasangka .“
Bagi Rara Wulan dan Sukra tentu Glagah Putih tidak membual, mereka tahu betul siapa Glagah Putih itu. Mereka terdiam dan menunggu perkembangan keadaan.
.
Setelah menyelesaikan makan siang, segera Rara Wulan dan Sukra mengemasi peralatan yang mereka bawa, tak lama kemudian mereka mendengar ajakan Glagah putih.
“ Marilah kita pulang “ ajak Glagah Putih kepada Rara Wulan dan Sukra memecah kesunyian, “ Nanti kita beritahukan kepada Kakang Agung Sedayu, semoga tidak ada hal hal yang dapat mengganggu ketenangan di tanah ini “.
Matahari
bergerak tak terasa, Glagah putih, Rara Wlan dan Sukrapun telah sampai dirumah.
Glagah Putih tahu baru menjelang sore Ki Rangga akan datang kembali kerumah,
jadi mereka tidak tergesa – gesa berceritera, meskipun kepada Sekar Mirah dan
Ki Jayaraga.
Di rumah
Ki Rangga, dua orang perempuan berbeda usia tengah sibuk berbincang,
“ Rara, apakah kirimanmu tadi tidak mendapat celaan dari Sukra “ tanya Sekar Mirah sambil berjalan menuju dapur, ruangan di mana Rara Wulan berdiri, tampak tangannya sibuk mengikat rambutnya yang panjang.
“ Rara, apakah kirimanmu tadi tidak mendapat celaan dari Sukra “ tanya Sekar Mirah sambil berjalan menuju dapur, ruangan di mana Rara Wulan berdiri, tampak tangannya sibuk mengikat rambutnya yang panjang.
Rara
Wulan tersenyum mendengar pertanyaan mbokayunya Sekar Mirah, sembari jari
lentiknya mengupas buah mentimun, lalu jawabnya, “ Hari ini tidak ada celaan
mbokayu, dia makan lahap sekali. “
“ Tentu
dia makan lahap sekali, he.. bukankah mangut lele, tumis kangkung dan tempe
garit itu makanan kesenangan Sukra “ kata Sekar Mirah sembari tertawa.
Rara Wulan tertawa, di pandanginya tubuh Sekar Mirah yang terlihat semakin gemuk.
Rara Wulan tertawa, di pandanginya tubuh Sekar Mirah yang terlihat semakin gemuk.
“ Sehari
ini Rara, badanku terasa panas dan pinggangku sedikit pegal “ keluh Sekar
Mirah. Mendengar keluhan itu, tampak Rara Wulan tersenyum didatanginya
mbokayunya, sambil berkata,” Tentu saja, semakin hari semakin besar perut
mbokayu, tentu semakin berat “.
.
Tangan Rara Wulan memegang pinggang dan perut Sekar Mirah, lalu katanya, “ Mbokayu, kata orang – orang tua, juga ibuku, bahwa orang hamil itu banyak sekali perubahan, tidak hanya tubuhnya tetapi juga bathinnya. Seringkali berkelakuan aneh dan sulit dipahami bahkan oleh suaminya sendiri.“
.
Tangan Rara Wulan memegang pinggang dan perut Sekar Mirah, lalu katanya, “ Mbokayu, kata orang – orang tua, juga ibuku, bahwa orang hamil itu banyak sekali perubahan, tidak hanya tubuhnya tetapi juga bathinnya. Seringkali berkelakuan aneh dan sulit dipahami bahkan oleh suaminya sendiri.“
Sekar
Mirah sebenarnyalah juga sudah terlalu sering mendengar nasehat orang tua
perihal kehamilannya itu, kegelisahan selalu muncul seiring umur kandungannya
itu, betapa tidak, usianya sudah tidak muda lagi dan ini merupakan kehamilan
pertamanya.
“ Kurang dari dua purnama, aku akan melahirkan, aku akan minta kakang Sedayu untuk dirumah saja “ gumamnya lirih.
“ Kurang dari dua purnama, aku akan melahirkan, aku akan minta kakang Sedayu untuk dirumah saja “ gumamnya lirih.
Rara
Wulan melihat rasa cemas diwajah Sekar Mirah, katanya,” Tidak usah cemas
apalagi khawatir mbokayu, kami semua akan membantu dan menunggui mbokayu, dari
awal hingga selesai, biarlah aku minta ijin khusus kepada Ki Rangga “,
“ Bukankah menurut mbokayu masih kurang dari dua purnama, bukan ? ”
“ Bukankah menurut mbokayu masih kurang dari dua purnama, bukan ? ”
Percakapan
terus berlanjut, ke dua perempuan itu banyak membicarakan keperluan dan
persiapan menyambut datangnya keturunan Ki Rangga Agung Sedayu.
Hujan
gerimis mengguyur Menoreh, Ki Rangga tengah memacu kudanya menuju rumahnya, ia
tak ingin bajunya basah kuyub yang nantinya akan membuat Sekar Mirah sibuk.
Seperti
lelaki kebanyakan, Ki Rangga turun dari kudanya dan mengikatnya di tempat
biasanya, sambil berjalan ke pintu ia mengucap salam.
Dibukanya pintu perlahan dan segera dilihatnya Sekar Mirah dengan perut yang semakin besar tengah jalan kearahnya.
Dibukanya pintu perlahan dan segera dilihatnya Sekar Mirah dengan perut yang semakin besar tengah jalan kearahnya.
“
Bagaimana keadaanmu Mirah “ tanya Ki Rangga sambil menuntun istrinya duduk di
kursi berukiran Jepara yang merupakan pemberian Ki Patih Mandaraka.
“ Baik
kakang, hanya pinggangku terasa pegal – pegal “, sahut Sekar Mirah, “ Apakah
dalam dua purnama kedepan kakang ada tugas dari Mataram atau tugas apapun dari
siapapun “ tanya Sekar Mirah dengan wajah memelas.
Bergetar
hati Agung Sedayu menghadapi pertanyaan istrinya, belum pernah sekalipun
sepanjang usia perkawinannya ia mendapat pertanyaan seperti itu. Kebingungan
sesaat hinggap di benaknya, dengan sabar di jawabnya,
“ Aku belum ada pemberitahuan sampai saat ini Mirah, semoga saja tidak ada tugas yang mendesak, Mataram sekarang ini mempunyai banyak sekali senopati yang mempunyai bekal yang tinggi dan tersebar dimana – mana “
“ Aku belum ada pemberitahuan sampai saat ini Mirah, semoga saja tidak ada tugas yang mendesak, Mataram sekarang ini mempunyai banyak sekali senopati yang mempunyai bekal yang tinggi dan tersebar dimana – mana “
“ Tetapi
kakang, aku tahu bahwa Ki Patih Mandaraka sangat mengandalkan kakang dalam
segala bidang tugas, bahkan Panembahan Hanyakrawati sangat percaya kepada
kakang “ desak Sekar Mirah.
“
Tenanglah Mirah, aku akan mendampingimu saat – saat kau perlukan, aku berjanji
“ kata Agung Sedayu sambil memegang tangan istrinya.
Mendengar
ucapan suaminya terasa hati Sekar Mirah seperti di guyur air padasan, tanpa
sadarnya telah menitik air matanya.
“
Sudahlah, kita memohon kepada Sang Pencipta semoga kita diberi perlindungan dan
kelancaran serta kesehatan untukmu dan bakal jabang bayi kita “, kata Agung
Sedayu lirih ditelinga istrinya.
Malam
semakin larut terrdengar suara kentongan dengan nada dara muluk dari banjar
padukuhan induk, Glagah Putih tampak duduk gelisah dibibir pembaringannya,
kejadian siang tadi masih lekat diingatannya,
“ Aku
akan keluar sebentar melihat Sukra dan Ki jayaraga, apakah mereka sudah selesai
dengan latihannya ? “ kata Glagah Putih kepada istrinya.
“ Silahkan kakang, kalau sudah selesai, cepatlah kembali “ jawab istrinya manja.
“ Silahkan kakang, kalau sudah selesai, cepatlah kembali “ jawab istrinya manja.
Terdengar
pintu berderit, Glagah putihpun segera melangkahkan kakinya keluar , tidak
langsung menuju sanggar tempat berlatih Sukra melainkan menuju pendapa,
diedarkannya pandangannya berkeliling menatap halaman yang cukup luas seakan
ada yang di carinya, sebentar kemudian langkahnya telah menuju regol.
Berdiri
di tengah halaman, di pandanginya pintu regol itu seolah olah belum pernah
pintu itu dilihat sebelumnya, dahinya semakin berkerut, segera ia membalikan
badannya, dipandanginya seluruh bangunan rumah kakak sepupunya, kerut di
keningnya semakin dalam dan terasa hatinya berdebar takkala melihat pintu rumah
pada bangunan induk itu.
“ Ada apa
ini ? dadaku semakin berdebar – debar “ katanya dalam hati.
Tanpa
sadar diayunkan langkahnya menuju sudut halaman dan dia berhenti dibawah pohon
jambu air yang di tanam Sukra, di perhatikan juga sanggar tempat Ki Jayaraga
menuntun Sukra tetapi sudah gelap,
“ Rupaya Ki Jayaraga telah selesai, “ gumamnya.
“ Rupaya Ki Jayaraga telah selesai, “ gumamnya.
Beberapa
saat dia berdiam diri, di cobanya mempertajam pendengarannya, tapi dia tidak
menemukan sesuatu. Glagah Putih adalah anak muda yang sangat terlatih, sebagai
murid Ki Jayaraga tentu dia tidak mengecewakan. Dengan sekali hentak tubuhnya
telah meluncur dan hinggap didinding pembatas rumah.
Dengan
posisi jongkok dia memadang berkeliling sekitar rumah itu, sekali lagi dia
tidak menemukan hal – hal yang mencurigakan.
“ Rupaya
aku terlalu perasa “ desisnya, Glagah Putihpun segera meluncur turun dan
berjalan menuju pendapa.
Belum
beberapa langkah dia bergerak, tiba – tiba terasa sentuhan halus di pundaknya.
Alangkan terkejutnya Glagah Putih, darahnya terasa tersirap, tubuhnya terlonjak dengan gerak naluriah ia melenting kedepan dan segera memutar badannya dengan kesiagaan sepenuhnya.
Alangkan terkejutnya Glagah Putih, darahnya terasa tersirap, tubuhnya terlonjak dengan gerak naluriah ia melenting kedepan dan segera memutar badannya dengan kesiagaan sepenuhnya.
“ Kau
belum tidur Glagah Putih “, terdengar kakak sepupunya berkata kepadanya sembari
tertawa kecil.
“ Ah.. kakang mengejutkanku “ desahnya.
“ Kau terkejut ? “ tampak senyum menghiasi bibir kakak sepupunya.
“ Apa yang kau rasakan selain terkejut ? “
“ Ah.. kakang mengejutkanku “ desahnya.
“ Kau terkejut ? “ tampak senyum menghiasi bibir kakak sepupunya.
“ Apa yang kau rasakan selain terkejut ? “
“ Aneh
kakang, dadaku terasa berdebar – debar,sedangkan aku tidak melihat apapun atau
sesuatu yang aneh “
“
Bersyukurlah, itu artinya pranggaitamu sudah semakin tajam Glagah Putih “
terdengar suara lain dari arah sanggar dan betul saja, nampak Ki Jayaraga
berjalan ke arah mereka berdua.
“ Selamat
malam guru, “ sapa Glagah Putih,
Setelah
menjawab salam, Kyai Jayaraga mengajak mereka berdua duduk di pendapa.
Malam
semakin larut, suara kentongan dengan nada dara muluk kembali terdengar. Tanah
Perdikan Monoreh telah tertidur lelap, hanya para pengawal yang bertugas jaga
saja yang tetap berada di gardu – gardu penjagaan, bahkan Sukra dalam tidurnya
telah bermimpi indah, bertemu dengan sayur lodeh, urapan dengan ikan asin
berserta sambal terasinya, ia mendekur dengan irama yang teratur.
Udara
malam yang dingin seakan bertambah dingin , udara malam telah membawa sesuatu
yang menghempas kesadaran mereka, membuai dan menidurkan.
“ Sirep
ini semakin kuat, “ desis Ki Jayaraga
Ki Rangga
tersenyum, dan Glagah Putih terlihat wajahnya tampak kesal, di pendapa,
mereka bertiga tengah duduk, seakan menunggu akan hadirnya sesuatu di tengah
malam, semuanya diam.
Malam
semakin dalam, tiba – tiba Agung Sedayu mengangkat kepalanya, terlihat dia
memandang pintu regol dan berkata, “ Selamat malam ki sanak semuanya, silahkan
masuk, tidak sepantasnya tengah malam berdiri didepan pintu “. Bersamaan pula
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun memandang ke arah pintu regol.
Tak lama,
dalam kegelapan malam beberapa bayangan meluncur bagikan terbang hinggap di
dinding halaman, sesaat kemudian telah mendarat di halaman rumah Ki Rangga dan
mereka bertiga telah melangkah menuju pendapa rumah.
“ Betapa
sombongnya kau Ki Rangga “ dengus seseorang yang tampaknya adalah pemimpin dari
orang – orang itu.
Di
pendapa, Ki Rangga, Ki Jayaraga dan Glagah Putih sudah berdiri dan bersiap
menyambut kadatangan orang – orang tak di kenal itu.
“
Silahkan naik ke pendapa ki sanak “ kata Ki Rangga mempersilahkan tamunya.
“ Tidak
perlu, kemarilah kau Ki Rangga ! " kata orang itu yang berdiri di tengah
halaman sambil bertolak pinggang.
Terdengar
gemeretak gigi Glagah Putih, dia sudah tidak sabar lagi, seandainya kakak
sepupunya tidak disampingnya, seandainya gurunya tidak disisinya maka tentu
sudah di terjangnya orang itu.
“ Tamu
tidak tahu diri “ geramnya.
Ki
Jayaraga diam saja di biarkannya Ki Rangga berbicara. Terdengar Senopati
Pasukan khusus Mataram itu tertawa perlahan dan segera turun ke halaman diikuti
oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
“ Ada
keperluan apa kisanak bertiga datang kemari ?” bertanya Ki Rangga.
Tanpa
menjawab pertanyaan Ki Rangga, orang tua yang bertubuh sedang dengan berewok
yang telah memutih dan memakai baju berwarna hitam itu berkata “ Aku adalah
Bondan Ketapang dari Argopuro dan kedua orang di belakangku adalah muridku. “
Ki Rangga
masih tampak berdiam diri, pikirannya menerawang suatu tempat di bang wetan,
sebuah gunung yang menjulang tinggi, tegak menancap kokoh sampai ke jantung
bumi.
“
Baiklah, Ki Bondan Ketapang, selamat datang di rumahku, terus terang aku belum
mengenalmu, sebaiknya kau katakan keperluanmu datang kemari “ kata Ki Rangga
kalem.
“ Guru
terlalu banyak membuang waktu, kita tantang saja mereka dan merekapun harus
menerimanya “ kata orang berbaju lurik yang ternyata bernama Singa Patrap,
sahabat dari Ki Kebo lungit dari Madiun.
Mendengar
perkataan itu, dada Glagah putih serasa pecah, tentu kedua murid Ki Bondang
Ketapang itu yang tadi siang mengamatinya.
“ Baik,
aku terima tantanganmu “ sahut Glagah Putih sambil maju kedepan, dadanya
bagaikan pecah menahan amarah, “ Mau disini atau dimana, tentukan tempatnya,
aku muak melihat kesombongan kalian “
Ki
Jayaraga dan Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam menyaksikan tingkah laku
Glagah Putih.
“
Bersabarlah, tidak baik engkau marah – marah terhadap tamu kita Glagah Putih, “
kata Ki Jayaraga yang sedari tadi berdiam diri.
“ Maaf
guru, kelakuan dan kesombongan mereka telah melapaui batas, akulah yang akan
membungkam mulut mereka, “ kata – kata Glagah Putih meluncur bagai anak panah,
melesat tanpa dapat di tahan.
“ Setan
kecil, kau belum tahu siap kami “ geram Singa Patrap.
Nafas
Glagah Putih terasa memburu, katanya,” Cepat katakan apa maumu, atau aku akan
mengusirmu, “
Nampak
Singa Patrap bergerak dan akan menjawab, tetapi gurunya telah mendahuluinya.
“ Aku
hargai keberaniamu anak muda, karena kau belum mengenal kami, tetapi setelah
kau tahu tentang kami, kau tentu akan menyesal, kami tidak pernah memberi ampun
kepada lawan – lawan kami.“
Ki Rangga
yang tengah berdiam diri itu, tiba – tiba menguap, sambil berkata, “ Maaf Ki
Bondan Ketapang, aku sudah mengantuk, waktu tidurku sudah lewat, cepat katakan
apa maumu atau aku akan pergi tidur. “
“
Bedebah, setan thethekan,” umpat Singa Patrap.
“
Ternyata kau sombong sekali Ki Rangga, baiklah, aku datang kemari dari Argopura
untuk menuntut balas atas kematian adikku Kebo Samparan yang kau bunuh secara
licik di lereng gunung Wilis.“
Jelas sudah
bagi penghuni rumah itu bahwa kedatangan ketiga orang itu tidak bermaksud baik,
bahkan mereka akan melakukan balas dendam.
Ki Rangga
mengerutkan keningnya, di ingatnya perjalanan ke timur beberapa waktu lalu
bersama Pangeran Pringgoloyo yang diiringi sepasukan kecil Mataram.
Beberapa persoalan dapat diselesaikan dengan baik tanpa benturan kekerasan, beberapa Adipati di daerah timur menerima dan mengerti pesan Panembahan Hanyakrawati, tetapi dalam perjalanan pulang rintangan demi rintangan telah menggangu utusan Mataram itu, salah satunya adalah datang dari perguruan Wilis yang di pimpin oleh Ki Kebo Samparan.
Ternyata
kematian Kebo Samparan telah membawa Ki Bodan Ketapang datang ke Menoreh dan
menemuinya.
Lamunannya
terhenti ketika mendengar tamunya, berkata, : “ Tetapi aku masih berbaik hati
Ki Rangga, aku akan menantangmu perang tanding, dua malam mendatang saat
purnama naik, aku menunggumu di gumuk kembar, jika kau tidak datang maka aku
akan membakar seluruh tanah Menoreh ini dari ujung sampai keujung. “
Keringat
dingin telah mengalir di punggungnya, balas dendam, sakit hati dan segala
persoalan kekerasan selalu mengikutinya kemana saja dia pergi, nalarnya selalu
mengatakan bahwa ini adalah akibat dari pengabdiannya terhadap sesama,
terkadang hatinya menentang tetapi disisi lain keinginannya untuk berbuat baik
terhadap sesamanya tak bisa dicegah dan bahkan sudah menjadi pedoman hidupnya.
Ki Rangga
tetap dapat menguasai dirinya betapun darahnya bergejolak hebat, di
perhatikannya Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sambil menarik nafas dalam – dalam,
lalu katanya, “ Baiklah Ki Bondan Ketapang, aku terima tantanganmu, dua malam
mendatang, malam saat purnama naik aku akan datang. “
“ Bagus,
ternyata kau berhati jantan Ki Rangga “ kata Ki Bondan Ketapang sambil membelai
janggutnya yang telah memutih.
“ Tidak
usah memuji ki, ” sahut Ki Rangga.
Tiba –
tiba salah satu murid perguruan Argopuro itu melangkah maju.
“ He.. Ki Rangga, apakah kau mempunyai ilmu kebal “ tanya orang disebelah Singa patrap yang ternyata bernama Jalak Werdi.
“ He.. Ki Rangga, apakah kau mempunyai ilmu kebal “ tanya orang disebelah Singa patrap yang ternyata bernama Jalak Werdi.
“
Ketahuilah Ki Rangga, guru kami Ki Bondan Ketapang adalah murid terkasih dari
pertapa Kumitir, di alas Kumitir. Kamilah pewaris sejati, ilmu dari seluruh
ilmu kebal yang ada di muka bumi ini.“
Terdengar
gemeretak gigi Glagah Putih, terlihat Ki Jayaraga mulai gelisah mendengar
igauan itu.
“ Singa
Patrap, majulah dan tunjukanlah salah satu ilmu kebanggaan perguruan kita “
Kata Ki Bondan Ketapang kepada muridnya, rupanya orang dari Argopura itu ingin
mempengaruhi tekat dan kemantabahn hati penghuni rumah itu.
Mendengar
permintaan gurunya dengan menengadahkan dadanya Singa Patrap maju satu langkah,
segera di persiapkan dirinya, di bangkitkannya salah satu andalan ilmunya,
segera terlihat tubuhnya seperti membara, warna merah seolah telah menyelimuti
tubuhnya.
“ Itulah
puncak dari segala ilmu kebal yang ada di muka bumi ini Ki Rangga, tubuh kami
tidak akan tembus oleh senjata apapun. “ kata Ki Bondan Ketapang dengan
bangganya, dan lanjutnya “ Itu hanya salah satu ilmu dari sekian ilmu yang kami
miliki. “
Melihat
pameran kekuatan itu, Ki Rangga diam saja, Glagah Putih akan bergerak, tetapi
Ki Jayaraga cepat menggamitnya, seraya berucap,.
“ Kyai sebaiknya segeralah pergi, saat purnama naik kyai akan bertemu dengan Ki Rangga dan pamerkan semua ilmu yang kyai punya “ kata Ki Jayaraga yang hatinya mulai tergelitik.
“ Kyai sebaiknya segeralah pergi, saat purnama naik kyai akan bertemu dengan Ki Rangga dan pamerkan semua ilmu yang kyai punya “ kata Ki Jayaraga yang hatinya mulai tergelitik.
Sementara
itu, sembari mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, terdengar Singa Patrap tertawa
terbahak – bahak, katanya “ Aku tidak akan bergerak atau melawan, cobalah
sentuhlah aku, apapun yang kau lakukan tidak akan mampu mengoyak ilmuku. “.
“ Nah, Ki
Rangga jika muridku saja mampu berbuat seperti itu, tentu kau dapat
membayangkan, apa yang kira – kira aku lakukan “ jelas Ki Bondan Ketapang
dengan nada mengejek.
Darah
Glagah Putih telah menggelegak sampai ke ubun – ubunnya, darah mudanya telah
terbakar, dia yang diam telah beringsut kesamping, sudah dari tadi
mempersiapkan diri dan akan segera bertindak.
“ Tunggu
Glagah Putih “ cegah kakaknya.
“ Apakah
kau sudah mencapai puncak dari ilmu kebalmu Singa Patrap ? “ tanya Ki Rangga
Agung Sedayu.
Kembali
terdengar Singa Patrap tertawa semakin keras, “ Kasihan kau ki Rangga, dalam
puncak ilmuku kau tidak bisa menyentuhku, bagaimana kau akan melawan melawan
guruku “ katanya.
Udara di halaman itu terasa semakin panas, tampak Ki Rangga mundur beberapa langkah.
Udara di halaman itu terasa semakin panas, tampak Ki Rangga mundur beberapa langkah.
“ Aku
peringatkan kau Singa Patrap, jangan membuat kotor halaman rumahku “ terdengar
suara Ki Rangga bergetar.
“ Lalu apa maumu, seranglah aku ! “ tantang Singa Patrap.
Udara malam yang dingin telah terasa panas menyengat kulit penghuni rumah itu.
Merasa dapat mempengaruhi ketabahan hati Ki Rangga, apalagi setelah melihat musuh gurunya itu mundur beberapa langkah, maka matanya menjadi nanar dan pikiran kotornya telah muncul.
“ Lalu apa maumu, seranglah aku ! “ tantang Singa Patrap.
Udara malam yang dingin telah terasa panas menyengat kulit penghuni rumah itu.
Merasa dapat mempengaruhi ketabahan hati Ki Rangga, apalagi setelah melihat musuh gurunya itu mundur beberapa langkah, maka matanya menjadi nanar dan pikiran kotornya telah muncul.
“ Istrimu
akan menangis dan meratapi tubuhmu Ki Rangga, kematianmu akan membuatnya
menderita dan dia akan menjadi janda seumur hidupnya dan kemudian aku akan
datang kepadanya “ kata Singa Patrap sambil tertawa terbahak – bahak.
“ Singa
Patrap, hentikan atau aku akan menghentikanmu, “ suara ki Rangga benar – benar
berubah.
“ Aku
akan membakar rumahmu, sekaligus membawa istrimu Ki Rangga “ katanya lantang.
Ki Rangga
akan diam saja betapapun dirinya di hina dan dicaci maki, merendahkan
martabatnya sebagai manusia tidak menjadikan persoalan besar bagi dirinya,
tetapi kini seseorang telah menghina istrinya, seseorang yang sangat di
cintainya, seorang wanita yang tengah mengandung jabang bayi keturunannya,
terasa dadanya menggelepar hebat, deburan ombak pantai selatan telah menghantam
keningnya, mata Ki Rangga yang semula jernih tiba – tiba menjadi buram,
senyumnya telah hilang di saput kelamnya malam, bulan yang telah menerangi
Tanah Perdikan Menoreh seolah telah hilang di telan mega, hitam pekat dan gelap
gulita.
“ Akulah
yang akan menggantikan kedudukanmu Ki Rangga, menjadi suami yang baik bagi
bekas istrimu “ masih terdengar suara Singa Patrap diiringi derai tawa yang
menyeramkan.
“ Hem ...
“ desah Ki Rangga
Ki
Jayaraga mengatubkan bibirnya rapat – rapat mendengar kata – kata yang sangat keterlaluan
itu, penghinaan yang tak dapat di terimanya, di lihatnya wajah Ki Rangga benar
– benar memerah, tiba – tiba kecemasan melintas di benaknya, apa jadinya jika
seorang Rangga Agung Sedayu Senopati Pasukan Khusus itu benar – benar marah,
sementara Glagah putih justru berdiri mematung, matanya tanpa berkedib
memandang wajah kakak sepupunya, hatinya berdebar - debar.
“ Apa
katamu, he ! orang dungu, akulah Singa Patrap yang akan menggulung Menoreh dan
segera membawa istrimu, “
Tiba –
tiba saja secepat tatit di langit, terlihat Ki Rangga meloncat, tubuhnya
bagaikan mengapung diudara dan segera turun dengan derasnya, sambil menjulurkan
tangannya menggapai dada Singa Patrap yang berdiri tegak dalam pengetrapan
puncak ilmu kebalnya.
Bumi
Menoreh terasa di guncang gempa, jeritan melengking membelah malam,
menggetarkan setiap hati yang mendengarkannya.
Sebuah pukulan seseorang yang telah kehilangan kesabarannya, seseorang yang telah kehilangan pengamatan terhadap dirinya karena kemarahan yang memuncak, seseorang yang sudah wuru kawringuten, merendahkan martabat perempuan serta penghinaan terhadap istrinya benar – benar membuatnya lupa, akibatnya dada Singa Patrap terasa terguncang hebat, terasa tertimpa batu sebesar gunung anakan, seakan lahar merapi telah menyiram tubuhnya, darahnya terasa membeku semua urat syarafnya terasa kejang, darahnya berhenti mengalir, dan seketika tubuhnya terpelanting menabrak pintu regol, terlempar keluar terseret arus yang tidak terlawan dan terbanting jatuh berguling – guling di tanah dan berhenti setelah menabrak pohon keluwih, tidak ada suara rintihan, ternyata sukma Singa Patrap telah melayang meninggalkan raganya dan melayang kembali ke Argopuro.
Sebuah pukulan seseorang yang telah kehilangan kesabarannya, seseorang yang telah kehilangan pengamatan terhadap dirinya karena kemarahan yang memuncak, seseorang yang sudah wuru kawringuten, merendahkan martabat perempuan serta penghinaan terhadap istrinya benar – benar membuatnya lupa, akibatnya dada Singa Patrap terasa terguncang hebat, terasa tertimpa batu sebesar gunung anakan, seakan lahar merapi telah menyiram tubuhnya, darahnya terasa membeku semua urat syarafnya terasa kejang, darahnya berhenti mengalir, dan seketika tubuhnya terpelanting menabrak pintu regol, terlempar keluar terseret arus yang tidak terlawan dan terbanting jatuh berguling – guling di tanah dan berhenti setelah menabrak pohon keluwih, tidak ada suara rintihan, ternyata sukma Singa Patrap telah melayang meninggalkan raganya dan melayang kembali ke Argopuro.
Tampaklah
Ki Rangga menggeram marah, bagai singa lapar yang telah lama tak menemukan
mangsanya, matanya sudah memerah, segera di balikan tubuhnya mengahadap Ki
Bondan Ketapang dan Jalak Werdi.
Sementara
itu KI Jayaraga dan Glagah Putih dengan mulut ternganga menyaksikan semuanya
itu, pertunjukan yang baru saja disaksikan betul – betul di luar nalar mereka
berdua, tanpa persiapan dan ancang – ancang , hanya dengan tangan kosong
ternyata Ki Rangga telah menumpakan amarahnya, terlihat saat itu tangan Ki
Rangga memutih seolah di balut oleh serat kapas halus nan dingin, telah masuk
menyentak serta menembus lapisan api di sekitar tubuh Singa Patrap selanjutnya
menyentuh bagian dada, serta mengguncangnya tiada henti.
Sebuah pertunjukan ilmu yang belum pernah di saksikan oleh Ki Jayaraga ataupun Glagah Putih, kedahsyatannya seakan akan melebihi ajian Rog – rog asem.
Sebuah pertunjukan ilmu yang belum pernah di saksikan oleh Ki Jayaraga ataupun Glagah Putih, kedahsyatannya seakan akan melebihi ajian Rog – rog asem.
Di pihak
lain Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi tampak membeku, menyaksikan semua itu,
terlalu cepat bagi mereka, benar – benar di luar dugaan, harapannya untuk
menjatuhkan tekat Ki Rangga benar – benar musnah, bahkan terlihat jelas lutut
Jalak Werdi gemetaran dan wajahnya terlihat pucat pasi takkala Ki Rangga
menghampirinya.
“ Aku
tidak akan menunggu Ki Bondan, aku akan menantangmu sekarang, senang atau tidak
senang, kalian semua telah menghinakan keluargaku “ geram Ki Rangga.
Suasana
sangat mencekam, tidak ada yang bergerak, semua membisu.
Mendengar suara Ki Rangga itu, kegelisahan telah hinggap di hatinya,
hampir saja Ki Bondan Ketapang kehilangan perhitungannya dan menerima tantangan itu, pikiran dan akal liciknya segera bekerja untuk mengeluarkannya dari kesulitan.
Mendengar suara Ki Rangga itu, kegelisahan telah hinggap di hatinya,
hampir saja Ki Bondan Ketapang kehilangan perhitungannya dan menerima tantangan itu, pikiran dan akal liciknya segera bekerja untuk mengeluarkannya dari kesulitan.
“ Tidak
Ki Rangga, aku tetap pada pendirianku, datanglah dua malam mendatang saat
purnama naik, aku akan menunggumu, perjanjian jantan telah kita sepakati dan
kau sebagai kesatria harus menepatinya “ jawab Ki Bondan Ketapang.
Ternyata
keributan di halaman depan itu telah membangunkan penghuni rumah Ki Rangga yang
tidak jauh dari kediaman Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu,
terdengar gerit pintu rumah induk, terlihat Sekar Mirah dan Rara Wulan telah
berdiri di muka pintu.
“ Kakang apa sebenarnya yang telah terjadi ? “ terdengar suara Sekar Mirah.
“ Kakang apa sebenarnya yang telah terjadi ? “ terdengar suara Sekar Mirah.
Mendengar
ucapan istrinya Ki Rangga tidak menoleh sedikitpun, bahkan katanya, “ Masuklah
Mirah, aku akan menyelesaikan tamu tak di undang ini “.
Ternyata
Ki Jayaraga cepat menanggapi keadaan yang cukup gawat ini, dengan sekali loncat
orang tua itu telah berdiri di depan Sekar Mirah, kakinya merenggang dengan
kedua tangan tangan menyilang dan menempel didadanya, siap melontarkan
ajiannya, apabila di perlukan, Aji Sigar Bumi.
Sementara
itu Glagah Putih telah menyiapkan ajian Namaskara sampai ke puncaknya, dengan
wajah tegang ditatapnya Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi.
“ Sekar
Mirah, untuk saat ini janganlah bertanya sesuatu kepada Ki Rangga “ perlahan
terdengar suara Ki Jayaraga.
Sebagai
seorang perempuan yang juga memiliki ilmu olah kanuragan yang mumpuni, ia
segera menyiapkan dirinya,
Rara
Wulan yang berdiri disebelahnya, segera mengingatkan tentang keadaan tubuh
mbokayunya, katanya, “ Mbokayu marilah masuk, mbokayu sedang mengandung, tentu
tidak baik bagi jabang bayi, jika mbokayu memaksakan diri, “
Mendengar
ucapan Rara Wulan, tersadarlah Sekar Mirah dan segera di pegangi perutnya, “
Oh.. “ wajahnya menegang. Tanpa beranjak dari tempatnya, Sekar Mirah memandang
kehalaman seolah memastikan keadaan suaminya.
“ Nah, Ki
Rangga yang perkasa, mungkin malam ini aku akan mati, kalian akan menyerangku
dari berbagai penjuru, tetapi ingat Ki Rangga, menjelang kematianku, aku akan
menyeret Sekar Mirah mati bersamaku dan kau akan kehilangan jabang bayi calon
keturunanmu. “
Ki Rangga
terdiam, angin malam membelai jantungnya, hatinya mulai mencair, kemarahannya
mulai menguap terbawa angin, wajahnya yang tegang telah mulai berubah.
“
Pilihlah “ terdengar kata Ki Bondang Ketapang sambil matanya melirik Jalak
Werdi seraya memberi isyarat khusus.
Kebimbangan
telah merambah ke dalam pikirannya, diliriknya dengan sudut matanya keberadaan
Sekar Mirah di belakang Ki Jayaraga, terpikir oleh Ki Rangga atas keselamatan
Sekar Mirah, maka kemudian katanya,
“ Baiklah ki Bondan, aku terima penawaranmu, tetap pada perjanjian kita, dua malam mendatang, saat purnama naik .“
“ Baiklah ki Bondan, aku terima penawaranmu, tetap pada perjanjian kita, dua malam mendatang, saat purnama naik .“
Tak
banyak bicara Ki Bondang Ketapang segera melangkah surut dan segera di ikuti
Jalak Werdi.
“ Ki Rangga, apakah kau berkepentingan terhadap tubuh Singa Patrap, “ tanya Ki Bondan saat mau meninggalkan halaman.
“ Tidak ki, silahkan membawanya dan makamkan sebagaimana mestinya “ jawab Ki Rangga.
“ Ki Rangga, apakah kau berkepentingan terhadap tubuh Singa Patrap, “ tanya Ki Bondan saat mau meninggalkan halaman.
“ Tidak ki, silahkan membawanya dan makamkan sebagaimana mestinya “ jawab Ki Rangga.
Tanpa
mengucap terima kasih, guru murid itu telah berjalan kearah tubuh Singa Patrap
yang tergolek di dekat pohon keluwih itu, tampak Jalak Werdi mengangkat dan
mendukung tubuh kakak seperguruannya itu dan mereka segera hilang di telan
gelapnya malam.
“ Kakang,
kenapa kau lepaskan mereka ? “ tanya Sekar Mirah dengan nada cemas.
Agung Sedayu tidak segera menjawab, didatanginya istrinya, sambil berkata,” Mirah, keselamatanmu lebih penting dari pada menangkap orang itu. “
Agung Sedayu tidak segera menjawab, didatanginya istrinya, sambil berkata,” Mirah, keselamatanmu lebih penting dari pada menangkap orang itu. “
Sekar
Mirah termenung mendengar jawaban suaminya, baginya menangkap orang itu
sekarang tentu lebih mudah sebab saat ini berkumpul orang – orang yang berilmu
tinggi yang dapat membantu suaminya bila diperlukan, dan selanjutnya tidak akan
ada yang mengganggu keluarganya lagi.
Sementara itu Glagah Putih juga di hinggapi rasa kecewa karena kakak sepupunya telah melepas guru dan murid dari Argopuro itu.
Berbeda dengan semua orang yang ada di halaman itu, Ki Jayaraga memahami sepenuhnya alasan Ki Rangga yang telah melepas musuhnya.
Sementara itu Glagah Putih juga di hinggapi rasa kecewa karena kakak sepupunya telah melepas guru dan murid dari Argopuro itu.
Berbeda dengan semua orang yang ada di halaman itu, Ki Jayaraga memahami sepenuhnya alasan Ki Rangga yang telah melepas musuhnya.
Hari itu
seperti biasa Ki Rangga telah pergi ke barak Pasukan Khusus, sementara Glagah
Putih dan Sukra tidak pergi ke sawah, bahkan Ki Jayaraga tampak hanya duduk
bersila saja di pendapa, Rara Wulan selalu menemani Sekar Mirah.
Saat
wayah temawon, tempak seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis
yang telah memutih tengah berjalan memasuki halaman rumah Ki Rangga diiringi
oleh Prastawa.
“ Selamat
datang Ki Gede,” sapa Ki Jayaraga seraya dengan cepat berdiri dan menghampiri
pemimpin Menoreh itu.
Setelah
mereka duduk di pendapa dan menanyakan keselamatan masing - masing, barulah ki
Jayaraga bercerita kejadian tadi malam di halaman rimah itu.
Penghinaan
yang melampaui batas terhadap keluarga Ki Rangga dan ancaman terhadap Sekar
Mirahlah yang membuat Ki Rangga kehilangan pengamatan diri.
Mendengar
cerita Ki Jayaraga itu, Ki Gede Menoreh menganggukan kepalanya, ia sangat
memahami kecemasan seorang Agung Sedayu terhadap keselamatan istrinya yang
tengah mengandung, sebuah penantian yang cukup lama bahkan tidak lama lagi akan
lahir ke dunia. Tanpa sadar orang tua itu memandang ke arah regol, barulah
disadarinya bahwa saatnya masuk ke rumah Ki Rangga, dia tidak melihat adanya
pintu regol itu, ditariknya nafasnya dalam - dalam.
Sementara
itu Prastawa tidak melihat sesuatu yang rusak di halaman itu selain pintu
regol, baginya tidak melihat bekas pertempuran dan itu sangat aneh menurutnya,
sejenak di pandanginya Ki jayaraga yang nampak menundukkan kepalanya.
Nampak Ki
Jayaraga termenung dengan kepala tertunduk, di ingatnya perkataan Ki Rangga
semalam saat mereka duduk di pendapa, menghabiskan sisa malam, bahwa ilmu Kebal
Singa Patrap adalah sejenis dengan ilmu kebal yang dimilikinya bahkan menilik
ujudnya, Ki Rangga sangat yakin bahwa Ilmu kebal Singa Patrap melebihi ilmu
kebal yang di milikinya, sehingga saat itu di cegahnya Glagah Putih untuk
bertindak.
tentu akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih bila membenturkan ilmunya, meskipun itu ajian Namaskara sekalipun, kemungkinan gagal akan selalu ada dan Ki Rangga tidak ingin melihat Glagah Putih mengalami cidera.
tentu akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih bila membenturkan ilmunya, meskipun itu ajian Namaskara sekalipun, kemungkinan gagal akan selalu ada dan Ki Rangga tidak ingin melihat Glagah Putih mengalami cidera.
“ Kenapa
Ki Jayaraga tidak memberi tahu kami, maksudku dengan memukul kentongan. “ tanya
Ki Gede menggugah Ki Jayaraga.
“ Tidak
terpikir Ki Gede, semua berlangsung cepat, “
Tampak Ki
Gede mengangguk-anggukan kepalanya, di bayangkannya pertempuran yang
berlangsung cepat antara Ki Rangga dengan lawannya.
“ Sekali
sentuh Ki ? “ Tanya Prastawa menyakinkan,
“ Benar
angger, “ jawab Ki Jayaraga pelan, dingatnya kembali saat Ki Rangga menyerang
Singa Patrap. Bahkan terngiang di telinganya, penjelasan Ki Rangga tentang
ilmunya.
“ Bukan
ilmu baru Ki Jayaraga, aku hanya mengembangkan ilmu kabut yang diwariskan oleh
guru, kabut yang telah aku padatkan dan seluruh kekuatan ilmu itu aku pusatkan
hanya pada tanganku, kabut yang mengandung air dan mempunyai sifat dingin, aku
hanya mendorongnya dengan tenaga cadangan saja. “
“ Luar biasa “ gumam Ki Jayarga lirih seolah keluar tanpa sadarnya.
“ Luar biasa “ gumam Ki Jayarga lirih seolah keluar tanpa sadarnya.
Prastawa
mengerutkan keningnya, entah apa yang terlintas di benaknya.
“ Apakah Singa Patrap itu tidak mempunyai kemampuan ? “ Prastawa meyakinkan pendengarannya.
“ Apakah Singa Patrap itu tidak mempunyai kemampuan ? “ Prastawa meyakinkan pendengarannya.
Ki
Jayaraga terdiam, tentu saja dia tidak bisa menjelaskan secara terperinci
kepada kemenakan Ki Gede itu.
“
Prastawa, apakah yang kau pikirkan ? Nama Ki Rangga sudah di kenal hampir oleh
seluruh rakyat di bumi Mataram ini, bagaimana mungkin seseorang tanpa ilmu
datang kemari dan menantang Ki Rangga untuk berperang tanding ? “ kata – kata
Ki Gede telah meluncur dan terasa menampar pipi Prastawa itu.
Dari
ruangan dalam telinga Glagah Putih terasa memerah mendengar perkataan Prastawa
itu, namun dibiarkan saja, lebih baik baginya tidak usah keluar, perasaan segan
menemui keponakan Ki Gede telah muncul di hatinya.
“
Bagamana selanjutnya Ki Jayaraga ? Apakah perang tanding di Gumuk Kembar itu
akan tetap berlangsung ? “ tanya Ki Gede.
“ Benar
Ki Gede, Ki Rangga telah menyanggupinya ,“
“ Siapa
yang akan menemani Ki Rangga ke Gumuk Kembar itu nantinya ? “
“ Ki
Gede, telah di buat keputusan oleh Ki Rangga semalam bahwa aku yang tua ini
bersama Glagah Putihlah yang akan mendampinginya, “ jelas Ki Jayaraga.
Ki Gede
terdiam, keningnya berkerut dalam, katanya “ Apakah cukup Ki Jayaraga ?
Bagaimana kalau terjadi kecurangan, semisal mereka membawa orang lain dengan
jumlah berlipat. “
Ki
Jayaraga mengerti maksud perkataan Ki Gede itu, tetapi menurut Ki Rangga
sebaiknya Ki Gede tidak perlu dilibatkan karena mengingat usia dan kesehatannya
terutama cacad kakinya.
Ki Jayaraga tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya, kematangan usianya telah menuntunnya, dengan bijaksana di katakannya,
“ Ki Gede, biarlah nanti sepulang dari barak, Ki Rangga akan menghadap Ki Gede dan menjelaskan apa saja rencananya menghadapi perang tanding itu. “
Ki Jayaraga tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya, kematangan usianya telah menuntunnya, dengan bijaksana di katakannya,
“ Ki Gede, biarlah nanti sepulang dari barak, Ki Rangga akan menghadap Ki Gede dan menjelaskan apa saja rencananya menghadapi perang tanding itu. “
Dengan menghela nafas dalam - dalam Pemimpin Menoreh itu berkata,“ Ki Jayaraga, meskipun aku tidak sekuat dulu tetapi aku masih sanggup menggerakan tumbak pusaka Menoreh, aku akan datang menyaksikan perang tanding itu .“
Tampak Ki
Jayaraga tersenyum, baginya Ki Gede adalah seorang pemimpin yang patut di
banggakannya, seorang yang berjiwa besar dan tegas serta mengayomi rakyatnya.
Wajah
Prastawa tampak menegang, baginya melihat dan menjadi saksi perang tanding itu
hanya akan membunuh diri sendiri maka dari itu lebih baik ia diam dan tak
menyatakan pendapatnya.
Kunjungan Ki Gede kerumah Ki Rangga menjadi semakin hangat takkala Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah putih keluar ruangan dan menemui pemimpin Menoreh itu.
Kunjungan Ki Gede kerumah Ki Rangga menjadi semakin hangat takkala Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah putih keluar ruangan dan menemui pemimpin Menoreh itu.
Sementara
itu di barak pasukan khusus, Ki Rangga telah mengirim utusan khusus menemui Ki
Patih Mandaraka untuk memberi tahu dan menyampaikan rencananya berkaitan dengan
perang tanding di Gumuk Kembar esok malam.
Utusan itu telah kembali dari Kepatihan Mataram pada malam hari, segera utusan itu pergi ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mendapat pemberitahuan dari Sekar Mirah.
Utusan itu telah kembali dari Kepatihan Mataram pada malam hari, segera utusan itu pergi ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mendapat pemberitahuan dari Sekar Mirah.
Semua
mendengarkan utusan itu menyampaikan pesan Ki Patih dengan saksama.
“
Syukurlah, Ki Patih memberi perhatian atas peristiwa yang akan terjadi besok
malam itu, “ kata Ki Gede.
KI Rangga
tampak menghela nafas dalam – dalam.
Ketegangan
telah merambat di setiap hati orang Menoreh, hampir semua orang di padukuhan
induk dan padukuhan lainnya serta di pasarpun membicarakan peristawa yang
terjadi di rumah Ki Rangga.
Berduyun
– duyun mereka datang dan melihat pintu regol yang telah rusak dan belum sempat
di perbaiki itu.
“ Agung
Sedayu itu orang linuwih “ kata seorang yang berdiri tidak jauh dari regol itu
kepada temannya.
“ Kemampuannya sulit di jajagi, bahkan kata orang – orang yang pernah pergi berperang bersama Ki Rangga itu, selalu mengatakan bahwa Ki Rangga itu bisa menghilang “ lanjutnya. Teman yang diajak bicara itu mengangguk – anggukan kepalanya.
“ Kemampuannya sulit di jajagi, bahkan kata orang – orang yang pernah pergi berperang bersama Ki Rangga itu, selalu mengatakan bahwa Ki Rangga itu bisa menghilang “ lanjutnya. Teman yang diajak bicara itu mengangguk – anggukan kepalanya.
“ Aku
sebenarnya akan di angkat menjadi muridnya, tetapi di larang oleh Ki Gede sebab
umurku sudah terlalu tua “ gumamnya perlahan.
“ Gurunya
Ki Rangga itu adalah sahabat ayahku, mereka membantu Ki Gede mendirikan Tanah
Perdikan ini, “ Orang itu terus bercerita panjang lebar tentang kehebatan
seorang Agung Sedayu dan gurunya serta ayahnya.
“ Apakah
kau mengerti Duma ? “ tanyanya kepada kawannya yang berdiri di belakangnya.
Tidak mendapat jawaban, segera ia menoleh kebelakang, alangkah terkejutnya dan
darahnya segera memanas, matanya melotot seakan mau loncat dari kelopaknya,
ternyata si Duma kawannya itu telah hilang entah kemana, segera orang itu
bergegas pergi sambil menggerutu,
“ Awas kau ! duyung mabuk ! “
“ Awas kau ! duyung mabuk ! “
0 komentar:
Posting Komentar