Senin, 16 Mei 2016

MENDUNG DI LERENG MERAPI 1

Oleh : A. Malindo

Cerita ini bukan lanjutan dari Api Dibukit Menoreh


Bumbung 1

Bunyi ledakan mengguntur itu ternyata membuat perang tanding terselubung itu berhenti sejenak, hati kedua putra Mataram itu bergejolak hebat, tanpa sadar keduanya memandang sekeliling mereka. Seolah semua binatang tak bersuara, dan dedaunanpun enggan bergerak meski tertiup angiin.
“Paman, apakah perlu latih tanding ini diteruskan ? “ terdengar suara Pangeran Pringgalaya memecahkan keheningan .
Deburan ombak bergulung gulung terasa menghantam dada Pangeran Jayaraga, ditariknya nafas dalam – dalam untuk menenangkan hatinya , lalu sahutnya, “ Kenapa ? “
“ Apakah karena mendengar suara ledakan itu dimas menganggapku tak mampu meneruskan latih tanding ini ?“ sahut Pangeran Jayaraga, “ Jangan dikira aku tak mampu mengalahkanmu “
“ Hem “  terdengar Pangeran Pringgoloyo desah perlahan.
Hutan perdu itu menjadi sunyi senyap, angin semilir membelai wajah mereka, sinar rembulan serasa enggan menerangi hutan perdu itu.
“ Kenapa dia hadir disini ? “ pertanyaan itu telah muncul di benak Pangeran Jayaraga. “ Apakah dia tahu rencanakaku ? “ gumam Pangeran Jayaraga dalam hati.
 “ Aku ingin memberikan pelajaran terhadap Pringgoloyo, agar tahu siapa Pamannya dalam kanuragan dan dia akan menyampaikan kepada Dimas Hanyakrawati apa saja yang dilihatnya “. Pikiran Pangeran Jayaraga terus berkecamuk, hatinya bergolak, berbagai kepentingan pribadinya dengan nafsu membara terus mendesak akal sehatnya.
“ He manusia bercambuk, apa maumu ? keluarlah ! Tampakkan dirimu di hadapan Jayaraga “ terdengar teriakan yang dilambari oleh kekuatan tenaga cadangan, suaranya bergulung – gulung membentur pohon di hutan perdu itu.
“ Untuk apa kau datang ? “ Jangan ikut campur, aku putra Mataram siap menghapusmu dari muka bumi ini “ masih terdengar suara bergulung-gulung Pangeran Jayaraga.
“ Paman, apakah Paman menyadari apa yang paman ucapkan ? “ suara Pangeran Pringgalaya terdengar bergetar.
“ Pringgoloyo, sebagai putra Mataram aku bertanggung jawab atas apa yang aku katakan”
“Bukankah orang bercambuk itu sahabat leluhur kita pada masanya ?” tanya Pangeran Pringgoloyo. “ Apakah paman belum pernah mendengar ceritera tentang orang bercambuk itu ? “ perkataan Pangeran Pringgalaya meluncur demikian saja. 
Terlihat Pangeran Panaraga itu mengerutkan keningnya, dadanya terasa berdentang.  Pernah didengarnya dari beberapa Tumenggung dan juga Ki Patih Mandaraka perihal orang bercambuk itu, perjuangan dan pengabdiannya terhadap mataram sejak baru dibuka dan bahkan sebelumnya, tapi itu semua hanya ceritera dan belum pernah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
“ Jangan selalu sebut putra Mataram paman, kita sama – sama lahir di bumi Mataram sedangkan masih banyak lagi beribu-ribu orang yang lahir di bumi Mataram “
Terdengar gemeretak gigi Pangeran Jayaraga.
“ Paman hentikan, mintalah restu Eyang Patih Mandaraka, ketahuilah paman aku tidak berminat berkuasa di manapun di wilayah Mataram ini”
Berdesir tajam dada Pangeran Panaraga mendengar ucapan saudara dan masih keponakannya itu. Merenung sejenak, pikirannyapun melayang kesana kemari, rasa kecewa yang dalam  terhadap pini sepuh Mataram yang menempatkannya di Panaraga serta keyakinannya bahwa orang bercambuk telah turut andil untuk membuangnya keluar dari kota raja Mataram, maka segera ia mengambil sikap.
 “Gembala, jika kau tidak mau keluar dari persembunyiannmu maka jangan salahkan aku jika aku akan membakar seluruh hutan ini dengan ajian pamungkasku” teriak Pangeran Jayaraga. Dan dalam sekejap terlihat Pangeran itu menggosokan kedua telapak tangannya dan perlahan lahan diangkat sampai batas kepala.
“Gila, Paman, hentikan” terdengar teriakan Pangeran Pringgalaya mengguntur, Pangeran muda itu benar-benar terkejut bukan kepalang melihat sikap Pangeran Jayaraga itu, dengan gerak naluriah ia bergeser kesamping dan segera mempersiapkan ajian warisan leluhurnya,  Aji Lawang Geni.
Suasana sangat mencengkam, keduanya telah lupa pada janjinya masing-masing, untuk tidak menggunakan ajian pamungkasnya.
“Tunggu Pangeran Panaraga, aku peringatkan atas nama Ki Patih Mandaraka, hentikan pemusatan nalar budimu” terdengar suara yang menggema seakan memukul lereng Merapi, suara yang langsung menukik menikam dada Pangeran Panaraga yang telah lupa diri itu. Terasa seribu duri kemarung telah bersarang didadanya. Tanpa sadar Pangeran Jayaraga mengatupkan bibirnya rapat – rapat seolah menahan sesuatu yang sangat menyakitkan dadanya.
Dalam ketegangan yang semakin memuncak tiba – tiba telah hadir angin pusaran yang berwarna hitam kelam, dengan suara berdesing pelan, berputar tanpa merusak hutan perdu itu.
Kedua Pangeran seakan - akan berdiri mematung  menatap angin pusaran itu. Sejenak kemudian angin pusaran bergerak semakin lambat dan akhirnya hanyut dihisap alam hutan perdu itu, sejalan dengan hilangnya angin pusaran itu, muncullah sesosok yang telah dikenal oleh kedua Pangeran itu, terlihat samar-samar sebuah bayangan seseorang yang berdada bidang, berkulit sawo matang dengan tatapan mata lembut,  terlihat tubuhnya sangat kokoh dengan kaki seolah  menancap ke bumi.
“Selamat malam Ki Rangga” sapa Pangeran Pringgalaya.
“Selamat malam Pangeran berdua” balas seseorang yang ternyata adalah Ki Rangga Agung Sedayu.
 "Mohon dimaafkan hamba telah mengganggu, Pangeran "
Pangeran Panaraga terlihat bersungut - sungut dengan mulut berkomat kamit tapi belum berbicara apapun. Pangeran Pringgoloyo berjalan mendekati Ki Rangga dan berhenti disampingnya.
“ Kenapa Pangeran ada disini ?,
“Bukankan Pangeran telah mendapat perintah dari Ki Patih untuk perjalanan ke Madiun ?”
“Bukankah Pangeran juga dilengkapi dengan perlambang tunggul Mataram dan tidak seharusnya siapapun yang bisa mencegah tugas Pangeran ?” kata Ki Rangga dengan suara agak meninggi.
Pangeran Pringgoloyo terlihat mengangkat wajahnya dan hendak menjawab pertanyaan Agung Sedayu, tetapi.
“Diam kau Sedayu, jangan sesorah di hadapanku, Jangan menuduhku menghambat tugas Pringgoloyo, ketahuilah Sedayu, aku tidak berniat apa-apa, aku hanya ingin memberi tuntunan kanuragan saja kepadanya “ sahut Pangeran Jayaraga dengan suara gemetar menahan marah.
Nampak kening Ki Rangga Agung Sedayu berkerut, sambil menghela nafas panjang, katanya “Maafkan aku Pangeran, jika demikian biarkanlah Pangeran muda meneruskan perjalanannya ke timur dan aku akan mengikutinya meskipun tidak semata – mata” Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya, “Sebenarnyalah aku telah diutus Ki Patih Mandaraka untuk memastikan bahwa tugas Mataram yang dipikul Pangeran Pringgoloyo harus selesai dan Pangeran mudapun harus kembali ke Mataram dalam keadaan selamat”.
“Persetan kau Sedayu, Pringgoloyo tidak butuh perlindunganmu, dia bisa jaga diri, bukankah dia dikawal oleh sekelompok pengawal Mataram dan tugasnya ke Madiun bukan sebagai duta ngrampungi, dia hanya menyampaikan pesan Dimas Panembahan Hanyakrawati saja, jadi tidak akan ada yang mengganggunya selama perjalanan”.
“ Bagaimana dengan keadaan sekarang ini, Pangeran ? “ tanya Ki Rangga. “Apakah perang tanding ini juga merupakan bagian dari tugas Pangeran Pringgoloyo ? “ lanjutnya.
Tampak memerah wajah Pangeran Panaraga itu, pertanyaan itu bukan hal yang sulit untuk di jawah, tetapi karena merasa dirinya diadili oleh seorang Rangga, maka hatinya menjadi semakin panas, nafasnya semakin memberu eoolah udara di rongga dadadnya berdesakan ingin keluar.
“ Ki Rangga, apakah kau sadar dengan siapa kau berhadapan, aku Pangeran Mataram sedangkan kau hanya sebagai prajurit dan kedudukanmu hanya sebagai Rangga, apakah hak mu terhadapku ?” sergah Pangeran Panaraga itu.
“ Apakah hakmu menuduhku menggangu tugas Pringgoloyo “
Mendengar perkataan Pangeran itu, hampir saja Ki Rangga jatuh kepada sifat dan watak aslinya, hatinya terlalu lembut untuk berdebat pada hal – hal yang menyangkut urusan duniawi, sejak semula seorang manusia yang bernama Agung Sedayu ini adalah seorang yang berhati lembut dan peragu.
Kedudukan duniawi baginya bukanlah hal terpenting, berbuat bagi tatanan kehidupan yang lebih baik adalah tujuan hidupnya sejak semula, tak perduli di Jati Anom atau di Tanah Perdikan Menoreh maupun di Mataram. Baginya setiap perbuatan harus bermanfaat bagi keluarga dan sesamanya, kalaupun sekarang dia menjadi prajurit Mataram itu adalah bentuk pengabdiannya bagi lingkungannya dan kebetulan saja ia telah menjadi prajurit Mataram.
“Aku tidak pernah memilih, aku hanya menerima takdirku” semboyan itu selalu melekat dan terpahat di dinding hatinya.
Dalam kebisuan sesaat itu, Pangeran Pringgoloyo cepat menanggapi keadaan.
“Paman, baiklah aku berterus terang bahwa sebenarnyalah Ki Rangga bertugas mendampingiku ke Madiun, selain Tunggul yang aku bawa, Ki Rangga juga membawa pertanda Mataram, bahkan nilainya lebih tinggi dari pertanda yang aku bawa” jelas Pangeran Pringgoloyo yang mencoba membantu kesulitan Ki Rangga.
Agung Sedayu bagaikan terbangun dari mimpinya mendengar ucapan Pangeran muda itu, dihirupnya seluruh udara hutan perdu itu sepuas-puasnya, jiwa keprajuritannya mulai tumbuh kembali dan rasa tanggung jawab terhadap tugasnya mulai menggelegak kembali memenuhi rongga dadanya.
“Aku adalah utusan Ki Patih Mandaraka, Pangeran” kata Ki Rangga perlahan.
“Setan kau, jangan berlindung di belakang punggung Ki Patih, aku muak  “ sergah Pangeran Jayaraga.
“Terserah Pangeran, aku hanya menjelaskan, kedudukan dan tugas yang aku emban, tidak lebih” sahut Ki Rangga, lalu katanya kepada Pangeran Pringgoloyo “ Aku mohon diri Pangeran, ternyata aku telah keliru menilai Pangeran Panaraga, Pangeran muda silahkan melanjutkan tugas, ingatlah pada puncak purnama depan tugas baru telah menanti , segeralah berangkat ke Madiun”. 
Selesai bicara Agung Sedayu segera bergeser surut, tetapi sebelum melangkah, tiba – tiba ia dikejutkan oleh kejadian di hutan perdu itu, sebuah pohon Sawo yang tidak begitu besar telah berderak – derak patah bagai diguncang angin prahara dan akhirnya tumbang, roboh menimpa bumi. 
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, segera berpaling dan ditatapnya Pangeran Jayaraga dengan segudang pertanyaan.
“Agung Sedayu, urusanku dengan Pringgoloyo sudah selesai dan sekarang aku akan mengurusmu” geram Pangeran Jayaraga
“Apa maksud Pangeran ?” tanya Agung Sedayu.
“Jangan seperti anak kecil yang merengek minta mainan, kau tentu sudah tahu maksudku Rangga” bentak Pangeran Jayaraga.
“Paman, itu tidak perlu” sahut Pangeran Pringgoloyo cepat-cepat.
Sebenarnya dia lebih baik diam dan persoalannya akan cepat selesai, tetapi setelah mendengar niat Pangeran Jayaraga untuk mengurus Ki Rangga Agung Sedayu, dengan sangat terpaksa Pangeran Pringgoloyo bicara.
“Jangan ikut campur Pringgoloyo, Mataram tidak akan menjadi lemah tanpa gembala ini” terdengar suara Pangeran Panaraga meninggi.
Tidak seperti biasanya, Agung Sedayu akan membuat seribu pertimbangan untuk berbuat sesuatu, tapi kali ini tidak.
Ditatapnya tajam – tajam Pangeran Jayaraga dan kemudian katanya “Baiklah Pangeran, sebenarnyalah hal ini yang aku tunggu “ dan kemudian kepada Pangeran Pringgoloyo, katanya “Biarlah aku urus Pangeran Panaraga ini, silahkan Pangeran Pringgoloyo menepi sejenak” Mendengar permintaan Agung Sedayu, Pangeran muda itu tak kuasa menolaknya dan tanpa sadar telah bergeser menepi.
Pangeran Jayaraga seolah-olah telah tersihir sekejap melihat perubahan sikap  Agung Sedayu, tak disangkanya orang bercambuk yang menurut banyak orang peragu itu langsung menerima tantangannya, bahkan terlihat dengan tenangnya mempersilahkan Pangeran Pringgoloyo untuk menepi
 “Tidak terlalu meyakinkan, meskipun sahabat leluhurku tetapi tentu ilmunya tidak akan menjangkau ilmuku, warisan Perguruan Selo” pikirnya.
Meskipun ada keseganan berurusan dengan orang bercambuk, namun Pangeran Jayaraga itu ternyata telah berpikir lebih jauh lagi, penalarannya telah mulai terganggu, “Inilah kesempatan itu, Ki Patih tentu akan memujiku dengan mengalahkan orang bercambuk ini, bahkan akan menilai ulang tentang penempatanku di Panaraga. Tempatku bukan di Panaraga tetapi disini, di kota raja Mataram” terlihat Pangeran Jayaraga tersenyum, sebuah angan-angan terlintas dibenaknya .
“Aku akan menangkapmu Sedayu, mengikatmu dan membawamu ke Kepatihan dan tentu Ki Patih akan melihatmu dengan kecewa dan setelah itu akan memberitahukan kepada Dimas Panembahan Hanyakrawti dan segeralah kau akan dilupakan”.
Mendengar ucapan itu, Agung Sedayu hanya tersenyum tipis, sama sekali tidak terbayang kecemasan diwajahnya, sikapnya tetap tenang.  
Dada Pangeran Pringgoloyo berdebar – debar mendengar rencana pamannya itu.  Ada keinginan untuk mencegahnya, Pangeran muda itu tahu seberapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam diri pamannya, sedangkan baginya Ki Rangga adalah kawan baru di dunia keprajuritan, meskipun Ki Patih Mandaraka sering mengatakan padanya bahwa Ki Rangga Agung Sedayu adalah simbol kekuatan Mataram, tetapi secara langsung belum pernah dilihatnya bertempur dengan musuh yang seimbang. 
“Bagaimana jika Ki Rangga kalah ?” pertanyaan yang tiba – tiba muncul. “Tidak sekedar kalah, pasti pamannya akan berbuat lebih bahkan mungkin diluar dugaanku”
Kebimbangan telah mencengkam jantung Pangeran muda itu. Dalam perkelahian sebelumnya sangat terasa olehnya bahwa kekuatan pamannya belum di kerahkan sepenuhnya, masih tertahan oleh keseganan terhadap hubungan saudara, juga ramanya, tetapi terhadap Ki Rangga tentu berbeda, Pangeran Panaraga itu pasti akan menumpahkan ilmunya sampai tuntas tanpa ragu.
“Apakah ajian pamungkasku akan sanggup menahan ajian pamungkas pamanda ?”.
Terlihat Pangeran muda itu sangat gelisah. Belum sempat Pangeran muda itu menemukan jalan keluarnya, tiba – tiba terdengar percakapan antara Ki Rangga dan pamandanya.
“Jika itu yang Pangeran kehendaki, baiklah” jawab Agung Sedayu dan segera diulurkannya tangannya untuk diikat dan terlihat Agung Sedayu maju dua langkah.
“Gila, bodoh dan pengecutnya kau Sedayu” bentak Pangeran Jayaraga.
“Kenapa ?” tanya Agung Sedayu.
“Mana ilmumu yang telah membuat orang Mataram kagum, tunjukanlah dan aku akan mengalahkanmu, melawan atau tidak, aku akan menyerangmu dengan ajian Pamungkasku Gelap Bawono” geram Pangeran Jayaraga.
 “ Hem..”  Agung sedayu memandang tajam kearah Pangeran Panaraga itu.
Sekilas teringat adik seperguruannya di Sangkal Putung, Swandaru Geni. Seorang yang meledak – ledak, keras kepala dan kadang – kadang sering berbuat sesuka hatinya.
“Pangeran yang keras kepala” gumamnya.
Sudah diperhitungkan secara matang sebelumnya oleh Ki Patih Mandaraka tentang akan terjadinya benturan antara dirinya dengan Pangeran Jayaraga cepat atau lambat. Menurut Ki Patih sebaiknya hal itu harus segera terjadi untuk menghindari kesalahpahaman yang lebih luas lagi antara rakyat Mataram dengan rakyat Madiun.
“Ki Rangga harus memberi pelajaran secepatnya, carilah alasan yang tepat untuk itu “ kata Ki Patih suatu saat kepada dirinya saat di Kepatihan.
“Rakyat perlu ketenangan dan kedamaian Agung Sedayu” ujar Ki Patih. “Dengan menundukan Jayaraga maka para Adipati daerah timur akan berpikir seratus kali untuk melanjutkan niatnya memberontak terhadap Mataram”.
“Ketahuilah ki Rangga sebelum Pangeran Jayaraga ditempatkan di Panaraga, disana telah tumbuh lagi niat untuk melawan mataram dengan sokongan Adipati Surabaya dan Adipati Pasuruan” jelas ki Patih.
Agung Sedayupun menarik nafas dalam – dalam, pergulatan antar keluarga istana yang selalu mengorbankan rakyatnya, dalam benaknya terpikir bahwa dunia ini perlu keseimbangan. Demi tegaknya urip bebrayan agung maka diapun menyanggupinya.
Sebenarnyalah sesorang telah mendukung niat Ki patih dan Agung Sedayu itu. Seseorang yang sudah lama sekali menghilang dari gejolak seputar pemerintahan Mataram, meskipun mengenakan ikat kepala khusus, nyatanya tak bisa menahan perubahan warna rambutnya, sudah memutih semua dan orang mengingatnya sebagai lawan tangguh Panembahan Agung.
Tanpa aba – aba, nampak Pangeran Jayaraga segera menyiapkan dirinya kembali, langsung pada puncak dari segala ilmunya, tanpa mengurangi bobot tenaga cadangannya dan bahkan telah ditambah sampai tingkatan tertinggi, Pangeran itu terdengar menggeram “ Siapapun kau Agung Sedayu, jangan salahkan aku, jika sebentar lagi jasadmu akan hancur lebur jadi debu dan namamu  akan terlupakan di bumi Mataram”
“He, bukankah Pangeran  ingin menangkap aku hidup – hidup? Membawa ke Kepatihan dan menujukan kemenangan serta mempermalukanku” kata Ki Rangga setengah bergurau, masih ada niatnya untuk menghentikan benturan ilmu.
“Persetan, gembala malang” geram Pangeran Jayaraga “Aku tahu kaupun memiliki ilmu yang cukup tinggi, tidak usah membuang waktu, aku akan menakarmu dengan puncak ilmuku”
Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, baginya tidak ada jalan lain kecuali membenturkan ilmunya, ia tidak mau lumat oleh ilmu warisan perguruan Selo. Semasa hidupnya Kyai Gringsing telah banyak ceritera tentang betapa saktinya Ki Ageng Selo, sampai sampai masyarakat sekitar Selo menjulukinya sebagai putra dari dewa petir.
Pangeran Pringgoloyo seolah terbungkam, mulutnya menjadi kelu oleh kemarahan yang telah menyesakkan dadanya. Sementara Agung Sedayu tetap tersenyum tipis dan siap dalam kesiagaan tertinggi dengan berbagai macam ilmunya, diungkapkannya tenaga cadangannya meskipun tidak sampai tuntas, terpikir olehnya penderitaan yang pasti terjadi dan akan berkepanjangan bila nantinya terjadi perang lagi antara Mataram dan daerah Bang Wetan.
Dalam kediamannya Ki Rangga telah memanjatkan doa kepada Sang Pencipta mohon bimbingan dan perlindunganNya.
“Saat seperti ini aku telah dipaksa kembali oleh keadaan, semoga Guru mengampuni aku, tiada niat untuk menyombongkan diri” desisnya di dalam hati.
“Baiklah, Pangeran telah memaksaku dengan tanpa pilihan, Jika Raden Sutawijaya masih ada dan melihatku maka tentu Panembahan Senopati itu akan mentertawaiku” ucap Ki Rangga sambil bergeser mundur beberapa langkah, bersamaan terlintas kenangannya  ketika bertemu Senopati Ing Ngalaga, saat ia dan gurunya baru pertama kali membuka Padepokannya di Jati Anom dan Raden Sutawijaya telah menantangnya berkelahi tanpa sebab.
“Kenangan yang indah “ gumamnya perlahan seolah –olah kepada dirinya sendiri.
“Apakah kau mengigau Ki Rangga?, kau berkata seolah Panembahan Senopati akan mentertawaimu ketika menghadapiku ?”.
“Hem.. tidak ada sangkut pautnya, bahkan beliau akan kagum melihat salah satu putra Mataram telah menunjukkan kemampuan sebenarnya, sehingga Mataram tidak bergantung kepada orang lain” kata Pangeran Jayaraga membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sesaat kemudian, tanpa meninggalkan kewaspadaan ditatapnya mata Pangeran Jayaraga, Agung Sedayu berkata, “Pangeran Panaraga, aku akan menunjukan padamu, siapa sebenarnya sahabat dari Raden Sutawijaya ini”.
Sekilas wajah Ki Rangga tampak menegang, keragu raguan yang selama ini selalu mencengkamnya telah hilang dihembus angin Lereng Merapi, keyakinan akan paugeran hidup yang telah ditetapkaNya serta nasehat Ki Patih Mandaraka dan Ki Waskita, maka pendiriannya semakin mantap, ditingkatkannya kewaspadaannya dan sejenak kemudian setelah menarik nafas panjang – panjang, iapun berkata,  “Apakah Pangeran sudah siap?” dan katanya kepada Pangeran Pringgoloyo “Hamba mohon ijin Pangeran, semoga hamba dijauhkan dari sikap deksura.
“Sombong sekali” geram Pangeran Jayaraga.
Keyakinan terhadap tingkat ilmunya dan telah diuji oleh beberapa peristiwa dalam perjalanan hidupnya, Pangeran Jayaraga semakin pasti dapat melumatkan Ki Rangga, pengakuan Ki Patih saat menyaksikan perang tanding antara dirinya dengan saudara seperguruan Rangga Kaniten dari timur semakin menambah percaya dirinya.
“Ki Rangga, apakah gurumu pernah berceritera tentang Eyang Selo” tanya Pangeran Jayaraga kepada Ki Rangga.
“Benar Pangeran, guru berceritera tentang seorang putera dewa petir” jawab Ki Rangga, diam sejenak, lalu lanjutnya, “Seorang yang rendah hati, yang bekerja sebagai petani, suka menolong sesama dan sangat perhatian terhadap lingkungannya”. Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya “Apakah Pangeran merasa memiliki kemampuan seperti Ki Ageng Selo ?” tanya Ki Rangga.
Sementara itu Pangeran Pringgoloyo merasa kepalanya semakin pening mendengar percakapan antara Ki Rangga dengan pamanya. Perasaan kecewa terhadap pamannya menjadi semakin dalam, tetapi sisi yang lain ia tidak mengerti, alasan apakah yang mendorong Ki Rangga bersedia membenturkan imunya dengan ilmu warisan perguruan Selo, perguruan kakeknya sendiri.
“Ki Rangga pasti punya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan “ katanya dalam hati. Kebimbangannya semakin menjadi-jadi takala mendengar geram pamannya.
“Ki Rangga, apakah kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan” kata Pangeran Panaraga lantang.
Tiba tiba langit menjadi kelam cahaya bulan hanya menembus tipis, kabut hitam telah memagari arena di hutan perdu itu, itulah akibat awal ilmu ajian Gelap Bawono, terlihat Pangeran Jayaraga bergerak dan bergesar satu langkah kesamping, kaki kanannya bergerak kedepan, membuat gerakan membentuk  lingkaran kecil, setelah berhenti lalu ditekuk lututnya merendah dan sekali lagi digosokan kedua telapak tangannya dan perlahan – lahan naik keatas dadanya dan akhirnya berhenti di muka wajahnya, katanya “Jangan kau tahan ilmumu gembala, lepaskan semuanya sampai tuntas agar ragamu tetap utuh”
Pangeran Pringgoloyo benar-benar membeku tegang, “Apakah yang harus aku lakukan?“ gumamnya dalam hati.
“Apakah ajianku sanggup menahan ajian Selo ini”
“Apakah aku hanya akan berdiam diri saja “
“Bagaimana jika nantinya Ki Rangga Agung Sedayu tak mampu menahan ajian itu ?”
“Aku akan menjadi seorang pengecut bila membiarkannya,” terdengar gemeretak gigi Pangeran muda itu dan segeralah diungkap ajian pamungkasnya Lawang Geni. Namun langkahnya tertahan.
“Pangeran muda, ajian Lawang Geni saat ini belum waktunya untuk melawan ajian Gelap Bawono milik Pangeran Jayaraga, menepilah dan ungkap ajian Tamengwaja sampai kepuncaknya” terdengar suara lembut mengetuk telinga batinnya.
“Yakinlah Pangeran, mohonlah dan semoga Sang Pencipta memberi perlindungan bagi kita semua” masih terdengar suara Ki Rangga  lewat aji Pameling yang kuat yang hanya ditujukan kepada orang yang dikehendakinya saja.
Pangeran Pringgoloyo tidak menjawab hanya dianggukannya kepalanya, diakuinya kekuatan aji pamelingnya belum setingkat dengan Ki Rangga dengan demikian yakinlah Pangeran muda itu akan kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan gerakan cepat sekali sambil berteriak nyaring Pangeran Jayaraga telah menghentakkan  kakinya kebumi dan bagaikan terbang dengan menjulurkan tangan dengan telapak terbuka menghantam langit, sekejap.... maka meluncurlah ajian Gelap Bawono mengejar dan menghajar tubuh Agung Sedayu yang sedari tadi hanya berdiam diri, seolah tanpa persiapan. Jantung Pangeran Pringgalaya seakan berhenti berdegup. “Ternyata Pangeran Panarga  itu memang menyimpan ajian yang seperti di ceriterakan oleh Eyang Patih Madaraka kepadanya”.
Sebuah ajian yang maha dahyat warisan Perguruan Selo, telapak tangan Pangeran Madiun itu terbuka mengahadap keatas dan terlihat sinar yang sangat menyilaukan turun dari langit dan menyambar dan sekaligus menghantam tubuh Agung Sedayu.
Jika saja sasarannya bukan pimpinan perguruan bercambuk dan murid terkasih dari Raden Pamungkas yang merupakan cucu Windujati maka tentu tubuhnya akan hangus dan meledak dengan daging dan tulang berserakan.
Sekejap kemudian, secepat tatit diudara terlihat seorang penggembala yang bernama Agung Sedayu itu menghentakkan cambuknya menghantam kilat di langit  dengan puncak ilmu Lebur seketi yang telah matang dan telah dirangkapi dengan ilmu Bayu Dirga, sebuah ilmu yang tersimpan rapat di rontal Kyai Gringsing, tak tertulis dengan jelas dan hanya tersirat saja, hanya karena karunia tiada tara dari Sang Pencipta lah putra Ki Sadewa itu berhasil menguasainya, bahkan Kyai Gringsingpun mengakui  bahwasanya Bayu Dirga belum dikuasainya dengan sempurna.
Alam yang tadinya gelap gulita telah menjadi terang benderang, benturan ilmu benar –benar telah terjadi maha dahyat, seolah telah terjadi gempa dilereng Merapi, bumi pijakan di hutan perdu itu terasa bergoncang, Daun menguning telah  gugur berserakan , dahan dan ranting berpatahan, udara malam yang dingin berubah menjadi panas mebara seperi lahar di puncak Merapi.
Benturan ilmu itu membuat pantulan dahsyat dan menyebar kemana – mana, menghantam pohon – pohon rindang, mengguncang pohon randu raksasa, hingga menyinggung tubuh Pangeran Pringgoloyo.
Sebenarnyalah Pangeran muda itu telah mengetrapkan aji Tameng Waja dalam puncak kekuatannya, sejauh dapat dilakukannya, tetapi tetap saja tak dapat menahan pantulan akibat benturan kedua ilmu itu, tubuh Pangeran Pringgoloyo terpelanting dan tersungkur jatuh di semak belukar, dan akibat lebih parah terjadi pada Pangeran Jayaraga, tubuh  Pangeran Panaraga yang tengah terbang telah tersentak oleh kekuatan yang tiada terkira olehnya, meluncur dengan derasnya menghantam pohon sawo kecik, terjatuh, diam dan membeku. 
Tidak jauh dari tubuh Pangeran Panaraga tampak Ki Rangga Agung Sedayu tengah berloncatan kesana kemari menghindari tumbangnya pohon – pohon besar yang tumbuh di hutan perdu itu dari, dengan ilmu meringankan tubuhnya mumpuni, bagaikan terbang telah meluncur mendekati tubuh Pangeran Pringgoloyo yang ternyata telah pingsan, bersamaan dengan kedatangannya, tampak dahan pohon randu alas telah patah dan akan menimpa tubuh Pangeran Pringgoloyo, dengan sigap melenting tinggi dan sekali lagi dilecutkan cambuknya menghantam dahan itu, tidak ada bunyi ledakan, terdengar hanya bunyi berdesing saja akibatnya dahan itu hancur dan berubah jadi butiran hitam yang sangat halus.  
Kemudian suasanapun menjadi hening dan membeku, setelah mengatur pernafasannya, perlahan-lahan Agung sedayu terduduk ditanah, pemusatan nalar dan budi telah dilakukannya, Ajian Gelap Bawono telah menggetarkan dada sampai menusuk jantungnya, tak lama kemudian dengan tarikan nafas panjang, terlihat Agung Sedayu telah selesai dengan semedinya dan perlahan berdiri dan berjalan kearah Pangeran pringgalaya yang masih terbaring diam, disentuhnya di bagian belakang telinga dan diberikannya beberapa totokan di bagian dada dan punggung maka sadarlah Pangeran muda itu.
Di Mataram Ki juru Martani ditemani oleh Ki Wakita duduk terpekur di Pendapa Kepatihan, wajahnya terlihat muram. Terlintas beberapa wajah kerabat dan sahabatnya yang telah mendahuluinya. “Hem.. mereka telah mendahuluiku,” gumamnya. 
“Gusti Patih” terdengar suara menyapa dari longkangan dalam.
Mendengar seseorang memanggilnya Ki Patih Mandaraka segera menoleh kearah suara itu, rupaya abdi dalam telah bersimpuh di lantai sambil menunggu perintah.
“Ampun Gusti, hamba telah mengejutkan” lanjutnya dengan kepala tertunduk.
“Tidak Lambang, hanya aku saja yang sudah mulai renta dan mudah terkejut” kata Ki Patih perlahan sembari tersenyum.
“Bukankah begitu Ki Waskita?” Kata Ki Patih sambil menoleh kekanan melihat sahabatnya yang rambutnya sudah memutih semuanya.
“Hamba Ki Patih” sahut Ki Waskita perlahan dengan senyuman tersungging di bibirnya.
“Ada apa Lambang? Bukankah engkau aku tugaskan kerumah Temenggung Singayudha?”
“Hamba Ki patih, kedatangan hamba akan melaporkan hasil tugas hamba” jawab abdi dalem itu.
“laporkan Lambang, berkatalah jujur meskipun membuat hatiku sedih” ujar Ki Patih.
Setelah membetulkan duduknya, mulailah Lambang menceriterakan dari awal sampai akhir tugasnya, tanpa ada yang terlewat, bahkan pada bagian penting telah diulangi beberapa kali dan Lambangpun mengakhiri laporanya dengan menyembah Ki Patih.
Terlihat Ki Patih menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya “Jadi Tumenggung Singayuda masih dihutan itu?”
“Benar Ki Patih”
“Agung Sedayu tengah mengobati luka dalam Pangeran Panaraga ?” tanya ki Patih.
“Benar Ki Patih”
“Kenapa tubuh Pangeran Panaraga itu tidak di bawa ke Kepatihan saja?” tanya Ki Patih.
“Ampun Gusti, menurut Ki Rangga Agung Sedayu tak ada waktu lagi, luka Pangeran Panaraga sangat parah. Ki Rangga tidak ingin terlambat Gusti” jelas Abdi Dalem itu.
Ki Patih terdengar berdesah dan memandang arah Ki Waskita, tetapi sahabatnya itu tetap menundukkan kepalanya.
Suasana di Pendapa Kepatihan itu menjadi hening, terpikir oleh Ki Patih bahwa awan hitam telah berarak menuju Mataram “Apakah harus terjadi berulang kali perang saudara yang tidak perlu itu. Peperangan antara saudara akan selalu membuat Mataram lemah, sampai kapan Jawa Dwipa ini dapat disatukan kembali seperti jaman Majapahit ? Gemah ripah loh jinawi”
“Lambang, dengar permintaanku “ berkata Ki Patih, “ Tetaplah di Kepatihan dan jangan katakan kepada siapapun tentang peristiwa ini, aku akan ke hutan perdu itu bersama Ki Waskita”
“Hamba Ki Patih “
Sejenak kemudian Ki Patih bersama Ki Waskita bergegas menuju  ke halaman depan.
“Kita pergi ke hutan perdu dengan naik kuda saja Ki Waskita “ kata Ki Patih. Tampak Ki Waskita menganggukan kepalanya.
“Apakah ki Patih sudah tidak kuat lagi jalan kaki meskipun tidak terlalu jauh “ canda Ki Waskita
“Ah... tentu tidak sekuat dulu Ki Waskita, hanya aku ingin terlihat biasa saja saat ini, tidak menarik perhatian, supaya tidak banyak pertanyaan” jelas Ki Patih sambil tersenyum. Tampak Ki Waskita mengangguk anggukkan kepalanya.
Kedua nya telah meninggalkan halaman Kepatihan, kudanya berlari tidak terlalu kencang. Ki Waskita seolah telah melihat Agung Sedayu tengah duduk bersila “Seorang yang punya budi pekerti yang mulia, sejak pertama aku melihatnya, aku sudah mempercayainya “ gumamnya dalam hati.
“He.. Ki Waskita, nampaknya engkau tidak tertarik pada persoalan Agung Sedayu kali ini“ teriak Ki Patih sambil memacu kudanya perlahan dan sementara kudanya terus berlari kearah utara. Ki Waskita hanya tersenyum kecut mendengar gurauan Ki Patih Mandaraka.
“Kita belok kekanan“ tak lama kemudian mereka berdua telah melihat Agung Sedayu seorang diri duduk bersila dibawah  pohon randu yang telah menghitam.
Melihat kedatangan Ki Patih dan Ki Waskita maka Ki Rangga segera berdiri dan memberi salam, “Waalaikum salam” terdengar jawaban hampir bersamaan dari kedua orang tua yang baru datang itu. Sedangkan Pangeran Pringgoloyo juga menghaturkan salam dengan posisi tetap duduk.
Keduanya segera turun dari kudanya dan medapatkan Ki Rangga dan Pangeran Pringgoloyo,  dengan mengerutkan keningnya Ki Patih bertanya, “Dimana anakmas Jayaraga?“
“Ampun Ki Patih, Pangeran Jaya raga belum sadarkan diri, hamba telah berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya, tetapi karena keterbatasan pengetahuan hamba tentang obat – obatan maka kondisinya belum pulih dan masih memerlukan perawatan”.
Selesai memberi keterangan maka Ki Rangga telah mengajak kedua orang tua itu ketempat dimana Pangeran Jayaraga terbujur diam.
Tidak terlalu jauh, sesampai ditempat itu alangkah terkejutnya Ki Patih dan Ki Waskita melihat dua tubuh tergolek diam.
Dengan memegang keningnya, ki Patih seolah memerlukan penjelasan bagaimana mungkin seorang Tumenggung  bernama Singayuda tergolek pingsan di sisi Pangeran Jayaraga.
“Ki Waskita, rupanya kita sangat beruntung datang terlambat” kata Ki Patih sambil tertawa tertahan, lalu lanjutnya, “Bagaimana jadinya jika kita menjadi saksi perang tanding ini, mungkin kita juga akan tertidur seperti Tumenggung Singayuda ini”.
Tampak ki Waskita menggelengkan kepalanya sembari tersenyum, kemudian katanya, “Tentu tidak Ki Patih, Ki Rangga tentu akan menggunakan ilmu yang lainnya dan tentu ilmu yang tidak menyentuh kita”
Ki Patih tertawa perlahan,
“ Benar begitu, Ki Rangga ?”
Ki Rangga tersenyum, dan mengajak kembali ketempat Pangeran Pringgoloyo.
Ki Patih tidak segera bertanya kepada Pangeran Pringgoloyo maupun Ki Rangga, tetapi diedarkannya pandangannya ke semua arah di hutan perdu itu, dan katanya kepada Ki Waskita, “Kyai, apakah Prabu Airlangga telah datang dan mencoba ilmunya?”.
Ki Waskita pun terlihat kebingungan menjawab pertanyaan Ki Patih Mandaraka itu.
“Baiklah, cucunda sekarang cobalah berceritera tentang kejadian di hutan perdu ini” pinta Ki Patih kepada Pangeran Pringgoloyo.
Pangeran Pringgoloyo menarik nafas dalam – dalam dan mulai menceriterakan kejadian dari awal sampai akhir, sampai saat tak di ketahuinya tiba – tiba dia tak sadarkan diri,  sementara itu nampak Ki Rangga hanya menundukkan kepalanya saja sambil menunggu tanggapan dari Ki Patih, meskipun sempat juga mencuri pandang ke arah Ki Waskita.
Ki Patih mendengarkan ceritera Pangeran Pringgoloyo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa sadarnya sekali lagi diedarkannya pandangannya berkeliling ke hutan perdu itu, perasaan kagum serta heran merayapi hati penasehat Mataram itu, dalam usia yang belum mencapai separo baya itu Ki Rangga Agung Sedayu telah mencapai tataran ilmu yang sedemikian tingginya melewati angkatan tua, bahkan tumbuh keyakinannya dalam beberapa waktu kedepan tentu sudah sangat langka orang yang dapat menyusul ketinggian ilmu seorang yang asal muasalnya adalah seorang penakut dan pengecut.
Sementara itu Ki Waskita hanya berdiam diri saja, kepalanya tertunduk, ternyata pikirannya telah menerawang jauh kedepan, rasa khawatir telah tumbuh di hatinya, bukan soal Agung sedayu melainkan tentang Mataram. Isyarat yang diterimanya menggambarkan bergumpal – gumpal awan gelap telah turun bergerak dari gunung merapi menuju Mataram. “ Apa artinya ini ?” keluhnya.
Matahari semakin terik, dan sudah hampir melewati puncaknya, terdengar suara burung jalak berkicau tiada hentinya.
Pangeran Jayaraga telah di bawa ke Mataram dan beberapa minggu kemudian sudah pulih kembali meskipun tidak seperti sediakala, ingatannya mengalami kelumpuhan ringan, atas seijin Panembahan Hanyakrawati, Pangeran Jayaraga telah dihantar pulang ke Panaraga.
Sementara itu Pangeran Pringgoloyo pun telah selesai dengan tugasnya dan telah kembali ke Mataram dengan selamat, Ki Ranggapun telah berkumpul dengan keluarga besarnya di Menoreh, kembali menjalankan tugasnya sebagai Senopati pasukan khusus

     Sementara itu di utara bumi Mataram angin berhembus perlahan mengusap lembut wajah merapi, burung – burung beterbangan kian kemari menadai kehidupan di alam jagad raya ciptaan Sang Illahi.
“ Kyai, apakah tidak ada keinginan untuk membantu negeri Mataram lagi ? “ tanya sesorang yang bertubuh kurus, yang mempunyai kulit bersih,berwajah damai dengan sorot mata penuh kelembutan. Suasana membisu, tidak terdengar jawaban.
Bongkahan batu padas sebesar kerbau jantan itu tersusun rapi dan berjajar seolah membentengi tempat dimana kedua orang tua itu berbicara.
“ Api ini telah padam sejak dulu, aku tidak mempunyai kepentingan apapun, sekarang sudah saatnya bagiku menenangkan diri dan memohon rakmat dan ridho Sang Pencipta, sebagai bekal kelak dikemudian hari, sebenarnyalah umurku tidak akan lama lagi “ gumam orang tua itu dalam hatinya.
Pembicaraan kedua orang tua itu tetap berlansung beberapa lama.
“ Mengasingkan diri dengan menuntut ilmu dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta adalah suatu perbuatan mulia, tetapi jika kemudian seseorang itu tak acuh dan tak perduli kepada lingkungannya apakah itu di benarkan oleh ajaran agama serta keyakinan kita kyai ? “
Percakapan yang sebenarnya sangat menggelisahkan bagi orang tua yang duduk di batu hitam itu. Selalu di kenang masa lalunya dan terpahat rapi didinding hatinya, suka dan duka dalam menjalani kehidupan telah dirasakannya, berpetualang dari bang wetan sampai ranah Pajajaran telah di lakukannya bahkan semasa mudanya pernah mengikuti gurunya pergi ke tanah wiraraja.
Kepergiannya selama ini, sebenarnya adalah timbulnya rasa lelah dan penyesalan serta keputusasaannya terhadap masyarakat di lingkungannya, kepandaiannya dalam obat – obatan telah disalah artikan.
Di kenangnya saat itu, di padepokan Jati Anom, seseorang ibu telah datang kepadanya sambil membawa anaknya yang sudah meninggal dunia, dengan menangis memohon  untuk bisa dihidupkan kembali anaknya, ia dengan segala kemampuannya mencoba menjelaskan dan menyadarkan bahwasanya anak itu telah meninggal dunia dan tidak dapat hidup kembali, tetapi rupanya sang ibu tetap tidak mempercayainya bahkan sambil marah ibu itu menuding serta menhujatnyanya sebagai pendusta, saat itu kebingungan telah mencengkam hatinya, karena tidak sampai hati melihat penderitaan ibu itu akhirnya ia melakukan kesalahan yang menurutnya tidak bisa dimaafkan.
Nampak orang tua itu menarik nafas dalam – dalam digeleng – gelengkan kepalanya, kegelisahan dan kecemasan tergurat jelas di wajahnya.
Terlintas sesaat, kenangan masa mudanya, ketika dia pergi ketimur bersama gurunya dan di perkenalkan pada seorang putri keturunan dari Adipati Tuban.
“ Sungguh suatu kebodohan, sebenarnyalah putri itu akan terselamatkan seandainya saat itu aku mau menerima dan membawanya “,                                      
 “ Hem.. aku masih terlalu muda saat itu“ desahnya dalam hati.
Kehampaan hidup telah menjadi takdirnya. Penyesalan dan keputus asaan telah mendorongnya untuk menyingkir dari lingkungannya.
Kesabaran gurunya dan ketulusan kakeknya sangat menolongnya dalam mengarungi kehidupan selanjutnya. Sejak saat itulah dia tenggelam dalam dalam dunia barunya, mempelajari olah kanuragan dan kajiwan dari dua sumber yang berbeda.
Selang beberapa tahun kemudian peristiwa pahit telah menimpanya, gurunya telah pergi ke Demak diiringi oleh seorang Sunan dari Kudus, meninggalkannya dan tidak pernah kembali, sedangkan ayahanda beserta ibundanya telah terlebih dahulu kembali kepangkuan Illahi saat mengikuti perjalanan ke timur Prabu Majapahit terakhir, hanya Empu Windujatilah satu – satunya harapan hidupnya, tuntunan tentang kehidupan  yang tidak pernah berhenti dari sang kakek dan darah Majapahit telah menjadikannya seseorang yang tuntas kawruh ilmu perguruan Windujati.
Atas saran kakeknya, berangkatlah dia menuju Demak, dalam perjalanan panjangnya selalu terngiang pesan gurunya sebelum meninggalkanya,
“ Pamungkas, mengertilah bahwa pengabdian yang sebenarnya adalah berbuat suatu kebajikan terhadap sesama tanpa pamrih dan jauhkan nafsumu dari perbuatan angkara dan berlindunglah hanya kepada Sang Pencipta “
Tanpa disadarinya mata tua itu telah mengembun dan hampir menitikan air mata.
Lamunan dan kenangan kedua tokoh tua terhenti, takkala salah satu orang tua itu bertanya sesuatu.
“ Apakah yang harus aku perbuat Kanjeng ? , tiada lagi kekuatan dalam raga ini, tiada lagi api dalam dada ini dan tiada lagi angin yang bertiup di jantung hamba ini “
Tampak seseorang yang berwajah lembut itu menarik nafas dalam – dalam, mata hatinya menerawang jauh kedepan, dipandanginya puncak gunung merapi itu sepuas – puasnya. Kebimbangan juga telah melanda hatinya.
“ Kyai, ketahuilah bahwa sampai sekarang aku menjalankan tugasku ini tanpa henti dan tanpa terputus, siang dan malam pikiran dan tenagaku aku curahkan demi agama serta keyakinanku terhadap Illahi Robbi, aku ingin memberikan ilmu kepada semua orang di lingkunganku, khususnya ilmu keagamaan, aku bisa belajar agama dan disaat bersamaan aku juga mengabdikan diri kepada lingkunganku “, diam sejenak, lalu katanya “ Apakah kyai tidak ingin melakukan sesuatu itu seperti yang aku lakukan, mendekatkan diri pada Sang Pencipta sekaligus mengabdi dan beramal kepada lingkungannya sesuai dengan jalan yang di ridhoi Nya “
“ Hem.... “ desah orang tua itu,
Merapi terasa bergetar sejenak, kedua orang tua yang sudah tuntas pengetahuan lahir dan bathinnya itu serentak memandang puncak Merapi. “ Semoga ini bukan pertanda dari pembicaraan kita, Kyai “  desisnya. “ Baiklah Kanjeng Sunan, berilah petunjuk kepada hamba, bagaimana cara dan saat hamba harus memulai, sebagai murid, hamba akan menjunjung tinggi segala titah Kanjeng Sunan “ berkata orang tua itu dengan kepala tertunduk.
Orang tua yang di panggil Kangjeng Sunan itu terdiam, dipandanginya orang tua yang duduk didepannya, dan tak lama kemudian katanya, “ Raden, sebaiknya memulai pengabdian tidak harus dengan keterpaksaan, yakinlah bahwa apa yang Raden lakukan saat ini dan yang akan datang akan selalu mendapat ridho dari Alloh SWT, aku akan selalu dekat dengan Raden dimanapun berada “. Kanjeng Sunan Muria berhenti sejenak dan berdiri berjalan kedalam gua yang tidak terlalu dalam itu dan berhenti di depan mata air kecil, diambilnya air itu dengan kedua tangan terbuka dan segera dibasuhkan ke wajahnya.
“ Kemarilah Raden “ panggilnya.
Raden Pamungkaspun berdiri dan berjalan kearah Sunan Muria.
“ Ramanda Sunan Kalijaga sering melakukan perbuatan seperti ini, mendekatlah Raden “ pinta Sunan Muria, seakan ingin menunjukan sesuatu kepada sahabat sekaligus muridnya itu.
“ Lihatlah batu besar itu, bukankah kita sudah beberapa hari tidak makan dan minum ?, seharusnya semalam kita boleh udar tirakat, tetapi tidak ada makanan yang bisa kita makan sampai saat ini “
Raden Pamungkas terdiam, berpikir sejenak, kira – kira apa yang akan dilakukan oleh Sunan Muria itu.
“ Sebaiknya kita sudahi saja Raden, tirakat kita saat ini “.
Selesai bicara tampak Sunan Muria berjalan kearah batu besar itu dan mengetuk batu besar itu dengan telunjuk jarinya dan diulanginya sekali lagi.
Keluarlah air dari batu besar itu dan segera di minum oleh Sunan Muria.
“ Silahkan minum Raden “ kata Sunan Muria kepada Raden Pamungkas.
Kyai Gringsing terkejut bukan buatan, dipandanginya batu itu tanpa berkedip, terasa perlahan dadanya berdebar – debar, tanpa disengaja ditajamkannya penglihatan bathinnya, sebagai orang tua yang telah kenyang manis asinnya kehidupan tentu dia tidak akan mudah dibohongi dengan ilmu semu atau sejenisnya.
“ Sentuhlah air itu Raden, itu bukan bentuk semu atau ilmu panggada soca “ kata Sunan Muria seolah tahu apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh sahabatnya itu.
Seperti tersedot pusaran kali progo dengan gemetar tangan Kyai Gringsing telah menyentuh air yang keluar dari batu itu, didalam pengetahuannya belum pernah dijumpainya sebuah ilmu seperti itu.
Melihat keheranan di wajah sahabatnya itu, Sunan itupun berkata, : “ Raden dapat melakukan seperti yang aku lakukan ataupun ayahanda lakukan, cobalah Raden “
“ Ampun Kanjeng Sunan, hamba sudah menguasai berbagai ilmu kanuragan dan kajiwan tetapi ilmu Kanjeng Sunan hamba tak akan pernah bisa melakukannya “ jawabnya lirih.
Sunan Muria tersenyum, dijawabnya,” Raden, sesungguhnya ilmu itu sangatlah luas dan melebihi apa yang bisa kita lihat didunia ini, melebihi luasnya laut dan hamparan tanah di bumi ini, ada ilmu untuk memelihara, ada juga ilmu untuk merusak “,
Gua yang tidak terlalu dalam itu seolah menjadi saksi bisu, tampak jubah Kanjeng Sunan yang semula putih bersih sudah berubah warna menjadi kecoklatan.
“ Ilmu yang lain adalah ilmu untuk mencipta “
Bergetar rasa syukur di hati Kyai Gringsing mendengarkan petunjuk Sunan Muria itu, ternyata di usia tuanya dia masih diberi kesempatan untuk lebih memahami dan mendekat pada DzatNYa
Masih dengan wajah tenang tersungging senyum yang tulus, Sunan itu mendekat dan di jabat tangan sahabatnya itu, “ Berdoalah Raden sesuai dengan tuntunanku dan memoholah padaNYa dengan sekuat hati Raden, mintalah sesuatu yang seperti aku lakukan, insya Alloh Raden akan mendapatkan rahmat  dan ridhoNya “
Tiada hujan tetapi  serasa terdengar halilintar menyambar dan meledak di mulut gua itu, pandangan mata Kyai Gringsing tampak kabur, lehernya terasa tak mampu menahan berat kepalanya, jari – jemarinya pun terasa tiada bertulang. “ Ya Gusti Pangeran penentu semua kehidupan di alam jagad raya, berilah hambamu ini kemurahan dan keridhoanMu “ doanya.
Setelah melaksanakan kewajibannya, duduklah kembali Raden Pamungkas diatas sebuah batu hitam, orang tua itu memejamkan matanya, memanjatkan doa permohonan kepada Illahi Robbi sesuai tuntunan Sunan Muria.
Dalam keheningan, Sunan Muria telah berdiri menghadap pada sahabatnya itu, di julurkan ke dua belah tangan dan berhenti tepat diatas kepala Kyai Gringsing, tampaklah kabut tipis seolah keluar dari telapak tangan itu dan masuk ke raga sahabatnya lewat cakra mahkota, sekejap kemudian terlihat tubuh Kyai Gringsing bergetar pelan.     
Sembari menarik nafas pelan sekali, Sunan Muria mundur dua langkah dan dibiarkannya Raden Pamungkas menyelesaikan semedinya.
Tak lama kemudian, Kyai Gringsing telah membuka matanya dan menyembah Sunan Muria seraya menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
“ Bukan kepadaku Raden, berterima kasihlah kepada Sang Pencipta alam semesta dan Junjungan Kita, sebenarnyalah sesuatu akan terjadi terjadilah bila Illahi Robbi menghendaki, nah sekarang lalukan seperti apa yang sudah aku perbuat Raden “ perintah Kanjeng Sunan.
Orang tua itu berdiri dan bergeser perlahan mendekati batu besar yang telah mengeluarkan air itu, dengan ragu – ragu dirabanya batu itu, tanpa sadar ia menoleh ke Sunan Muria.
“ Semoga tempat ini nantinya di kemudian hari terdapat air yang melimpah dan banyak dikunjungi orang, meskipun letaknya di lereng gunung “ ujar Sunan Muria.
Dengan ketetapan hati dan kepasrahan terhadap Penciptanya diketuklah batu itu dengan telunjuknya dan diulanginya sekali lagi, sebentar kemudian basahlah bartu itu dan segera memancarkan air meskipun kecil.
“ Subhanalloh “ gumam orang tua itu memanjatkan syukur.
Dengan tersenyum Sunan Muria berjalan keluar gua itu dan Raden Pamungkas mengikutinya dari belakang, mereka menuju sebuah pohon mahoni, mereka duduk bersila.
“ Sebaik – baiknya manusia adalah apabila dia bisa bermanfaat bagi sesamanya dan berjalan di arah yang telah di tentukanNYA dan menjauhi semua laranganNYA, “ kata Sunan Muria, diam sejenak, selanjutnya, “ sebelum Raden memulainya, aku telah menyiapkan sesuatu yang akan sangat membantu tugas Raden berikutnya, dan untuk Raden aku berikan kediamanku diatas bukit itu sebagai tempat terakhir bagi Raden jika saatnya tiba, tetap berdekatan denganku, aku ingin memenuhi pesan ayahanda Sunan Kalijaga “, kata – kata itu mengalir bagai air padasan menitik di hati Raden Pamungkas.
Sejenak Raden Pamungkas mengangkat wajahnya, dipandanginya Sunan Muria itu dengan berbagai pertanyaan.
“ Baiklah Raden, aku berterus terang, bahwa selama aku mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga aku telah ditempa ilmu kajiwan dan kanuragan, saatnya di desa Kadilangu, ayahanda berkata,” Anakku, dalam menyebarkan dan menjaga agama baru ini engkau haruslah kuat lahir dan bathin, pada saatnya nanti akan ada seseorang yang akan membantumu, akan muncul seseorang yang mempunyai darah dari Bang wetan dengan ciri – ciri seperti ini, bahwa orang itu selalu membawa benda panjang dan lentur menyerupai cambuk dan dalam ikat pinggangnya selalu terselip ramuan dari empon – empon terutama daun jati “ Kanjeng Sunan Muria berhenti sejenak, dihirupnya udara lereng merapi itu, lalu terusnya, “ Raden, aku telah mengikutimu dan memperhatikanmu sejak Raden membantu berdirinya Mataram, saat Raden bermain hantu – hantuan dan bernama Kyai Dandang Wesi. Juga tentang Kyai Damar seorang dukun yang dipercaya dapat menyembukan penyakit yang diakibatkan oleh hantu Mentaok meskipun itu hanya sebuah cerita ngayawara, apakah Raden Ingat ? “
Raden Pamungkas yang tak lain adalah kyai Gringsing itu tampak tertawa perlahan, dihadapannya duduk seseorang Wali waskita, dengan penuh kesadaran di lihatnya kedalam dirinya sendiri, akhir perjalanan hidupnya telah membawanya kepada putra dari Sunan Kalijaga, seorang Ulama yang sangat di kagumi oleh kakenya,Empu Widujati.
“ Sudahlah Raden, aku harus segera kembali keutara, para santri dan masyarakatku pasti telah menungguku, aku sangat berharap Raden mengerti semua yang telah aku sampaikan, ketenangan dan kedamaian sangat di perlukan oleh lingkungan kita, sedangkan ketenangan dan kedamaian itu tidak akan tercipta dengan sendirinya, selama manusia tetap mengagungkan nafsunya dan selama masyarakat kita lupa dan tidak mau belajar tentang kehidupan dan DzatNya maka selama itu kehadiran Raden akan tetap selalu dibutuhkan, “
Angin semilir membelai wajah putra Sunan Kalijaga itu, terdengar kemudian wejangannya,
“ Aku bangga mempunyai sahabat seperti Raden, mau belajar dengan tekun dan memperdalam ajaran yang telah aku sampaikan, ketahuilah, saat sekarang Raden telah mempunyai apa saja yang seharusnya di punyai seseorang, bersiaplah Raden kewajiban telah menunggu “
Kyai Gringsing mendengarkan semua perkataan Sunan Muria dengan seksama, dicernanya setiap kata dan seolah telah disimpannya dalam kampil yang telah ia siapkan dan diletakan di dalam relung kalbunya.
“ Raden pergilah sementara waktu ke barat, berhentilah pada bangunan masjid yang terletak di lingkungan kasultanan Cirebon, temuilah seseorang yang bernama Rahadian Silirespati dan berikan kampil ini “ ujar Sunan Muria sembari memberikan kampil kepada Kyai Gringsing, selanjutnya, “ Rahardian Silirespati akan membantu mempersiapkan semua kebutuhan Raden dan sebelum pergi silahkan Raden mandi di belumbang yang telah aku bersiapkan di dalam gua yang tidak terlalu dalam itu, dan pada purnama ke enam mendatang kita akan bertemu kembali di Muria “
Mendengar permintaan itu, Kyai Grinsing tampak menganggukkan kepalanya, mulutnya terasa terbungkam tak satu patah katapun yang bisa diucapkannya, kecuali perkataan, “ Terima kasih Kanjeng Sunan, hamba akan melaksanakan semua titah, mohon doa restunya, semoga hamba bisa memenuhi kewajiban ini “
“ Aku mohon diri Raden, aku menunggumu pada purnama ke enam “
Setelah mungucapkan salam, Sunan Muriapun segera membalikan badan dan berjalan menjauhi Kyai Gringsing.
Sesaat kemudian duduklah kembali orang tua itu, pikirannya terbang kemana–mana, tanpa disadarinya terbayang wajah muridnya yang tengah mengabdi pada Mataram, seorang yang sangat patuh terhadapnya dan telah mewarisi segala ilmu yang ia miliki. “ Akankah aku akan betemu dengan Agung Sedayu lagi ? “ desisnya.
Senja telah memeluk merapi, udara dingin telah menyentuh kulitnya “ Baiklah, saatnya aku mempersiapkan diri sesuai petunjuk Kanjeng Sunan “ gumam Kyai Gringsing.   Dilangkahkannya kakinya menuju ruangan di dalam gua itu.
   Kehidupan terus berlangsung dengan segala keindahannya, meskipun terkadang timbul gejolak yang akan membuat kepedihan, matahari akan terus bersinar, anugerah ilahi akan selalu menyelimuti alam jagat raya yang penuh misteri.
    Di tanah Perdikan menoreh, hamparan padi terbentang luas, keelokan pemandangan alam yang tiada duanya, hari yang cerah dan langitpun nampak bersih membiru, terlihat Sukra dan Glagah putih saling bahu membahu mencangkul galengan sawah garapan keluarga Agung Sedayu, panas terik matahari tidak dihiraukannya, terlihat semakin bertambah dewasa dan tubuh Sukra semakin kekar, kulitnya sawomatang dengan sedikit hitam tersengat matahari Menoreh.
“ Sukra, galengan air harus sering kita bersihkan supaya tanaman padi kita dapat tumbuh subur dan kelak pada saatnya kita akan memetik hasil panen yang memuaskan “ kata Glagah Putih sembari mengayunkan cangkulnya.
Terdengar Sukra tertawa renyah, dipalingkannya wajah nya yang ceria itu ke arah Gragah Putih, dan jawabnya singkat, “ iya kakang “
“ Tidak hanya itu, kita harus juga memperhatikan sumber dari air yang mengalir di galengan ini, sumber air itu harus terjaga, karena sebenarnyalah tanaman padi sangat bergantung pada berapa banyak air yang menggenanginya “.
Sekali lagi terdengar Sukra tertawa tetapi dengan nada yang berbeda dan tidak menjawab sepatah katapun.
“ He.. kenapa kau tertawa saja, “ kata Glagah Putih dengan nada kesal.
Masih terdengar suara tertawa Sukra, kali ini ayunan cangkulnya berhenti, dipandanginya sepupu Ki Rangga itu dengan mata sedikit melotot sambel digeleng – gelengkan kepalanya, katanya,
“ Kenapa kakang menasehati aku ? Bukankah hampir setiap hari bersama Ki Jayaraga aku kemari, melihat air, melihat padi, melihat burung – burung yang hinggap di sawah kita ini “, diam sejenak dan lanjutmya,
“ Sementara kakang selalu pergi entah kemana, saat datang kakang hanya makan nasi dari hasil panen padi ini “
Penjelasan dan jawaban Sukra mengalir deras seperi aliran air di galengan yang membasahi kakinya.
Mendengar semua perkataan Sukra itu meledaklah tawa Glagah Putih sampai sampai hampir memecahkan gendang telinga Sukra.
“ Oh.. oh..maafkan aku Sukra “
“ Tidak, tidak bisa di maafkan aku akan katakan kepada Ki Jayaraga “ jawab Sukra bersungut – sungut.
“ Ya sudah, nanti aku akan bicara kepada kakang Agung Sedayu, bahwa Sukra marah padaku dan meminta agar setiap hari aku harus pergi kesawah untuk menemaninya “,
“ Dan aku akan meninggalkan barak pasukan khusus demi membantu Sukra di sawah “, gumam Glagah Putih.
Mendengar ucapan itu, mata Sukra terbelalak, wajahnya terlihat cemas dan seketika itu berjalan mendekat ke Glagah Putih, katanya setengah merengek, “ Jangan kakang, jangan kau lakukan itu, biarlah sawah ini aku yang mengurus bersama Ki Jayaraga, kau dapat datang kapan saja “.
Karena Glagah Putih masih terdiam, maka Sukrapun mengguncang-guncang lengannya.
Glagah Putih pun segera berhenti menggoda, katanya sambil tertawa “ Ya sudah, aku akan bicara saja ke Ki Jayaraga “,
“ Apa yang mau kakang katakan ? “
“ Akan aku katakan bahwa Sukra anak yang rajin, jadi selain harus mendapat kiriman dari Mbokayu Sekar Mirah, Sukra harus mendapat perhatian yang lebih “
Sukra mengerutkan keningnya, dipasang telinganya baik – baik demi mendengarkan ucapan Glagah Putih berikutnya.
“ Perhatian apa ? “ pikirnya.
Sejenak Glagah Putih terdiam dan dilangkahkan kakinya menuju gubug iyupan yang letaknya tidak terlalu jauh, dengan perasaan gundah gulana di ikutinya setiap langkah kakangnya itu.
“ Aku akan memohon pada Ki Jaya Raga untuk meningkatkan olah kanuraganmu “ kata Glagah putih membuka pembicaraan setelah keduanya duduk bersandar pada dinding bambu yang di buat Sukra dua pekan yang lalu.
“ oh.. syukurlah, terima kasih kakang “ kata Sukra puas mendengarkan jawaban itu.
Semilir angin datang serasa membelai tubuh mereka, perasaan lelah dan kantuk seakan datang tanpa di undang.
“ Kakang, apakah kau tidak pergi kebarak pasukan khusus ? tanya Sukra kepada Glagah Putih yang tampak memejamkan matanya.
“ Tidak Sukra, aku bersama mbokayumu Rara Wulan mendapat istirahat hari ini dan esok “ jawab Glagah Putih
“ Kakang, apakah aku boleh bertanya sesuatu ? “ tanya Sukra saat mereka beristirahat sambil menunggu Rara Wulan membawa kiriman.
Kening Glagah putih tampak berkerut, jawabnya : “ Tentu boleh Sukra, asalkan jangan tanya tentang makanan yang dikirim oleh mbokayumu “. Sukra tertawa mendengar jawaban Glagah putih.
“ Ayo, tanya apa ? “ desak Glagah putih. Sukra kaget dan tampak kebingungan.
“ He., kenapa kau ini, baru saja tertawa dan sekarang kebingungan “
“ Aku lupa kakang, aku benar – benar lupa, apa yang mau kutanyakan “ jawab Sukra sambil berdiri menjauhi Glagah Putih.
“ Ohhh.. kucing kecil... kau mengangguku lagi ya “ kata Glagah Putih dengan mata melotot dan siap mengejar Sukra. Mengetahui apa yang bakal terjadi terhadap dirinya, Sukra pun bergeser menjauh dan siap ambil langkah seribu kembali ke rumah ki Rangga dan berlindung di balik punggung Rara Wulan.
“ Oh. . kakang, bagaimana aku bisa hidup dengan leher terputar “ kata Sukra seolah minta penjelasan. “ Lagi pula Ki Rangga pasti marah padamu, sebab aku murid terkasih Ki Rangga .”
Mendengar bualan Sukra, mau tak mau Glagah putih tersenyum dan duduk kembali di tanah, disandarkannya tubuhnya di tiang gubug iyupan itu. Tak lama kemudian datanglah Rara Wulan membawa kiriman makan siang mangut lele, ketiganya bersantap lahap.
Tidak jauh dari pada mereka, dua pasang mata dengan tajamnya mengamati gerak gerik ke tiga orang keluarga Ki Rangga itu. “ Mereka adalah keluarga Ki Rangga, mereka termasuk orang - orang yang harus mendapat pelajaran “ gumam salah seorang itu dalam hatinya.
“ Bagaimana kakang, apa yang kita lakukan sekarang ?“ tanya seseorang dengan ikat kepala hitam itu.
Seseorang lagi dengan pakaian lurik tampak mengerutkan keningnya. Tidak segera dijawabnya pertanyaan adik seperguruannya itu.
Di perhatikannya Glagah Putih sejenak, lalu katanya, “ Kita datangi mereka dan kita sampaikan maksud guru kita,”
“ Tetapi kakang, apakah kita tidak sebaiknya menunggu kehadiran guru, “ sahut seorang yang memakai ikat kepala hitam.
“ Kapan guru datang ? “ tanya seorang lagi
“ Tidak lama lagi, wayah sepi wong “ jawab adik seperguruannya
“ Tangan ini sudah gatal, penghinaan Mataram terhadap perguruan – perguruan di daerah timur tidak bisa di maafkan, “ gumamnya
“ Baiklah, kita menunggu kehadiran guru, supaya semuanya berjalan sesuai rencana, “ lanjut orang yang berpakaian lurik itu.
Tidak menunggu jawaban adik seperguruannya, orang berbaju lurik itu langsung bergeser dan segera meninggalkan tempat persembunyiannya, sementara itu orang dengan ikat kepala hitam itu mengikutinya dari belakang.
Kepergian mereka ternyata tak luput dari perhatian Glagah Putih, tanpa sadarnya anak muda itu menarik nafas panjang. Kelezatan masakan Rara Wulan menjadi sedikit berkurang ketika mendengar Glagah Putih berbicara,
“ Wulan, apakah kau tadi pergi dari rumah ada seseorang yang mengikutimu ? " tanya Glagah putih memecahkan kesunyian.
Serentak Rara Wulan dan Sukra memandang Glagah Putih. “ Aku kurang mengamati keadaan ketika itu kakang “ jawab Rara Wulan,
“ Apakah kakang telah melihat sesorang yang mengawasi kita ? “ tanya Sukra cemas.
Glagah putih menarik nafas sejenak, menganggukan kepala, lalu katanya,
“ Benar Sukra, aku melihat dua orang memperhatikan kita, tetapi sekarang sudah pergi “ , berhenti sejenak, lalu, “ Mungkin akulah yang terlalu berprasangka .“
Bagi Rara Wulan dan Sukra tentu Glagah Putih tidak membual, mereka tahu betul siapa Glagah Putih itu. Mereka terdiam dan menunggu perkembangan keadaan.
.
Setelah menyelesaikan makan siang, segera Rara Wulan dan Sukra mengemasi peralatan yang mereka bawa, tak lama kemudian mereka mendengar ajakan Glagah putih.
“ Marilah kita pulang “ ajak Glagah Putih kepada Rara Wulan dan Sukra memecah kesunyian, “ Nanti kita beritahukan kepada Kakang Agung Sedayu, semoga tidak ada hal hal yang dapat mengganggu ketenangan di tanah ini “.
Matahari bergerak tak terasa, Glagah putih, Rara Wlan dan Sukrapun telah sampai dirumah. Glagah Putih tahu baru menjelang sore Ki Rangga akan datang kembali kerumah, jadi mereka tidak tergesa – gesa berceritera, meskipun kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.
Di rumah Ki Rangga, dua orang perempuan berbeda usia tengah sibuk berbincang,
“ Rara, apakah kirimanmu tadi tidak mendapat celaan dari Sukra “ tanya Sekar Mirah sambil berjalan menuju dapur, ruangan di mana Rara Wulan berdiri, tampak tangannya sibuk mengikat rambutnya yang panjang.
Rara Wulan tersenyum mendengar pertanyaan mbokayunya Sekar Mirah, sembari jari lentiknya mengupas buah mentimun, lalu jawabnya, “ Hari ini tidak ada celaan mbokayu, dia makan lahap sekali. “
“ Tentu dia makan lahap sekali, he.. bukankah mangut lele, tumis kangkung dan tempe garit itu makanan kesenangan Sukra “ kata Sekar Mirah sembari tertawa.
Rara Wulan tertawa, di pandanginya tubuh Sekar Mirah yang terlihat semakin gemuk.
“ Sehari ini Rara, badanku terasa panas dan pinggangku sedikit pegal “ keluh Sekar Mirah. Mendengar keluhan itu, tampak Rara Wulan tersenyum didatanginya mbokayunya, sambil berkata,” Tentu saja, semakin hari semakin besar perut mbokayu, tentu semakin berat “.
.
Tangan Rara Wulan memegang pinggang dan perut Sekar Mirah, lalu katanya, “ Mbokayu, kata orang – orang tua, juga ibuku, bahwa orang hamil itu banyak sekali perubahan, tidak hanya tubuhnya tetapi juga bathinnya. Seringkali berkelakuan aneh dan sulit dipahami bahkan oleh suaminya sendiri.“
Sekar Mirah sebenarnyalah juga sudah terlalu sering mendengar nasehat orang tua perihal kehamilannya itu, kegelisahan selalu muncul seiring umur kandungannya itu, betapa tidak, usianya sudah tidak muda lagi dan ini merupakan kehamilan pertamanya.
“ Kurang dari dua purnama, aku akan melahirkan, aku akan minta kakang Sedayu untuk dirumah saja “ gumamnya lirih.
Rara Wulan melihat rasa cemas diwajah Sekar Mirah, katanya,” Tidak usah cemas apalagi khawatir mbokayu, kami semua akan membantu dan menunggui mbokayu, dari awal hingga selesai, biarlah aku minta ijin khusus kepada Ki Rangga “,
“ Bukankah menurut mbokayu masih kurang dari dua purnama, bukan ? ”
Percakapan terus berlanjut, ke dua perempuan itu banyak membicarakan keperluan dan persiapan menyambut datangnya keturunan Ki Rangga Agung Sedayu.
Hujan gerimis mengguyur Menoreh, Ki Rangga tengah memacu kudanya menuju rumahnya, ia tak ingin bajunya basah kuyub yang nantinya akan membuat Sekar Mirah sibuk.
Seperti lelaki kebanyakan, Ki Rangga turun dari kudanya dan mengikatnya di tempat biasanya, sambil berjalan ke pintu ia mengucap salam.
Dibukanya pintu perlahan dan segera dilihatnya Sekar Mirah dengan perut yang semakin besar tengah jalan kearahnya.
“ Bagaimana keadaanmu Mirah “ tanya Ki Rangga sambil menuntun istrinya duduk di kursi berukiran Jepara yang merupakan pemberian Ki Patih Mandaraka.
“ Baik kakang, hanya pinggangku terasa pegal – pegal “, sahut Sekar Mirah, “ Apakah dalam dua purnama kedepan kakang ada tugas dari Mataram atau tugas apapun dari siapapun “ tanya Sekar Mirah dengan wajah memelas.
Bergetar hati Agung Sedayu menghadapi pertanyaan istrinya, belum pernah sekalipun sepanjang usia perkawinannya ia mendapat pertanyaan seperti itu. Kebingungan sesaat hinggap di benaknya, dengan sabar di jawabnya,
“ Aku belum ada pemberitahuan sampai saat ini Mirah, semoga saja tidak ada tugas yang mendesak, Mataram sekarang ini mempunyai banyak sekali senopati yang mempunyai bekal yang tinggi dan tersebar dimana – mana “
“ Tetapi kakang, aku tahu bahwa Ki Patih Mandaraka sangat mengandalkan kakang dalam segala bidang tugas, bahkan Panembahan Hanyakrawati sangat percaya kepada kakang “ desak Sekar Mirah.
“ Tenanglah Mirah, aku akan mendampingimu saat – saat kau perlukan, aku berjanji “ kata Agung Sedayu sambil memegang tangan istrinya.
Mendengar ucapan suaminya terasa hati Sekar Mirah seperti di guyur air padasan, tanpa sadarnya telah menitik air matanya.
“ Sudahlah, kita memohon kepada Sang Pencipta semoga kita diberi perlindungan dan kelancaran serta kesehatan untukmu dan bakal jabang bayi kita “, kata Agung Sedayu lirih ditelinga istrinya.
Malam semakin larut terrdengar suara kentongan dengan nada dara muluk dari banjar padukuhan induk, Glagah Putih tampak duduk gelisah dibibir pembaringannya, kejadian siang tadi masih lekat diingatannya,
“ Aku akan keluar sebentar melihat Sukra dan Ki jayaraga, apakah mereka sudah selesai dengan latihannya ? “ kata Glagah Putih kepada istrinya.
“ Silahkan kakang, kalau sudah selesai, cepatlah kembali “ jawab istrinya manja.
Terdengar pintu berderit, Glagah putihpun segera melangkahkan kakinya keluar , tidak langsung menuju sanggar tempat berlatih Sukra melainkan menuju pendapa, diedarkannya pandangannya berkeliling menatap halaman yang cukup luas seakan ada yang di carinya, sebentar kemudian langkahnya telah menuju regol.
Berdiri di tengah halaman, di pandanginya pintu regol itu seolah olah belum pernah pintu itu dilihat sebelumnya, dahinya semakin berkerut, segera ia membalikan badannya, dipandanginya seluruh bangunan rumah kakak sepupunya, kerut di keningnya semakin dalam dan terasa hatinya berdebar takkala melihat pintu rumah pada bangunan induk itu.
“ Ada apa ini ? dadaku semakin berdebar – debar “ katanya dalam hati.
Tanpa sadar diayunkan langkahnya menuju sudut halaman dan dia berhenti dibawah pohon jambu air yang di tanam Sukra, di perhatikan juga sanggar tempat Ki Jayaraga menuntun Sukra tetapi sudah gelap,
“ Rupaya Ki Jayaraga telah selesai, “ gumamnya.
Beberapa saat dia berdiam diri, di cobanya mempertajam pendengarannya, tapi dia tidak menemukan sesuatu. Glagah Putih adalah anak muda yang sangat terlatih, sebagai murid Ki Jayaraga tentu dia tidak mengecewakan. Dengan sekali hentak tubuhnya telah meluncur dan hinggap didinding pembatas rumah.
Dengan posisi jongkok dia memadang berkeliling sekitar rumah itu, sekali lagi dia tidak menemukan hal – hal yang mencurigakan.
“ Rupaya aku terlalu perasa “ desisnya, Glagah Putihpun segera meluncur turun dan berjalan menuju pendapa.
Belum beberapa langkah dia bergerak, tiba – tiba terasa sentuhan halus di pundaknya.
Alangkan terkejutnya Glagah Putih, darahnya terasa tersirap, tubuhnya terlonjak dengan gerak naluriah ia melenting kedepan dan segera memutar badannya dengan kesiagaan sepenuhnya.
“ Kau belum tidur Glagah Putih “, terdengar kakak sepupunya berkata kepadanya sembari tertawa kecil.
“ Ah.. kakang mengejutkanku “ desahnya.
“ Kau terkejut ? “ tampak senyum menghiasi bibir kakak sepupunya.
“ Apa yang kau rasakan selain terkejut ? “
“ Aneh kakang, dadaku terasa berdebar – debar,sedangkan aku tidak melihat apapun atau sesuatu yang aneh “
“ Bersyukurlah, itu artinya pranggaitamu sudah semakin tajam Glagah Putih “ terdengar suara lain dari arah sanggar dan betul saja, nampak Ki Jayaraga berjalan ke arah mereka berdua.
“ Selamat malam guru, “ sapa Glagah Putih,
Setelah menjawab salam, Kyai Jayaraga mengajak mereka berdua duduk di pendapa.
Malam semakin larut, suara kentongan dengan nada dara muluk kembali terdengar. Tanah Perdikan Monoreh telah tertidur lelap, hanya para pengawal yang bertugas jaga saja yang tetap berada di gardu – gardu penjagaan, bahkan Sukra dalam tidurnya telah bermimpi indah, bertemu dengan sayur lodeh, urapan dengan ikan asin berserta sambal terasinya, ia mendekur dengan irama yang teratur.
Udara malam yang dingin seakan bertambah dingin , udara malam telah membawa sesuatu yang menghempas kesadaran mereka, membuai dan menidurkan.
“ Sirep ini semakin kuat, “ desis Ki Jayaraga
Ki Rangga tersenyum, dan Glagah Putih terlihat wajahnya tampak kesal,  di pendapa, mereka bertiga tengah duduk, seakan menunggu akan hadirnya sesuatu di tengah malam, semuanya diam.
Malam semakin dalam, tiba – tiba Agung Sedayu mengangkat kepalanya, terlihat dia memandang pintu regol dan berkata, “ Selamat malam ki sanak semuanya, silahkan masuk, tidak sepantasnya tengah malam berdiri didepan pintu “. Bersamaan pula Glagah Putih dan Ki Jayaragapun  memandang ke arah pintu regol.
Tak lama, dalam kegelapan malam beberapa bayangan meluncur bagikan terbang hinggap di dinding halaman, sesaat kemudian telah mendarat di halaman rumah Ki Rangga dan mereka bertiga telah melangkah menuju pendapa rumah.
“ Betapa sombongnya kau Ki Rangga “ dengus seseorang yang tampaknya adalah pemimpin dari orang – orang itu.
Di pendapa, Ki Rangga, Ki Jayaraga dan Glagah Putih sudah berdiri dan bersiap menyambut kadatangan orang – orang tak di kenal itu.
“ Silahkan naik ke pendapa ki sanak “ kata Ki Rangga mempersilahkan tamunya.
“ Tidak perlu, kemarilah kau Ki Rangga ! " kata orang itu yang berdiri di tengah halaman sambil bertolak pinggang.
Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih, dia sudah tidak sabar lagi, seandainya kakak sepupunya tidak disampingnya, seandainya gurunya tidak disisinya maka tentu sudah di terjangnya orang itu.
“ Tamu tidak tahu diri “ geramnya.
Ki Jayaraga diam saja di biarkannya Ki Rangga berbicara. Terdengar Senopati Pasukan khusus Mataram itu tertawa perlahan dan segera turun ke halaman diikuti oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
“ Ada keperluan apa kisanak bertiga datang kemari ?” bertanya Ki Rangga.

Tanpa menjawab pertanyaan Ki Rangga, orang tua yang bertubuh sedang dengan berewok yang telah memutih dan memakai baju berwarna hitam itu berkata “ Aku adalah Bondan Ketapang dari Argopuro dan kedua orang di belakangku adalah muridku. “
Ki Rangga masih tampak berdiam diri, pikirannya menerawang suatu tempat di bang wetan, sebuah gunung yang menjulang tinggi, tegak menancap kokoh sampai ke jantung bumi.
“ Baiklah, Ki Bondan Ketapang, selamat datang di rumahku, terus terang aku belum mengenalmu, sebaiknya kau katakan keperluanmu datang kemari “ kata Ki Rangga kalem.
“ Guru terlalu banyak membuang waktu, kita tantang saja mereka dan merekapun harus menerimanya “ kata orang berbaju lurik yang ternyata bernama Singa Patrap, sahabat dari Ki Kebo lungit dari Madiun.
Mendengar perkataan itu, dada Glagah putih serasa pecah, tentu kedua murid Ki Bondang Ketapang itu yang tadi siang mengamatinya.
“ Baik, aku terima tantanganmu “ sahut Glagah Putih sambil maju kedepan, dadanya bagaikan pecah menahan amarah, “ Mau disini atau dimana, tentukan tempatnya, aku muak melihat kesombongan kalian “
Ki Jayaraga dan Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam menyaksikan tingkah laku Glagah Putih.
“ Bersabarlah, tidak baik engkau marah – marah terhadap tamu kita Glagah Putih, “ kata Ki Jayaraga yang sedari tadi berdiam diri.
“ Maaf guru, kelakuan dan kesombongan mereka telah melapaui batas, akulah yang akan membungkam mulut mereka, “ kata – kata Glagah Putih meluncur bagai anak panah, melesat tanpa dapat di tahan.
“ Setan kecil, kau belum tahu siap kami “ geram Singa Patrap.
Nafas Glagah Putih terasa memburu, katanya,” Cepat katakan apa maumu, atau aku akan mengusirmu, “
Nampak Singa Patrap bergerak dan akan menjawab, tetapi gurunya telah mendahuluinya.
“ Aku hargai keberaniamu anak muda, karena kau belum mengenal kami, tetapi setelah kau tahu tentang kami, kau tentu akan menyesal, kami tidak pernah memberi ampun kepada lawan – lawan kami.“
Ki Rangga yang tengah berdiam diri itu, tiba – tiba menguap, sambil berkata, “ Maaf Ki Bondan Ketapang, aku sudah mengantuk, waktu tidurku sudah lewat, cepat katakan apa maumu atau aku akan pergi tidur. “
“ Bedebah, setan thethekan,” umpat Singa Patrap.
“ Ternyata kau sombong sekali Ki Rangga, baiklah, aku datang kemari dari Argopura untuk menuntut balas atas kematian adikku Kebo Samparan yang kau bunuh secara licik di lereng gunung Wilis.“
Jelas sudah bagi penghuni rumah itu bahwa kedatangan ketiga orang itu tidak bermaksud baik, bahkan mereka akan melakukan balas dendam.
Ki Rangga mengerutkan keningnya, di ingatnya perjalanan ke timur beberapa waktu lalu bersama Pangeran Pringgoloyo yang diiringi sepasukan kecil Mataram. 

Beberapa persoalan dapat diselesaikan dengan baik tanpa benturan kekerasan, beberapa Adipati di daerah timur menerima dan mengerti pesan Panembahan Hanyakrawati, tetapi dalam perjalanan pulang rintangan demi rintangan telah menggangu utusan Mataram itu, salah satunya adalah datang dari perguruan Wilis yang di pimpin oleh Ki Kebo Samparan.
Ternyata kematian Kebo Samparan telah membawa Ki Bodan Ketapang datang ke Menoreh dan menemuinya.
Lamunannya terhenti ketika mendengar tamunya, berkata, : “ Tetapi aku masih berbaik hati Ki Rangga, aku akan menantangmu perang tanding, dua malam mendatang saat purnama naik, aku menunggumu di gumuk kembar, jika kau tidak datang maka aku akan membakar seluruh tanah Menoreh ini dari ujung sampai keujung. “
Keringat dingin telah mengalir di punggungnya, balas dendam, sakit hati dan segala persoalan kekerasan selalu mengikutinya kemana saja dia pergi, nalarnya selalu mengatakan bahwa ini adalah akibat dari pengabdiannya terhadap sesama, terkadang hatinya menentang tetapi disisi lain keinginannya untuk berbuat baik terhadap sesamanya tak bisa dicegah dan bahkan sudah menjadi pedoman hidupnya.
Ki Rangga tetap dapat menguasai dirinya betapun darahnya bergejolak hebat, di perhatikannya Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sambil menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya, “ Baiklah Ki Bondan Ketapang, aku terima tantanganmu, dua malam mendatang, malam saat purnama naik aku akan datang. “
“ Bagus, ternyata kau berhati jantan Ki Rangga “ kata Ki Bondan Ketapang sambil membelai janggutnya yang telah memutih.
“ Tidak usah memuji ki, ” sahut Ki Rangga.
Tiba – tiba salah satu murid perguruan Argopuro itu melangkah maju.
“ He.. Ki Rangga, apakah kau mempunyai ilmu kebal “ tanya orang disebelah Singa patrap yang ternyata bernama Jalak Werdi.
“ Ketahuilah Ki Rangga, guru kami Ki Bondan Ketapang adalah murid terkasih dari pertapa Kumitir, di alas Kumitir. Kamilah pewaris sejati, ilmu dari seluruh ilmu kebal yang ada di muka bumi ini.“
Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih, terlihat Ki Jayaraga mulai gelisah mendengar igauan itu.
“ Singa Patrap, majulah dan tunjukanlah salah satu ilmu kebanggaan perguruan kita “ Kata Ki Bondan Ketapang kepada muridnya, rupanya orang dari Argopura itu ingin mempengaruhi tekat dan kemantabahn hati penghuni rumah itu.
Mendengar permintaan gurunya dengan menengadahkan dadanya Singa Patrap maju satu langkah, segera di persiapkan dirinya, di bangkitkannya salah satu andalan ilmunya, segera terlihat tubuhnya seperti membara, warna merah seolah telah menyelimuti tubuhnya.
“ Itulah puncak dari segala ilmu kebal yang ada di muka bumi ini Ki Rangga, tubuh kami tidak akan tembus oleh senjata apapun. “ kata Ki Bondan Ketapang dengan bangganya, dan lanjutnya “ Itu hanya salah satu ilmu dari sekian ilmu yang kami miliki. “
Melihat pameran kekuatan itu, Ki Rangga diam saja, Glagah Putih akan bergerak, tetapi Ki Jayaraga cepat menggamitnya, seraya berucap,.
“ Kyai sebaiknya segeralah pergi, saat purnama naik kyai akan bertemu dengan Ki Rangga dan pamerkan semua ilmu yang kyai punya “ kata Ki Jayaraga yang hatinya mulai tergelitik.
Sementara itu, sembari mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, terdengar Singa Patrap tertawa terbahak – bahak, katanya “ Aku tidak akan bergerak atau melawan, cobalah sentuhlah aku, apapun yang kau lakukan tidak akan mampu mengoyak ilmuku. “.
“ Nah, Ki Rangga jika muridku saja mampu berbuat seperti itu, tentu kau dapat membayangkan, apa yang kira – kira aku lakukan “ jelas Ki Bondan Ketapang dengan nada mengejek.
Darah Glagah Putih telah menggelegak sampai ke ubun – ubunnya, darah mudanya telah terbakar, dia yang diam telah beringsut kesamping, sudah dari tadi mempersiapkan diri dan akan segera bertindak.
“ Tunggu Glagah Putih “ cegah kakaknya.
“ Apakah kau sudah mencapai puncak dari ilmu kebalmu Singa Patrap ? “ tanya Ki Rangga Agung Sedayu.
Kembali terdengar Singa Patrap tertawa semakin keras, “ Kasihan kau ki Rangga, dalam puncak ilmuku kau tidak bisa menyentuhku, bagaimana kau akan melawan melawan guruku “ katanya.
Udara di halaman itu terasa semakin panas, tampak Ki Rangga mundur beberapa langkah.
“ Aku peringatkan kau Singa Patrap, jangan membuat kotor halaman rumahku “ terdengar suara Ki Rangga bergetar.
“ Lalu apa maumu, seranglah aku ! “ tantang Singa Patrap.
Udara malam yang dingin telah terasa panas menyengat kulit penghuni rumah itu.
Merasa dapat mempengaruhi ketabahan hati Ki Rangga, apalagi setelah melihat musuh gurunya itu mundur beberapa langkah, maka matanya menjadi nanar dan pikiran kotornya telah muncul.
“ Istrimu akan menangis dan meratapi tubuhmu Ki Rangga, kematianmu akan membuatnya menderita dan dia akan menjadi janda seumur hidupnya dan kemudian aku akan datang kepadanya “ kata Singa Patrap sambil tertawa terbahak – bahak.
“ Singa Patrap, hentikan atau aku akan menghentikanmu, “ suara ki Rangga benar – benar berubah.
“ Aku akan membakar rumahmu, sekaligus membawa istrimu Ki Rangga “ katanya lantang.
Ki Rangga akan diam saja betapapun dirinya di hina dan dicaci maki, merendahkan martabatnya sebagai manusia tidak menjadikan persoalan besar bagi dirinya, tetapi kini seseorang telah menghina istrinya, seseorang yang sangat di cintainya, seorang wanita yang tengah mengandung jabang bayi keturunannya, terasa dadanya menggelepar hebat, deburan ombak pantai selatan telah menghantam keningnya, mata Ki Rangga yang semula jernih tiba – tiba menjadi buram, senyumnya telah hilang di saput kelamnya malam, bulan yang telah menerangi Tanah Perdikan Menoreh seolah telah hilang di telan mega, hitam pekat dan gelap gulita.
“ Akulah yang akan menggantikan kedudukanmu Ki Rangga, menjadi suami yang baik bagi bekas istrimu “ masih terdengar suara Singa Patrap diiringi derai tawa yang menyeramkan.
“ Hem ... “ desah Ki Rangga
Ki Jayaraga mengatubkan bibirnya rapat – rapat mendengar kata – kata yang sangat keterlaluan itu, penghinaan yang tak dapat di terimanya, di lihatnya wajah Ki Rangga benar – benar memerah, tiba – tiba kecemasan melintas di benaknya, apa jadinya jika seorang Rangga Agung Sedayu Senopati Pasukan Khusus itu benar – benar marah, sementara Glagah putih justru berdiri mematung, matanya tanpa berkedib memandang wajah kakak sepupunya, hatinya berdebar - debar.
“ Apa katamu, he ! orang dungu, akulah Singa Patrap yang akan menggulung Menoreh dan segera membawa istrimu, “
Tiba – tiba saja secepat tatit di langit, terlihat Ki Rangga meloncat, tubuhnya bagaikan mengapung diudara dan segera turun dengan derasnya, sambil menjulurkan tangannya menggapai dada Singa Patrap yang berdiri tegak dalam pengetrapan puncak ilmu kebalnya.
Bumi Menoreh terasa di guncang gempa, jeritan melengking membelah malam, menggetarkan setiap hati yang mendengarkannya.
Sebuah pukulan seseorang yang telah kehilangan kesabarannya, seseorang yang telah kehilangan pengamatan terhadap dirinya karena kemarahan yang memuncak, seseorang yang sudah wuru kawringuten, merendahkan martabat perempuan serta penghinaan terhadap istrinya benar – benar membuatnya lupa, akibatnya dada Singa Patrap terasa terguncang hebat, terasa tertimpa batu sebesar gunung anakan, seakan lahar merapi telah menyiram tubuhnya, darahnya terasa membeku semua urat syarafnya terasa kejang, darahnya berhenti mengalir, dan seketika tubuhnya terpelanting menabrak pintu regol, terlempar keluar terseret arus yang tidak terlawan dan terbanting jatuh berguling – guling di tanah dan berhenti setelah menabrak pohon keluwih, tidak ada suara rintihan, ternyata sukma Singa Patrap telah melayang meninggalkan raganya dan melayang kembali ke Argopuro.
Tampaklah Ki Rangga menggeram marah, bagai singa lapar yang telah lama tak menemukan mangsanya, matanya sudah memerah, segera di balikan tubuhnya mengahadap Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi.
Sementara itu KI Jayaraga dan Glagah Putih dengan mulut ternganga menyaksikan semuanya itu, pertunjukan yang baru saja disaksikan betul – betul di luar nalar mereka berdua, tanpa persiapan dan ancang – ancang , hanya dengan tangan kosong ternyata Ki Rangga telah menumpakan amarahnya, terlihat saat itu tangan Ki Rangga memutih seolah di balut oleh serat kapas halus nan dingin, telah masuk menyentak serta menembus lapisan api di sekitar tubuh Singa Patrap selanjutnya menyentuh bagian dada, serta mengguncangnya tiada henti.
Sebuah pertunjukan ilmu yang belum pernah di saksikan oleh Ki Jayaraga ataupun Glagah Putih, kedahsyatannya seakan akan melebihi ajian Rog – rog asem.
Di pihak lain Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi tampak membeku, menyaksikan semua itu, terlalu cepat bagi mereka, benar – benar di luar dugaan, harapannya untuk menjatuhkan tekat Ki Rangga benar – benar musnah, bahkan terlihat jelas lutut Jalak Werdi gemetaran dan wajahnya terlihat pucat pasi takkala Ki Rangga menghampirinya.
“ Aku tidak akan menunggu Ki Bondan, aku akan menantangmu sekarang, senang atau tidak senang, kalian semua telah menghinakan keluargaku “ geram Ki Rangga.
Suasana sangat mencekam, tidak ada yang bergerak, semua membisu.
Mendengar suara Ki Rangga itu, kegelisahan telah hinggap di hatinya,
hampir saja Ki Bondan Ketapang kehilangan perhitungannya dan menerima tantangan itu, pikiran dan akal liciknya segera bekerja untuk mengeluarkannya dari kesulitan.
“ Tidak Ki Rangga, aku tetap pada pendirianku, datanglah dua malam mendatang saat purnama naik, aku akan menunggumu, perjanjian jantan telah kita sepakati dan kau sebagai kesatria harus menepatinya “ jawab Ki Bondan Ketapang.
Ternyata keributan di halaman depan itu telah membangunkan penghuni rumah Ki Rangga yang tidak jauh dari kediaman Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu, terdengar gerit pintu rumah induk, terlihat Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berdiri di muka pintu.
“ Kakang apa sebenarnya yang telah terjadi ? “ terdengar suara Sekar Mirah.
Mendengar ucapan istrinya Ki Rangga tidak menoleh sedikitpun, bahkan katanya, “ Masuklah Mirah, aku akan menyelesaikan tamu tak di undang ini “.
Ternyata Ki Jayaraga cepat menanggapi keadaan yang cukup gawat ini, dengan sekali loncat orang tua itu telah berdiri di depan Sekar Mirah, kakinya merenggang dengan kedua tangan tangan menyilang dan menempel didadanya, siap melontarkan ajiannya, apabila di perlukan, Aji Sigar Bumi.
Sementara itu Glagah Putih telah menyiapkan ajian Namaskara sampai ke puncaknya, dengan wajah tegang ditatapnya Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi.
“ Sekar Mirah, untuk saat ini janganlah bertanya sesuatu kepada Ki Rangga “ perlahan terdengar suara Ki Jayaraga.
Sebagai seorang perempuan yang juga memiliki ilmu olah kanuragan yang mumpuni, ia segera menyiapkan dirinya,
Rara Wulan yang berdiri disebelahnya, segera mengingatkan tentang keadaan tubuh mbokayunya, katanya, “ Mbokayu marilah masuk, mbokayu sedang mengandung, tentu tidak baik bagi jabang bayi, jika mbokayu memaksakan diri, “
Mendengar ucapan Rara Wulan, tersadarlah Sekar Mirah dan segera di pegangi perutnya, “ Oh.. “ wajahnya menegang. Tanpa beranjak dari tempatnya, Sekar Mirah memandang kehalaman seolah memastikan keadaan suaminya.
“ Nah, Ki Rangga yang perkasa, mungkin malam ini aku akan mati, kalian akan menyerangku dari berbagai penjuru, tetapi ingat Ki Rangga, menjelang kematianku, aku akan menyeret Sekar Mirah mati bersamaku dan kau akan kehilangan jabang bayi calon keturunanmu. “
Ki Rangga terdiam, angin malam membelai jantungnya, hatinya mulai mencair, kemarahannya mulai menguap terbawa angin, wajahnya yang tegang telah mulai berubah.
“ Pilihlah “ terdengar kata Ki Bondang Ketapang sambil matanya melirik Jalak Werdi seraya memberi isyarat khusus.
Kebimbangan telah merambah ke dalam pikirannya, diliriknya dengan sudut matanya keberadaan Sekar Mirah di belakang Ki Jayaraga, terpikir oleh Ki Rangga atas keselamatan Sekar Mirah, maka kemudian katanya,
“ Baiklah ki Bondan, aku terima penawaranmu, tetap pada perjanjian kita, dua malam mendatang, saat purnama naik .“
Tak banyak bicara Ki Bondang Ketapang segera melangkah surut dan segera di ikuti Jalak Werdi.
“ Ki Rangga, apakah kau berkepentingan terhadap tubuh Singa Patrap, “ tanya Ki Bondan saat mau meninggalkan halaman.
“ Tidak ki, silahkan membawanya dan makamkan sebagaimana mestinya “ jawab Ki Rangga.
Tanpa mengucap terima kasih, guru murid itu telah berjalan kearah tubuh Singa Patrap yang tergolek di dekat pohon keluwih itu, tampak Jalak Werdi mengangkat dan mendukung tubuh kakak seperguruannya itu dan mereka segera hilang di telan gelapnya malam.
“ Kakang, kenapa kau lepaskan mereka ? “ tanya Sekar Mirah dengan nada cemas.
Agung Sedayu tidak segera menjawab, didatanginya istrinya, sambil berkata,” Mirah, keselamatanmu lebih penting dari pada menangkap orang itu. “
Sekar Mirah termenung mendengar jawaban suaminya, baginya menangkap orang itu sekarang tentu lebih mudah sebab saat ini berkumpul orang – orang yang berilmu tinggi yang dapat membantu suaminya bila diperlukan, dan selanjutnya tidak akan ada yang mengganggu keluarganya lagi.
Sementara itu Glagah Putih juga di hinggapi rasa kecewa karena kakak sepupunya telah melepas guru dan murid dari Argopuro itu.
Berbeda dengan semua orang yang ada di halaman itu, Ki Jayaraga memahami sepenuhnya alasan Ki Rangga yang telah melepas musuhnya.
Hari itu seperti biasa Ki Rangga telah pergi ke barak Pasukan Khusus, sementara Glagah Putih dan Sukra tidak pergi ke sawah, bahkan Ki Jayaraga tampak hanya duduk bersila saja di pendapa, Rara Wulan selalu menemani Sekar Mirah.
Saat wayah temawon, tempak seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis yang telah memutih tengah berjalan memasuki halaman rumah Ki Rangga diiringi oleh Prastawa.
“ Selamat datang Ki Gede,” sapa Ki Jayaraga seraya dengan cepat berdiri dan menghampiri pemimpin Menoreh itu.
Setelah mereka duduk di pendapa dan menanyakan keselamatan masing - masing, barulah ki Jayaraga bercerita kejadian tadi malam di halaman rimah itu.
Penghinaan yang melampaui batas terhadap keluarga Ki Rangga dan ancaman terhadap Sekar Mirahlah yang membuat Ki Rangga kehilangan pengamatan diri.
Mendengar cerita Ki Jayaraga itu, Ki Gede Menoreh menganggukan kepalanya, ia sangat memahami kecemasan seorang Agung Sedayu terhadap keselamatan istrinya yang tengah mengandung, sebuah penantian yang cukup lama bahkan tidak lama lagi akan lahir ke dunia. Tanpa sadar orang tua itu memandang ke arah regol, barulah disadarinya bahwa saatnya masuk ke rumah Ki Rangga, dia tidak melihat adanya pintu regol itu, ditariknya nafasnya dalam - dalam.
Sementara itu Prastawa tidak melihat sesuatu yang rusak di halaman itu selain pintu regol, baginya tidak melihat bekas pertempuran dan itu sangat aneh menurutnya, sejenak di pandanginya Ki jayaraga yang nampak menundukkan kepalanya.
Nampak Ki Jayaraga termenung dengan kepala tertunduk, di ingatnya perkataan Ki Rangga semalam saat mereka duduk di pendapa, menghabiskan sisa malam, bahwa ilmu Kebal Singa Patrap adalah sejenis dengan ilmu kebal yang dimilikinya bahkan menilik ujudnya, Ki Rangga sangat yakin bahwa Ilmu kebal Singa Patrap melebihi ilmu kebal yang di milikinya, sehingga saat itu di cegahnya Glagah Putih untuk bertindak.
tentu akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih bila membenturkan ilmunya, meskipun itu ajian Namaskara sekalipun, kemungkinan gagal akan selalu ada dan Ki Rangga tidak ingin melihat Glagah Putih mengalami cidera.
“ Kenapa Ki Jayaraga tidak memberi tahu kami, maksudku dengan memukul kentongan. “ tanya Ki Gede menggugah Ki Jayaraga.
“ Tidak terpikir Ki Gede, semua berlangsung cepat, “
Tampak Ki Gede mengangguk-anggukan kepalanya, di bayangkannya pertempuran yang berlangsung cepat antara Ki Rangga dengan lawannya.
“ Sekali sentuh Ki ? “ Tanya Prastawa menyakinkan,
“ Benar angger, “ jawab Ki Jayaraga pelan, dingatnya kembali saat Ki Rangga menyerang Singa Patrap. Bahkan terngiang di telinganya, penjelasan Ki Rangga tentang ilmunya.
“ Bukan ilmu baru Ki Jayaraga, aku hanya mengembangkan ilmu kabut yang diwariskan oleh guru, kabut yang telah aku padatkan dan seluruh kekuatan ilmu itu aku pusatkan hanya pada tanganku, kabut yang mengandung air dan mempunyai sifat dingin, aku hanya mendorongnya dengan tenaga cadangan saja. “
“ Luar biasa “ gumam Ki Jayarga lirih seolah keluar tanpa sadarnya.
Prastawa mengerutkan keningnya, entah apa yang terlintas di benaknya.
“ Apakah Singa Patrap itu tidak mempunyai kemampuan ? “ Prastawa meyakinkan pendengarannya.
Ki Jayaraga terdiam, tentu saja dia tidak bisa menjelaskan secara terperinci kepada kemenakan Ki Gede itu.
“ Prastawa, apakah yang kau pikirkan ? Nama Ki Rangga sudah di kenal hampir oleh seluruh rakyat di bumi Mataram ini, bagaimana mungkin seseorang tanpa ilmu datang kemari dan menantang Ki Rangga untuk berperang tanding ? “ kata – kata Ki Gede telah meluncur dan terasa menampar pipi Prastawa itu.
Dari ruangan dalam telinga Glagah Putih terasa memerah mendengar perkataan Prastawa itu, namun dibiarkan saja, lebih baik baginya tidak usah keluar, perasaan segan menemui keponakan Ki Gede telah muncul di hatinya.
“ Bagamana selanjutnya Ki Jayaraga ? Apakah perang tanding di Gumuk Kembar itu akan tetap berlangsung ? “ tanya Ki Gede.
“ Benar Ki Gede, Ki Rangga telah menyanggupinya ,“
“ Siapa yang akan menemani Ki Rangga ke Gumuk Kembar itu nantinya ? “
“ Ki Gede, telah di buat keputusan oleh Ki Rangga semalam bahwa aku yang tua ini bersama Glagah Putihlah yang akan mendampinginya, “ jelas Ki Jayaraga.
Ki Gede terdiam, keningnya berkerut dalam, katanya “ Apakah cukup Ki Jayaraga ? Bagaimana kalau terjadi kecurangan, semisal mereka membawa orang lain dengan jumlah berlipat. “
Ki Jayaraga mengerti maksud perkataan Ki Gede itu, tetapi menurut Ki Rangga sebaiknya Ki Gede tidak perlu dilibatkan karena mengingat usia dan kesehatannya terutama cacad kakinya.
Ki Jayaraga tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya, kematangan usianya telah menuntunnya, dengan bijaksana di katakannya,
“ Ki Gede, biarlah nanti sepulang dari barak, Ki Rangga akan menghadap Ki Gede dan menjelaskan apa saja rencananya menghadapi perang tanding itu. “ 

Dengan menghela nafas dalam - dalam Pemimpin Menoreh itu berkata,“ Ki Jayaraga, meskipun aku tidak sekuat dulu tetapi aku masih sanggup menggerakan tumbak pusaka Menoreh, aku akan datang menyaksikan perang tanding itu .“
Tampak Ki Jayaraga tersenyum, baginya Ki Gede adalah seorang pemimpin yang patut di banggakannya, seorang yang berjiwa besar dan tegas serta mengayomi rakyatnya.
Wajah Prastawa tampak menegang, baginya melihat dan menjadi saksi perang tanding itu hanya akan membunuh diri sendiri maka dari itu lebih baik ia diam dan tak menyatakan pendapatnya.
Kunjungan Ki Gede kerumah Ki Rangga menjadi semakin hangat takkala Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah putih keluar ruangan dan menemui pemimpin Menoreh itu.
Sementara itu di barak pasukan khusus, Ki Rangga telah mengirim utusan khusus menemui Ki Patih Mandaraka untuk memberi tahu dan menyampaikan rencananya berkaitan dengan perang tanding di Gumuk Kembar esok malam.
Utusan itu telah kembali dari Kepatihan Mataram pada malam hari, segera utusan itu pergi ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mendapat pemberitahuan dari Sekar Mirah.
Semua mendengarkan utusan itu menyampaikan pesan Ki Patih dengan saksama.
“ Syukurlah, Ki Patih memberi perhatian atas peristiwa yang akan terjadi besok malam itu, “ kata Ki Gede.
KI Rangga tampak menghela nafas dalam – dalam.
Ketegangan telah merambat di setiap hati orang Menoreh, hampir semua orang di padukuhan induk dan padukuhan lainnya serta di pasarpun membicarakan peristawa yang terjadi di rumah Ki Rangga.
Berduyun – duyun mereka datang dan melihat pintu regol yang telah rusak dan belum sempat di perbaiki itu.
“ Agung Sedayu itu orang linuwih “ kata seorang yang berdiri tidak jauh dari regol itu kepada temannya.
“ Kemampuannya sulit di jajagi, bahkan kata orang – orang yang pernah pergi berperang bersama Ki Rangga itu, selalu mengatakan bahwa Ki Rangga itu bisa menghilang “ lanjutnya. Teman yang diajak bicara itu mengangguk – anggukan kepalanya.
“ Aku sebenarnya akan di angkat menjadi muridnya, tetapi di larang oleh Ki Gede sebab umurku sudah terlalu tua “ gumamnya perlahan.
“ Gurunya Ki Rangga itu adalah sahabat ayahku, mereka membantu Ki Gede mendirikan Tanah Perdikan ini, “ Orang itu terus bercerita panjang lebar tentang kehebatan seorang Agung Sedayu dan gurunya serta ayahnya.

“ Apakah kau mengerti Duma ? “ tanyanya kepada kawannya yang berdiri di belakangnya. Tidak mendapat jawaban, segera ia menoleh kebelakang, alangkah terkejutnya dan darahnya segera memanas, matanya melotot seakan mau loncat dari kelopaknya, ternyata si Duma kawannya itu telah hilang entah kemana, segera orang itu bergegas pergi sambil menggerutu,
“ Awas kau ! duyung mabuk ! “

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com