Lanjutan ADM 397
NAMUN mereka segera menyadari
apa yang sebenarnya sedang terjadi ketika orang yang rambutnya sudah ubanan itu
meloncat mundur sambil mencabut senjatanya, sebuah golok yang berukuran cukup
besar.
“He,
kalian orang orang bodoh, apakah kalian menikmati permainan ini,” teriaknya
sambil meloncat maju menebaskan goloknya mengarah leher Rara Wulan, “cepat
bantu kami menangkap perempuan iblis ini, ternyata selama ini dia telah
mengelabui kita. Dia tentu telik sandi yang dikirim oleh orang orang Mataram.”
Bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi buruk, para pengikut Pangeran Ranapati pun segera
berloncatan menebar mengepung Rara Wulan sambil mencabut senjata masing masing.
Ada yang bersenjatakan sepasang pedang pendek, tombak bermata dua, bahkan ada
yang bersenjatakan seutas rantai baja yang pada ujungnya dikaitkan sebuah
bandul berupa bola baja berduri yang mengerikan.
Sejenak
Rara Wulan berdiri termangu mangu di tengah tengah kepungan para pengikut
Pangeran Ranapati. Diedarkan pandangan matanya menyapu seluruh lawan lawan yang
mengelilinginya.
“Lima
belas orang,” desisnya dalam hati. Dengan penuh percaya diri, segera saja Rara
Wulan mengurai selendangnya.
“Gila”,
geram orang yang rambutnya sudah ubanan, “kau kira kami akan menari janggrung
bersamamu, nduk? Tidakkah kau sadari bahwa senjata senjata kami akan dapat
melumat tubuhmu, sementara kau hanya mengandalkan selendangmu? Kau tidak akan
bertahan lebih dari sepenginang, nduk.”
Menyerahlah,
anak manis,” seorang yang masih terhitung muda dan berkumis tipis maju
selangkah sambil mengacukan tombak pendek yang ujungnya bercabang dua kearah
dada Rara Wulan, “Kami akan mengampuni selembar nyawamu, asalkan kau tidak
banyak tingkah dan bersedia melayani kami dengan baik.”
Rara
Wulan tidak menjawab. Dia sudah benar benar muak menghadapi tingkah polah para
pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja diputar selendangnya diatas kepala
dengan disertai pengerahan tenaga cadangan. Akibatnya benar benar luar biasa,
gaung yang keras disertai dengan udara yang berputar terasa menggetarkan setiap
dada orang orang yang mengepungnya, bahkan Glagah Putih yang bersembunyi tidak
jauh dari arena perkelahian itupun merasakan getarannya.
“Luar
biasa,” kata Glagah Putih dalam hati, “agaknya Rara Wulan sudah tidak dapat
menahan hatinya lagi untuk menghabisi lawan lawannya.”
Rara
Wulan tidak menunggu lawan lawannya menyadari keadaannya karena pengaruh
putaran selendangnya. Dengan sebuah loncatan panjang, Rara Wulan justru
menyerang lawan yang berdiri tidak jauh di sebelah kanannya. Sebuah hentakan
kuat dari ujung selendangnya berhasil menghentak dada orang tersebut. Sebuah
umpatan kotor demikian saja terlontar dari mulutnya. Sambil mendekap dadanya
yang serasa tertimpa sebongkah batu padas, dia terhuyung huyung beberapa
langkah kebelakang. Namun ketahanan tubuh orang itu ternyata tidak begitu kuat.
Dengan keluhan tertahan, akhirnya orang itupun jatuh terlentang, pingsan.
Para
pengikut Pangeran Ranapati yang lain pun terkejut ketika melihat salah seorang
kawannya dengan begitu mudah dilumpuhkan oleh Rara Wulan. Dengan teriakan
kemarahan yang menggelegar, mereka pun segera menyerang Rara Wulan dari segala
arah.
Rara
Wulan menyadari bahwa dia harus berpacu dengan waktu. Semakin cepat dia
mengurangi jumlah lawan lawannya, akan semakin berkurang pula tekanan yang dialaminya.
Sejenak
kemudian, Rara Wulan pun semakin mempercepat serangannya. Ujung Selendangnya
serasa semakin dekat dengan kulit para pengikut Pangeran Ranapati yang
mengeroyoknya.
Demikianlah,
akhirnya sekali lagi terdengar keluhan tertahan disertai dengan sebuah umpatan
yang sangat kotor ketika ujung selendang Rara Wulan kembali menggores lambung
salah satu lawannya. Sebuah sabetan mendatar mengarah dada tidak mampu
dielakkan walaupun lawannya sudah berusaha menghindar dengan melompat ke
samping, namun ujung selendang Rara Wulan masih sempat melukai lambungnya.
Walaupun goresan itu tidak terlampau dalam, namun karena tempat yang terkena
goresan adalah bagian tubuh yang lemah, darah pun segera terpancar dari luka
yang menganga.
Dengan
mendekap erat lambungnya, orang itu pun berusaha bergeser dari arena
perkelahian. Setapak demi setapak dia terhuyung dan akhirnya jatuh tertelungkup
tidak bisa bangkit lagi.
Orang
yang rambutnya sudah ubanan itu pun menggeram sambil menggeretakan giginya.
Dengan sebuah lompatan panjang dia berusaha memotong gerak Rara Wulan yang
melontar kesamping kiri menghindari tebasan pedang salah seorang lawannya.
Sementara seorang pengikut Pangeran Ranapati yang bersenjatakan seutas rantai
yang pada salah satu ujungnya terdapat bandul bola baja yang bergerigi berusaha
menggapai sejauh mungkin tubuh Rara Wulan dengan menjulurkan senjatanya lurus
kedepan dari arah meluncurnya Rara Wulan.
Rara
Wulan tersenyum menyambut serangan beruntun ini. Dengan sedikit merendahkan
tubuhnya, bandul bola baja bergerigi yang akan merobek punggungnya lewat
sejengkal diatas kepalanya. Ketika tebasan golok orang yang rambutnya sudah
ubanan itu tinggal sejengkal dari dadanya, dengan cepat dimiringkan tubuhnya
dan dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, ujung selendang Rara Wulan
menggeliat membelit pergelangan tangannya. Dengan sebuah sentakan yang kuat,
orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun bagaikan terhisap oleh kekuatan yang
tiada taranya. Tubuhnya terlontar dengan deras membentur dinding rumah yang selama
ini digunakan oleh Pangeran Ranapati dan para pengikutnya bersembunyi.
Terdengar
pekik kemarahan dan makian dari mulut orang yang rambutnya sudah ubanan itu.
Dengan tangkas dia mencoba meloncat berdiri, namun benturan yang terjadi tepat
di kepalanya dengan dinding rumah itu agaknya telah membuat pandang matanya
nanar. Sambil menyeringai menahan sakit di kepalanya, dia mencari lawannya yang
telah berhasil melemparkannya membentur dinding. Dengan kemarahan dan dendam
sampai ke ubun ubun, orang yang rambutnya sudah ubanan itupun segera bersiap
untuk terjun kembali ke arena perkelahian yang semakin sengit.
Sementara
itu, Pangeran Ranapati yang telah meninggalkan halaman rumah itu ternyata tidak
pergi terlalu jauh. Dengan langkah perlahan lahan dia kembali mendekati regol
halaman rumah yang selama ini ditempatinya. Beberapa langkah dari regol
halaman, lamat lamat dia telah mendengar keributan perkelahian yang terjadi di
halaman rumah itu.
Tidak
ada seorang pun yang memperhatikan, ketika pintu regol terkuak dan sesosok
bayangan tinggi besar muncul bediri di tengah tengah regol. Sejenak orang itu
termangu mangu. Ditebarkan pandangan matanya kearah perkelahian. Seseorang
telah terbaring tertelungkup, kemudian seorang lagi terlentang yang entah
pingsan atau mati. Beberapa orang nampak tertatih tatih bergeser setapak demi
setapak menghindar dari arena perkelahian yang mengerikan itu. Tinggal enam
orang sisanya yang benar benar bertempur melawan Rara Wulan, sedangkan lainnya
sudah tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti.
Agaknya
Rara Wulan telah bermaksud untuk segera menyelesaikan perkelahian itu, kalau
saja sudut matanya tidak menangkap bayangan seseorang yang mendekati
perkelahian dengan langkah satu satu.
Sebersit
keragu raguan muncul dibenak Rara Wulan. Rasa rasanya dia mengenal orang itu,
orang yang selama ini dikenal dengan nama Pangeran Ranapati.
“Gila”,
geram Rara Wulan dalam hati, ”Ternyata Pangeran Ranapati tidak jadi
meninggalkan rumah ini, apakah dia sudah menyadari apa yang sebenarnya terjadi
selama ini? Bahwa selama ini aku telah menyamar dan berpura pura menjadi
perempuan kebanyakan?”
Ketika
Pangeran Ranapati tinggal beberapa langkah dari arena perkelahian, Rara Wulan
pun tidak dapat menahan diri lagi. Dengan sebuah lompatan panjang, dia surut
kebelakang. Lawan lawannya tidak memburunya, karena mereka tahu itu tidak akan
ada gunanya. Bahkan mereka sangat bersyukur dapat sejenak mengatur nafas mereka
yang berkejaran keluar masuk lewat lobang hidung.
“Selamat
malam, Pangeran”, sapa Rara Wulan ramah, “Apakah Pangeran merasa ada sesuatu
yang berharga yang tertinggal di rumah ini sehingga Pangeran memutuskan untuk
kembali lagi?”
Pangeran
Ranapati itupun tersenyum masam, jawabnya pelan dan datar, “Tentu saja ada. Ada
yang ingin aku bawa dari halaman rumah ini, nduk. Sehingga aku memutuskan untuk
kembali.”
“Apakah
itu, Pangeran?”
“Kepalamu,
perempuan iblis,” Geram Pangeran Ranapati, “Ternyata dugaanku selama ini benar
sejak aku melihat bentuk punggungmu, punggung seseorang yang pernah mempelajari
olah kanuragan tidak akan sama dengan punggung orang kebanyakan, betapapun
engkau mencoba mengelabuhi aku. Nah, apakah sekarang engkau akan menyerah? Aku
berjanji tidak akan membuatmu terlalu lama menderita menjelang kematianmu,
asalkan engkau menyerah secara baik baik, dan jangan lupa sebut dimana kawan
kawanmu bersembunyi sehingga prajurit prajuritku bisa menangkap mereka dan
menggantung mereka di alun alun sebagai peringatan kepada orang orang yang
mencoba mencampuri urusan seorang Pangeran dari Mataram, Pangeran Ranapati
sekaligus Senopati kepercayaan Adipati Panaraga, Pangeran Jayaraga.”
Rara
Wulan tertegun sejenak, dipandanginya Pangeran Ranapati dari ujung rambut
sampai kaki, seolah olah dia ingin meyakinkan seberapa kekuatan yang tersimpan
di tubuh yang kokoh itu.
“Aku
yakin,” Desisnya dalam hati, “Aku dan kakang Glagah Putih pasti dapat
mengatasinya.”
Namun
ternyata Rara Wulan tidak menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan Pangeran
Ranapati. Yang dilakukannya justru melangkah surut beberapa langkah lagi, kemudian
sambil berpaling pada sebuah gerumbul dibelakangnya dia berkata, ”Kakang,
apakah kakang masih senang bersembunyi di semak semak dan dikerubuti nyamuk
setelah Pangeran Ranapati sendiri telah hadir disini?”
Tidak segera terdengar jawaban. Gerumbul itu masih diam,
tidak ada tanda tanda seseorang bersembunyi didalamnya.
Tiba
tiba mereka yang hadir di halaman itu telah dikejutkan oleh suara seseorang
yang berat dan dalam, termasuk pangeran Ranapati,
“Jangan
kuwatir, Rara. Aku sudah siap membantumu menghadapi segala kemungkinan,
meskipun untuk itu kita harus mempertaruhkan nyawa.” Jawab Glagah Putih yang
berdiri beberapa langkah saja disamping Rara Wulan.
Pangeran
Ranapati mengerutkan keningnya. Kehadiran Glagah Putih yang sedemikian saja
tanpa sepengetahuannya telah mengisyaratkan kepadanya bahwa orang itu tentu
memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika secercah cahaya lampu minyak yang
tergantung di pendapa menimpa wajah Glagah Putih, betapa Pangeran Ranapati
melihat seraut wajah yang tenang dan tegar, wajah yang hanya dimiliki oleh
orang yang mempunyai landasan ilmu dan kepercayaan diri yang tinggi.
“Baiklah,”
kata Pangeran Ranapati kemudian, ”Aku tidak tahu, apakah laki laki disampingmu
itu adalah salah seorang kawanmu yang selama ini dicari oleh pengikutku. Tetapi
yang pasti, aku akan membunuh kalian berdua yang telah dengan lancang berani
mengikuti jejakku sejak dari lereng Merapi sampai ke Panaraga.”
Namun
sebelum ketiga orang itu bersiap untuk memulai sebuah perkelahian yang dahsyat,
terdengar sebuah isak tangis yang tertahan tahan disertai suara gemerisik
dedaunan yang tersibak. Nampak sesosok tubuh yang ramping berjalan terseok seok
mendekati ketiga orang yang sudah berhadap hadapan untuk mengadu tebalnya kulit
dan kerasnya tulang.
“Pangeran,”
isak perempuan itu sesampainya di depan Pangeran Ranapati.
Sambil
berjongkok merangkul kaki Pangeran Ranapati perempuan itu kembali menangis
menghiba iba, “Jangan tinggalkan hamba, Pangeran. Hamba takut.”
“Kaukah
itu, Kanthil?”
“Hamba,
Pangeran.” Suara Nyi Mas Kanthil hampir tidak terdengar diantara sedu sedannya.
“Mengapa
engkau masih disini, Kanthil?” Suara Pangeran Ranapati terdengar berat dan
dalam.
Masih
dengan berjongkok dan merangkul kaki Pangeran Ranapati, Nyi Kanthil menjawab
dengan suara bergetar menahan gelora di dadanya,
“Hamba
hanya ingin mengabdi kepada Pangeran, hamba tidak akan pernah bermimpi lagi
untuk menjadi istri Pangeran. Selebihnya biarlah hamba menjadi pelayan di
istana kepangeranan paduka, hamba rela dan hamba tidak akan menuntut apapun
yang terjadi pada diri hamba yang hina ini.”
Pangeran
Ranapati menarik nafas dalam dalam. Ditatapnya Nyi Kanthil yang masih
berjongkok merangkul kakinya sambil menangis tertahan tahan. Sebersit keraguan
muncul dihati Pangeran yang keras hati ini. Bukankah dia nantinya akan
memerlukan beberapa pelayan juga di istananya untuk menyiapkan keperluannya
sehari hari?
Atas
pertimbangan itulah akhirnya Pangeran Ranapati pun berkata lunak, “Sudahlah
Kanthil, suwitamu aku terima. Engkau kuangkat menjadi kepala pelayan di istanaku.
Namun karena istanaku sedang dipersiapkan, untuk sementara kamu tinggal disini,
pada saatnya nanti akan ada utusan yang aku perintahkan untuk menjemputmu.”
Bagaikan
tersiram banyu sewindu hati Nyi Kanthil, sehingga tanpa bisa mengendalikan
gejolak perasaannya, kaki Pangeran Ranapati pun diciuminya sambil menangis
sejadi jadinya.
Rara
Wulan yang berdiri tidak jauh dari Nyi Kanthil dan menyaksikan semua kejadian
itu seutuhnya hanya bisa mengusap dada. Satu lagi gambaran sifat manusia,
apabila cita cita sesuai yang diimpikannya tidak tercapai, dia tetap akan
berusaha meraih apa saja yang ada didepannya, dengan mengorbankan keyakinan
akan cita citanya semula, bahkan harga dirinya sekalipun.
“Berdirilah,
Kanthil,” kata Pangeran Ranapati sambil menarik bahu Nyi Kanthil, kemudian
sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan dia berkata, “Antar Nyi
Kanthil masuk kedalam. Untuk selanjutnya perlakukan dia baik baik kecuali jika
kalian sudah bosan mempunyai kepala.”
Orang
yang rambutnya ubanan itu hanya bisa membungkuk hormat, kemudian katanya
kepadaNyi Kanthil, “Marilah, Nyi. Aku antar ke dalam.”
Sambil
membenahi pakaiannya yang kusut dan sesekali menyeka sisa sisa air matanya, Nyi
Kanthil beringsut mundur sambil membungkuk hormat kearah Pangeran Ranapati,
“Pangeran, hamba mohon diri.”
Pangeran
Ranapati tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas kemudian katanya kepada orang
yang rambutnya ubanan, “Setelah mengantar Nyi Kanthil, kumpulkan kawan kawanmu
yang terluka dan yang mungkin terbunuh. Obati yang terluka dan kubur yang
terbunuh. Jangan lupa menyiapkan dua lubang kubur untuk orang orang ini. Aku
hanya memerlukan waktu sekejab, sebelum matahari terbit mereka aku jamin sudah
terbujur menjadi mayat.”
Kata
kata itu memang sempat menggetarkan hati Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun
sebagai dua orang yang berilmu tinggi, mereka tidak pernah meremehkan lawan
bagaimanapun ujudnya, apalagi menghadapi Pangeran Ranapati yang sudah mereka
saksikan berilmu sangat tinggi ketika terjadi benturan ilmu di arena adon
adon di alun
alun Panaraga
Demikianlah,
sepeninggal Nyi Kanthil, perhatian Pangeran Ranapati pun segera kembali tertuju
kepada lawan lawannya. Dengan perlahan namun penuh dengan kekuatan
direnggangkan kedua kakinya selebar bahu dan bersamaan dengan itu, disilangkan
kedua tangannya didepan dada. Sejenak kemudian tangan yang kanan pun ditarik
mengepal sejajar dengan lambung bersamaan dengan kaki kanan yang ditarik
kebelakang. Sementara tangan kirinya terjulur kedepan dengan telapak tangan
terbuka dan jari jari mengembang bagaikan cakar seekor rajawali yang siap
menerkam mangsanya. Dengan bertumpu pada kaki kirinya yang sedikit ditekuk,
Pangeran Ranapati pun siap melontarkan serangan dahsyat.
Sejenak
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, mereka pun segera menyadari
bahwa lawannya tidak akan melakukan serangan penjajagan terlebih dahulu, namun
langsung pada tataran tinggi dari ilmunya yang nggegirisi.
Suasana
di halaman rumah yang digunakan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya
bersembunyi itu pun menjadi sangat mencekam. Para pengikut Pangeran Ranapati
yang masih tersisa diam diam bergeser menjauh dari arena perkelahian agar tidak
menjadi korban sia sia dari lontaran ilmu dari ketiga orang yang berilmu tinggi
itu.
“Kasihan
sekali kamu, nduk,” Orang yang rambutnya ubanan itu berkata dalam hati,
”Seandainya mungkin, aku ingin memintakan ampun untukmu pada Pangeran Ranapati,
tetapi itu semua tidak mungkin.” Orang yang rambutnya ubanan itu menghela nafas
dalam dalam, tatapan matanya lekat pada seraut wajah cantik Rara Wulan. Dia
tidak bisa membayangkan bahwa wajah secantik itu akan hancur lumat diterjang
ilmu Pangeran Ranapati.
Namun
lamunan orang yang rambutnya ubanan itu bagaikan selembar awan yang tertiup
badai di musim kemarau, hancur berantakan ketika tiba tiba saja dia merasakan
bumi yang dipijaknya bergetar keras. Mula mula dia mengira bahwa itu adalah
akibat dari benturan ilmu dari Pangeran Ranapati dan lawan lawannya, namun
anggapan itu segera dibantahnya sendiri ketika dia melihat orang orang yang sudah
bersiap untuk mengadu ilmu itu sama sekali belum beranjak dari tempat mereka.
Bahkan mereka pun kelihatannya juga terpengaruh oleh getaran yang belum
diketahui sebabnya.
Bumi
yang mereka pijak pun semakin bergetar keras disertai suara gemuruh yang semakin
lama semakin mendekati rumah yang dipakai oleh Pangeran Ranapati dan
pengikutnya bersembunyi.
Sejenak
kemudian merekapun baru menyadari bahwa suara gemuruh itu berasal dari derap
kaki kuda yang jumlahnya puluhan berderap bersama di jalan padukuhan menuju ke
tempat mereka berada.
“Pasukan
berkuda Kadipaten Panaraga,” Desis pangeran Ranapati sambil mengerutkan
keningnya ketika dilihatnya beberapa ekor kuda beserta penunggangnya menghambur
memasuki pintu regol.
Segera
saja pasukan berkuda itupun bergerak melingkar mengepung orang orang yang ada
di halaman rumah itu. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh.
“Selamat
malam, Pangeran. Apakah kami sudah terlambat?”
Seseorang
yang berkuda paling depan menyapa Pangeran Ranapati sambil melompat turun dari
kudanya. Diserahkannya kendali kudanya kepada seorang Lurah prajurit di
sebelahnya yang sudah melompat turun dari kudanya lebih dahulu. Orang itu
ternyata Mas Panji Wangsadrana.
Pangeran Ranapati menggeram, jawabnya, ”Mengapa engkau
malam malam begini membawa pasukan segelar sepapan kesini, Mas Panji? Apakah
engkau tidak punya kerjaan lain sehingga telah membangunkan seluruh isi
padukuhan ini dengan pasukan berkudamu?”
Mas
Panji Wangsadrana pun tersenyum, dia sudah tahu benar watak dari Pangeran
Ranapati yang mudah tersinggung dan naik darah.
Dengan
membungkuk hormat, Mas Panji Wangsadrana pun menjawab, “Maafkan kami Pangeran,
sesungguhnya kami telah menerima laporan dari prajurit yang sedang meronda
bahwa telah terjadi perkelahian di halaman rumah ini, sehingga kami memutuskan
untuk datang membantu Pangeran.”
“He,”
Segera saja wajah Pangeran Ranapati menjadi merah padam. “Apakah engkau mengira
aku tidak akan mampu menyelesaikan clurut clurut ini sendirian? Justru
kedatangan kalian telah memberi kesempatan kepada mereka untuk menghirup udara
malam ini lebih lama lagi. Seharusnya mereka berdua sudah terbujur menjadi
mayat.” Teriak Pangeran Ranapati sambil berpaling kearah Glagah Putih dan Rara
Wulan.
Namun
alangkah terkejutnya Pangeran Ranapati, ternyata kedua orang lawannya sudah
tidak ada lagi ditempatnya. Yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan
yang masih tersisa di penghujung malam menjelang dinihari.
“Pengecut”
Teriak Pangeran Ranapati. Dalam sekejab tubuhnya melenting bagaikan seekor
bilalang yang kemudian hinggap diatas pagar tembok pembatas halaman rumah itu.
Sejenak kemudian diedarkannya pandangan matanya menyapu ke seluruh sudut sudut
diluar pagar tembok yang mungkin dapat dijadikan tempat persembunyian bagi
Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun yang terlihat hanyalah pepohonan dan
gerumbul gerumbul perdu yang bergoyang perlahan dipermainkan oleh angin pagi
yang bertiup lembut. Sementara kicau burung pun terdengar semakin ramai
menyambut fajar.
Mas
Panji Wangsadrana yang melihat Pangeran Ranapati berusaha mengejar lawan
lawannya bermaksud untuk menyusulnya. Namun baru saja Mas Panji Wangsadrana
bergeser beberapa langkah, ternyata Pangeran Ranapati telah meloncat turun dari
pagar tembok, kemudian dengan tergesa gesa melangkah mendekati Mas Panji
Wangsadrana.
“Tidak
ada gunanya kita berlama lama disini,” Katanya kepada Mas Panji Wangsadrana,
kemudian sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan, Pangeran Ranapati
pun memberikan perintahnya,”Kumpulkan kawan kawanmu yang tersisa, ajak nyi
Kanthil serta, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Para telik sandi
Mataram ternyata sudah mengetahui tempat kita ini sehingga tidak ada gunanya
kita mempertahankan tempat ini sebagai sarana pertemuan kita. Aku harap Mas
Panji wangsadrana bersedia memberikan tempat berteduh bagi para pengikutku
serta Nyi Kanthil, apapun ujudnya tempat itu, aku tidak akan berkeberatan.”
“Baiklah Pangeran,” sahut Mas Panji Wangsadrana,”Aku
mempunyai sebuah rumah warisan dari orang tuaku. Rumah itu kosong tetapi aku
jamin tetap bersih dan terpelihara karena selama ini ditunggui oleh sepasang
suami istri pembantu rumah tangga keluarga kami dulu, walaupun mereka sudah
cukup tua, namun masih rajin bekerja.”
Pangeran
Ranapati mengangguk angguk, kemudian katanya, “Terima kasih Mas Panji. Marilah
kita segera berangkat mumpung hari belum begitu terang. Kita akan memasuki kota
sebelum fajar benar benar terbit sehingga tidak banyak menarik perhatian.”
Demikianlah,
akhirnya iring iringan itu pun bergerak meninggalkan rumah yang selama ini
dijadikan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi. Pasukan berkuda
itu bergerak mendahului dengan dipimpin oleh seorang Lurah Prajurit. Sementara
itu Pangeran Ranapati berkuda berjajar dengan mas Panji Wangsadrana, sedangkan
pengikut pangeran Ranapati dan Nyi kanthil mengikuti dari belakang dengan
berjalan kaki.
Dalam
pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berhasil lolos dari pengamatan
Pangeran Ranapati telah semakin jauh meninggalkan rumah yang dijadikan
persembunyian Pangeran Ranapati dan pengikutnya selama ini. Mereka sengaja
mengambil jalan yang tidak banyak dilalui orang, jalan jalan setapak, lorong
lorong sempit bahkan tidak jarang mereka harus melompati pagar pagar yang
tinggi dari halaman rumah seseorang hanya untuk sekedang memotong jalan agar
segera sampai di rumah yang selama ini dipakai mereka berkumpul, Ki Madyasta
dan para telik sandi yang lain.
Ketika
mereka sampai pada sebuah sungai yang mengalir membelah sisi utara kota
Panaraga, tanpa berjanji mereka segera menghambur menuruni tebing sungai yang
cukup curam. Bagi orang kebanyakan mungkin memerlukan waktu serta kehati hatian
yang tinggi untuk menuruni tebing sungai tersebut, apalagi dimalam hari. Namun
seakan mereka tanpa benjanji telah berlomba dengan mengerahkan tenaga cadangan
mereka untuk berloncatan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Semakin lama
gerakan mereka semakin cepat sehingga seandainya ada orang yang sedang
menyusuri sungai tersebut yang entah karena suatu keperluan, pasti dia mengira
telah melihat hantu hantu yang sedang berterbangan mencari mangsanya.
Namun
tiba tiba saja Glagah Putih menghentikan langkahnya sambil berdesis pelan,
“Wulan, apakah engkau merasakan sesuatu?”
Rara
Wulan yang juga menghentikan langkahnyapun ikut tertegun sejenak, jawabnya,
“Aku merasa aneh Kakang, sewaktu kita berlari larian diatas batu batu sungai
tadi, ada sebuah bayangan yang menyambar diatas kita dengan sangat cepat dan
mendahului langkah kita.”
“Apakah
engkau yakin itu bukan sebangsa burung atau apapun yang terbang diatas kita?” Bertanya
lagi Glagah Putih untuk memastikan bahwa mereka tidak salah menilai atas apa
yang baru saja mereka alami.
“Tidak
kakang,” jawab Rara Wulan sambil mengedarkan tatapan matanya menyusuri tebing
tebing disebelah menyebelah sungai, “Aku tidak yakin kalau itu seekor burung
atau sebangsanya yang dapat terbang melebihi kecepatan kita berlari.”
Glagah
putih menarik nafas dalam dalam. Malam sudah hampir sampai keujungnya. Dengan
jelas glagah putih dapat memperhatikan setiap jengkal tanah yang ada
disekitarnya, gerumbul gerumbul perdu yang berserakan di sisi sebelah
menyebelah tebing yang rendah, serumpun pohon bambu yang menjorok agak jauh
disisi kiri sungai, serta sebuah pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun yang
tumbuh condong hampir rebah beberapa puluh langkah dihadapan mereka. Dahan dan
rantingnya yang besar dan panjang -panjang itu bagaikan tangan tangan hantu
yang siap memangsa setiap orang yang lewat dibawahnya.
Untuk
beberapa saat keduanya berdiam diri, mencoba memusatkan nalar dan budi untuk
mempertajam panca indra mereka, terutama sapta pandulu dan sapta pangrungu.
Namun sejauh itu tidak ada suara ataupun gerak yang dapat dijadikan landasan
bagi mereka untuk meyakini bahwa apa yang baru saja mereka alami itu adalah
benar benar nyata dan terjadi.
Akhirnya
perlahan lahan Glagah Putihpun mengurai pemusatan nalar dan budinya diikuti
oleh Rara Wulan. Mereka yakin bahwa apa yang baru saja mereka alami mungkin
adalah kesalahan penafsiran terhadap apa yang terjadi atas alam sekelilingnya.
“Marilah,”
ajak Glagah Putih pada Rara Wulan, “Sebelum fajar kita harus sudah sampai di
tempat Ki Madyasta, kita perlu membicarakan kemungkinan kemungkinan yang akan
kita kerjakan dimasa masa datang setelah pertemuan kita dengan Pangeran
Ranapati.”
Rara
Wulanpun mengangguk anggukan kepalanya, sambil berjalan naik ketepian sungai,
ditariknya nafas dalam dalam seolah olah ingin dipenuhinya seluruh rongga
dadanya dengan udara pagi yang masih segar. Seolah ingin dilepaskannya
ketegangan yang selama ini mencengkam jantungnya sejak dia menyamar menjadi
pembantu di rumah yang dijadikan persembunyian oleh Pangeran Ranapati dan
pengikutnya.
Sejenak
kemudian mereka pun sudah mencapai tepian sungai yang tidak seberapa lebar dan
dalam itu. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika baru saja mereka mulai akan
mendaki tebing , terdengar suara seseorang bergumam justru hanya beberapa
langkah saja di belakang mereka.
Bagaikan
sepasang singa yang ditarik ekornya, keduanya pun segera membalikkan badan
dengan cepat sambil bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Rasa
rasanya jantung keduanya hampir pecah oleh ketegangan yang memuncak ketika
tampak di depan mereka dalam keremangan malam menjelang pagi, seseorang berdiri
hanya beberapa langkah saja dihadapan mereka dengan kaki rengang dan tangan bersilang
di dada.
“Gila,”
umpat Glagah Putih didalam hatinya, “Bagaimana mungkin orang ini bisa lolos
dari pengamatanku dan Rara Wulan?”
Namun
ternyata itulah yang telah terjadi, seseorang dengan ikat kepala yang digunakan
untuk menutupi sebagian wajahnya telah berdiri dihadapan mereka berdua dengan
kaki renggang dan tangan bersilang di dada.
Terdengar
orang itu tertawa tertahan tahan. Sikapnya itu saja sudah cukup membuat Glagah
Putih dan Rara Wulan harus menahan gejolak amarah yang tiada taranya. Apalagi ketika
kemudian dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa apa, orang itu mengurai
kedua tangannya yang bersilang didada dan melangkah berlalu menjauhi Glagah
Putih dan Rara Wulan.
“Ki
sanak, tunggu dulu,” teriak Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan.
Langkah
orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun terhenti
sejenak, sambil berpaling orang itu menyahut, suaranya terdengar melengking
tinggi menyakitkan telinga, “Ada apa Ki sanak? Apakah kita mempunyai urusan
yang harus diselesaikan?”
Dengan
dada yang berdebaran Glagah Putih mencoba mengamati sosok orang yang berdiri
didepannya ini. Ada satu kesimpulan yang dapat dijadikan pedoman bagi Glagah
Putih, orang ini mencoba menyembunyikan jati dirinya baik dengan menutup
sebagian wajahnya dengan ikat kepala maupun dengan cara menyamarkan suaranya.
Semua itu dilakukan pasti dengan suatu tujuan agar dapat mengaburkan pengamatan
Glagah Putih dan Rara Wulan atas jati diri orang ini yang sebenarnya.
Glagah
Putih mempunyai keyakinan bahwa jika orang ini berhadapan dengan mereka berdua
dalam keadaan yang sewajarnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka berdua
mengenal orang ini dengan baik atau setidak tidaknya pernah bertemu sehingga
akan dapat membangkitkan suatu ingatan tentang keberadaan orang tersebut.
“Ki
Sanak,” kata glagah Putih setelah debar didadanya agak mereda, “Ki sanak tidak
bisa pergi begitu saja tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatan Ki sanak.”
“Aku..?”
tanya orang tersebut keheran heranan, “Apa yang telah aku perbuat terhadap Ki
sasak berdua sehingga aku harus mempertanggung jawabkan?”
Untuk
sejenak Glagah Putih kebingungan, ditatapnya wajah Rara Wulan yang berdiri
termangu mangu disampingnya. Namun Glagah putih tidak segera dapat menangkap
kesan yang ada di wajah Rara Wulan selain kerut merut yang semakin dalam.
“Nah,”
kata orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, nada
suaranya tetap tinggi melengking lengking menyakitkan telinga, “Apakah memang
sudah menjadi kebiasaan Ki sanak untuk memancing persoalan dengan setiap orang
yang Ki sanak jumpai di perjalanan?”
“Gila,”
geram Glagah Putih, “Engkau jangan memutar balikan kenyataan, siapakah
sebenarnya yang memulai membuat persoalan?”
“Ya,”
Rara Wulan pun ikut mendukung pernyataan Glagah Putih, “Ki sanak telah
mengikuti perjalanan kami selama ini. Kenyataan bahwa Ki sanak telah mengikuti
kami secara diam-diam dan kemudian menyembunyikan jati diri Ki sanak adalah
pertanda bahwa Ki sanak mempunyai maksud yang tidak sewajarnya dan sengaja
mencari persoalan dengan kami.”
“He,”
orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu pun bergeser
setapak maju, “Aku tidak merasa mengikuti perjalanan siapapun. Adalah kebetulan
sekali bahwa perjalanan kita adalah searah. Justru kalianlah yang melakukan
kesalahan itu, kalian mencoba untuk mengetahui arah dimana aku berada. Itu
adalah kesalahan kalian yang seharusnya sudah cukup sebagai alasan bagiku untuk
membuat perhitungan.”
“Silahkan,”
sahut Rara Wulan tak kalah serunya, ternyata justru Rara Wulan lah yang tidak
bisa menahan diri lagi, “Ki sanak tidak usah mencari alasan yang berputar putar
hanya sekedar sebagai dalih untuk membuat persoalan dengan kami.“
“Baiklah,”
jawab orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu sambil
tertawa terkekeh-kekeh menyakitkan telinga, “Marilah kita selesaikan persoalan
ini dengan cara kita, cara orang orang di dunia olah kanuragan, kita mencari
tempat yang lebih lapang di tepian sungai ini, aku tidak berkeberatan jika
kalian maju bersama sama, bagiku sama saja, semakin cepat aku menyelesaikan
persoalan ini, semakin cepat pula aku meneruskan perjalananku.”
Hampir
bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menggeretakkan giginya, kemarahan mereka
seakan akan telah mencapai ubun ubun, kelihatannya orang ini dengan sengaja ingin
membuat keributan dengan mereka berdua, namun demikian mereka pun mengikuti
saja langkah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu
menuju ke tepian sungai yang berpasir dan agak luas.
Mula
mula terbersit dugaan di hati Glagah Putih bahwa orang yang menutupi sebagian
wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Ki Darma Tanda, yang menurut Madyasta
mempunyai kemampuan yang tiada taranya. Namun dugaan itu segera dibantahnya
sendiri menilik ujud lahiriahnya mereka berbeda, Ki Darma Tanda berperawakan
agak gemuk, sedangkan orang ini berbadan ramping tetapi tegap dan tampak kokoh.
Sedangkan
Rara Wulan hanya mempunyai satu pemikiran, yaitu ingin segera menghajar orang
yang mempermainkan mereka berdua dan segera tahu siapa sejatinya orang yang menutupi
sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu dan tujuan dibalik sikapnya yang aneh
aneh.
Ketika
kemudian mereka bertiga telah sampai di tempat yang cukup lapang dan luas
ditepian sungai tidak jauh dari pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun, maka
orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun berhenti
kemudian dengan tenang membalikan badannya menghadap ke arah Glagah Putih dan
Rara Wulan.
“Sebentar
Ki sanak,” Glagah Putih mencoba mencairkan suasana, “Apakah tidak ada jalan
lain yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan kita ini?”
“O,”
tiba tiba orang itu tertawa, “Apakah kalian menyerah?”
“Diam,”
bentak Rara Wulan, lalu katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, kita tidak usah
berbelas kasihan kepada orang gila ini, masih banyak pekerjaan yang harus kita
selesaikan, orang ini hanya mengulur waktu saja, mungkin dia sengaja menunggu
kehadiran teman temannya yang lain untuk mendapatkan bantuan.”
“Ah,”
desah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, “Apakah
untuk menyelesaikan kalian berdua diperlukan pasukan segelar sepapan?”
“Jangan
sombong Ki sanak,” geram Rara Wulan sambil melangkah mendekat, “Cukup aku
sendiri saja yang akan meladeni Ki sanak, biarlah Kakang Glagah Putih menjadi
saksi atas hancurnya kesombongan Ki sanak.”
Selesai
berkata demikian, Rara Wulan segera mengambil sikap. Kedua kakinya merenggang
selebar bahu dengan kaki kiri di depan, sementara kedua telapak tangannya yang
terbuka dengan jari jari merapat dan menghadap kedepan, perlahan lahan diangkat
menyilang di depan dada sejajar dengan pundak, sikap yang mendebarkan dari
puncak sebuah ilmu yang mereka sebut dengan nama Aji Namaskara.
Glagah
Putih terkejut melihat sikap permulaan dari serangan Rara Wulan itu. Dengan
sekali loncat dia sudah berada disamping Rara Wulan sambil menahan pundak Rara
Wulan.
“Wulan,
jangan..!” cegahnya sambil terus berusaha menekan pundak Rara Wulan agar dia
tidak jadi memusatkan nalar budi untuk melontarkan sebuah Aji yang nggegirisi,
Aji Namaskara.
“Kakang,
mengapa kakang mencegahku untuk menghancurkan orang yang sombong ini?” tanya
Rara Wulan sambil mengendorkan getaran urat urat nadinya yang tadinya sudah
siap menghimpun tenaga untuk menyalurkan sebuah aji yang dahsyat tiada taranya.
“Itu
tidak perlu Wulan, sedahsyat apapun aji yang akan engkau trapkan pada orang
itu, aku yakin itu tidak akan berpengaruh banyak, karena di dalam dirinya
tersimpan segala macam ilmu yang tak terbatas.”
“Engkau
salah,” potong orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu,
justru dengan nada suara yang sewajarnya sehingga Rara Wulan menjadi berdebar
debar, seolah suara itu sudah dikenalnya dengan baik, kemudian lanjutnya,
“Segala sesuatu itu pasti ada batasnya, hanya Yang Maha Agung lah yang memiliki
kekuasaan tak terbatas atas seluruh jagad raya ini”
Selesai
berkata demikian, orang itu merenggut kain ikat kepala yang menutupi sebagian
wajahnya. Seberkas cahaya pagi yang mulai mengusir kegelapan dibawah bayangan
pohon Lo itu sekilas menerangi wajahnya, sehingga tampaklah sebuah wajah yang mulai
merambat ke usia tua, wajah yang sangat dikenal oleh mereka berdua.
“Kakang
Agung Sedayu..!” pekik Rara Wulan.
Sementara
Glagah Putih pun menarik nafas dalam dalam. Panggraitanya yang tajam dan
pengenalannya bertahun tahun atas diri kakak sepupunya yang sekaligus gurunya
ini tidak bisa dikelabui dengan hanya sekedar menutup selembar kain ikat kepala
diwajah dan mengubah nada suaranya.
Sambil
membungkuk hormat Glagah Putih pun menyalami orang yang ternyata memang Ki
Rangga Agung Sedayu, .“Selamat datang di bumi Panaraga, Kakang.”
“Terima
kasih Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu kemudian katanya kepada Rara
Wulan, “Marilah Rara, ada beberapa berita yang akan aku sampaikan kepada kalian
sehubungan dengan tugas yang kalian emban.”
Mereka
bertiga pun kemudian berjalan beriringan diatas pasir tepian sungai menjauhi
pohon Lo yang tumbuh hampir tumbang menjorok dari sisi tepian satu ke sisi
tepian yang lainnya. Ketika mereka telah sampai di tempat yang terdapat
bebatuan yang berserakan ditepian sungai itu, merekapun segera memilih tempat
untuk beristirahat sambil berbincang menanyakan keselamatan masing masing.
“Kakang,
kepergian Kakang ke timur ini apakah ada sesuautu yang penting untuk
kepentingan Mataram ataukah Kakang mempunyai rencana tersendiri?” tanya Glagah
Putih setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing masing dan keluarga
yang di tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.
“Ketahuilah
Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Kepergianku ke timur ini atas
perintah Ki Patih Mandaraka. Beliau telah memanggilku untuk mengadap ke istana
kepatihan sehubungan dengan adanya perkembangan berita dari para telik sandi
Mataram yang mengamati padepokan yang di tinggalkan oleh Pangeran Ranapati.”
Glagah
Putih dan Rara Wulanpun saling berpandangan sejenak. Menurut pengamatan mereka
berdua selama membututi gerak gerik Pangeran Ranapati, di padepokan yang
terletak di sebelah timur lereng Merapi itu tidak ada kekuatan yang mendebarkan
kecuali Pangeran Ranapati itu sendiri. Para Putut, Jejanggan, Manguyu dan cantrik
yang ada kemampuannya sangat terpaut jauh dengan orang yang menyebut dirinya
keturunan dari Panembahan Senopati itu, bahkan mereka telah membuktikannya
sendiri.
“Kakang,”
setelah sejenak berdiam diri Glagah Putihpun menyahut, “menurut pengamatan kami
berdua, bahkan kami sudah pernah terlibat langsung dengan para cantrik
padepokan Pangeran Ranapati, di padepokan itu tidak ada kekuatan yang patut
diperhitungkan sepeninggal Pangeran Ranapati.”
“Engkau
benar Glagah Putih, namun dalam perkembangannya, ternyata sepeninggal Pangeran
Ranapati yang berangkat menuju ke Panaraga, telah datang di padepokan itu
seseorang yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh Pangeran Ranapati, yaitu
Guru Pangeran Ranapati itu sendiri.”
“Guru
Pangeran Ranapati?” hampir berbareng Glagah putih dan Rara Wulan berseru.
“Ya,
para cantrik padepokan menyebutnya Ki Singa Wana Sepuh.”
“O..”
desis Glagah Putih sambil mengangguk anggukan kepalanya, “Karena itulah agaknya
Pangeran Ranapati dalam pengembaraannya kadang menyebut dirinya Ki Singa Wana.”
“Ya,”
tambah Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan berita terakhir dari para telik sandi
Mataram, setelah mengetahui bahwa Pangeran Ranapati telah pergi ke timur, Ki
Singa Wana Sepuh itu pun telah menyusulnya kemari.”
“Dan
untuk itulah agaknya Ki Patih Mandaraka mengirim Ki Rangga Agung Sedayu jauh
jauh dari Tanah Perdikan Menoreh sekedar untuk membuat perimbangan dengan
kehadiran guru Pangeran Ranapati itu.” Kata Glagah Putih sambil tersenyum dan
memandang penuh arti ke arah Rara Wulan.
“Ah..”
desis Ki Rangga Agung Sedayu, “Itu adalah anggapan yang berlebih lebihan,
sebenarnyalah tugasku hanya untuk mengingatkan kalian berdua karena yang akan
kalian hadapi bukan hanya Pangeran Ranapati seorang, tapi juga sekaligus
gurunya.”
“Tapi
mengapa kalau hanya untuk memberitahukan kehadiran guru Pangeran Ranapati harus
dikirim seorang Rangga yang pilih tanding, bukannya seorang prajurit telik
sandi yang dapat menyamar menjadi siapa saja tanpa menarik perhatian?” tanya
Rara Wulan yang sedari tadi hanya berdiam diri.
Glagah
Putih yang mendengar pertanyaan Rara Wulan itupun tertawa tergelak, sahutnya, “
Wulan, apakah engkau belum mengenal pribadi Ki rangga Agung Sedayu ini? Apakah
engkau mengharapkan Ki rangga Agung sedayu menjawab sambil menengadahkan
dadanya, “Pangeran Ranapati itu urusan kalian berdua, biarlah gurunya menjadi
urusanku , murid bertemu murid, guru bertemu guru.”
“Ah
sudahlah, “ Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan arah pembicaraan,
“Sebenarnyalah perkembangan hubungan Mataram dengan Panaraga semakin
mengkawatirkan. Sudah tiga bulan ini Adipati panaraga Pangeran Jayaraga tidak
mengirimkan utusan ke Mataram sebagai tanda bakti seorang Adipati kepada
Rajanya, dan kelihatannya suasana ini akan dimanfaatkan oleh Pangeran Ranapati
yang sekarang sudah resmi diangkat menjadi senapati di Kadipaten Panaraga.”
Glagah
Putih pun menarik nafas dalam dalam. Terbayang kembali dalam ingatannya
peperangan demi peperangan serta pertumpahan darah yang seharusnya tidak usah
terjadi justru karena pertikaian itu terjadi diantara keluarga sendiri.
Bukankah adipati panaraga Pangeran Jayaraga itu masih terhitung saudara
Panembahan Hanyakra Kusuma di Mataram?
“Panaraga
justru akan semakin yakin dalam membangun kekuatannya dengan terpilihnya
Pangeran Ranapati sebagai senopati serta kehadiran gurunya Ki singa Wana
Sepuh.” Desis Glagah Putih perlahan lahan tanpa disadarinya.
“Demikianlah
agaknya menurut perhitungan Ki Patih Mandara pada waktu aku menghadap beliau di
Kepatihan.” Sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kakang,”
tiba tiba Rara Wulan menyela, “ Mengapa kakang tidak mengajak mbokayu Sekar
Mirah untuk ikut pergi ke Panaraga? Alangkah senangnya aku bisa mempunyai kawan
dalam pengembaraan ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak.
Dilemparkan pandangan matanya jauh ke hulu sungai yang tampak bekelok kelok.
Sinar matahari yang mulai menerangi tebing tebing sungai tampak berkilat kilat
menimpa dedaunan yang masih basah oleh titik titik embun semalam. Kilauan
butiran embun yang tertimpa sinar matahari itu bagaikan butiran permata yang
bertebaran di atas dedaunan dan rerumputan disela sela batu padas di tebing
sebelah menyebelah sungai.
Ki
Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Dilemparkan pandangan matanya jauh
ke hulu sungai yang tampak bekelok kelok. Sinar matahari yang mulai menerangi
tebing tebing sungai tampak berkilat kilat menimpa dedaunan yang masih basah
oleh titik titik embun semalam. Kilauan butiran embun yang tertimpa sinar
matahari itu bagaikan butiran permata yang bertebaran di atas dedaunan dan
rerumputan disela sela batu padas di tebing sebelah menyebelah sungai.
“Rara,”
pelan Ki Ranga Agung Sedayu berkata sambil memandang ke arah Rara Wulan yang
termangu mangu, “Sudah waktunya Mbokayumu untuk beristirahat, tidak melibatkan
diri lagi terhadap perkembangan keadaan yang ada di sekitarnya. Selain itu,
perkembangan kesehatannya akhir akhir ini menuntut Mbokayumu untuk lebih
memperhatikan dirinya sendiri melebihi dari hari hari biasanya.”
Rara
Wulan tertegun sejenak. Menurut pengamatannya selama bergaul dengan Sekar
Mirah, jarang sekali Mbokayunya itu menderita sakit, bahkan dalam sebuah
benturan olah kanuragan yang sangat berat pun Mbokayunya itu jarang mengalami
luka yang parah sehingga mengganggu keseimbangan kesehatannya.
“Apakah
Mbokayu Sekar Mirah sedang sakit?” dengan penuh keraguan akhirnya pertanyaan
itu pun terlontar dari mulut Rara Wulan.
“Tidak
dalam arti yang sebenarnya, namun Mbokayumu memang memerlukan waktu khusus
untuk lebih mengenal perubahan perubahan yang sedang terjadi di dalam dirinya.”
Rara
Wulan semakin tidak mengerti dengan penjelasan penjelasan dari Ki Rangga Agung
Sedayu yang berbelit belit, bahkan Glagah Putih yang duduk disebelahnya pun
mempunyai tanggapan yang berbeda atas penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kakang,”
berkata Glagah Putih setelah beberapa saat tidak bisa menahan diri untuk
mengetahui keadaan Sekar Mirah, “Apakah Mbokayu Sekar Mirah sedang menjalani
suatu laku untuk peningkatan ilmunya?”
“O..
tidak Glagah Putih,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menyahut sambil tersenyum,
“Tidak ada usaha dalam peningkatan ilmu sama sekali, Mbokayumu hanya perlu
lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurusi dirinya sendirinya sehubungan
dengan karunia yang telah kami terima dari Yang Maha Agung.”
Selesai
berkata demikian tampak senyum dibibir Ki Rangga Agung Sedayu semakin lebar
yang membuat Glagah putih dan Rara Wulan semakin tidak mengerti arah
pembicaraan dari Ki Rangga Agung Sedayu.
Namun
tampaknya Ki Rangga Agung Sedayu tidak sampai hati berlama lama membiarkan
Glagah Putih dan Rara Wulan dalam kebingungan, maka katanya kemudian, “Kami
sekeluarga sangat bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Yang Maha
Agung sehingga kami diberi kepercayaan untuk mengemban amanahNya. Semoga
kebahagian itu segera terwujud bersama hari hari penuh harap dari Mbokayumu,
atas ijin dan perkenanNya untuk menjadi wanita yang sempurna, bukan hanya
seorang istri, tapi juga seorang ibu.”
“Jadi..jadi..Mbokayu
mengandung..?” jerit Rara Wulan kegirangan sambil meloncat berdiri dari tempat
duduknya disamping Glagah Putih. Kalau saja Glagah Putih tidak dengan segera
meraih tangannya dan menariknya kembali ke tempat duduknya, niscaya Rara Wulan
sudah melonjak lonjak kegirangan sambil menari nari seperti anak kecil yang
baru saja mendapatkan sebuah mainan.
“Tenanglah
wulan,” bisik Glagah putih mencoba menenangkan Rara Wulan yang mulai terisak
isak, mencoba menahan keharuan hatinya yang membuncah di dalam dadanya.
Dengan
perlahan Rara Wulan pun kemudian mengambil tempat duduk kembali disamping
Glagah Putih. Kedua tangannya sibuk mengusap air mata yang berderai-derai
membasahi kedua pipinya tanpa dapat dikuasainya oleh hentakan perasaan yang
sangat mengejutkan sekaligus mengharukan hatinya.
Dia
sudah sering mendengar cerita Glagah Putih tentang keluarga kakak sepupunya
itu. Betapa mereka berdua sangat mengharapkan hadirnya buah hati yang dapat
dijadikan tautan kasih sayang diantara mereka. Anak adalah ibarat perekat kasih
sayang diantara sepasang suami istri. Seandainya terjadi suatu perbedaan
pendapat atau kepentingan bahkan mungkin dapat berujung pada sebuah
pertengkaran, hendaknyalah masing masing dapat menahan diri dan melihat
kepentingan yang lebih besar dalam keluarga itu. Keberadaan anak anak diantara
mereka akan dapat dijadikan suatu pertimbangan tentang apa yang seharusnya
mereka perbuat, mengingat diantara mereka ada suatu tanggung jawab bersama
untuk memberikan yang terbaik bagi anak anaknya, baik berupa kebutuhan lahir
maupun batin serta segala sesuatu yang berhubungan dengan tatanan kehidupan
ini.
Sejenak
kemudian kesunyian terasa mencekam keberadaan mereka bertiga. Hanya suara
gemericik air yang mengalir disela-sela bebatuan dan kicaun burung-burung di
dahan dahan menyambut sang surya yang mulai menampakkan sinarnya menerangi
jagad raya ini.
Seekor
burung pemangsa ikan yang berparuh besar tampak terbang rendah berputar-putar
diatas pohon Lo yang tumbuh condong hampir roboh dari seberang sungai ke
seberang lainnya. Sejenak burung pemangsa ikan itu hinggap didahan yang rendah.
Sambil mengawasi ikan ikan yang berenang dengan riang gembira diantara ceruk
ceruk bebatuan dibawah pohon Lo, tubuhnya yang besar itu pun terayun-ayun oleh
lenturnya dahan kecil yang menjadi tempatnya berpijak.
Glagah
Putih menarik nafas dalam dalam, tak terasa sudah hampir enam bulan ditinggalkannya
tanah Perdikan Menoreh, tentu sudah banyak perubahan-perubahan yang terjadi
sepeninggal mereka berdua.
“Kakang,”
kata Glagah Putih mencoba memecahkan kebekuan yang terjadi diantara mereka,
“Apakah mbokayu Sekar Mirah tidak akan menemui kesulitan sehubungan dengan
kepergian Kakang ke timur ini?”
“Tidak
Glagah Putih, sebelum berangkat ke timur, mbokayumu telah aku titipkan untuk
tinggal sementara di kediaman Ki Gede Menoreh, disana banyak perempuan pembantu
ki Argapati yang dapat dijadikan teman mbokayumu dan membantu segala sesuatu
apabila ada kesulitan dari mbokayumu.”
“Apakah
Ki Jayaraga ikut tinggal di kediaman Ki Gede?” tanya Glagah Putih kemudian
“Tidak
Glagah Putih, Ki Jayaraga menunggui rumah kita sendirian.”
“Sendirian?”
terkejut Glagah Putih bergeser setapak dari tempak duduknya, lalu dengan penuh
keheranan dia pun melanjutkan,”Kemanakah anak bengal itu? Apakah dia masih
sering kesungai setiap malam dan membiarkan Ki Jayaraga sendirian menunggui
rumah?”
Ki
Rangga Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Dilemparkan
pandangan matanya kearah pohon Lo yang tumbuh besar dan condong dari seberang
sungai ke seberang lainnya. Tampak di dahan yang rendah berayun ayun seekor
burung pemangsa ikan sedang mengintai mangsanya. Burung itu mencoba mengambil
ancang ancang dengan merendahkan tubuhnya. Sepasang cakarnya yang kuat itu pun
semakin dalam mencengkeram dahan yang dipijaknya, sementara kedua sayapnya
dikembangkannya lebar lebar siap untuk memberikan kekuatan ayunan pada luncurannya
untuk menukik menerkam mangsanya.
Ki
Rangga Agung Sedayu menghela nafas panjang ketika kemudian dilihatnya burung
pemangsa ikan itu dengan derasnya meluncur turun dari dahan yang dipijaknya
untuk kemudian menerkam mangsanya, seekor ikan yang cukup besar segera saja
menggelepar gelepar diantara kuku tajam burung itu. Hanya dengan sebuah ayunan
kepakan sayapnya saja, burung pemangsa ikan itupun segera bertengger kembali
diatas dahan yang rendah dari pohon Lo yang tumbuh menjelujur hampir melingkupi
dari tepian sungai ke tepian yang lain. Dengan paruhnya yan besar dan kuat
segera saja ikan itu tidak berdaya dalam kerakusan burung pemangsa ikan yang
kelaparan itu.
Ketika
kemudian burung pemangsa ikan itu memperdengarkan suaranya yang keras diantara
kesibukannya melahap mangsanya, barulah Ki Rangga Agung sedayu tersadar dari
lamunanya bahwa dia harus manjawab pertanyaan dari Glagah Putih.
Dengan
perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun memutar kepalanya ke arah Glagah Putih.
Dilihatnya kerut-merut yang dalam dikening Glagah Putih, sedangkan Rara Wulan
yang duduk di sebelahnya tampak sudah bisa menguasai dirinya. Tidak terdengar
lagi isak tangisnya walaupun terlihat betapa Rara Wulan berusaha menahan
gejolak di dadanya sehingga tubuhnya tampak bergetar menahan hentakan hentakan
yang masih tersisa di dalam hatinya.
“Glagah
Putih dan kau juga Rara,” perlahan Ki Rangga Agung Sedayu menjawab pertanyaan
Glagah Putih, “Sepeninggal kalian berdua, banyak peristiwa yang terjadi dan
semua itu diluar kuasa kita sebagai manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dengan dirinya dan keadaan di
sekelilingnya. Semua itu adalah kuasa yang Maha Agung. Kita hanya wajib
berusaha, sedangkan apa yang terjadi kemudian adalah wajib bagi kita untuk
meyakininya, bahwa dibalik semua peristiwa itu pasti ada sesuatu yang
tersembunyi yang menjadi rencana dari Yang Maha Agung.”
Glagah
putih dan Rara Wulan termangu mangu, mereka mencoba menebak arah pembicaraan
dari Ki Rangga Agung Sedayu, walaupun seperti yasng terdahulu, mereka masih
belum mengetahui kemana sebenarnya arah pembicaraan itu.
“Ketahuilah
oleh kalian berdua, bahwa sepeninggal kalian berdua mengemban tugas dari
Mataram untuk melawat ke timur, di suatu senja sepulang dari barak pasukan
khusus, Sukra telah menemui aku di dekat kandang kuda. Kelihatannya dia sudah
bersiap siap untuk berangkat turun ke sungai malam itu menilik dari peralatan
yang telah di bawanya. Aku benar benar tidak menduga bahwa keberadaanya di
dekat kandang kuda itu justru karena suatu persoalan yang akan di sampaikannya
kepadaku.”
Demikianlah
yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu, Ki Rangga Agung Sedayu yang baru
saja pulang dari barak pasukan khusus telah menjumpai Sukra sedang berdiri
termangu mangu disamping kandang kuda.
Tidak
ada kecurigaan apapun terhadap Sukra ketika Ki Rangga Agung Sedayu yang telah
selesai mengandangkan kudanya kemudian melangkah keluar menuju pakiwan. Ki
Rangga Agung Sedayu hanya melempar senyum tipis sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ketika dia lewat beberapa langkah didepan Sukra yang masih saja
berdiri termangu mangu disamping kandang kuda.
Namun
dada Ki Rangga Agung Sedayu terasa berdesir sekejap justru ketika dia melangkah
keluar dari pakiwan dilihatnya Sukra masih tetap berdiri termangu mangu di
samping kandang kuda. Matanya tak pernah lepas mengawasi setiap gerak dan
langkah dari Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ada
apa Sukra?” justru Ki Rangga Agung Sedayu lah yang mendahului menyapanya ketika
dia sudah berada beberapa langkah saja didepan Sukra yang masih berdiri
mematung.
“O..tidak
ada apa apa Ki Sedayu,” tergagap Sukra menjawab, namun Ki Rangga Agung Sedayu
melihat sepercik keragu-raguan didalam sorot mata anak muda itu.
Sambil
mengangguk anggukan kepalanya Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum,
lalu katanya sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur, “Hari masih terlalu
sore, apakah engkau akan turun ke sungai? Bisanya menjelang sirep bocah orang
orang yang akan memasang rumpon itu baru akan turun ke sungai, kemudian
menjelang dini hari mereka akan turun kembali untuk melihat hasilnya.”
“Tetapi
kadang-kadang ada orang yang memasang rumpon sampai dua kali semalam, untuk
mendapatkan ikan yang lebih banyak, tentu saja.” sahut Sukra sambil mengikuti
langkah Ki Rangga Agung Sedayu menuju dapur.
“He..,”
seru Ki Rangga Agung Sedayu, “ Jadi itukah maksudnya mengapa engkau mau turun
ke sungai padahal hari baru akan menjelang sore?”
“Kakang..”
tiba tiba terdengar suara Sekar Mirah dari dalam dapur, “Apakah kakang
berbicara dengan Sukra? Tolong suruh anak itu untuk membeli minyak klentik di
kedai Nyai Imah, aku akan menggoreng ikan wader untuk lauk makan malam kita
nanti.”
Langkah
Ki Rangga Agung Sedayu pun terhenti sejenak, sambil berpaling ke arah Sukra dia
berkata, “Kau dengar perintah Nyi Sekar Mirah?”
Sukra
menganggukkan kepalanya dalam dalam, namun kemudian hampir tak terdengar dia
berdesis perlahan lahan kepada Ki Rangga Agung Sedayu, “Tetapi aku mempunyai
sebuah persoalan yang ingin kusampaikan hanya kepada Ki Sedayu.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam dalam, dipandanginya Sukra
dengan tajamnya, seolah olah baru kali ini dia bertemu dengan anak muda itu.
Sukra
yang merasa dirinya dipandang dengan tajam oleh Ki Rangga Agung Sadayu menjadi
salah tingkah, dicobanya untuk menenangkan gejolak perasaannya namun tidak
sepenuhnya berhasil sehingga tubuhnya ternyata telah menjadi gemetar.
“Sukra..,”
kembali terdengar suara Sekar Mirah memanggil dari dalam dapur yang kali ini
ditujukan kepada Sukra, “Segeralah berangkat sebelum hari benar benar gelap,
nanti keburu kedai Nyai Imah tutup.”
Sukra
menarik nafas dalam-dalam, sekilas dipandangnya Ki Rangga Agung Sedayu, namun
yang sekilas itu sudah cukup bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengetahui isi
hati anak muda itu.
“Berangkatlah,”
berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Kita dapat membicarakan persoalanmu
itu nanti setelah selesai makan malam. “
Sukra
hanya dapat menundukkan kepalanya dalam dalam, sambil melangkah menuju dapur
untuk menerima uang dari Sekar Mirah dia berdesis perlahan, “Terima kasih Ki
Sedayu.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah kaki Sukra
menuju dapur. Anak muda itu telah memberikan kesan tersendiri baginya.
Diusianya yang masih sangat muda, dia sudah berani turun ke sungai sendiri di malam
malam yang gelap dan dingin. Seolah tidak pernah dihiraukannya cerita tentang
segala macam hantu, genderuwo, jerangkong, ilu ilu banaspati dan sebangsanya.
Di usia yang sama, dirinya tidak lebih dari seorang anak muda penakut yang
selalu berlindung di balik punggung ibunya.
Sejenak
kemudian, setelah meletakkan terlebih dahulu segala peralatan untuk memasang
rumpon disamping kiri pintu dapur sebelah luar, Sukra pun melangkah masuk
kedalam dapur. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan langkahnya
menuju longkangan disamping kanan dapur yang mengarah ke pintu butulan di ruang
tengah.
Dalam
pada itu, Glagah Putih yang memperhatikan dengan seksama cerita Ki Rangga Agung
Sedayu itu pun menjadi berdebar debar, katanya kemudian, “Apakah Sukra terlibat
pertengkaran lagi dengan anak anak muda dari padukuhan sebelah?”
“Ah..,
tidak,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Bukankah peristiwa itu sudah berlalu
cukup lama? Jarang anak anak muda sebaya Sukra yang masih menekuni rumpon dan
sejenisnya. Biasanya begitu beranjak ke usia dewasa mereka segera mengalihkan
perhatiannya pada hal hal yang lebih menarik sesuai dengan usia mereka.”
“Jadi..,
sebenarnya, persoalan apakah yang sedang dialami Sukra?” bertanya Glagah Putih
kemudian setelah dia merasa tidak mampu menduga kejadian sebenarnya yang
dialami oleh Sukra.
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum melihat kegelisahan Glagah Putih, sementara Rara
Wulan yang tidak banyak bergaul dengan Sukra ketika dia tinggal di rumah Ki
Rangga Agung Sedayu untuk belajar olah kanuragan dari Sekar Mirah hanya berdiam
diri saja. Baginya lebih baik menjadi pendengar saja sebelum semua persoalan
menjadi jelas.
“Glagah
Putih,” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Apakah engkau pernah
memberikan dasar dasar latihan olah kanuragan dengan sungguh sungguh kepada
Sukra?”
“Ya
Kakang, tapi itu tidak lebih dari selangkah dua langkah untuk sekedar
memberikan bekal menghadapi kenakalan anak anak muda padukuhan sebelah.”
“Jadi,
engkau tidak dengan sungguh sungguh mengajarinya olah kanuragan?”
“Tidak
Kakang, menurut pendapatku keinginan Sukra itu hanya keinginan sesaat ketika
dia merasa tidak berdaya oleh polah tingkah anak anak muda yang mengganggunya.
Selebihnya aku belum siap memberikan latihan olah kanuragan dalam arti yang
sebenarnya karena sebagaimana Kakang telah mengajariku olah kanuragan, tidak
hanya tuntunan lahir saja yang Kakang berikan kepadaku, namun tuntunan batin
itulah yang sangat penting agar apa yang telah dipelajari oleh seseorang itu
tidak menjadikan dirinya kehilangan kendali atas pengamatan kemampuan dirinya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu dan Rara Wulan yang hanya jadi pendengar itu pun ikut
mengangguk anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah Glagah Putih yang memiliki
kemampuan ilmu kanuragan tinggi itu tidak akan menemui kesulitan yang berarti
dalam memberikan bimbingan kepada Sukra, namun tuntunan batin yang justru
mempunyai peran sangat penting dalam setiap pencurahan ilmu kanuragan dari
seorang guru kepada muridnya itulah yang belum begitu dikuasai oleh Glagah
Putih sejalan dengan usianya yang masih muda.
“Baiklah,”
berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menggeser duduknya beberapa jengkal ke
arah teduhnya bayangan dedaunan untuk menghindari sinar matahari yang mulai
terasa menggatalkan kulit, “Aku memang pernah melihat sekilas apa yang pernah
kalian berdua lakukan, aku pun tidak keberatan waktu itu untuk mengijinkanmu
memberi tuntunan kepada Sukra selangkah dua langkah dalam olah kanuragan. Namun
persoalannya menjadi lain ketika sore itu, setelah selesai makan malam, Sukra
benar benar menghadapku di ruang tengah, semula dia ragu ragu mengutarakan
maksudnya ketika dilihatnya mbokayumu Sekar Mirah ikut duduk duduk mengawani
aku. Sedangkan Ki Jayaraga sejak sore sudah pergi ke rumah Ki Gede untuk
menemani Ki gede mengisi waktu bermain mul mulan atau sekedar berbincang
bincang yang tak berujung pangkal.”
“Apakah
Sukra meminta Kakang untuk memberinya tuntunan olah kanuragan?” bertanya Glagah
Putih setelah mengetahui dengan pasti kearah mana pembicaraan Ki Rangga Agung
Sedayu.
“Benar
Glagah Putih,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan lebih dari itu, Sukra
memintaku untuk mengambilnya sebagai murid.”
“Murid,”
desis Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan sambil berpandangan. Mereka
tidak mengira bahwa Sukra akan melangkah sejauh itu dalam menekuni olah
kanuragan. Dugaan Glagah Putih bahwa keinginan Sukra untuk mendalami olah
kanuragan hanyalah keinginan sesaat ternyata tidak berdasar sama sekali, bahkan
kini Sukra dengan memberanikan diri telah meminta Ki Rangga Agung Sedayu untuk
mengambilnya sebagai seorang murid.
“Sukra..”
tiba tiba tanpa disadarinya Glagah Putih bergumam perlahan, “Apakah sebenarnya
yang engkau cari?”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum mendengar desis dari Glagah Putih, kemudian masih
dengan tersenyum dia pun berkata, “Pertanyaan yang sama telah diajukan pula
oleh mBokayumu Sekar Mirah, dan apakah kalian dapat menduga, apa jawaban dari
Sukra?”
Keduanya
menggeleng lemah sambil menunggu jawaban dari Ki Rangga Agung Sedayu dengan
hati yang berdebar debar.
“Selama
ini kita memang kurang memperhatikan Sukra. Kita mengganggap dia tidak lebih
dari kanak kanak yang sedang menjelang remaja. Keberadaannya dirumah kita untuk
membantu pekerjaan Mbokayumu seperti menyapu halaman, mengisi jambangan di
pakiwan dan sesekali membelah kayu bakar adalah pekerjaan sehari hari yang
wajar dikerjakan oleh anak seusianya. Selain itu dia juga mempunyai kegemaran
menelusuri sungai hampir setiap malam yang kadang-kadang melibatkan
kehadiranmu, Glagah Putih.”
Sampai
disini Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak. Suara angin yang menelusup
disela sela dedaunan dari serumpun pohon bambu yang tumbuh rimbun disisi kiri
tebing sungai menimbulkan gemerisik yang berkepanjangan. Sementara itu, dengan
memperdengarkan suaranya yang keras, burung pemangsa ikan yang bertengger di
dahan yang rendah dari pohon Lo dan telah selesai menyantap mangsanya itu pun
mengepakkan sayapnya untuk kemudian terbang menjauh. Sedangkan nun jauh di
ujung sungai yang berkelok kelok, terdengar bunyi sepasang burung tekukur yang
bersahut sahutan bagaikan sepasang kekasih yang sedang mendendangkan tembang
asmarandana.
Ki
Rangga Agung Sedayu berdesah perlahan. Dipandanginya kedua anak muda yang
sedang duduk dihadapannya. Mereka berdua masih terhitung sangat muda namun
telah memiliki kemampuan olah kanuragan yang pantas diperhitungkan dan
disejajarkan dengan orang orang yang memang telah menekuni olah kanuragan sejak
lama. Dan agaknya itulah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Glagah Putih
dan ternyata telah dipermasalahkan oleh Sukra.
“Pada
awalnya, Sukra mempunyai anggapan bahwa kemampuanmu dalam olah kanuragan tidak
banyak terpaut oleh kemampuan anak anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang
sebaya denganmu, namun ketika hampir seluruh anak anak muda telah
membicarakanmu, bahkan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun mengakui
kemampuanmu setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang melibatkan dirimu,
berita itu pun telah sampai juga ke telinga Sukra dengan berbagai tanggapan
didalam dirinya. Dia merasa dirinya terlalu kecil hidup diantara para raksasa
olah kanuragan yang tinggal di rumah kita, setidaknya itulah anggapannya,
bahkan teman teman sepermainannya pun menganggap bahwa Sukra paling tidak
memiliki kelebihan yang pantas dibanggakan diantara teman sebayanya karena
sehari hari dia bergaul dengan orang orang yang bergelut dengan olah kanuragan,
namun kenyataannya dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan dan
ditunjukkan kepada teman temannya. Mungkin itulah salah satu unsur yang
mendorong keinginannya untuk mempelajari olah kanuragan darimu, Glagah Putih.”
Glagah
Putih termenung, seolah terbayang kembali dalam ingatannya, bagaimana Sukra
selalu mendesaknya untuk melatih olah kanuragan, dan anak itu seolah tidak ada
puasnya, selalu menuntut sesuatu yang baru setiap kali mereka bertemu.
“Kakang,”
berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka bertiga berdiam diri,
“Apakah Kakang mengabulkan permohonan Sukra untuk menjadi murid kakang?”
“Tidak
secara keseluruhan Glagah Putih, hubungan antara seorang Guru dan murid adalah
hubungan yang rumit dan penuh tanggung jawab, tidak sebagaimana hubungan kita
berdua yang tetap sebagai saudara sepupu walaupun engkau belajar olah kanuragan
dariku, itulah sebabnya aku menolak engkau memanggilku Guru, dengan demikian
aku tidak ingin mempersempit wawasanmu dalam olah kanuragan karena dengan
menjadikanmu seorang muridku, segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkembangan ilmumu harus seijin dan sepengetahuanku.” Ki Rangga Agung Sedayu
berhenti sejenak lalu, “Karena pertimbangan itulah, aku hanya benjanji kepada
Sukra untuk memberikan latihan olah kanuragan padanya setiap hari.”
“Apakah
Sukra menerimanya, Kakang?”
“Pada
awalnya dia keberatan, tetapi setelah Mbokayumu Sekar Mirahpun ikut memberi
penjelasan dan pengertian tentang beratnya tanggung jawab hubungan antara Guru
dan Murid, pada akhirnya Sukra pun mau menerimanya, namun dia mempunyai satu
tuntutan yang hampir tidak masuk akal?”
“Apakah
itu Kakang?”
“Dia
memintaku untuk melatihnya dengan bersungguh sungguh sehingga dalam waktu dekat
bisa menyamai kemampuanmu.”
“He..!”
hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan berseru saking terkejutnya dengan
permintaan Sukra itu.
“Memang
aneh kedengarannya,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Ternyata dia
secara diam diam telah memendam dendam kepadamu Glagah Putih, ketidak
sungguhanmu dalam memberikan latihan olah kanuragan telah disalah artikan oleh
Sukra sebagi usaha darimu agar kemampuannya tidak akan melampui kemampuanmu.
Itulah sebenarnya yang selama ini menjadi beban pikirannya, bahkan dalam hal
lain pun dia ingin bersaing denganmu, menjadi seorang prajurit dan mendapatkan
istri dari keturunan bangsawan yang cantik.”
“Ah..”
seleret warna merah segera saja membayang di pipi Rara Wulan, sedangkan Glagah
Putih yang duduk disebelahnya tidak dapat menahan tertawanya lagi. Kalau saja
tidak ada sebuat cubitan yang keras di lambungnya, niscaya Glagah Putih akan
tetap meneruskan tertawanya berkepanjangan.
“Aduh..sakit
Wulan, tolong lepaskan..” mohon Glagah Putih sambil berusaha melepaskan cubitan
Rara Wulan di lambungnya.
“Tidak,”
sergah Rara Wulan, “Sebelum engkau jelaskan, apa yang membuatmu tertawa.”
“Aduh..sungguh
tidak ada apa apa Wulan.”
“Tetapi
mengapa engkau tertawa? Apakah ada yang lucu dari keterangan Kakang Agung
Sedayu?”
“Tidak
ada.”
“Jadi?
Untuk apa engkau tertawa seperti orang mabok tuak?”
Sejenak
Glagah Putih menjadi kebingungan, ketika tanpa disadarinya dia memandang wajah
kakak sepupunya yang tersenyum kearahnya, tiba tiba saja Glagah Putih itu pun
ikut tersenyum.
Melihat
dua orang laki laki itu saling melemparkan senyum, Rara Wulan pun tidak dapat
menahan hatinya lagi, segera saja dengan penuh kekuatan didorongnya tubuh
Glagah Putih yang sedang duduk diatas sebuah batu besar disampingnya itu
sehingga meluncur jatuh ke sungai.
Glagah
Putih yang tidak menduga sama sekali bahwa Rara Wulan akan berbuat sejauh itu
benar benar tidak bisa menghindar ketika akhirnya tubuhnya pun jatuh ke air dan
menjadi basah kuyup.
Sekarang
Rara Wulan lah yang tertawa geli, ketika dilihatnya Glagah Putih yang basah
kuyup dengan bersungut sungut mencari batu yang lain yang berseberangan dengan
Rara Wulan untuk tempat duduk.
Ki
Rangga Agung Sedayu hanya dapat tersenyum simpul menyaksikan polah tingkah
pasangan muda itu. Teringat olehnya pada saat saat awal perjumpaannya dengan
Sekar Mirah, segala sesuatunya begitu indah, namun ketika hubungan mereka sudah
menuju ke arah yang sungguh sungguh, betapa Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu
selalu diliputi oleh kegelisahan setiap kali Sekar Mirah selalu mendesaknya untuk
segera mengambil keputusan sehubungan dengan masa depan mereka berdua.
“Sudahlah,”
berkata Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian, “Sejak saat itu,
setiap sore menjelang malam, aku selalu meluangkan waktu untuk melatih Sukra di
Sanggar. Dan anehnya, anak itu tidak bosan bosannya turun ke sungai setiap
malam, walau kadang latihan yang kami lakukan sampai menjelang tengah malam.”
“Anak
itu seolah olah tidak terpisahkan dengan sungai, semalam saja dia tidak turun
ke sungai, rasa-rasanya baginya sudah berbulan bulan tidak melihat sungai,”
sahut Glagah Putih sambil melepas bajunya yang basah, kemudian setelah
diperasnya, bajunya itu pun dipakainya kembali. Sekilas sempat dilihatnya Rara
Wulan menatap kearahnya dengan penuh penyesalan.
“Tetapi
ada satu hal yang membuatku heran,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian,
“Ternyata Sukra masih saja menganggapku kurang bersungguh sungguh dalam
memberikan latihan dimalam hari saja, dia menganggap perkembangan ilmunya
terlalu lambat, sehingga dia memintaku untuk memberikan latihan juga di siang
hari, tentu saja hal ini tidak mungkin. Bukankah aku harus pergi ke barak
pasukan khusus setiap hari? Akhirnya kesepakatan pun diambil, setiap pagi aku
meninggalkan catatan berupa gambar gambar dari gerak dan langkah kanuragan di
selembar daun lontar atau kadang pelepah pinang yang dapat dijadikan dia
sebagai pedoman untuk latihan di siang hari, kemudian di malam harinya aku
tinggal menyempurnakan gerakan gerakan yang telah dilatihnya di siang hari
itu.”
“Dari
jalur perguruan manakah Kakang melatih Sukra?”
“Dari
jalur perguruan orang bercambuk. Aku sengaja tidak memberinya tuntunan dari
jalur perguruan Ki Sadewa, karena pada dasarnya jalur perguruan Ki Sadewa
adalah perguruan keluarga, sehingga untuk menurunkan ilmu dari jalur itu, aku
harus meminta pertimbangan dari para pewaris ilmu Ki Sadewa yang lain.” Sampai
disini tiba tiba wajah Ki Rangga Agung Sedayu menjadi buram, kerut merut
didahinya pun semakin dalam. Beberapa lembar rambutnya yang sudah mulai berubah
warna tampak berjuntai disela sela ikat kepalanya.
Sambil
menghela nafas panjang, Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan ceritanya, “Kita
sebagai manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, semua itu telah
menjadi garis ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Demikian juga ketika disuatu
senja, sepulangku dari Mataram karena dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka untuk
mendapat tugas menyusul kalian berdua ke timur, aku mendapatkan papan dinding
bilikku yang sebelah dalam telah bergeser terbuka sejengkal, sekilas memang
tidak kelihatan, bahkan Mbokayumu Sekar Mirah pun tidak melihat keganjilan itu,
karena memang aku sengaja membuat dinding rangkap dari papan yang menyekat
bilik kami dengan bilik sebelah.”
Dengan
berdebar debar, Glagah Putih dan Rara Wulan menatap wajah Ki Rangga Agung
Sedayu, betapa wajah itu kelihatan sangat lelah, entah beban pikiran apa yang
telah membuatnya demikian.
“Siapakah
orang yang telah berbuat demikian, Kakang? Dan apakah yang dicarinya?” bergetar
suara Glagah Putih menahan gejolak perasaannya.
“Sesuatu
yang seharusnya aku jaga dengan taruhan nyawa ternyata telah hilang dari tempat
penyimpanannya, ruang diantara papan rangkap penyekat dinding bilikku.”
“Apakah
itu Kakang?” kembali Glagah Putih bertanya dengan penuh ketegangan.
“Kitab
peninggalan Guru, kitab perguruan Empu Windujati.”
Kalau
seandainya ada halilintar yang menyambar di saat itu di tempat dimana mereka
bertiga berada, guncangannya mungkin tidak akan sedahsyat dengan apa yang telah
didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dari keterangan Ki Rangga Agung
Sedayu.
Serentak
mereka berdua memandang ke arah wajah Ki Rangga Agung Sedayu dengan wajah penuh
ketegangan dan dada yang bergejolak, sambil mengepalkan tangannya Glagah Putih
pun berseru keras, “Kakang, katakan siapa yang mencuri kitab peninggalan Kiai
Gringsing, aku sanggup melumatkan tubuhnya!”
“Ya,
Kakang,” Rara Wulan pun tak kalah sigapnya dengan Glagah Putih, “Tidak perlu
Kakang Agung Sedayu sendiri yang turun tangan, serahkan kepada kami berdua
untuk mengatasi permasalahan ini.”
Ki
Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak, kemudian katanya, “Kalian berdua
tenanglah, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan tergesa gesa, aku
belum bisa menduga siapakah yang telah mengambil kitab peninggalan guru tanpa
sepengetahuanku, namun dugaan yang kuat mengarah ke diri Sukra, karena sejak
aku datang dari Mataram sore itu, aku tidak pernah melihatnya kembali, bahkan
ketika kucoba melongok ke biliknya, bilik itu telah kosong, tidak ada selembar
pakaian ataupun barang-barangnya yang tertinggal.”
“Kapankah
terakhir Kakang atau Mbokayu melihat keberadaan Sukra?” tanya Glagah Putih,
kekawatiran yang sangat tampak di wajahnya, justru karena dia menyadari betapa
Sukra sangat mendendam atas dirinya sehubungan dengan anggapannya bahwa Glagah
Putih tidak ingin melihat perkembangan yang terjadi atas dirinya serta
kelebihan kelebihan yang mungkin akan dapat dicapainya.
“Aku
melihat Sukra terakhir kalinya saat aku berangkat ke Mataram memenuhi panggilan
Ki Patih Mandaraka, sedangkan Mbokayumu terakhir menjumpai Sukra dipagi hari
berikutnya saat Mbokayumu akan pergi ke pasar. Saat itu Sukra sedang membelah
kayu bakar di halaman belakang, sedangkan Ki Jayaraga sejak pagi-pagi sekali
sudah berangkat ke sawah.”
“Apakah
Kakang bermalam di Mataram?” Rara Wulan lah yang kini ganti bertanya.
“Aku
memang tidak bisa menolak tawaran Ki Patih Mandaraka untuk bermalam di istana
kepatihan waktu itu, karena memang Ki Patih baru akan membicarakan
kepentingannya memanggilku menghadap justru setelah makan malam.”
Memang
sudah menjadi kebiasaan Ki Patih Mandaraka untuk tidak dengan tergesa gesa
menyampaikan maksudnya apabila memanggil Ki Rangga Agung Sedayu menghadap ke
istana kepatihan, justru karena Ki Patih mengetahui hubungan persahabatan
antara Panembahan Senapati di masa mudanya dengan seorang anak muda dari Jati
Anom yang bernama Agung Sedayu.
“Bermalamlah
disini,” demikian permintaan Ki Patih Mandaraka waktu Ki Rangga Agung Sedayu
diterima menghadap, “ Matahari telah condong ke barat dan agaknya engkau perlu beristirahat
barang sejenak, nanti malam kita akan berbicara sepuas-puasnya untuk membahas
segala permasalahan yang timbul baik di lingkungan istana Mataram ini maupun
yang terjadi diluar lingkup istana.”
“Terima
kasih, Ki Patih. Aku mengartikan penawaran Ki Patih ini sebagai perintah, maka
bagiku tidak ada kuasa apapun untuk menolaknya,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu
sambil tersenyum.
“Ah,”
desah Ki Patih sambil tertawa kecil, “Kadang aku yang tua ini masih digelitik
oleh kenangan masa-masa muda, kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya.
Berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyusuri lembah, menyusup ke
hutan-hutan yang lebat sekalipun dan kadang-kadang tak jarang menjumpai
padukuhan-padukuan yang terpencil tetapi terasa betapa sangat damainya hidup
bergaul diantara mereka, petani-petani yang lugu dan polos tanpa ada rasa
kecurigaan diantara sesama. Berbeda jauh dengan lingkungan yang kualami
sekarang ini, penuh dengan gebyar dan gemerlap keindahan dunia namun penuh rasa
iri dengki, curiga dan kepalsuan hubungan diantara sesama.”
Sampai
disini Ki Patih terdiam, pandangan matanya menatap kearah pucuk pucuk pepohonan
yang tumbuh di halaman samping istana kepatihan. Daun-daunnya yang bersemu
kemerah merahan tertimpa sinar matahari sore tampak berayun ayun lembut tertiup
oleh angin senja.
Demikianlah
malam itu, setelah Ki Rangga Agung Sedayu selesai dijamu makan malam bersama Ki
Patih Mandaraka, mereka pun kemudian duduk duduk di ruang tengah istana
kepatihan.
Sejenak
kemudian, setelah mereka berbicara tentang hal hal yang ringan, tentang jalur
perjalanan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin ramai,
tentang penyeberangan di kali Praga yang semakin sibuk akan tetapi bertambah
aman dengan hadirnya para prajurit yang meronda di sekitar daerah itu, barulah
kemudian Ki Patih mengutarakan maksudnya untuk memanggil Ki Rangga Agung Sedayu
menghadap ke istana kepatihan.
“Ki
Rangga, “ berkata Ki Patih, “Ada perkembangan baru yang terjadi di padepokan
orang yang menyebut dirinya pangeran Ranapati itu. Beberapa telik sandi Mataram
telah berhasil mendekati padepokan itu pada jarak yang sangat dekat tetapi
masih dalam batas perhitungan keselamatan mereka. Hal itu dilakukan karena
mereka melihat ada kesibukan yang meningkat di dalam padepokan itu dibandingkan
dengan hari hari biasanya.”
“Apakah
kesibukan itu berhubungan dengan ketegangan hubungan antara Mataram dengan
Panaraga akhir akhir ini?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
“Tidak
secara langsung, tetapi ternyata kesibukan padepokan itu karena mereka telah
menerima seorang tamu?”
“Seorang
tamu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya,
seorang tamu yang sangat dihormati oleh penghuni padepokan itu karena dia
adalah guru dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.”
Tiba
tiba saja dada Ki Rangga Agung Sedayu berdesir tajam, jika orang yang menyebut
dirinya Pangeran Ranapati itu disebut-sebut mempunyai kesaktian yang tiada
taranya, bagaimanakah dengan gurunya?
Agaknya
Ki Patih Mandaraka dapat membaca jalan pikiran Ki Rangga Agung Sedayu, maka
katanya kemudian, “Tidak ada orang yang sempurna didunia ini, demikian juga
dengan Ki Singa Wana Sepuh, guru orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati
itu.”
Ki
Rangga Agung Sedayu pun menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukan
kepalanya, seakan bergumam kepada dirinya sendiri, diapun berdesis perlahan,
“Hanya Yang Maha Agung yang memiliki kesempurnaan, tidak sepantasnyalah manusia
menyombongkan dirinya dengan sedikit kemampuan yang dimilikinya, sesungguhnya
hanya kepadaNya kita berserah diri.”
Sekarang
Ki Patih Mandaraka lah yang mengangguk anggukan kepalanya, sambil berkata,
“Untuk itulah aku telah membuat pertimbangan dengan memanggilmu menghadap ke
kepatihan ini. Susullah Glagah Putih ke timur, karena berita selanjutnya dari
para telik sandi mengatakan bahwa Ki Singa Wana Sepuh itu telah pergi ke timur
pula, setelah tahu bahwa muridnya kini berada di Panaraga.”
Sejenak
kemudian suasana pun dicengkam oleh kesunyian. Angin malam yang bertiup cukup
keras telah membuat atap istana kepatihan berbunyi berderak derak. Sedangkan
beberapa helai dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman istana
kepatihanpun jatuh berguguran dan berserakan dihalaman yang luas. Dua orang
prajurit pengawal kepatihan yang menjaga pintu gerbang tampak mendongakkan
kepalanya, mengamati mendung yang semakin tebal menghiasi langit. Agaknya hujan
benar-benar akan turun malam itu.
“Ki
Patih,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menghaturkan sembah, “Sebelum aku
berangkat menunaikan tugas ke timur, perkenankanlah aku mengajukan sebuah
pertanyaan agar tidak ada keraguan sama sekali untuk mengemban tugas yang berat
ini.”
“Pertanyaan
apakah Ki Rangga?”
Sambil
membetulkan letak duduknya serta menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu, Ki
Rangga Agung Sedayu pun menjawab pertanyaan Ki Patih, “Mohon ampun Ki Patih,
telah beredar luas dikalangan para Perwira bahkan sampai Prajurit pada tataran
yang terendah sekalipun, sebuah cerita tentang Pangeran Umbaran yang diperintah
oleh Panembahan Senopati untuk menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana
pelet putih.”
Ki
Patih Mandaraka sejenak termangu mangu, kemudian jawabnya, “Apakah cerita itu
dihubungkan dengan seseorang yang mengaku putra Panembahan Senopati yang
bergelar Pangeran Ranapati?”
“Ya,
Ki Patih. Menurut cerita yang aku dengar dari mulut ke mulut, pangeran Ranapati
memang telah terusir dari istana semenjak beliau masih kecil. Dan masih menurut
cerita itu pula, Pangeran Umbaran yang ditugasi oleh Panembahan Senopati untuk
menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana pelet putih itu tidak sampai hati
untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada dirinya yang sesungguhnya yaitu
melenyapkan ibu dan anaknya yang sekarang telah tumbuh menjadi orang yang pilih
tanding dan bergelar Pangeran Ranapati.”
Ki
Patih memandang tajam ke arah Ki Rangga Agung Sedayu seakan akan ingin
menjenguk apa yang terkandung di dalam hatinya, namun akhirnya Ki Patih pun
berkata, “Ki Rangga Agung Sedayu, bagaimanakah menurut pendapatmu tentang
cerita ngaya wara yang sekarang sedang berkembang di tengah tengah kehidupan
kawula Mataram ini?”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sejenak dia memandang wajah Ki Patih
seolah olah ingin menjajaki apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Ki
Patih.
“Ampuh
Ki Patih, aku tidak bisa menarik kesimpulan tentang kebenaran dari cerita yang
sedang berkembang dan diperbincangkan oleh hampir setiap kawula Mataram. Namun
satu hal yang dapat aku simpulkan, cerita ini pasti ada sumber yang
menyebarkannya dan mempunyai tujuan tertentu.”
“Menurutku
memang benar demikian, ada seseorang ataupun mungkin bahkan sekelompok orang
yang mempunyai ikatan tertentu telah mencoba mengguncang sendi sendi kehidupan
kawula Mataram dengan menghembuskan cerita yang ngaya wara untuk kepentingan
mereka sendiri.”
“Dan
yang pasti cerita ini sebagai dalih untuk menarik perhatian para kawula Mataram
sehingga mereka merasa trenyuh dengan kisah hidup orang yang menyebut dirinya
Pangeran Ranapati.” Kembali Ki rangga Agung Sedayu menambahkan.
“Ya,”
jawab Ki Patih, “Sehingga jalan untuk menuju istana bagi orang yang menyebut
dirinya Pangeran Ranapati itu pun akan terbentang lebar.”
Sejenak
keduanya pun terdiam. Masing masing terhanyut oleh angan angan tentang orang
yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Tidak menutup kemungkinan bahwa
peristiwa demi peristiwa itu saling berkait, ada sekelompok orang yang dengan
sengaja menyebarkan cerita tentang kayu cendana pelet putih itu justru untuk
menarik perhatian dan rasa belas kasihan dari kawula Mataram sejalan dengan
kemunculan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.
Dalam
pada itu, diluar istana kepatihan hujan telah turun bagaikan ditumpahkan dari
langit. Sesekali petir bersabung di udara, sejenak malam yang gelap gulita
itupun terang benderang dalam sekejab, kemudian disusul dengan bunyi gemuruh
yang memekakkan telinga.
Dua
orang Prajurit penjaga regol kepatihan tampak berteduh di emper gardu penjagaan
disebelah kanan regol, sedangkan pintu regol kepatihan dibiarkan saja dalam
keadaan terbuka.
Sementara
itu dari dalam gardu penjagaan tiba tiba keluar seorang perwira separo baya
yang bertugas memimpin penjagaan di istana kepatihan malam itu. Dibelakangnya
seorang perwira yang masih cukup muda mengikutinya. Agaknya perwira yang masih
cukup muda itu adalah perwira pendamping bagi perwira separo baya itu.
Perwira
separo baya itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat dua orang prajurit
penjaga regol istana kepatihan justru berteduh di emper gardu penjagaan,
sedangkan regol istana kepatihan dibiarkannya dalam keadaan terbuka.
Segera
saja kedua prajurit penjaga regol kepatihan itu membungkuk hormat ketika
perwira separo baya itu menghampiri mereka. Namun langkah perwira separo baya
itu tertahan sejenak ketika tanpa disadarinya sudut pandang matanya menangkap
sesuatu yang mencurigakan. Sebuah bayangan yang seakan akan jatuh begitu saja
dari dahan terendah pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana
kepatihan sebelah utara. Bayangan itu meluncur turun bagaikan selembar daun
kering yang runtuh dari tangkainya.
Dengan
sebuah isyarat, perwira separo baya itu memanggil perwira pendampingnya yang
masih saja berdiri termangu mangu di depan pintu gardu penjagaan.
“Ikut
aku,” bisik perwira separo baya itu sambil menggamit lengan perwira
pendampingnya ketika dia sudah berdiri disampingnya.
“Kemana
Ki Lurah,” dengan ragu ragu perwira pendampingnya bertanya.
“Meronda
dinding sebelah utara, dekat pohon sawo kecik itu.” Jawab perwira separo baya
itu sambil menunjuk pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana
kepatihan sebelah utara. Dalam kegelapan malam, tampak pohon sawo kecik itu
bagaikan raksasa yang berambut gimbal sedang berdiri menjulang.
“Hujan
hujan begini?”
“Ya,
apa masalahnya?”
“Bukan
maksudku menolak tugas Ki Lurah,” berkata perwira pendampingnya, “Namun apakah
kepentingannya hujan hujan begini meronda dinding sebelah utara kepatihan?
Disamping itu bukankah para prajurit dapat melakukannya?”
“Para
prajurit biasa justru akan menjadi banten sebelum mereka menyadari apa yang
telah terjadi. Sebaiknya kitalah yang mencoba mengamati keadaan. Aku melihat
sesuatu yang meluncur turun dari cabang pohon sawo kecik itu. Menilik ujudnya
seperti seseorang yang meloncat turun dari pohon itu. Marilah kita mencoba
mendekatinya tanpa menarik perhatian. Semoga orang itu belum bergeser dari
tempatnya.”
Selesai
berkata demikian, perwira separo baya itu segera bergeser ke sudut gardu
penjagaan yang gelap untuk kemudian melangkah keluar dari gardu penjagaan
menembus hujan yang turun dengan lebatnya diikuti oleh perwira pendampingnya.
Dengan merunduk-runduk diantara tanaman tanaman perdu dan gerumbul gerumbul
bunga, keduanya berusaha mendekati pohon sawo kecik itu.
Ketika
petir menyambar disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar, penglihatan kedua
perwira itu sekilas sempat menangkap sesosok bayangan yang sedang berjongkok disebelah
pohon sawo kecik.
Segera
perwira separo baya itu memberi isyarat kepada perwira pendampingnya untuk
berpencar. Dengan merayap perlahan lahan keduanya pun kemudian mengambil tempat
dari arah yang berlawanan. Sesuai dengan isyarat yang telah disepakati,
keduanya akan menyerang dari arah yang berlawanan namun justru dalam rentang
waktu yang berselisih beberapa kejap antara serangan pertama dan serangan kedua
dengan maksud memperdaya lawan pada saat pemusatan pikirannya terpaku pada
serangan yang pertama.
Demikianlah
akhirnya, ketika terdengar bunyi cengkerik yang melengking tinggi tidak
sebagaimana bunyi cengkerik yang sewajarnya, perwira separo baya itu pun
melenting dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah bayangan yang sedang
berjongkok dibawah pohon sawo kecik. Sementara perwira pendampingnya telah
bersiap siap mengarahkan serangannya kearah mana bayangan itu akan bergerak
menghindari serangan pertama dari perwira separo baya itu.
Namun
alangkah terkejutnya perwira pendamping itu ketika bayangan yang sedang
berjongkok dibawah pohon sawo kecik itu justru telah melenting tinggi sebelum
datangnya serangan dari perwira separo baya yang sedang meluncur deras
kearahnya, bahkan dengan sekali berputar diudara, bayangan itu melontar dengan
cepat menyambar kearah dimana perwira pendamping itu sedang bersembunyi.
Tidak
ada kesempatan untuk menghidar bagi perwira pendamping itu, maka yang
dilakukannya adalah menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Dengan segenap
kemampuan dicobanya menahan serangan kaki yang terjulus lurus dari seseorang
yang bersembunyi dibawah pohon kecik itu.
Segera
saja terjadi benturan yang dahsyat tapi tidak seimbang. Tampak perwira
pendamping itu terlontar beberapa langkah kebelakang kemudian jatuh terguling
guling. Untuk menghindari serangan susulan, perwira pendamping itu justru
berguling beberapa kali lagi untuk kemudian meloncat berdiri dengan sigap, siap
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Perwira
separo baya yang melihat sasaran serangannya justru bergerak menyerang ke arah
perwira pendampingnya segera menyadari kesalahannya. Dengan sebuah loncatan
panjang, diapun memburu lawannya yang kini sudah siap melontarkan serangan
berikutnya kearah perwira pendampingnya.
Sejenak
kemudian pertempuran sengitpun telah terjadi. Dua orang perwira yang sedang
bertugas malam itu melawan seseorang yang belum diketahui jati dirinya yang
mencoba menyusup ke dalam lingkungan istana kepatihan di malam itu.
Namun
tampaknya kedua perwira yang sedang bertugas malam itu semakin lama terlihat
semakin terdesak. Itu terlihat dari gerak mereka yang selalu meloncat mudur
menghindari serangan yang membadai dari lawannya.
Ketika
serangan demi serangan dari lawannya sudah tak tertahankan lagi, dengan sebuah
isyarat, perwira separo baya itu pun kemudian segera mencabut senjatanya
diikuti oleh perwira pendampingnya.
Lawannya
sejenak termangu mangu, namun kemudian dengan menggeram dia berkata, “Persetan
dengan curut curut seperti kalian ini, senjata kalian sama sekali tidak ada
gunanya. Setajam apapun pedang keprajuritan kalian, tidak akan mampu menggores
kulitku seujung rambut pun. Bahkan senjata itu akan dapat berbahaya bagi kalian
sendiri.”
Selesai
berkata demikian, orang yang mencoba menyusup istana kepatihan itupun segera
memulai serangannya lagi yang membadai. Gerumbul gerumbul bagaikan terputar
oleh angin prahara begitu tersentuh oleh tangannya dan ranting rantingpun
berhamburan bercampur dengan air hujan serta dedaunan yang hancur lumat
tersentuh ilmunya yang nggegirisi.
Segera
saja pertempuran yang hiruk pikuk itu telah menarik perhatian beberapa prajurit
yang sedang bertugas malam itu. Empat prajurit yang sedang betugas di gerbang
sebelah utarapun segera berlari larian mendekat. Sementara beberapa prajurit
yang menjaga pintu butulan telah membagi tugas. Setelah menutup pintu butulan
dan menyelaraknya dengan kuat, maka sebagian prajurit telah menggantikan tugas
prajurit yang menjaga gerbang di sisi utara, yang karena tergesa gesa sehingga
pintu gerbang sebelah utara telah mereka tinggalkan begitu saja, sedangkan sebagian
ada yang ikut berlari larian menuju ke tempat pertempuran itu terjadi.
Hujan
yang turun cukup deras malam itu perlahan mulai mereda, namun titik titik air
masih saja turun membasahi halaman istana kepatihan. Mendung yang menghitam
telah menipis dan perlahan mengalir ketimur tertiup oleh angin malam. Bulan
tuapun mulai menampakkan wajahnya yang sendu.
Dalam
pada itu, orang yang berusaha menyusup kedalam istana kepatihan itu pun telah
meningkatkan serangannya. Ranting ranting dan dahan dahan pepohonan di halaman
samping istana kepatihan itu bagaikan di guncang prahara. Sementara setiap
sentuhan tangannya menimbulkan bekas yang mendebarkan, kulit kulit pepohonan
terkelupas dan hangus terbakar.
Orang
yang menyusup istana kepatihan itu agaknya sudah hampir menyelesaikan tugasnya,
melumpuhkan dua orang perwira yang bertugas malam itu, ketika tiba tiba saja
ditengah tengah pertempuran yang sengit itu terdengar bunyi cambuk meledak,
tidak begitu keras namun getarannya bagaikan merontokkan isi dada.
Dengan
mengumpat kasar, orang yang berusaha menyusup istana kepatihan itu pun meloncat
beberapa langkah surut. Diedarkan pandangan matanya disekeliling medan
pertempuran. Tampak seseorang yang berperawakan tegap berdiri dihadapannya
beberapa langkah, tangan kanannya memegang pangkal cambuknya, sedangkan juntai
cambuk itu dipegangnya dengan tangan kiri.
“Ki
Rangga Agung Sedayu,” desis orang itu di dalam hati. Walaupun malam tidak
begitu terang karena hanya sepotong bulan tua yang menerangi halaman istana
kepatihan sebelah utara, namun orang itu yakin bahwa yang sedang berdiri
dihadapannya kini adalah murid tertua dari orang bercambuk, menilik dari
kekuatan getaran cambuknya yang mampu merontokkan isi dada.
Ki
Rangga Agung Sedayu dan Ki Mandaraka ternyata telah hadir di tempat itu.
Keributan yang ditimbulkan oleh pertempuran di dekat dinding halaman kepatihan
sebelah utara itu ternyata telah menarik perhatian mereka berdua.
Dengan
sebuah isyarat, ki Rangga Agung Sedayu memerintahkan beberapa prajurit yang
telah mengepung diseputar dinding utara kepatihan itu untuk menolong memapah
kedua perwira yang bertugas malam itu ketempat yang aman. Keadaan kedua perwira
itu cukup parah. Beberapa goresan luka silang melintang ditubuhnya. Tidak ada
darah setetes pun yang menitik dari luka tersebut, namun luka itu justru
bagaikan terbakar dan meninggalkan bekas yang mengerikan.
“Apakah
aku berhadapan dengan prajurit linuwih, agul agulnya Mataram yang bernama Ki
Rangga Agung Sedayu?” tiba tiba saja orang itu bertanya sambil menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
Pada
dasarnya, Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang jujur yang tidak pernah
berusaha menyembunyikan jati dirinya, maka jawabnya tanpa tedeng aling aling,
“Dugaanmu benar Ki Sanak, engkau berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Kalau aku boleh bertanya, siapakah Ki Sanak dan ada keperluan apakah Ki Sanak
malam malam begini berkunjung ke istana kepatihan Ki Patih Mandaraka?”
Tiba
tiba saja orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu tertawa
tergelak. Sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, tanpa dapat
diketahui dari mana datangnya, kedua tangan orang itu masing masing sudah
menggenggam sebilah pisau belati. Hanya dalam sekejab sebelum Ki Rangga Agung
Sedayu menyadari apa yang akan terjadi, dua larik sinar menyambar kearah
dadanya.
Terkejut
Ki Rangga Agung Sedayu, tidak mungkin baginya menghindari sambaran kedua belati
itu dengan menloncat ke atas mengingat dapat membahayakan para prajurit yang
berdiri di belakangnya, maka satu satunya jalan hanyalah dengan memutar
cambuknya membentuk pusaran angin yang menghisap kedua belati tersebut sehingga
runtuh tepat di depan ujung kakinya.
Tidak
ada seorangpun yang menduga bahwa serangan itu adalah sekedar usaha orang itu
untuk mengalihkan perhatian, bahkan ki Patih Mandaraka yang berdiri dua langkah
disamping Ki Rangga Agung Sedayupun terlambat menyadarinya. Hanya dalam
beberapa kejab orang itu sudah bertengger diatas tembok pembatas istana
kepatihan sebelah utara setelah terlebih dahulu memecahkan kepungan para prajurit
dengan mudahnya, dua orang prajurit yang berdiri diarah belakangnya telah rebah
di tanah tanpa bergerak sama sekali.
Sambil
memperdengarkan suara tertawanya yang menggelegar, bayangan itupun segera
meloncat hilang di balik dinding. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Patih
Mandaraka justru tidak berusaha mengejarnya. Adalah sangat berbahaya melompati
dinding sementara mereka tidak mengetahui bahaya yang tersembunyi dibaliknya.
“Sudahlah
Ki Rangga, “ desis Ki Patih membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu,
“Marilah kita kembali, biarlah segala sesuatunya diurus oleh prajurit yang
sedang bertugas.”
Ki
Rangga Agung Sedayu hanya dapat mengangguk anggukan kepalanya sambil menarik
nafas dalam dalam. Segala sesuatunya masih gelap baginya, namun sebagi seorang
prajurit yang linuwih, sebenarnya Ki Rangga Agung Sedayu merasakan getaran aneh
pada panggraitanya atas kejadian yang baru saja terjadi. Seolah olah dia merasa
bahwa kehadiran orang tersebut hanya sekedar mengalihkan perhatiannya atas
peristiwa yang lain yang mungkin telah menjadi rencana dari golongan tertentu.
Atas
perintah Ki Patih, kedua perwira yang terluka itu telah diangkat dan
dibaringkan di pendapa. Sedangkan kedua prajurit yang dilumpuhkan oleh orang
yang berusaha menyusup ke istana kepatihan malam itu ternyata hanya pingsan.
Dengan memijat bagian tertentu dari tubuh kedua prajurit yang pingsan itu, Ki
Patih telah berhasil membuat mereka tersadar kembali.
Kawan
kawanya tersenyum ketika melihat betapa kedua prajurit itu menjadi kebingungan
setelah mereka menyadari keadaan yang sebenarnya. Bahkan ada yang tidak dapat
menahan tertawanya ketika salah seorang dari kedua prajutrit yang pingsan itu
terlihat kebingungan setelah menyadari bahwa dia telah kehilangan senjatanya.
Seorang kawannya ternyata secara diam diam telah melolos pedangnya dan
menyembunyikannya ketika dia mulai menyadari keadaannya akibat pijatan pada
bagian khusus di tubuhnya oleh Ki Patih Mandaraka.
“He,
dimana pedangku,” geram prajurit yang baru sadar dari pingsannya dan baru menyadari
bahwa pedang keprajuritannya tidak berada di sarungnya.
“Apakah
engkau yakin tidak lupa membawa pedangmu saat berangkat bertugas?” bertanya
salah seorang kawannya sambil tersenyum senyum.
“Jangan
bergurau, “ bentak prajurit yang kehilangan pedangnya itu, “Pedang bagi seorang
prajurit adalah sama harganya dengan nyawanya, dalam pertempuran kehilangan
pedang sama artinya kehilangan nyawa.”
“Jadi
bagaimana mungkin engkau masih hidup sampai sekarang sedangkan engkau telah
kehilangan nyawamu?”
“Gila,”
sekali lagi prajurit yang kehilangan pedangnya itu menggeram, “Hentikan
permainan gila ini atau kalian akan berurusan dengan perwira yang bertugas
malam ini.”
Kawan
kawannya saling berpandangan sejenak, namun kemudian seseorang telah menunjuk
kearah pendapa sambil berdesis, “Kedua perwira yang bertanggung jawab malam ini
sedang terluka, mungkin diperlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan keadaan
mereka seperti sedia kala.”
Prajurit
yang kehilangan pedangnya itu sejenak termangu mangu, namun kemudian jawabnya,
“Akan segera ditunjuk perwira penggantinya malam ini juga. Kepadanya aku akan
melaporkan ulah gila kalian ini. Dalam keadaan yang genting, kalian masih saja
sempat bergurau, bahkan gurauan yang tidak masuk akal sama sekali, mencuri
pedangku disaat aku pingsan.”
“Pingsan
atau tidur?” tiba tiba salah seorang kawannya menyelutuk.
Segera
saja terdengar tertawa yang berderai derai dari para prajurit yang sedang
mengerumuni kedua kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu.
Prajurit
yang kehilangan pedangnya itu kelihatannya tidak mau meladeni ulah kawan
kawannya yang semakin gila. Dengan tergesa gesa diapun bangkit berdiri, tetapi
alangkah terkejutnya ketika dia sedang menundukkan kepalanya sambil mengibas
ngibaskan debu yang melekat di kain panjangnya, matanya tertumbuk pada sebuah
pedang yang tergeletak hanya berjarak satu jengkal saja dengan ibu jari
kakinya.
Sambil
bersungut sungut, prajurit itupun kemudian membungkukkan badannya untuk
mengambil pedang yang tergeletak hanya sejengkal di depannya. Setelah sejenak
mengamat amati dan yakin bahwa itu adalah pedangnya sendiri, tanpa banyak cakap
segera saja pedang itu disarungkannya.
Ketika
kemudian prajurit itu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, terdengar
kawan kawannya masih sempat berbisik bisik, “He, dia telah menemukan nyawanya
kembali.”
“Semoga
lain kali dia tidak meletakkan nyawanya sembarangan.”
Namun
prajurit yang telah menemukan senjatanya itu telah jauh dan memang dia tidak
ingin meladeni gurauan kawan kawannya yang baginya keterlaluan dan tidak masuk
akal.
Dalam
pada itu, Ki Patih dan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak masih menyempatkan diri
untuk mengamati luka luka yang di derita oleh dua orang perwira yang bertugas
jaga malam itu. Sambil mengerutkan keningnya, mereka berdua menjadi berdebar
debar ketika melihat dari dekat akibat yang ditimbulkan oleh luka itu. Kulit
kedua perwira itu melepuh bagaikan tersentuh bara api yang terbuat dari
tempurung kelapa.
Keduanya
sejenak masih mencoba mengurai kemungkinan pengenalan mereka atas luka luka yang
diderita oleh kedua perwira itu. Sejauh yang dapat dikenali oleh Ki Patih,
memang ada beberapa perguruan yang mampu melepaskan kekuatan ilmunya melalui
sentuhan jari jari tangannya. Getaran ilmu itu dapat tersalurkan melalui ujung
ujung jari dan dapat menimbulkan panas yang dapat membakar apa saja yang
disentuhnya.
“Aku
mengenal sebuah perguruan di daerah Madiun yang terletak didekat sebuah telaga
yang cukup luas. Mereka menyebut perguruan itu perguruan Liman Benawi, gabungan
nama dari letak perguruan itu yang berada di tepi telaga dan seekor gajah
peliharaan dari pemilik padepokan yang menyebut dirinya sebagai Ki Wasi
Jaladara.”
“Apakah
perguruan itu mempunyai sikap tertentu terhadap perkembangan Mataram, Ki
Patih?”
“Perguruan
itu tidak ikut campur ketika terjadi pertempuran antara Mataram dan Madiun
beberapa waktu yang lampau. Namun ada satu hal yang menarik dari perguruan itu,
kesenangannya untuk mengumpulkan benda benda pusaka, baik berupa keris, pedang,
tombak maupun batu batu bertuah. Bahkan kitab kitab kunapun tidak luput dari
perburuan mereka. Sebenarnyalah kekuatan mereka itu tercipta dari gabungan
segala yang mereka dapatkan itu untuk diteliti dan dipelajari hubungan yang
mungkin dapat ditimbulkan diantara mereka yang kemudian akan luluh menjadi
sebuah ilmu baru yang nggegirisi.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Panggraitanya yang tajam telah
mengisyaratkan kepadanya bahwa sesuatu agaknya sedang mengancam keselamatan
dirinya. Namun ki Rangga tidak mampu mengurai apakah sebenarnya yang sedang dan
akan terjadi diseputar diri pribadinya itu.
“Marilah
Ki Rangga,” berkata Ki Patih Mandaraka sambil berjalan masuk ke pringgitan,
“Biarlah tabib yang berwenang mengurus mereka yang terluka.”
“Ki
Patih,” tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menyela sehingga langkah Ki Patih yang
sudah hampir mencapai pintu pringgitan terhenti sejenak
Sambil
berpaling Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya dalam dalam, kemudian
katanya, “Adakah sesuatu yang memberati hatimu Ki Rangga?”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki
Patih, “Sesungguhnya ini hanyalah kekawatiran dari seseorang yang berjiwa
kerdil saja Ki Patih. Jika aku diijinkan, malam ini juga aku akan kembali ke
Menoreh.”
“Malam
ini Juga?” terheran heran Ki Patih sambil berjalan kembali mendekati Ki Rangga
Agung Sedayu.
“Apakah
Ki Rangga mencemaskan keluarga yang ada di Menoreh sehubungan dengan kedatangan
orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan tadi?”
“Ampun
Ki Patih, justru pengenalan orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan
tadi tentang diriku, membuat aku berpikir tentang keselamatan keluarga yang ada
di Menoreh.”
“Bukankah
Ki Jayaraga masih tinggal di rumahmu?”
“Benar
Ki Patih.”
“Seseorang
yang ingin berbuat jahat terhadap keluarga Ki Rangga, aku kira harus berpikir
seribu kali. Ki Jayaraga adalah seorang yang linuwih, apalagi masih ada
istrimu yang tidak bisa dipandang sebelah mata kemampuannya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu sejenak menjadi ragu ragu. Berbagai pertimbangan berkecamuk
didalam hatinya.
Akhirnya
Ki Rangga Agung Sedayu pun menyampaikan juga kepada Ki Patih tentang keadaan
sebenarnya yang dialami oleh istrinya.
“Ampun
Ki Patih, akhir akhir ini Sekar Mirah harus banyak beristirahat, latihan olah
kanuragan dan pemusatan ilmu yang diwarisi dari Ki Sumangkar, telah dua bulan
ini tidak pernah diungkapkannya baik dalam bentuk kewadagan maupun hanya dalam
bentuk pemusatan nalar dan budi.”
Wajah
Ki Patih menjadi bersungguh sungguh mendengarkan penjelasan dari Ki Rangga
Agung Sedayu, lalu katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya,
“Bersyukurlah
kepada Yang Maha Agung atas karunia ini, Ki Rangga. Di usia yang mulai merambat
senja, justru karunia itu telah datang. Betapa memang kekuasaan Yang Maha Agung
itu sungguh tak terbatas. Bahkan di dalam kitab suci yang kita yakini,
diceritakan tentang salah satu utusanNYA yang mendapat karunia momongan justru
pada saat usia utusan itu sudah sangat tua, dan istrinya pun sudah dianggap
mandul oleh para pengikutnya.”
Dada
Ki Rangga Agung Sedayu tergetar mendengar uraian dari Ki Patih. Hatinya benar
benar diliputi rasa syukur yang tiada terkira atas segala karunia yang telah
dilimpahkan kepada diri dan keluarganya.
”Baiklah
Ki Rangga, kalau memang itu menjadi landasan pertimbanganmu, sebaiknya
pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, engkau dapat kembali ke Menoreh. Aku
kira malam ini tidak akan terjadi apa apa. Seandainya orang yang berusaha
menyusup istana kepatihan itu ingin mengganggu keluarga yang ada di Menoreh,
diperlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai Menoreh. Mungkin setelah
matahari terbit baru sampai di Menoreh, dan di siang hari adalah kemungkinan
yang sangat kecil untuk berbuat onar di Tanah Perdikan Menoreh. Itu sama saja
dengan mencari mati.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Memang apa yang telah
disampaikan oleh Ki Patih itu adalah hal yang sangat masuk akal menurut
perhitungan nalar.
Glagah
Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi mendengarkan cerita dari Ki Rangga Agung
Sedayu hanya dapat terpekur diam. Mereka berdua tidak mampu untuk mengurai
kejadian yang saling tumpang tindih antara hilangnya kitab perguruan Windujati
dan tujuan seseorang yang berusaha menyusup ke istana Kepatihan.
“Mengapa
orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu justru melarikan diri
setelah mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah Ki Rangga Agung Sedayu?”
bertanya Rara Wulan seolah olah kepada dirinya sendiri.
“Tentu
saja dia takut menghadapi Kakang Agung Sedayu, Wulan.” Glagah Putih yang duduk
didepannya menyahut.
“Tentu
tidak,” Ki Rangga Agung Sedayu lah yang menjawab sambil menggeleng gelengkan
kepalanya, “kalau seandainya ada yang ditakuti oleh orang itu, Ki Patih
Mandaraka lah yang seharusnya lebih ditakuti. Tetapi kenapa justru dia berusaha
menyusup ke istana Kepatihan?”
“Kakang
benar,” sahut Glagah Putih, “Seandainya orang itu mempunyai perhitungan yang
waras, tidak mungkin dia akan berusaha menyusup ke istana Kepatihan jikalau dia
tahu benar bahwa Ki Patih sedang berada di Kepatihan.”
“Apakah
mungkin orang tersebut hanya ingin menarik perhatian atas penghuni istana
kepatihan untuk meyakinkan atas pengamatannya siapa sajakah yang sedang tinggal
di istana Kepatihan malam itu?” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan lahan.
Tiba
tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu terlonjak dari tempat duduknya bagaikan
disengat kalajengking ketika menyadari kemungkinan itu dapat saja terjadi.
“Jadi
kesimpulan apakah yang dapat kita tarik dari semua kejadian itu?” bertanya
Glagah Putih dengan berdebar debar.
Ki
Rangga Agung Sedayu termenung sejenak, perlahan lahan dia menengadahkan
wajahnya, lalu dilemparkannya pandangan matanya ke titik titik di kejauhan.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu tanggapan Ki Rangga Agung
Sedayu dengan jantung yang berdebar debar.
“Seandainya
orang itu hanya ingin meyakinkan keberadaanku malam itu di istana Kepatihan,
dapat dipastikan bahwa dia tidak berdiri sendiri, ada sekelompok atau mungkin
lebih dari dua orang yang berkepentingan dengan keterangan tentang keberadaanku
malam itu, sehingga mereka punya landasan yang kuat untuk melaksanakan rencanya
mereka selanjutnya.”
“Dan
langkah mereka selanjutnya adalah mencuri kitab peninggalan Kiai Grinsing.”
Sahut Rara Wulan berapi api.
“Mengapa
engkau menarik kesimpulan seperti itu, Rara?” tanya Glagah putih dengan cepat.
“Bukankah
mereka yakin rencananya akan berjalan lancar karena mereka tahu bahwa Kakang
Agung Sedayu tidak ada di rumah?”
“Bagaimana
dengan Ki Jayaraga?” giliran Ki Rangga Agung Sedayu yang bertanya.
Tiba
tiba Rara Wulan meluncur turun dari batu tempat duduknya. Kemudian dia berjalan
dengan cepat mendekat ke Glagah Putih, sambil mengguncang guncangkan lengan
Glagah Putih, Rara Wulanpun berseru, “Kakang, bukankah Kakang hapal sekali
dengan kebiasaan Ki Jayaraga yang selalu berangkat ke sawah pagi pagi sekali?”
“He,”
Glagah Putih tersentak mendengar pertanyaan Rara Wulan.
“Dan
Nyi Sekar Mirah sudah terbiasa ke pasar setiap pagi. Jadi hanya Sukra yang
biasanya menjaga rumah di pagi hari.” Tambah Rara Wulan.
“Memang
sekembalinya aku dari Mataram menjelang sore di hari itu. Aku tidak menjumpai
Sukra sama sekali, bahkan beberapa lembar pakaiannya pun telah dibawanya
pergi.” Berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kejadian
itu mungkin saja terjadi pada saat di rumah hanya ada Sukra, Kakang.” Kini
giliran Glagah Putih yang memberikan pendapatnya.
“Apalah
artinya Sukra menghadapi orang orang yang bermaksud jahat itu jika seandainya
memang benar kelompok dari orang yang berusaha menyusup di Istana Kepatihan itu
yang melakukan pencurian kitab peninggalan Kiai Gringsing.” Potong Rara Wulan.
“Tetapi
mengapa Sukra harus pergi meninggalkan rumah seandainya benar dia tidak
bersalah?” bantah Glagah Putih tidak mau kalah.
“Kemungkinannya
hanya satu,” sahut Rara Wulan cepat, “Sukra pergi dari rumah bukan atas
kemauannya sendiri, tapi atas kehendak orang lain.”
“Maksudmu
diculik?” hampir berbareng Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih bertanya.
“Ya,”
jawab Rara Wulan mantap, seolah olah dia sudah dapat merangkai semua kejadian
itu menjadi suatu urutan cerita yang runtut.
Ki
Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan. Hati mereka benar
benar diliputi oleh ketegangan yang luar biasa membayangkan Sukra yang mungkin
kini sedang dalam penguasaan sekelompok orang orang yang tak dikenal.
Namun
tanpa sadar tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng gelengkan kepalanya
sambil bergumam, “Seandainya benar Sukra diculik, dia tidak akan mempunyai
kesempatan untuk mengemasi pakaiannya.
”“Ah,”
desah Rara Wulan merasa kecewa karena pendapatnya ternyata masih dapat
dimentahkan dengan kenyataan yang ada, sementara Glagah Putihpun menarik nafas
dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
“Sudahlah,”
akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian dari persoalan
yang cukup memusingkan kepala itu, kemudian lanjutnya, “Dimanakah kalian
tinggal selama ini?”
Glagah
Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak, hati mereka masih diliputi oleh
kegelisahan tentang keberadaan Sukra sehingga pertanyaan dari Ki Rangga Agung
Sedayu itupun seolah olah tidak mereka dengar.
Baru
ketika untuk kedua kalinya Ki Rangga Agung Sedayu mengulangi pertanyaannya,
merekapun bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk.
“Kakang,”
berkata Glagah Putih kemudian, “Kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota
Panaraga, disana kami berkumpul bersama sama dengan para petugas sandi dari
Mataram yang lainnya.”
“Apakah
keberadaan rumah tempat kalian berkumpul itu tidak tercium olah para petugas
sandi dari Kadipaten Panaraga?”
“Kemungkinan
itu sudah ada Kakang, dengan terbongkarnya penyamaran Rara Wulan, kami sudah
berpikir untuk segera menyingkir dari rumah itu sebelum para petugas sandi dari
Kadipaten Panaraga mencium keberadaan kami.”
“Lakukanlah,
semakin cepat semakin baik. Aku tidak bisa bergabung dengan kalian untuk
sementara waktu karena ada tugas khusus yang dibebankan oleh Ki Patih Mandaraka
kepadaku.”
“Baiklah
Kakang, kami segera minta diri untuk kembali ke pondokan kami dan memberi tahu
Ki Madyasta untuk segera menyingkir dari rumah itu.”
Demikianlah,
sebelum berpisah merekapun telah saling menyepakati kapan dan dimana mereka
akan bertemu lagi, tentu saja dengan menggunakan tanda tanda sandi yang dapat
mereka letakkan dimana saja, atau bahkan mereka goreskan di pohon pohon di
pinggir jalan tanpa menarik perhatian sama sekali.
Matahari
telah semakin tinggi ketika kemudian mereka bertiga mengambil jalannya masing
masing, Glagah Putih dan Rara Wulan kembali ke pondokan mereka sedangkan Ki
Rangga Agung Sedayu sejenak masih menelusuri sungai beberapa saat untuk
kemudian naik ketepian kembali ke pusat kota Panaraga.
Sementara
itu di tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga sedang beristirahat melepaskan lelah
setelah menyiangi padi di sawah yang mulai tumbuh subur. Rumput rumput yang
tumbuh disela sela batang padi itu harus disingkirkan agar batang batang padi
bisa tumbuh semakin subur dan akhirnya diharapkan akan menghasilkan bulir bulir
padi yang melimpah.
Ketika
Ki Jayaraga sedang duduk duduk di gubuk sambil melepaskan lelah, tanpa sengaja
pandangan matanya tertumbuk pada dua orang laki laki yang berjalan dengan
tergesa gesa meniti pematang dari arah seberang jalan.
Dua
orang laki laki yang bertubuh kekar dan berwajah keras, sekeras batu padas di
gerojokan. Kumis dan jambang tumbuh sangat lebat hampir menutupi sebagian wajah
mereka, sementara jenggot mereka dibiarkan saja tumbuh liar hampir sebatas
dada.
Dada
Ki Jayaraga menjadi berdebar debar ketika tanpa ragu ragu langkah kedua orang
itu justru menuju ke gubuk tempatnya melepas lelah.
Debar
di jantung Ki Jayaragpun semakin kencang ketika tanpa disengaja pandangan mata
mereka bertemu pada saat kedua orang itu tinggal beberapa langkah saja di depan
gubuk tempat Ki jayaraga melepas lelah.
“Ki
sanak, “ sapa orang yang berperawakan lebih tinggi dari kawannya, “Bukankah Ki
sanak ini yang bernama Jayaraga?”
KI
Jayaraga terkejut, tampaknya orang ini sudah mengenal dirinya atau setidak
tidaknya mendapat gambaran tentang dirinya sebelum datang menemuinya.
Dengan
cepat Ki Jayaragapun bangkit dari tempat duduknya. Segala sesuatunya mungkin
saja terjadi sebelum dia menyadari dengan siapa dia berhadapan.
“Benar
Ki sanak, akulah yang disebut Jayaraga yang tinggal di rumah Ki Rangga Agung
Sedayu, Pemimpin prajurit pasukan khusus dari Mataram yang bertempat di Tanah
Perdikan Menoreh.” Jawab Ki Jayaraga tanpa tedeng aling aling karena dia sudah
mempersiapkan dirinya lahir batin untuk mengahadapi segala kemungkinan yang
terjadi.
Orang
berperawakan tinggi itu mengerutkan keningnya. Tampak dari sinar matanya ada
rasa ketersinggungan dengan jawaban Ki Jayaraga.
“Kakang
Wirapati,” berkata orang yang berperawakan agak pendek kepada kawannya yang
ternyata bernama Wirapati, “Mengapa Kakang masih menggunakan segala unggah
ungguh menghadapi orang yang sudah akan mati ini? Jangan banyak membuang waktu,
segera kita lumpuhkan saja orang tua ini dan kita seret ke rumah Ki Rangga
Agung Sedayu untuk menunjukkan dimana Ki Rangga Agung Sedayu menyimpan kitab
peninggalan gurunya, kitab perguruan Empu Windujati.”
Bagaikan
disambar halilintar di siang hari Ki Jayaraga mendengar perkataan orang yang
berperawakan agak pendek itu, namun sebelum dia menanggapinya, tiba tiba orang
yang bernama Wirapati itu menggeram keras bagaikan geraman seekor singa jantan.
“He
tua bangka Jayaraga, menyerahlah dan ikut kami ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu.
Sejak pagi tadi kami sudah mengaduk isi rumah Ki Rangga Agung Sedayu namun
tidak kami temukan tanda tanda adanya kitab Empu Windujati.”
Berdesir
dada Ki Jayaraga, namun orang tua itu berusaha untuk setenang mungkin
menghadapi hal yang sangat tidak diduganya.
“Sebentar
Ki sanak berdua,” berkata Ki Jayaraga sareh, “Aku tidak begitu mengerti tentang
apa yang kalian bicarakan. Kalian menyebut nyebut kitab peninggalan perguruan
Empu Windujati. Sepengetahuanku perguruan itu telah lama hilang dari muka bumi
sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, bahkan siapa pewaris dari perguruan itupun
tidak ada yang mengetahuinya.”
“Bohong!”
bentak Wirapati, “Semua orang tahu bahwa orang bercambuk yang bernama Kiai
Gringsing itu adalah pewaris dari perguruan Empu Windujati dan Ki Rangga Agung
Sedayu adalah salah satu murid dari Kiai Gringsing. Apakah engkau masih akan
mengingkarinya?”
“Dari
mana Ki sanak mendengar dongeng ngaya wara ini?” bertanya Ki Jayaraga dengan
hati yang berdebar debar. Agaknya sudah bukan rahasia lagi bahwa jalur
perguruan Empu Windujati itu sudah diketahui oleh kebanyakan orang.
Tiba
tiba kedua orang itu tertawa tergelak. Sambil berpaling kearah kawannya,
Wirapati berkata, “Adi Surengpati, tolong beritahu kakek tua ini sebelum
ajalnya menjemput agar tidak penasaran menjelang kematiannya.”
“Baiklah
Kakang,” jawab Surengpati sambil tersenyum senyum kearah Ki Jayaraga,
“Ketahuilah Ki Jayaraga, karena kesombongan murid dari orang bercambuk itu
sendirilah yang telah menyingkap tabir yang selama ini menutupi keberadaan
jalur perguruan Empu Windujati. Hampir semua orang percaya kalau perguruan Empu
Windujati telah lenyap bersamaan waktunya dengan runtuhnya Majapahit. Namun
kini semua orang membicarakan munculnya jalur perguruan itu dalam hubungannya
dengan perguruan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya sebagai orang bercambuk.”
Ki
Jayaraga berdiri termangu mangu. Berbagai pertimbangan bergejolak didalam
hatinya. Bukankah selama ini murid murid orang bercambuk tidak pernah menyebut
diri mereka sebagai pewaris dari jalur perguruan Empu Windujati? Bagaimanakah
hal ini bisa terjadi?
Agaknya
Surengpati bisa menebak jalan pikiran Ki Jayaraga, maka katanya kemudian,
“Murid muda dari orang bercambuk yang bernama Swandaru itulah yang telah dengan
sombong menyebut dirinya pewaris perguruan Empu Windujati. Bahkan dia telah
berani menantang guru kami Kiai Sarpa Kenaka dari perguruan Toya Upas ketika
terjadi perselisihan di arena Langen Tayub antara Swandaru dengan salah seorang
murid perguruan kami.”
Ki
Jayaraga mengerutkan keningnya dalam dalam. Swandaru memang berbeda dengan
Agung Sedayu. Swandaru mempunyai sifat yang cenderung meledak ledak dan hampir
tidak pernah banyak pertimbangan dalam bertindak. Namun rahasia perguruan
seharusnya tetap dijaga, bagaimanapun keadaannya.
“Sudahlah
Ki Jayaraga,” sekarang giliran Wirapati yang berbicara, “Lebih baik engkau
jangan banyak tingkah dan segera tunjukkan kepada kami dimana Ki Rangga Agung
Sedayu menyimpan kitab peninggalan Empu Windujati.”
“Aku
benar benar tidak mengerti Ki sanak,” Ki Jayaraga mencoba untuk memancing keterangan
lebih banyak lagi, “Kalau seandainya benar perguruan orang bercambuk itu adalah
jalur perguruan Empu Windujati yang selama ini terpendam, apakah setiap
perguruan pasti mempunyai sebuah kitab yang diwariskan turun temurun? Hal ini
masih perlu untuk dibuktikan.”
Kembali
kedua orang itu tertawa tergelak gelak. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya
Wirapati menjawab, “He, orang pikun. Ketahuilah, pada saat itu Swandaru dalam
keadaan mabuk berat karena tidak bisa menolak setiap kali Nyi Saimah tledek
yang muda dan cantik itu menyodorkan tuak sebagai penghormatan atas
kesediaannya menghadiri perhelatan pernikahan anak bungsu Ki Jinawi, paman dari
saudara seperguruan kami, Adi Wanengpati yang tinggal di Kademangan Semangkak,
tetangga dari Kademangan Sangkal Putung yang besar.”
“Ya,”
sahut Surengpati, “Dan ternyata anak Ki Demang Sangkal Putung yang gemuk itu
tersinggung ketika Nyi Saimah melayani Kakang Wanengpati untuk menari sedangkan
Swandaru sudah mendapatkan giliran sebelumnya, bahkan berkali kali tanpa ada
seorangpun yang berani menghentikannya.”
“Benar
benar suatu kesombongan yang tiada taranya. Swandaru telah menghentikan Adi
Wanengpati yang justru baru mulai menari diiringi oleh Nyi Saimah.
Pertengkaranpun tidak bisa dihindarkan lagi. Saat itulah, Swandaru dengan licik
telah menyerang Adi Wanengpati tanpa peringatan terlebih dahulu. Bahkan dengan
sombongnya dia telah menantang guru kami seandainya Adi Wanengpati tidak terima
dengan peristaiwa yang telah terjadi.” Berkata Wirapati sambil menggeretakkan giginya.
Debar
di dada Ki Jayaragapun semakin kencang ketika Wirapati meneruskan ceritanya.
“Pada
saat itu guru kami sedang menjalani laku dari puncak ilmu perguruan kami, tapa
kungkum selama empat puluh hari empat puluh malam sehingga tidak bisa diganggu.
Ketika hal itu disampaikan Adi Wanengpati kepada Swandaru, dengan sombongnya
dia mengatakan sanggup menunggu sampai kapanpun laku itu akan berakhir, bahkan
diapun tak mau kalah telah mengatakan dalam waktu dekat akan menjalani laku
sebuah ilmu dari kitab peninggalan perguruan Empu Windujati yang sekarang
sedang berada di tangan kakak seperguruannya, Ki Rangga Agung Sedayu yang bulan
depan akan diserahkan kepadanya sesuai dengan giliran yang telah disepakati,
karena masih menurut pengakuannya, mereka berdua adalah pewaris dari jalur
perguruan Empu Windujati yang telah lama menghilang.”
Kini
Ki Jayaraga benar benar tidak bisa menghindar lagi karena ternyata rahasia itu
telah diungkapkan oleh Swandaru sendiri, salah seorang murid Kiai Gringsing
yang mempunyai jalur langsung dari perguruan Empu Windujati.
“Sudahlah
Ki Jayaraga,” berkata Wirapati selanjutnya, “Semua perguruan yang ada di tanah
ini telah menyebarkan murid muridnya untuk memburu kitab peninggalan Empu
Windujati. Pada saat kami memasuki Tanah Perdikan ini, menilik ciri ciri yang
mereka kenakan, kami telah mengenali murid murid dari perguruan Liman Benawi
dari Madiun, Sasadara dari Blitar, Brajamusti dari pegunungan kapur, bahkan
dari perguruan yang ada di ujung timur pulau inipun telah mengirimkan muridnya,
perguruan Harga Belah di tlatah Blambangan.”
“Perguruan
Harga Belah dari Blambangan?” tanya Ki jayaraga tanpa disadarinya.
“Ya,
perguruan Harga Belah yang dipimpin oleh Kiai Harga Jumena dengan Aji
kebanggaannya Aji Harga Belah yang mampu membelah gunung sebesar apapun.”
Ki
Jayaraga benar benar tidak tahu apa yang seharusnya diperbuat menghadapi
keadaan yang tidak terduga sama sekali itu. Tanah Perdikan Menoreh benar benar
telah kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran justru pada saat Ki
Rangga Agung Sedayu sedang melawat ke Timur, ke Kadipaten Panaraga.
“Nah,
Ki Jayaraga,” berkata Surengpati sambil melangkah maju, “Kami harap engkau
tidak banyak tingkah, semua perguruan sekarang sedang berlomba mencari dimana
kitab itu disimpan, dan sebagai orang yang tinggal serumah dengan Ki Rangga
Agung Sedayu, setidaknya engkau pernah melihat atau bahkan mengetahui dimana
kitab itu disimpan.”
Ki
Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Tidak ada pilihan lain baginya selain harus
menyingkirkan kedua orang itu sebelum menemui Ki Argapati dan Prastawa untuk
membicarakan keselamatan dan keamanan Tanah Perdikan Menoreh sehubungan dengan
kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran yang dapat mengganggu
sendi sendi kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh.
Perlahan
lahan Ki Jayaraga mengambil jarak beberapa langkah dari kedua orang itu,
kemudian katanya, “Ki sanak berdua, aku tahu kalian adalah murid murid
perguruan Toya Upas yang sangat senang bermain main dengan racun, namun aku
tidak perduli, yang jelas aku tidak akan menyerah begitu saja, terserah Ki
sanak menanggapi sikapku ini.”
Sejenak
kemudian, Ki Jayaraga telah memusatkan nalar budinya untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Wirapati
dan Surengpati saling berpandangan sejenak. Mereka sudah menduga bahwa Ki
Jayaraga akan mengambil keputusan untuk melawan. Pengenalan mereka terhadap Ki
Jayaraga memang kurang lengkap, namun mereka tidak menganggap Ki Jayaraga
hanyalah petani biasa yang ikut tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu dan
dipasrahi untuk mengurus sawah dan ladang. Menurut pengamatan mereka setidaknya
Ki Jayaraga adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menjaga dirinya
sendiri.
“Baiklah,“
akhirnya Wirapati yang menjawab, “Kami dari perguruan Toya Upas di lereng
Gunung Lawu tidak berkeberatan untuk mengantarkan selembar nyawamu ke alam
kelanggengan dengan penuh kejantanan.”
Selesai
berkata demikian, kedua orang murid perguruan Toya Upas dari lereng Gunung Lawu
itu pun segera bergerak memisahkan diri. Wirapati yang lebih tua ternyata telah
menempatkan diri disisi kanan Ki Jayaraga, sedangkan Surengpati yang lebih muda
diarah sebaliknya.
Ada
yang menarik perhatian Ki Jayaraga pada kedua orang murid perguruan Toya Upas
itu ketika keduanya mulai bergerak. Jari jari tangan yang mengembang itu
ternyata berkuku panjang panjang dan berwarna kehitam hitaman, menandakan
adanya kandungan racun yang sangat ganas dan keji.
Wirapati
yang berada di sebelah kanan Ki Jayaraga perlahan menjulurkan kedua tangannya
kedepan, dengan jari jari yang mengembang layaknya cakar seekor rajawali,
ditekuknya lutut kaki kanannya sedikit merendah. Kemudian dengan bentakan yang
menggelegar dia meloncat menubruk kearah dada Ki Jayaraga.
Dengan
tenang Ki Jayaraga menarik kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan kedudukan
badan yang setengah condong kekanan, tiba tiba Ki Jayaraga mengangkat lutut
kaki kirinya menyambut datangnya serangan Wirapati yang meluncur bagaikan
tatit. Dengan meluruskan kaki kiri yang diangkat, tumit kaki kiri Ki Jayaraga
pun menjulur berusaha menghantam perut Wirapati.
Wirapati
sama sekali tidak berusaha menghindar dari serangan Ki Jayaraga, justru arah
serangan kedua tangannya kini berubah arah untuk dibenturkan dengan tumit kaki
kiri Ki Jayaraga.
Ki
Jayaraga terkejut. Dengan cepat direbahkannya tubuhnya yang sudah dalam keadaan
condong kekanan itu untuk menghindari tumit kaki kirinya berbenturan dengan
jari jari Wirapati yang beracun. Sebagai gantinya, bersamaan dengan ditariknya
kaki kirinya, dalam keadaan rebah disawah yang berlumpur, kaki kanannya menebas
deras kearah kaki Wirapati yang baru saja menjejak di tanah.
Wirapati
mendengus marah mendapat serangan yang tak terduga dari Ki Jayaraga. Dengan
sebelah kaki yang baru saja menjejak tanah, dilontarkan tubuhnya kedepan sambil
berguling menghindari sambaran kaki Ki Jayaraga.
Ketika
keduanya telah berdiri kembali diatas kaki kaki mereka yang kokoh, pakaian
kedua orang itu ternyata telah basah kuyup dan berlepotan lumpur. Bahkan wajah
Wirapati hampir tidak dapat dikenali lagi karena lumpur yang melumuri hampir
seluruh wajahnya.
Surengpati
hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat ujud kedua orang itu. Namun
segera saja ditahannya dengan susah payah ketika tanpa disengaja pandangan
matanya terbentur pada sorot mata Wirapati yang menyala.
Sejenak
kemudian Surengpati pun segera melibatkan dirinya dalam kancah pertempuran yang
sengit. Batang batang padi yang mulai tumbuh subur itu hancur terinjak injak
oleh kaki kaki mereka yang sedang bertempur. Medan yang cukup sulit bagi orang
kebanyakan, ternyata tidak menjadi halangan yang berarti bagi mereka yang
sedang bertempur itu. Bahkan kadang kadang murid murid dari perguruan Toya Upas
yang terbiasa bertempur dengan kasar dan sedikit liar itu telah memanfaatkan medan
yang berlumpur untuk berbuat curang. Dengan sengaja mereka sesekali menendang
seonggok lumpur atau dengan tangannya meraih segenggam lumpur untuk kemudian
dilemparkan kewajah lawannya.
Ki
Jayaraga adalah orang yang sudah pernah menjalani hidup di dunia hitam hampir
sepanjang umurnya sebelum bertemu dengan Kiai Gringsing. Menghadapi cara
bertempur lawannya itu dia sama sekali tidak terkejut. Justru lawan-lawannyalah
yang terkejut melihat tandang Ki Jayaraga. Walaupun secara wadag Ki Jayaraga
sudah tidak dapat dikatakan muda lagi, namun tenaganya benar benar ngedab
edabi.
Ada
satu hal yang membuat Ki Jayaraga harus lebih berhati hati dan selalu waspada.
Kedua lawannya itu ternyata selalu berusaha untuk membenturkan jari-jari
tangannya dengan bagian tubuh Ki Jayaraga yang manapun juga. Bahkan setiap kali
Ki Jayaraga menyerang dengan tangan maupun kakinya, mereka tidak pernah
berusaha mengelak. Dengan tatag semua serangan itu berusaha dibenturkannya
dengan jari-jari tangan mereka yang berkuku tajam dan berwarna hitam.
Memang
sudah menjadi kebiasaan murid murid perguruan Toya Upas yang senang bermain
main dengan racun. Segores tipis saja dari kuku-kuku jari mereka di kulit
lawannya, sudah cukup untuk mengantarkan nyawa mereka ke alam baka. Menyadari
betapa berbahayanya kuku-kuku jari lawannya, Ki Jayaraga mulai mengetrapkan
ilmunya atas penguasaan unsur unsur air, udara dan api. Beberapa saat kemudian
terasa oleh lawan lawan Ki Jayaraga, betapa udara diseputar mereka bertempur
perlahan lahan telah berubah menjadi panas.
Matahari
memang sedang bersinar dengan teriknya. Agaknya sebentar lagi matahari akan
segera tergelincir dari puncaknya menuju ke langit sebelah barat. Namun panas
yang dirasakan oleh lawan lawan Ki Jayaraga terasa tak tertahankan lagi. Seolah
olah mereka sedang berjerang di depan tungku perapian seorang pande besi.
Sementara
itu di pendapa rumah Ki Gede Menoreh, Prastawa dan Ki Jagabaya sedang menghadap
Ki Argapati.
“Jadi
kalian belum dapat mengambil suatu kesimpulan, siapakah orang orang asing yang
mendatangi Tanah Perdikan Menoreh ini?” Ki Argapati bertanya sambil memandang
kepada kedua orang yang duduk di depannya.
“Belum,
Paman,” jawab Prastawa, “Mereka yang hadir di Menoreh ini memiliki ujud yang
berbeda beda, maksudku cara berpakaian maupun bertingkah laku. Ada yang kasar
dan sedikit liar, ada yang tampak sangat rapi dan sopan, bahkan ada segolongan
orang yang berpakaian aneh-aneh dan membawa binatang piaraan yang tidak wajar,
seperti seekor ular bandotan yang besar, biawak, landak dan sebagainya.”
“Benar
apa yang disampaikan Anakmas Prastawa itu,Ki Gede,” Ki Jagabaya menambahkan,
“Namun sejauh ini mereka belum menampakkan ulah yang dapat meresahkan kehidupan
Tanah Perdikan ini.”
Ki
Gede Menoreh sejenak termangu mangu. Sebagai orang yang sudah kenyang makan
asam garamnya kehidupan ini, nalurinya mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya
kembali tanah ini akan diguncang oleh peristiwa yang dahsyat. Api akan kembali
membakar bukit Menoreh, membakar kehidupan Tanah Perdikan yang tenang dan damai
ini.
Perlahan
lahan matahari mulai tergelincir ke barat. Angin sore yang kering bertiup
menggugurkan daun daun pohon mangga yang tumbuh di sebelah kanan pendapa rumah
Ki Gede Menoreh. Seekor induk ayam dan anak anaknya tampak berkeliaran di bawah
pohon mangga sambil mengais ngais tanah di bawahnya, mencari sesuatu yang
mungkin dapat diberikan untuk anak anaknya.
Selagi
ketiga orang itu merenungi maksud dan tujuan dari orang orang yang berdatangan
ke Tanah Perdikan Menoreh dengan segala macam ujud dan tingkah lakunya, tiba
tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang berlari lari di sepanjang
jalan yang menuju rumah Ki Gede Menoreh.
Dua
orang pengawal yang menjaga regol depan segera bersiap siaga menghadapi segala
kemungkinan. Pertama tama mereka mengira bahwa yang berlari lari di sepanjang
jalan menuju rumah Ki Gede itu adalah orang gila menilik dari ujudnya yang
aneh. Pakaiannya compang camping dan berlepotan lumpur. Rambutnya yang riap
riapan dan bercampur lumpur itu menutupi sebagian wajahnya sehingga untuk
sesaat agak menimbulkan kesulitan bagi seseorang untuk mengenalinya.
Ketika
langkah orang yang sekujur tubuhnya berlepotan lumpur itu tinggal beberapa
langkah saja dari regol rumah Ki Gede, dua orang pengawal itupun segera
merundukkan tombaknya.
Sejenak
orang itu menjadi ragu ragu, namun kemudian katanya sambil menyibakkan
rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya, “He, apakah kalian tidak mengenalku?
Hampir setiap sore aku mengunjungi rumah ini, dan menjelang tengah malam baru
aku kembali. Siapapun yang bertugas saat itu pasti mengenalku.”
Dua
orang pengawal itu mencoba melangkah mendekat untuk lebih mengenal lekuk lekuk
wajahnya. Mereka berdua hampir saja berteriak sekeras kerasnya ketika orang
yang berlepotan lumpur itu berusaha mengusap wajahnya dengan kedua tangannya
yang kotor.
“Ki
Jayaraga..? He, engkaukah itu, Ki..?” teriak kedua pengawal itu hampir
bersamaan.
Ketiga
orang yang sedang duduk duduk di pendapa itupun terlonjak kaget begitu
mendengar teriakan dari kedua pengawal yang sedang bertugas menjaga regol depan
rumah Ki Gede. Dengan segera ketiganya pun berdiri dan menghambur menuruni
tangga pendapa menuju ke regol depan.
“Ki
Jayaraga, apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Ki Gede sesampainya di
depan regol.
“Aku
terjatuh di sawah sewaktu meniti pematang, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil
tersenyum, kemudian melangkah memasuki halaman rumah Ki Gede.
Ki
Gede dan orang orang yang ada disekitar regol itu mengerutkan keningnya. Adalah
tidak masuk akal bagi Ki Jayaraga yang mereka ketahui memiliki kemampuan yang
nggegirisi bisa terjatuh sewaktu meniti pematang.
Namun
mereka pun kemudian menarik nafas dalam dalam ketika mendengar Ki Jayaraga
berkata selanjutnya, “Ki Gede, ijinkan aku membersihkan diri dulu ke pakiwan.
Barangkali ada pakaian sepengadeg yang sudah tidak dipakai lagi oleh Ki Gede
dan dapat aku pinjam untuk sementara.”
“Ah,”
Ki Gede tertawa pendek mendengar permintaan Ki Jayaraga, “Engkau dapat memilih
pakaian yang terbaru sekalipun, Ki Jayaraga, dan engkau tidak mempunyai
kuwajiban untuk mengembalikannya.”
Ki
Jayaraga mengangguk anggukan kepalanya, “Memang aku tidak akan mengembalikan
pakaian itu dalam ujud aslinya, namun sejumlah uang seharga sepengadeg pakaian
baru itulah yang harus kukembalikan.”
Segera
saja terdengar suara tertawa berkepanjangan dari orang-orang yang ada di dekat
regol halaman Ki Gede itu. Sementara Ki Gede hanya tersenyum saja mendengar
gurauan Ki Jayaraga. Bagaimanapun juga, pranggraitanya sebagai orang yang sudah
mengalami pasang surutnya kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh ini tidak dapat
dikelabui.
Sejenak
kemudian Ki Gede Menoreh telah mengajak Ki Jagabaya dan Prastawa untuk kembali
ke pendapa, sementara Ki Jayaraga dengan tergesa gesa berjalan melewati depan
gandhok sebelah kanan dari rumah Ki Gede menuju ke pakiwan yang ada di belakang
dapur.
Setelah
Ki Jayaraga selesai membersihkan diri dan berganti pakaian sepengadeg yang
benar-benar masih baru yang disediakan oleh salah seorang pembantu rumah Ki
Gede, maka dia pun segera bergabung dengan mereka yang telah duduk duduk
terlebih dahulu di pendapa.
“Marilah
Ki Jayaraga,” Ki Gede memepersilahkan Ki Jayaraga yang muncul dari balik pintu
serambi yang memisahkan serambi dalam dan pendapa yang luas dari rumah Ki Gede
Menoreh.
Ki
Jayaraga tersenyum sambil melangkah mendekati mereka yang telah terlebih dahulu
duduk di tengah tengah pendapa beralaskan tikar pandan yang putih bersih.
Beberapa mangkuk minuman hangat dan penganan ternyata telah tersedia pula.
Sambil
membetulkan letak duduknya dan membenahi kain panjangnya, Ki jayaraga menatap
satu persatu wajah wajah dari orang orang yang hadir di pendapa itu. Ketika
tatapan matanya tertumbuk pada seraut wajah tua Ki Gede Menoreh, betapa garis
garis kehidupan telah banyak menghiasi wajah tua itu. Gejolak yang bagaikan silih
berganti yang terjadi di tanah ini telah membuat Ki Gede terlihat lebih tua
dari umur yang sebenarnya.
“Silahkan
Ki Jayaraga, mumpung masih hangat,” desis Ki Gede mempersilahkan Ki Jayaraga
untuk sekedar meneguk minuman wedang sere yang masih hangat dan mencicipi
makanan sekedarnya.
“Aku
memang menjadi seperti orang yang kelaparan,” kata Ki Jayaraga sambil meraih
mangkuk yang ada di depannya. Setelah mereguk beberapa teguk, diletakkannya
kembali mangkuk itu di tempat semula. Terasa betapa segarnya minuman itu
setelah Ki Jayaraga memeras tenaga menghadapi para murid dari padepokan Toya
Upas.
Semua
gerak gerik Ki Jayaraga itu tidak terlepas dari perhatian orang orang di
sekelilingnya. Sebenarnyalah mereka sudah tidak sabar lagi untuk mendengar
peristiwa apakah yang sebenarnya telah menimpa Ki Jayaraga? Tentu saja mereka
tidak mengharapkan cerita tergelincirnya dia dari pematang atau cerita
sejenisnya, namun sedikit banyak mereka sudah mulai menduga duga keadaan Ki
Jayaraga dengan kehadiran orang orang asing di Perdikan Menoreh ini.
Agaknya
Ki Jayaraga menyadari bahwa dirinya telah ditunggu, maka katanya kemudian,
“Maaf Ki Gede, bukan maksudku untuk mengulur waktu, namun aku benar benar lelah
dan kelaparan setelah tubuh yang tua ini masih dipaksa untuk berkelahi
menghadapi orang orang dari lereng Gunung Lawu.”
“Orang
orang dari lereng Gunung Lawu?” serentak mereka yang ada di pendapa itu
terkejut.
“Ya,”
sahut Ki Jayaraga, “Murid murid dari padepokan Toya Upas yang sangat senang
bermain main dengan racun.”
Ki
Gede mengerutkan keningnya sambil berdesis perlahan, “Apapun ujud padepokan
Toya Upas itu, namun menilik dari kegemarannya bermain dengan racun, perguruan
itu tentu bukan suatu perguruan yang bersih, yang menjunjung tinggi nilai nilai
dan harkat hubungan antar sesama dan hubungan dengan Penciptanya.”
“Ki
Gede benar. Dalam pertempuran yang baru saja aku alami, mereka sama sekali
tidak memperdulikan segala macam unggah ungguh dan tatanan. Mereka berkelahi
dengan cara yang kasar dan liar. Bahkan tidak jarang mereka berlaku curang dan
licik.”
Ketiga
orang yang mendengarkan cerita Ki Jayaraga itu saling pandang sejenak. Prastawa
yang tidak dapat menahan diri diantara mereka itu pun akhirnya bertanya,
“Apakah maksud Ki Jayaraga dengan mereka? Apakah itu berarti Ki Jayaraga harus
bertempur dengan lawan yang lebih dari satu?”
“Engkau
benar, Prastawa. Mereka adalah kakak beradik dari perguruan Toya Upas yang
bernama Wirapati dan Surengpati. Bahkan menurut cerita mereka, masih ada lagi
adik seperguruan mereka yang bernama Wanengpati. Tetapi tidak dapat ikut datang
ke Tanah Perdikan ini karena sedang terluka ketika terjadi perselisihan dengan
Swandaru dari Sangkal Putung.”
“Swandaru,”
tanpa sesadarnya mereka bertiga mengulang nama itu, dan sebuah desir yang tajam
telah menusuk hati Ki Gede Menoreh, hati yang seharusnya lebih banyak merasakan
tentram dan damai di hari hari tuanya.
Ki
Jagabaya yang sedari tadi hanya berdiam diri ternyata tidak kuat menahan
hatinya begitu Ki Jayaraga menyebut nama Swandaru. Bagi para bebahu Tanah
Perdikan Menoreh nama Swandaru adalah suatu kebanggaan dan harapan yang dapat
meneruskan kejayaan Keluarga Menoreh walaupun sampai saat ini Swandaru masih
terikat dengan Kademangannya dan justru Agung Sedayu lah yang ternyata telah
banyak berbuat bagi tanah ini walaupun secara trah Menoneh, Agung Sedayu bukan
sanak dan bukan kadang.
“Maaf
Ki Jayaraga,” bertanya Ki Jagabaya, “Hubungan apakah yang menyebabkan
terjadinya perselisihan antara Anakmas Swandaru dengan murid dari perguruan
Toya Upas itu?”
Ki
Jayaraga termangu mangu sejenak. Tanpa disadarinya dia berpaling kearah Ki Gede
Menoreh. Betapapun juga Swandaru adalah suami dari anak perempuan satu satunya
Ki Gede. Cerita tentang perilaku Swandaru yang buram akan dapat mempengaruhi
kewibawaan Ki Gede dan citra Swandaru itu sendiri di kalangan para bebahu dan
seluruh kawula di Tanah Perdikan Menoreh.
Betapapun
berbagai pertimbangan tumpang tindih di dalam dada Ki Jayaraga, namun dia harus
menjawab pertanyaan Ki Jagabaya agak tidak menimbulkan tanggapan yang kurang
pada tempatnya.
“Persoalan
yang sebenarnya akupun tidak begitu jelas,” berkata Ki Jayaraga mencoba
merangkai kata sebaik mungkin agar tidak ada pihak yang tersinggung,
Namun
kenyataannya adalah Swandaru telah berselisih dengan Wanengpati. Ternyata
Swandaru terlalu perkasa untuk ukuran murid padepokan Toya Upas itu.”
Ada
semacam kebanggaan yang mengembang dihati Prastawa dan Ki Jagabaya mendengar
cerita Ki Jayaraga tentang kehebatan Swandaru itu, namun sebaliknya berita itu
justru membuat Ki Gede semakin prihatin dengan tingkah laku Swandaru yang
semakin tidak terkendali. Sudah seharusnya semakin bertambahnya umur seseorang
dan kematangan ilmu yang dikuasainya akan semakin menambah kesabaran dan
kebijaksanaan dalam setiap mengambil sebuah keputusan.
“Bagaimana
dengan kedua murid perguruan Toya Upas yang bertempur dengan Ki Jayaraga?”
kembali Prastawa bertanya.
Untuk
sejenak Ki Jayaraga termangu mangu. Sebelum dia menjawab pertanyaan Prastawa,
Ki Gede ternyata telah mengajukan pertanyaan yang membuat hati Ki Jayaraga
semakin berdebar debar.
“Ki
Jayaraga, permasalahan apakah sebenarnya yang telah menyebabkan murid perguruan
Toya Upas berbenturan dengan Ki Jayaraga?”
Belum
sempat Ki Jayaraga menjawab semua pertanyaan itu, Ki Jagabayapun telah
menambahkan, “Bahkan sekarang di Tanah Perdikan Menoreh ini telah banyak
berkeliaran orang orang yang tidak dikenal, menilik cara mereka berpakaian dan
bersikap, mereka tidak mungkin berasal dari satu golongan tertentu, dan
kemungkinan salah satunya adalah dari perguruan Toya Upas yang telah berselisih
dengan Ki Jayaraga itu.”
Ki
Jayaraga terpekur diam. Berbagai persoalan bercampur aduk di dalam hatinya.
Tidak mungkin dia membeberkan tujuan dari perguruan perguruan yang datang
berbondong bondong ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencoba keberuntungan
mereka, memburu kitab peninggalan Empu Windujati. Demikian juga sumber berita
yang menyebabkan tersebarnya keberadaan kitab peninggalan Empu Windujati itu
tidak mungkin akan disampaikannya dihadapan mereka semua yang hadir di pendapa
itu.
Sikap
diam dan keragu-raguan yang tercermin di wajah Ki Jayaraga telah membuat hati
Ki Gede semakin berdebar debar. Hubungan antara perselisihan Swandaru dengan
salah satu murid perguruan Toya Upas dan benturan Ki Jayaraga dengan murid
murid perguruan Toya Upas yang lainnya yang terjadi justru di tanah Perdikan
ini, telah menimbulkan dugaan dugaan yang mendebarkan.
“Ki
Gede,” akhirnya Ki Jayaraga memutuskan untuk memberitahukan permasalahan yang
harus segera ditangani, “Aku meninggalkan dua sosok mayat di bawah gubuk yang
terletak di pesawahan Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Gede mungkin dapat
memerintahkan para pengawal untuk menyelenggarakan mereka sebagaimana mestinya.
Aku tidak mempunyai pilihan lain. Untuk menawan mereka hidup hidup adalah suatu
pekerjaan yang mustahil sebab mereka selalu berusaha untuk menggoreskan kuku
kuku beracun mereka kapan saja mereka mempunyai kesempatan.”
Ketiga
orang yang mendengar nasib dari murid murid perguruan Toya Upas itu terkejut
bukan kepalang. Ternyata Ki Jayaraga telah menyelesaikan lawan lawannya dengan
tuntas, walaupun dengan sangat terpaksa.
Debar
di jantung Ki Gede Menorehpun semakin kencang. Darah pertama dari permasalahan
yang membelit Tanah Perdikan ini telah tertumpah dan mungkin akan segera
disusul dengan peristiwa peristiwa lainnya yang tidak menutup kemungkin akan
menyebabkan pertumpahan darah yang semakin dahsyat.
“Paman,“
berkata Prastawa setelah menimbang nimbang beberapa saat, “Sebaiknya Paman
memerintahkan beberapa pengawal untuk menyelenggarakan jenazah dari kedua murid
perguruan Toya Upas itu sesegera mungkin agar keberadaannya tidak diketahui
masyarakat luas dan dapat menimbulkan kegelisahan.”
Ki
Gede Menoreh mengangguk anggukan kepalanya. Ketika tanpa sengaja pandangan
matanya bertemu dengan pandang mata Ki Jagabaya, Ki Gede pun segera memberikan
perintahnya, “Ki Jagabaya, pergilah dengan beberapa pengawal. Usahakan jangan
sampai menimbulkan kegelisahan rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ijinkan
aku ikut Ki Jagabaya, Paman,” tiba tiba Prastawa menyela.
“Pergilah
kalian berdua. Jangan terlalu banyak membawa pengawal agar tidak menarik
perhatian. Jangan lupa membawa peralatan sekedarnya agar pekerjaan kalian dapat
berjalan dengan lancar.”
Demikianlah,
Prastawa dan Ki Jagabaya pun segera minta diri. Dengan bergegas mereka berdua
menuruni tlundak pendapa, kemudian menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang
luas. Setelah melewati regol, mereka pun segera menyusuri jalan yang menuju ke
banjar padukuhan induk untuk menghubungi beberapa pengawal yang mereka perlukan.
Sepeninggal
Prastawa dan Ki Jagabaya, berkali kali Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam
untuk menenangkan debar jantungnya. Apakah kira kira yang akan dikatakan kepada
Ki Gede seandainya dia mempertanyakan permasalahan yang sebenarnya, baik menyangkut
masalah Swandaru maupun pertempuran yang baru saja terjadi pada dirinya dan
ternyata telah memakan korban?
Angin
sore bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan dari pohon pohon yang tumbuh di
halaman rumah Ki Gede. Seekor induk ayam dan anak anaknya melintas halaman
menuju gandok sebelah kiri. Sambil sesekali mengais ngais tanah yang
dilewatinya, akhirnya induk ayam dan anak anaknya itu menyelusuri dinding sisi
sebelah kiri regol untuk kemudian menghilang di belakang Gandok.
“Ki
Jayaraga,” perlahan Ki Gede bertanya, “Apakah Ki Jayaraga dapat menjelaskan
dengan gamblang apakah yang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh
ini? Adakah hubungan antara yang terjadi pada Ki Jayaraga dengan Swandaru?”
Ki
Jayaraga menggeser duduknya setapak mendekati Ki Gede. Seolah olah ada suatu
rahasia yang hanya mereka berdua yang berhak mendengarnya.
“Ki
Gede, perguruan perguruan yang datang berbondong bondong ke Tanah Perdikan ini
sesungguhnya ada yang mereka cari.” Desis Ki Jayaraga pelan.
“Apakah
yang mereka cari di tanah ini?”
“Mereka
mencari sebuah kitab yang diwariskan turun temurun dari sebuah perguruan yang
besar sejak jaman Majapahit.”
Ki
Gede mengerutkan keningnya dalam dalam begitu mendengar Majapahit disebut
sebut. Segera saja ingatan Ki Gede tertuju pada Kiai Gringsing. Keturunan
Majapahit sekaligus pewaris ilmu sebuah perguruan besar Windujati yang memilih
hidup diantara orang kebanyakan.
“Apakah
yang dimaksud Ki Jayaraga itu perguruan Empu Windujati,” dengan ragu ragu Ki
Gede mencoba menebak.
“Ya
Ki Gede, mereka berbondong bondong datang kesini untuk memperebutkan kitab
pusaka warisan perguruan Empu Windujati yang kini berada di tangan Ki Rangga
Agung Sedayu.”
Wajah
Ki Gede menunjukan keheranan yang sangat, lalu katanya, “Dari manakah orang
orang itu mengetahui keberadaan kitab Empu Windujati?”
Ki
Jayaraga tertunduk dalam dalam. Dicobanya untuk tetap tenang dalam menuturkan
kejadian yang sebenarnya agar tidak menyinggung perasaan Ki Gede. Selain itu,
lebih baik Ki Gede mendengar langsung cerita itu dari dirinya walaupun
kebenarannya masih perlu diuji karena tidak menutup kemungkinan cerita dari
murid murid perguruan Toya Upas itu ada yang ditambah atau bahkan dikurangi,
disesuaikan dengan keperluan mereka.
Ketika
Ki Jayaraga telah selesai menuturkan kejadian antara Swandaru dengan Wanengpati
sesuai dengan penuturan murid murid perguruan Toya Upas tanpa dikurangi dan
ditambah, dada Ki Gede Menoreh pun bagaikan tersayat sembilu menembus jantung.
Hati orang tua itu hancur berkeping keping mendengar tingkah polah Swandaru,
suami dari anak perempuan satu satunya. Akankah hati Pandan Wangi kuat menahan
goncangan sekali lagi setelah peristiwa yang lalu? Peristiwa yang melibatkan
Swandaru dengan seorang perempuan pengikut Ki Saba Lintang?
Sejenak
Ki Gede Menoreh merenung. Masa kecil Pandan Wangi dilalui dengan penuh
keprihatinan. Dibawah asuhan seorang ibu yang selalu merasa bersalah dan cacat
dihadapan suaminya. Satu satunya teman bermain yang selalu setia menemaninya
adalah kakaknya, Sidanti. Namun Kakaknya yang selalu berwajah murung itu
ternyata lebih sering tinggal dirumah bibinya dari pada dirumahnya sendiri.
Kadang
terucap pertanyaan dari Pandan Wangi kecil waktu itu, mengapa Kakaknya lebih
sering tinggal di rumah Bibinya? Sedangkan dia membutuhkan kawan bermain? Dan
jawab Ibundanya selalu itu itu saja, bahwa Sidanti harus mengawani Bibinya,
karena Bibinya itu tidak mempunyai seorang keturunanpun.
Ketika
kemudian Sidanti harus pergi mengikuti Gurunya, Ki Tambak Wedi, hati gadis
kecil itu bagaikan belanga yang terbanting di atas batu batu padas di
gerojokan, hancur berkeping keping. Satu satunya saudara yang dia punya telah
pergi meninggalkannya entah untuk berapa lama. Tidak ada lagi yang mencarikan
buah jambu air yang tumbuh rimbun di samping dapur untuknya, atau mengumpulkan
biji sawo kecik untuk bermain dakon.
Terbayang
kembali di ingatan Ki Gede, betapa Pandan Wangi kecil itu telah tumbuh menjadi
seorang gadis remaja yang pemurung. Sepeninggal ibunya yang meninggal karena
sakit, Pandan Wangi benar benar telah menjadi seorang gadis yang tertutup.
Ketertarikannya pada dunia olah kanuragan serta kesenangannya berburu telah
menjadikan Pandan Wangi seorang gadis yang aneh, pemurung dan penyendiri.
Ketika
kemudian Sidanti kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama gurunya Ki Tambak
Wedi dan Pamannya Ki Argajaya yang memang diberi tugas oleh Ayahnya untuk
menengok keadaan Sidanti, ada sepercik kegembiraan yang menyentuh hatinya,
namun kegembiraan itu hanya sesaat, berganti dengan kesedihan yang tiada
taranya setelah mengetahui jati dirinya dan kakaknya. Ternyata kedatangan
kakaknya ke Tanah Perdikan ini bukan untuk memetikkan buah jambu air atau
mencarikan biji sawo kecik untuk bermain dakon, tetapi kedatangannya justru
membawa api yang telah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
Kembali
Ki Gede menarik nafas dalam dalam. Panggraitanya sebagai seorang ayah yang
mempunyai anak gadis menjelang dewasa, tersentuh waktu itu ketika melihat
keakraban pergaulan antara anak gadisnya dengan seorang gembala yang bernama
Gupita. Sorot mata yang penuh keceriaan dan kegembiraan, solah tingkah yang
malu malu dan canggung namun sangat perhatian bila bertemu dengan Gupita, telah
mengisyaratkan kepada Ki Gede, bahwa anak gadisnya telah menjatuhkan pilihan
hatinya kepada anak gembala yang bernama Gupita itu.
Namun
sekali lagi, hati Pandan Wangi hancur berkeping keping setelah mengetahui bahwa
Gupita yang ternyata bernama Agung Sedayu itu telah mempunyai seorang gadis
pilihan hatinya, gadis yang selalu berwajah ceria, yang dengan penuh semangat
menyongsong masa depannya, gadis anak Demang Sangkal Putung yang bernama Sekar
Mirah.
Ketika
api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu kemudian dapat dipadamkan atas
bantuan Kiai Gringsing dan murid muridnya, ada suatu kuwajiban yang dengan sadar
telah dipikulkan dipundaknya sendiri, kuwajiban untuk membalas budi dan
menyenangkan hati Ayahnya yang telah banyak menderita dalam mengarungi
kehidupan ini.
Tanpa
disadarinya, perlahan lahan Ki Gede Menoreh berdesah dalam hati, “Sesungguhnya
pilihanmu yang pertama itu tidak salah, Wangi. Keadaanlah yang salah,
seandainya tidak ada gadis yang bernama Sekar Mirah itu, alangkah bahagianya
engkau dalam meniti hari hari depanmu? Dan akupun tidak akan mengalami
kesulitan dalam membina masa depan Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Kini
Ki Gede menoreh menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang telah dilakukan Pandan
Wangi saat itu hanyalah memenuhi kuwajibannya sebagai ujud bakti seorang anak
kepada orang tuanya, sebagai tanda bakti kepada tanah leluhurnya yang telah
diselamatkan dari kehancuran, sebagai tanda balas budi atas kebaikan yang telah
diberikan oleh sesamanya.
Peristiwa
demi peristiwa yang telah terjadi di masa lalu itu seolah olah tergambar
kembali dalam ingatan Ki Gede, satu demi satu silih berganti. Ada semacam
penyesalan di hati orang tua itu tentang keadaan yang telah menjerumuskan anak
perempuan satu satunya itu ke dalam jurang kesedihan yang tiada berakhir, dan
ternyata Ki Gede sebagai orang tua telah merasa ikut berperan dalam menciptakan
kisah sedih ini.
“Ki
Gede,” perlahan Ki Jayaraga berkata sambil mencoba menyadarkan Ki Gede dari
lamunannya, “Apakah tidak sebaiknya Ki Gede beristirahat? Sebentar lagi
matahari akan terbenam, dan malam akan segera menjelang.”
Ki
Gede Menoreh menarik nafas dalam sekali, kemudian dihembuskannya nafas itu
seolah olah ingin dilepaskannya semua beban yang memberati hatinya. Pandang
matanya nanar menatap halaman rumahnya yang luas yang mulai remang remang.
Cahaya matahari yang merah dengan lemahnya menggapai pucuk pucuk pepohonan
membiaskan warna yang muram.
Tiba
tiba Ki Gede merasa betapa sekujur tubuhnya menjadi sangat letih. Seluruh
persendiannya terasa bagaikan terlepas dari ikatannya. Pandangan matanya
menjadi kabur dan berkunang kunang.
Ketika
kemudian Ki Jayaraga memegang lengannya, dengan berbisik Ki Gedepun berkata,
“Bantu aku Ki Jayaraga, tubuh ini rasa rasanya sudah tidak bertenaga lagi.
Sepertinya aku merasa, perjalananku sudah sampai kebatas.”
“Ki
Gede,” Ki Jayaraga tersentak mendengar ucapan Ki Gede, “Saya kira Ki Gede hanya
lelah saja. Marilah aku antar ke bilik Ki Gede untuk beristirahat. Semoga besok
pagi Ki Gede sudah sehat kembali.”
Dengan
perlahan dan sangat hati hati, Ki Jayaragapun memapah Ki Gede menuju ke
biliknya. Dengan tertatih tatih, Ki Gede melangkah satu satu dibantu oleh Ki
Jayaraga. Betapa gagah perkasa dan tangguh tanggonnya Ki Gede dimasa muda,
namun sama sekali tidak tampak sisa sisa kejayaannya di masa lalu itu. Ki Gede
sekarang ini tidak ubahnya dengan orang kebanyakan yang menjalani sisa sisa dari
masa akhir hidupnya.
Ketika
mereka telah sampai di bilik Ki Gede, dengan perlahan dan hati hati Ki
Jayaragapun membantu Ki Gede untuk berbaring di pembaringan yang terbuat dari
kayu jati berukir. Tikar pandan yang tebal dan berangkap rangkap telah digelar
diatas amben itu sebagai alas tidur.
Sementara
itu, Sekar mirah yang sedang di dapur membantu para pembantu rumah Ki Gede
untuk menyiapkan makan malam telah mendengar suara bergeremang dari arah
serambi dan agaknya menuju ke bilik Ki Argapati.
Dengan
tergesa gesa Sekar Mirahpun segera memasuki ruang dalam menuju ke bilik Ki
Argapati.
Alangkah
terkejutnya Sekar Mirah ketika kakinya melangkah memasuki bilik Ki Gede yang
terbuka, dilihatnya Ki Jayaraga yang dengan sangat hati hati mencoba membantu
Ki Gede berbaring. Dengan beringsut sedikit demi sedikit dari bibir amben,
akhirnya orang yang sangat disegani dan dicintai oleh seluruh rakyat Tanah
Perdikan Menoreh itupun dapat berbaring dengan sempurna diatas ranjang.
“Ki
Gede, apakah yang telah terjadi?” dengan tergopoh gopoh Sekar Mirah segera
duduk dibibir amben disebelah kaki Ki Gede, sementara Ki Jayaraga telah
mengambil sebuah dingklik yang ada di sudut bilik untuk duduk didepan ranjang
Ki Gede.
“Aku
tidak apa apa, Mirah. Aku hanya sedikit lelah saja,” Ki Gede mencoba tersenyum,
namun Sekar Mirah dapat melihat betapa sangat pucatnya wajah Ki Gede.
“Ki
Jayaraga,” berkata Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga, “Aku akan menyiapkan minuman
hangat dan makan malam untuk Ki Gede, menurut Ki Jayaraga, apakah tidak sebaiknya
kita memanggil tabib untuk merawat kesehatan Ki Gede?”
“Ah,”
Ki Gede berdesah perlahan, “Alangkah manjanya orang tua ini? Sebaiknya kalian
dapat meninggalkan aku sendiri, sesungguhnya aku tidak apa apa. Aku hanya
merasa sedikit lelah saja.”
“Tidak,
Ki Gede,” Sekar Mirahlah yang menyahut, “Ki Gede harus makan. Aku akan segera
menyiapkannya untuk Ki Gede. Mungkin kalau Ki Jayaraga ingin makan malam dapat
menemani Ki Gede sekalian?”
“Baiklah,”
jawab Ki Jayaraga, “Aku akan menemani Ki Gede makan malam, tapi sementara
engkau menyiapkan makan malam, aku akan ke regol sebentar untuk menyuruh
pengawal memanggilkan Tabib yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan ini.”
Ki
Gede yang melihat betapa Sekar Mirah dan Ki Jayaraga sangat perhatian terhadap
keadaan dirinya menjadi sangat treyuh. Mereka adalah orang orang yang bukan
sanak dan bukan kadang bagi Ki Gede, namun perhatiannya melebihi anak dan
menantunya sendiri.
Ketika
kemudian kedua orang itu telah minta diri dan meninggalkan Ki Gede sendirian di
dalam biliknya, seorang pelayan kemudian telah menyalakan lampu dlupak dari
minyak kelapa dan memasangnya kembali di ajug ajug. Ruang bilik Ki Gedepun
segera menjadi terang oleh cahaya kemerah merahan dari lampu dlupak itu.
Sementara
itu dliluar langit telah mulai gelap, para pengawal telah menyalakan obor di
regol depan dan tempat tempat yang sekiranya memerlukan penerangan. Seorang
pengawal dengan tergesa gesa telah berlari lari menuju rumah seorang Tabib yang
terbaik yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Ada desir yang aneh di dada
pengawal itu sehubungan dengan diterimanya berita dari Ki Jayaraga tentang
sakitnya Ki Gede. Sudah berulang kali Ki Gede mengalami sakit, namun sakit itu
sering didapatkannya setelah mengalami pertempuran yang dahsyat. Kini Ki gede
mengalami sakit yang aneh, tidak ada segores lukapun yang didapatkan Ki Gede,
bahkan sakit itu terasa datang dengan tiba tiba.
Malam
semakin merambat. Prastawa dan Ki Jagabaya yang telah selesai menunaikan
tugasnya menyelenggarakan jenasah dari kedua murid perguruan Toya Upas bersama
beberapa pengawal telah kembali. Setelah berpesan mawanti wanti kepada para
pengawal yang ikut mengubur kedua murid perguruan Toya Upas untuk sedapat
mungkin merahasiakan kejadian itu, merekapun kemudian berpencar, Ki Jagabaya
dan para pengawal pulang kerumah masing masing, sedangkan Prastawa kembali ke
rumah Ki Gede untuk memberikan laporan.
Langkah
Prastawa yang sudah hampir mencapai regol depan rumah Ki Gede tertegun sejenak,
ketika seorang pengawal yang sedang bertugas jaga dengan tergesa gesa
menyongsong kedatangannya.
“Prastawa,”
berkata pengawal yang sedang bertugas itu begitu sampai di depan Prastawa yang
berdiri termangu mangu, “Apakah engkau sudah mengetahui keadaan Ki Gede yang
sedang sakit?”
“Paman
sedang sakit?” dengan heran Prastawa balik bertanya,
“Bukankah siang tadi Paman dalam keadaan sehat sehat saja ketika aku dan Ki Jagabaya menghadap?”
“Bukankah siang tadi Paman dalam keadaan sehat sehat saja ketika aku dan Ki Jagabaya menghadap?”
“Sepeninggal
kalian, tiba tiba saja Ki Gede jatuh sakit, bahkan Ki Jayaraga harus memapahnya
ketika Ki Gede bermaksud masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.”
“He?”
kali ini Prastawa benar benar terkejut, kemudian katanya sambil melangkah
tergesa gesa memasuki regol, “Aku akan menengoknya.”
Pengawal
itu hanya dapat mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil berjalan kembali menuju
regol, dia berdesis, “Semoga Ki Gede hanya letih saja. Seandainya terjadi apa
apa, Tanah Perdikan ini sulit mencari pengganti seperti Ki Argapati.”
Kawannya
yang sedang berdiri bersandaran di pintu regol menyahut, “Jangan berangan angan
yang aneh aneh, berdoalah supaya Ki Gede diberi kesehatan dan kesempatan untuk
tetap memimpin Tanah Perdikan ini.”
“Aku
tidak berpikir yang aneh aneh, tapi selama ini menantu Ki Gede yang diharapkan
menjadi pewaris yang akan memimpin Tanah Perdikan ini tak kunjung datang, dia
lebih senang hidup di kampung halamannya, di tengah tengah lingkungan yang
sudah sangat dikenalnya.”
“Bukan
begitu,” bantah pengawal yang bersandaran di pintu regol, “Tentu saja Swandaru
lebih mendahulukan Kademangannya untuk dibina, baru setelah itu dia akan
merambah ke Tanah Perdikan ini.”
“Ya,
aku menyadari itu, tapi sampai kapan?”
Pengawal
yang bersandaran di pintu regol itupun termangu mangu.
“Ya,
sampai kapan?” desisnya dalam hati, sementara waktu berjalan terus dan Ki
Argapati sudah semakin tua. Prastawa yang diharapkan dapat menjadi orang kedua
setelah Ki Gede ternyata tidak mampu melaksanakan tugas tugas yang dibebankan
kepadanya. Setiap kali Ki Gede masih harus menegur dan menegur, namun perubahan
yang diharapkan terjadi pada diri Prastawa tak kunjung tiba.
“Bagaimana
dengan Agung Sedayu?” tiba tiba pengawal yang bersandaran di pintu regol itu
menyelutuk.
Kawannya
hanya menggeleng gelengkan kepalanya, tidak ada sepatah katapun yang terucap
dari mulutnya.
Pengawal
yang bersandaran di pintu regol itu menjadi heran melihat sikap kawannya,
“Bukankah Agung Sedayu telah berbuat banyak untuk Tanah Perdikan ini? Aku masih
ingat ketika pertama kali Agung Sedayu datang ke Tanah Perdikan ini untuk
membantu Ki Gede membenahi segala tatanan kehidupan yang mengalami banyak kemunduran.
Banyak pertentangan yang dialaminya waktu itu, salah satunya adalah dari
kemenakan Ki Gede sendiri, Prastawa. Namun semua itu dapat diatasinya dengan
sikap yang sangat dewasa dan lebih mementingkan pada keutuhan dan kesatuan
rakyat Perdikan Menoreh dalam membangun kehidupan yang lebih baik.”
“Betapapun
besarnya jasa Agung Sedayu dalam membangun Tanah Perdikan ini, dia tidak punya
hak untuk menjadi salah satu pemimpin di Tanah Perdikan yang besar ini, karena
secara trah, dia tidak mempunyai hubungan sangkut paut dengan keluarga
Menoreh.”
Pengawal
yang bersandaran di pintu regol itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam
sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar dia mendongakkan
kepalanya, tampak langit yang kelam tanpa hiasan sebuah bintangpun. Mendung
yang gelap perlahan lahan menyelimuti langit bukit menoreh dan menambah
muramnya suasana hati para pengawal yang sedang berjaga di regol depan rumah Ki
Gede Menoreh.
Sementara
itu dengan setengah berlari prastawa menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang
luas. Setelah melangkahi tlundak pendapa dan melintasi pendapa, Prastawapun
dengan berdebar debar mendorong pintu pringgitan.
Entah
perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam dada Prastawa. Sejak Sekar Mirah
tinggal di rumah Ki Gede, ada sedikit keseganan untuk masuk ke dalam rumah Ki
Gede. Dia tidak berani lagi dengan seenaknya memasuki rumah Ki Gede sebagaimana
yang biasa dilakukannya sebelum ini walaupun rumah itu adalah rumah Pamannya
sendiri.
Dengan
sedikit bergegas, Prastawapun masuk keruang tengah. Ketika dilihatnya bilik Ki
Gede terbuka, segera diayunkan langkah kakinya menuju ke bilik yang terbuka
itu.
Sekejab
hati Prastawa berdesir ketika dilihatnya Sekar Mirah sedang melayani Ki Gede
dan Ki Jayaraga makan malam. Agaknya Ki Gede ingin makan malam di biliknya
ditemani oleh Ki Jayaraga.
“Marilah
Anakmas Prastawa,” Ki Jayaraga yang pertama kali melihat Prastawa masuk
menyapa, “Barangkali anakmas belum makan malam. Makanan ini terlalu banyak
untuk ukuran kami berdua yang sudah tua ini, engkau dapat bergabung jika
menghendaki.”
“Terima
kasih Ki Jayaraga, masih banyak waktu untuk makan malam, kedatanganku kemari
justru aku telah mendengar berita dari para pengawal penjaga regol depan bahwa
Paman Argapati telah jatuh sakit.”
“Ah,”
Ki Argapati berdesah, “Berita itu telah dilebih lebihkan, Prastawa. Sebagaimana
engkau lihat, aku tidak apa apa, aku hanya perlu istirahat.”
Prastawa
termangu mangu. Sampai sedemikian jauh kehadirannya di bilik itu, Sekar Mirah
sama sekali tidak mengacuhkannya. Dia terlihat begitu sibuk melayani Ki Gede,
bahkan tidak segan segan Sekar Mirah membantu menyuapkan nasi ke mulut Ki Gede
yang duduk bersandaran pada dinding bilik yang berhimpitan dengan amben tempat
tidur Ki Gede.
“Perempuan
sombong,” umpat Prastawa dalam hati, “Suatu saat engkau pasti jatuh kedalam
kekuasaanku.”
“Prastawa,”
berkata Ki Gede membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau dan Ki Jagabaya telah
selesai menunaikan tugasmu?”
“Sudah,
Paman. Kedatanganku ini selain menjenguk keberadaan Paman juga sekaligus
melaporkan apa yang telah kami kerjakan.”
“Baiklah,
Prastawa. Jika tidak ada suatu hal yang penting, engkau dapat meninggalkan
bilik ini. besok pagi saja kita bicarakan langkah langkah selanjutnya yang akan
kita kerjakan, semoga besok kesehatanku sudah lebih baik.”
“Tentu
Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Kita semua mendoakan Ki Gede.”
“Terima
kasih,” desis Ki Gede hampir tak terdengar.
Ada
semacam kekecewaan yang bercampur dengan dendam di hati Prastawa mendapatkan
perlakuan yang demikian itu dari Sekar Mirah. Memang sejak Sekar Mirah tinggal
di rumah Ki Gede, belum pernah sekalipun dia bertemu dengannya. Padahal hampir
setiap hari Prastawa mengunjungi rumah Ki Gede, baik itu karena urusan pribadi
maupun urusan yang berhubungan dengan tata pemerintahan Perdikan Menoreh.
“Baiklah,
Paman,” akhirnya Prastawa menjawab, “Sebaiknya aku minta diri, kepada seluruh
yang ada di bilik ini. besok pagi aku akan menghadap Paman lagi untuk menerima
perintah lebih lanjut.”
Tanpa
menunggu jawaban dari Ki Gede, Prastawapun kemudian bergeser keluar dari bilik
Ki Gede.
Sekar
Mirah sama sekali tidak berpaling, disibukkannya dirinya merawat Ki Gede
walaupun dia tahu bahwa Prastawa dengan sengaja telah menyindirnya, namun Sekar
Mirah tetap tidak menanggapinya sama sekali.
Setelah
selesai melayani orang orang tua itu makan malam, Sekar Mirahpun minta diri
sambil membawa mangkuk mangkuk yang kotor. Seorang pelayan telah dipanggilnya
untuk membantu mengangkat makanan dan minuman yang masih tersisa.
Ketika
kemudian Tabib yang telah dipanggil itu datang ke bilik Ki Gede, Ki Jayaragapun
mempunyai alasan untuk sejenak mencari udara segar diluar.
“Aku
mohon diri keluar sebentar, Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga sambil bangkit dari
tempat duduknya, “Biarlah Tabib ini yang menemani sekaligus memeriksa kesehatan
Ki Gede ditemani seorang pelayan. Barangkali Tabib ini memerlukan sesuatu untuk
meramu obat atau apapun yang dapat meningkatkan kesegaran dan kesehatan Ki
Gede.”
“Sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Jayaraga, bantuan dari Ki Jayaraga sangat
kami butuhkan di hari hari mendatang,” jawab Ki Gede sambil tersenyum.
Sejenak
kemudian Ki Jayaraga telah keluar dari bilik Ki Argapati, sedangkan Tabib yang
telah dipanggil untuk memeriksa kesehatan Ki Gede segera bekerja dengan cermat
dibantu oleh seorang pelayan yang ada di rumah Ki Gede Menoreh.
Malampun
semakin larut dan dingin. Untuk menjaga hal hal yang tidak diinginkan, Ki
Jayaraga ternyata telah bermalam di rumah Ki Gede. Seperti biasanya, apabila Ki
Jayaraga bermalam di rumah Ki Gede, seorang pelayan telah menyiapkan sebuah
bilik yang ada di gandok sebelah kanan.
Sementara
itu rumah Ki Rangga Agung Sedayu dibiarkan saja kosong. Tidak ada secercah
cahayapun yang keluar dari sela sela dinding rumah yang terbuat dari papan.
Keadaan rumah yang gelap gulita itu justru membuat orang orang asing yang
datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memburu Kitab perguruan Empu Windujati
itu menjadi ragu ragu untuk memasukinya. Selain memperhitungkan perguruan lain
yang mungkin telah berada ditempat itu lebih dahulu, mereka juga
memperhitungkan jebakan yang mungkin sengaja dibuat oleh para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh, atau bahkan oleh pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah
Perdikan itu.
Ketika
kemudian matahari bersinar dengan cerahnya di hari berikutnya, justru seluruh
rakyat Tanah Pedikan Menoreh sedang menanggung duka yang dalam. Berita sakitnya
pemimpin mereka, Ki Argapati yang akrab dipanggil Ki Gede Menoreh telah
menyebar keseluruh pelosok Tanah Perdikan itu.
Sekar
Mirah yang pertama kali menjenguk ke bilik Ki Gede di pagi itu benar benar
terkejut mendapati Ki Gede tergolek dengan lemahnya. Wajahnya sangat pucat dan
nafasnyapun tersengal sengal. Dengan telaten dan cekatan, segera dibantunya Ki
Gede duduk bersandar.
“Ki
Gede, apakah Ki Gede berkenan minuman hangat?” bertanya Sekar Mirah sambil
membenahi selimut Ki Gede.
“Terima
Kasih, Mirah. Untuk sementara aku tidak membutuhkan apa apa.” Jawab Ki Gede
sambil mencoba tersenyum sewajar mungkin.
“Tapi
wajah Ki Gede sangat pucat dan berkeringat dingin. Aku akan minta tolong
seorang pengawal untuk memanggil Tabib itu lagi.”
“Itu
tidak perlu, Mirah,” desis Ki Gede diantara desah nafasnya yang memburu,
“Justru aku akan sangat senang apabila ada seseorang yang memberitahukan
keadaanku ini kepada Pandan Wangi dan Swandaru. Aku ingin berbicara dengan
mereka sehubungan dengan nasib Tanah Perdikan ini sebelum segala sesuatunya
terjadi, sebelum raga yang tua ini kembali ke alam abadi.”
“Ki
Gede,” terasa sesuatu menyumbat kerongkongan Sekar Mirah. Setetes demi setetes
air matanya pun jatuh berderai derai.
*********
Lanjuuut ki
BalasHapusLanjuuut ki
BalasHapuski Lanjutanya ada Di gantrabumi2.blogspot.com
Hapuski Lanjutanya ada Di gantrabumi2.blogspot.com
Hapus