Rabu, 08 Juni 2016

Terusan Api Dibukit Menoreh Versi Flam Zahra 404

RARA SUHITA sengaja tidak mendekat, sampai mereka menyelesaikan seluruh rangkaian tata geraknya terlebih dahulu.
“Alas mereka sama”, berkata Rara Suhita dalam hati.
“Yang membedakan adalah beberapa jalur perguruan yang menyatu dalam tata gerak itu. Jalur Kedungjati sedikit banyak ikut memberi warna dalam tata gerak Sukra. Ternyata Kakang mbok Sekar Mirah sering memberi petunjuk kepadanya.”
Seleret senyum di bibir Rara Suhita disaat dua orang yang tengah berlatih itu telah selesai dan berdiri termangu mangu memandanginya.
Sukra mendahului berkata, begitu Rara Suhita telah mendekat.
 “Apa sudah lama Kakangmbok Suhita berdiri di situ?”
“Tidak terlalu lama, Sukra. Memang sengaja aku tetap berdiri disana menunggu sampai kalian menyelesaikan latihan bersama itu.”
“Aku memang terlambat, Kakangmbok. Andai dahulu tidak terlalu bergantung kepada pliridan, tentu aku hanya selapis tipis saja di bawah Wira Permana.”
“Ah, kau terlalu suka merendahkan dirimu sendiri”, desis Wira Permana.
“Yang membuat penilaian bukan dirimu, Sukra”, berkata Rara Suhita kemudian. “Itulah pentingnya akan kehadiran seorang guru. Dia yang akan menahan jika kita terlalu cepat dan begitu sebaliknya seorang guru seakan seperti cambuk yang akan terus berbunyi sampai kita mau berjalan kembali. Dan apa yang aku lihat tadi adalah alas tata gerak yang sama namun menjadi berlainan karena telah luluh dengan beragam jalur yang berlainan itu.”
Wira Permana nampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu berkata perlahan, “Terima kasih Mbokayu.”
Sukra sendiri yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya hanya mampu menganggukkan kepalanya dengan kedua tangannya mengatup di atas dada.
Rara Suhita menjadi berdebar-debar dibuatnya. “Apakah mereka tersinggung”, batin Rara Suhita.
“Ah, semoga tidak. Mereka berdua pasti memahami maksudku. Justru karena aku telah mereka anggap seperti kakak kandungnya sendiri.”
Sebenarnyalah setelah beberapa pekan di rumah Agung Sedayu, hubungan mereka bertiga semakin erat, sama seperti yang dirasakan oleh Rara Suhita dengan penghuni rumah lainnya.
Mungkin hanya berbeda tipis keakrabannya, itu juga karena pembawaan dari Wira Permana sendiri yang agak pendiam.
Dalam pada itu, Sukra pun berkata sesaat kemudian. “Apakah Kakangmbok Suhita akan ke tepi kolam seperti biasanya dahulu, sebelum masuk ke sanggar?”
Walau perasaan itu terkadang masing datang, namun semakin dengan berlalunya waktu, Sukra telah mampu meletakkan dan membuat semua menjadi wajar dalam pergaulan kesehariannya.
“Bukankah aku hanya meniru apa yang kau serta Wira Permana kerjakan disaat malam seperti ini.” Rara Suhita tersenyum sambil bergantian memandangi wajah dua pemuda yang sedang berdiri dihadapannya itu.
“Ah, itu jawaban yang selalu kau ulang-ulang”, Kakangmbok!”
“Bukankah memang benar seperti itu”, menyahut Wira Permana perlahan.
“He, sejak kapan kau juga memperhatikan kesibukan Kakang mbok Rara Suhita?.”
Sukra sendiri begitu selesai berkata, telah melompat agak menjauh sambil tertawa berkepanjangan.
Sebenarnyalah walau malam itu cukup gelap, seolah olah tetap tidak mampu menutupi rona merah di wajah Wira Permana. Begitu tiba-tiba Sukra dalam mengatakannya, sehingga Rara Suhita sendiri juga hanya mampu terdiam dalam beberapa saat.
Sukra sendiri yang sebelumnya menunggu Wira Permana segera membalas gurauannya, akhirnya juga ikut terdiam. Ketiga orang itu pun akhirnya sibuk bergelut dengan alam pikirannya masing-masing.
Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan di pendapa rumahnya, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Sekar Mirah bersama dengan Pangeran Pringgalaya tengah membicarakan sesuatu yang penting.
“Menurut laporan prajurit sandi dari pasukan khusus, memang semakin melengkapi dugaan telik sandi itu, Pangeran. Walaupun tentunya aku juga masih menunggu hasil laporan lainnya, justru dari prajurit sandi yang mencoba membayangi perkemahan itu dari sisi utara” Agung Sedayu kemudian terdiam sambil memandang pangeran muda itu.
“Walau sebenarnya aku masih berkeinginan mereka menyerah atau paling tidak memutuskan untuk menarik seluruh pasukannya, Paman. Namun ternyata itu semua hanya mimpiku saja.” berkata Pangeran Pringgalaya,
Agung Sedayu, bahkan Ki Jayaraga nampak tersenyum mendengar perkataan Pangeran Pringgalaya tersebut.
Ki Jayaraga lalu mendahului berucap, “Sudah berulang kali Angger Pangeran, bahkan sejak Ayahanda Pangeran sendiri masih ada. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka selalu memberi kesempatan kepada siapapun mereka untuk menyelesaikan perbedaan itu tanpa harus ada korban nyawa”.
Akan tetapi ucapan Ki Jayaraga menjadi terputus, di saat mereka melihat kuda Rara Wulan telah berhenti di luar pagar.
“Kelihatannya ada yang penting, Paman”, desis Pangeran Pringgalaya disaat melihat Rara Wulan tengah terburu buru menambatkan kudanya.
Dan sebenarnyalah begitu naik ke pendapa dan memberi salam hormat kepada Pangeran Pringgalaya, Rara Wulan segera bertanya kepada Ki Jayaraga.
“Apakah Kakang Glagah Putih masih belum keluar dari sanggar, Kyai.”
Ki Jayaraga sendiri yang sudah mulai mengira ngira maksud sebenarnya dari ucapan Rara Wulan itu, lantas segera menjawab.
“Kapan pun dia bisa keluar dari sanggar, bukankah dua hari yang lalu, kau sendiri yang menyiapkan landa merangnya.”
“Apa ada kabar lainnya, Nyi?”
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam seakan baru menyadari ketergesa-gesaannya itu. “Maafkan aku, Pangeran. Ini semua karena keyakinan dari para prajurit sandi itu.”
“Apakah semua sudah datang, Rara?” tiba-tiba menyela Agung Sedayu.
“Dua prajurit dengan Ki Lurah Hadi Suprana tengah menuju kemari, Kakang. Mereka akan melaporkan hasil dari tugasnya langsung kepada Kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sejenak menoleh ke arah Sekar Mirah yang duduk di sebelahnya.
Mengerti akan maksud suaminya itu, Sekar Mirah pun lantas berkata. “Aku akan segera mengumpulkan para perempuan untuk segera bersiap di dapur umum, Pangeran. Mungkin mulai malam ini para pengawal serta prajurit lainnya sudah tidak mempunyai kesempatan untuk pulang ke rumah atau kembali ke baraknya.”
Dan seperti yang telah dikatakan Rara Wulan, derap tiga ekor kuda telah berhenti di depan pintu pagar rumah Agung Sedayu. Setelah menambatkan kuda-kuda mereka di patok-patok dekat pohon jambu sukun, Ki Lurah Hadi Suprana bersama dua prajurit sandinya segera menemui Agung Sedayu.
“Silahkan segera laporkan kepada Paman Agung Sedayu hasil dari tugas kalian itu”, desis Pangeran Pringgalaya.
Sebenarnyalah, mereka yang berada di pendapa itu lantas berdiam mendengarkan dengan sungguh-sungguh laporan dari dua orang prajurit sandi itu.
Ki Jayaraga berkali-kali harus menarik nafas dalam-dalam dengan kepalanya yang semakin tertunduk.
Setelah para prajuritnya itu selesai bicara, Agung Sedayu pun berkata. “Ternyata mereka sudah benar-benar jemu dan terpancing untuk mendahului melakukan serangan.”
“Masih ada kesempatan satu hari bagi pasukan kita untuk lebih mematangkan serta melengkapi kekurangan-kekurangan yang lain.”
“Silahkan Pangeran”, lanjut Agung Sedayu.
“Baiklah. Aku akan mengumpulkan semua senapati di rumah Ki Gede saat tabuh pertama. Karena saat itu adalah waktu yang paling aman dari kemungkinan masuknya para telik sandi Panaraga. Justru disaat mulai tabuh pertama itulah seakan akan gelar baris pendem para pengawal telah melingkupi seluruh celah di Tanah Perdikan ini.Dan semoga mulai besok Ki Glagah Putih telah kembali menemani Ki Prastawa dalam memimpin para pengawal dalam keseluruhan”
“Bagaimana menurut pendapatmu, Paman Sedayu?”
“Benar seperti yang Pangeran katakan. Paling tidak kita harus lebih mengurai secara keseluruhan, baik mengenai medan maupun gelar dalam pasukan kita sendiri. Untuk itu aku akan perintahkan beberapa prajurit untuk ikut memperketat gelar baris pendem dalam penjagaan rumah Ki Gede Menoreh. Dan untuk Glagah Putih, seperti yang tadi Ki Jayaraga bilang, dia tinggal dalam pemulihan wadagnya saja.”
“Bahkan tadi Glagah Putih telah menemui Angger Prastawa di banjar padukuhan, Pangeran.” Ki Jayaraga mengangguk begitu selesai berkata.
“Baiknya kita segera menyiapkan diri, Paman. Aku akan segera menemui Ki Gede Menoreh dahulu, dan kita akan berkumpul sesuai waktu yang telah kita sepakati”. kata Pangeran Pringgalaya.
Sebenarnyalah, Pangeran Pringgalaya bersama dengan Ki Lurah Hadi Suprana dan dua prajurit sandinya telah bergegas menuju rumah Ki Gede Menoreh.
Sementara itu, di kediaman Agung Sedayu, seketika itu juga hampir semua penghuninya telah mempersiapkan diri. Sekar Mirah ternyata yang keluar rumah terlebih dahulu. Justru tanpa ada ganjalan sedikit pun, begitu Rara Suhita yang mengatakan terlebih dahulu untuk ikut membantu pekerjaan di dapur umum.
“Apakah Kakangmbok tidak akan terjun ke medan, bertanya Rara Suhita disaat keduanya telah berjalan bersama.”
Sekar Mirah tersenyum sesaat. Katanya, “Sama seperti yang kau lakukan Nimas. Bukankah kau juga mengenakan pakaian khususmu di balik kain jarik itu.”
Senyum tersungging di bibir Rara Suhita.
“Apa yang kita kerjakan ini juga bagian dari tanggung jawab agar Tanah Perdikan mampu melewati ujian ini, Nimas. Dan aku mengerti landasan hatimu sehingga kau sendiri yang tadi memintaku untuk mengajakmu ke dapur umum.”
Rara Suhita hanya mengangguk-angguk kecil, sambil tertunduk seolah sedang ikut menghitung tapak kakinya itu. Namun sesaat kemudian tiba-tiba justru Rara Suhita yang seakan menahan langkah Sekar Mirah. Nampak kerut tipis di dahi Rara Suhita memandang perempuan yang diakuinya sebagai gurunya tersebut.
“Apakah Kakang mbok lupa dengan tongkat perguruan?”
Sekar Mirah yang semula terkejut, akhirnya menjadi tersenyum. “Tanah Perdikan mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja Nimas, disaat pasukan segelar sepapan itu akan memaksakan kehendaknya atas tanah ini. Dan sangat tidak pantas, andai aku menganggap tidak perlu membawa tongkat warisan dari guru.”
Masih dengan tersenyum, Sekar Mirah lalu menyingkap kain panjangnya. Dan di sisi pakaian khususnya terlihat tongkat baja putih tergantung pada seutas tali yang seolah saling melilit pada seluruh badannya.
Wajah Rara Suhita tiba-tiba menjadi berseri-seri. Kedua mata Rara Suhita seolah-olah tiada berhentinya bergantian memandang wajah Sekar Mirah dan tongkat baja putih tersebut.
“Apakah kau tahu, Nimas, tali yang membelit yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai wadah dari tongkat ini?” Sekar Mirah bahkan menjadi tertawa perlahan, dan tanpa menunggu perempuan muda didepannya itu menjawab, kembali ia berkata. “Kalau kau pernah mendengar senjata cambuk yang selalu melilit di pinggang kakang Agung Sedayu, sebenarnyalah tali yang melilit di senjataku ini adalah janget kinatelon, yang menjadi bahan utama dari cambuk kakang Agung Sedayu itu sendiri.”
“Dan Kakangmbok akan merasa selalu ada di dekat Ki Rangga.”
Wajah Rara Suhita menjadi semakin berseri seri. Tidak tahu mengapa di dalam hatinya perasaan gembira yang tulus seakan akan tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sekar Mirah pun kemudian telah menarik tongkat baja putih itu dari tempatnya. Ditimangnya sebentar, lalu berkata.
“Apakah kau ingin memegangnya, Nimas?”
Tanpa menunggu jawaban, Sekar Mirah telah menarik tangan Rara Suhita dan meletakkan tongkat tersebut. Dan seolah olah Rara Suhita sendiri tanpa sadar telah menggenggam tongkat itu dengan kedua tangannya.Namun sejenak kemudian, seakan baru tersadar akan sesuatu, Rara Suhita cepat-cepat berkata. “Suatu kehormatan, Kakangmbok telah mengijinkan aku untuk memegang panji kebesaran perguruan Kedungjati ini. Justru tongkat ini yang pertama kali lahir, sebelum tongkat yang kedua itu akhirnya dibuat.”
Hanya sejenak, Rara Suhita telah mengembalikan tongkat baja putih itu ke tangan Sekar Mirah kembali.
Setelah Sekar Mirah telah menyelipkan senjatanya tersebut, berkatalah Rara Suhita, “Pasti berbeda rasanya Kakangmbok, di saat memegang tongkat kebesaran itu atas ijin dari pewaris sahnya dibandingkan dengan cara yang pernah dilakukan oleh Ki Saba Lintang dan para pengikutnya itu.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil mengajak Rara Suhita untuk berjalan kembali. “Andai dulu eyang guru sudah mengetahui kebenaran jalur tongkat kebesaran yang dipegang Kakangmbok itu, pasti aku telah disuruh untuk menemui Kakangmbok. Justru disaat Ki Saba Lintang tengah gencar-gencarnya menebar racun kepada murid-murid murni Kedungjati.”
Sekar Mirah memandang sejenak perempuan yang berjalan bersamanya itu. Tanpa berkata, Sekar Mirah kemudian telah memandang ke depan kembali.
“Seperti itulah mengapa eyang guru, seperti yang telah aku katakan kepada Kakangmbok Sekar Mirah, selalu mewanti-wantiku agar jangan sampai lupa untuk menyampaikan permohonan maafnya. Eyang guru merasa bersalah yang sangat besar karena telah membiarkan perguruan Kedungjati diguncang prahara, yang akan menjadikannya runtuh itu. Dan yang membuat Eyang guru berniat ingin menutup padepokan kecilnya itu adalah perasaan malu dan merasa tidak pantas memimpin padepokan, justru karena padepokan itu adalah temurun dari induk Kedungjati. Eyang guru telah membiarkan pimpinan tertingginya, pemimpin utama perguruan Kedungjati harus berdiri sendiri mengadu jiwa demi mengembalikan nama baik perguruan.”
“Ah, sudahlah Nimas”, desis Sekar Mirah.
Dipandanginya wajah saudara seperguruannya itu.
Walau hanya setitik, namun samar-samar, nampak air mata mengembun di sudut mata Rara Suhita.
“Itu sudah berlalu, Nimas. Bukankah telah aku katakan, kabar yang diterima eyang guru saat itu adalah dari orang-orang yang mengaku-aku saja dari jalur Kedungjati.”
“Dan atas doamu Nimas”, menjadi perlahan suara Sekar Mirah. “Tanah Perdikan akan tenang kembali. Aku akan mengajak kakang Agung Sedayu ke padepokanmu.”
“Aku sangat berterima kasih, Kakangmbok. Eyang Guru pasti akan sangat gembira, justru disaat keberaniannya untuk menemui Kakangmbok telah pupus sama sekali.”
“Bukan itu penyebabnya. Bukankah telah kau ceritakan kepadaku, bahwa saat ini juga ada orang-orang yang mempunyai niat yang sama seperti yang pernah Ki Saba Lintang lakukan. Bahkan menurut perkiraanmu mempunyai keinginan yang jauh melebihi tujuan dari Ki Saba Lintang itu sendiri. Eyang gurumu pasti sedang berusaha menyelesaikan tugas penting itu, Nimas. Justru disaat nama Perguruan Kedungjati kembali di sangkut pautkan didalamnya.”
Rara Suhita mengangguk anggukkan kepalanya. Dan ia akhirnya berbelok begitu tangan Sekar Mirah menyentuhnya, ketika berdua telah sampai di jalan simpang. Dan sebenarnyalah mulai malam itu semua kesiagaan di Tanah Perdikan telah meningkat. Di kelompok pengawal sendiri yang semula masih terbagi-bagi untuk bergilir, sejak malam itu Prastawa telah menjatuhkan perintah untuk selalu siaga penuh di tempat yang telah ditentukan. Prastawa yang sempat bertemu dengan Glagah Putih di pendapa rumah Ki Gede, akhirnya telah memutuskan untuk menarik jajaran ketiga untuk menjadi pasukan cadangan. Justru karena Pasukan pengawal, atas wewenang Ki Gede Menoreh akan berada di induk gelar.
“Apakah aku tidak salah dengar? bertanya salah seorang dari pemimpin pengawal.”
“Tidak. Sebenarnyalah para pengawal akan mengisi medan di induk gelar”, jawab Prastawa.
“Untuk itulah aku telah menarik semua pengawal cadangan dan menggantinya dengan jajaran ketiga.”
“Apa gelar yang akan dipakai, Ki Prastawa? bertanya pengawal lainnya.
“Garuda Nglayang”, jawab Prastawa.
Sebenarnyalah akan di buat tidak utuh. Namun begitu Pangeran Pringgalaya mengetahui bahwa pengawal tanah perdikan mempunyai empat jajaran, maka kita diijinkan untuk membuat menjadi utuh.
“Aku kurang mengerti Angger Prastawa”, berkata anggota pengawal yang rambutnya sudah mulai memutih.
“Nanti akan ada perintah selanjutnya, Ki Nawa. Justru tentang lentur kerasnya induk gelar Garuda Nglayang tersebut.”
Dan seperti yang sudah diperkirakan oleh para senapati dan Ki Gede Menoreh sendiri, sebenarnyalah para telik sandi pasukan Panaraga telah diperintahkan untuk lebih meningkatkan dalam gelar sandinya. Bahkan perintah itu tegas tidak saja untuk mengamati seberapa besar kekuatan para pengawal yang telah disusun dalam gelar, namun lebih meluas untuk membayangi semua padukuhan-padukuhan sekitar.
Prastawa yang saat itu sedang berbincang-bincang di banjar padukuhan induk pun, tidak luput dari pengamatan para telik sandi.
“Itukah para pemimpin dari pengawal itu?”
“Yang pasti mereka bukan pengawal kebanyakan,” jawab telik sandi yang kedua.
“Ternyata hanya dua lapis seperti yang nampak dalam gelar di tengah bulak itu. Apa mereka kira kita akan tertipu dengan perkemahan kosong yang sengaja dibuat berjejeran itu?”
Orang kedua hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mari kita lebih masuk ke dalam, lanjut telik sandi pertama. Biarkan orang-orang itu menikmati umurnya yang tinggal menunggu sesaat.”
“Mungkin saja mereka sudah hilang akal, hingga masih saja bisa terkantuk-kantuk di banjar”, sahut orang kedua sambil menahan tertawanya yang hampir tidak tertahan.
Akhirnya kedua orang itu telah pergi menghilang di tengah-tengah lebatnya tanaman jagung.
Dan dalam pada itu, justru di saat malam telah melewati puncaknya, seakan akan hampir di setiap sudut di padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan tidak ada yang luput dari pengawasan para prajurit sandi pasukan Panaraga ataupun Perguruan Semu.
Dan begitu ada sesuatu yang menarik perhatian, mungkin meningkatnya kesiagaan atau pergerakan para pengawal, seketika itu juga secara berantai para telik sandi itu segera memberikan laporan ke induk pasukan.
Sebenarnyalah tidak hanya sebatas padukuhan-padukuhan dan tempat-tempat yang mungkin bisa untuk menyiagakan pasukan, para telik sandi itu juga menyebar sampai di bukit-bukit atau hulu sungai.
Justru di saat tempat-tempat atau hulu sungai itu ada di sisi selatan Tanah Perdikan.
“Mari kita dekati dua orang yang sedang menunggu jaring ikannya itu.”
“Kelihatannya dua anak muda dungu”, jawab orang yang diajak bicara.
“Mungkin saja itu para pengawal yang sengaja menyamar untuk mengelabuhi kita.”
Kawannya itu hanya mengangguk-angguk, tanpa menjawab lagi. Justru ketika telah mendekati tempat dua orang yang tengah menunggu jaring ikannya tersebut. Salah seorang hanya berpaling sejenak di saat ada dua orang yang berjalan mendekat ke tempatnya.
Dua orang yang baru datang seketika menjadi heran begitu melihat sikap dua orang pencari ikan itu. Bahkan terhadap yang satunya, seakan tidak menganggap sama sekali kehadiran mereka berdua.
“Mungkin airnya terlalu deras Kisanak”, berkata salah seorang yang baru datang yang sebenarnya adalah para telik sandi Panaraga itu.
Tidak ada jawaban, hanya tatapan sesaat dari salah seorang.
“Mungkin di bukit hujan kemarin malam sangat lebat Kisanak”, lanjut seorang anggota telik sandi tersebut.
Mengerti belum ada jawaban, telik sandi yang satunya mengumpat-umpat dalam hati. Dengan menahan marah berucap, “Apakah kau lapar hingga telingamu menjadi tuli? Barangkali kalian lupa membawa bungkusan nasi yang telah disiapkan biyungmu.”
Tiba-tiba seorang yang semula hanya diam tanpa mau memalingkan wajahnya itu telah berteriak dengan setengah menjerit.
“Apa mau kalian, orang-orang sombong?! Apakah kerjaan para pengawal itu hanya mengganggu orang-orang pencari ikan seperti kami ini.”
“Sudahlah, Kasru! Berkata yang seorang lagi sambil menahan lengan kawannya yang memukul-mukul tanah pasir di tepian sungai sambil berteriak teriak itu.
Sementara itu dua orang telik sandi tersebut menjadi diam terpaku di tempatnya. Mereka hanya saling pandang satu sama lain. Walau sebenarnya kata-kata yang dilontarkan sambil menjerit jerit itu juga mampu mereka tangkap dengan jelas.
“Apa kalian akan memukuli kami lagi?” Tiba-tiba bertanya orang yang baru saja menenangkan kawannya tersebut. “Kalau kalian mau bersikap adil dan tidak sewenang-wenang, tentunya kalian tidak akan sampai di sungai ini. Apakah memang kalian di perintahkan untuk nganglang sampai padukuhan Wuni?”
“Atau barangkali Ki Demang Kronggahan telah menyerah-kan padukuhan Wuni menjadi wewenang Tanah Perdikan.”
Pencari ikan itu lalu tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng-geleng sambil berucap perlahan yang hampir tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Aku memang bagian dari pemuda bodoh itu. Dan sudah sepantasnya kalau Padukuhan Wuni menjadi pelayan dari Tanah Perdikan yang makmur. Tanah Perdikan yang dijaga ratusan, bahkan ribuan pengawal yang kuat dan sudah terkenal sampai ke seluruh pelosok bumi Mataram.”
Dalam pada itu, dua telik sandi Panaraga tersebut seolah olah tanpa sengaja telah mengangguk anggukkan kepalanya.
Semakin lama keduanya telah mengetahui dengan siapa saat itu mereka tengah berhadapan. Lalu, kedua telik sandi tersebut kembali saling pandang satu sama lain.
Begitu isyarat telah saling dimengerti, lalu berkata lah salah seorang telik sandi tersebut. “Kisanak berdua, sebelumnya tolong dimaafkan perkataan kawanku ini. Mungkin dia tidak tahu kalau Kisanak berdua sedang sungguh-sungguh mencari ikan, tidak sedang melakukan pekerjaan yang lain.”
“Apa kalian buta, tidak melihat jaring, ember serta cangkul ini?!”
Selesai berkata, pencari ikan yang dipanggil Kasru itu menatap tajam wajah kedua anggota telik sandi Panaraga tersebut.
“Kami yang terburu buru, Kisanak. Namun setelah mendengar apa yang Kisanak katakan, kami menjadi tahu bahwa Kisanak sedang mencari ikan, justru di sungai padukuhan Kisanak sendiri.”
“Jadi Padukuhan Wuni masih menjadi bagian dari Kademangan Kronggahan, belum menjadi pelayan dari Tanah Perdikanmu itu?” Bertanya pencari ikan satunya
“Aku tidak tahu akan hal tersebut, Kisanak. Justru karena kami bukan anggota pengawal.”
“He, kau akan menipu kami. Dan setelah puas dengan permainanmu itu, baru kau dan temanmu akan bersama sama memukuli kami!”
Telik sandi yang berbicara itu sejenak memandang kawannya. Setelah kawannya memberi tanda anggukan kecil, salah seorang petugas telik sandi tersebut kembali berkata. “Kisanak, kalau kau mengerti tanda pengenal keprajuritan, kalian akan percaya kalau kami memang bukan pengawal.”
Telik sandi itu segera menyingkap pakaian hitamnya.
“Ini adalah sebagai bukti, kami sungguh-sungguh bukanlah anggota dari pengawal Menoreh Kisanak”, lanjut telik sandi itu sambil mengurai ikat pinggangnya.
“Perhatikan timang perak ini, Kisanak!”
Orang yang bernama Kasru hanya menggeleng-geleng begitu ikat pinggang itu diletakkan di tangannya. Seketika itu juga telah diberikan kepada kawannya.
“Aku sebenarnya bagian dari prajurit, namun bukan dari Mataram. Coba Kisanak baca tulisan yang menyerupai bulan sabit itu. Juga gambar yang seakan sedang dipangkunya tersebut.”
Dahi pencari ikan yang satunya itu nampak berkerut-kerut memperhatikan semua badan dan bagian-bagian dari timang perak itu.
Sejenak kemudian, telah diserahkan kembali timang yang melekat pada ikat pinggang tersebut. “Aku tidak bisa membacanya, terlalu kecil tulisan itu, juga seolah sengaja dibuat buat oleh pandai besinya dulu. Akan tetapi aku belum pernah melihat gambar seperti yang ada di ikat pinggangmu itu.”
“Apakah kau pernah melihat lukisan gambar pada timang keprajuritan sebelumnya, Kisanak?” Bertanya telik sandi.
Pencari ikan diam sesaat, lalu menjawab. “Tetapi tidak sama seperti milikmu itu.”
“Dan ketahuilah Kisanak, paling tidak dalam satu kadipaten yang dalam wewenang seorang adipati, khusus untuk keprajuritan akan mempunyai tanda pengenal yang sama. Yang membedakan hanya bahan dari pembuatan timang itu sendiri. Tentu bagi seorang patih, tumenggung atau panglima senapati lainnya, akan terbuat dari emas bukan dari perunggu atau perak seperti milikku ini.”
“Jadi kalian bukan prajurit Mataram? He, atau barangkali kau akan berkunjung ke rumah Ki Bekel Wuni. Namun terlambat, kakak Ki Bekel Wuni yang dulu prajurit Pajang itu telah dikuburkan lewat senja tadi.”
Sejenak terlonjak dan menjadi berbinar binar, seakan berubah menjadi bersahabat tatapan mata pencari ikan tersebut.
Telik sandi itu sendiri menjadi tersenyum. Dipandanginya kawannya sesaat, seakan akan memberi isyarat bahwa keinginan mereka berdua kemungkinan akan berhasil.
“Rumah Ki Bekel sudah tidak terlalu jauh lagi”, lanjut pencari ikan. “Mungkin benar yang kau katakan tadi, air sungai terlalu deras. Kalau sabar menunggu, kalian bisa bersama kami setelah jaring terakhir ini aku angkat.”
Kedua telik sandi itu sama-sama mengangguk anggukkan kepala, namun lantas berucap salah seorang, “Kisanak ternyata kalian orang baik. Sungguh beruntung kami berdua bisa bertemu dengan kalian di tempat ini. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa terima kasih, kami mohon maaf Kisanak karena sebenarnya kami bukanlah prajurit Pajang yang akan melayat ke Padukuhan Wuni. Justru kami adalah prajurit Panaraga.”
Seperti mendengar suara petir yang menyambar tebing-tebing padas di tepian sungai, seakan akan dua orang pencari ikan tersebut telah terlonjak dari tempatnya. Tanpa menyadari sebelumnya, seorang pencari ikan, justru yang jarang bercakap itu telah terpeleset dan terpelanting masuk ke dalam kedung sungai.
Sebenarnyalah kedua orang telik sandi itu segera menyadari keadaan. Salah seorang diantaranya telah bergerak cepat mematahkan ranting pohon dan segera melompat ke atas tebing, lalu menjulurkan ranting pohon sebesar pergelangan tangan itu masuk kedalam sungai tersebut.
Namun sebenarnyalah orang yang dipanggil Kasru itu cukup pandai berenang. Hanya sesaat nampak wajah telik sandi berubah cerah, begitu dirasakannya ranting kayu tersebut ada yang menarik-nariknya dari bawah.
Seperti tidak ingin menjadi terlambat semuanya, telik sandi itu telah menarik keras-keras ranting pohon yang tenggelam hampir setengahnya tersebut. Begitu keras tarikannya, hingga telik sandi itu tidak dapat menguasai kuda-kuda sepenuhnya dan akhirnya tubuhnya ikut terjengkang menabrak pohon Asem di sebelahnya.
Sementara itu, kawan telik sandi satunya yang berjaga di tengah aliran sungai, menjadi tidak kuat menahan tertawanya.
Di saat menyaksikan kawannya harus terjengkang dan akhirnya berguling menelungkup di balik akar pohon, justru pencari ikan yang tenggelam telah mampu menepi dengan selamat berkat hentakan kuat itu.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah beberapa pasang mata ternyata sedang mengawasi kejadian di tepian sungai itu. Tidak hanya dari balik lebatnya semak di sisi timur sungai, namun beberapa orang juga dengan sengaja membayangi, justru dari atas pohon dengan bersembunyi di balik ranting dan dahan.
Dua orang yang kelihatannya adalah pimpinan kelompok pengintai itu, nampak begitu sungguh-sungguh, seakan tidak ingin ada yang terlewat dari semua percakapan orang-orang di tepian sungai tersebut. Namun begitu, sebenarnyalah semakin lama mereka berdua sedikit demi sedikit telah bergeser agak menjauh dari tepian sungai.
Justru disaat keduanya telah merasa tujuannya menunjukkan hasil. “Bagaimana semisal telik sandi itu benar-benar bersedia ikut ke Padukuhan Wuni?”
Orang yang di ajak bicara hanya menggeleng sambil menutup mulutnya kuat-kuat. “He, kau ini masih bisa tertawa juga. Apakah kau juga akan melakukan itu, andai Ki Prastawa yang bertanya?”
Setelah sejenak menahan mual akibat desakan ketawanya, orang itu akhirnya berkata perlahan. “Aku tadi membayangkan andai yang kau ucapkan itu benar terjadi. Apakah kau lupa Ki Bekel Wuni itu adalah anak pertama. Coba bayangkan tiba-tiba Ki Bekel Wuni kedatangan prajurit Pajang yang ingin melayat kakaknya yang telah meninggal.”
“Kakaknya yang dulu prajurit atau barangkali lurah prajurit Pajang, begitu kan yang kau maksud?”
Akhirnya tidak hanya seorang saja, namun keduanya menjadi sama-sama tidak kuat menahan ketawanya. Bahkan mereka berdua yang sebenarnya adalah para pengawal dalam gelar baris pendem itu harus membungkam kuat-kuat mulut mereka dengan kedua tangan masing-masing.
“Tetapi mereka berdua cukup cerdik, beruntung Kasru pandai berenang sehingga dia mampu berlama lama di dalam kedung itu.”
Setelah mampu menguasai dirinya, salah seorang pengawal tersebut menjawabnya. “Akhirnya kedua telik sandi itu akan memberi laporan bahwa induk pasukan memang benar-benar hanya dua lapis, justru di saat perkemahan-perkemahan itu hanya untuk mengelabuhi.”
Pengawal kawannya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara itu tidak terlalu jauh dari tepian sungai, sebenarnyalah berlindung di bawah rapatnya pepohonan, terlihat beberapa gubuk sederhana yang seakan dengan sengaja telah didirikan agak berjauhan. Tidak terlihat sama sekali, seolah olah hanyalah batang-batang dari pepohonan yang tumbuh silang menyilang. Justru atap yang hanya dari tumpukan ranting dan alang-alang, semakin menyamarkan gubuk-gubuk tersebut. Alang-alang yang tumbuh meranggas di sekitar pepohonan itulah yang akhirnya terlihat dari kejauhan, andai ada orang yang tidak sengaja melalui tepian hutan di pinggir sungai itu.
Prastawa atas persetujuan Ki Gede Menoreh telah menyiapkan jauh-jauh hari persiapan persiapan tersebut. Bahkan yang baru saja dilakukannya, justru juga atas petunjuk Pangeran Pringgalaya selaku Senapati medan, Prastawa telah menarik sebagian para pengawal untuk membuat gelar tersembunyi di balik bukit tersebut. Bahkan, hampir separo lebih Prastawa telah menarik pasukannya, walau tidak semua ditempatkan di sekitar sungai tersebut.
Dua orang pengawal pengintai telah kembali ke kelompoknya, justru di saat kedua orang telik sandi Panaraga itu telah pergi dari tepian sungai itu.
“Apakah sudah pada kedudukannya masing masing, anggota yang mendapat giliran jaga?” Bertanya salah seorang pengawal setengah tua yang sebenarnya adalah pemimpin dari kelompok pengawal itu sendiri.
“Sudah semua Ki Marta”, jawab seorang pengawal. “Semua sudah digantikan tepat saat tabuh terakhir.”
Walau masih terlihat samar samar, namun dari kejauhan oncor kecil di gubuk itu seakan-akan hanyalah biasan dari kilat yang kadang masing sering muncul di langit.
“Sebenarnya aku tidak menyangka para telik sandi itu juga jauh sampai ke bagian dalam Tanah Perdikan ini”, lanjut pemimpin pengawal yang dipanggil Ki Marta tersebut.
“Namun Kasru telah mampu meyakinkan dua telik sandi itu”, sahut salah seorang pengawal. “Hingga telik sandi itu meyakini bahwa kekuatan para pengawal hanyalah dua lapis tersebut.”
“Bukankah Kasru adalah pengawal dari jajaran kedua?”
“Benar, Ki Marta” Kali ini yang menjawab adalah pengawal paling muda di antara pemimipin kelompok di dalam gubuk utama itu.
“Namun Ki Prastawa telah memberi perintah untuk menjadikan satu dari dua jajaran tersebut. Tentunya tetap dalam kendali pemimpin kelompok atau regunya masing masing.”
“Semoga apa yang telah direncanakan memang seperti itulah kenyataannya nanti.” Terdengar Ki Marta bergumam perlahan, seakan hanya kepada dirinya. Kemudian, dia pun melanjutkan pembicarannya, “Andai memang benar benar terjadi, semoga tidak sampai matahari terbenam, perang itu telah usai. Aku yakin Ki Gede Menoreh, juga para pemimpin lainnya tidak deksura seolah tidak menganggap sama sekali kekuatan pasukan segelar sepapan itu. Namun sebenarnyalah, para pemimpin Mataram masih berupaya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Kanjeng Adipati Panaraga. Justru tentang keberadaan Perguruan Semu dengan segala maksud maksud tersembunyinya tersebut.”
Para pemimpin pengawal di gubuk utama itu nampak sama sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun dalam hati, mereka tidak akan pernah surut meski Menoreh terbakar ilalang, justru di saat raga mereka masih bernyawa, namun mereka adalah bagian dari pengawal Tanah Perdikan maupun Mataram pada umumnya. Mereka akan selalu mendengar dan menjalankan perintah dari pemimpinnya. Justru di saat perang yang sudah dihadapan mata itu, adalah untuk memaksa para senapati Panaraga menarik semua pasukannya disaat telah melihat keadaan medan yang sesungguhnya.
“Sesuai perintah Ki Prastawa, kita harus selalu dalam kesiagaan tertinggi”, kembali berkata Ki Marta. “Dan besok pagi panah panah cadangan itu harus sudah terkumpul dalam kelompok masing masing!”
Sebenarnyalah upaya yang telah dilakukan oleh Ki Gede Menoreh serta para Senapati lainnya telah menunjukkan hasilnya. Walau ada satu, dua anggota pengawal yang masih terjebak oleh para telik sandi itu, namun sesungguhnya semua laporan para prajurit sandi tersebut telah membuat para senapati Panaraga dan Perguruan Semu menjadi semakin yakin akan keberhasilan pasukannya.
“Baiklah, namun tetap perintahkan para telik sandi untuk melakukan tugas sandinya, justru besok adalah waktu yang menentukan akan keberhasilan pasukan kita.”
Ki Kebo Langitan mengangguk-anggukkan kepalanya. Walau sebenarnya perintah yang turun kepadanya telah memberitahu bahwa Menoreh tidak lagi menjadi tujuan utama, justru disaat Panaraga memutuskan untuk menunggu kedatangan pasukan Mataram, namun ia tetap ingin memberi kehancuran nyata, yang nantinya akan selalu dirasakan olah para penduduk Tanah Perdikan di kemudian hari.
“Andai Ki Pideksa kembali berada di pasukan”, gumam Panembahan Gede memecah keheningan sejenak di perkemahan utama itu.
“Sudahlah Panembahan, potong Ki Kebo Langitan. Apakah Panembahan kurang yakin dengan kekuatan kita saat perang senapati nanti?”
“Ki Kebo Langitan”, menyela Tumenggung Jaya Wiguna. “Ternyata Panaraga tetap menambah dua kelompok setingkat dibawah katumenggungan dan Adi Rangga Wirabaya, juga Ki Lurah Naga Wuragil ada bersamanya.”
Ki Kebo Langitan menjadi berdebar-debar sesaat, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiaannya, justru di saat Tumenggung Jaya Wiguna menyebut nama senapati dari pasukan cadangan Panaraga tersebut.
“Siapa Naga Wuragil itu, Adi Tumenggung?”
Empu Waringin pun tampak beringsut setapak bergeser mendekat ke sisi Senapati Panaraga itu.
“Dia dulu murid dari Perguruan Nagaraga, Ki Kebo Langitan.”
“He, maksudmu Perguruan Nagaraga di sekitar Madiun itu?!”
Ki Ageng Panjerbumi kembali teringat dalam benak tentang cerita pertempuran yang seakan benar-benar di luar nalarnya itu.
“Benar Ki Ageng”, jawab Tumenggung Jaya Wiguna. “Kabar saat Mataram mampu menghancurkan tapis Padepokan Nagaraga, ternyata tidak keseluruhannya benar. Justru Ki Lurah Naga Wuragil ini telah mampu untuk tidak bergantung kepada kekuatan ular naga lagi.”
“Iya, karena naga itu telah mati di tangan Raden Rangga”, desis Panembahan Gede sambil tertawa lirih
“Apakah Panembahan Gede tidak percaya kepada kemampuan kanuragan Ki Lurah Naga Wuragil?”
Nampak Tumenggung Jaya Wiguna menatap wajah Panembahan Gede lekat-lekat.
“Ah, Bukan begitu yang aku maksud Ki Tumenggung.” Ada perasaan menyesal dalam hati Panembahan Gede disaat yang telah ia utarakan itu ternyata membuat tersinggung senapati Panaraga tersebut.
Dengan bibir yang tetap tersenyum, Panembahan Gede melanjutkan perkataannya. “Baiklah Ki Tumenggung, Ki Kebo Langitan serta senapati lainnya. Aku akan meluruskan ucapanku tadi biar semua menjadi jelas adanya. Justru disaat Adi Tumenggung Jaya Wiguna menyebut tentang nama Naga Wuragil. Bukan aku menganggap rendah tingkat ilmu serta kanuragan atas Ki Lurah Naga Wuragil, namun sebaliknya aku menjadi senang ketika Adi Tumenggung telah mengatakan bahwa Naga Wuragil sudah bisa terlepas dari ketergantungan akan kekuatan dari ular naga tersebut.”
Dalam pada itu, Ki Kebo Langitan pun menyela, “Apakah Panembahan Gede kenal dengan Ki Lurah itu?”
“Tidak Ki Langitan. Bahkan baru pertama kali ini aku dengar tentang nama Lurah tersebut. Akan tetapi Ki Nagaraga sendiri lah yang dahulu pernah berkawan dekat denganku.”
“He, benarkan Panembahan.” Ki Kebo Langitan menjadi sedikit terkejut, yang akhirnya seolah tanpa disadari duduknya pun menjadi bergeser mendekat.
Sebenarnyalah cerita yang didengar tentang apa yang pernah dilakukan Ki Nagaraga dengan padepokannya kala itu seakan selalu membekas dalam ingatan Ki Kebo Langitan. Justru disaat Raden Rangga yang berilmu diluar nalar itu harus terluka parah disaat bertempur melawan ular naga.
“Benar, Ki Langitan. Bahkan boleh dibilang aku dengan Ki Nagaraga adalah seperguruan, walau pada akhirnya kami menjadi berbeda dalam pengetrapan watak ilmunya.”
Seakan hampir semua orang di perkemahan utama para senapati tersebut saling mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Tumenggung Jaya Wiguna sendiri yang semula merasa di anggap tidak berati akan kekuatan Pasukannya, akhirnya bernafas lega. Justru disaat perkataan Panembahan Gede telah membuat dirinya menjadi mengerti maksud sebenarnya.
“Walau berbeda tetapi inti ilmunya tetap sama.” Sambil tertawa Ki Ageng Panjer Bumi menatap wajah Panembahan Gede.
“Walau laku seperti yang aku pilih dan mungkin yang sekarang juga dilakukan oleh Ki Lurah Naga Wuragil, memerlukan waktu dua atau bahkan tiga kali lebih lama dari pada ketika menyerap langsung dari sumber ular raksasa tersebut. Namun justru ilmu dengan alas kekuatan api itu tidak akan berkurang sedikit pun disaat sedang jauh dengan ular naga atau bahkan ular raksasa itu telah mati sekalipun.” Kata Panembahan Gede.
Ki Kebo Langitan sendiri setelah sejenak berdiam sambil mendengarkan kawan-kawan senapatinya itu bercakap. Akhirnya ia pun mencoba membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih mapan dalam gelar pasukannya. Justru disaat mengingat atas jatuhnya perintah yang hanya menghancurkan Menoreh tanpa menjadikannya sebagai landasan.
Panembahan Gede menjadi terkejut begitu mendengar rencana Ki Kebo Langitan berikutnya. “Apakah Ki Langitan tidak lebih baik tetap di paruh gelar seperti saat rencana awal?”
“Aku rasa gelar cadangan ini akan lebih berhasil”, jawab Ki Kebo Langitan. “Apalagi Panaraga sudah tidak memerlukan lagi Tanah Perdikan ini.” Ki Kebo Langitan berhenti sejenak, selanjutnya, “Panembahan Gede akan menjadi senapati di induk gelar mengganti aku. Dengan begitu dua lapis pengawal Tanah Perdikan itu akan cepat tumpas.”
Sesungguhnya Panembahan Gede sudah dapat membaca apa keinginan dari pemimpin Perguruan Semu tersebut. Dengan alas ilmu yang dimilikinya itu, Ki Kebo Langitan menginginkan sebelum matahari sampai ke puncak para pengawal Tanah Perdikan sudah hangus menjadi abu.
“Baiklah Ki Kebo Langitan. Walaupun tentunya tidaklah mudah, justru karena aku yakin di induk gelar pasukan mereka pasti juga diisi oleh para senapati berilmu tinggi”, jawab Panembahan Gede.
Sebenarnyalah mulai akhir malam itu dan hari berikutnya kedua pasukan baik Panaraga maupun Tanah Perdikan Menoreh telah semakin dalam kesiagaan penuh. Pasar-pasar di padukuhan-padukuhan serta padukuhan induk, yang sehari sebelumnya masih ada satu, dua orang yang tetap berjualan maka mulai hari itu pasar-pasar itu menjadi kosong.
Para penduduk pun tidak ada yang keluar rumah, walau hanya sekedar untuk menengok aliran air di parit sawah atau tanaman di petegalan mereka. Keadaan padukuhan-padukuhan yang hari itu sungguh-sungguh menjadi lengang, ternyata telah di anggap menjadi sesuatu yang sangat wajar oleh para senapati pasukan gabungan. Justru di saat keyakinan bahwa para pengawal telah di kerahkan seluruhnya di semua sisi.
“Apakah prajurit pemanah telah bersiap sepenuhnya?” Kata Ki Kebo Langitan sambil tetap memandang induk pasukan pengawal yang telah menggelar lengkap dengan umbul-umbul, rontek, klebet, atau tunggul kebanggaan mereka.
“Dalam sepekan mereka selalu berjaga”, jawab seorang prajurit Panaraga.
“Dan kau serta penghubung lainnya, harus cepat-cepat menghindar dan melapor kepadaku, andai Mataram mengirimkan bala bantuan prajuritnya. Justru di saat pasukan khusus Panaraga itu tidak mampu menahan arus pasukan yang akan menyeberang tersebut.”
“Baik Senapati”, jawab prajurit penghubung itu sebelum pergi.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh pun telah menjatuhkan perintah untuk membuat gelar pasukannya menjadi utuh. Tidak hanya di induk pasukan, namun di sayap-sayap gelar semua tanda baik itu tunggul kebesaran maupun rontek, umbul atau klebet seakan dengan tengadah telah memberitahu keberadaan mereka sebagai prajurit-prajurit Mataram. Bahkan di saat tepat tengah hari, tiba-tiba Ki Gede Menoreh telah memberi perintah untuk mengembalikan paruh gelar menjadi seutuhnya.
“Apakah tidak terlalu mencolok Ki Gede”, gumam Pangeran Pringgalaya.
“Aku rasa tidak, Angger Pangeran”, jawab Ki Gede Menoreh. “Setelah membuat murid-murid Perguruan Semu itu menjadi sangat yakin bahwa perkemahan-perkemahan kita yang berderet itu kosong, maka induk yang sedikit menyebar itu sudah tidak di perlukan lagi. Mereka akan kembali berada di belakang paruh gelar.”
Pangeran Pringgalaya mendengarkan dengan kepala terangguk angguk.
Dan akhirnya yang terlihat dari kejauhan adalah bentangan yang berkelok yang kedua tepinya seakan terpisah, karena begitu dalam tali penyambungnya.
Bentangan yang nampak begitu jelas dan berlapis di paruh gelar pasukan para pengawal Tanah Perdikan. Seakan deretan perkemahan di belakang paruh gelar itu bagai perisai kokoh yang menyangga keutuhan paruh gelar.
Sebenarnyalah, perubahan gelar di pasukan pengawal itu tidak luput dari pengamatan para senapati pasukan gabungan dan dua orang prajurit Panaraga di sayap kiri gelar. Arya Alit dan Jaka Panengah sungguh-sungguh mengamati keseluruhan gelar yang tiba-tiba telah kembali menjadi Garuda Nglayang utuh tersebut.
“Panaraga dan Perguruan Semu benar-benar terjebak”, gumam Jaka Panengah.
“Senapati Tanah Perdikan memang memiliki pengalaman yang lebih, Kakang.”
Arya Alit tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya saudara seperguruannya itu sejenak. Lalu ia pun berkata, “Bukankah itu menjadi keuntungan bagi kita, Adi Panengah.”
“Benar Kakang. Dalam sehari anak-anak Perguruan Semu itu akan tumpas, dan kita akan punya waktu lebih banyak lagi.”
“Harusnya kita memang menyelesaikan orang-orang Jati Alit terlebih dahulu”, sahut Arya Alit. “Sehingga pada medan ini aku akan bisa sedikit berkenalan dengan Agung Sedayu.”
Dua orang prajurit Panaraga itu masih terus bercakap cakap di ujung hutan yang berbatasan dengan pategalan pategalan bertingkat itu. Terkadang keduanya menjadi terdiam dan cepat-cepat menyamarkan tubuhnya, disaat melihat kehadiran kawan-kawan mereka yang sedang tugas ronda.
Akhirnya Arya Alit menggamit lengan saudara seperguruannya itu. “Senja akan segera turun, Panengah. Marilah kita lihat arus datangnya gelar baris pendem para pengawal yang akan mulai mengisi perkemahan perkemahan kosong itu.”
Jaka Panengah pun mengikuti apa yang dilakukan Arya Alit. Dan begitu simpul Aji Panglimunan terbuka, Jaka Panengah segera bergegas menyusul kakak seperguruannya tersebut.
Sementara itu, hampir dalam waktu yang bersamaan, seperti yang telah diperkirakan oleh Arya Alit, sebenarnyalah Prastawa telah memberi perintah kepada para pimpinan kelompok untuk mulai mengawali membawa pasukannya bergerak secara bertahap.
Sesungguhnya, bukanlah jarak yang terlalu jauh bagi para pengawal itu untuk segera bergabung dalam induk pasukan.
Akan tetapi, jalan yang harus di lalui yang justru diperintahkan untuk melewati pekarangan-pekarangan rumah penduduk, telah membuat kelompok-kelompok kecil itu membutuhkan waktu yang agak lama. Terkadang mereka harus berlindung terlebih dulu di balik dinding rumah atau di bawah pohon besar untuk menunggu isyarat dari petugas sandi.
Begitu isyarat turun, para pengawal yang kebanyakan menyandang busur dan anak panah itu segera berlari melompati parit-parit dan berhenti sejenak di pematang pesawahan. Sambil berlindung di bawah tanaman jagung atau di sebelah menyebelah tanaman padi yang mulai tumbuh itu mereka lalu berjalan lagi dengan semakin hati-hati dan kesiagaan tinggi.
Dalam pada itu, pergerakan para pengawal tersebut akhirnya luput dari pengamatan telik sandi pasukan lawan. Sebenarnyalah Glagah Putih ada di antara petugas sandi yang ikut membayangi jalur yang akan dilalui arus para pengawal. Seorang petugas sandi Mataram lainnya berjalan mendekat ke tempat Glagah Putih.
“Akhirnya saat tabuh pertama, mereka sudah dapat bergabung semua.”
Glagah Putih mengangguk angguk, lalu berkata, “Segera kau laporkan kepada Ki Gede Menoreh. Saat ini Pangeran Pringgalaya juga ada bersamanya.”
“Baik, Ki Glagah Putih.”
Petugas sandi Mataram itu segera bergegas pergi.
Sementara itu, Glagah Putih sendiri lalu melangkahkan kakinya menuju ke sebuah gubuk yang membatasi pategalan dengan hutan kecil.
“Ada sesuatu yang tidak wajar”, berkata Glagah Putih dalam hati.
Kemudian terlihat Glagah Putih melepas ikat kepalanya lalu turun ke parit di depan gubuk itu untuk mencuci mukanya.
Namun begitu Glagah Putih akan naik kembali, tiba-tiba ada dua bayangan yang seakan akan muncul begitu saja di antara pohon-pohon di hutan kecil itu.
Walau terlihat samar, Ketajaman penglihatan Glagah Putih ternyata masih mampu menangkap dengan jelas wajah kedua orang tersebut.
“Orang ini sengaja memamerkan ungkapan aji panglimunan”, batin Glagah Putih.
Dua orang yang sesungguhnya adalah Arya Alit dan Jaka Panengah itu masih tetap berdiri di tempatnya di saat Glagah Putih berjalan mendekat. Jaka Panengah berkata perlahan, “Orang itu yang bernama Glagah Putih, Kakang. Walau sekilas, aku masih mengingat ketika ia menjadi ketua kelompok Gajah Liwung.”
Arya Alit mengangguk kecil, lalu berkata, “Apakah saat kau membayangi kotaraja, Glagah Putih pernah melihat dirimu?”
“Tidak” jawab Jaka Panengah.
Kedua orang seperguruan itu kemudian juga perlahan berjalan mendekat. Sesaat Glagah Putih memandang wajah Arya Alit dan Jaka Panengah, begitu keduanya telah berdiri tidak jauh dari tempatnya. Dalam hati sebenarnya Glagah Putih pun telah meyakini kedua orang tersebut bukan orang kebanyakan. Apalagi di saat medan perang tinggal menunggu waktu, maka Glagah Putih menduga dua orang tersebut adalah prajurit Panaraga.
Sesaat kemudian Glagah Putih bertanya, “Siapa Kisanak berdua ini?”
Arya Alit yang berdiri agak didepan Jaka Panengah, menganggukkan kepalanya sejenak. “Kami berdua adalah prajurit Panaraga. Dan kalau tidak salah, bukankah sekarang aku sedang berhadapan dengan Ki Glagah Putih?”
Berdebar debar dada Glagah Putih, justru disaat Arya Alit telah mengenal dirinya.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Kisanak?”
“Belum Ki Glagah Putih. Hanya saudaraku ini yang pernah melihatmu saat kau mendapat tugas di kotaraja Mataram. Akan tetapi sebenarnyalah aku sudah mengetahui dari dulu bahwa kau adalah salah satu senapati tanggon Mataram.”
Hanya sejenak, akhirnya Glagah Putih telah dapat menguasai dirinya. Sebagai salah seorang prajurit sandi Mataram, sebenarnyalah Glagah Putih telah mendapat banyak petunjuk tentang tugas sandi secara keseluruhan.
“Aku memang bagian dari prajurit Mataram Kisanak.
Namun untuk saat ini aku berdiri sebagai salah seorang pemimpin kelompok Pengawal Tanah Perdikan.”
Arya Alit mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum menatap wajah Glagah Putih yang berdiri tidak jauh dari tempatnya itu.
Sebelum mereka berdua berkata, Glagah Putih melanjutkan perkatannnya, “Dan aku yakin kalian bukan prajurit sandi.”
Jaka Panengah yang lebih banyak menunduk mendengarkan percakapan itu, tiba-tiba telah mengangkat kepalanya dan menatap tajam wajah Glagah Putih. Pertanyaan justru timbul dalam hati Jaka Panengah. Apakah saat ini salah seorang darinya harus berperang tanding berhadapan dengan Glagah Putih, justru di saat ia dan Arya Alit meyakini belum waktunya untuk beradu dada melawan saudara seperguruan Agung Sedayu tersebut.
Akan tetapi, Arya Alit sendiri masih seperti semula, tetap tersenyum mendengarkan perkataan Glagah Putih.
“Aku mengerti Kisanak berdua adalah prajurit yang berilmu tinggi. Tidak banyak prajurit yang mampu mengungkap Aji Panglimunan.”
Dan sebenarnyalah perkataan Glagah Putih selanjutnya yang membuat dada Arya Alit berdetak semakin cepat. “Namun, bagaimanapun juga aku tetaplah salah seorang dari Pengawal Tanah Perdikan, Kisanak. Hanya sampai batas ini Kisanak berdua aku perbolehkan menyentuh garis pertahanan Tanah Perdikan.”
Sejenak ketiga orang di pinggiran hutan kecil pembatas dua padukuhan itu terdiam. Malam pun seolah agak berat untuk menggulirkan waktu, meskipun secara perlahan tetap berjalan meninggalkan puncaknya. Mungkin sang malam ingin menikmati kedamaian dalam sesaat, ingin bercakap serta berdendang bersama parit-parit yang selalu berair, bersama tanaman di pategalan dan pesawahan yang tumbuh subur, dan mungkin juga ingin menghibur diri sejenak bersama pohon-pohon di hutan Menoreh. Sang malam memberi keyakinan kepadanya, bahwa penduduk Tanah Perdikan tetap akan merawat mereka seterusnya.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ketiga orang tersebut segera mengetahui kehadiran seseorang yang tengah membayangi mereka. Namun, Jaka Panengah lah yang pertama kali berkata, “Ternyata kawan Ki Glagah Putih telah hadir. Walau masih bersembunyi, namun kami dan tentunya Ki Glagah Putih sudah mengetahui orang yang sedang mengawasi itu.”
Arya Alit hanya berdesah lirih, lalu menoleh memandang ke arah Jaka Panengah sesaat. Ada sesuatu yang ingin diucapkan namun tetap dipendamnya kepada saudara seperguruannya tersebut.
Ada sedikit kekecewaan Arya Alit terhadap sikap saudara seperguruannya itu. Justru di saat keinginan mereka berdua hanya ingin mengukur seberapa tinggi ketahanan jiwani para pemimpin Menoreh, termasuk kepada semua keluarga Agung Sedayu.
“Aku rasa orang yang mengawasi kita itu sengaja berbuat demikian, Kisanak. Dia akan menguji apa kita mempunyai pangrasa yang cukup tinggi.” Glagah Putih berkata.
Arya Alit pun segera menyahut perkataan Glagah Putih itu.
“Aku pun menganggap seperti itu, Ki Glagah Putih. Dari dulu aku sudah mengetahui orang-orang Menoreh banyak yang berilmu sangat tinggi.”
“Karena Tanah Perdikan ingin hidup dalam sewajarnya.
Dan untuk urip bebrayan agung itu tetap dibutuhkan orang-orang yang mempunyai ilmu melebihi tingginya mega-mega di langit.”
Sesungguhnya Glagah Putih sengaja berkata yang seakan deksura tersebut. Kebenaran untuk bersikap seperti itu dalam adab perang, yang sedang dilakukan Glagah Putih untuk sedikit menggoyahkan ketahanan jiwani lawan.
Arya Alit tertawa perlahan, lalu berucap, “Apakah Ki Agung Sedayu yang hadir mengawasi kita itu?”
“Ah, Kakang Agung Sedayu masih ada urusan yang lebih penting dalam kesatuan pasukan khususnya. Namun aku yakin dia adalah salah seorang dari pengawal.” Jawab Glagah Putih.
Sejenak Glagah Putih nampak mendongakkan kepalanya.
Dilihatnya lintang gubuk penceng telah mulai bergeser.
“Baiklah kalau Kisanak berdua tidak mau menyebut nama, justru di saat Kisanak berdua telah mengetahui namaku.”
“Maaf Ki Glagah Putih”, berkata Arya Alit perlahan.
“Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Dan waktu itulah Ki Glagah Putih akan tahu namaku dan saudaraku ini.”
“Andai Kisanak berdua ada di paruh gelar, tentunya besok akan bertemu denganku lagi” jawab Glagah Putih.
“Tapi ternyata kami di sayap kiri gelar pasukan Panaraga, Ki Glagah Putih. Sayap gelar yang akan bertemu dengan senapati yang berilmu tiada tara Ki Rangga Agung Sedayu.”
Glagah Putih mengangguk angguk sambil tersenyum memandang kedua orang prajurit Panaraga itu. Sebenarnyalah dalam hati Glagah Putih telah menghubungkan kemungkinan dari cerita Rara Wulan.
Cerita tentang kejadian yang di alami sendiri oleh Rara Wulan bersama kelompok Gajah Liwung. Bagaimana gerakan pancingan dalam gelar sandi yang ternyata harus membentur kepada kekuatan dua orang aneh yang mengaku sebagai bagian dari prajurit Panaraga.
“Baiklah Ki Glagah Putih.” Berkata Arya Alit
Glagah Putih menarik nafas dan memandang Arya Alit.
“Aku serta saudaraku ini akan segera kembali ke pasukan.” Berkata Arya Alit
Glagah Putih masih terdiam, hanya sedikit anggukan kecil dengan tetap memandang wajah Arya Alit. Ada kesan yang hampir sama seperti yang diceritakan Rara Wulan di saat bertemu juga dengan dua orang prajurit Panaraga.
Akhirnya sambil menganggukkan kepalanya, Arya Alit kembali berkata, “Aku rasa perang esok hari tidak akan membutuhkan waktu yang terlalu lama, Ki Glagah Putih. Karena sebenarnya ini bukanlah medanku juga bukan landasan perang dari saudaraku ini.”
Pada akhirnya Arya Alit dan Jaka Panengah segera meninggalkan tepian hutan kecil tersebut. Glagah Putih sejenak masih berdiri di tempatnya. Masih terus di-pandanginya tubuh dua orang prajurit Panaraga yang hanya berjalan dengan perlahan itu sampai menghilang di balik bukit kecil.
“Kedua orang itu benar-benar yakin dengan kemampuan yang mereka miliki” berkata Glagah Putih dalam hati. Kemudian, “Ah, bukankah itu bisa menjadi keuntungan bagi Tanah Perdikan sendiri andai dua orang tersebut mempunyai maksud tidak baik terhadap tanah ini di kemudian hari. Justru disaat keduanya dengan sengaja telah mengenalkan jati diri mereka sendiri.”
Glagah Putih tanpa sengaja telah mengangguk anggukkan kepalanya. Baru sejenak kemudian sambil kembali mengenakan ikat kepala yang semula masih terurai di atas bahunya itu, Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu. Namun, sebenarnyalah hanya beberapa langkah saja, Glagah Putih telah berhenti di sebelah parit yang membatasi lebatnya tanaman jagung.
“Guru!?” Berucap Glagah Putih perlahan, memanggil orang yang berada di balik lebatnya daun-daun tanaman jagung itu.
Namun sebenarnyalah Glagah Putih menjadi terkejut begitu melihat orang yang berjalan mendekat.
Orang itu pun akhirnya berdiri di depan Glagah Putih.
“Kyai Waskita” desis Glagah Putih.
Orang yang keluar dari rimbunnya tanaman jagung yang sesungguhnya adalah Ki Waskita itu, terdengar tertawa perlahan. Kemudian katanya, “Aku kira kau sudah tidak mengenalku, Angger Glagah Putih.”
“Apakah Kyai bersama Guru?”
“Gurumu masih di banjar padukuhan induk berkumpul dengan beberapa pengawal.”
“Maaf Kyai, aku kira tadi yang membayangi aku dengan dua orang prajurit Panaraga itu adalah Kyai Jayaraga.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Desir angin yang perlahan telah sedikit menyibak rambut di kepala Ki Waskita yang telah memutih semua itu.
“Apakah Kyai diminta kehadirannya oleh Ki Gede Menoreh atau barangkali oleh Kakang Agung Sedayu sendiri?”
Sejenak Ki Waskita tertawa perlahan, lalu berkata, “Salah seorang prajurit dari pasukan khusus telah datang ke rumahku menyampaikan pesan dari Angger Agung Sedayu.”
Glagah Putih menjadi tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
“Namun aku datang ke Tanah Perdikan ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang mendirikan perkemahan di tengah hutan itu, Angger Glagah Putih.”
“Apakah ada hubungannya dengan adi Serat Manitis? Bukankah Kakang Agung Sedayu serta Empu Wisanata telah dapat meramu obat yang tepat.”
Ki Waskita nampak tersenyum sejenak. “Mari Angger, kita bercakap sambil berjalan.”
Kedua orang itu pun akhirnya menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Walau mereka mempunyai tujuan untuk ke banjar padukuhan induk, namun terkadang Ki Waskita serta Glagah Putih sengaja berbelok arah untuk melihat keadaan di padukuhan-padukuhan lainnya. Ki Waskita dibuat kagum atas kesiagaan anak-anak muda para pengawal Tanah Perdikan. Tetap dengan gelar baris pendem, jajaran ketiga kelompok pengawal sebagai pasukan cadangan itu, seakan seperti anak panah yang akan melesat cepat, begitu isyarat perintah tiba-tiba telah turun.
“Tanah Perdikan telah ditempa dengan pengalaman yang teramat luas, Angger.”
Mereka berdua berhenti sejenak di depan banjar salah satu padukuhan.
“Aku merasa seperti baru kemarin melihat Angger Agung Sedayu ikut membentuk para pengawal itu agar menjadi lebih kuat. Mengasah kemampuan dalam memanah, dalam ketrampilan olah senjata pedang, tombak atau canggah. Dan tentunya juga melatih kemampuan tata gerak olah kanuragan para pengawal.”
Glagah Putih pun semakin mendengarkan perkataan Ki Waskita dengan sungguh-sungguh, justru disaat orang tua itu memutuskan untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan tanpa kembali lagi ke banjar padukuhan induk.
“Menoreh telah menjadi benteng kuat Mataram, Angger Glagah Putih. Sudah sejajar dengan Kademangan Sangkal Putung, Pegunungan Kidul, atau Jati Anom.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala sambil berucap perlahan disaat Ki Waskita mengajak untuk berjalan lagi. “Apakah Kyai sendiri telah bertemu dengan Ki Gede?”
“Walau sejenak aku telah menemuinya. Dan aku pun telah mengatakan tujuanku datang ke Menoreh ini.”
Glagah Putih memandang sejenak wajah orang tua yang berjalan di sampingnya itu. Tiba-tiba ada sesuatu yang berdesir dalam dada Glagah Putih. Justru di saat Glagah Putih menyadari dirinya yang sudah tidak muda lagi itu.
Ki Waskita tersenyum lebar, seperti mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Glagah Putih. Lalu katanya, “Angger Glagah Putih, ini semua adalah hal yang sangat wajar. Aku yakin, dahulu Kyai Gringsing yang telah menganggapmu sebagai muridnya itu pasti telah mengatakan semua kepadamu. Dan ingatlah selalu wejangan orang yang telah mampu meletakkan semua hatinya itu, Angger.”
“Apakah Kyai telah mendapat isyarat-isyarat itu, desis Glagah Putih. Justru disaat tadi Kyai telah mengatakan ingin mengulang pengembaraan untuk yang terakhir kali.”
Terdengar tawa Ki Waskita sejenak. Ia pun berhenti sesaat.
Glagah Putih pun hanya tertunduk disaat kedua tangan Ki Waskita memegang pundaknya, lalu katanya. “Tidak ada isyarat apapun, Glagah Putih! Dan aku pun juga masih ingin berbincang denganmu, dengan Ki Jayaraga dan yang lainnya di pendapa rumah Ki Rangga Agung Sedayu.”
Glagah Putih tersenyum tipis dengan kepala tetap tertunduk.
“Isyarat yang aku terima adalah wadag tua ini”, lanjut Ki Waskita memegang lengan Glagah Putih untuk berjalan kembali.
Malam pun semakin jauh meninggalkan puncaknya. Kedua orang itu terus berjalan dengan sambil bercakap dan baru berhenti di pinggiran padukuhan berbatasan dengan bukit kecil.
“Apakah kau merasa seakan-akan telah mengantar sampai di ujung padukuhan Tanah Perdikan ini?”
Glagah Putih menjadi tertawa perlahan.
“Kita berpisah disini, Angger Glagah Putih.”
“Hati-hati Kyai” jawab Glagah Putih. “Aku berharap Kakang Agung Sedayu akan memberi perintah kepadaku untuk menyusul Kyai. Dan tentunya aku hanya berharap Tanah Perdikan mampu kembali melewati goncangan ini.”
Nampak semakin berkerut dahi Ki Waskita, kemudian katanya. “Aku rasa masih banyak tugas lain yang menunggumu. Justru di saat kau serta Rara Wulan adalah prajurit sandi Mataram.” Ki Waskita berhenti sejenak, kemudian iampun melanjutkan ucapannya, “Aku hanya sekedar berjalan-jalan saja sambil menunggu Angger Agung Sedayu menyelesaikan tugas-tugas keprajuritannya.
Sudah terlalu lama aku tidak menengok sanak kadang di tlatah Pengging dan juga Banyubiru. Dan aku juga ingin melihat lihat keadaan Demak dan sekitar pesisir utara, Sebelum akhirnya aku akan mengunjungi saudaraku di Gresik.”
Glagah Putih mengangguk-angguk sebelum akhirnya menyahut dengan senyum kecil dibibirnya. “Kyai akan melewati jalan-jalan setapak yang mungkin pernah dilalui saat pengembaraan Kyai semasa muda dulu.”
Ki Waskita menepuk nepuk pundak Glagah Putih, lalu katanya. “Aku hanya mencoba membantu tugas Ki Rangga Agung Sedayu, justru disaat ia masih dalam jalur Perguruan Pengging.”
“Andai Ki Ajar Rana Reksa masih hidup tentu tidak akan sesulit langkah yang akan Kyai ambil saat ini. Justru disaat Kyai Waskita belum mengenal murid dari Ki Ajar Rana Reksa itu.”
“Baiklah, Angger Glagah Putih. Aku percaya kau akan menjadi bagian dari pengawal yang mampu melindungi Tanah Perdikan ini dari goncangan dalam bentuk apapun itu.”
Ki Waskita pun akhirnya telah berlalu.
Sejenak Glagah Putih memandang langkah perlahan Ki Waskita.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam begitu bayangan Ki Waskita telah menghilang dari pandangan. “Salah seorang guru Kakang Agung Sedayu ini walau sudah sangat tua namun tetap ingin berbuat sesuatu dalam urip bebrayan agung” berkata Glagah Putih dalam hati.
Glagah Putih kemudian segera bergegas untuk kembali bergabung ke induk pasukan. Justru disaat Glagah Putih merasa hanya punya sedikit waktu untuk sekedar beristirahat sejenak sebelum terbit fajar.
Sebenarnyalah, baik dari pasukan para pengawal Tanah Perdikan maupun pasukan gabungan Panaraga serta Perguruan Semu telah meyakini medan perang itu tinggal menunggu waktu beberapa saat lagi. Dan semakin mendekati akhir malam, kesiagaan sungguh-sungguh telah mencapai puncaknya.
Di paruh gelar pasukan Tanah Perdikan, kesiagaan para pengawal juga dalam kesiapan tertinggi. Para pengawal sangat menyadari bahwa keberhasilan mereka akan berpengaruh besar pada kemenangan pasukan Tanah Perdikan keseluruhan.
Glagah Putih pun menyempatkan untuk beristirahat sesaat.
Penjagaan yang benar-benar kuat di paruh gelar, menjadikan Glagah Putih merasa aman walau untuk sejenak mengendurkan otot-otot wadagnya. Bukan hanya kesiagaan yang semakin tinggi, sebelum fajar tiba, para pengawal yang mendapat tugas di dapur umum pun telah mulai mengirimkan bungkusan makanan dan ratusan kendi-kendi ke semua pasukan.
Untuk mengirim rangsum makanan ke induk gelar ternyata juga mendapat pengawasan ketat dari para telik sandi. Mereka adalah para pengawal yang sudah terlebih dahulu tidur di awal. Para telik sandi itu membayangi jalur yang akan di lalui para pengawal yang akan mengirim makanan tersebut. Justru di saat jumlah kiriman makanan ke paruh gelar itu dua, tiga kali lebih banyak dari jumlah pengawal yang nampak dan diyakini besarnya oleh pasukan lawan. Secara bergantian pengawal yang mendapat giliran jaga pun lekas-lekas menyantap jatah rangsum mereka masing-masing. Mereka tidak akan pernah tahu apakah saat perang telah terjadi, mereka masih sempat untuk menyantap makanan lagi.
Walau hanya sesaat namun cukup untuk membuat wadag Glagah Putih menjadi semakin segar. Dan begitu selesai menjalankan kewajiban, Agung Sedayu menyempatkan menemui Glagah Putih.
Lintang panjer rino sebagai pertanda habisnya malam di Tanah Perdikan saat itu. Suara bende, walau belum terdengar namun para pengawal telah mulai mempersiapkan semuanya, walau tetap dalam gelar sandi Garuda Nglayang.
“Apa ada perintah untukku atau khusus kepada kakang Prastawa, Kakang?”
“Ini mungkin hanya untuk melengkapi saja, Glagah Putih”, jawab Agung Sedayu perlahan. “Namun akan dapat membantu dalam keunggulan di medan nanti, Glagah Putih” lanjut Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk kecil dan semakin sungguh-sungguh mendengarkan perkataan Agung Sedayu selanjutnya. “Pada saat ini ternyata terbitnya matahari sedikit bergeser di sisi utara. Dan sungguh kebetulan pasukan Tanah Perdikan membuat garis gelar di sisi selatan, Glagah Putih.”
Glagah Putih sedikit tersentak sambil memandang lekat-lekat wajah kakak sepupunya itu. Kemudian ia pun bertanya, “Jadi maksud Kakang, pasukan Tanah Perdikan akan terganggu dengan sorot matahari itu?”
“Benar, andai kita tidak menyadari sebelumnya”, jawab Agung Sedayu dengan tersenyum. “Itulah maksudku sebetulnya, Glagah Putih. Kau dan Prastawa dapat menggunakan perisai-perisai logam pada saat awal penyerangan nanti.”
“Maksud, Kakang?” desak Glagah Putih.
“Dengan membuat lentur sayap kiri gelar serta mendahului menyerang pada kesempatan pertama di sayap kanan, tentunya akan membuat sedikit bergeser kedua gelar yang sedang berhadapan ini.”
Glagah Putih pun mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata perlahan seakan bicara kepada dirinya sendiri.“Dalam keadaan tertentu perisai-perisai logam para pengawal pada akhirnya akan dapat memantulkan atau membelokkan teriknya matahari itu.”
Dalam pada itu, hampir bersamaan tiba-tiba isyarat telah terdengar. Suara bende dan tanda isyarat yang pertama lain dari pasukan Panaraga dan Perguruan Semu telah berkumandang bertalu-talu membangunkan seisi Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa pun mengangguk begitu Glagah Putih menyampaikan kembangan pakem gelar dari Agung Sedayu tersebut.
“Kita belum terlambat, Adi.”
“Benar Kakang”, jawab Glagah Putih. “Pengalaman dari Ki Gede Menoreh, juga Kakang Agung Sedayu pada masa pertempuran Mataram Pati telah membantu gelar pasukan pengawal ini. Justru di saat dalam kasat mata, garis pertahanan pasukan pengawal nampak tidak diuntungkan oleh keadaan alam.”
Isyarat bende kedua terdengar, dengan waktu yang sama Prastawa juga telah memerintahkan para pemimpin kelompok untuk meneruskan sedikit perubahan di paruh gelar pasukannya. Para senapati, baik di paruh gelar, maupun pasukan Mataram di sayap kiri serta pasukan khusus di sayap kanan Garuda Nglayang telah memeriksa kesiagaan seluruh prajuritnya. Para prajurit itu sendiri sudah jauh-jauh sebelum isyarat pertama dijatuhkan, telah menyiapkan semuanya dalam kesiagaan paling tinggi. Senjata-senjata yang dipercaya dari masing-masing prajurit sudah erat melekat dalam genggaman tangan mereka. Pisau-pisau tajam di dua sisi sebagai ciri tersendiri dari pasukan khusus, nampak dua, tiga buah terselip di pinggang prajurit-prajurit yang mempunyai keunggulan bertempur di segala medan ini. Pasukan Mataram dari prajurit kepatihan, dengan ciri pedang rangkap, bahkan telah membentuk gelar nyata, meski isyarat terakhir masih beberapa saat lagi.
Sebenarnyalah para senapati pasukan gabungan Panaraga serta Perguruan Semu tidak lepas pengamatan dari kesiagaan tinggi pasukan pengawal tersebut. Naga Wuragil yang berdiri di sebelah Panembahan Gede tampak tersenyum. Tumenggung Jaya Wiguna yang saat itu tengah menghampiri mereka pun, sempat bertanya tentang kesiagaan pasukan Tanah Perdikan.
“Kakang Tumenggung harap bersabar sejenak, begitu aku dan Kyai Panembahan membuat hujan api di paruh gelar lawan, kami akan segera bergeser ke pasukan Kakang.”
Menjadi merah padam wajah Tumenggung Jaya Wiguna. Walau ia sudah cukup lama berteman dengan Naga Wuragil, akan tetapi dalam medan perang itu adalah pengalaman yang pertama bagi mereka berdua.
“Naga Wuragil” desis Tumenggung Jaya Wiguna dengan menghembuskan nafas panjang menahan luapan di dada. “Dalam perang gelar sungguh berbeda dengan perang tanding atau perang kelompok lainnya. Seharusnya kau bertanya kepada lurah prajuritmu atau senapati Panaraga lainnya tentang siapa itu prajurit Mataram, yang para pengawal jelas berada di dalamnya.”
Panembahan Gede sendiri memilih diam, sambil terus melakukan pengamatan untuk perubahan yang mungkin bisa dilihat dan tampak di gelar perang pasukan Tanah Perdikan.
“Memang berbeda Kakang Tumenggung, akan tetapi perang gelar itu akan sama dengan perang jenis lainnya, andai kita tidak selalu terikat kuat kepada aturan dalam perang gelar itu sendiri.”
“Apa maksud kau sebenarnya, Naga Wuragil?” desis Tumenggung Jaya Wiguna.
Sejenak Naga Wuragil memandang Panembahan Gede yang seakan-akan terlihat tidak memperhatikan sama sekali percakapan mereka itu. Naga Wuragil tersenyum, kemudian berkata, “Tentang guruku Kyai Nagaraga, yang ilmu-ilmu warisannya telah aku sempurnakan beberapa lapis lebih tinggi. Dia kalah dan akhirnya mati karena mengikuti aturan-aturan perang, walaupun saat itu ada juga aturan yang telah dia buang. Justru perang itu hanyalah perang kelompok, bukan perang gelar. Tentunya aku tidak akan mewarisi kebodohan guru tersebut.”
Tumenggung Jaya Wiguna yang semakin panas dadanya, meskipun demikian ia hanya memilih untuk menahan sambil menarik nafas dalam-dalam. Tumenggung Jaya Wiguna hanya berkata perlahan, “Hati hatilah dengan ucapanmu itu, Naga Wuragil. Percayalah, andai kau benar-benar menjadikan para pengawal itu sebagai tumbal dari kedahsyatan ilmu pamungkasmu, Mengertilah di paruh gelar pasukan Menoreh ada seorang seusiamu yang juga masih bisa mempunyai gejolak tinggi seperti dirimu.”
Kembali Naga Wuragil nampak akan menyahut ucapan tersebut, tetapi Tumenggung Jaya Wiguna segera memotong perkataannya, “Isyarat terakhir tinggal sesaat. Ini hanyalah memangkas ranting dalam batas kemampuan, dan sebelum terlambat bertanyalah kepada Panembahan Gede tentang siapa itu Glagah Putih.”
Panembahan Gede hanya mengangguk dan tersenyum lebar melihat Tumenggung Jaya Wiguna yang telah bergegas menuju pasukannya kembali. Tidak berkata apapun, hanya sekilas menoleh ke arah Naga Wuragil, dan Panembahan Gede pun juga segera bergabung ke dalam pasukannya di sebelah bawah perbukitan kecil itu.
Sementara itu, agak jauh di selatan dari padukuhan induk Tanah Perdikan, di perbukitan yang lebih tinggi dengan terlindungi lebatnya pohon-pohon, terlihat dua orang yang tengah menyaksikan dengan sungguh-sungguh saat akan terjadinya benturan senjata-senjata kedua pasukan Mataram dengan gabungan prajurit Panaraga dan Perguruan Semu. Dua orang yang ternyata Harya Pamungkas serta Rasta itu seakan-akan ikut menahan nafas tanpa pernah mengedipkan mata, selalu menatap bulak panjang yang agak jauh di bawah tempat mereka berdiri.
“Tinggal menunggu isyarat atau gaung bende yang terakhir lagi Kakang!”
“Benar Rasta” jawab Harya Pamungkas. “Dan lihatlah di sayap kanan gelar!”
“Bukankah itu prajurit-prajurit Mataram dari pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan” desis Rasta perlahan seakan ia berkata pada dirinya sendiri.
“Pasukan terbaik Rasta, dengan senapati berilmu tiada tara.” jawab Harya Pamungkas,
Rasta sendiri memandang wajah kawan seperjalanannya itu yang tiba-tiba terdengar bergetar. Akan tetapi kedua orang itu beberapa saat kemudian memilih untuk diam sambil kedua mata mereka selalu melihat ke arah dua pasukan yang akan memulai pertempuran tersebut.
Matahari pagi sudah benar-benar keluar di timur Menoreh. Di sekitar tempat Harya Pamungkas dan Rasta, binatang-binatang pagi tetap bersuara bersahutan seolah olah tanpa pernah tahu apa yang akan terjadi di bumi tempat mereka hidup.
Namun, keadaan itu yang akhirnya memaksa Harya Pamungkas tidak kuasa untuk menahan gejolak dadanya. “Rasta, mungkin leluhur dahulu juga mempunyai jiwa satria seperti senapati pasukan khusus itu. Tidak bisa disamakan, namun aku tidak mengerti mengapa begitu menghormati senapati ini layaknya aku menjunjung setinggi tingginya leluhurku tersebut.
Rasta hanya mengangguk dengan menunduk tanpa berani memandang wajah Harya Pamungkas. Ia memilih diam sambil menunggu Harya Pamungkas meneruskan ucapannya. Sinar matahari pagi membuat terang tempat mereka berdiri seakan-akan menemani kesunyian sesaat tersebut.
Dalam pada itu, terlihat Harya Pamungkas tiba-tiba telah melompat ke depan pohon jati besar di hadapannya. Rasta pun mengikuti kawannya itu begitu menyadari suara bende telah terdengar, begitu juga isyarat dari pasukan gabungan yang datang hampir bersamaan. Rasta berdiri di sebelah Harya Pamungkas. Yang dilakukannya pun sama seperti Harya Pamungkas, melihat dengan sungguh-sungguh apa yang telah terjadi di bulak panjang jauh di depan mereka berdua itu. Sebenarnyalah, mereka telah melihat kedua pasukan yang tengah berhadapan itu sudah bergerak dalam gelarnya masing-masing.
Tidak beberapa lama kemudian, nampak Harya Pamungkas agak terkejut menyaksikan apa yang terjadi begitu benturan kedua pasukan telah terjadi.
“Luar biasa! Lihatlah, Rasta. tajamkan matamu di sayap kanan dan di sisi lainnya.”
“Pasukan khusus membentur seperti banteng ketaton Pangeran” desis Rasta dengan suara bergetar Rasta sampai lupa menyebut Harya Pamungkas dengan panggilan Pangeran. Selanjutnya, “Pasukan khusus ternyata lebih kuat beberapa lapis dari prajurit Mataram di sayap lainnya.”
Harya Pamungkas sejenak hanya menggelengkan kepala. Sebenarnyalah, Harya Pamungkas sedang sungguh-sungguh menyaksikan pisau-pisau prajurit pasukan khusus yang seakan tidak pernah berhenti membuka jalan untuk serangan dari kawan mereka selanjutnya. Dada Harya Pamungkas semakin bergetar begitu mengetahui apa yang juga telah terjadi di paruh gelar pasukan para pengawal.
“Kakang!” Rasta sedikit berteriak memanggil Harya Pamungkas. “Ternyata aku telah salah menilai keadaan, bahkan terhadap para pengawal di paruh gelar itu sekalipun.”
Akhirnya, seiring dengan matahari yang sedikit demi sedikit berjalan naik telah terjadi perubahan di benturan yang pertama.
Dalam pada itu, Harya Pamungkas dan Rasta kemudian melanjutkan pengamatannya untuk mengikuti apa yang terjadi di medan perang.
Justru disaat keduanya ingin mengetahui dengan nyata kekuatan pasukan para pengawal dan kemampuan prajurit Mataram terutama dari pasukan khusus. Sebenarnyalah, yang terjadi selanjutnya di medan telah membuat panas sejak awal dada para senapati pasukan gabungan. Walaupun dalam perang gelar, perubahan-perubahan kecil selanjutnya juga bisa mengubah keseimbangan dari lawan, namun karena itu adalah akibat dari benturan pertama, yang membuat darah para senapati itu meluap.
Ki Lurah Uwanguwung di sayap kanan tidak pernah berhenti memberi perintah-perintah kepada prajurit-prajuritnya dari pasukan khusus. Itu adalah pengalaman pertama Ki Lurah Uwanguwung menjadi senapati di pasukan khusus. Walau dalam latihan-latihan ia telah melihat bagaimana padunya kemampuan para prajuritnya, namun begitu menyaksikan di medan perang yang sesungguhnya, telah membuat Ki Lurah Uwanguwung hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya berulang-ulang. Bahkan dalam hatinya, ia mengakui kemampuannya tidak jauh melebihi prajuritnya dalam perang gelar.
Terlihat seakan akan gerakan dari ratusan prajurit ini berasal dari pikiran yang sama. Puluhan prajurit yang berada di belakang dengan sigap segera memanggul atau menarik cepat begitu kawan kawannya ada yang terluka dalam benturan-benturan selanjutnya. Bahkan kawan yang harus meregang nyawa pun, saat itu juga segera mereka bawa mayat itu ke belakang. Mereka tidak akan menanti sampai usai pertempuran atau menunggu terbenamnya matahari. Begitu panas mulai menyengat dan keringat semakin membasahi tubuh, benturan dari pasukan khusus semakin keras dan seperti bergelombang yang datang mendera sayap kiri gelar Garuda Nglayang pasukan gabungan.
Dalam waktu yang bersamaan di paruh gelar, ternyata salah seorang pemimpin pengawal telah mendapat perintah dari Glagah Putih untuk menyiapkan perisai-perisai logam.
Tidak berapa lama terlihat sepasukan kecil pengawal sudah menyusup di belakang garis pertama.
Gerakan kecil dalam kembangan Gelar Garuda Nglayang di paruh gelar pasukan para pengawal tersebut ternyata tidak luput dari pengamatan Harya Pamungkas dan Rasta. Seakan akan kedua orang ini begitu menikmati benturan-benturan di setiap sisi medan gelar.
“Kakang, perisai logam itu ternyata begitu berpengaruh pada keseimbangan di paruh gelar.” Rasta hampir berteriak begitu menyadari berpuluh-puluh perisai logam telah memantulkan sinar matahari dan menghalangi penglihatan hampir sebagian besar para prajurit di paruh gelar pasukan gabungan Panaraga.
Harya Pamungkas sendiri sejenak masih terdiam begitu melihat keseimbangan di medan perang yang tiba-tiba telah berubah secara cepat itu. Sebenarnyalah Harya Pamungkas tidak mengira sama sekali, justru di saat Pasukan Panaraga memilih untuk Memberatkan kekuatan prajuritnya di paruh gelar.
“Rasta”, desis Harya Pamungkas sesaat kemudian. “Aku baru mengerti sekarang, ternyata kemah yang berjajar hampir di semua sisi garis pertahanan paruh gelar pasukan pengawal itu sungguh-sungguh nyata berisi ratusan prajurit cadangan. Bahkan seandainya saja Glagah Putih atau Prastawa memilih untuk segera menggerakkan pengawal cadangan itu, aku yakin paruh gelar pasukan Panaraga akan menjadi semakin terhimpit.”
“Apakah Kakang Pamungkas menilai hal itu tidak akan dilakukan oleh para senapati di paruh gelar pasukan pengawal?”
Harya Pamungkas yang tidak melepaskan sedikitpun pandangannya dari keadaan di medan perang, hanya menyahut perlahan perkataan kawannya itu. “Kalau terjadi, aku mengira hanya sebagian kecil dari pengawal cadangan yang benar-benar terjun di paruh gelar.”
Nampak Harya Pamungkas mengangguk-anggukkan kepalanya, dan berkata selanjutnya, “Bukan cerita yang dibesar-besarkan, ternyata Ki Gede Menoreh memang pantas menjadi senapati pilihan di Mataram.”
“Tunggulah Rasta”, lanjut Harya Pamungkas. “Tidak akan sampai matahari berada di puncaknya, perang senapati pun akan segera terjadi. Saat itu gelar Garuda Nglayang pasukan Mataram pasti telah berubah menjadi Supit Urang.”
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang terjadi di medan perang telah membuat alam seakan ikut bergetar. Garis pertahanan pasukan Tanah Perdikan di tengah bulak panjang, menjadi saksi betapa dahsyatnya perang dalam gelar kembar itu. Beradunya pedang, tombak maupun senjata-senjata lainnya begitu nyaring terdengar saling susul-menyusul, seakan di bumi Menoreh waktu itu tidak ada yang berkata selain suara beradunya senjata dengan gemuruh sorak para prajurit.
Keringat yang telah membasahi seluruh tubuh terasa menjadi pedih di saat tubuh-tubuh mereka harus menerima goresan atau tusukan senjata lawan. Namun, sebenarnyalah perisai-perisai logam di tangan pasukan sandi pengawal telah mampu merubah keseimbangan di paruh gelar. Perisai-perisai yang sebagian besar bertumpu di lambung kiri paruh gelar telah menjadikan prajurit-prajurit Panaraga semakin bergeser ke samping kiri gelar mereka sendiri. Sesungguhnya itu juga kembangan gelar yang memang telah dipahami oleh Glagah Putih dan Prastawa.
Begitu prajurit-prajurit Panaraga bertumpuk di lambung kiri paruh gelar mereka, hanya dengan sedikit isyarat tangan Glagah Putih telah memberi perintah kepada pasukan panahnya. Yang terjadi kemudian adalah hampir dalam waktu yang bersamaan, panah-panah telah melesat tajam menuju lambung kiri pasukan gabungan. Justru di saat itu pasukan pengawal tiba-tiba mundur di belakang pasukan pemanah. Sorak gemuruh pasukan pengawal semakin keras terdengar, Begitu panah-panah tersebut menghunjam di tengah-tengah lambung kiri gelar lawan.
“Licik kalian orang-orang Menoreh!” Salah seorang lurah prajurit Panaraga menjadi merah padam dengan gemuruh dendam di dadanya, setelah dipaksa harus mundur menjauhi ratusan anak panah yang masih saja menghujani tempatnya bertempur.
Yang tampak kemudian adalah lambung gelar pasukan Panaraga terbelah menjadi dua bagian. Yang tidak memungkinkan untuk mundur, prajurit-prajurit Panaraga memilih untuk bergerak maju, justru di saat mereka menyadari sebagian besar pasukan pengawal mundur jauh di belakang pasukan pemanah.


3 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com